Anda di halaman 1dari 62

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Nephrektomi adalah pembedahan untuk mengangkat ginjal. Ginjal merupakan organ
yang penting untuk kehidupan, maka nephrektomi dilakukan sesuai dengan indikasi2.
Indikasi untuk dilakukan nephrektomi adalah kanker ginjal, trauma berat ginjal
hydronephrosis, infeksi kronik, penyakit ginjal polikistik, hipertensi ginjal dan kalkulus.
Nephrektomi dapat hanya mengangkat sebagian kecil dari ginjal atau bahkan bisa juga
mengangkat ginjal dengan jaringan sekitarnya. Pada nephrektomi parsial hanya bagian
ginjal yang mengalami infeksi saja yang diangkat. Pada nephrektomi radikal ginjal diangkat
beserta bagian ureter, kelenjar adrenal dan jaringan lemak yang mengelilingi ginjal.
Nephrektomi simpel dilakukan untuk tujuan transplantasi dengan mengangkat ginjal dan
ureter.
Nefrektomi radikal adalah prosedur pembedahan yang menghapus seluruh bagian dari
satu ginjal bersama dengan lemak sekitar, fasia, dua pertiga ureter, kelenjar adrenal dan
kelenjar getah bening di sisi yang sama.
Indikasi medis dilakukannya nefrektomi radikal biasanya adalah karsinoma sel ginjal
(hipernefroma) atau penyakit ginjal polikistik yang telah benar-benar merusak jaringan
ginjal.

1.2 Klasifikasi Nefrektomy


Tergantung pada indikasi nephrektomi, sebagian atau seluruh bagian dari ginjal atau
keduanya akan diangkat:
1.2.1 Nephrektomi parsial, sebagian dari ginjal diangkat
1.2.2 Nephrektomi simpel, seluruh bagian dari satu ginjal diambil. Nephrektomi simpel
dilakukan pada pasien dengan kerusakan ginjal irreversibel yang disebabkan oleh
infeksi kronik, obstruksi, penyakit kalkulus atau trauma berat. Selain itu juga indikasi
pada hipertensi renovaskular yang diakibatkan oleh penyakit arteri renalis tak
terkoreksi atau kerusakan unilateral parenkim karena nephrosklerosis, pyelonephritis,
refluks dysplasia atau displasia kongenital ginjal.
1.2.3 Nephrektomi radikal, semua bagian dari salah satu ginjal diambil bersama-sama
dengan kelenjar adrenalnya dan nodi limphatika5. Nephrektomi radikal merupakan
terapi pilihan pada pasien dengan karsinoma sel renal. Juga indikasi pada pasien
dengan metastase, sebagai bagian protokol imunoterapi atau sebagai prosedur
paliative pada kasus nyeri dan perdarahan
1.2.4 Nephrektomi bilateral, kedua ginjal diangkat

1.3 Tujuan Tindakan Nefrechtomy


Tujuan dilakukannya tindakan nefrektomy adalah sebagai upaya pencegahan
penyebaran Sel-sel dari tumor ganas atau maligna ini menyusup dan merusak jaringan
disekitarnya. sel-sel ini juga keluar dari tumor asalnya dan memasuki aliran darah atau
system getah bening, dan akan terbawa ke bagian tubuh lainnya ( proses ini dikenal sebagai
metastase tumor ).Jika kanker belum menyebar, maka pengangkatan ginjal yang terkena dan
pengangkatan kelenjar getah bening akan memberikan peluang untuk sembuh.Jika tumor
telah menyusup ke dalam vena renalis dan bahkan telah mencapai vena kava, tetapi belum
menyebar sisi tubuh yang jauh, maka pembedahan masih bisa memberikan harapan
kesembuhan. Tetapi kanker ginjal cenderung menyebar dengan cepat, terutama ke paru-
paru. Saat ini pengobatan standar untuk kanker yang masih terbatas di ginjal adalah
pembedahan untuk mengangkat seluruh ginjal (nefrektomi simplek atau nefrotomi
radikal).Pada nefrektomi radikal, dilakukan pengangkatan ginjal dan kelanjar adrenal
diatasnya, jaringan di sekitar ginjal serta beberapa kelenjar getah bening. Pada nefrektomi
simplek, dilakukan pengangkatan ginjal saja.
2.1 Anatomy Fisiologi Ginjal

2.1.1 Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berpasangan dan berbentuk seperti kacang. Terletak di
kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan
dengan ginjal kiri karena tertekan kebawah oleh hati. Kutup atas ginjal kanan terletak
setinggi kosta 12, sedangkan kutup atas ginjal kiri terletak setinggi kosta 11. Setiap
ginjal pada orang dewasa memiliki panjang 12 sampai 13 cm, lebarnya 6 cm dan
beratnya antara 120 sampai 150 gram. Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis
mengkilat, terbagi menjadi dua bagian yaitu: bagian eksternal yang disebut Korteks,
dan bagian internal disebut Medula.
Dilihat dari permukaan anterior, struktur ginjal terdiri dari; arteri dan vena renalis,
saraf dan pembuluh getah bening yang keluar dan masuk melalui hilus, ureter. Darah
dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal
melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis
membawa darah kembali ke dalam vena kava inferior.Aliran darah yang melalui
ginjal jumlahnya 25% dari curah jantung.
Dilihat dari potongan longitudinal, struktur ginjal terdiri dari: Kapsula, Korteks,
Piramid medula, nefron (terdiri dari glomerulus dan tubulus: proksimal, ansa Henle,
distal), kaliks (minor dan mayor), pelvis ginjal dan ureter.
Penyakit ginjal dimanifestasikan dengan adanya perubahan struktur ginjal, yaitu
adanya perbedaan panjang dari kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm.
2.1.2 Ureter
Ureter merupakan pipa panjang dengan dinding yang sebagian besar terdiri atas otot
polos. Setiap ureter memiliki panjang 10 sampai 12 inci, Organ ini menghubungkan
setiap ginjal dengan kandung kemih. Organ ini berfungsi sebagai pipa untuk
menyalurkan urin ke kandung kemih.
2.1.3 Vesica Urinaria (Kandung Kemih)
Kandung kemih adalah satu kantung berotot yang sebagian besar dindingnya terdiri
dari otot polos disebut muskulus detrusor yang dapat mengempis, terletak dibelakang
simfisis pubis. Kontraksi otot ini terutama berfungsi untuk mengosongkan kandung
kemih pada saat BAK. Organ ini berfungsi sebagai wadah sementara untuk
menampung urin dan mendorong kemih keluar tubuh dibantu oleh uretra.
2.1.4 Uretra
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari kandung kemih
sampai ke luar tubuh. Panjang uretra pada wanita 1,5 inci dan pada laki-laki sekitar 8
inci.
2.1.5 Meatus urinarius (Muara uretra)

2.2 Fisiologi Sistem Perkemihan


Ginjal berfungsi sebagai organ ekskresi yang utama dari tubuh. Fungsi utama ginjal
mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam batas normal. Komposisi
dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan sekresi
tubulus.
Darah dialirkan ke dalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam ginjal
melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis dan vena renalis
membawa darah kembali ke dalam vena kava inferior.Aliran darah yang melalui ginjal
jumlahnya 25% dari curah jantung.
Urin terbentuk di nefron. Proses pembentukan urin dimulai ketika darah mengalir lewat
glomerulus. Ketika darah berjalan melewati sruktur ini, filtrasi terjadi. Air, elektrolit dan
molekul kecil akan dibiarkan lewat, sementara molekul besar (protein, sel darah merah dan
putih, trombosit) akan tetap tertahan dalam aliran darah. Cairan disaring lewat dinding
jonjot-jonjot kapiler glomerulus dan memasuki tubulus, cairan ini disebut filtrat. Di dalam
tubulus ini sebagian substansi secara selektif diabsorpsi ulang ke dalam darah,sebagian lagi
disekresikan dari darah ke dalam filtrate yang mengalir disepanjang tubulus. Filtrat ini akan
dipekatkan dalam tubulus distal serta duktus pengumpul, dan kemudian menjadi urin yang
akan mencapai pelvis ginjal. Kemudian urin yang terbentuk sebagai hasil dari proses ini
diangkut dari ginjal melalui ureter ke dalam kandung kemih (tempat sementara urin
disimpan). Pada saat urinasi, kandung kemih berkontraksi dan urin akan diekskresikan dari
tubuh lewat uretra.
Fungsi utama ginjal adalah :
2.2.1 Fungsi Ekskresi
a. Mempertahankna osmolalitas plasma (285 m Osmol) dengan mengubah-ubah
ekskresi air.
b. Mempertahankan kadar elektrolit plasma.
c. Mempertahankan pH plasma (7,4) dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3.
d. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (urea, asam urat
dan kreatinin)
2.2.1 Fungsi Non Ekskresi
a. Menghasilkan renin untuk pengaturan tekanan darah
b. Menghasilkan eritropoietin untuk stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum
tulang
c. Metabolisme vitamin D
d. Degradasi insulin
e. Menghasilkan prostaglandin
Ginjal menerima sekitar 20 % dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter permenit
darah dari 40 % hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.Normalnya 20 %
dari plasma disaring di glomerulus dengan LFG 120 ml/menit atausekitar 170 liter per hari.
Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99 %yang terserap kembali
meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari. Ginjal mendapatkan aliran darah
dari arteri renalis yang merupakan cabanglangsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah
vena dialirkan melalui vena renalisyang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri
ginjal adalah end arteriesyaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-
cabang dari arteri lain,sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,
berakibat.

3.1 Klasifikasi Tumor Ginjal


3.1.1 Nefroblastoma (Tumor Wilms)
Nefroblastoma adalah tumor ginjal yang banyak menyerang anak berusiakurang dari
10 tahun dan paling sering dijumpai pada umur 3,5 tahun. Tumor inimerupakan tumor
urogenitalia yang paling banyak menyerang anak-anak. Kuranglebih 10% tumor ini
menyerang kedua ginjal secara bersamaan. Insiden puncaknyaantara umur 1- 4 tahun.
Anak perempuan dan laki-laki sama banyaknya. TumorWilms merupakan 10% dari
semua keganasan pada anak. Tumor ini mungkinditemukan pada anak dengan kelainan
aniridia, keraguan genitalia pada anak dansindrom Beckwith-Wiedemann (makroglosi,
omfalokel, viseromegah danhipoglikemia neonatal). Satu persen dari tumor Wilms
ditemukan familial danditurunkan secara dominan autosomal. Onkogen tumor Wilms
telah dilokasi padagaris p 13 kromosom 11Nefroblastoma sering dikenal dengan nama
tumor Wilm atau karsinoma selembrional. Tumor Wilm sering diikuti dengan kelainan
bawaan berupa: anridia,hemihipertrofi dan anomali organ urogenitalia.Tumor Wilms
Sinonim: Nefroblastoma (yang berasal dari intrarenal). Definisi: Merupakan bentuk
paling umum keganasan (malignancy) intra Abdominal pada masa anak-anak.
Tumor Wilms adalah tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros.
Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau embrioma renal. Tumor wilms adalah
kanker ginjal yang ditentukan pada anak-anak. Biasanya ditemukan pada anak-anak
kurang dari 5 tahun tetapi kadang ditemukan pada anak yang lebih besar/dewasa.
Tumor Wilms adalah tumor abdomen yang sering ditemukan pada masa kanak-kanak
(biasa dikenal dengan Nefroblastoma ) dan biasanya mengenai parenkim ginjal. (Sue
Hinchliff , 1999 : 465-466)
11The National Wilms Tumor Study Group (NWTSG) membagi 5 stadium tumor
Wilms,yaitu :
a. Stadium I
Tumor terbatas di dalam jaringan ginjal tanpa menembus kapsul. Tumor inidapat di
reseksi dengan lengkap
b. Stadium II
Tumor menembus kapsul dan meluas masuk ke dalam jaringan ginjal dansekitar
ginjal yaitu jaringan perirenal, hilus renalis, vena renalis dan kelenjar limfepara-
aortal. Tumor masih dapat direseksi dengan lengkap
c. Stadium III
Tumor menyebar ke rongga abdomen (perkontinuitatum), misalnya ke
hepar,peritoneum dan lain-lain
d. Stadium IV
Tumor menyebar secara hematogen ke rongga abdomen, paru-paru,otak dan tulang
3.1.2 Etiologi
Tumor Wilms berasal dari proliferasi patologik blastema metanefron akibat tidak
adanya stimulasi yang normal dari duktus metanefron untuk menghasilkan tubuli dan
glomeruli yang berdiferensiasi baik. Perkembangan blastema renalis untuk membentuk
struktur ginjal terjadi pada umur kehamilan 8-34 minggu. Sehinga diperkirakan bahwa
kemampuan blastema primitif untuk merintis jalan ke arah pembentukan tumor Wilms,
apakah sebagai mutasi germinal atau somatik, itu terjadi pada usia kehamilan 8-34
minggu.
a. Faktorgenetik.
Sekitar 1,5% penderita mempunyai saudara atau anggota keluarga lain yang juga
menderita tumor Wilms.
b. Faktor usia.
c. Faktor lingkungan

3.1.3 Manifestasi klinis


Menurut FKUI (1997) tanda dan gejala tumor wilms sebagai berikut :
a. Nyeri perut
Dapat timbul bila terjadi invasi tumor yang menembus ginjal
b. Hematuria
Terjadi karena invasi tumor yang menembus sistem pelveokalises
c. Demam
Terjadi sebagai reaksi anafilaksis tubuh terhadap protein tumor
d. Terkadang pada pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia
Menurut www. combiphar.com gejala dini kanker ginjal sulit dideteksi :
a. Hematuria
b. Rasa tidak enak di perut
c. Perut cukup besar dapat terasa sebagian perutnya membesar dan keras.
Gejala-gejala umum yang disebabkan oleh adanya kanker seperti lesu, lemah,
badan makin kurus, keringat berlebih, demam, pucat dan rasa nyeri dalam perut.
Biasanya adanya tumor dalam abdomen dapat diketahui setelah perut tampak
membuncit dan keras ataupun pada saat anak dimandikan
Gambar : Pembengkakan pada perut
Gejala menurut (www.medicastore.com)
a. Berupa trias (kumpulan tiga) yang khas, yaitu: ada massa di panggul (flank),
hematuria atau ada darah pada saat kencing, dan hipertensi atau tekanan darah
tinggi
b. Paling banyak terjadi pada usia 3 atau 6 tahun
c. Terkadang pada pemeriksaan Laboratorium ditemukan anemia

3.1.4 Patofisiologi
Tumor wilms muncul saat sel yang membentuk ginjal gagal berkembang dan malah
menggandakan diri pada bentuknya yang primitif. Tumor wilms biasanya terlihat jelas
pada anak usia 1-5 tahun. Massa seringkali mengubah ginjal dan memampatkan
jaringan normal menjadi jaringan tipis. Tumor wilms berasal dari parenkim ginjal. Hal
ini menyebabkan perdarahan sehingga saat buang air kecil mengandung darah.
Disamping itu dapat disertai hipertensi karena tumor wilms dapat merangsang aktifitas
renin. (www. Dokterfoto.com). Tumor wilms merupakan tumor ginjal yang muncul
dari parenkim ginjal yang berasal dari tubulus proksimal ginjal, yang biasanya
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya riwayat keluarga, asupan bahan/obat
tertentu. Tumor yang lebih besar akan meluas ke bangunan sekitar menyebabkan
obstruksi vena kava inferior sehingga terjadi asites/edema dan obstruksi usus
(konstipasi). Tumor ini tumbuh cepat. Metastasis terjadi melalui aliran darah ke paru-
paru dan hati. Tumor ini menyebar melalui pembuluh limfe ke nodus retroperitoneal.
Tempat paling umum untuk metastasis ini adalah paru-paru diikuti hati, ginjal. Tumor
ini tidak boleh dipalpasi karena dapat menyebabkan penyebaran tumor ke tempat lain
atau dapat menyebabkan emboli pulmoner. Cara penyebaran bisa secara langsung
menembus ginjal. Kemudian ke jaringan sekitarnya dan melalui pembuluh limfe/vena
renalis. Hal ini dapat mengakibatkan hematuria, anemia, nyeri. Lama kelamaan akan
terbentuk massa di abdomen sehingga timbullah kanker ginjal yang kemudian akan
memproduksi zat yang menyerupai hormone yang dapat mendorong terjadinya
hipertensi.
3.1.5 WOC Tumor Wilms ( Renal )

Kelainan Genetika

Poliferasi patologik blastoma

Tubuli dan glomerulus tidak berdifusi dengan baik


Pada kehamilan

Blastema renalis di janin

Tumor Wilms
Tumor belum
Menembus kapsul ginjal

Berdiferensiasi
Tumor menembus kapsul ginjal MK: Nyeri
Disfungsi ginjal Hematoma Otak
Gangguan glomerulus Gangguan keseimbangan Menyebar ke abdomenParu-
paru
asam basa Kakeksia Sesak Nafas
Gangguan filtrasi Asidosis metabolic Hemi hipertrofi Nutrisi Berkurang
Hematuria cairan banyak keluar Mual dan muntahGang3 Metabolisme

MK:Nafsu makan berkurang Kelelahan


Resiko Kekurangan
CairanMK: Perubahan Nutrisi MK: Intoleran aktifitas
Kurang dari kebutuhan tubuh

Tindakan Operasi
Pre operasi Post operasi
Insisi

Kurang pengetahuan Inkontinuitas jaringan MK.Resti


Keluarga dan anak Perdarahan
MK: AnsietasMK: Nyeri Laserasi
MK: Resiko Infeksi
3.1.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos abdomen
Tampak massa jaringan lunak dan jarang ditemukan klasifikasi di dalamnya,
memperlihatkan suatu ginjal yang membesar dan ireguler
b. Pemeriksaan pielogravi intravena
Memperlihatkan gambaran distorsi , penekanan dan pemajangan susunan pelvis
c. Renoarteiogram
Gambaran arteri yang memasuki masa tumor
d. Pemeriksaan foto toraks
Melihat ada tidaknya metastasis ke paru-paru
e. Pemeriksaan laboratorium darah untuk menilai fungsi hepar dan ginjal
f. Urine
Dapat dijumpai adanya hematuria

3.1.7 Komplikasi
( Charette Jane : 1999)
a. Metastasis ke paru-paru, sum-sum tulang belakang, hati, otak
b. Sesak nafas
c. Efek samping dari kemoterapi dan terapi radiasi (mual, muntah ,suhu tubuh
meningkat, kerontokan rambut)
d. Komplikasi pembedahan (atelektasis, pneumonia, hemoragis)

3.1.8 Pemeriksaan Diagnostik


Tidak ada scanning diagnostic awal yang akurat untuk kanker ginjal. Tes diagnostik
untuk menentukan adanya massa meliputi : urografi ekskretorius (misal : pielogravi
intravena atau IVP) , USG ginjal , Scan CT ginjal dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging).
Gambar : CT-Scan Neuroblastoma

Gambar :Foto hasil MRI

Foto Adrenal Tumor


4.1 Prosedur Penatalaksanaan dan jenis operasi Nefrektomy
4.1.1 Open Nefrektomi
Pada open nephrektomi konvensional, ahli bedah mengambil ginjal melalui insisi
standar dengan panjang 8-12 inchi. Bila memungkinkan, insisi tersebut dibuat di
bagian pinggang untuk memberikan akses ahli bedah terhadap ginjal sehingga
kemungkinan untuk mengganggu organ lain minimal. Akan tetapi, insisi ini
tergantung indikasi berdasarkan kesehatan pasien itu sendiri, insisi dapat dibuat di
depan atau di belakang abdomen.
4.1.2 Laparoskopi Nefrektomi
Pada laparaskopi, 4 insisi kecil dibuat didinding abdomen. Dokter menggunakan
laparaskopi (suatu pipa dengan kamera didalamya untuk memvisualisasikan
bagian tubuh) sebagai panduan instrumen bedah dan untuk melepaskan ginjal.
Open nephrektomi dan laparaskopi dilakukan dengan anatesi umum, sehingga
pasien tidak sadar selama operasi ini. Laparaskopi nephrektomi biasanya
menyebabkan nyeri yang lebih ringan selama periode recoveri daripada
nephrektomi konvensional. Akan tetapi, nephrektomi laporaskopi memerlukan
waktu yang lama daripada open nephrektomi dan memerlukan ahli bedah dengan
kemampuan laparaskopi. Laparaskopi nephrektomi tidak dilakukan pada pasien
dengan scar disekitar ginjal atau pada pasien yang akan dilakukan nephrektomi
radikal.
Posisi pasien dalam operasi nephrektomi adalah posisi flank. Dilakukan dengan
posisi pasien fleksi lateral dengan sisi yang dilibatkan terletak diatas, jadi pada
nephrektomi kiri pasien miring ke lateral kanan dengan sisi kiri diatas. Indikasi
posisi flank adalah penyakit ginjal inflamasi, kalkuli, abses perinephric,
hidronephrosis dan penyakit ginjal kistik.
4.1.3 Nefrektomi Simple
Dilakukan dengan cara menginsisi di pinggang sesuai dengan ginjal yang akan
dilakukan nephrektomi, posisi pinggang tersebut letaknya diatas dengan arah
membuat sudut tajam. Dengan posisi ini meregangkan pinggang pasien dan
membuat ginjal lebih mudah dicapai oleh tim bedah.
4.1.4 Nefrektomi Radikal
Prosedurnya mirip dengan nephrektomi simpel, kecuali insisi sering dibuat di
abdomen bagian depan dan dapat meluas kearah dada bagin bawah. Insisinya
biasanya lebih besar daripada nephrektomi simpel, terutama jika pembedahan itu
diperlukan untuk mengeluarkan tumor ginjal besar yang meliputi bagian atas
ginjal. Pada nephrektomi radikal limponodi dan kelenjar adrenal sekitarnya
diangkat juga bersamaan dengan ginjalnya.
Strategi penatalaksanaan tergantung pada luasnya penyakit yang didiagnosis.
Penyakit local yang terlihat hanya pada ginja, seringkali dapat disembuhkan
dengan pembedahan nefrektomi. Pada tumor wilms, ginjal yang terkena dan
nodus limfa sekitarnya diangkat. Pembedahan nefroktomi dapat meningkatkan
kualitas hidup dengan menghilangkan nyeri dan mengatasi anemia pada pasien
dengan hematuria. Nyeri di lesi metastase tulang mungkin dapat dihilangkan
dengan radioterapi. Kemoterapi belum mempunyai dampak secara bermakna pada
tumor wilms. Terapi hormonal dengan progesteron, depo-provera dan magestrol
asetat telah memperlihatkan hasil dengan laju respon 15%. Imunoterapi telah
memperlihatkan laju respon paling baik saat ini, dalam mengobati karsinoma
ginjal fase lanjut. Pengobatan dengan agen biologis ini dikaitkan dengan toksisitas
yang sering muncul dengan imunoterapi, yang meliputi:
a. Demam
b. Menggigil
c. Sindrom seperti flu
d. Sakit kepala
e. Anoreksia
f. Keletihan
Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan dosis besar berkaitan
dengan peningkatan dan beratnya gejala tersebut.
(Charette Jane, 1999)
a. Pembedahan (operasi)
b. Penyinaran (radioterapi)
c. Pemakaian obat-obatan pembunuh sel kanker (sitostika/kemoterapi)
d. Peningkatan daya tahan tubuh (imunoterapi)

5.1 Konsep Dasar Anestesi Umum


5.1.1 Pengertian
Anestesi Umum Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan anestesi
regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu inhalasi
dan intravena.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Dalam
memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan
lain-lain.
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari trias
anestesi :
a. Hipnotik
b. Analgesia
c. Relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar ke
jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui
stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah
terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan zat
anestesi yang mudah menguap) sebagai berikut :
a. Stadium I yaitu analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran
b. Stadium II yaitu excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi
teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah
c. Stadium III yaitu dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi
Dibagi 4 plane:
1) Plane 1 yaitu dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya pergerakan
bola mata
2) Plane 2 yaitu dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya paralisis
interkostal
3) Plane 3 yaitu dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis interkostal
4) Plane 4 yaitu dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma
d. Stadium IV yaitu overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac
arrest
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan
lain-lain.

5.1.2 Persiapan Pra Anestesi


Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan
baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut.
Adapun tujuan pra anestesi adalah :
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
1) ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%
2) ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atauproses patofisiologis. Angka mortalitas 16%
3) ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%
4) ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%
5) ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /
dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito, ASA ditambah
huruf E (Emergency) tanda darurat

5.1.3 Macam Macam Teknik Anestesi


a. Open Drop Methode
Cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap, peralatan sangat
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b. Semi Open Drop Methode
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat
anestetik , digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap
kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume
fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.
c. Semi Closed Methode
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan
kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat anestetik dapat
ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara luar.
Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu
dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh
gas flow kurang dari 100 % kebutuhan
d. Closed Methode
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan melalui
soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang mengandung anestetik
dapat digunakan lagi
Pada kasus isi dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa keuntungan,
yaitu:
a. Konsentrasi inspirasi relatif konstan
b. Konservasi panas dan uap
c. Menurunkan polusi kamar
d. Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar

5.1.4 Premedikasi Anestesi


Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :
a. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam
b. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. Memberikan analgesia, misal : pethidin
e. Mencegah muntah, misal : droperidol
f. Memperlancar induksi, misal : pethidin
g. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
i. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropindan hoisin
Macam Macam Obat Premedikasi :
a. Golongan Opioid
1) Tujuan mempunyai efek analgetik yang sangat kuat, mengurangi rasa nyeri saat
pembedahan
2) Efek samping dapat menyebabkan depresi pernapasan, mual, muntah,
vasodilatasi pembuluh darah yang dapat menyebabkan hipotensi
3) Jenis obat opioid
a) Pethidin
Petidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat
diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan dimedula yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2, mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik
pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut
Sediaan dalam ampul 100 mg / 2cc.
Dosis : 0,5 1 mg / kg BB
Pemberian : IV & IM
b) Morphine
Morphin digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang
tidak dapat diobati dengan analgesik non opioid. Apabila nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan juga semakin besar .Morphin sering digunakan
untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark miokard, neoplasma, kolik
renal atau kolik empedu, okulasi akut pembuluh darah perifer,pulmonal atau
koroner,perikaditis akut, pluritis dan pnumotorak spontan, nyeri akibat
trauma misalnya luka bakar, frakturdan nyeri pasca bedah.
Morphin dapat menyebabkan depresi pernafasan, nausea, vomitus, mental
berkabut, disforia, pruritus, kontipasi kenaikan tekanan pada traktus bilier,
retensi urin,
Sediaan dalam ampul 10 mg/ 1cc.
Dosis : 0,1 0,2 mg / kg BB ( IM )
b. Golongan sedasi
1) Tujuan memberikan rasa nyaman dan tenang, mengurangi kecemasan, amnesia
retrograde
2) Jenis Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin
kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan
premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika
sebelumnya Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang
dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama
anestesi. Obat ini dikontra indikasikan pada keadaan sensitive terhadap
golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-
angle glaucoma. Midazolam mempunyai efek samping :
1. Efek yang berpotensi mengancam jiwa :
Midazolam dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular,
iritabilitas pada ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut
jantung.
2. Efek yang berat dan ireversibel :
Selain depresi SSP yang berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan
efek samping yang ireversibel
3. Efek samping simtomatik :
Agitasi, involuntary movement, bingung,pandangan kabur, nyeri pada tempat
suntikan, tromboflebitis dantrombosis. Midazolam dapat berinteraksi dengan
obat alkohol, opioid, simetidin, ketamin
3) Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum
tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau
analgesik. Dosis : 0,07 0,1 mg / kg BB ( IM )
Anak - anak : 0,05 mg/ kg BB secara IM
c. Golongan antikolinergik
1) Tujuan mencegah terjadinya efek bradicardia dari obat-obatan anasthesi lain,
mengurangi produksi saliva, mengurangi resiko terjadinya reflek vagal.
2) Jenis Sulfas Atropin, Dosis : 0,01 0,02 mg / kg BB ( IM )
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk mengurangi
sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Efek
lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan
spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga
menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik
tidak diberikan pra anestesi local maupun regional. Dalam dosis toksik dapat
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien.
Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 12 mg intravena.
a) Sediaan dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5mg.
b) Dosis 0,01 mg/ kgBB.
c) Pemberian SC, IM, IV

5.1.5 Induksi
a. Propofol
1) Induksi Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.
2) Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai
plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol
yang berkesinambungan dengan opiat,N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
3) Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer dari pada penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal.
4) Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan,
apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat
adanya sakit kepala, pusing, euforia,kebingungan, kejang, mual dan muntah.

b. Tiopenthal
a. Indikasi
Obat induksi, suplementasi dari anestesi regional, antikonvulsan, pengurangan
dari tekanan intracranial, proteksi serebral ( narcosis barbiturate )
b. Dosis
Induksi IV 3 5 mg/kgbb ( dewasa )
Induksi IV 5 6 mg/kgbb ( anak )
Induksi IV 7 8 mg/kgbb ( bayi )
Suplementasi anestesi IV 0,5 1 mg/kgbb
Infuse 0,05 0,35 mg/kgbb/menit
c. Onset
10 20 detik
d. Duration
2 5 menit
e. Efek samping
Depresi sirkulasi, aritmia, depresi pernapasan, apnoe, laringospasme,
bronchospasme, mual, muntah, urtikaria, reaksi anafilaktik
c. Ketamin
a. Indikasi
Anestetik disosiatif, induksi dan pemeliharaan anestesi, khususnya pada pasien
hipovolemik atau beresiko tinggi, satu satunya anestetik untuk prosedur bedah
singkat.
b. Dosis
Sedasi atau alagesia 0,5 1 mg/kgbb IV
Induksi 1 2 mg/kgbb IV
c. Onset
< 30 detik
d. Duration
5 15 menit
e. Efek samping
Hipertensi, tachicardi, hipotensi, aritmia, bradikardi, depresi pernapasan, apnoe,
laringospasme, hipersalivasi, mual, muntah, delirium bangkitan

5.1.6 Obat Muscle Relaxan


Obat muscle relaxan adalah obat pelumpuh otot yang bekerja pada otot bergaris / otot
lurik, sehingga akan terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot otot mandibulla, otot
intercostalis, otot abdominal, dan relaksasi otot ekstremitas. Pada pemberiannya
pastikan penderita dapat diberi napas buatan.
Pelumpuh otot di bagi 2 yaitu depolarisasi dan non depolarisai :
a. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak
dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan
terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot
lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium.
Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini di temukan pada kehamilan, penyakit
hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang. Interaksi obat Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block
pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat
kolinesterase maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi
akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.

b. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


1) Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja pada
menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi pada
pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg waktu
diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada
dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
2) Atracurium
a) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
b) Dosis
Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative
0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.Lebih cepat durasinya pada anak
dibandingkan dewasa.Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan
dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada
suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
c) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
3) Vekuronium
a) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan
lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai
efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
b) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang
dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit
3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan
sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan
pelemas otot memperpanjang penggunaan.
c) Dosis
Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg
setiap 15 20 menit. Drip 1 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien
post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
4) Rokuronium
1. Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan
kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih
lama.
2. Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar
berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien
orang tua menunjukan prolong durasi
3. Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9 mg /
kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4
mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2
mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk
intubasi. Tapi tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk
drip 5 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
4. Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1
mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum
suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
Jenis pelumpuh berdasarkan durasi :
1. Ultrashort ( 5 10 menit ) = suksinilkolin
2. Short acting ( 10 15 menit ) = mivakurium
3. Medium acting ( 15 30 menit ) = atrakurium (Dosis 0,5 mg / kg BB,
iv), vecuronium ( Dosis 0,12 mg / kg BB, iv), rocuronium (Dosis 0,6
1,2 mg / kg BB,iv)
4. Long acting ( 30 120 menit ) = pancuronium, metokurin, doksakurium
5.1.7 Maintanance Obat Inhalasi
a. Halotan
Anasthesi inhalasi berbentuk cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, tidak
mudah terbakar, berbau harum tapi mudah terurai cahaya.
Efek dari halotan :
1) Tidak merangsang saluran pernapasan
2) Depresi napas pada stadium analgetik
3) Menghambat salivasi
4) Hipnotik kuat, analgetik kurang baik, relaksasi cukup
5) Mencegah spasme laring dan bronchus
6) Vasodilatasi pembuluh darah otak
7) Meningkatkan aktivitas vagal menyebabkan vagal refleks
8) Menghambat kontraksi otot rahim
9) Pemberian berulang beresiko kerusakan pada hepar
10) Dapat digunakan sebagi obat induksi dan maintenance
11) 1 MAC = 0,75 %
b. Isofluran
Anasthesi inhalasi berbentuk cairan yang tidak berwarna, berbau tajam, tidak
mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya, tidak merusak logam,merupakan isomer
dari enfluran.
1) Efek dari isoflurane
2) Efek bronchodilator tapi tidak kuat
3) Mempunyai bau yang tajam sehingga pasien merasa tidak nyaman
4) Menimbulkan depresi ringan pada jantung
5) Dalam waktu 7 -10 menit biasanya sudah mencapai stadium pembedahan
anasthesi
6) 1 MAC = 1,15 %
c. Sevofluran
Anasthesi inhalasi berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak
iritatif, tidak korosif, tidak mudah terbakar, dan stabil terkena matahari
Efek dari sevoflurane :
1) Menimbulkan relaksasi pada anak
2) Pada sistem kardiovaskuler sedikit menimbulkan depresi kontraksi jantung
3) Memicu bronchospasme
4) 1 MAC = 2%

5.1.8 Obat Obat Emergency


a. Adrenalin
1) Indikasi
a) Asistol
b) PEA
c) VF/VT pulseses
d) Severe
e) Hipotensi
f) Bradikardi
2) Dosis
1 mg tiap 3-5 menit IV
Intratracheal 3x dosis IV diencerkan 10 ml (tidak direkomendasikan )
b. Sulfas Atropin
1) Indikasi
Bradikardi (denyut nadi < 60x/mnt )
2) Dosis
0,5 1 mg (total 3 mg), < 0,5 mg justru menyebabkan bradikardi
c. Lidocain
1) Indikasi
VF & VT bila tidak ada amiodaron, PVC
2) Dosis
2 mg / kgbb tiap 3-5 mnt, Maksimal 3 mg/kgbb
d. Efedrin
1) Indikasi
Hipotensi systole < 90 mmhg
2) Dosis
Bolus IV 5 10 mg

5.1.9 Intubasi Endotracheal


Intubasi Endotrakeal Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea,sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
a. Tujuan Intubasi Endotrachal
1) Mempermudah pemberian anestesi
2) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
3) Mencegah kemungkinan aspirasi lambung
4) Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
5) Pemakaian ventilasi yang lama
6) Mengatasi obstruksi laring akut
b. Indikasi Intubasi Endotracheal
1) Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui masker nasal.
2) Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
3) Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
4) Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
5) Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
6) Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena
pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask
tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
7) Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan
tidak ada ketegangan.
8) Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan
tekanan intra pulmonal.
9) Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
10) Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
11) Tracheostomni.
12) Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
13) operasi dengan posisi miring/ tengkurap
14) operasi dengan resiko tinggi
15) operasi dengan lambung penuh
16) terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)
c. Kontra Indikasi Intubasi Endotracheal
1) Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus
2) Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
d. Persiapan Alat
1) Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
2) Blade lengkung ( McIntosh ) dewasa
3) Blade lurus ( blade Miller ) bayi dan anak-anak
4) Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk
yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah
kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff)
pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah
trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal
untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak
Rumus yang di pakai :

diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)

Rumus lain: (umur + 2)/2

Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)


Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih
besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan
dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
5) Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
6) Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
7) Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan
untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui
orofaring.
8) Alat pengisap atau suction.
9) Tampong
10) Xilocain spray
11) Salep mata
12) Kasa
13) Gunting
e. Mesin Anestesi
Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara :
1) Hubungkan kabel listik dengan sumber listrik.
2) Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan Outlet sumber oksigen
3) Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
4) Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve, kembangkan bag dengan
5) flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba pompa bag dan cari apakah ada
kebocoran dari bag, sambungan, atau currogate
6) Soda lime ( bila warna sudah berubah harus diganti )
7) Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi
f. Suction
1) Sambungkan dengan sumber listrik
2) Cek Kelengkapannya meliputi: selang suction, tabung penampung
3) kateter suction dengan diameter 1/3 diameter ETT, ujungnya harus tumpul dan
lubang lebih dari satu.
4) Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult 200 mmHg pediatric
100 mmHg dan bayi 60 mmHg )
g. Prosedur Tindakan Intubasi
1) Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang
cukup keras atau botol infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus
2) Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2
menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan
kanan
3) Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari
sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan bentuk huruf V
4) Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,
sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior
sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet
dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan
blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester
5) Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di
pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang
timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat
ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin
lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut
dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup
6) Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan
h. Komplikasi Intubasi Endotracheal
1) Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a) Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff
b) Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa
mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal
c) Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring
2) Malfungsi tuba berupa perforasi cuff
i. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
1) Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
2) Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung.
3) Malfungsi tuba berupa obstruksi.
j. Komplikasi setelah ekstubasi.
1) Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea),
suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan
aspirasi laring.
2) Gangguan refleks berupa spasme laring.
k. Syarat Ekstubasi
1) Insufisiensi nafas (-)
2) Hipoksia (-)
3) Hiperkarbia (-)
4) Kelainan asam basa (-)
5) Gangguan sirkulasi ( TD turun tidak ada, perdarahan tidak ada )
6) Pasien sadar penuh
7) Mampu bernafas bila diperintah
8) Kekuatan otot sudah pulih
9) Tidak ada distensi lambung

5.1.10 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang.
a. Tujuan Terapi Cairan
b. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi
c. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yangdiberikan
Pemberian Cairan Terbagi
a. Pra Operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %
b. Durante Operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 4 ml/kgBB/jam
2) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
3) Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Post Operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisitcairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. .

5.1.11 Pemulihan Pasca Anestesi


Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recoveryroom yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan kebangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Aldrete Scoring Sistem ( General Anestesi )


1) Gerakan Badan
a. Menggerakan 4 ekstremitas ...............................................................................2
b. Menggerakan 2 ekstremitas................................................................................1
c. Tidak Mampu Menggerakan 2 ekstremitas........................................................0
2) Pernafasan
a. Bisa menarik nafas dalam dan batuk bebas.......................................................2
b. Dispneu atau limitasi bernafas ..........................................................................1
c. Apnea / tidak bernafas ......................................................................................0
3) Sirkulasi
a. TD +/- 20 mmHg dari normal ...........................................................................2
b. TD +/- 20 50 mmHg dari normal ...................................................................1
c. TD +/- > 50 mmHg dari normal........................................................................0
4) Warna kulit
a. Merah jambu .....................................................................................................2
b. Pucat .................................................................................................................1
c. Sianosis .............................................................................................................0
5) Kesadaran
a. Sadar penuh ......................................................................................................2
b. Respon terhadap panggilan ...............................................................................1
c. Tidak ada respon ...............................................................................................0
Total skor > 8 keluar RR

Bromage Scoring System ( Spinal Anestesi )


1) Lengkap ( lutut dan kaki tidak bisa digerakan )....3
2) Hampir Lengkap ( hanya telapak kaki dapat bergerak )....2
3) Parsial ( hanya sampai lutut yang dapat bergerak )...1
4) Tidak Ada ( secara reflek lutut dan kaki dapat bergerak )....0
Jika skor 2 keluar RR
Steward Scoring System ( General Anestesi Pada Anak )
1) Pernapasan
a. Batuk, menangis......2
b. Pertahankan jalan napas...1
c. Perlu bantuan...0
2) Kesadaran
a. Menangis.2
b. Bereaksi terhadap rangsangan.1
c. Tidak bereaksi..0
3) Aktifitas
a. Gerak bertujuan..2
b. Gerak tak bertujuan1
c. Tidak bergerak0
Jika Jumlah > 5 Keluar RR

5.1.12 Regional Epidural Anestesi


a. Pengertian
Anestesi epidural merupakan teknik anestesi neuraxial yang menawarkan aplikasi
yang lebih luas dibanding anestesi spinal yang memakai prinsip all or nothing.
Blok epidural dapat dilakukan pada tingkat lumbal, thorakal, atau servikal.
Anestesia epidural pada regio sakral dianggap sebagai blok kaudal dan akan
dijelaskan pada akhir bab ini. Teknik epidural digunakan secara luas untuk
anestesia intraoperatif, analgesia obstetrik, kontrol nyeri postoperatif dan
penanganan nyeri kronik. Anestesi epidural dapat digunakan sebagai single shot
teknik atau dengan kateter untuk memungkinkan bolus intermitten dan atau infus
kontinu. Blok motorik dapat berkisar dari tidak ada hingga komplit. Semua
variabel ini dikontrol oleh pemilihan obat, konsentrasi, dosis dan lokasi
penyuntikan.
Ruang epidural dibatasi oleh dura mater di posterior, lateral dan anterior. Serabut
saraf berjalan dalam ruang ini begitu keluar secara lateral melalui foramen
sebelah luar. Kandungan lainnya termasuk jaringan pengikat lemak, limfatik dan
plexus venosus (Batson). Pemeriksaan fluoroskopik terbaru menunjukkan adanya
septum atau jaringan pengikat. Pertambahan umur menyebabkan penurunan
jaringan adiposa dalam epidural.
Anastesi epidural memiliki onset yang lebih lambat (10-20 menit) dan biasanya
tidak sekuat anestesi spinal. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai differential blok
atau blok segmental, suatu gambaran yang dapat berguna secara klinis. Sebagai
contoh, dengan menggunakan larutan anastesi lokal yang digabung dengan opiat,
epidural dapat memblok simpatis yang lebih kecil dan serat-serat sensorik, bila
pada serabut motorik yang lebih besar hanya menghasilkan analgesia tanpa blok
motorik. Hal ini sering dilakukan pada analgesia persalinan dan analgesia
postoperatif. Selain itu, blok segmental mungkin terjadi karena zat anastetik tidak
disebarkan secara cepat oleh cairan serebrospinalis dan bertahan pada area yang
dekat dengan area penyuntikan. Blok segmental ditandai oleh zat-zat anastesi
yang terikat pada serabut saraf tertentu, sementara serabut-serabut di bawah dan
di atasnya tidak. Hal ini dapat terlihat pada epidural torakal yang memberikan
efek anastesia pada abdomen bagian atas sementara kurangnya efek anestesia
pada serabut-serabut saraf servikal dan lumbal.
Epidural lumbal merupakan lokasi insersi anastesis yang paling sering digunakan
untuk anestesia dan analgesia epidural. Pendekatan secara midline dan
paramedian dapat digunakan. Anestesia epidural lumbal dapat digunakan untuk
prosedur yang dilakukan di bawah diaphragma. Karena medulla spinalis
umumnya berakhir pada tingkat L1, maka lebih aman melakukan blok pada
interspace lumbal bawah, khususnya bila terjadi tusukan dural yang tidak
disengaja.
Blok epidural thorakal secara teknik lebih sulit dilakukan dibanding blok lumbal
dan beresiko trauma medula spinalis, walaupun kemungkinannya sangat kecil
dengan teknik yang baik, lebih besar dibanding pada tingkat lumbal. Teknik ini
dapat pula dilakukan dengan pendekatan midline atau paramedian. Beberapa
dokter merasa bahwa pendekatan paramedian lebih mudah karena adanya oblik
yang ekstrim pada procesus spinosus thorakal. Jarang digunakan sebagai anestesi
primer, teknik epidural thorakal merupakan yang paling sering digunakan untuk
analgesia intra dan postoperatif. Teknik single shoot atau kateter digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri kronik. Infus melalui kateter epidural sangat berguna dalam
memberikan efek analgesi dan ventilasi postoperasi yang lebih singkat untuk
pasien dengan penyakit paru dan operasi di daerah dada. Blok servikal biasanya
dilakukan dengan cara duduk. Leher difleksikan dan menggunakan pendekatan
midline. Secara klinis, digunakan untuk penanganan nyeri.

b. Jarum Epidural
Jarum epidural standar biasanya adalah 17-18. Panjang 3 atau 3,5 inci, bevel
tumpul dengan lengkungan 15-30 pada ujungnya. Jarum Tuohy adalah yang
paling sering digunakan (Gb.16-11). Ujung yang tumpul dan lengkung membantu
mendorong dura setelah melewati ligamentum flavum sehingga tidak dapat
menembusnya. Jarum lurus tanpa ujung lengkung (jarum Crawford) memiliki
insidens terjadinya tusukan dura yang tinggi. Namun mempermudah pemasangan
kateter epidural. Modifikasi jarum termasuk yang memiliki wing tip dan
introduser didesain untuk menentukan penempatan kateter.

c. Kateter Epidural
Menempatkan kateter di dalam ruang epidural memungkinkan infus kontinu atau
teknik bolus intermitten. Di samping memperpanjang durasi blok, hal ini juga
memungkinkan dosis total obat anestesi yang digunakan lebih rendah dan karena
itu lebih mengurangi efek gangguan hemodinamik saat diberikan initial dose.
Kateter epidural berguna untuk anestesi epidural intraoperatif atau analgesia
postioperatif. Biasanya, kateter ukuran 19 atau 20 dimasukkan melalui jarum
epidural ukuran 17 atau 18. Saat menggunakan jarum ujung melengkung, bevel
diarahkan ke kranial atau ke kaudal dan kemudian kateter didorong 2-6 inci ke
dalam ruang epidural. Semakin pendek jarak kateter di dorong, semakin mudah
kateter terdorong dan tercabut. Sebaliknya, semakin jauh kateter di dorong,
semakin tinggi kesempatan blok-blok unilateral kemungkinan akibat ujung kateter
meninggalkan ruang epidural melalui foramen intervertebrata atau masuk ke
dalam recessus lateral dari ruang epidural. Setelah memasukkan kateter
kekedalaman yang diinginkan, jarum ditarik keluar meninggalkan kateter di
tempat. Kateter diisolasi atau diamankan sepanjang punggung. Kateter memiliki
lubang masuk tunggal pada bagian distal atau untuk memudahkan insersi. Kawat
spiral yang memperkuat membuat kateter tidak mudah tertekuk. Ujung spiral ini
berkaitan dengan kurangnya insidens parasthesia, serta disersi intravaskuler.

d. Teknik Anestesi Epidural


Dengan menggunakan pendekatan midline atau para median, jarum epidural
dilewatkan dari kulit menembus ligamentum flavum. Pada anestesia epidural
diharapkan jarum terhenti sebentar saat menembus ligamentum flavum untuk
menghindari terjadinya penetrasi pada dura. Dua teknik yang ada untuk
mengenali saat jarum telah memasuki ruang potensial epidural adalah : teknik
hanging drop atau loss of resistance.
Teknik loss of resistance lebih sering digunakan oleh para dokter. Jarum
ditusukkan menembus jaringan subkutan dengan stylet ditempat sampai
ligamentum intraspinosum dimasuki yang ditandai oleh peningkatan resistensi
jaringan . Stylet atau introduser dikeluarkan dan syringe kaca yang berisi kurang
lebih dari 2 ml cairan atau udara yang ditancapkan di poros jarum. Bila jarum
berada dalam ligamentum akan terasa tahanan ringan dan injeksi tidak dapat
dilakukan. Jarum semakin di dorong perlahan-lahan millimeter per millimeter,
baik dengan cara kontinu atau cepat mengulangi tusukan. Begitu jarum memasuki
ruang epidural terdapat resistensi yang hilang tiba-tiba dan suntikan mudah
dilakukan.
Pada teknik hanging drop, begitu jarum masuk kedalam ligamentum
interspinatum dan stylet dikeluarkan, poros jarum diisi dengan larutan sehingga
tetesan menggantung di bagian luar. Jarum kemudian di dorong lebih dalam
secara perlahan-lahan. Begitu ujung jarum berada dalam ligamentum ruang
epidural terjadi tekanan negatif dan tetesan cairan terisap masuk ke dalam jarum.
Bila jarum menjadi tertancap tetesan tidak akan tenggelam ke dalam poros jarum
dan tusukan dural secara tidak sengaja bisa terjadi. Beberapa dokter lebih suka
menggunakan teknik ini untuk pendekatan paramedian dan untuk epidural
servikal.

e. Mengaktifkan Epidural Anestesi


Kuantitas (volume dan konsentrasi) anestesi lokal yang diperlukan untuk anestesi
epidural relatif lebih besar dibanding anestesi spinal. Toksisitas yang signifikan
dapat terjadi bila jumlah ini disuntikkan secara intratekal atau intravaskuler.
Untuk menghindari hal ini diperlukan test dose epidural dan dosis tambahan. Hal
ini benar dilakukan bila suntikan melalui jarum atau melalui kateter epidural.
Test dose di desain untuk mendeteksi adanya penyuntikan subarachnoid dan
penyuntikan intra vaskuler. Test dose klasik yaitu menggabungkan anestesi lokal
dan epinefrin biasanya 3 ml lidokain 1,5% dengan 1:200.000 epinefrin (0,005
mg/ml). 45 mg lidokain bila disuntikkan secara intratekal, akan menghasilkan
anestesia spinal yang segera tampak. 15 g epinefrin, bila disuntikkan secara
intervaskuler, akan meningkatkan denyut jantung (20% atau lebih). Beberapa
menyarankan dosis anestesi local yang lebih rendah, karena suntikan 45 mg
lidokaine intrakekal sulit untuk diatur pada beberapa area seperti kamar bersalin.
Sama halnya, epineprin sebagai pertanda penyuntikan intravena tidak ideal.
Positif palsu dapat terjadi (kontraksi uterus menyebabkan nyeri dan peningkatan
denyut jantung bersamaan dengan pemberian test dose) begitu pula negatif palsu
(pasien minum -bloker). Fentanyl dianjurkan sebagai test dose, dan dosis
anestesi lokal tanpa epinefrin.
Beberapa menganggap bahwa aspirasi sebelum penyuntikan perlu untuk
menghindari penyuntikan intra vena. Namun, beberapa ahli berpengalaman
menghandari terjadinya negatif palsu dengan aspirasi melalui jarum dan kateter.
Incremental dosis adalah metode yang sangat efektif untuk menghindari
komplikasi serius. Bila aspirasi negatif, fraksi dari dosis total anestesi lokal
disuntikkan, biasanya 5 ml. Dosis ini harus cukup besar bahwa penyuntikan
intravaskuler gejala ringan terjadi tetapi cukup kecil untuk menghindari kejang
atau gangguan kardiovaskuler. Hal ini penting khususnya pada labor epidural
yang digunakan untuk sectio cesarean. Bila bolus awal labor epidural diberikan
melalui jarum dan kemudian kateter dimasukkan, kemungkinan posisi kateter
sudah baik karena sejak bolus awal pasien sudah merasa nyaman. Bila kateter
dimasukkan secara intravaskuler atau berpindah ke intravaskuler, toksisitas
sistemik akan terjadi bila anestesi dosis penuh disuntikkan. Kateter dapat
berpindah secara intratekal atau intravaskuler dari posisi epidural yang sudah
tepat setelah penempatan awal. Beberapa kasus perpindahan letak kateter
mungkin lambat diketahui.
Bila seseorang menggunakan initial tes dose, perlu dilakukan aspirasi setiap
penyuntikan dan selalu menggunakan incremental dosis, toksisitas sistemik yang
signifikan dan penyuntikan intratekal yang tidak tepat jarang terjadi.

f. Zat Anestesi
Zat anestesi epidural dipilih berdasarkan dampak klinisnya, apakah ia digunakan
sebagai anestesi primer atau digabung dengan anestesi umum, atau untuk
analgesia. Untuk antisipasi durasi prosedur mungkin memerlukan anastetik
single-shot kerja lama atau kerja singkat atau dengan pemasangan kateter
epidural. (Tabel 16-6). Pada umumnya menggunakan zat-zat kerja singkat sampai
sedang yang sering digunakan untuk anestesi pembedahan termasuk lidokain 1,5-
2%, Chlorpocaine 3% dan mepivacaine 2%. Zat-zat kerja lama termasuk
bupivacaine 0,5-0,75%, ropivacaine 0,5-1% dan etidocaine. Pengalaman dengan
levobupivacaine, S-Enantioners bupivacaine yang kurang toksik, masih kurang.
Hanya larutan anestesi lokal yang bebas pengawet atau khususnya yang sudah
diberi label untuk epidural atau kaudal yang dibolehkan.
Setelah bolus awal persegmen 1-2 ml (dalam dosis terpisah), ulangi pemberian
dosis melalui kateter epidural dilakukan dalam interval waktu, berdasarkan
pengalaman para ahli dengan zat atau saat blok memperlihatkan beberapa derajat
regresi. Waktu regresi 2 segmen adalah gambaran khas dari setiap anestesi lokal
dan diartikan sebagai waktu yang diperlukan untuk level sensorik untuk
berkurang 2 tingkat dermatom. (Tabel 16-7). Saat regresi 2 segmen terjadi,
seseorang secara umum aman untuk diberikan ulang 1/3 sampai dosis aktivasi
awal.
Harus diingat bahwa chlorprocaine, suatu ester dengan onset cepat, durasi singkat
dan toksisitas yang rendah, dapat dengan efek analgesik dari opiat epidural.
Formula chloroprocain yang lama dengan pengawet khususnya bisulfat dan
EDTA terbukti menimbulkan masalah. Preparat bisulfat menyebabkan
neurotoksik bila disuntikkan dalam volume besar secara intratekal, sementara
formula EDTA terkait dengan nyeri punggung berat (kemungkinan karena
hipokalsemia lokal). Preparat chlorprocain terbaru bebas pengawet dan tanpa
komplikasi.

g. Faktor yang mempengaruhi blok


Faktor-faktor yang mempengaruhi level anestesia epidural mungkin tidak dapat
diprediksikan sebagaimana anestesi spinal. Pada orang dewasa, anestesi lokal
antara 1-2 ml persegmen secara umum menurut protokol pelaksanaan.
Contoh: untuk mencapai tingkat sensorik T4 dari penyuntikan pada L4 L5
memerlukan sedikitnya 12-24 ml. Untuk blok analgesik atau segmental,
memerlukan volume yang lebih sedikit.
Dosis yang diperlukan untuk mencapai tingkat anestesi yang sama berkurang
sesuai dengan umur. Hal ini mungkin berhubungan dengan adanya pengurangan
dalam ukuran atau kemampuan ruang epidural terkait dengan umur seseorang.
Karena larutan anestesi lokal melalui foramen intervertebra cenderung membatasi
penyebaran anestesi lokal ke kranial, penyempitan foramina intervertebra yang
terkait dengan umur dianggap sebagai penyebab, namun hal ini masih
diperdebatkan. Sementara terdapat sedikit hubungan antara berat badan dan dosis
yang diperlukan, tinggi pasien mempengaruhi lamanya penyebaran ke arah
kranial. Kemudian, pasien yang lebih pendek mungkin hanya memerlukan 1 ml
anestesi lokal per segmen untuk diblok, sementara pasien yang lebih tinggi
umumnya memerlukan 2 ml per segmen. Meskipun kurang cepat dibanding
anestesi spinal, penyebaran anestesi lokal epidural cenderung dipengaruhi oleh
gravitasi. Posisi lateral dekubitus. Trendelenburg dan kontra Trendelenburg, dapat
digunakan untuk membantu mencapai blok pada dermatom yang diinginkan.
Penyuntikan pada posisi duduk tampaknya menggunakan lebih banyak anestesi
lokal pada serabut saraf L5-S1 dan S2 dan yang lebih besar; kegagalan anestesia
atau tidak terbloknya dermatom-dermatom tersebut, kadang-kadang terjadi pada
anestesia epidural lumbal.
Penambahan pada anestesi lokal, khususnya opioid cenderung memiliki efek yang
lebih besar terhadap kualitas anestesia epidural daripada durasi blok. Epinefrin
dalam konsentrasi 0,005 mg/ml memperpanjang efek lidokain epidural,
mepivacaine dan chlorprocaine lebih daripada bupivacaine, etidocaine dan
ropivacaine. Selain itu, untuk memperpanjang durasi dan meningkatkan kualitas
blok, epinefrin mengurangi absorbsi vaskuler dan kadar puncak dalam darah dari
anestesi lokal yang diberikan melalui epidural. Phenylephrine secara umum
kurang efektif dibanding epinefrin sebagai vasokonstriksi untuk anestesi epidural.

6.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


6.1.1 Pengkajian
a. Identitas
b. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan diperlukan sebagai persiapan umum seperti persiapan finansial
sangat bergantung pada kemampuan pasien yang akan mejalankan proses
pembedahan. Sebelum dilakukan operasi sebaiknya pasien dan keluarga sudah
mendapatkan penjelasan dan informasi terkait masalah finansial, mulai dari biaya
operasi hingga pemakaian alat tambahan
c. Persiapan Informed Consent
Dilakukan sebelum dilaksanakanya tindakan. Pasien dan keluarga harus
mengetahui perihal prosedur operasi, jenis operasi, dan prognosis dari hasil
pembedahan. Pastikan bahwa pasien/ keluarga dan dokter sudah menandatangani
isi dari informed consent.
d. Keluhan utama
Nyeri pada daerah perut bawah
e. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien datang dengan keluhan nyeri perut bawah menjalar kepinggang
f. Riwayat penyakit dahulu
Adanya hipertensi , penyakit jantung ( berpengaruh dalam sistim sirkulasi dan
pemberian anastesi) dan diabetes melitus ( berpengaruh terhadap fase
penyembuhan luka)
g. Riwayat Alergi
Adanya alergi terhadap berbagai obat yang memungkinkan diberikan selama fase
intraoperatif.
h. Riwayat Pemakaian Obat
Dapat memberikan informasi untuk penanganan perioperatif. Terapan steroid baik
yang baru maupun dimasa lalu, dapat memperburuk kemampuan tubuh menhadapi
stres operasi. Pasien dengan kronis (mis. Artritis reamtoid penyakit paru akut)
sering mendapat pengobatan kortikosteroida untuk mengontrol gejala.
Kortikosteroid perlu diberikan preoperatif. Intraoperatif dan pascaoperatif agar
kadar kortikosteriod dapatt adekuat dan mencegah terjadinya insufiensi adrenal
karena supresi fungsi adrenal. Penggunaan obat-obatan yang lain seperti
antikoagulan, obat kardiovaskuler, dan insulin, perlu didokumentasi dan dibahas
bersama ahli bedah dan ahli anestesiologi agar penanganannya adekuat
i. Kebiasaan Merokok, Alkohol, dan Narkoba
Pasien perokkok memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalai komplikasi
paru-paru pascaoperasi. Perokok kronik telah mengalami peningkatan jumlah dan
ketebalan sekresi lendir pada paru-parunya. Anestesi umum akan mingkatkan
iritasi jalan napas dan merangsang sekresi pulmonal, karena sekresi tersebut akan
dipertahankan akibat penurunaan aktivitas siliaris selama anestesi. Setelah
pembedahan pasien perokok mengalami kesulitan yang lebih besar dalam
membersihkan jalan napasnya dari sekresi lendir.
Kebiasaan mengomsumsi alkohol mengkibatkan reaksi yang merugikan terhadap
obat anestesi. Pasien juga mengalami toleransi silang (teleransi obat meluas )
terhadap pemakaian obat anestesi, sehingga memerlukan dosis anestesi yang lebih
tinggi dari normal. Selain itu juga dokter mungkin perlu meningkatkan dosis
analgesik pascaoperasi. Konsumsi alkohol secara berlebihan juga dapat
menyebabkan malnutrisi seningga penyembuhan luka menjadi lambat
Pasien yang riwayat pemakai narkoba diwaspadai adanya HIV dan Hepatitis.
Penggunaan obat narkotika mengganggu kemampuan pasien mengontrol nyeri
setelah operasi serta mempengaruhi tingkat serta jumlah pemberian anestesi
selama pembedahan. Penggunaan narkoba suntik dapat mengganggu sistem
vaskuler dan menyulitkan akses kedalam vena
j. Status Nutrisi
Pengkajian nutrisi dengan menggunakan berat dan tinggi badan merupakan
indikator status nutrisi yang penting. Kebutuan nutrisi ditentukan dengan
mengukur tinggi dan berat badan, lipat kulit trisep , lingkar lengan atas, kadar
protein darah dan keseimbangan nitrogen. Segala defisiensi nutrisi harus dikoreksi
sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan
jaringan.
k. Pengkajian Psikososialspiritual
Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan akan
pengalaman bedah yang dapat menakibatkan kecemasan yang terekspresi dalam
berbagai bentuk seperti marah, menolak , atau apatis terhadap kegiatan
keperawatan.

6.1.2 Pemeriksaan Fisik


a. Preoperatif
1) Sistim Pernafasan( B1= breathing)
Pada pemeriksaan sistim pernapasan, tidak ada gangguan ekspansi paru-paru,
nafas teratur
2) Sistim kardiovaskuler ( B2 = Blood)
Pada pemeriksaan sistim kardiovaskuler, dapat terjadi peningkatan tekanan
darah, peningkatan nadi dan respirasi oleh karena nyeri
3) Sistim Persarafan (B3= brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
4) Sistim Perkemihan (B4 = Bladder)
Biasanya klien tumor ginjal mengalami kelainan pada sistem perkemihan
5) Sistem Pencernaan ( B5 =Bowel)
Pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal
Pola defekasi tidak ada kelainan
6) Sistem Muskuloskeletal (B6 =Bone)
Adanya nyeri tekan pada daerah perut

b. Post operasi
1) Sistim Pernafasan( B1= breathing)
Pada pemeriksaan sistim pernapasan, tidak ada gangguan ekspansi paru-paru
2) Sistim kardiovaskuler ( B2 = Blood)
Pada pemeriksaan sistim kardiovaskuler, dapat terjadi peningkatan tekanan
darah, peningkatan nadi dan respirasi oleh karena nyeri post operatif
3) Sistim Persyarafan (B3= brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
Dapat terjadi penurunan kesadaran akibat tindakan anastesi
4) Sistim Perkemihan (B4 = Bladder)
Biasanya pasien dengan tumor ginjal mengalami kelainan pada sistem
perkemihan
5) Sistem Pencernaan ( B5 =Bowel)
Pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal
Pola defekasi tidak ada kelainan
6) Sistem Muskuloskeletal (B6 =Bone)
Adanya luka operasi nyeri pada daerah luka opersi
6.1.3 Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan adanya keganasan pada renal
2) Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang prosedur operasi
dan pembedahan

b. Durante Operasi
1) Resiko terjadinya hipoksia berhubungan dengan dilakukan tindakan intubasi
2) Resiko nyeri berhubungan dengan dilakukan tindakan intubasi
3) Resiko terjadinya depresi pernapasan (apnoe) dan hipotensi berhubungan
pemberian obat propofol
4) Resiko terjadinya hipoksia berhubungan dengan pemberian obat relaksan
5) Resiko pasien nyeri berhubungan dengan dilakukan incise
6) Resiko pasien awareness ( bangun ) berhubungan dengan durasi obat propofol
habis
7) Resiko terjadi perdarahan berhubungan dengan jenis operasi besar
8) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pada
durante operasi
9) Resiko terjadi spasme laring berhubungan dengan dilakukan ekstubasi

c. Post Operasi
1) Resiko ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan efek sisa obat obatan
anestesi
2) Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka post operasi
6.1.4 Intervensi

Diagnose Tujuan Intervensi & Rasional


Nyeri Nyeri berkurang 1. Jelaskan prosedur sebelum memulai
berhubungan setelah dilakukan tindakan
dengan tindakan dengan R/ Memungkinkan pasien untuk siap secara
adanya kriteria : mental untuk aktivitas juga berpartisipasi
keganasan - Skala nyeri 2-3 dalam mengontrol tingkat ketidak
pada renal - Pasien mengatakan nyamanan
nyeri berkurang 2. Lakukan tindakan kenyamanan untuk
- TD 110/80 mmhg meningkatkan relaksasi dengan pengaturan
- Ekspresi wajah posisi dan tehnik relaksasi
rileks R/ Tindakan tersebut mengurangi
ketegangan atau spasme otot,
mendistribusikan kembalinya tekanan pada
bagian bagian tubuh, dan membantu
pasien memfokuskan pada subyek
pengurangan nyeri
3. Kolaborasi pemberian analgesik
R/ diberikan untuk menurunkan nyeri
dan/atau spasme otot
4. Observasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan,
perhatikan lokasi karakteristik, termasuk
intesitas (0-10). Perhatikan petunjuk nyeri
nonverbal(perubahan tanda vital dan emosi
/ perilaku)
R/ Mempengaruhi pilihan / pengawasan
efektifan intervensi tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap
nyeri
Cemas Cemas berkurang 1. Jelaskan tentang prosedur pembedahan
berhubungan setelah dilakukan sesuai jenis operasi
dengan tindakan dengan R/ pasien yang teradaptasi dengan prosedur
kurangnya criteria : pembedahan yang akan dilaluina akan
pengetahuan - Pasien mengerti merasakan lebih nyaman
tentang tentang prosedur 2. Beri dukungan prabedah
operasi R/ hubungan emosional yang baik antara
prosedur
- Pasien mengatakan perawat dan pasien akan mempengaruhi
operasi dan cemas berkurang peneriamaan pasien terhadap pembedahan.
pembedahan - TD 110/80 mmhg, Akatif mendengar semua kekhawatiran dan
nadi 80x/mnt, RR keprihatinan pasien adalah bagian penting
18x/mnt dari evaluasi praoperatif.
3. Tingkatkan kontrol sensasi pasien
R/ kontrol sensasi pasien dalam
menurunkan ketakutan dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan
pasien.
4. Kolaboratsi berikan anti cemas sesuai
indikasi
R/ meningkatkan relaksasi dan menurkan
kecemasan
Resiko terjadi Resiko hipoksia tidak a. Jaga jalan napas tetap bebas
hipoksia terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
sehubungan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dengan dengan criteria : b. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
dilakukan - Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
tindakan - Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
- TD 110/80 mmhg, c. Monitor tanda tanda vital
intubasi
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
- Perfusi HKM, CTR d. Setelah dilakukan injeksi rocuronium
< 2 detik Monitor irama, ritme, kedalaman dan
pernapasan serta relaksasi otot otot
pernapasan dan rahang
R/ dengan monitoring irama, ritme,
kedalaman dan relaksasi otot pernapasan
dan rahang kita dapat menentukan waktu
saatnya intubasi dengan tepat
Resiko nyeri Resiko nyeri tidak a. Jaga jalan napas tetap bebas
berhubungan terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
dengan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dilakukan dengan criteria : b. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
intubasi - Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
- Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
- TD 110/80 mmhg, c. Monitor tanda tanda vital
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
- Hemodinamik d. Kolaborasi pemberian analgetik opioid
stabil fentanyl 80 mcg IV

Resiko terjadi Resiko depresi a. Jaga jalan napas tetap bebas


depresi pernapasan dan R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
pernapasan hipotensi tidak terjadi napas akan adekuat
dan hipotensi setelah dilakukan b. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
berhubungan tindakan dengan oksigenasi O2 10 liter 100%
dengan efek criteria : R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
- Airway bebas c. Monitor tanda tanda vital
obat propofol
- Spo2 100% R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
- TD 110/80 mmhg, kegawatan
nadi 80x/mnt, RR d. Kolaborasi pemberian injeksi propofol 80
18x/mnt mg IV dengan teknik titrasi monitoring
- Hemodinamik R/ dengan pemberian propofol teknik titrasi
stabil monitoring diharapkan tidak terjadi apnoe
dan hipotensi
e. Kolaborasi pemberian injeksi efedrin 10
mg IV bila terjadi hipotensi
R/ efedrin golongan obat vasopressor yang
efeknya meningkatkan tekanan darah
Resiko terjadi Resiko hipoksia tidak a. Jaga jalan napas tetap bebas
hipoksia terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
berhubungan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dengan dengan criteria : b. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
pemberian - Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
obat relaksan - Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
- TD 110/80 mmhg, c. Monitor tanda tanda vital
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
- Hemodinamik d. Setelah dilakukan injeksi rocuronium
stabil Monitor irama, ritme, kedalaman dan
- Perfusi HKM, CTR pernapasan serta relaksasi otot otot
< 2 detik pernapasan dan rahang
R/ dengan monitoring irama, ritme,
kedalaman dan relaksasi otot pernapasan
dan rahang kita dapat menentukan waktu
saatnya intubasi dengan tepat
Resiko pasien Resiko nyeri tidak a. Monitor tanda tanda vital terutama nadi
nyeri terjadi setelah meningkat
berhubungan dilakukan tindakan R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
dengan dengan criteria : kegawatan, nyeri atau pasien bangun
dilakukan - Airway bebas b. Kolaborasi pemberian injeksi fentanyl 50
incise - Spo2 100% mg IV dan maintenance continus injeksi
- TD 110/80 mmhg, fentanyl syring pump 30 mg / jam
nadi 80x/mnt, RR R/ dengan pemberian injeksi fentanyl
18x/mnt secara maintanance continus diharapkan
- Hemodinamik selama durante operasi pasien tidak
stabil mengalami nyeri

Resiko pasien Resiko bangun tidak a. Monitor tanda tanda vital terutama TD
awareness terjadi setelah meningkat
(bangun) dilakukan tindakan R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
dengan criteria : kegawatan, nyeri atau pasien bangun
- Airway bebas b. Kolaborasi pemberian injeksi propofol 50
- Spo2 100% mg IV dan maintenance continus anestesi
- TD 110/80 mmhg, inhalasi isofluran mulai 1,15 % MAC
nadi 80x/mnt, RR R/ dengan pemberian injeksi propofol
18x/mnt pasien tidak bangun dan maintanance
- Hemodinamik continus anestesi inhalasi isopluran mulai
stabil 1,15 % MACdiharapkan selama durante
operasi pasien tidak bangun

Resiko terjadi Resiko perdarahan a. Monitor tanda tanda vital terutama TD


perdarahan dapat diantisipasi meningkat
berhubungan setelah dilakukan R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
dengan jenis tindakan dengan kegawatan, nyeri atau pasien bangun serta
operasi besar criteria : resiko perdarahan
- Airway bebas b. Kolaborasi pemberian maintenance
- Spo2 100% continus anestesi inhalasi isofluran mulai 2
- TD 110/80 mmhg, % MAC
nadi 80x/mnt, RR R/ dengan pemberian maintanance continus
18x/mnt anestesi inhalasi isopluran mulai 2 %
- Hemodinamik MACdiharapkan selama durante operasi
stabil TD pasien tidak meningkat ( teknik anestesi
- Replashement dalam / teknik hipotensi )
perdarahan dapat
diatasi

Resiko terjadi Resiko kekurangan a. Kaji tanda-tanda vital


kekurangan volume cairan dapat R/ Menetapkan data dasar pasien, untuk
volume cairan diantisipasi setelah mengetahui dengan cepat penyimpangan
berhubungan dilakukan tindakan dari keadaan normalnya
dengan dengan criteria : b. Observasi adanya tanda tanda
perdarahan - Airway bebas kekurangan volume cairan
- Spo2 100% R/ Menunjukan status hidrasi.
durante
- TD 110/80 mmhg, kemungkinan kebutuhan untuk
operasi nadi 80x/mnt, RR peningkatan penggantian cairan
18x/mnt
- Hemodinamik c. Berikan cairan intravaskuler sesuai
stabil program dokter, penggantian cairan
- Replashement dengan kristaloid 3 x perdarahan, koloid 1
perdarahan dapat x perdarahan dan darah 1 x perdarahan
diatasi R/ Pemberian cairan IV sangat penting
- Produksi urine 1 bagi pasien yang mengalami devisit
ml/kgbb/jam volume cairan dengan keadaan umum
yang buruk karena cairan langsung masuk
ke dalam pembuluh darah, penggantian
cairan dengan kristaloid 3 x perdarahan,
koloid 1 x perdarahan dan darah 1 x
perdarahan
d. Kaji output dan input cairan
R/ Untuk mengetahui keseimbangan
cairan dan tingkatan dehidrasi
e. Pantau hasil laboratorium (Hb dan
elektrolit)
R/ Mendeteksi homestatis atau
keseimbangan dan membantu menentukan
kebutuhan pengganti
Resiko terjadi Resiko spasme laring a. Jaga jalan napas tetap bebas
spasme laring tidak terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
berhubungan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dengan dengan criteria : b. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
dilakukannya - Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
ekstubasi - Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
- TD 110/80 mmhg, c. Monitor tanda tanda vital
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
- Hemodinamik d. Lakukan ekstubasi sadar
stabil R/ dengan ekstubasi sadar diharapkan
- Perfusi HKM, CTR semua reflek pasien sudah kembali normal
< 2 detik termasuk pada system pernapasan untuk
menghindari terjadinya komplikasi
ekstubasi yang tidak tepat waktunya
e. Lakukan ekstubasi dalam
R/ dengan ekstubasi dalam diharapkan
pasien masih dalam pengaruh anestesi
dalam sehingga reflek pada system
pernapasan masih belum berfungsi untuk
menghindari komplikasi ekstubasi salah
satunya spasme laring
f. Lakukan suction untuk membersihkan jalan
napas dari secret
R/ agar jalan napas bebas
Resiko Resiko a. Buka jalan napas dengan teknik chin lift.
ketidakefektif ketidakefektifan jalan R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
an jalan napas napas tidak terjadi napas akan adekuat
berhubungan setelah dilakukan b. Berikan posisi slight head up
dengan efek tindakan dengan R/ posisi head up melancarkan aliran darah
obat obat sisa criteria : ke otak dan menurunkan tekanan
- Airway bebas intrakranial
anestesi
- Spo2 100% c. Pasang oropharing atau nasopharing jika
- TD 110/80 mmhg, diperlukan
nadi 80x/mnt, RR R/ menjaga airway tetap bebas
18x/mnt d. Lakukan penghisapan secret
- Hemodinamik R/ membebaskan jalan napas
stabil
- Perfusi HKM, CTR
< 2 detik

Nyeri akut Nyeri berkurang 1. Kaji tingkat nyeri


berhubngan setelah dilakukan R/ Tindakan ini dapat menentukan seberapa
dengan luka tindakan dengan berat nyeri yang pasien rasakan
post operasi criteria : 2. Kolaborasi pemberian analgesik
- Skala nyeri 2-3 R/ diberikan untuk menurunkan nyeri
- Pasien mengatakan 3. Observasi tanda tanda vital
nyeri berkurang R/ mengetahui tanda tanda kegawatan
- TD 110/80 mmhg,
nadi 80x/mnt, RR
18x/mnt
6.1.4 Intervensi

Diagnose Tujuan Intervensi & Rasional


Nyeri Nyeri berkurang 5. Jelaskan prosedur sebelum memulai
berhubungan setelah dilakukan tindakan
dengan tindakan dengan R/ Memungkinkan pasien untuk siap secara
adanya criteria : mental untuk aktivitas juga berpartisipasi
keganasan a. Skala nyeri 2-3 dalam mengontrol tingkat ketidaka
pada renal b. Pasien mengatakan nyamanan
nyeri berkurang 6. Mempertahankan imolisasi bagian yang
c. TD 110/80 mmhg, sakit dengna tirah barang
nadi 80x/mnt, RR R/ Menghilangkan nyeri dan mencegah
18x/mnt kesalahan posisi tulang / tegangan jaringan
cedera
7. Lakukan tindakan kenyamanan untuk
meningkatkan relaksasi dengan pengaturan
posisi dan tehnik relaksasi
R/ Tindakan tersebut mengurangi
ketegangan atau spasme otot,
mendistribusikan kembalinya tekanan pada
bagian bagian tubuh, dan membantu
pasien memfokuskan pada subyek
pengurangan nyeri
8. Beri Informasi kepada pasien untuk
membantu meningkatkan teleransi terhadap
nyeri
R/ Tindakan ini dapat mendidik pasien dan
mendorongnya untuk mencoba tindakan
pengurangan nyeri alternatif
kebutuhan untuk menghilangkan
pengalaman kecelakan
9. Kolaborasi pemberian analgesik
R/ diberikan untuk menurunkan nyeri
dan/atau spasme otot
10. Observasi keluhan
nyeri/ketidaknyamanan, perhatikan lokasi
karakteristik, termasuk intesitas (0-10).
Perhatikan petunjuk nyeri
nonverbal(perubahan tanda vital dan emosi
/ perilaku)
R/ Mempengaruhi pilihan / pengawasan
efektifan intervensi tingkat ansietas dapat
mempengaruhi persepsi/reaksi terhadap
nyeri
Cemas Cemas berkurang 5. Jelaskan tentang prosedur pembedahan
berhubungan setelah dilakukan sesuai jenis operasi
dengan tindakan dengan R/ pasien yang teradaptasi dengan prosedur
kurangnya criteria : pembedahan yang akan dilaluina akan
pengetahuan d. Pasien mengerti merasakan lebih nyaman
tentang tentang prosedur 6. Beri dukungan prabedah
operasi R/ hubungan emosional yang baik antara
prosedur
e. Pasien mengatakan perawat dan pasien akan mempengaruhi
operasi dan cemas berkurang peneriamaan pasien terhadap pembedahan.
pembedahan f. TD 110/80 mmhg, Akatif mendengar semua kekhawatiran dan
nadi 80x/mnt, RR keprihatinan pasien adalah bagian penting
18x/mnt dari evaluasi praoperatif.
7. Tingkatkan kontrol sensasi pasien
R/ kontrol sensasi pasien dalam
menurunkan ketakutan dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan
pasien.
8. Kolaboratsi berikan anti cemas sesuai
indikasi
R/ meningkatkan relaksasi dan menurkan
kecemasan
Resiko terjadi Resiko hipoksia tidak e. Jaga jalan napas tetap bebas
hipoksia terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
sehubungan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dengan dengan criteria : f. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
dilakukan g. Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
tindakan h. Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
i. TD 110/80 mmhg, g. Monitor tanda tanda vital
intubasi
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
j. Perfusi HKM, CTR h. Setelah dilakukan injeksi rocuronium
< 2 detik Monitor irama, ritme, kedalaman dan
pernapasan serta relaksasi otot otot
pernapasan dan rahang
R/ dengan monitoring irama, ritme,
kedalaman dan relaksasi otot pernapasan
dan rahang kita dapat menentukan waktu
saatnya intubasi dengan tepat
Resiko nyeri Resiko nyeri tidak e. Jaga jalan napas tetap bebas
berhubungan terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
dengan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dilakukan dengan criteria : f. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
intubasi k. Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
l. Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
m. TD 110/80 mmhg, g. Monitor tanda tanda vital
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
n. Hemodinamik h. Kolaborasi pemberian analgetik opioid
stabil fentanyl 80 mcg IV

Resiko terjadi Resiko depresi f. Jaga jalan napas tetap bebas


depresi pernapasan dan R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
pernapasan hipotensi tidak terjadi napas akan adekuat
dan hipotensi setelah dilakukan g. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
berhubungan tindakan dengan oksigenasi O2 10 liter 100%
dengan efek criteria : R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
o. Airway bebas h. Monitor tanda tanda vital
obat propofol
p. Spo2 100% R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
q. TD 110/80 mmhg, kegawatan
nadi 80x/mnt, RR i. Kolaborasi pemberian injeksi propofol 80
18x/mnt mg IV dengan teknik titrasi monitoring
r. Hemodinamik R/ dengan pemberian propofol teknik titrasi
stabil monitoring diharapkan tidak terjadi apnoe
dan hipotensi
j. Kolaborasi pemberian injeksi efedrin 10
mg IV bila terjadi hipotensi
R/ efedrin golongan obat vasopressor yang
efeknya meningkatkan tekanan darah
Resiko terjadi Resiko hipoksia tidak e. Jaga jalan napas tetap bebas
hipoksia terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
berhubungan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dengan dengan criteria : f. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
pemberian s. Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
obat relaksan t. Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
u. TD 110/80 mmhg, g. Monitor tanda tanda vital
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
v. Hemodinamik h. Setelah dilakukan injeksi rocuronium
stabil Monitor irama, ritme, kedalaman dan
w. Perfusi HKM, CTR pernapasan serta relaksasi otot otot
< 2 detik pernapasan dan rahang
R/ dengan monitoring irama, ritme,
kedalaman dan relaksasi otot pernapasan
dan rahang kita dapat menentukan waktu
saatnya intubasi dengan tepat
Resiko pasien Resiko nyeri tidak c. Monitor tanda tanda vital terutama nadi
nyeri terjadi setelah meningkat
berhubungan dilakukan tindakan R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
dengan dengan criteria : kegawatan, nyeri atau pasien bangun
dilakukan x. Airway bebas d. Kolaborasi pemberian injeksi fentanyl 50
incise y. Spo2 100% mg IV dan maintenance continus injeksi
z. TD 110/80 mmhg, fentanyl syring pump 30 mg / jam
nadi 80x/mnt, RR R/ dengan pemberian injeksi fentanyl
18x/mnt secara maintanance continus diharapkan
aa. Hemodinamik selama durante operasi pasien tidak
stabil mengalami nyeri

Resiko pasien Resiko bangun tidak c. Monitor tanda tanda vital terutama TD
awareness terjadi setelah meningkat
(bangun) dilakukan tindakan R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
dengan criteria : kegawatan, nyeri atau pasien bangun
bb. Airway bebas d. Kolaborasi pemberian injeksi propofol 50
cc. Spo2 100% mg IV dan maintenance continus anestesi
dd. TD 110/80 inhalasi isofluran mulai 1,15 % MAC
mmhg, nadi R/ dengan pemberian injeksi propofol
80x/mnt, RR pasien tidak bangun dan maintanance
18x/mnt continus anestesi inhalasi isopluran mulai
ee. Hemodinamik 1,15 % MACdiharapkan selama durante
stabil operasi pasien tidak bangun

Resiko terjadi Resiko perdarahan c. Monitor tanda tanda vital terutama TD


perdarahan dapat diantisipasi meningkat
berhubungan setelah dilakukan R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
dengan jenis tindakan dengan kegawatan, nyeri atau pasien bangun serta
operasi besar criteria : resiko perdarahan
ff. Airway bebas d. Kolaborasi pemberian maintenance
gg. Spo2 100% continus anestesi inhalasi isofluran mulai 2
hh. TD 110/80 % MAC
mmhg, nadi R/ dengan pemberian maintanance continus
80x/mnt, RR anestesi inhalasi isopluran mulai 2 %
18x/mnt MACdiharapkan selama durante operasi
ii. Hemodinamik TD pasien tidak meningkat ( teknik anestesi
stabil dalam / teknik hipotensi )
jj. Replashement
perdarahan dapat
diatasi

Resiko terjadi Resiko kekurangan f. Kaji tanda-tanda vital


kekurangan volume cairan dapat R/ Menetapkan data dasar pasien, untuk
volume cairan diantisipasi setelah mengetahui dengan cepat penyimpangan
berhubungan dilakukan tindakan dari keadaan normalnya
dengan dengan criteria : g. Observasi adanya tanda tanda
perdarahan kk. Airway bebas kekurangan volume cairan
ll. Spo2 100% R/ Menunjukan status hidrasi.
durante mm. TD 110/80 kemungkinan kebutuhan untuk
operasi mmhg, nadi peningkatan penggantian cairan
80x/mnt, RR
18x/mnt h. Berikan cairan intravaskuler sesuai
nn. Hemodinamik program dokter, penggantian cairan
stabil dengan kristaloid 3 x perdarahan, koloid 1
oo. Replashement x perdarahan dan darah 1 x perdarahan
perdarahan dapat R/ Pemberian cairan IV sangat penting
diatasi bagi pasien yang mengalami devisit
pp. Produksi urine volume cairan dengan keadaan umum
1 ml/kgbb/jam yang buruk karena cairan langsung masuk
ke dalam pembuluh darah, penggantian
cairan dengan kristaloid 3 x perdarahan,
koloid 1 x perdarahan dan darah 1 x
perdarahan
i. Kaji output dan input cairan
R/ Untuk mengetahui keseimbangan
cairan dan tingkatan dehidrasi
j. Pantau hasil laboratorium (Hb dan
elektrolit)
R/ Mendeteksi homestatis atau
keseimbangan dan membantu menentukan
kebutuhan pengganti
Resiko terjadi Resiko spasme laring g. Jaga jalan napas tetap bebas
spasme laring tidak terjadi setelah R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
berhubungan dilakukan tindakan napas akan adekuat
dengan dengan criteria : h. Beri suplai oksigen sesuai kebutuhan /
dilakukannya qq. Airway bebas oksigenasi O2 10 liter 100%
ekstubasi rr. Spo2 100% R/ kebutuhan oksigen pasien terpenuhi
ss. TD 110/80 mmhg, i. Monitor tanda tanda vital
nadi 80x/mnt, RR R/ mengetahui kalau ada tanda tanda
18x/mnt kegawatan
tt. Hemodinamik j. Lakukan ekstubasi sadar
stabil R/ dengan ekstubasi sadar diharapkan
uu. Perfusi HKM, semua reflek pasien sudah kembali normal
CTR < 2 detik termasuk pada system pernapasan untuk
menghindari terjadinya komplikasi
ekstubasi yang tidak tepat waktunya
k. Lakukan ekstubasi dalam
R/ dengan ekstubasi dalam diharapkan
pasien masih dalam pengaruh anestesi
dalam sehingga reflek pada system
pernapasan masih belum berfungsi untuk
menghindari komplikasi ekstubasi salah
satunya spasme laring
l. Lakukan suction untuk membersihkan jalan
napas dari secret
R/ agar jalan napas bebas
Resiko Resiko e. Buka jalan napas dengan teknik chin lift.
ketidakefektif ketidakefektifan jalan R/ dengan jalan napas yang terjaga maka
an jalan napas napas tidak terjadi napas akan adekuat
berhubungan setelah dilakukan f. Berikan posisi slight head up
dengan efek tindakan dengan R/ posisi head up melancarkan aliran darah
obat obat sisa criteria : ke otak dan menurunkan tekanan
vv. Airway bebas intrakranial
anestesi
ww. Spo2 100% g. Pasang oropharing atau nasopharing jika
xx. TD 110/80 diperlukan
mmhg, nadi R/ menjaga airway tetap bebas
80x/mnt, RR h. Lakukan penghisapan secret
18x/mnt R/ membebaskan jalan napas
yy. Hemodinamik
stabil
zz. Perfusi HKM,
CTR < 2 detik

Nyeri akut Nyeri berkurang 4. Kaji tingkat nyeri


berhubngan setelah dilakukan R/ Tindakan ini dapat menentukan seberapa
dengan luka tindakan dengan berat nyeri yang pasien rasakan
post operasi criteria : 5. Kolaborasi pemberian analgesik
aaa. Skala nyeri 2-3 R/ diberikan untuk menurunkan nyeri
bbb. Pasien 6. Observasi tanda tanda vital
mengatakan nyeri R/ mengetahui tanda tanda kegawatan
berkurang
ccc. TD 110/80
mmhg, nadi
80x/mnt, RR
18x/mnt

Anda mungkin juga menyukai