Konsep utama
1. Pasien yang telah dilakukan anestesi
sebaiknya tidak meninggalkan kamar 4. Masalah respirasi merupakan komplikasi
operasi sampai mereka memiliki jalan serius yang paling sering terjadi di ruang
oksigen, produksi CO2 dan curah jantung. lebih pendek dibanding kebanyakan
Menurut sejarah, perhatian terhadap perawatan khusus selama masa paska operasi timbul
dari kesadaran akibat banyaknya kematian paska operasi dini yang terjadi setelah proses anesthesia
dan pembedahan dimana banyak dari kematian tersebut bisa dicegah. Keterbatasan perawat di
Amerika Serikat akibat perang dunia kedua, ditambah pengalaman dari banyaknya perawatanan
bedah pada korban perang, berkontribusi terjadinya tren paska perang yaitu sentralisasi pada
perawatan paska operasi dini dalam bentuk ruang pulih sadar, dimana satu atau lebih perawat dapat
mengobservasi ketat pada beberapa pasien paska operasi dini dalam satu waktu. Lebih dari dua
dekade,
Sukses dari PACU dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas paska operasi mengilhami
evolusi dari ruang perawatan intensif (ICU) yang moderen.
Perubahan terbaru dari perawatan paska anesthesia berhubungan terhadap perubahan dari
rawat inap ke pembedahan rawat jalan. Diperkirakan lebih dari 70% seluruh prosedur bedah di
Amerika Serikat saat ini dilakukan dalam prosedur rawat jalan. 2 fase pemulihan harus diketahui
untuk pembedahan rawat jalan. Fase 1 adalah fase pemulihan setingkat perawatan intensif yang
merawat pasien selama fase kegawatan dan bangun dari anesthesia dan berlangsung hingga kriteria
PACU terpenuhi (lihat kriteria pulang dibawah). Fase dua adalah perawatan pada tingkat lebih
rendah untuk mempersiapkan pasien untuk pulang ke rumah. Fast Tracking untuk menseleksi
pasien rawat jalan memungkinkan mereka untuk melewati perawatan fase 1 dengan aman dan
langsung menuju perwatan fase 2.
Pada banyak institusi, PACU umumnya berfungsi sebagai tempat untuk memonitor secara
intens pada masa perioperatif dan pasien dengan nyeri kronis yang akan menjalani prosedur seperti
blockade saraf dan pemasangan kateter epidural atau saraf tepi, dan pada prosedur lainnya seperti
pemasangan kateter vena sentral, terapi elektrokonvulsi dan elektif kardioversi. Unit PACU harus
dilengkapi tenaga peralatan yang cukup untuk merawat pasien dan segala kemungkinan
komplikasi yang potensial terjadi. Contohnya, pada area dimana blok regional dan epidural
dilakukan, Intralipid harus selalu tersedia untuk mengantisipasi toksistas dari agen anestesi lokal.
Bagian ini mendiskusikan komponen dasar dari PACU, penanganan general dari pasien pulih
sadar dari anesthesia dan pembedahan, serta komplikasi pernapasan dan sirkulasi yang umum
terjadi di PACU
Peralatan
Banyak insiden morbiditas atau mortalitas di PACU terkait dengan pemantauan yang tidak
adekuat. Pulse oksimetri (SpO2), elektrokardiogram (EKG), dan tekanan darah noninvasif (NIBP)
monitor harus ada di setiap ruang. Meskipun EKG, SpO2, dan NIBP harus dipakai pada setiap
pasien dalam tahap awal pemulihan dari anestesi (tahap 1 perawatan), penurunan level monitoring
mungkin bisa dilakukan setelahnya. Peralatan yang sesuai harus tersedia pada pasien yang
membutuhkan kateter arteri invasif, vena sentral, arteri paru, atau pemantauan tekanan intrakranial.
Kapnografi berguna pada pasien terintubasi sehingga dapat digunakan untuk pasien yang
diekstubasi juga. Temperature-sensitive strips dapat digunakan untuk mengukur suhu di PACU
tetapi tidak cukup akurat untuk mendokumentasikan hasil pengobatan untuk hipotermia atau
hipertermia; termometer merkuri atau elektronik harus digunakan jika diduga terdapat kelainan
temperatur. Sebuah forced-air warming device, lampu pemanas, dan/atau selimut
pemanasan/pendinginan harus tersedia.
PACU harus memiliki persediaan sendiri peralatan dasar dan emergensi, terpisah dari ruang
operasi, berdasarkan kebutuhan populasi pasien. Yaitu meliputi peralatan saluran napas, seperti
kanula oksigen, masker oksigen, airways tool baik nasal maupun oral, laryngoscope, endotrakeal
tube, LMA, cricothyrotomy kit, dan self-inflating bag untuk ventilasi. Ketersediaan kateter untuk
cannulation vaskular (vena, arteri, vena sentral) adalah wajib. Perangkat defbrillation dengan
kemampuan transcutaneous pacing, dan emergency cart dengan obat-obatan dan perlengkapan
untuk advanced life support (lihat Bab 55) dan infusion pump, harus hadir dan diperiksa secara
berkala. Transvenous pacing catheter; pulse generator; dan tracheostomy, chest tube, dan
perlengkapan vascular cut-down biasanya tersedia, tergantung pada populasi pasien bedah.
Perlengkapan terapi respirasi seperti aerosol bronchodilator treatment, continuous positive
airway pressure (CPAP), dan ventilator harus dekat dengan ruang pulih sadar. Ketersediaan yang
cepat dari bronchoskopi juga diinginkan.
Staffing
Staf yang tidak memadai sering disebut sebagai faktor utama dalam kecelakaan di PACU.
PACU harus dikelola oleh perawat yang dilatih khusus dalam perawatan orang dewasa dan/atau
pasien anak paska anestesi. Mereka harus memiliki keahlian dalam manajemen airway dan
advanced cardiac life support, serta masalah yang biasa ditemui pada pasien bedah yang berkaitan
dengan perawatan luka, drainase kateter, dan perdarahan pasca operasi.
Pasien di PACU harus dibawah arahan medis dokter anestesi, yang harus segera tanggap
untuk merespon masalah perawatan pasien baik emergensi ataupun urgent. Pada institusi bedah
dengan jumlah perawatan tersier yang tinggi sering memiliki seorang ahli anestesi yang bertugas
24 jam untuk PACU. Pengelolaan pasien di PACU harus merefleksikan upaya yang terkoordinasi
yang melibatkan dokter anestesi, dokter bedah, perawat, fisioterapi, dan konsultan yang sesuai.
Tim anestesi menekankan manajemen analgesia, airway, jantung, paru, dan masalah metabolik,
sedangkan tim bedah umumnya mengelola masalah yang berhubungan langsung dengan prosedur
bedah itu sendiri. Berdasarkan asumsi bahwa rata-rata lama tinggal di PACU adalah 1 jam dan
prosedur rawat inap rata-rata berlangsung 2-3 jam, rasio satu perawat PACU untuk dua pasien
umumnya memuaskan. Namun, staf untuk perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan beban
kasus yang unik dari setiap fasilitas. Jika jadwal ruang operasi rutin termasuk pasien anak-anak
atau prosedur singkat banyak, rasio satu perawat untuk satu pasien sering diperlukan. Seorang
perawat penanggung jawab harus ditugaskan untuk memastikan jumlah staf yang optimal setiap
saat, termasuk respons yang tepat untuk masalah perawatan pasien.
Perawatan pasien
Emergensi dari general anesthesia
Pemulihan dari anestesi umum atau regional merupakan stres fisiologis yang besar. Pulih
sadar dari general anestesi idealnya harus ditandai dengan pulih sadar yamg halus dan bertahap
dalam lingkungan yang terkendali. Namun, masalah seperti obstruksi jalan napas, menggigil,
agitasi, delirium, nyeri, mual dan muntah, hipotermia, dan ketidakseimbangan fungsi otonom yang
sering ditemui. Pasien yang menerima anestesi spinal atau epidural mungkin mengalami
penurunan tekanan darah selama transportasi atau pemulihan; yang efek simpatolitik dari blok
konduksi mencegah kompensasi refleks vasokonstriksi ketika pasien dipindahkan atau ketika
mereka duduk.
Setelah anestesi inhalasi, kecepatan dari pulih sadar berbanding lurus dengan ventilasi
alveolar, tetapi berbanding terbalik dengan kelarutan agen dalam darah (lihat Bab 8). Dengan
bertambahnya durasi anestesi, pulih sadar menjadi semakin bergantung pada total uptake jaringan,
yang bergantung dari kelarutan agen, konsentrasi rata-rata yang digunakan, dan durasi paparan
obat anestesi. Hipoventilasi menyebabkan penundaan pulih sadar dari anestesi inhalasi.
Pulih sadar dari anestesi intravena bergantung dari fungsi farmakokinetiknya. Pemulihan
dari kebanyakan agen anestesi intravena lebih tergantung pada redistribusi daripada metabolisme
dan eliminasi. Dengan peningkatan total dosis yang diberikan, bagaimanapun, efek kumulatif pada
klinis semakin jelas berupa pulih sadar yang berkepanjangan; penghentian aksi menjadi semakin
tergantung pada metabolisme atau eliminasi. Ini adalah dasar dari konsep context-sensitive half-
time (lihat Bab 7). Usia lanjut, penyakit ginjal atau hati dapat memperpanjang pulih sadar (lihat
Bab 9). Agen anestesi durasi pendek dan ultrashort-acting, seperti propofol dan remifentanil,
secara signifikan mempersingkat pulih sadar, waktu untuk bangun, dan kepulangan. Beberapa
studi menunjukkan bahwa penggunaan Bispectral Skala Index (BIS) Monitor (lihat Bab 6) dapat
mengurangi jumlah total dosis obat dan memperpendek pemulihan dan waktu untuk kepulangan.
Penggunaan LMA (bukan endotrakeal tube) juga memungkinkan anestesi dengan level yang
ringan sehingga dapat mempercepat pulih sadar.
Kecepatan pulih sadar juga dapat dipengaruhi oleh obat praoperatif. premedikasi dengan
agen yang durasinya lebih lama dari prosedur (misalnya, lorazepam) mungkin diperkirakan
memperpanjang pulih sadar. Midazolam short-acting merupakan agen premedikasi yang cocok
untuk prosedur singkat. Efek dari kurang tidur praoperatif atau konsumsi obat (alkohol, obat
penenang) juga aditif terhadap agen anestesi dan memperpanjang pulih sadar.
Anesthesia regional
Pasien yang tersedasi dalam atau hemodinamik tidak stabil paska anesthesia regional harus
mendapat oksigen tambahandi PACU. Level sensorik dan motoric harus dicatat secara periodik
untuk mendokumentasikan regresi dari blok tersebut. Pencegahan dengan pemberian padding atau
peringatan berulang diperlukan untuk mencegah cedera akibat gerakan tangan yang tidak
terkoordinasi setelah blok plexus brachialis. Tekanan darah harus dimonitor ketat setelah
anesthesia spinal dan epidural. Kateter urin diperlukan pada pasien yang mendapat kateter spinal
atau epidural lebih dari 4 jam.
Manajemen nyeri
Nyeri paskaoperatif berat dan sedang umumnya dapat dikelola dengan opioid oral atau
parenteral. Namun, pemberian opioid perioperatif berhubungan dengan efek samping (mual dan
muntah, depresi napas, pruritis, ileus, dan retensi urin) dimana menjadi efek samping yang
signifikan pada postoperatif. Untuk merespon masalah ini, berbagai macam strategi opioid sparing
telah dilakukan dalam dua dekade terakhir untuk mengurangi kebutuhan opioid, efek samping
yang berhubungan dengan opioid, ketika mempertahankan analgesia yang mencukupi (lihat bab
47). Pemberian oral NSAID, acetaminophen, dan gabapentin atau pregabalin secara signifikan
menurunkan kebutuhan opioid postoperatif, dan pemberian ini dapat diteruskan postoperatif jika
pasien bisa mendapatkan obat secara oral. Menambahkan modalitas analgesic dengan lokal
anesthesia, seperti infiltrasi lokal luka operasi intraoperative, postoperative wound catheter
infusions, single shot atau continuous catheter peripheral nerve blocks, dan continuous epiduran
infusion, juga mengurangi kebutuhan analgesic opioid paskaoperatif, dan juga menurunkan efek
samping terkait opioid.
Nyeri paskaoperatif ringan hingga sedang bisa diterapi secara oral dengan acetaminophen,
ibuprofen, hydrocodone, atau oxycodone. Alternatifnya, ketorolac tromethamine (15-30 mg pada
dewasa) atau acetaminophen (15 mg/kg atau 1 gram jika pasien >50 kg) diberikan secara intravena.
Pada situasi dimana nyeri postoperatif sedang hingga berat muncul, atau analgesic oral tidak
memungkinkan, opioid parenteral atau intraspinal, single shot atau continuous nerve blocks dan
continuous epidural analgesia digunakan, biasanya dilakukan kombinasi. Opioid parenteral secara
aman diberikan dengan cara titrasi dalam dosis rendah. Kebutuhan opioid yang bervariasi harus
diperkirakan pada pasien bedah yang pulih sadar di PACU, dan analgesia yang adekuat harus
seimbang dengan resiko sedasi yang berlebihan dan depresi napas. Opioid dengan durasi
menengah dan panjang, seperti hydromorphone 0,25-0,5 mg (0,015-0,02 mg/kg pada anak) atau
morphine 2-4 mg (0,025-0,05 mg/kg pada anak), merupakan opioid yang paling umum digunakan.
Meperidine sering sekali digunakan dalam dosis kecil untuk mengobati menggigil postoperatif.
Kebutuhan opioid seringkali meningkat pada pasien dengan riwayat nyeri kronis dan pengguna
opioid jangka lama, karena toleransi terhadap opioid, dan pada pasien dengan riwayat adiksi
opioid, karena toleransi terhadap opioid dan ketergantungan psikologis. Konsultasi dengan ahli
nyeri sangat bermafaat oada kondisi seperti ini.
Efek analgesi dari opioid parenteral biasanya memuncak dalam hitungan menit setelah
pemberian. Depresi napas maksimal, umumnya dengan morphine dan hydromorphone, munkin
tidak terjadi sampai 20-30 menit kemudian. Ketika pasien sadar penuh, patient controlled analgesia
bisa di berikan pasien rawat inap. Pemberian opioid intramuscular tidak dianjurkan karena
onsetnya lambat dan bervariasi (10-20 menit atau lebih) dan kemungkinan depresi napas lebih
lama (hingga 1 jam).
Ketika kateter epidural digunakan, pemberian bolus fentanyl (50-100 mcg) atau sufentanil
(20-30 mcg) dengan bupivacaine 0,1% 5-10 ml dapat memberikan analgesia yang baik pada orang
dewasa. Epidural morphine (3-5 mcg) munkin dapat digunakan, tetapi depresi napas yang
terlambat dengan pemberian epidural dari opioid ini memerlukan monitoring ketat dalam 24 jam
kedepan (lihat bab 48).
Agitasi
Sebelum pasien pulih sadar sadar penuh, nyeri sering bermanifestasi sebagai gaduh gelisah
paskaoperasi. Gangguan sistemik yang serius (seperti hipoksemia, asidosis metabolic atau
respiratori, atau hipotensi), distensi kandung kencing atau komplikasi pembedahan (seperti
perdarahan intraabdomilan yang tak terdeteksi) juga dipertimbangkan sebagai diferensial
diagnosis dari agitasi postoperatif. Agitasi yang bermakna mungkin membutuhkan pembatasan
gerakan pada tangan dan kaki untuk mencegah mencederai diri sendiri, terutama pada anak. Ketika
gangguan psikologi sudah di eksklusi pada anak, gendongan dan kata kata dari petugas yang
simpatik atau orang tua sering dapat menenangkan penderita anak anak. Faktor lain yang
berkontribusi didalam kegelisahan dan ketakutan post operatif seperti efek samping obat
(antikolinergik central dosis besar, phenothiazines, atau ketamine). Physostigmine 1-2 mg IV (0,05
mg/kg pada anak) merupakan cara efektif untuk mengobati delirium akibat atropine dan
scopolamine. Jika gangguan sistemik yang serius dan nyeri disingkirkan, agitasi yang persisten
mungkin memerlukan sedasi dengan midazolam 0,5-1 mg IV (0,05 mg/kg pada anak) secara
intermitten.
Tabel 56.1 Faktor resiko postoperative nausea and vomiting
Faktor pasien
Anak anak
Perempuan, terutama jiga menstruasi pada hari pembedahan atau trimester pertama
kehamilan
Badan yang besar
Riwayat dengan muntah postoperatif
Riwayat mabuk perjalanan
Teknik anesthesia
General anesthesia
Obat
Opioid
Agen volatile
Nitrous oxide
Prosedur pembedahan
Pembedahan strabismus
Pembedahan telinga
Laparoskopi
Orchiopexy
Pengambilan ovum
Tonsilektomi
Pembedahan payudara
Faktor postoperatif
Nyeri postoperatif
Hipotensi
Kriteria pemulangan/pemindahan
A. PACU
Semua pasien harus dievaluasi oleh penyedia anesthesia yang berkualifikasi sebelum keluar
dari PACU kecuali diterapkannya kriteria pemulangan dari PACU. Standar pemulangan pasien
dari PACU dikeluarkan oleh departemen anesthesiology dan staf medic rumah sakit. Mereka
memperbolehkan perawat PACU untuk menentukan kriteria pemindahan tanpa kehadiran dokter
anestesi jika semua kriteria pemulangan/pemindahan dari PACU telah dipenuhi. Kriteria ini
bervariasi tergantung kemana pasien dipulangkan atau dipindahkan seperti ke intensive care unit,
unit rawat inap biasa, department rawat jalan (pulih saadar fase 2), atau langsung pulang.
Sebelum pulang, pasien harus diobservasi untuk depresi napas minimal 20-30 menit setelah
disus terakhir opioid parenteral. Kriteria discharge minimal untuk pasien pulih sadar dari general
anesthesia biasanya antara lain.
1. Bisa dibangunkan dengan mudah
2. Orientasi penuh
3. Kemampuan untuk mempertahankan dan menjaga airway
4. Vital sign yang stabil paling tidak 15-30 menit.
5. Kemampuan untuk meminta pertolongan juka membutuhkan
6. Tidak ada tanda komplikasi pembedahan (seperti perdarahan aktif)
Nyeri postoperatif dan mual muntah harus dikontrol, dan normotermia harus tercapai
sebelum keluar dari PACU. Sistem skoring umum digunakan. Kebanyakan mengassess SpO2 (atau
warna), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktifitas motoric (table 56.2). Sebagian besar pasien
memenuhi kriteria discharge dalam 60 menit dari waktu tiba di PACU. Pasien dipindahkan ke
ruangan intensive care area lainya jika tidak memenuhi semua persyaratan.
Tabel 56.2 Postanesthetic Aldrete recovery score1,2
Kriteria original Kriteria modifikasi Nilai
Warna Oksigenasi
Pink SpO2 > 92% dengan udara ruangan 2
Pucat SpO2 > dengan oksigen 1
Sianotik SpO2 dengan oksigen 0
Respirasi
Bisa bernapas dalam dan batuk Bernapas dalam & batuk dengan bebas
Dyspneu, dangkal & bernapas secara 2
Dangkal tetapi ventilasi adekuat terbatas 1
Apneu
Apneu atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah antara 20% normal TD 20 mmHg dari normal 2
Tekanan darah 20-50% dari normal TD 20-50 mmHg dari normal 1
Deviasi tekanan darah dari normal TD > 50 mmHg dari normal 0
Kesadaran
Awake, alert, dan orientasi normal Sadar penuh 2
Bisa dibangunkan tetapi tidur lagi Sadar bila dipanggil 1
Tidak berespon Tidak berespon 0
Aktifitas
Menggerakan semua ekstremitas Menggerakan semua ekstremitas 2
Menggerakan 2 ekstremitas Menggerakan 2 ekstremitas 1
Tidak ada gerakan Tidak ada gerakan 0
1
Data dari Aldrete JA, Kronlik D: postanesthetic recovery score.
Anesth Analg 1970;49: 924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin
Anesth 1995;7.89
2
Idealnya pasien sebaiknya dikeluarkan ketika total score 10, namun bisa dilakukan bila minimal
9 tercapai
Dengan ditambahkannya kriteria diatas, pasien yang mendapat regional anesthesia harus
diassess untuk regresi blokade motoric dan sensorik. Resolusi komplet dari blok sebelum keluar
dari PACU menghindarkan cedera tambahan akibat kelemahan motorik dan defisit sensorik;
namun, banyak lembaga memiliki protokol yang memungkinkan pemindahan lebih cepat secara
tepat ke area monitoring, dan pasien mungkin pindah atau pulang dengan blok saraf perifer dari
single-shot atau infus kateter perineural kontinyu dengan tujuan sebagai analgesia regional.
Pencatatan regresi dari blok sangat penting. Kegagalan blok spinal atau epidural untuk hilang
dalam 6 jam setelah dosis terakhir anestesi lokal meningkatkan kemungkinan hematoma spinal
subdural, atau epidural, yang harus dieksklusi oleh pencitraan radiologi yang cepat dan evaluasi
neurologis.
Pada beberapa institusi, pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria discharge diatas ketika
keluar kamar operasi mungkin dapat di fast-tracked, dengan membypass PACU dan langsung
masuk langsung ke area fase 2 pulih sadar. Sama dengan itu, pasien rawat inap yang juga
memenuhi kriteria dapat ditransfer langsung dari kamar operasi menuju bangsal rawat inap, jika
terdapat personil dan monitoring yang mencukupi
Manajemen komplikasi
Komplikasi respirasi
Masalah pernapasan adalah komplikasi serius yang paling sering ditemui dalam PACU.
Mayoritas terkait dengan obstruksi jalan napas, hipoventilasi, atau hipoksemia. Karena hipoksemia
adalah jalur akhir terhadap morbiditas dan mortalitas yang serius, pemantauan rutin pulse oximetry
di PACU memudahkan pengenalan dini komplikasi ini sehingga efek samping yang lebih sedikit.
Hipoventilasi
Hipoventilasi, yang secara umum didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, merupakan hal
yang umum setelah general anestesi. Pada kebanyakan kasus, hipoventilasi ringan, dan
kebanyakan tidak terdiagnosis. Hipoventilasi yang signifikan terlihat jelas secara klinis ketika
PaCO2 > 60 mmHg atau darah arteri pH <7,25. Tandanya bervariasi dan mencakup somnolen,
obstruksi jalan napas, respiratory rate yang lambat, takipnea dengan pernapasan dangkal, atau
sesak napas. Asidosis respiratorik ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardia, hipertensi,
dan iritabilitas jantung (melalui stimulasi simpatis), tapi asidosis yang lebih parah menyebabkan
depresi sirkulasi (lihat Bab 50). Jika diduga terjadi hipoventilasi yang signifikan, assessment dan
manajemen difasilitasi oleh kapnografi dan/atau pengukuran gas darah arteri.
Hipoventilasi di PACU adalah paling sering disebabkan oleh sisa efek depresan obat anestesi
pada drive pernapasan. Depresi pernapasan yang disebabkan opioid memiliki karakteristik yaitu
respiratory rate yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi berlebihan biasanya
tampak, tetapi pasien responsif dan bisa bernapas dengan perintah. Terjadinya depresi pernafasan
yang terlambat telah dilaporkan dengan semua opioid. Mekanisme yang diusulkan mencakup
variasi dalam intensitas stimulasi selama pulih sadar dan delayed release opioid dari kompartemen
perifer, seperti otot skeletal (atau mungkin paru-paru dengan fentanil), ketika pasien mulai hangat
atau mulai bergerak.
Penyebab sisa pelumpuhan otot di PACU termasuk revesal yang tidak adekuat, interaksi
farmakologis, perubahan farmakokinetik (karena hipotermia, perubahan volume distribusi, dan
disfungsi ginjal atau hati), dan faktor metabolik (seperti hipokalemia atau asidosis respiratorik).
Terlepas dari penyebabnya, kelemahan umum, gerakan yang diskoordinasi ("fish out of water"),
volume tidal dangkal, dan takipnea biasanya jelas. Diagnosis dapat dibuat dengan stimulator saraf
pada pasien tidak sadar; angkat kepala dan kekuatan genggam dinilai pada pasien terjaga.
Kemampuan untuk mempertahankan angkat kepala selama 5 detik mungkin merupakan tes yang
paling sensitif untuk menilai kecukupan reversal.
Bebat karena nyeri insisi, disfungsi diafragma setelah operasi abdomen bagian atas atau
thorak, distensi abdomen, dan dressing perut yang ketat merupakan faktor-faktor lain yang dapat
berkontribusi terhadap hipoventilasi. Peningkatan produksi CO2 dari menggigil, hipertermia, atau
sepsis juga dapat meningkatkan PaCO2, bahkan pada pasien pulih sadar yang normal dari general
anestesi. Hipoventilasi yang bermakna dan asidosis pernafasan bisa terjadi ketika faktor-faktor ini
tumpang tindih dengan gangguan cadangan ventilasi karena penyakit paru yang mendasari,
penyakit neuromuskuler, atau neurologis.
Tatalaksana hipoventilasi
Tataklaksana sebaiknya secara umum ditujukan pada penyebab yang mendasarinya, tetapi
hipoventilasi yang bermakna membutuhkan assisted atau kontrol ventilasi hingga faktor penyebab
diidentifikasi dan dikoreksi. Penurunan kesadaran, depresi sirkulasi, dan asidosis berat (pH darah
arteri <7.15) indikasi untuk intervensi pernapasan dan hemodinamik dengan segera dan agresif,
termasuk airway dan inotropik support sesuai kebutuhan. Antagonis dari depresi opioid-induced
dengan menggunakan nalokson dosis besar sering menyebabkan nyeri tiba-tiba dan ditandai
peningkatan tonus simpatik yang bermakna. Yang terakhir ini dapat memicu krisis hipertensi,
edema paru, dan iskemia miokard atau infark. Jika nalokson digunakan untuk antidotum depresi
pernafasan yang diinduksi opioid, titrasi sedikit demi sedikit (80 mcg pada orang dewasa) biasanya
menghindarkan komplikasi dengan cara membalikkan hipoventilasi tanpa mengurangi efek
analgesia secara signifikan. Setelah pemberian nalokson, pasien harus diperhatikan dengan
seksama untuk kekambuhan depresi pernapasan akibat opioid ("renarcotization"), dimana
nalokson memiliki durasi lebih pendek dari kebanyakan opioid. Jika sisa pelumpuh otot muncul,
tambahan cholinesterase inhibitor dapat diberikan. Bila masih terdapat sisa pelumpuh otot
meskipun dosis penuh inhibitor cholinesterase diberikan, mengharuskan adanya kontrol ventilasi
di bawah observasi ketat sampai pemulihan spontan terjadi. Hipoventilasi karena nyeri dan bebat
pasca prosedur abdomen bagian atas atau thorak harus diobati dengan pemberian opioid intravena
atau intraspinal, ketorolac intravena, anestesi epidural, atau blok saraf interkostal.
Hipoksemia
Hipoksemia ringan merupakan hal yang umum pada pasien pulih sadar pasca anestesi ketika
oksigen tambahan tidak diberikan. Hipoksemia ringan sampai sedang (PaO2 50-60 mmHg) pada
pasien muda yang sehat dapat ditoleransi dengan baik pada awalnya, tetapi dengan meningkatnya
durasi atau keparahan, stimulasi simpatis awal sering terganti dengan asidosis progresif dan
depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tidak ada jika konsentrasi hemoglobin berkurang.
Hipoksemia juga dapat dicurigai dari kegelisahan, takikardia, atau iritabilitas jantung (ventrikel
atau atrium). Penurunan kesadaran, bradikardia, hipotensi, dan serangan jantung adalah tanda-
tanda akhir. Pulse oximetry memfasilitasi deteksi dini hipoksemia dan harus secara rutin
digunakan dalam PACU. Pengukuran gas darah arteri dapat dilakukan untuk mengkonfirmasikan
diagnosis dan panduan terapi.
Hipoksemia di PACU umumnya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting
intrapulmonal dari kanan ke kiri, atau keduanya. Penurunan curah jantung atau peningkatan
konsumsi oksigen (seperti dengan menggigil) akan menyebabkan hipoksemia. Diffusion
hypoxemia (lihat Bab 8) jarang menyebabkan hipoksemia ketika pasien pulih sadar diberikan
oksigen tambahan. Hipoksemia murni karena hipoventilasi juga tidak umum terjadi pada pasien
yang mendapat oksigen tambahan, kecuali terdapat hiperkapnia yang bermakna atau shunting
intrapulmonary yang terus tambah. Peningkatan shunting intrapulmonary dari penurunan relatif
functional residual capacity (FRC) terhadap closing capacity adalah penyebab paling umum dari
hipoksemia pasca anestesi umum. Penurunan terbesar dari FRC terjadi setelah operasi perut dan
dada bagian atas. Hilangnya volume paru sering dikaitkan dengan microatelectasis, dimana
atelektasis sering tidak diidentifikasi pada rontgen thoraks. Posisi semi-tegak membantu menjaga
FRC.
Shunting intrapulmonal dari kanan ke kiri yang bermakna (QS/QT >15%) biasanya berkaitan
dengan temuan radiologi, seperti atelektasi pulmonal, infiltrate parenkim, atau pneumothoraks
yang luas. Hal ini disebabkan oleh hipoventilasi intraoperative yang berkepanjangan dengan
volume tidal yang rendah, intubasi endobronchial yang tidak disengaja, lobus yang kolaps karena
obstruksi bronkus oleh darah atau sekret, aspirasi pulmonal, atau edema paru. Edema paru
postoperatif paling sering muncul sebagai wheezing dalam 60 menit pertama pasca pembedahan,
dan untuk tingkat yang lebih rendah, cairan pink frothy pada jalan napas, dan mungkin bisa
disebabkan oleh gagal ventrikel kiri (cardiogenic), acute respiratory distress syndrome, atau
pelepasan obstruksi airway yang berkepanjangan (negative pressure pulmonary edema).
Berkebalikan dengan wheezing yang berkaitan dengan edema paru, wheezing karena penyakit
paru obstruktif primer, dimana sering dihasilkan oleh peningkatan shunting intrapulmonal yang
besar, ini tidak berkaitan dengan cairan edema pada jalan japas atau infiltrate di chest x-ray.
Kemungkinan terjadinya pneumothoraks postoperati harus selalu dipertimbangkan pasca
pemasangan kateter sentral, blok supraclvicular atau intercostal, trauma abdomen dan thorax
(termasuk fracture costa), diseksi leher, tracheostomy, nephrektomi, atau prosedur intraabdominal
atau retroperitoneal lainnya (termasuk laparoskopy), terutama jika diafragma tembus atau robek.
Pasien dengan subpleural blebs atau bula yang besar bisa menyebabkan pneumothoraks selama
ventilasi tekanan positif
Tatalaksana hipoksemia
Terapi oksigen dengan atau tanpa positive airway pressure adalah dasar dalam pengobatan
untuk hipoksemia. Pemberian rutin 30% sampai 60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah
hipoksemia dengan hipoventilasi sedang dan hiperkapnia (sebaliknya, tanda-tanda klinis dari
hipoventilasi dan hiperkapnia dapat tertutupi dengan pemberian oksigen rutin). Pasien dengan
penyakit dasar paru atau jantung mungkin memerlukan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi;
terapi oksigen harus dipandu oleh SpO2 atau pengukuran analisa gas darah arteri. Konsentrasi
oksigen harus dikontrol ketat pada pasien dengan retensi CO2 kronis, untuk menghindari terjadinya
kegagalan pernafasan akut. Pasien dengan hipoksemia berat atau persisten harus diberikan oksigen
100% melalui masker nonrebreathing atau endotracheal tube sampai penyebabnya ditemukan dan
terapi lain yang dilakukan; controlled atau assisted ventilation mungkin diperlukan. Radiografi
toraks (sebaiknya dengan pasien diposisikan duduk tegak) bermanfaat untuk menilai volume paru
dan ukuran jantung dan dalam menemukan pneumotoraks atau infiltrat paru. Namun, dalam kasus
aspirasi paru, infiltrat awal biasanya tidak ada. Jika dicurigai pneumotoraks, rontgen dada yang
diambil pada akhir ekspirasi membantu memperlihatkan pneumotoraks dengan memberikan
kontras yang besar antara jaringan paru-paru dan udara yang berdekatan dalam ruang pleura.
Dalam situasi pasien diintubasi dengan hipoksemia, rontgen dada memberikan manfaat tambahan
untuk menilai suara napas dengan cara memverifikasi posisi ETT, terutama ketika tube sengaja
diposisikan tepat di atas karina, dengan akibat migrasi intermiten ke bronkus utama.
Terapi tambahan untuk hipoksemia sebaiknya ditujukan pada penyakit dasar. Chest tube atau
Heimlich valve sebaiknya dipasang untuk pada pneumothorax simptomatik atau lebih besar dari
15%-20%. Pneumothorax asimptomatik mungkin bisa diaspirasi dengan cateter intercostal atau
dengan observasi. Bronchospasme sebainya diterapi dengan bronchodilator aerosol. Diuretic bisa
diberikan pada overload cairan sirkulasi dan fungsi jantung harus dioptimalkan. Hipoksemia
persisten dengan 50% oksigen merupakan indikasi umum untuk pemeberian ventilasi dengan
positive end expiratory pressure or CPAP. Bronchoscopy sering bermanfaat untuk
mengembangkan atelectasis lobar yang disebabkan bronchial plug atau aspirasi. Pada setting
pasien dengan intubasi, sekresi atau debris bisa dihilangkan dengan suction atau dengan lavage,
jika diperlukan, dan endotracheal tube yang malposisi harus direposisi.
Komplikasi sirkulasi
Masalah sirkulasi yang umum terjadi di PACU adalah hipotensi, hipertensi, dan aritmia.
Kemungkinan bahwa kelainan sirkulasi sekunder akibat gangguan pernapasan yang harus selalu
dipertimbangkan sebelum intervensi lain, terutama pada anak-anak.
Hipotensi
Hipotensi biasanya dikarenakan hypovolemia, disfungsi ventrikel kiri, atau, yang tidak
umum, vasodilatasi arte yang masif. Hipovolemia sejauh ini merupakan penyebab paling umum
dari hipotensi di PACU. Hipovolemia absolut bisa disebabkan dari penggantian cairan
intraoperative yang tidak adekuat, penyerapan cairan oleh jaringan (third-spacing), drainase
luka, atau perdarahan. Vasokonstriksi selama hipotermia dengan sekuestrasi sentral volume
intravaskular dapat memasking hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik kembali; selanjutnya
vasodilatasi perifer selama rewarming unmasks hipovolemia dan menghasilkan delayed hipotensi.
Hipovolemia relatif sering berkaitan dengan hipotensi yang terkait dengan anestesi spinal atau
epidural (terutama dalam penggunaan general anestesi bersamaan), venodilator, dan blokade -
adrenergik: pooling vena mengurangi volume sirkulasi darah yang efektif, meskipun volume
intravaskular dinyatakan normal (lihat Bab 45). Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan
reaksi alergi biasanya merupakan hasil dari hipovolemia dan vasodilatasi. Hipotensi dari tension
pneumothorax atau tamponade jantung adalah hasil dari gangguan aliran balik vena ke atrium
kanan.
Disfungsi ventrikel kiri pada orang yang sebelumnya sehat merupakan hal yang tidak umum,
kecuali hal ini terkait dengan gangguan metabolik berat (hipoksemia, asidosis, atau sepsis).
Hipotensi akibat disfungsi ventrikel terutama ditemui pada pasien dengan penyakit arteri koroner
atau penyakit katup jantung atau gagal jantung kongestif dan biasanya dipicu oleh overload cairan,
iskemia miokard, peningkatan akut pada afterload, atau aritmia.
Tatalaksana hipotensi
Hipotensi ringan selama pulih sadar dari anestesi umum dan biasanya tidak memerlukan
perawatan intensif. Hipotensi yang signifikan sering didefinisikan sebagai penurunan 20%-30%
tekanan darah di bawah baseline pasien dan biasanya membutuhkan koreksi. Pengobatan
tergantung pada penilaian volume intravaskular. Peningkatan tekanan darah setelah bolus cairan
(250-500ml kristaloid atau 100-250ml koloid) umumnya mengkonfirmasi hipovolemia. Dengan
hipotensi berat, vasopressor atau inotrope (dopamin atau epinefrin) diperlukan untuk
meningkatkan tekanan darah arteri sampai defisit volume intravaskular setidaknya terkoreksi
sebagian. Tanda disfungsi jantung harus dicari pada pasien dengan penyakit jantung atau faktor
risiko jantung. Kegagalan pasien dengan hipotensi berat untuk segera merespon terapi awal
mengharuskan pemantauan invasif hemodinamik, atau lebih baik lagi, pemeriksaan
echocardiographic; manipulasi preload jantung, kontraktilitas, dan afterload jika diperlukan.
Adanya tension pneumothorax, yang terlihat dari hipotensi dengan suara napas menuurun
unilateral, hipersonor, dan deviasi trakea, merupakan indikasi untuk segera dilakukan aspirasi
pleura, bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Demikian pula, hipotensi akibat tamponade
jantung, biasanya pasca trauma thoraks atau bedah toraks, sering memerlukan pericardiocentesis
langsung atau eksplorasi bedah.
Hipertensi
Hipertensi paskaoperatif merupakan hal yang umum terjadi di PACU dan biasanya terjadi
dalam 30 menit pertama setelah masuk PACU. Stimulasi noxius dari nyeri insisi, intubasi
endotrakeal atau distensi kandung kencing biasanya merupakan penyebab hipertensi. Hipertensi
postoperatif bisa juga merefleksikan respon stress neuroendokrin terhadap pembedahan atau
peningkatan tonus simpatis sekunder karena hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis metabolic.
Pasien dengan riwayat hipertensi umumnya lebih mudah terjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa
penyebab yang bisa ditemukan. Kelebihan cairan atau hipertensi intracranial juga dapat
menyebabkan peningkatan hipertensi postoperatif
Tatalaksana hipertensi
Hipertensi ringan umumnya tidak membutuhkan terapi, tetapi penyebab yang reversibel
harus ditemukan. Hipertensi yang bermakna dapat mencetuskan perdarahan paskaoperatif, iskemia
myokard, gagal jantung, atau perdarahan intrakranial. Walaupun keputusan untuk memberikan
terapi hipertensi postoperatif sebaiknya secara individual, umumnya, peningkatan tekanan darah
lebih 20%-30% dari baseline, atau berkaitan dengan komplikasi seperti, iskemia myokard, gagal
jantung, atau perdarahan, sebaiknya di terapi. Peningkatan ringan hingga sedang dapat diterapi
dengan -adrenergik bloker, seperti labetalol, esmolol, atau metoprolol; angiotensin converting
enzyme inhibitor, seperti enalapril; atau calcium channel blocker, seperti nicardipine; hydralazine
dan nifedipine sublingual (ketika diberikan pada pasien yang tidak mendapatkan -adrenergik
bloker) dapat menyebabkan takikardia dan iskemia myokard dan infark. Hipertensi yang
bermaknadengan cardiac reserve yang terbatas membutuhkan monitoring intraarterial direct dan
sebaiknya diterapi dengan infus intravena nitroprusside, nitroglycerin, nicardipine, clevidipine,
atau fenoldopam. Tujuian akhir terapi harus mencapai dengan tekanan darah normal pasien.
Aritmia
Gangguan respirasi, umumnya hipoksemia, hiperkarbia, asidosis, umumnya berkaitan
dengan kejadian aritmia jantung. Efek sisa dari agen anestesi, peningkatan aktivitas sistem
simpatis, atu abnormalitas metabolic lainnya, dan penyakit jantung atau paru yang sebelumnya ada
merupakan faktor predisposisi aritmia di PACU.
Bradikardi sering merupakan akibat efek residu dari cholinesterase inhibitor, opioid, atau -
adrenergik bloker. Takikardia bisa disebabkan oleh efek dari agen anticholinergic; -agonis,
seperti albuterol; reflek takikardia dari hydralazine; dan paling umum, seperti nyeri, demam,
hypovolemia, dan anemia. Depresi fungsi baroreseptor anesthetic-induced membuat denyut
jantung tidak dapat dipercaya sebagai monitor volum intravaskular di PACU.
Kontraksi premature dari atrium dan ventrikel sering disebabkan oleh hipokalemia,
hipomagnesia, peningkatan tonus simpatasi, atau, yang palin jarang, iskemia myokard. Yang
terakhir dapat didiagnosa dengan EKG 12 sandapan. Kontaksi premature atrium dan ventrikel yang
ditemukan di PACU tanpa penyebab yang jelas akan sering juga ditemukan pada ECG
preoperative pasien, jika tersedia. Seperti pasien dengan riwayat ekstrasistole ada atau tidak
memiliki riwayat palpitasi atau gejala lainnya, dan sebelumnya pada evaluasi jantung sering
ditemukan tanpa penyebab yang jelas. Supraventrikel tachycardia, atrial flutter, dan fibrilasi atrial,
umumnya ditemukan pada pasien dengan riwayat aritmia ini dan umumnya ditemukan paska
pembedahan thoraks. Manajemen dari aritmia di diskusikan pada bab 20 dan 55.
Diskusi kasus
Demam dan takikardia pada laki-laki dewasa muda.
Seorang laki laki, 19 tahun, dengan fraktur tertutup femur pada kecelakan lalu lintas.
Terpasang traksi selama 3 haru sebelum pembedahan. Selama waktu tersebut, tercatat demam
ringan yang persisten (37,5-38,7C peroral), hipertensi ringan (150-170/70-90 mmHg, dan
takikardia (100-126 x/menit). Hematocrit berkisar antara 30-32,5%. Antibiotic broad spectrum
sudah berikan. Dia direncanakan untuk open reduction dan fiksasi internal. Ketika pasien dibawa
ke kamar operasi, vital sign sebagai berikut: tekanan darah 162/95 mmHg, nadi 150 x/menit,
respirasi 20 x/menit, dan temperature oral 38,1C. pasien berkeringan dan gelisah walaupun telah
diberikan premedikasi intravena dengan fentanyl 50 mcg dan midazolam 1 mg. dari pemeriksaan
fisik, ditemukan terdapat sedikit pembesaran kelenjar thyroid.
Apakah, jika ada, pemeriksaan tambahan yang bermanfaat pada evaluasi demam dan takikardia?
Pemeriksaan analisa gas darah dan pemeriksaan radiologi thorax bisa menolong untuk
mengeksklusi emboli lemak. Pemeriksaan hematocrit atau konsentrasi hemoglobin berulang akan
mengeksklusi perburukan anemia; takikardia signifikan mungkin terjadi bila hematocrit dibawah
25-27% (Hb < 8 g/dL) pada kebanyakan pasien. Respon terhadapa fluid challenge dengan 250-
599 ml koloid atau kristaloid mungkin bermanfaat; penurunan denyut jantung setelah bolus cairan
mengarahkan kearah hypovolemia. sama halnya dengan respon denyut jantung pada sedasi dan
pemberian analgesia opioid dapat menolong untuk mengeksklusi kecemasan dan nyeri, sebagai
penyebab. Walaupun diagnosis dari hipertiroid dapat dilakukan berdasarkan klinis, konfirmasi
membutuhkan pengukuran serum hormon tiroid; hal terakhir membutuhkan 24-48 jam pada
kebanyakan rumah sakit. Tanda dari infeksi seperti peningkatan inflamasi atau purulensi di luka,
sputum, infiltrate di foto thoraks, pyuria, atau leukositosis dengan sel darah putih premature pada
hapusan darah (shift to the left)- harus dilakukan kultur dan menyebabkan penundaan pembedahan
hingga didapatkan hasil dan antibiotic yang sesuai.
Pasien dipindahkan ke PACU untuk evaluasi lebih jauh. ECG 12 sandapan mengkonfirmasi
sinus takikardia 150 x/menit. Foto dada normal. Analisa gas darah arteri pada udara normal (pH
7.44, PaCO2 41 mmHg, PaO2 87 mmHg, dan HCO3- 27 mEq/L). konsentrasi hemoglobin 11 g/dL.
Darah untuk thyroid function test terkirim di laboratorium. Pasien tersedasi intravena dengan
midazolam 2mg dan fentanyl 50 mch dan diberikan 500 ml 5% albumin. Dia tampak tenang dan
bebas nyeri, tetapi penurunan denyut jantung hanya sampai 144 x/menit. Keputusan untuk
melanjutkan operasi dengan anesthesia epidural lumbar secara kontinyu dengan 2% lidokain.
Esmolol diberikan pelan hingga denyut nadi turun hingga 120 x/menit. Dan pemberian infus
esmolol kontinyu diberikan dengan kecepatan 300 mcg/kg/menit.
Prosedur seleasi dalam 3,5 jam. Walaupun pasient tidak mengeluh nyeri selama pembedahan
dan diberikan sedasi minimal (midazolam, 2mg), dia delirium hingga pemindahan ke PACU. Infus
esmolol diberikan dengan kecepatan 500 mcg/kg/min. pasien juga menerima propranolol, 24 mg
intravena. Estimated blood loss adalah 500 ml, dan penggantian cairan menggunakan 2 unit packed
red blood cell, 1000 ml hetastarch, dan 9000 ml ringer laktat. Vital sign sebagaimana berikut:
tekanan darah 105/40 mmHg, nadi 124 x/menit. Respirasi 30 x/menit, temperature rektal 38,8C.
analisa gas darah sebagaimana berikut: pH 7,37, PaCO2 37 mmHg, PaO2 91 mmHg dan HCO3-22
mEq/L
Konsultasi darurat dengan dokter endokrinologi telah dilakukan, dan setuju dengan diagnosis
badai tiroid dan akan membantu tatalaksana. Bagaimana manajemen badai tiroid?
Badai tiroid (krisis) adalah keadaan darurat medis dengan mortality rate 10%-50% tingkat
kematian. Hal ini biasanya ditemui pada pasien dengan penyakit Graves yang tidak terkontrol atau
tidak terdiagnosis. Faktor pemicu mencakup (1) stres pembedahan dan anestesi, (2) persalinan, (3)
infeksi berat, dan, yang jarang, (4) tiroiditis 1-2 minggu setelah pemberian yodium radioaktif.
Manifestasi umumnya termasuk perubahan status mental (mudah tersinggung, delirium, atau
koma), demam, takikardia, dan hipotensi. Aritmia atrium dan ventrikel merupakan hal yang umum
, terutama fibrilasi atrium. Gagal jantung kongestif terjadi 25% pasien. Hipertensi yang sering
mendahului hipotensi, intoleransi panas dengan berkeringat banyak, mual dan muntah, dan diare
mungkin menonjol awalnya. Hipokalemia hadir pada hingga 50% pasien. Tingkat hormon tiroid
yang tinggi dalam plasma, tidak berhubungan dengan tingkat keparahan krisis tiroid. Eksaserbasi
mendadak tirotoksikosis direpresentasikan dengan perubahan cepat hormon dari terikat protein
kedalam bentuk bebas atau peningkatan responsiveness hormon tiroid pada tingkat sel.
Tatalaksan diarahkan mengembalikan krisis tiroid dan komplikasinya. Kortikosteroid dosis
tinggi menghambat sintesis, pelepasan, dan konversi di perifer dari tiroksin (T4) ke yang lebih
aktif yaitu triiodothyronine aktif (T3). Kortikosteroid juga mencegah relatif adrenal insufisiensi
sekunder pada keadaaan hipermetabolik. Propiltiourasil diberikan untuk menghambat sintesis
hormon tiroid, dan iodida diberikan untuk menghambat pelepasan hormon tiroid dari kelenjar.
Propranolol tidak hanya antagonis pada efek perifer tirotoksikosis, tetapi juga dapat menghambat
konversi perifer T4. Gabungan 1 dan 2-bloker lebih baik dibanding 1 selektif antagonis
(esmolol atau metoprolol) karena aktivitas 2-reseptor yang berlebihan bertanggung jawab atas
efek metabolik. 2-reseptor bloker juga mengurangi aliran darah ke otot dan dapat menurunkan
produksi panas. Langkah-langkah suportif lainnya seperti pendinginan (cooling blanket),
acetaminophen (aspirin tidak dianjurkan karena dapat menggantikan hormon tiroid dari plasma
carrier protein), dan pemerian cairan yang memadai. Vasopressor sering diperlukan untuk
mensupport tekanan darah.
Kontrol ventrikel rate diindikasikan pada pasien dengan fibrilasi atrium. Echocardiography
transthoracic, echocardiography transesophageal, dan pemantauan hemodinamik dapat membantu
pada pengelolaan pasien dengan tanda-tanda gagal jantung kongestif atau hipotensi persisten. -
adrenergik blokade merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung kongestif.
Propranolol, deksametason, propilthiouracyl, dan natrium iodida diberikan; pasien dirawat
di unit perawatan intensif, di mana pengobatan dilanjutkan. Dalam 3 hari, terdapat peningkatan
status mental yang bermakna. T3 dan kadar total tiroksin pada hari operasi naik ke 250ng/dL dan
18,5ng/dL. Dia dipulangkan 6 hari kemudian dengan rejimen propranolol dan propylthiouracil,
dengan tekanan darah 124/80 mmHg dari, nadi 92 x/menit, dan temperature oral 37,3C.