Anda di halaman 1dari 31

Perawatan Pasca Anestesia

Konsep utama
1. Pasien yang telah dilakukan anestesi
sebaiknya tidak meninggalkan kamar 4. Masalah respirasi merupakan komplikasi

operasi sampai mereka memiliki jalan serius yang paling sering terjadi di ruang

napas yang bebas, mendapatkan ventilasi perawatan pasca anesthesia

dan oksigenasi yang adekuat, dan stabil (Postanesthesia Care Unit/PACU).

hemodinamiknya. Personil anestesi yang


5. Hipoventilasi di PACU, umumnya terjadi
cukup harus tersedia dalam proses
karena depresi pernapasan akibat sisa
pemindahan pasien.
efek dari agen anestesi. Sebagian besar
berkaitan dengan obstruksi jalan napas,
2. Sebelum pasien pulih sadar sepenuhnya,
hipoventilasi dan atau hipoksemia.
nyeri seringkali memiliki manifestasi
klinis berupa kegelisahan paska operasi. 6. Penurunan kesadaran, depresi sirkulasi,
Gangguan sistemik yang berat atau asidosis berat (pH darah arteri
(contohnya, hipoksemia, asidosis <7,15) merupakan indikasi untuk
metabolik atau respiratori, atau melakukan intervensi respirasi dan
hipotensi), distensi kandung kemih, atau hemodinamik secara cepat dan agresif,
komplikasi pembedahan (contohnya, termasuk bantuan jalan napas dan obat
perdarahan intraabdomen yang tidak inotropik bila diperlukan
terlihat) harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding dari agitasi paska 7. Setelah pemberian nalokson, pasien
operasi. harus diobservasi ketat untuk melihat
terjadinya depresi respirasi yang di

3. Menggigil yang hebat dapat disebabkan induksi opioid (renarkotisasi), dimana

dari peningkatan tajam konsumsi nalokson memiliki durasi kerja yang

oksigen, produksi CO2 dan curah jantung. lebih pendek dibanding kebanyakan

Efek fisiologis ini sering sulit ditoleransi opioid lainnya.

pada pasien dengan gangguan jantung


atau paru sebelumnya.
8. Peningkatan shunting intrapulmonal nefrektomi atau prosedur retroperitoneal
akibat penurunan relatif functional atau intraabdominal (termasuk
residual capacity (FRC) terhadap closing laparoskopi), khususnya jika diafragma
capacity adalah penyebab umum tertusuk atau robek.
hipoksemia paska anesthesia umum.
10. Hipovolemia merupakan penyebab
9. Kemungkinan pneumothoraks paska utama dari hipotensi di PACU.
operasi harus selalu dipertimbangkan
setelah pemangsangan kateter vena 11. Rangsangan nyeri nosiseptif dari nyeri

sentral, blok interkostalis, trauma insisi, intubasi endotrakeal, atau distensi

abdomen atau thoraks (termasuk fraktur kandung kemih biasanya berkaitan

iga), diseksi vena leher, trakeostomi, dengan hipertensi paska operasi.

Menurut sejarah, perhatian terhadap perawatan khusus selama masa paska operasi timbul
dari kesadaran akibat banyaknya kematian paska operasi dini yang terjadi setelah proses anesthesia
dan pembedahan dimana banyak dari kematian tersebut bisa dicegah. Keterbatasan perawat di
Amerika Serikat akibat perang dunia kedua, ditambah pengalaman dari banyaknya perawatanan
bedah pada korban perang, berkontribusi terjadinya tren paska perang yaitu sentralisasi pada
perawatan paska operasi dini dalam bentuk ruang pulih sadar, dimana satu atau lebih perawat dapat
mengobservasi ketat pada beberapa pasien paska operasi dini dalam satu waktu. Lebih dari dua
dekade,
Sukses dari PACU dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas paska operasi mengilhami
evolusi dari ruang perawatan intensif (ICU) yang moderen.
Perubahan terbaru dari perawatan paska anesthesia berhubungan terhadap perubahan dari
rawat inap ke pembedahan rawat jalan. Diperkirakan lebih dari 70% seluruh prosedur bedah di
Amerika Serikat saat ini dilakukan dalam prosedur rawat jalan. 2 fase pemulihan harus diketahui
untuk pembedahan rawat jalan. Fase 1 adalah fase pemulihan setingkat perawatan intensif yang
merawat pasien selama fase kegawatan dan bangun dari anesthesia dan berlangsung hingga kriteria
PACU terpenuhi (lihat kriteria pulang dibawah). Fase dua adalah perawatan pada tingkat lebih
rendah untuk mempersiapkan pasien untuk pulang ke rumah. Fast Tracking untuk menseleksi
pasien rawat jalan memungkinkan mereka untuk melewati perawatan fase 1 dengan aman dan
langsung menuju perwatan fase 2.
Pada banyak institusi, PACU umumnya berfungsi sebagai tempat untuk memonitor secara
intens pada masa perioperatif dan pasien dengan nyeri kronis yang akan menjalani prosedur seperti
blockade saraf dan pemasangan kateter epidural atau saraf tepi, dan pada prosedur lainnya seperti
pemasangan kateter vena sentral, terapi elektrokonvulsi dan elektif kardioversi. Unit PACU harus
dilengkapi tenaga peralatan yang cukup untuk merawat pasien dan segala kemungkinan
komplikasi yang potensial terjadi. Contohnya, pada area dimana blok regional dan epidural
dilakukan, Intralipid harus selalu tersedia untuk mengantisipasi toksistas dari agen anestesi lokal.
Bagian ini mendiskusikan komponen dasar dari PACU, penanganan general dari pasien pulih
sadar dari anesthesia dan pembedahan, serta komplikasi pernapasan dan sirkulasi yang umum
terjadi di PACU

Post Anesthesia Care Unit


Sebagai kesimpulan dari prosedur yang membutuhkan anesthesia, agen anesthesia
dihentikan, monitor dimatikan dan pasien yang disedasi atau anesthesia dibawa ke ruang PACU.
Setelah anesthesia general, jika terpasang endotracheal tube atau laryngeal mask airway (LMA),
dan jika ventilasi dinilai adekuat, endotrakeal tube atau LMA biasanya di lepas sebelum dilakukan
transportasi. Pasien paska regional anesthesia dan perawatan anesthesia (anesthesia lokal dengan
sedasi) juga diobservasi secara rutin di PACU. Sebagian besar guideline mesyaratkan bahwa
pasien dirawat di PACU setelah semua jenis anesthesia kecuali atas perintah khusus dari
anesthesiologis yang bersangkutan. Setelah laporan secara verbal (dan dalam beberapa kasus
tertulis) tentang serah terima pasien dengan perawat PACU, pasien dirawat di PACU sampai efek
utama dari anesthesia hilang. Periode ini ditandai dengan relatif tingginya insidensi dari
komplikasi sirkulasi dan respirasi yang mengancam nyawa.
Pemberian anesthesia di area selain kamar operasi, seperti endoskopi, radiologi intervensi,
dan MRI merupakan hal ang umum. Pasien pulih sadar paska anesthesia di area ini harus mendapat
standar yang sama dengan perawatan pasien yang di anesthesia di kamar operasi. Beberapa
institusi telah mengembangkan satelit PACU untuk mengelola sendiri dari area tersebut dan
beberapa menggabungkan area prosedur tersebut menjadi satu yang dilayani oleh satu PACU.
Desain
PACU harus terletak dekat dengan kamar operasi dan area prosedur invasif. Sentralisasi dari
area kamar operasi sendiri merupakan hal yang diinginkan, ini menjamin bahwa pasien dapat
kembali ke kamar operasi dengan cepat, jika dibutuhkan, atau anggota dari kamar operasi dapat
merespn dengan cepat masalah kegawatan pasien. Kedekatan dengan unit radiologi, laboratorium
dan fasilitas intensive care pada satu laintai juga menguntungkan. Perpindahan dari pasien gawat
melalui lift atau koridor yang panjang memperburuk perawatan pasien karena kegawatan tersebut
bertambah selama perjalanan.
Desain fasilitas ini berupa open ward sehingga dapat mengobservasi beberapa pasien secara
simultan. Namun, sejumlah ruang perawatan pasien tertutup secara individu diperlukan untuk
pasien yang membutuhkan isolasi untuk pengendalian infeksi. Rasio 1,5 tempat tidur PACU per
kamar operasi bisa disesuaikan, meskipun jumlah ini akan bervariasi tergantung pada volume
kasus masing-masing ruang operasi, jenis prosedur bedah, dan akuitas pasien. Setiap ruang pasien
harus cukup terang dan cukup besar untuk memudahkan ke pasien meskipun terdapat tiang untuk
infus pump, ventilator, atau peralatan radiografi; pedoman konstruksi mengharuskan minimal 7 ft
antara tempat tidur dan 120 sq ft/pasien. Beberapa outlet listrik, termasuk minimal satu dengan
daya darurat cadangan, dan setidaknya satu outlet masing-masing untuk oksigen dan suction harus
hadir di setiap tempat tidur.

Peralatan
Banyak insiden morbiditas atau mortalitas di PACU terkait dengan pemantauan yang tidak
adekuat. Pulse oksimetri (SpO2), elektrokardiogram (EKG), dan tekanan darah noninvasif (NIBP)
monitor harus ada di setiap ruang. Meskipun EKG, SpO2, dan NIBP harus dipakai pada setiap
pasien dalam tahap awal pemulihan dari anestesi (tahap 1 perawatan), penurunan level monitoring
mungkin bisa dilakukan setelahnya. Peralatan yang sesuai harus tersedia pada pasien yang
membutuhkan kateter arteri invasif, vena sentral, arteri paru, atau pemantauan tekanan intrakranial.
Kapnografi berguna pada pasien terintubasi sehingga dapat digunakan untuk pasien yang
diekstubasi juga. Temperature-sensitive strips dapat digunakan untuk mengukur suhu di PACU
tetapi tidak cukup akurat untuk mendokumentasikan hasil pengobatan untuk hipotermia atau
hipertermia; termometer merkuri atau elektronik harus digunakan jika diduga terdapat kelainan
temperatur. Sebuah forced-air warming device, lampu pemanas, dan/atau selimut
pemanasan/pendinginan harus tersedia.
PACU harus memiliki persediaan sendiri peralatan dasar dan emergensi, terpisah dari ruang
operasi, berdasarkan kebutuhan populasi pasien. Yaitu meliputi peralatan saluran napas, seperti
kanula oksigen, masker oksigen, airways tool baik nasal maupun oral, laryngoscope, endotrakeal
tube, LMA, cricothyrotomy kit, dan self-inflating bag untuk ventilasi. Ketersediaan kateter untuk
cannulation vaskular (vena, arteri, vena sentral) adalah wajib. Perangkat defbrillation dengan
kemampuan transcutaneous pacing, dan emergency cart dengan obat-obatan dan perlengkapan
untuk advanced life support (lihat Bab 55) dan infusion pump, harus hadir dan diperiksa secara
berkala. Transvenous pacing catheter; pulse generator; dan tracheostomy, chest tube, dan
perlengkapan vascular cut-down biasanya tersedia, tergantung pada populasi pasien bedah.
Perlengkapan terapi respirasi seperti aerosol bronchodilator treatment, continuous positive
airway pressure (CPAP), dan ventilator harus dekat dengan ruang pulih sadar. Ketersediaan yang
cepat dari bronchoskopi juga diinginkan.

Staffing
Staf yang tidak memadai sering disebut sebagai faktor utama dalam kecelakaan di PACU.
PACU harus dikelola oleh perawat yang dilatih khusus dalam perawatan orang dewasa dan/atau
pasien anak paska anestesi. Mereka harus memiliki keahlian dalam manajemen airway dan
advanced cardiac life support, serta masalah yang biasa ditemui pada pasien bedah yang berkaitan
dengan perawatan luka, drainase kateter, dan perdarahan pasca operasi.
Pasien di PACU harus dibawah arahan medis dokter anestesi, yang harus segera tanggap
untuk merespon masalah perawatan pasien baik emergensi ataupun urgent. Pada institusi bedah
dengan jumlah perawatan tersier yang tinggi sering memiliki seorang ahli anestesi yang bertugas
24 jam untuk PACU. Pengelolaan pasien di PACU harus merefleksikan upaya yang terkoordinasi
yang melibatkan dokter anestesi, dokter bedah, perawat, fisioterapi, dan konsultan yang sesuai.
Tim anestesi menekankan manajemen analgesia, airway, jantung, paru, dan masalah metabolik,
sedangkan tim bedah umumnya mengelola masalah yang berhubungan langsung dengan prosedur
bedah itu sendiri. Berdasarkan asumsi bahwa rata-rata lama tinggal di PACU adalah 1 jam dan
prosedur rawat inap rata-rata berlangsung 2-3 jam, rasio satu perawat PACU untuk dua pasien
umumnya memuaskan. Namun, staf untuk perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan beban
kasus yang unik dari setiap fasilitas. Jika jadwal ruang operasi rutin termasuk pasien anak-anak
atau prosedur singkat banyak, rasio satu perawat untuk satu pasien sering diperlukan. Seorang
perawat penanggung jawab harus ditugaskan untuk memastikan jumlah staf yang optimal setiap
saat, termasuk respons yang tepat untuk masalah perawatan pasien.

Perawatan pasien
Emergensi dari general anesthesia
Pemulihan dari anestesi umum atau regional merupakan stres fisiologis yang besar. Pulih
sadar dari general anestesi idealnya harus ditandai dengan pulih sadar yamg halus dan bertahap
dalam lingkungan yang terkendali. Namun, masalah seperti obstruksi jalan napas, menggigil,
agitasi, delirium, nyeri, mual dan muntah, hipotermia, dan ketidakseimbangan fungsi otonom yang
sering ditemui. Pasien yang menerima anestesi spinal atau epidural mungkin mengalami
penurunan tekanan darah selama transportasi atau pemulihan; yang efek simpatolitik dari blok
konduksi mencegah kompensasi refleks vasokonstriksi ketika pasien dipindahkan atau ketika
mereka duduk.
Setelah anestesi inhalasi, kecepatan dari pulih sadar berbanding lurus dengan ventilasi
alveolar, tetapi berbanding terbalik dengan kelarutan agen dalam darah (lihat Bab 8). Dengan
bertambahnya durasi anestesi, pulih sadar menjadi semakin bergantung pada total uptake jaringan,
yang bergantung dari kelarutan agen, konsentrasi rata-rata yang digunakan, dan durasi paparan
obat anestesi. Hipoventilasi menyebabkan penundaan pulih sadar dari anestesi inhalasi.
Pulih sadar dari anestesi intravena bergantung dari fungsi farmakokinetiknya. Pemulihan
dari kebanyakan agen anestesi intravena lebih tergantung pada redistribusi daripada metabolisme
dan eliminasi. Dengan peningkatan total dosis yang diberikan, bagaimanapun, efek kumulatif pada
klinis semakin jelas berupa pulih sadar yang berkepanjangan; penghentian aksi menjadi semakin
tergantung pada metabolisme atau eliminasi. Ini adalah dasar dari konsep context-sensitive half-
time (lihat Bab 7). Usia lanjut, penyakit ginjal atau hati dapat memperpanjang pulih sadar (lihat
Bab 9). Agen anestesi durasi pendek dan ultrashort-acting, seperti propofol dan remifentanil,
secara signifikan mempersingkat pulih sadar, waktu untuk bangun, dan kepulangan. Beberapa
studi menunjukkan bahwa penggunaan Bispectral Skala Index (BIS) Monitor (lihat Bab 6) dapat
mengurangi jumlah total dosis obat dan memperpendek pemulihan dan waktu untuk kepulangan.
Penggunaan LMA (bukan endotrakeal tube) juga memungkinkan anestesi dengan level yang
ringan sehingga dapat mempercepat pulih sadar.
Kecepatan pulih sadar juga dapat dipengaruhi oleh obat praoperatif. premedikasi dengan
agen yang durasinya lebih lama dari prosedur (misalnya, lorazepam) mungkin diperkirakan
memperpanjang pulih sadar. Midazolam short-acting merupakan agen premedikasi yang cocok
untuk prosedur singkat. Efek dari kurang tidur praoperatif atau konsumsi obat (alkohol, obat
penenang) juga aditif terhadap agen anestesi dan memperpanjang pulih sadar.

Pemanjangan pulih sadar


Penyebab paling sering pemanjangan pulih sadar (pasien gagal untuk kembali mencapai
kesadarannya setelah 30-60 menit general anestesi) adalah efek sisa agen anestesi, sedatif, dan
obat analgesik. Pemanjangan ini dapat terjadi sebagai akibat dari overdosis absolut maupun relatif
atau potensiasi dari agen anestesi dengan obat sebelumnya atau konsumsi alkohol. Nalokson (80
mcg kenaikan pada orang dewasa) dan flumazenil (0,2 mg kenaikan pada orang dewasa) akan
mudah membalikkan efek dari opioid dan benzodiazepine, masing-masing. Physostigmine (1-2
mg) dapat membalikkan sebagian efek dari agen lain. Sebuah perangsang saraf dapat digunakan
untuk menyingkirkan blokade neuromuscular yang persisten pada pasien kurang responsive pada
ventilasi mekanik yang memiliki spontaneous tidal volume inadekuat.
Hipotermia, gangguan metabolik yang bermakna, dan perioperatif stroke menyebabkan
pemanjangan pulih sadar yang jarang terjadi. Core temperature kurang dari 33C memiliki efek
anesthesia dan potensiasi efek depresi sistem saraf pusat. Forced-air warming device merupakan
alat yang paling efektif untuk menaikan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia bisa disingkirkan
dari pulse oksimetri, kapnografi, dan atau analisis gas darah. Hiperkalsemia, hipermagnesemia,
hiponatremia, hipoglikemia, dan hiperglikemia jarang menyebabkan pemanjangan pulih sadar dan
membutuhkan tes laboratorium untuk diagnosis. Perioperatif stroke sangat langka terjadi, kecuali
setelah pembedahan saraf, jantung, dan serebrovaskular (lihat bab 28); diagnosis dilakukan dengan
evaluasi neurologis dan radiological imaging.

Transportasi dari kamar operasi ke PACU


Periode transport ini pendek dan rumit dikarenakan oleh kurangnya monitoring yang
adekuat, akses medikasi, dan perlengkapan resusitasi. Pasien paska anestesi sebaiknya tidak
meninggalkan kamar operasi kecuali jalan napas bebas, ventilasi adekuat dan oksigenasi, dan stabil
hemodinamiknya; personil yang cukup dan mampu harus hadir dalam proses transfer. Oksigen
tambahan harus diberikan selama perjalanan pada pasien dengan resiko hipoksemia. Beberapa
studi menyarankan bahwa pasien dengan hipoksemia transien (SpO2 <90%) mungkin akan
menjadi 30%-50% pada pasien yang dinyatakan normal selama pemindahan ketika bernapas
dengan udara ruangan; oksigen tambahan disarankan untuk diberikan pada seluruh pasien yang
transfer, khususnya apabila jarak PACU dengan kamar operasi cukup jauh. Pasien tidak stabil
sebaiknya tetap terintubasi dan di transfer dengan monitor portable (ECG, SpO2, dan tekanan
darah) dan ketersediaan obat emergensi.
Semua pasien harus dibawa ke PACU dengan brankar atau bed yang bisa diposisikan head-
down (Trendelenburg) atau posisi back-up. Posisi head-down bermanfaat pada pasien
hypovolemia, sedangkan posisi back-up bermanfaat pada pasien dengan underlying disease
pulmonary dysfunction (lihat bab 20 dan 23). Pasien dengan peningkatan resiko muntah atau
perdarahan jalan napas atas (misalnya, paska tonsilektomi) sebaiknya dipindahkan dalam posisi
lateral. Posisi ini juga mencegah obstruksi airway dan memudahkan drainase sekret.

Pulih sadar rutin


Anestesia general
Patensi airway, vital sign, oksigenasi dan tingkat kesadaran harus dinilai segera setelah
pasien sampain di PACU. Setelahnya dilakukan pengukuran tekanan darah, nadi, dan respiratory
rate yang dilakukan rutin setidaknya setiap 5 untuk 15 menit pertama atau hingga stabil, dan setiap
15 menit setelahnya. Pulse oksimetri harus selalu dimonitor pada setiap pasien. Kejadian
hipoksemia tidak berkaitan dengan derajat kesadaran. Fungsi neuromuscular harus dinial secara
klinis (misalnya angkat kepala dan kekuatan menggenggam). Setidaknya sekali dilakukan
pengukuran temperatur. Monitoring tambahan seperti penilaian nyeri (misalnya skala numerik
atau deskriptif); ada atau tidaknya mual muntah; keseimbangan cairan, termasuk produksi urin,
drain, dan perdarahan. Setelah vital sign awal didapatkan, provider anesthesia harus memberikan
laporan kepada perawat PACU yang berisi (1) riwayat preoperative (termasuk mental status dan
masalah komunikasi, seperti language barrier, tuli, buta, atau gangguan mental. (2) hal-hal yang
berkaitan dengan intraoperatif (tipe anesthesia, prosedur pembedahan, blood loss, fluid
replacement, antibiotik, dan medikasi lainya yang berkaitan, dan segala komplikasi); (3) masalah
postoperatif yang mungkin terjadi; (4) Pemberian medikasi yang mungkin perlu diantisipasi di
PACU, seperti antibiotic; dan (5) perintah pasca anesthesia (analgesic dan terapi untuk mual dan
muntah; perawatan kateter epidural atau perineural; termasuk kebutuhan manajemen nyeri akut,
pemberian cairan atau tranfusi darah, ventilasi postoperatif, chest x-ray untuk follow up kateter
vena sentral, dsb.)
Semua pasien pulih sadar dari anesthesia general harus medapat oksigen tambahan dan
monitoring pulse oksimeter selama masa pulih sadar karena hipoksemia transient dapat terjadi
dimanapun termasuk pasien sehat. Keputusan rasional untuk meneruskan terapi oksigen tambahan
pada saat pasien keluar di PACU diputuskan berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan.
Pengukuran gas darah arteri mungkin dilakukan untuk konfirmasi terhadar saturasu oksimetri yang
abnormal. Terapi oksigen harus diberikan secara terkontrol pada pasien dengan PPOK dan pasien
dengan riwayat, atau potensial untuk, retensi CO2. Pasien umumnya diposisikan back-up position,
sebisa mungkin, untuk optimasi oksigenasi. Namun, elevasi kepala dari tempat tidur sebelum
pasien sadar penuh dapat menyebabkan obstruksi airway. Pada beberapa kasus, airway oral atau
nasal harus diletakkan ditempatnya sampai pasien sadar dan mempertahankan jalan napasnya.
Nafas dalam dan batuk dilakukan secara periodik.

Anesthesia regional
Pasien yang tersedasi dalam atau hemodinamik tidak stabil paska anesthesia regional harus
mendapat oksigen tambahandi PACU. Level sensorik dan motoric harus dicatat secara periodik
untuk mendokumentasikan regresi dari blok tersebut. Pencegahan dengan pemberian padding atau
peringatan berulang diperlukan untuk mencegah cedera akibat gerakan tangan yang tidak
terkoordinasi setelah blok plexus brachialis. Tekanan darah harus dimonitor ketat setelah
anesthesia spinal dan epidural. Kateter urin diperlukan pada pasien yang mendapat kateter spinal
atau epidural lebih dari 4 jam.

Manajemen nyeri
Nyeri paskaoperatif berat dan sedang umumnya dapat dikelola dengan opioid oral atau
parenteral. Namun, pemberian opioid perioperatif berhubungan dengan efek samping (mual dan
muntah, depresi napas, pruritis, ileus, dan retensi urin) dimana menjadi efek samping yang
signifikan pada postoperatif. Untuk merespon masalah ini, berbagai macam strategi opioid sparing
telah dilakukan dalam dua dekade terakhir untuk mengurangi kebutuhan opioid, efek samping
yang berhubungan dengan opioid, ketika mempertahankan analgesia yang mencukupi (lihat bab
47). Pemberian oral NSAID, acetaminophen, dan gabapentin atau pregabalin secara signifikan
menurunkan kebutuhan opioid postoperatif, dan pemberian ini dapat diteruskan postoperatif jika
pasien bisa mendapatkan obat secara oral. Menambahkan modalitas analgesic dengan lokal
anesthesia, seperti infiltrasi lokal luka operasi intraoperative, postoperative wound catheter
infusions, single shot atau continuous catheter peripheral nerve blocks, dan continuous epiduran
infusion, juga mengurangi kebutuhan analgesic opioid paskaoperatif, dan juga menurunkan efek
samping terkait opioid.
Nyeri paskaoperatif ringan hingga sedang bisa diterapi secara oral dengan acetaminophen,
ibuprofen, hydrocodone, atau oxycodone. Alternatifnya, ketorolac tromethamine (15-30 mg pada
dewasa) atau acetaminophen (15 mg/kg atau 1 gram jika pasien >50 kg) diberikan secara intravena.
Pada situasi dimana nyeri postoperatif sedang hingga berat muncul, atau analgesic oral tidak
memungkinkan, opioid parenteral atau intraspinal, single shot atau continuous nerve blocks dan
continuous epidural analgesia digunakan, biasanya dilakukan kombinasi. Opioid parenteral secara
aman diberikan dengan cara titrasi dalam dosis rendah. Kebutuhan opioid yang bervariasi harus
diperkirakan pada pasien bedah yang pulih sadar di PACU, dan analgesia yang adekuat harus
seimbang dengan resiko sedasi yang berlebihan dan depresi napas. Opioid dengan durasi
menengah dan panjang, seperti hydromorphone 0,25-0,5 mg (0,015-0,02 mg/kg pada anak) atau
morphine 2-4 mg (0,025-0,05 mg/kg pada anak), merupakan opioid yang paling umum digunakan.
Meperidine sering sekali digunakan dalam dosis kecil untuk mengobati menggigil postoperatif.
Kebutuhan opioid seringkali meningkat pada pasien dengan riwayat nyeri kronis dan pengguna
opioid jangka lama, karena toleransi terhadap opioid, dan pada pasien dengan riwayat adiksi
opioid, karena toleransi terhadap opioid dan ketergantungan psikologis. Konsultasi dengan ahli
nyeri sangat bermafaat oada kondisi seperti ini.
Efek analgesi dari opioid parenteral biasanya memuncak dalam hitungan menit setelah
pemberian. Depresi napas maksimal, umumnya dengan morphine dan hydromorphone, munkin
tidak terjadi sampai 20-30 menit kemudian. Ketika pasien sadar penuh, patient controlled analgesia
bisa di berikan pasien rawat inap. Pemberian opioid intramuscular tidak dianjurkan karena
onsetnya lambat dan bervariasi (10-20 menit atau lebih) dan kemungkinan depresi napas lebih
lama (hingga 1 jam).
Ketika kateter epidural digunakan, pemberian bolus fentanyl (50-100 mcg) atau sufentanil
(20-30 mcg) dengan bupivacaine 0,1% 5-10 ml dapat memberikan analgesia yang baik pada orang
dewasa. Epidural morphine (3-5 mcg) munkin dapat digunakan, tetapi depresi napas yang
terlambat dengan pemberian epidural dari opioid ini memerlukan monitoring ketat dalam 24 jam
kedepan (lihat bab 48).

Agitasi
Sebelum pasien pulih sadar sadar penuh, nyeri sering bermanifestasi sebagai gaduh gelisah
paskaoperasi. Gangguan sistemik yang serius (seperti hipoksemia, asidosis metabolic atau
respiratori, atau hipotensi), distensi kandung kencing atau komplikasi pembedahan (seperti
perdarahan intraabdomilan yang tak terdeteksi) juga dipertimbangkan sebagai diferensial
diagnosis dari agitasi postoperatif. Agitasi yang bermakna mungkin membutuhkan pembatasan
gerakan pada tangan dan kaki untuk mencegah mencederai diri sendiri, terutama pada anak. Ketika
gangguan psikologi sudah di eksklusi pada anak, gendongan dan kata kata dari petugas yang
simpatik atau orang tua sering dapat menenangkan penderita anak anak. Faktor lain yang
berkontribusi didalam kegelisahan dan ketakutan post operatif seperti efek samping obat
(antikolinergik central dosis besar, phenothiazines, atau ketamine). Physostigmine 1-2 mg IV (0,05
mg/kg pada anak) merupakan cara efektif untuk mengobati delirium akibat atropine dan
scopolamine. Jika gangguan sistemik yang serius dan nyeri disingkirkan, agitasi yang persisten
mungkin memerlukan sedasi dengan midazolam 0,5-1 mg IV (0,05 mg/kg pada anak) secara
intermitten.
Tabel 56.1 Faktor resiko postoperative nausea and vomiting
Faktor pasien
Anak anak
Perempuan, terutama jiga menstruasi pada hari pembedahan atau trimester pertama
kehamilan
Badan yang besar
Riwayat dengan muntah postoperatif
Riwayat mabuk perjalanan
Teknik anesthesia
General anesthesia
Obat
Opioid
Agen volatile
Nitrous oxide
Prosedur pembedahan
Pembedahan strabismus
Pembedahan telinga
Laparoskopi
Orchiopexy
Pengambilan ovum
Tonsilektomi
Pembedahan payudara
Faktor postoperatif
Nyeri postoperatif
Hipotensi

Mual dan muntah


Postoperative nausea and vomiting (PONV) sangat umum terjadi setelah anesthesia general,
terjadi 30-40% dari seluruh pasien. Selain itu, PONV terjadi di rumah dalam 24 jam setelah
pemulangan yang lancer (post discharge nausea and vomiting) dalam jumlah yang signifikan pada
pasien pembedahan rawat jalan. Etiologi PONV biasanya multifaktorial dan berhubungan dengan
agen anestesi dan analgesik, jenis prosedur bedah, dan faktor intrinsic pasien, seperti riwayat
mabuk perjalanan. Hal ini juga penting untuk mengenali bahwa mual adalah keluhan umum yang
dilaporkan pada onset hipotensi, terutama setelah anestesi spinal atau epidural.
Tabel 56-1 berisi daftar faktor risiko PONV yang umum. Peningkatan insiden mual dan
muntah dilaporkan setelah pemberian opioid dan pembedahan intraperitoneal (terutama
laparoskopi), payudara, dan strabismus. Insiden terbesar tampaknya pada wanita muda; mual
mungkin lebih umum selama menstruasi. Peningkatan tonus vagus dinyatakan sebagai bradikardia
mendadak biasanya mendahului, atau bertepatan dengan, emesis. Propofol menurunkan kejadian
PONV, dan riwayat merokok praoperasi mengurangi kemungkinan PONV. Selektif 5-
hydroxytryptamine (serotonin) reseptor 3 (5-HT3) antagonis, seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kg
pada anak-anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg, dan dolasetron 12,5 mg (0.035 mg/kg pada anak-
anak), efektif dalam mencegah PONV, dan, pada tingkat lebih rendah, mengobati PONV yang
telah terjadi. Perlu dicatat bahwa tidak seperti ondansetron, yang onsetnya cepat, dolasetron
membutuhkan 15 menit untuk onset. Preparat tablet oral disintegrasi dari ondansetron (8 mg)
mungkin berguna untuk pengobatan dan profilaksis terhadap mual dan muntah. Metoclopramide,
0.15 mg/kg intravena, adalah kurang efektif dibanding 5-HT3 antagonis. Antagonis 5-HT3 tidak
terkait dengan manifestasi ekstrapiramidal akut (distonik) dan reaksi disforia yang mungkin terjadi
pada metoclopramide atau fenotiazin-jenis antiemetik. Transdermal skopolamin efektif, tetapi efek
sampingnya, seperti sedation, dysphoria, penglihatan kabur, mulut kering, retensi urin, dan
eksaserbasi glaukoma, terutama pada pasien usia lanjut. Deksametason 4-10 mg (0,10 mg/kg pada
anak-anak), ketika digunakan sebagai antiemetik, memiliki keuntungan analgesia berbeda-beda
dan rasa nyaman. Selain itu, tampaknya efektif sampai 24 jam, dan, dengan demikian, mungkin
berguna untuk postdischarge mual dan muntah. Oral aprepitant (Emend) 40 mg dapat diberikan
dalam waktu 3 jam sebelum induksi anestesi. Droperidol intravena 0,625-1,25 mg (0,05-0,075
mg/kg pada anak-anak), ketika diberikan intraoperatif, mengurangi secara signifikan kemungkinan
PONV. Sayangnya, US Food and Drug Administration memberikan "black box" warning terhadap
droperidol, peringatan itu berisi dosis besar (5-15 mg) dapat memperpanjang interval QT dan telah
dikaitkan dengan aritmia jantung yang fatal. Profilaksis nonfarmakologi terhadap PONV termasuk
memastikan hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa, dan stimulasi titik akupunktur P6
(pergelangan tangan). Yang terakhir mungkin termasuk pemberian tekanan, arus listrik, atau
suntikan.
Terdapat kontroversi tentang penggunaan profilaksis PONV secara rutin. Karena biaya yang
dikeluarkan untuk kejadian PONV, mungkin akan cost-effective untuk memberikan profilaksis
pada semua pasien pada populasi tertentu (pasien rawat jalan). Pasien dengan faktor resiko
multiple harus mendapatkan profilaksis. Selain itu, penggunaan dua atau tiga agen yang bekerja
pada reseptor yang berbeda bekerja lebih efektif daripada profilaksis dengan agen tunggal.

Menggigil dan hipotermia


Menggigil dapat terjadi di PACU sebagai akibat dari hipotermia intraoperative atau efek dari
agen anesthesia, dan umunya juga pada periode dini postpartum. Penyebab yang paling penting
pada hipoterima adalah redistribus panas tubuh dari core ke kompartemen perifer (lihat bab 6).
Temperatur ruangan yang relative dingin, eksposure yang lama dari luka operasi yang besar, dan
penggunaan cairan infus yang tidak dihangatkan dalam jumlah besar atau gas yang tidak
dihumidifikasi dalam aliran yang tinggi juga berkontribusi. Hampir semua agen anesthesia,
terutama agen volatile dan spinal dan epidural anesthesia, menurunkan respon vasokonstriktif
terhadap hipotermia akibat penurunan tonus simpatis. Walaupun agen anesthesia menurunkan
ambang batas menggigil. Menggigil umumnya terlihat selama atau setelah mulai sadar dari general
anesthesia yang ditandai usaha tubuh untuk menaikan produksi panas dan temperature tubuh yang
bisa dikaitkan dengan vasokonstriksi yang kuat. Pulih sadar setelah general anesthesia yang
singkat terkadang juga dikaitkan dengan menggigil, dan walaupun menggigil bisa merupakan
salah satu tanda neurologis yang tidak spesifik (posturing, clonus, atau Babinskis sign) terkadang
muncul selama pemulihan kesadaran, yang paling sering disebabkan oleh hipotermia. Tanpa
memperhatikan mekanismenya, insidensinya tampaknya terkait dengan durasi pembedahan dan
penggunaan agen volatile. Menggigil terkadang cukup untuk menyebabkan hyperthermia (38-
39C) dan asidosis metabolic signifikan, keduanya mungkin akan membaik jika menggigilnya
berhenti. Penyebab lain dari menggigil harus dieksklusi, seperti bacteremia dan sepsis, alergiobat
atau rekasi tranfusi.
Hipotermia harus diterapi dengan forced-air warming device, atau (tidak nyaman) dengan
lampu atau selimut pemanas, untuk meningkatkan temperature tubuh ke normal. Menggigil yang
hebat memicu peningkatan konsumsi oksigen, produksi CO2 dan cardiac output. Efek fisikologis
ini sering tidak dapat ditoleransi pasien dengan gangguan paru dan jantung. Hipotermia dikaikan
dengan peningkatan insiden iskemia myokard, aritmia, peningkatan kebutuhan tranfusi karena
koagulopati, dan peningkatan durasi dari efek muscle relaxant. Meperidine intravena dengan dosis
(10-25 mg) secara dramatis bisa menurunkan atau bahkan menghentikan menggigil. Pasien yang
terintubasi dan dengan ventilasi mekanik juga bisa disedasi dan diberikan pelumpuh otot sampai
normotermia tercapai dengan penghangatan yang aktif sampai efek anesthesia menghilang.

Kriteria pemulangan/pemindahan
A. PACU
Semua pasien harus dievaluasi oleh penyedia anesthesia yang berkualifikasi sebelum keluar
dari PACU kecuali diterapkannya kriteria pemulangan dari PACU. Standar pemulangan pasien
dari PACU dikeluarkan oleh departemen anesthesiology dan staf medic rumah sakit. Mereka
memperbolehkan perawat PACU untuk menentukan kriteria pemindahan tanpa kehadiran dokter
anestesi jika semua kriteria pemulangan/pemindahan dari PACU telah dipenuhi. Kriteria ini
bervariasi tergantung kemana pasien dipulangkan atau dipindahkan seperti ke intensive care unit,
unit rawat inap biasa, department rawat jalan (pulih saadar fase 2), atau langsung pulang.
Sebelum pulang, pasien harus diobservasi untuk depresi napas minimal 20-30 menit setelah
disus terakhir opioid parenteral. Kriteria discharge minimal untuk pasien pulih sadar dari general
anesthesia biasanya antara lain.
1. Bisa dibangunkan dengan mudah
2. Orientasi penuh
3. Kemampuan untuk mempertahankan dan menjaga airway
4. Vital sign yang stabil paling tidak 15-30 menit.
5. Kemampuan untuk meminta pertolongan juka membutuhkan
6. Tidak ada tanda komplikasi pembedahan (seperti perdarahan aktif)
Nyeri postoperatif dan mual muntah harus dikontrol, dan normotermia harus tercapai
sebelum keluar dari PACU. Sistem skoring umum digunakan. Kebanyakan mengassess SpO2 (atau
warna), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktifitas motoric (table 56.2). Sebagian besar pasien
memenuhi kriteria discharge dalam 60 menit dari waktu tiba di PACU. Pasien dipindahkan ke
ruangan intensive care area lainya jika tidak memenuhi semua persyaratan.
Tabel 56.2 Postanesthetic Aldrete recovery score1,2
Kriteria original Kriteria modifikasi Nilai
Warna Oksigenasi
Pink SpO2 > 92% dengan udara ruangan 2
Pucat SpO2 > dengan oksigen 1
Sianotik SpO2 dengan oksigen 0
Respirasi
Bisa bernapas dalam dan batuk Bernapas dalam & batuk dengan bebas
Dyspneu, dangkal & bernapas secara 2
Dangkal tetapi ventilasi adekuat terbatas 1
Apneu
Apneu atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah antara 20% normal TD 20 mmHg dari normal 2
Tekanan darah 20-50% dari normal TD 20-50 mmHg dari normal 1
Deviasi tekanan darah dari normal TD > 50 mmHg dari normal 0
Kesadaran
Awake, alert, dan orientasi normal Sadar penuh 2
Bisa dibangunkan tetapi tidur lagi Sadar bila dipanggil 1
Tidak berespon Tidak berespon 0
Aktifitas
Menggerakan semua ekstremitas Menggerakan semua ekstremitas 2
Menggerakan 2 ekstremitas Menggerakan 2 ekstremitas 1
Tidak ada gerakan Tidak ada gerakan 0
1
Data dari Aldrete JA, Kronlik D: postanesthetic recovery score.
Anesth Analg 1970;49: 924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin
Anesth 1995;7.89
2
Idealnya pasien sebaiknya dikeluarkan ketika total score 10, namun bisa dilakukan bila minimal
9 tercapai
Dengan ditambahkannya kriteria diatas, pasien yang mendapat regional anesthesia harus
diassess untuk regresi blokade motoric dan sensorik. Resolusi komplet dari blok sebelum keluar
dari PACU menghindarkan cedera tambahan akibat kelemahan motorik dan defisit sensorik;
namun, banyak lembaga memiliki protokol yang memungkinkan pemindahan lebih cepat secara
tepat ke area monitoring, dan pasien mungkin pindah atau pulang dengan blok saraf perifer dari
single-shot atau infus kateter perineural kontinyu dengan tujuan sebagai analgesia regional.
Pencatatan regresi dari blok sangat penting. Kegagalan blok spinal atau epidural untuk hilang
dalam 6 jam setelah dosis terakhir anestesi lokal meningkatkan kemungkinan hematoma spinal
subdural, atau epidural, yang harus dieksklusi oleh pencitraan radiologi yang cepat dan evaluasi
neurologis.
Pada beberapa institusi, pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria discharge diatas ketika
keluar kamar operasi mungkin dapat di fast-tracked, dengan membypass PACU dan langsung
masuk langsung ke area fase 2 pulih sadar. Sama dengan itu, pasien rawat inap yang juga
memenuhi kriteria dapat ditransfer langsung dari kamar operasi menuju bangsal rawat inap, jika
terdapat personil dan monitoring yang mencukupi

B. Pasien rawat jalan


Disamping munculnya kesadaran dan bangun, pemulihan kesadaran dari prosedur anesthesia
rawat jalan termasuk 2 tahapan tambahan: kesiapan untuk pulang (pulih sadar fase 2) dan
pemulihan psikomotor secara sempurna. Sebuah sistem skor telah dikembangkan untuk
menentukan kesiapan pasien untuk pulang (tabel 56.3). Pemulihan proprioseptif, tonus simpatis,
fungsi kandung kemih, dan kekuatan motorik merupakan kriteria tambahan setelah anesthesia
regional. Contohnya, proprioseptif yang baik pada jempol, atau perubahan ortostatik yang minimal
pada tekanan darah dan perubahan detak jantung, dan fleksi plantar kaki merupakan tanda penting
dari pemulihan paska anesthesia spinal. Buang air kecil, makan atau minum sebelum pulang
biasanya tidak diperlukan; kecuali pasien dengan riwayat reternsi urin dan pasien dengan diabetes.
Semua pasien rawat jalan harus dipulangkan dengan ditemani oleh orang dewasa yang
bertanggung jawab dan akan tinggal semalam dengan pasien (yang terakhir ini diperlukan jika
mereka telah menerima obat bius). Pasien harus diberi instruksi pasca operasi ditulis tentang cara
untuk mendapatkan bantuan darurat dan melakukan perawatan tindak lanjut rutin. Penilaian
kesiapan untuk pulang adalah tanggung jawab anesthesia provider yang memenuhi syarat,
sebaiknya seseorang yang sudah akrab dengan pasien, meskipun otoritas untuk memulangkan
pasien bisa didelegasikan ke perawat, jika kriteria pemulangan terpenuhi.
Kesiapan untuk pulang tidak berarti bahwa pasien memiliki kemampuan untuk membuat
keputusan penting, untuk menyetir, atau untuk kembali bekerja. Kegiatan tersebut membutuhkan
pemulihan psikomotor yang lengkap, yang sering tidak tercapai sampai 24-72 jam pasca operasi.
Semua pusat rawat jalan harus menggunakan beberapa sistem pasca operasi tindak lanjut,
sebaiknya kontak telepon sehari setelah pemulangan.

Manajemen komplikasi
Komplikasi respirasi
Masalah pernapasan adalah komplikasi serius yang paling sering ditemui dalam PACU.
Mayoritas terkait dengan obstruksi jalan napas, hipoventilasi, atau hipoksemia. Karena hipoksemia
adalah jalur akhir terhadap morbiditas dan mortalitas yang serius, pemantauan rutin pulse oximetry
di PACU memudahkan pengenalan dini komplikasi ini sehingga efek samping yang lebih sedikit.

Sumbatan jalan napas


Obstruksi jalan napas pada pasien tidak sadar paling sering disebabkan oleh jatuhnya lidah
ke posterior faring (lihat Bab 19). Penyebab lainnya adalah spasme laring, edema glotis, sekresi,
muntahan, tampon yang tertinggal atau darah dalam airway, atau tekanan eksternal pada trakea
(paling sering dari hematoma leher). Obstruksi jalan napas parsial biasanya muncul sebagai
respirasi yang terdengar nyaring. Nyaris total atau total obstruksi menyebabkan penghentian aliran
udara dan tidak adanya bunyi nafas dan mungkin disertai dengan gerakan dada paradoxal. Perut
dan dada normalnya naik bersama-sama selama inspirasi; Namun, pada obstruksi jalan napas, dada
turun sedangkan perut naik selama setiap inspirasi (gerakan dada paradoxal). Pasien dengan
obstruksi jalan napas harus menerima tambahan oksigen sementara langkah-langkah untuk
mengkoreksi dilakukan. Kombinasi jaw-thrust dan head-tilt manuver menarik lidah ke depan dan
membuka jalan napas, dan pemasangan oral atau nasal airway tool sering meredakan masalah.
Nasal airway tool mungkin lebih bisa ditoleransi daripada oral airway pada pasien pulih sadar dan
dapat menurunkan kemungkinan trauma pada gigi ketika pasien menggigit.
Jika manuver di atas gagal untuk membuka kembali jalan napas terbuka, laringospasme
harus dipertimbangkan. Laringospasme biasanya ditandai dengan suara crowing bernada tinggi,
tetapi bisa juga diam bila penutupan glotis lengkap. Spasme pita suara lebih mudah terjadi setelah
trauma jalan nafas, instrumentasi berulang, atau stimulasi dari sekresi atau darah dalam jalan
napas. Jaw-thrust manuver, terutama bila dikombinasikan dengan gentle positive airway pressure
melalui masker wajah ketat, biasanya memperbaiki laringospasme. Pemasangan jalan napas oral
atau nasal juga membantu dalam memastikan jalan napas paten sampai ke tingkat pita suara. Setiap
sekresi atau darah dalam hipofaring harus disedot untuk mencegah obstruksi ulang. Laringospasme
refrakter harus ditangani dengan dosis kecil succinylcholine intravena (10-20 mg pada orang
dewasa) dan ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100%. Intubasi endotrakeal mungkin
kadang-kadang diperlukan untuk memperbaiki kembali ventilasi; cricothyrotomy atau
transtracheal jet ventilasi diindikasikan jika intubasi tidak berhasil dalam kasus tersebut.
Edema glotis pasca instrumentasi saluran napas merupakan penyebab penting dari obstruksi
jalan napas pada bayi dan anak-anak karena lumen saluran udara yang relatif kecil. Kortikosteroid
intravena (deksametason, 0,5 mg/kg, 10 mg dosis maksimum) atau epinefrin rasemic aerosol (0,5
mL larutan 2,25% dengan 3 mL normal saline) mungkin berguna dalam kasus tersebut. Hematoma
pasca operasi tiroid, arteri karotis, dan leher lainnya dapat dengan cepat menggangu jalan napas,
dan membuka luka segera mengurangi kompresi trakea dalam banyak kasus. Jarang, kasa tidak
sengaja tertinggal di hipofaring pasca bedah mulut dan dapat menyebabkan obstruksi total jalan
napas langsung atau delayed , terutama pada pasien dengan fiksasi intermaxillary.
Decannulation baik disengaja atau tidak disengaja dari fresh tracheostomy berbahaya karena
jaringan belum terorganisasi membentuk lingkaran dengan baik, sehingga sering membuat
recannulation sangat sulit atau tidak mungkin. Dalam kasus trakeostomi dilakukan dalam 3-4
minggu sebelumnya, penggantian sengaja kanula trakeostomi hanya boleh dilakukan dengan ahli
bedah yang kompeten di samping tempat tidur dan instrumen trakeostomi set, serta peralatan
saluran napas lain yang sesuai, tersedia.

Hipoventilasi
Hipoventilasi, yang secara umum didefinisikan sebagai PaCO2 > 45 mmHg, merupakan hal
yang umum setelah general anestesi. Pada kebanyakan kasus, hipoventilasi ringan, dan
kebanyakan tidak terdiagnosis. Hipoventilasi yang signifikan terlihat jelas secara klinis ketika
PaCO2 > 60 mmHg atau darah arteri pH <7,25. Tandanya bervariasi dan mencakup somnolen,
obstruksi jalan napas, respiratory rate yang lambat, takipnea dengan pernapasan dangkal, atau
sesak napas. Asidosis respiratorik ringan sampai sedang dapat menyebabkan takikardia, hipertensi,
dan iritabilitas jantung (melalui stimulasi simpatis), tapi asidosis yang lebih parah menyebabkan
depresi sirkulasi (lihat Bab 50). Jika diduga terjadi hipoventilasi yang signifikan, assessment dan
manajemen difasilitasi oleh kapnografi dan/atau pengukuran gas darah arteri.
Hipoventilasi di PACU adalah paling sering disebabkan oleh sisa efek depresan obat anestesi
pada drive pernapasan. Depresi pernapasan yang disebabkan opioid memiliki karakteristik yaitu
respiratory rate yang lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi berlebihan biasanya
tampak, tetapi pasien responsif dan bisa bernapas dengan perintah. Terjadinya depresi pernafasan
yang terlambat telah dilaporkan dengan semua opioid. Mekanisme yang diusulkan mencakup
variasi dalam intensitas stimulasi selama pulih sadar dan delayed release opioid dari kompartemen
perifer, seperti otot skeletal (atau mungkin paru-paru dengan fentanil), ketika pasien mulai hangat
atau mulai bergerak.
Penyebab sisa pelumpuhan otot di PACU termasuk revesal yang tidak adekuat, interaksi
farmakologis, perubahan farmakokinetik (karena hipotermia, perubahan volume distribusi, dan
disfungsi ginjal atau hati), dan faktor metabolik (seperti hipokalemia atau asidosis respiratorik).
Terlepas dari penyebabnya, kelemahan umum, gerakan yang diskoordinasi ("fish out of water"),
volume tidal dangkal, dan takipnea biasanya jelas. Diagnosis dapat dibuat dengan stimulator saraf
pada pasien tidak sadar; angkat kepala dan kekuatan genggam dinilai pada pasien terjaga.
Kemampuan untuk mempertahankan angkat kepala selama 5 detik mungkin merupakan tes yang
paling sensitif untuk menilai kecukupan reversal.
Bebat karena nyeri insisi, disfungsi diafragma setelah operasi abdomen bagian atas atau
thorak, distensi abdomen, dan dressing perut yang ketat merupakan faktor-faktor lain yang dapat
berkontribusi terhadap hipoventilasi. Peningkatan produksi CO2 dari menggigil, hipertermia, atau
sepsis juga dapat meningkatkan PaCO2, bahkan pada pasien pulih sadar yang normal dari general
anestesi. Hipoventilasi yang bermakna dan asidosis pernafasan bisa terjadi ketika faktor-faktor ini
tumpang tindih dengan gangguan cadangan ventilasi karena penyakit paru yang mendasari,
penyakit neuromuskuler, atau neurologis.

Tatalaksana hipoventilasi
Tataklaksana sebaiknya secara umum ditujukan pada penyebab yang mendasarinya, tetapi
hipoventilasi yang bermakna membutuhkan assisted atau kontrol ventilasi hingga faktor penyebab
diidentifikasi dan dikoreksi. Penurunan kesadaran, depresi sirkulasi, dan asidosis berat (pH darah
arteri <7.15) indikasi untuk intervensi pernapasan dan hemodinamik dengan segera dan agresif,
termasuk airway dan inotropik support sesuai kebutuhan. Antagonis dari depresi opioid-induced
dengan menggunakan nalokson dosis besar sering menyebabkan nyeri tiba-tiba dan ditandai
peningkatan tonus simpatik yang bermakna. Yang terakhir ini dapat memicu krisis hipertensi,
edema paru, dan iskemia miokard atau infark. Jika nalokson digunakan untuk antidotum depresi
pernafasan yang diinduksi opioid, titrasi sedikit demi sedikit (80 mcg pada orang dewasa) biasanya
menghindarkan komplikasi dengan cara membalikkan hipoventilasi tanpa mengurangi efek
analgesia secara signifikan. Setelah pemberian nalokson, pasien harus diperhatikan dengan
seksama untuk kekambuhan depresi pernapasan akibat opioid ("renarcotization"), dimana
nalokson memiliki durasi lebih pendek dari kebanyakan opioid. Jika sisa pelumpuh otot muncul,
tambahan cholinesterase inhibitor dapat diberikan. Bila masih terdapat sisa pelumpuh otot
meskipun dosis penuh inhibitor cholinesterase diberikan, mengharuskan adanya kontrol ventilasi
di bawah observasi ketat sampai pemulihan spontan terjadi. Hipoventilasi karena nyeri dan bebat
pasca prosedur abdomen bagian atas atau thorak harus diobati dengan pemberian opioid intravena
atau intraspinal, ketorolac intravena, anestesi epidural, atau blok saraf interkostal.

Hipoksemia
Hipoksemia ringan merupakan hal yang umum pada pasien pulih sadar pasca anestesi ketika
oksigen tambahan tidak diberikan. Hipoksemia ringan sampai sedang (PaO2 50-60 mmHg) pada
pasien muda yang sehat dapat ditoleransi dengan baik pada awalnya, tetapi dengan meningkatnya
durasi atau keparahan, stimulasi simpatis awal sering terganti dengan asidosis progresif dan
depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tidak ada jika konsentrasi hemoglobin berkurang.
Hipoksemia juga dapat dicurigai dari kegelisahan, takikardia, atau iritabilitas jantung (ventrikel
atau atrium). Penurunan kesadaran, bradikardia, hipotensi, dan serangan jantung adalah tanda-
tanda akhir. Pulse oximetry memfasilitasi deteksi dini hipoksemia dan harus secara rutin
digunakan dalam PACU. Pengukuran gas darah arteri dapat dilakukan untuk mengkonfirmasikan
diagnosis dan panduan terapi.
Hipoksemia di PACU umumnya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting
intrapulmonal dari kanan ke kiri, atau keduanya. Penurunan curah jantung atau peningkatan
konsumsi oksigen (seperti dengan menggigil) akan menyebabkan hipoksemia. Diffusion
hypoxemia (lihat Bab 8) jarang menyebabkan hipoksemia ketika pasien pulih sadar diberikan
oksigen tambahan. Hipoksemia murni karena hipoventilasi juga tidak umum terjadi pada pasien
yang mendapat oksigen tambahan, kecuali terdapat hiperkapnia yang bermakna atau shunting
intrapulmonary yang terus tambah. Peningkatan shunting intrapulmonary dari penurunan relatif
functional residual capacity (FRC) terhadap closing capacity adalah penyebab paling umum dari
hipoksemia pasca anestesi umum. Penurunan terbesar dari FRC terjadi setelah operasi perut dan
dada bagian atas. Hilangnya volume paru sering dikaitkan dengan microatelectasis, dimana
atelektasis sering tidak diidentifikasi pada rontgen thoraks. Posisi semi-tegak membantu menjaga
FRC.
Shunting intrapulmonal dari kanan ke kiri yang bermakna (QS/QT >15%) biasanya berkaitan
dengan temuan radiologi, seperti atelektasi pulmonal, infiltrate parenkim, atau pneumothoraks
yang luas. Hal ini disebabkan oleh hipoventilasi intraoperative yang berkepanjangan dengan
volume tidal yang rendah, intubasi endobronchial yang tidak disengaja, lobus yang kolaps karena
obstruksi bronkus oleh darah atau sekret, aspirasi pulmonal, atau edema paru. Edema paru
postoperatif paling sering muncul sebagai wheezing dalam 60 menit pertama pasca pembedahan,
dan untuk tingkat yang lebih rendah, cairan pink frothy pada jalan napas, dan mungkin bisa
disebabkan oleh gagal ventrikel kiri (cardiogenic), acute respiratory distress syndrome, atau
pelepasan obstruksi airway yang berkepanjangan (negative pressure pulmonary edema).
Berkebalikan dengan wheezing yang berkaitan dengan edema paru, wheezing karena penyakit
paru obstruktif primer, dimana sering dihasilkan oleh peningkatan shunting intrapulmonal yang
besar, ini tidak berkaitan dengan cairan edema pada jalan japas atau infiltrate di chest x-ray.
Kemungkinan terjadinya pneumothoraks postoperati harus selalu dipertimbangkan pasca
pemasangan kateter sentral, blok supraclvicular atau intercostal, trauma abdomen dan thorax
(termasuk fracture costa), diseksi leher, tracheostomy, nephrektomi, atau prosedur intraabdominal
atau retroperitoneal lainnya (termasuk laparoskopy), terutama jika diafragma tembus atau robek.
Pasien dengan subpleural blebs atau bula yang besar bisa menyebabkan pneumothoraks selama
ventilasi tekanan positif

Tatalaksana hipoksemia
Terapi oksigen dengan atau tanpa positive airway pressure adalah dasar dalam pengobatan
untuk hipoksemia. Pemberian rutin 30% sampai 60% oksigen biasanya cukup untuk mencegah
hipoksemia dengan hipoventilasi sedang dan hiperkapnia (sebaliknya, tanda-tanda klinis dari
hipoventilasi dan hiperkapnia dapat tertutupi dengan pemberian oksigen rutin). Pasien dengan
penyakit dasar paru atau jantung mungkin memerlukan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi;
terapi oksigen harus dipandu oleh SpO2 atau pengukuran analisa gas darah arteri. Konsentrasi
oksigen harus dikontrol ketat pada pasien dengan retensi CO2 kronis, untuk menghindari terjadinya
kegagalan pernafasan akut. Pasien dengan hipoksemia berat atau persisten harus diberikan oksigen
100% melalui masker nonrebreathing atau endotracheal tube sampai penyebabnya ditemukan dan
terapi lain yang dilakukan; controlled atau assisted ventilation mungkin diperlukan. Radiografi
toraks (sebaiknya dengan pasien diposisikan duduk tegak) bermanfaat untuk menilai volume paru
dan ukuran jantung dan dalam menemukan pneumotoraks atau infiltrat paru. Namun, dalam kasus
aspirasi paru, infiltrat awal biasanya tidak ada. Jika dicurigai pneumotoraks, rontgen dada yang
diambil pada akhir ekspirasi membantu memperlihatkan pneumotoraks dengan memberikan
kontras yang besar antara jaringan paru-paru dan udara yang berdekatan dalam ruang pleura.
Dalam situasi pasien diintubasi dengan hipoksemia, rontgen dada memberikan manfaat tambahan
untuk menilai suara napas dengan cara memverifikasi posisi ETT, terutama ketika tube sengaja
diposisikan tepat di atas karina, dengan akibat migrasi intermiten ke bronkus utama.
Terapi tambahan untuk hipoksemia sebaiknya ditujukan pada penyakit dasar. Chest tube atau
Heimlich valve sebaiknya dipasang untuk pada pneumothorax simptomatik atau lebih besar dari
15%-20%. Pneumothorax asimptomatik mungkin bisa diaspirasi dengan cateter intercostal atau
dengan observasi. Bronchospasme sebainya diterapi dengan bronchodilator aerosol. Diuretic bisa
diberikan pada overload cairan sirkulasi dan fungsi jantung harus dioptimalkan. Hipoksemia
persisten dengan 50% oksigen merupakan indikasi umum untuk pemeberian ventilasi dengan
positive end expiratory pressure or CPAP. Bronchoscopy sering bermanfaat untuk
mengembangkan atelectasis lobar yang disebabkan bronchial plug atau aspirasi. Pada setting
pasien dengan intubasi, sekresi atau debris bisa dihilangkan dengan suction atau dengan lavage,
jika diperlukan, dan endotracheal tube yang malposisi harus direposisi.

Komplikasi sirkulasi
Masalah sirkulasi yang umum terjadi di PACU adalah hipotensi, hipertensi, dan aritmia.
Kemungkinan bahwa kelainan sirkulasi sekunder akibat gangguan pernapasan yang harus selalu
dipertimbangkan sebelum intervensi lain, terutama pada anak-anak.
Hipotensi
Hipotensi biasanya dikarenakan hypovolemia, disfungsi ventrikel kiri, atau, yang tidak
umum, vasodilatasi arte yang masif. Hipovolemia sejauh ini merupakan penyebab paling umum
dari hipotensi di PACU. Hipovolemia absolut bisa disebabkan dari penggantian cairan
intraoperative yang tidak adekuat, penyerapan cairan oleh jaringan (third-spacing), drainase
luka, atau perdarahan. Vasokonstriksi selama hipotermia dengan sekuestrasi sentral volume
intravaskular dapat memasking hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik kembali; selanjutnya
vasodilatasi perifer selama rewarming unmasks hipovolemia dan menghasilkan delayed hipotensi.
Hipovolemia relatif sering berkaitan dengan hipotensi yang terkait dengan anestesi spinal atau
epidural (terutama dalam penggunaan general anestesi bersamaan), venodilator, dan blokade -
adrenergik: pooling vena mengurangi volume sirkulasi darah yang efektif, meskipun volume
intravaskular dinyatakan normal (lihat Bab 45). Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan
reaksi alergi biasanya merupakan hasil dari hipovolemia dan vasodilatasi. Hipotensi dari tension
pneumothorax atau tamponade jantung adalah hasil dari gangguan aliran balik vena ke atrium
kanan.
Disfungsi ventrikel kiri pada orang yang sebelumnya sehat merupakan hal yang tidak umum,
kecuali hal ini terkait dengan gangguan metabolik berat (hipoksemia, asidosis, atau sepsis).
Hipotensi akibat disfungsi ventrikel terutama ditemui pada pasien dengan penyakit arteri koroner
atau penyakit katup jantung atau gagal jantung kongestif dan biasanya dipicu oleh overload cairan,
iskemia miokard, peningkatan akut pada afterload, atau aritmia.

Tatalaksana hipotensi
Hipotensi ringan selama pulih sadar dari anestesi umum dan biasanya tidak memerlukan
perawatan intensif. Hipotensi yang signifikan sering didefinisikan sebagai penurunan 20%-30%
tekanan darah di bawah baseline pasien dan biasanya membutuhkan koreksi. Pengobatan
tergantung pada penilaian volume intravaskular. Peningkatan tekanan darah setelah bolus cairan
(250-500ml kristaloid atau 100-250ml koloid) umumnya mengkonfirmasi hipovolemia. Dengan
hipotensi berat, vasopressor atau inotrope (dopamin atau epinefrin) diperlukan untuk
meningkatkan tekanan darah arteri sampai defisit volume intravaskular setidaknya terkoreksi
sebagian. Tanda disfungsi jantung harus dicari pada pasien dengan penyakit jantung atau faktor
risiko jantung. Kegagalan pasien dengan hipotensi berat untuk segera merespon terapi awal
mengharuskan pemantauan invasif hemodinamik, atau lebih baik lagi, pemeriksaan
echocardiographic; manipulasi preload jantung, kontraktilitas, dan afterload jika diperlukan.
Adanya tension pneumothorax, yang terlihat dari hipotensi dengan suara napas menuurun
unilateral, hipersonor, dan deviasi trakea, merupakan indikasi untuk segera dilakukan aspirasi
pleura, bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Demikian pula, hipotensi akibat tamponade
jantung, biasanya pasca trauma thoraks atau bedah toraks, sering memerlukan pericardiocentesis
langsung atau eksplorasi bedah.

Hipertensi
Hipertensi paskaoperatif merupakan hal yang umum terjadi di PACU dan biasanya terjadi
dalam 30 menit pertama setelah masuk PACU. Stimulasi noxius dari nyeri insisi, intubasi
endotrakeal atau distensi kandung kencing biasanya merupakan penyebab hipertensi. Hipertensi
postoperatif bisa juga merefleksikan respon stress neuroendokrin terhadap pembedahan atau
peningkatan tonus simpatis sekunder karena hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis metabolic.
Pasien dengan riwayat hipertensi umumnya lebih mudah terjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa
penyebab yang bisa ditemukan. Kelebihan cairan atau hipertensi intracranial juga dapat
menyebabkan peningkatan hipertensi postoperatif

Tatalaksana hipertensi
Hipertensi ringan umumnya tidak membutuhkan terapi, tetapi penyebab yang reversibel
harus ditemukan. Hipertensi yang bermakna dapat mencetuskan perdarahan paskaoperatif, iskemia
myokard, gagal jantung, atau perdarahan intrakranial. Walaupun keputusan untuk memberikan
terapi hipertensi postoperatif sebaiknya secara individual, umumnya, peningkatan tekanan darah
lebih 20%-30% dari baseline, atau berkaitan dengan komplikasi seperti, iskemia myokard, gagal
jantung, atau perdarahan, sebaiknya di terapi. Peningkatan ringan hingga sedang dapat diterapi
dengan -adrenergik bloker, seperti labetalol, esmolol, atau metoprolol; angiotensin converting
enzyme inhibitor, seperti enalapril; atau calcium channel blocker, seperti nicardipine; hydralazine
dan nifedipine sublingual (ketika diberikan pada pasien yang tidak mendapatkan -adrenergik
bloker) dapat menyebabkan takikardia dan iskemia myokard dan infark. Hipertensi yang
bermaknadengan cardiac reserve yang terbatas membutuhkan monitoring intraarterial direct dan
sebaiknya diterapi dengan infus intravena nitroprusside, nitroglycerin, nicardipine, clevidipine,
atau fenoldopam. Tujuian akhir terapi harus mencapai dengan tekanan darah normal pasien.

Aritmia
Gangguan respirasi, umumnya hipoksemia, hiperkarbia, asidosis, umumnya berkaitan
dengan kejadian aritmia jantung. Efek sisa dari agen anestesi, peningkatan aktivitas sistem
simpatis, atu abnormalitas metabolic lainnya, dan penyakit jantung atau paru yang sebelumnya ada
merupakan faktor predisposisi aritmia di PACU.
Bradikardi sering merupakan akibat efek residu dari cholinesterase inhibitor, opioid, atau -
adrenergik bloker. Takikardia bisa disebabkan oleh efek dari agen anticholinergic; -agonis,
seperti albuterol; reflek takikardia dari hydralazine; dan paling umum, seperti nyeri, demam,
hypovolemia, dan anemia. Depresi fungsi baroreseptor anesthetic-induced membuat denyut
jantung tidak dapat dipercaya sebagai monitor volum intravaskular di PACU.
Kontraksi premature dari atrium dan ventrikel sering disebabkan oleh hipokalemia,
hipomagnesia, peningkatan tonus simpatasi, atau, yang palin jarang, iskemia myokard. Yang
terakhir dapat didiagnosa dengan EKG 12 sandapan. Kontaksi premature atrium dan ventrikel yang
ditemukan di PACU tanpa penyebab yang jelas akan sering juga ditemukan pada ECG
preoperative pasien, jika tersedia. Seperti pasien dengan riwayat ekstrasistole ada atau tidak
memiliki riwayat palpitasi atau gejala lainnya, dan sebelumnya pada evaluasi jantung sering
ditemukan tanpa penyebab yang jelas. Supraventrikel tachycardia, atrial flutter, dan fibrilasi atrial,
umumnya ditemukan pada pasien dengan riwayat aritmia ini dan umumnya ditemukan paska
pembedahan thoraks. Manajemen dari aritmia di diskusikan pada bab 20 dan 55.

Diskusi kasus
Demam dan takikardia pada laki-laki dewasa muda.
Seorang laki laki, 19 tahun, dengan fraktur tertutup femur pada kecelakan lalu lintas.
Terpasang traksi selama 3 haru sebelum pembedahan. Selama waktu tersebut, tercatat demam
ringan yang persisten (37,5-38,7C peroral), hipertensi ringan (150-170/70-90 mmHg, dan
takikardia (100-126 x/menit). Hematocrit berkisar antara 30-32,5%. Antibiotic broad spectrum
sudah berikan. Dia direncanakan untuk open reduction dan fiksasi internal. Ketika pasien dibawa
ke kamar operasi, vital sign sebagai berikut: tekanan darah 162/95 mmHg, nadi 150 x/menit,
respirasi 20 x/menit, dan temperature oral 38,1C. pasien berkeringan dan gelisah walaupun telah
diberikan premedikasi intravena dengan fentanyl 50 mcg dan midazolam 1 mg. dari pemeriksaan
fisik, ditemukan terdapat sedikit pembesaran kelenjar thyroid.

Haruskah tim bedah melakukan operasi?


Pembedahan yang dilakukan adalah elektif; oleh karena itu abnormalitas yang signifikan
sebaiknya didiagnosis dan diterapi preoperative, jika memungkinkan, untuk mengoptimalkan
pasien sebelum pembedahan. Jika pasien memiliki open fraktur, resiko infeksi akan mengharuskan
operasi segera. Sekalipun pada fraktur femur tertutup, penundaan atau keterlambatan harus
dihindari karena tatalaksana nonoperatif berpotensi menaikkan resiko yang berhubungan bed rest,
termasuk atelektasi, pneumonia, deep venous thrombosis, dan potensial terjadinya thromboemboli
pulmonal. Untuk memutuskan apakah pasien dilakukan pembedahan, dokter anesthesia harus
menanyakan pertanyaan berikut
1. Apakah penyebab yang paling sering dari abnormalitas berdasarkan presentasi klinis?
2. Apakah, jika ada, pemeriksaan tambahan atau konsultasi yang bermanfaat?
3. Bagaimana abnormalitas tersebut berpengaruh dengan managemen anesthesia?
4. Apakah interaksi anesthesia yang mungkin terjadi yang serius sehingga mampu menunda
pembedahan hingga penyebab yang dicurigai diekslusi? Takikardia 150 kali/menit dan
dengan demam ringan membutuhkan evaluasi lanjutan ke pembedahan.

Apakah penyebab dari takikardia dan demam pada pasien?


2 abnormalitas ini merefleksikan 1 proses atau masalah yang terpisah (tabel 56-4 dan 56-5.
Selain itu, walaupun banyak faktor teridentifikasi secara simultan, keterlibatan dari masing masing
faktor sering tidak jelas demam umumnya terjadi paska trauma berat; faktor yang berkontribusi
termasuk reaksi inflamasi untuk trauma jaringan, infeksi yang tumpang tindih (paling sering pada
luka, paru, dan saluran kemih), antibiotic terapi, reaksi obat, atau thrombophlebitis. Infeksi harus
dipertimbangkan serius pada pasien karena resiko bacteria seeding dan infeksi pada fiksasi metal
yang dipasang selama pembedahan. Walaupun takikardia umumnya berkaitan dengan demam
ringan, itu biasanya tidak terlalu besar pada pasien 19 tahun. Nyeri sedang berat, kecemasan,
hypovolemia, atau anemia mungkin bisa merupakan faktor yang berkontribusi. Emboli lemak di
paru harus dipertimbangkan pada pasien dengan fraktur tulang panjang, umumnya ketika terdapat,
hipoksemia, takipneu, atau perubahan status mental. Terakhir, kemungkinan disebabkan
pembesaran kelenjar thyroid, berkeringat, dan tampak gelisah, bersamaan dengan demam dan
takikardia, mengarah ke thyrotoxicosis.

TABEL 56-4 Penyebab takikardia perioperatif.


Kecemasan Drug-induced
Nyeri Agen antimuskarinik
Demam (lihat Tabel 56-5) -adrenergik agonis
Respirasi Vasodilator
Hipoksemia Alergi
Hiperkapnia Drug withdrawal
Sirkulasi Gangguan metabolisme
Hipotensi Hipoglikemia
Anemia Tirotoksikosis
Hipovolemia Pheochromocytoma
Gagal jantung kongestif Adrenal (addisonian) krisis
Tamponade jantung Sindrom karsinoid
Tension pneumotoraks Porfiria akut
Tromboemboli

TABEL 56-5 Penyebab demam perioperatif.


Infeksi Neoplasma
Proses imunologi Gangguan metabolisme
Reaksi obat Badai tiroid (krisis tiroid)
Reaksi darah Adrenal (addisonian) krisis
Kerusakan jaringan (penolakan) Pheochromocytoma
Gangguan connective tissue Malignant hyperthermia
Gangguan granulomatosa Sindrom neuroleptik maligna
Kerusakan jaringan Gout akut
Trauma Porfiria akut
Infark
Trombosis

Apakah, jika ada, pemeriksaan tambahan yang bermanfaat pada evaluasi demam dan takikardia?
Pemeriksaan analisa gas darah dan pemeriksaan radiologi thorax bisa menolong untuk
mengeksklusi emboli lemak. Pemeriksaan hematocrit atau konsentrasi hemoglobin berulang akan
mengeksklusi perburukan anemia; takikardia signifikan mungkin terjadi bila hematocrit dibawah
25-27% (Hb < 8 g/dL) pada kebanyakan pasien. Respon terhadapa fluid challenge dengan 250-
599 ml koloid atau kristaloid mungkin bermanfaat; penurunan denyut jantung setelah bolus cairan
mengarahkan kearah hypovolemia. sama halnya dengan respon denyut jantung pada sedasi dan
pemberian analgesia opioid dapat menolong untuk mengeksklusi kecemasan dan nyeri, sebagai
penyebab. Walaupun diagnosis dari hipertiroid dapat dilakukan berdasarkan klinis, konfirmasi
membutuhkan pengukuran serum hormon tiroid; hal terakhir membutuhkan 24-48 jam pada
kebanyakan rumah sakit. Tanda dari infeksi seperti peningkatan inflamasi atau purulensi di luka,
sputum, infiltrate di foto thoraks, pyuria, atau leukositosis dengan sel darah putih premature pada
hapusan darah (shift to the left)- harus dilakukan kultur dan menyebabkan penundaan pembedahan
hingga didapatkan hasil dan antibiotic yang sesuai.
Pasien dipindahkan ke PACU untuk evaluasi lebih jauh. ECG 12 sandapan mengkonfirmasi
sinus takikardia 150 x/menit. Foto dada normal. Analisa gas darah arteri pada udara normal (pH
7.44, PaCO2 41 mmHg, PaO2 87 mmHg, dan HCO3- 27 mEq/L). konsentrasi hemoglobin 11 g/dL.
Darah untuk thyroid function test terkirim di laboratorium. Pasien tersedasi intravena dengan
midazolam 2mg dan fentanyl 50 mch dan diberikan 500 ml 5% albumin. Dia tampak tenang dan
bebas nyeri, tetapi penurunan denyut jantung hanya sampai 144 x/menit. Keputusan untuk
melanjutkan operasi dengan anesthesia epidural lumbar secara kontinyu dengan 2% lidokain.
Esmolol diberikan pelan hingga denyut nadi turun hingga 120 x/menit. Dan pemberian infus
esmolol kontinyu diberikan dengan kecepatan 300 mcg/kg/menit.
Prosedur seleasi dalam 3,5 jam. Walaupun pasient tidak mengeluh nyeri selama pembedahan
dan diberikan sedasi minimal (midazolam, 2mg), dia delirium hingga pemindahan ke PACU. Infus
esmolol diberikan dengan kecepatan 500 mcg/kg/min. pasien juga menerima propranolol, 24 mg
intravena. Estimated blood loss adalah 500 ml, dan penggantian cairan menggunakan 2 unit packed
red blood cell, 1000 ml hetastarch, dan 9000 ml ringer laktat. Vital sign sebagaimana berikut:
tekanan darah 105/40 mmHg, nadi 124 x/menit. Respirasi 30 x/menit, temperature rektal 38,8C.
analisa gas darah sebagaimana berikut: pH 7,37, PaCO2 37 mmHg, PaO2 91 mmHg dan HCO3-22
mEq/L

Apakah diagnosis yang paling mungkin?


Pasien saat ini dalam keadaan hipermetabolik dengan manifestasi peningkatan aktivitas adrenergik
berlebihan, demam, peningkatan kebutuhan cairan, dan penurunan status mental. Tidak adanya
asidosis metabolik dan kurangnya paparan agen pemicu mengekslusi malignant hyperthermia
(lihat Bab 52). Kemungkinan lain termasuk reaksi transfusi, sepsis, atau pheochromocytoma yang
tak terdiagnosis. Urutan kejadian membuat kemungkinan pertama dua tidak mungkin, dan
penurunan hipertensi yang prominen (sekarang berganti dengan relatif hipotensi) dan peningkatan
suhu juga membuat kemungkinan tersebut tidak sesuai. Berdasarkan presentasi klinis mengarah
ke badai tiroid. Pasien juga mendapat esmolo dosis besar dalam beberapa jam sehingga hal ini
berkontribusi pada tekanan darah yang relatif rendah walaupun telah diberikan terapi cairan yang
agresif.

Konsultasi darurat dengan dokter endokrinologi telah dilakukan, dan setuju dengan diagnosis
badai tiroid dan akan membantu tatalaksana. Bagaimana manajemen badai tiroid?
Badai tiroid (krisis) adalah keadaan darurat medis dengan mortality rate 10%-50% tingkat
kematian. Hal ini biasanya ditemui pada pasien dengan penyakit Graves yang tidak terkontrol atau
tidak terdiagnosis. Faktor pemicu mencakup (1) stres pembedahan dan anestesi, (2) persalinan, (3)
infeksi berat, dan, yang jarang, (4) tiroiditis 1-2 minggu setelah pemberian yodium radioaktif.
Manifestasi umumnya termasuk perubahan status mental (mudah tersinggung, delirium, atau
koma), demam, takikardia, dan hipotensi. Aritmia atrium dan ventrikel merupakan hal yang umum
, terutama fibrilasi atrium. Gagal jantung kongestif terjadi 25% pasien. Hipertensi yang sering
mendahului hipotensi, intoleransi panas dengan berkeringat banyak, mual dan muntah, dan diare
mungkin menonjol awalnya. Hipokalemia hadir pada hingga 50% pasien. Tingkat hormon tiroid
yang tinggi dalam plasma, tidak berhubungan dengan tingkat keparahan krisis tiroid. Eksaserbasi
mendadak tirotoksikosis direpresentasikan dengan perubahan cepat hormon dari terikat protein
kedalam bentuk bebas atau peningkatan responsiveness hormon tiroid pada tingkat sel.
Tatalaksan diarahkan mengembalikan krisis tiroid dan komplikasinya. Kortikosteroid dosis
tinggi menghambat sintesis, pelepasan, dan konversi di perifer dari tiroksin (T4) ke yang lebih
aktif yaitu triiodothyronine aktif (T3). Kortikosteroid juga mencegah relatif adrenal insufisiensi
sekunder pada keadaaan hipermetabolik. Propiltiourasil diberikan untuk menghambat sintesis
hormon tiroid, dan iodida diberikan untuk menghambat pelepasan hormon tiroid dari kelenjar.
Propranolol tidak hanya antagonis pada efek perifer tirotoksikosis, tetapi juga dapat menghambat
konversi perifer T4. Gabungan 1 dan 2-bloker lebih baik dibanding 1 selektif antagonis
(esmolol atau metoprolol) karena aktivitas 2-reseptor yang berlebihan bertanggung jawab atas
efek metabolik. 2-reseptor bloker juga mengurangi aliran darah ke otot dan dapat menurunkan
produksi panas. Langkah-langkah suportif lainnya seperti pendinginan (cooling blanket),
acetaminophen (aspirin tidak dianjurkan karena dapat menggantikan hormon tiroid dari plasma
carrier protein), dan pemerian cairan yang memadai. Vasopressor sering diperlukan untuk
mensupport tekanan darah.
Kontrol ventrikel rate diindikasikan pada pasien dengan fibrilasi atrium. Echocardiography
transthoracic, echocardiography transesophageal, dan pemantauan hemodinamik dapat membantu
pada pengelolaan pasien dengan tanda-tanda gagal jantung kongestif atau hipotensi persisten. -
adrenergik blokade merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung kongestif.
Propranolol, deksametason, propilthiouracyl, dan natrium iodida diberikan; pasien dirawat
di unit perawatan intensif, di mana pengobatan dilanjutkan. Dalam 3 hari, terdapat peningkatan
status mental yang bermakna. T3 dan kadar total tiroksin pada hari operasi naik ke 250ng/dL dan
18,5ng/dL. Dia dipulangkan 6 hari kemudian dengan rejimen propranolol dan propylthiouracil,
dengan tekanan darah 124/80 mmHg dari, nadi 92 x/menit, dan temperature oral 37,3C.

Anda mungkin juga menyukai