PENDAHULUAN
2. Khusus
- Mampu memecahkan masalah yang timbul.
- Mampu memberikan jenis anestesi yg sesuai dengan kondisi klien
- Memahami tentang pengertian eklampsi
- Memahami tentang etiologi eklampsi
- Memahami tentang tanda gejala open eklampsi
- Memahami tentang klasifikasi eklampsi
- Memahami tentang WOC eklampsi
- Memahami tentang pemeriksaan diagnostik eklampsi
- Memahami tentang penatalaksanaan eklampsi
- Memahami Asuhan Keperawatan dengan diagnosa eklampsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Preeklampsi adalah penyakit yang diderita oleh bumil yang ditandai dengan adanya
hipertensi, oedema, dan proteinuri. Tetapi bumil tidak menunjukan tanda-tanda kelainan
hipertensi sebelum hamil (Rustam Mucthar, 2008). Dimana gejala preeklampsi biasanya
muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih.
Namun jika tidak didapatkan data baseline tersebut, maka pada 2 kali pengukuran
dengan interval 6 jam, diagnosis hipertensi selama kehamilan dapat ditegakkan dengan
kriteria sebagai berikut :
2.2 Etiologi
Secara pasti penyebab timbulnya gejala tersebut belum diketahui secara pasti,
teori yang digunakan oleh ilmuwan belum dapat menjawab beberapa hal berikut :
1. Frekuensi bertambah banyak pada primigravida, kehamilan ganda, hidramion, dan
mola hidatidosa.
2. Sebab bertambanya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan .
3. Sebab jarang terjadinya preeklampsi pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
4. Sebab timbulnya hipertensi, oedema, dan proteinuri.
Dari semua gejala tersebut, gejala awal yang muncul adalah hipertensi, dimana
untuk menegakkan diagnosa tersebut adalah yaitu kenaikan tekanan sistole paling tidak
naik hingga 30 mmHg atau lebih dibandingkan dengan tekanan darah sebelumnya.
Kenaikan diastolik 15 mmHg atau menjadi 90 mmHg atau lebih. Untuk memastikan
diagnose tersebut harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah minimal dua kali dengan
jarak waktu 6 jam pada saat istirahat.
Oedema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan
tubuh dan biasanya dapat diketahui dengan kenaikan BB yang berlebihan serta
pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Bila kenaikan BB lebih dari 1 Kg setiap
minggunya selama beberapa kali ,maka perlu adanya kewaspadaan akan timbulnya
preeklampsi.
Proteinuri berarti konsentrasi protein dalam urin > 0,3 gr/liter urin 24 jam atau
pemeriksaan kuantitatif menunjukkan + 1 atau + 2 atau 1 gr/liter atau lebih dalam urine
midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam . Proteinuri timbul
lebih lambat dari dua gejala sebelumnya, sehingga perlu kewaspadaan jika muncul gejala
tersebut.
2.3 Patofisiologi.
b. Ginjal.
c. URI
d. Rahim
Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan menyebabkan
partus prematur.
e. Paru
f. Hepar
- Penyakit Trophoblastic
Terjadi pada 70 % dari wanita dengan mola hidatidosa terutama pada usia
kehamilan 24 minggu.
- Multigravida
Walaupun kejadian preeklampsi lebih besar pada primigravida, insidennya
meningkat juga pada multipara kejadiannya hampir mendekati 30 %.
Pada masa lalu, yang direkomendasikan adalah restriksi berat natrium, hal yang
ternyata dapat menuju kekurangan natrium dan kemungkinan peningkatan produksi renin,
angiotensin dan aldosteron. Cairan intravena yang diberikan harus mengandung natrium
untuk mencegah water intoxication dan kejang.
Terapi magnesium
1. Antikonvulsan
2. Vasodilatasi
8. Bronkodilatasi
9. Tokolisis: memperbaiki aliran darah uterus dan mengantagonis hiperaktivitas uterus
Namun ada juga yang mengemukakan kadar terapeutik magnesium berkisar 5-7
mg/dL, dengan toksisitas terjadi jika mencapai kadar 119 mg/dL1. Over dosis terjadi
biasanya setelah pemberian bolus berulang atau melalui infus pada kasus-kasus dengan
penurunan fungsi ginjal. Gejala over dosis adalah sebagai berikut kelemahan maternal,
insufisiensi pernafasan dan bahkan gagal jantung. Semua komplikasi tersebut tidak
terjadi begitu saja tapi didahului adanya penurunan refleks tendon, sehingga dengan
demikian pemberian magnesium harus dikurangi atau dihentikan bila adanya penurunan
refleks tendon. Terapi dari gejala-gejala over dosis biasanya berupa topangan
kardiorespirasi dan pemberian calcium chlorida.
Terapi hipertensi
Bila dengan pemberian magnesium atau antikonvulsan lain dan tirah baring,
tekanan darah maternal tetap tidak lebih rendah dari sistolik 160 mm Hg dan diastolik
110 mm Hg, maka diperlukan antihipertensi lain. Antihipertensi meskipun berguna untuk
maternal tapi sepertinya tidak memperbaiki keadaan janin. Sampai saat ini antihipertensi
yang paling banyak digunakan adalah hydralazine, yang mekanisme kerja primernya
adalah menurunkan resistensi precapillary arteriolar. Penggunaan hydralazine dapat
meningkatkan cardiac output dan menyebabkan takikardia yang dapat mengganggu efek
antihipertensinya. Hydralazine juga meningkatkan aliran darah ginjal.7Meskipun masih
dipergunakan secara luas, penggunaan hydralazine mulai digantikan oleh antihipertensi
lain, metyldopa. Metyldopa telah banyak digunakan sebagai terapi hipertensi pada
preeklampsia-eklampsi terutama di daratan Eropa. Penggunaannya terutama pada kronik
hipertensi yang pada awalnya telah terkontrol dengan hydralazine atau untuk kontrol
tekanan darah jangka panjang pada masa post partum. Efek samping terhadap janin
minimal.
Clonidine dan prazosin, 1bloker, juga sudah dipergunakan dengan hasil baik
pada preeklampsia. Penggunaan -bloker pada preeklampsia dan pada wanita hamil
dengan hipertensi juga lebih umum dilakukan. Pada mulanya dikhawatirkan bahwa
propanolol berhubungan dengan peningkatan aktivitas uterus, penurunan aliran darah
uterus dan plasenta, penurunan laju nadi janin, penurunan toleransi janin terhadap
hipoksia dan mempengaruhi kondisi janin setelah lahir. Meskipun penelitian terhadap
penggunaan bloker masih jarang, namun dikatakan bahwa secara klinis penggunaannya
aman terhadap ibu hamil dan janinnya.
2.7.1 DEFINISI
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan
diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi
& Wiknjosastro, 2006).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002).
2.7.6 ETIOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor
sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai
berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu
tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan
susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk
panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus
dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk
rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena
itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati
agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah
36 minggu.
4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah
dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya
akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan
presentasi kaki (Saifuddin, 2002).
2.7.7 PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak,
placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin
besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post
partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan
mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post
de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan
luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa
atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas
yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan
dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)
a. Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus
uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai
sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari
operator.
b. Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
c. Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
d. Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
e. Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
Lapisan II
lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur
menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
f. Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban
g. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
2.7.10 KOMPLIKASI
1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi
menjadi:
a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit
kembung
c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-cabang
arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru
yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa
terjadi ruptur uteri.
Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal
2.7.11 PENATALAKSANAAN
1. Perawatan awal
Letakan pasien dalam posisi pemulihan
Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit
sampai sadar
Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
Transfusi jika diperlukan
Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan
jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air
putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Fungsi gastrointestinal
Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik
b. Tiopenthal
a. Indikasi
Obat induksi, suplementasi dari anestesi regional, antikonvulsan, pengurangan
dari tekanan intracranial, proteksi serebral ( narcosis barbiturate )
b. Dosis
Induksi IV 3 5 mg/kgbb ( dewasa )
Induksi IV 5 6 mg/kgbb ( anak )
Induksi IV 7 8 mg/kgbb ( bayi )
Suplementasi anestesi IV 0,5 1 mg/kgbb
Infuse 0,05 0,35 mg/kgbb/menit
c. Onset
10 20 detik
d. Duration
2 5 menit
e. Efek samping
Depresi sirkulasi, aritmia, depresi pernapasan, apnoe, laringospasme,
bronchospasme, mual, muntah, urtikaria, reaksi anafilaktik
c. Ketamin
a. Indikasi
Anestetik disosiatif, induksi dan pemeliharaan anestesi, khususnya pada pasien
hipovolemik atau beresiko tinggi, satu satunya anestetik untuk prosedur bedah
singkat.
b. Dosis
Sedasi atau alagesia 0,5 1 mg/kgbb IV
Induksi 1 2 mg/kgbb IV
c. Onset
< 30 detik
d. Duration
5 15 menit
e. Efek samping
Hipertensi, tachicardi, hipotensi, aritmia, bradikardi, depresi pernapasan, apnoe,
laringospasme, hipersalivasi, mual, muntah, delirium bangkitan
2.8.6 Obat Muscle Relaxan
Obat muscle relaxan adalah obat pelumpuh otot yang bekerja pada otot
bergaris / otot lurik, sehingga akan terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot
otot mandibulla, otot intercostalis, otot abdominal, dan relaksasi otot ekstremitas.
Pada pemberiannya pastikan penderita dapat diberi napas buatan.
Pelumpuh otot di bagi 2 yaitu depolarisasi dan non depolarisai :
Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium.
Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini di temukan pada kehamilan,
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang. Interaksi obat Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block
pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat
kolinesterase maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi
akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
1) Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja
pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi
pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg
waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena
pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
2) Atracurium
a) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
b) Dosis
Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative
0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.Lebih cepat durasinya pada anak
dibandingkan dewasa.Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan
dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada
suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
c) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
3) Vekuronium
a) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan
lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai
efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
b) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang
dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit
3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan
sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan
pelemas otot memperpanjang penggunaan.
c) Dosis
Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg
setiap 15 20 menit. Drip 1 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien
post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
4) Rokuronium
1. Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan
kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih
lama.
2. Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar
berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien
orang tua menunjukan prolong durasi
3. Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9 mg /
kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4
mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2
mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk
intubasi. Tapi tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk
drip 5 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
4. Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1
mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum
suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
Jenis pelumpuh berdasarkan durasi :
1. Ultrashort ( 5 10 menit ) = suksinilkolin
2. Short acting ( 10 15 menit ) = mivakurium
3. Medium acting ( 15 30 menit ) = atrakurium (Dosis 0,5 mg / kg BB,
iv), vecuronium ( Dosis 0,12 mg / kg BB, iv), rocuronium (Dosis 0,6
1,2 mg / kg BB,iv)
4. Long acting ( 30 120 menit ) = pancuronium, metokurin, doksakurium
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih
besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan
dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
5) Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
6) Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
7) Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan
untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui
orofaring.
8) Alat pengisap atau suction.
9) Tampong
10) Xilocain spray
11) Salep mata
12) Kasa
13) Gunting
e. Mesin Anestesi
Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara :
1) Hubungkan kabel listik dengan sumber listrik.
2) Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan Outlet sumber oksigen
3) Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
4) Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve, kembangkan bag dengan
5) flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba pompa bag dan cari apakah ada
kebocoran dari bag, sambungan, atau currogate
6) Soda lime ( bila warna sudah berubah harus diganti )
7) Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi
f. Suction
1) Sambungkan dengan sumber listrik
2) Cek Kelengkapannya meliputi: selang suction, tabung penampung
3) kateter suction dengan diameter 1/3 diameter ETT, ujungnya harus tumpul dan
lubang lebih dari satu.
4) Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult 200 mmHg pediatric
100 mmHg dan bayi 60 mmHg )
g. Prosedur Tindakan Intubasi
1) Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang
cukup keras atau botol infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus
2) Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2
menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan
kanan
3) Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari
sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan bentuk huruf V
4) Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,
sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior
sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet
dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan
blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester
5) Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di
pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang
timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat
ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin
lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut
dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup
6) Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan
h. Komplikasi Intubasi Endotracheal
1) Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a) Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff
b) Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa
mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal
c) Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring
2) Malfungsi tuba berupa perforasi cuff
i. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
1) Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
2) Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung.
3) Malfungsi tuba berupa obstruksi.
j. Komplikasi setelah ekstubasi.
1) Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea),
suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan
aspirasi laring.
2) Gangguan refleks berupa spasme laring.
k. Syarat Ekstubasi.
1) Insufisiensi nafas (-)
2) Hipoksia (-)
3) Hiperkarbia (-)
4) Kelainan asam basa (-)
5) Gangguan sirkulasi ( TD turun tidak ada, perdarahan tidak ada )
6) Pasien sadar penuh
7) Mampu bernafas bila diperintah
8) Kekuatan otot sudah pulih
9) Tidak ada distensi lambung
2.8.10 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang.
a. Tujuan Terapi Cairan
b. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi
c. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yangdiberikan
Pemberian Cairan Terbagi
a. Pra Operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %
b. Durante Operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 4 ml/kgBB/jam
2) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
3) Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Post Operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisitcairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. .
2.8.11 Pemulihan Pasca Anestesi
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recoveryroom yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan kebangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Ruang epidural dibatasi oleh dura mater di posterior, lateral dan anterior.
Serabut saraf berjalan dalam ruang ini begitu keluar secara lateral melalui
foramen sebelah luar. Kandungan lainnya termasuk jaringan pengikat lemak,
limfatik dan plexus venosus (Batson). Pemeriksaan fluoroskopik terbaru
menunjukkan adanya septum atau jaringan pengikat. Pertambahan umur
menyebabkan penurunan jaringan adiposa dalam epidural.
Anastesi epidural memiliki onset yang lebih lambat (10-20 menit) dan
biasanya tidak sekuat anestesi spinal. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai
differential blok atau blok segmental, suatu gambaran yang dapat berguna secara
klinis. Sebagai contoh, dengan menggunakan larutan anastesi lokal yang digabung
dengan opiat, epidural dapat memblok simpatis yang lebih kecil dan serat-serat
sensorik, bila pada serabut motorik yang lebih besar hanya menghasilkan
analgesia tanpa blok motorik. Hal ini sering dilakukan pada analgesia persalinan
dan analgesia postoperatif. Selain itu, blok segmental mungkin terjadi karena zat
anastetik tidak disebarkan secara cepat oleh cairan serebrospinalis dan bertahan
pada area yang dekat dengan area penyuntikan. Blok segmental ditandai oleh zat-
zat anastesi yang terikat pada serabut saraf tertentu, sementara serabut-serabut di
bawah dan di atasnya tidak. Hal ini dapat terlihat pada epidural torakal yang
memberikan efek anastesia pada abdomen bagian atas sementara kurangnya efek
anestesia pada serabut-serabut saraf servikal dan lumbal.
Blok epidural thorakal secara teknik lebih sulit dilakukan dibanding blok
lumbal dan beresiko trauma medula spinalis, walaupun kemungkinannya sangat
kecil dengan teknik yang baik, lebih besar dibanding pada tingkat lumbal. Teknik
ini dapat pula dilakukan dengan pendekatan midline atau paramedian. Beberapa
dokter merasa bahwa pendekatan paramedian lebih mudah karena adanya oblik
yang ekstrim pada procesus spinosus thorakal. Jarang digunakan sebagai anestesi
primer, teknik epidural thorakal merupakan yang paling sering digunakan untuk
analgesia intra dan postoperatif. Teknik single shoot atau kateter digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri kronik. Infus melalui kateter epidural sangat berguna dalam
memberikan efek analgesi dan ventilasi postoperasi yang lebih singkat untuk
pasien dengan penyakit paru dan operasi di daerah dada. Blok servikal biasanya
dilakukan dengan cara duduk. Leher difleksikan dan menggunakan pendekatan
midline. Secara klinis, digunakan untuk penanganan nyeri.
b. Jarum Epidural
Jarum epidural standar biasanya adalah 17-18. Panjang 3 atau 3,5 inci,
bevel tumpul dengan lengkungan 15-30 pada ujungnya. Jarum Tuohy adalah
yang paling sering digunakan (Gb.16-11). Ujung yang tumpul dan lengkung
membantu mendorong dura setelah melewati ligamentum flavum sehingga tidak
dapat menembusnya. Jarum lurus tanpa ujung lengkung (jarum Crawford)
memiliki insidens terjadinya tusukan dura yang tinggi. Namun mempermudah
pemasangan kateter epidural. Modifikasi jarum termasuk yang memiliki wing tip
dan introduser didesain untuk menentukan penempatan kateter.
c. Kateter Epidural
Menempatkan kateter di dalam ruang epidural memungkinkan infus
kontinu atau teknik bolus intermitten. Di samping memperpanjang durasi blok,
hal ini juga memungkinkan dosis total obat anestesi yang digunakan lebih rendah
dan karena itu lebih mengurangi efek gangguan hemodinamik saat diberikan
initial dose.
f. Zat Anestesi
Zat anestesi epidural dipilih berdasarkan dampak klinisnya, apakah ia
digunakan sebagai anestesi primer atau digabung dengan anestesi umum, atau
untuk analgesia. Untuk antisipasi durasi prosedur mungkin memerlukan anastetik
single-shot kerja lama atau kerja singkat atau dengan pemasangan kateter
epidural. (Tabel 16-6). Pada umumnya menggunakan zat-zat kerja singkat sampai
sedang yang sering digunakan untuk anestesi pembedahan termasuk lidokain 1,5-
2%, Chlorpocaine 3% dan mepivacaine 2%. Zat-zat kerja lama termasuk
bupivacaine 0,5-0,75%, ropivacaine 0,5-1% dan etidocaine. Pengalaman dengan
levobupivacaine, S-Enantioners bupivacaine yang kurang toksik, masih kurang.
Hanya larutan anestesi lokal yang bebas pengawet atau khususnya yang sudah
diberi label untuk epidural atau kaudal yang dibolehkan.
Harus diingat bahwa chlorprocaine, suatu ester dengan onset cepat, durasi
singkat dan toksisitas yang rendah, dapat dengan efek analgesik dari opiat
epidural. Formula chloroprocain yang lama dengan pengawet khususnya bisulfat
dan EDTA terbukti menimbulkan masalah. Preparat bisulfat menyebabkan
neurotoksik bila disuntikkan dalam volume besar secara intratekal, sementara
formula EDTA terkait dengan nyeri punggung berat (kemungkinan karena
hipokalsemia lokal). Preparat chlorprocain terbaru bebas pengawet dan tanpa
komplikasi.
Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien,
obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam.
Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory
sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu
kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Indikasi
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan
tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine
surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS,
heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant
surgeon.
Persiapan Pasien
Perlengkapan
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai
dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain,
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi
aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat
jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan.
Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan
jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi
termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi
dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di
depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah
satu sisi tubuh berada di meja operasi.
Komplikasi
2.9.1 PENGKAJIAN
Identitas
Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
Keluhan Utama
Serangan kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat dari kelainan
neurologis
Riwayat Penyakit Sekarang
terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah,
penglihatan kabur
Riwayat Penyakit dahulu / riwayat kehamilan
penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM
Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion
serta riwayat kehamilan dengan eklamsia sebelumnya
Riwayat Penyakit keluarga
Adanya riwayat ibu atau saudara perempuan yang mengalami preeklamsi-
eklams meningkatkan resko empat sampai delapan kali.
Pola nutrisi
Jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan.
Psiko social spiritual
Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu
kesiapanmoril untuk menghadapi resikonya.
Pemeriksaan fisik
1. B1 ( breath)
o Inspeksi :keadaan jalan nafas, hitung respirasi rate,
iramanya, :amplitude, simetris atau tidak, ada retraksi atau :tidak,
adakah jejas atau tidak.
o Palpasi :gerakan expansi paru, adakah udara pernapasan.
o Perkusi :hipersonor, atau peka, redup.
o Auskultasi :Adakah ronchi atau wheezing.
2. B2 (blood)
o Inspeksi :konjungtiva pucat atau tidak, perfusi merah atau :pucat
o Palpasi :Nadi (irama,frekwensi, kekuatan), tensi sistol dan
diastolnya normal atau tidak, akral hangat kering, atau dingin basah,
CRT berapa detik. Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau
tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
o Perkusi :Adakah suara redup pada daerah pericardial
o Auskultasi :Suara jantung
3. B3 (brain)
Adakah penurunan kesadaran (GCS). Reflek cahaya, pupil isokor
atau anisokor, normal,midriasis atau miosis, adakah jejas di kepala, papil
edema, gelisah atau tenang. Reflek tendon dalam dievaluasi setiap 4 jam
terhadap hiperaktivitas dari tendon bisep, trisep, atau achiles.
4. B4 (bladder)
o Inspeksi :adakah jejas atau trauma pada traktus urinaria, :adakah
:produksi urine, warna,jumlah.
o Palpasi :untuk mengetahui TFU, letak janin, adakah distensi :pada
vesika urinaria.
o Auskultasi :mendengarkan djj untuk mengetahui adanya fetal distress.
o Perkusi :adakah nyeri ketok pada fesika urinaria atau ginjal.
5. B5 (bowel)
o Inspeksi :adakah jejas atau trauma, pembesaran abdomen :normal
atau tidak, frekwensi BAB, warna dan konsistensinya
o Palpasi :Adakah spasme/defans muskuler, adakah nyeri tekan
o Perkusi :adakah nyeri ketok, suara abdomen tympani atau
hipertympani
o Auskultasi :Bising usus meningkat atau tidak, frekwensi.
6. B6 (bone)
o Inspeksi :Adakah edema / edema pada kaki yang tidak hilang :dalam
kurun waktu 24 jam
o Palpasi :Adakah piting oedem, turgor kulit luring atau lebih dari 2
detik, elastic atau lembek.
o Perkusi :untuk mengetahui reflek pada patella sebagai syarat
pemberian SM (jika reflek +)
2.9.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap : Penurunan haemoglobin, haematokrit
meningkat, trombosit menurun.
Urinalisis : protein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya meningkat
hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif )
Pemeriksaan fungsi hati : bilirubin meningkat, laktat dehydrogenase
meningkat, aspartate aminomtransferase > 60 ul, SGOT/SGPT meningkat,
total protein serum menurun.
Tes kimia darah : asam urat meningkat.
2. Radiologi
USG ; Ditemukan retardasi pertumbuhan janinintra uterus, pernafasan intra
uterus lambat, aktivitas janin lambat, volume cairan ketuban sedikit
NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin
2.9.3 TERAPI
Pripsip penatalaksanaan eklamsi sama dengan penatalaksanaan preeklamsi
berat, dengan tujuan menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan
mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu
memunggkinkan.
3) Diagnosa keperawatan 3
Resiko tinggi terjadinya fetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada
plasenta
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil :
a. DJJ ( + ) : 12-12-12
b. Hasil NST : tidak ada fetal distress pada janin
c. Hasil USG : tidak ada lilitan tali pusat, letak lintang (-), kepala sudah masuk PAP
(pintu atas panggul).
Intervensi :
1. Monitor DJJ sesuai indikasi
R/ peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta
2. Pantau tentang pertumbuhan janin
R/. Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga timbul
IUGR
3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta ( nyeri perut, perdarahan, rahim tegang,
aktifitas janin turun )
R/. Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia bagi
janin
4. Pantau respon janin pada ibu yang diberi SM
R/. Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas
janin
5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST
R/. USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin.
d. Diagnosa keperawatan 4 :
Risiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah ke placenta
Tujuan : agar cedera tidak terjadi pada janin lakukan resusitasi cepat 30 detik setelah bayi
lahir
Kriteria Hasil :
a. Lahir cukup bulan.
b. Ketuban jernih
c. Bayi lahir menangis spontan
d. Apgar scor 7-8
e. Jalan nafas bebas
f. Tonus otot baik
Intervensi :
1. Istirahatkan ibu
R/ dengan mengistirahatkan ibu diharapkan metabolism tubuh menurun dan peredaran
darah ke placenta menjadi adekuat, sehingga kebutuhan O2 untuk janin dapat dipenuhi
2. Anjurkan ibu agar tidur miring ke kiri
R/ dengan tidur miring ke kiri diharapkan vena cava dibagian kanan tidak tertekan oleh
uterus yang membesar sehingga aliran darah ke placenta menjadi lancar
3. Pantau tekanan darah ibu
R/ untuk mengetahui keadaan aliran darah ke placenta seperti tekanan darah tinggi, aliran
darah ke placenta berkurang, sehingga suplai oksigen ke janin berkurang.
4. Memantau bunyi jantung ibu
R/ dapat mengetahui keadaan jantung janin lemah atau menurukan menandakan suplai
O2 ke placenta berkurang sehingga dapat direncanakan tindakan selanjutnya.
5. Beri obat hipertensi setelah kolaborasi dengan dokter
R/ dapat menurunkan tonus arteri dan menyebabkan penurunan after load jantung dengn
vasodilatasi pembuluh darah, sehingga tekanan darah turun. Dengan menurunnya
tekanan darah, maka aliran darah ke placenta menjadi adekuat.
e. Diagnosa keperawatan 5
Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif terhadap
proses persalinan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan kecemasan ibu berkurang atau hilang
Kriteria Hasil :
a. Ibu tampak tenang
b. Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan
c. Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang
Intervensi :
1. pantau tingkat kecemasan ibu
R/. Tingkat kecemasan ringan dan sedang bisa ditoleransi dengan pemberian pengertian
sedangkan yang berat diperlukan tindakan medikamentosa
2. Jelaskan mekanisme proses persalinan
R/. Pengetahuan terhadap proses persalinan diharapkan dapat mengurangi emosional ibu
yang maladaptif
3. Gali dan tingkatkan mekanisme koping ibu yang efektif
R/. Kecemasan akan dapat teratasi jika mekanisme koping yang dimiliki ibu efektif
4. Beri support system pada ibu
R/. ibu dapat mempunyai motivasi untuk menghadapi keadaan yang sekarang secara
lapang dada asehingga dapat membawa ketenangan hati
2.9.6 IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi
yang telah ditentukan.
2.9.7 EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir penilaian dari proses keperawatan dengan
menggunakan SOAP sebagai penialain keberhasilan atau tidak berhasilnya
implementasi yang telah dlakukan serta melanjutka dari intervensi yang belum
tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Hasil seminar kegawatan bumil dan neonatus dengan preeklampsi dan eklampsi, 2001. RSUD
Dr Soetomo. Surabaya.
JNPKKR - POGI ,2000. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka.
Manuaba, Ida Bagus Gede ,1998. Ilmu Kebidanan Penyakit kandungan dan KB. Jakarta :
EGC.
Taber. Ben Zion, MD ,1994. Kapita Sclekta : Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi. Penerbit
EGC. Jakarta.
Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-264.
2000. Jakarta.
Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal
Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth Analg
2003;96:1496-1503.
Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5
hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.