Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Preeklamsia dan eklampsia merupakan penyulit dalam proses persalinan yang
kejadinnya senantiasa tetap tinggi. Tingginya angka kejadian pre eklamsia merupakan
factor utama penyebab timbulnya pre eklampsia yang dapat mengancam ibu bersalin.
Tingginya angka kematian ibu hamil sebagai akibat perkembangan dari pre eklampsia
yang tidak terkontrol memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya angka
kematian. Eklampsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak
teratasi dengan baik. Selain mengalami gejala preeklampsia, pada wanita yang
terkena eklampsia juga sering mengalami kejang-kejang. Eklampsia dapat
menyebabkan koma atau bahkan baik sebelum, saat atau setelah melahirkan.
Kesimpulan dari kelompok; eklampsia adalah suatu keadaan dimana
preeklampsia tidak dapat diatasi sehingga mengalami gangguan yang lebih lanjut
yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria serta kejang.
Eklamsi merupakan penyebab dengan peningkatan resiko morbidias dan
mortalitas maternal dan perinatal. Dari kasus persalinan yang dirawat di Rumah Sakit 3-
5% merupakan kasus pre eklamsia atau ekamsia (Manuaba, 1998). Dari kasus tersebut
6% terjadi pada semua persalinan , 12% terjadi pada primi gravida. Kejadian eklamsi di
Negara berkembang berkisar 1 dari 100 hingga 1 dari 700 kelahiran. Di Indonesia pe
eklamsi dan eklamsia berkisar 1,5 % sampai 25 %. Komplikasi signifikan yang
mengancam nyawa ibu akibat eklamsi adalah edema pulmonal, gagal hati, dan ginjal,
DIC , sindrom HELLP dan pendarahan otak.
Eklamsi disebut dengan antepartum, intrapartum, atau pascapartum. Bergantung
pada apakah kejang muncul sebelum, selama, atau sesudah persalinan. Eklamsi paling
sering terjadi pada trimester akhir dan menjadi semakin sering menjelang aterm. Masalah
utama dalam mencegah dan mengobati eklamsia adalah penyebab kondisi yang tidak
diketahui. Terdapat hubungan yang kuat antara hipertensi dan penyakit serebral yang
mengidentifikasikan persamaan klinis antara eklamsi dan enselopati hipertensif (Vaughan
dan delanty 2000). Namun demikian hasil signifikan yang diperoleh menunjukkan bahwa
hipertensi tidak selalu menjadi precursor awitan eklampsia tetapi hampir selalu terjadi
kejang.
Tujuan pertama pengobatan eklampsia ialah menghentikan kejangan mengurangi
vasospasmus, dan meningkatkan dieresis. Dalam pada itu, pertolongan yang perlu
diberikan jika timbul kejang ialah mempertahankan jalan pernapasan bebas,
menghindarkan tergigitnya lidah, pemberian oksigen, dan menjaga agar penderita tidak
mengalami trauma. Untuk menjaga jangan sampai terjadi kejang lagi yang selanjutnya
mempengaruhi gejala-gejala lain.
1.2 Tujuan
1. Umum
Memberi gambaran dalam penerapan asuhan keperawatan anestesi yang
komprehensip meliputi : Bio, Psiko, Sosial, dan Spiritual pada bumil dengan
preeklampsi.

2. Khusus
- Mampu memecahkan masalah yang timbul.
- Mampu memberikan jenis anestesi yg sesuai dengan kondisi klien
- Memahami tentang pengertian eklampsi
- Memahami tentang etiologi eklampsi
- Memahami tentang tanda gejala open eklampsi
- Memahami tentang klasifikasi eklampsi
- Memahami tentang WOC eklampsi
- Memahami tentang pemeriksaan diagnostik eklampsi
- Memahami tentang penatalaksanaan eklampsi
- Memahami Asuhan Keperawatan dengan diagnosa eklampsi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Preeklampsi adalah penyakit yang diderita oleh bumil yang ditandai dengan adanya
hipertensi, oedema, dan proteinuri. Tetapi bumil tidak menunjukan tanda-tanda kelainan
hipertensi sebelum hamil (Rustam Mucthar, 2008). Dimana gejala preeklampsi biasanya
muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau lebih.

Preeklampsia dan eklampsia merupakan penyakit sistemik. Preeklampsia ditandai


dengan adanya hipertensi yang disertai proteinuria, terjadi pada kehamilan setelah
minggu ke 20 dari kehamilan (terjadi lebih awal jika ada penyakit trophoblast) dan dapat
juga terjadi segera setelah kelahiran.

Hipertensi selama kehamilan menurut American College of Obstetrician and


Gynecologist adalah berdasarkan :1

a) Kenaikan tekanan sistolik 30 mm Hg


b) Kenaikan tekanan diastolik 15 mm Hg
c) Kenaikan Mean Arterial Pressure 20 mm Hg dari nilai baseline sebelumnya.

Namun jika tidak didapatkan data baseline tersebut, maka pada 2 kali pengukuran
dengan interval 6 jam, diagnosis hipertensi selama kehamilan dapat ditegakkan dengan
kriteria sebagai berikut :

a) Tekanan sistolik 140 mm Hg atau lebih


b) Tekanan diastolik 90 mm Hg atau lebih
c) Mean Arterial Pressure 105 mm Hg atau lebih

2.2 Etiologi

Secara pasti penyebab timbulnya gejala tersebut belum diketahui secara pasti,
teori yang digunakan oleh ilmuwan belum dapat menjawab beberapa hal berikut :
1. Frekuensi bertambah banyak pada primigravida, kehamilan ganda, hidramion, dan
mola hidatidosa.
2. Sebab bertambanya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan .
3. Sebab jarang terjadinya preeklampsi pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
4. Sebab timbulnya hipertensi, oedema, dan proteinuri.
Dari semua gejala tersebut, gejala awal yang muncul adalah hipertensi, dimana
untuk menegakkan diagnosa tersebut adalah yaitu kenaikan tekanan sistole paling tidak
naik hingga 30 mmHg atau lebih dibandingkan dengan tekanan darah sebelumnya.
Kenaikan diastolik 15 mmHg atau menjadi 90 mmHg atau lebih. Untuk memastikan
diagnose tersebut harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah minimal dua kali dengan
jarak waktu 6 jam pada saat istirahat.

Oedema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan
tubuh dan biasanya dapat diketahui dengan kenaikan BB yang berlebihan serta
pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Bila kenaikan BB lebih dari 1 Kg setiap
minggunya selama beberapa kali ,maka perlu adanya kewaspadaan akan timbulnya
preeklampsi.

Proteinuri berarti konsentrasi protein dalam urin > 0,3 gr/liter urin 24 jam atau
pemeriksaan kuantitatif menunjukkan + 1 atau + 2 atau 1 gr/liter atau lebih dalam urine
midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam . Proteinuri timbul
lebih lambat dari dua gejala sebelumnya, sehingga perlu kewaspadaan jika muncul gejala
tersebut.

2.3 Patofisiologi.

Pada preeklampsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi


peningkatan hematokrit, dimana perubahan pokok pada preeklampsi yaitu mengalami
spasme pembuluh darah perlu adanya kompensasi hipertensi ( suatu usaha untuk
mengatasi kenaikan tekanan perifir agar oksigenasi jaringan tercukupi). Dengan adanya
spasme pembuluh darah menyebabkan perubahan perubahan ke organ antara lain :
a. Otak .
Mengalami resistensi pembuluh darah ke otak meningkat akan terjadi oedema
yang menyebabkan kelainan cerebal bisa menimbulkan pusing dan CVA ,serta
kelainan visus pada mata.

b. Ginjal.

Terjadi spasme arteriole glomerulus yang menyebabkan aliran darah ke ginjal


berkurang maka terjadi filtrasi glomerolus negatif , dimana filtrasi natirum lewat
glomelurus mengalami penurunan sampai dengan 50 % dari normal yang
mengakibatkan retensi garam dan air , sehingga terjadi oliguri dan oedema.

c. URI

Dimana aliran darah plasenta menurun yang menyebabkan gangguan plasenta


maka akan terjadi IUGR, oksigenisasi berkurang sehingga akan terjadi gangguan
pertumbuhan janin, gawat janin , serta kematian janin dalam kandungan.

d. Rahim

Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan menyebabkan
partus prematur.

e. Paru

Dekompensi cordis yang akan menyebabkan oedema paru sehingga oksigenasi


terganggu dan cyanosis maka akan terjadi gangguan pola nafas. Juga mengalami
aspirasi paru / abses paru yang bisa menyebabkan kematian .

f. Hepar

Penurunan perfusi ke hati dapat mengakibatkan oedema hati , dan perdarahan


subskapular sehingga sering menyebabkan nyeri epigastrium, serta ikterus.

2.4 Klasifikasi Preeklampsi :

a. Preeklampsi ringan ditandai :


- Tekanan darah sistol 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan intrerval 6 jam
pemeriksaan.
- Tekanan darah diastol 90 atau kenaikan 15 mmHg.
- BB naik lebih dari 1 Kg/minggu.
- Proteinuri 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif 1 2 pada setiap urine
kateter atau midstearh.
b. Preeklampsi berat ditandai :
- Tensi 160/110 mmHg atau lebih.

- Oliguri, urine , 400 cc/24 jam.

- Proteinuri > dari 3 gr/l.

- Keluhan subyektif : nyeri epigastrium, nyeri kepala, gangguan penglihatan,


gangguan kesadaran, oedema paru dan sianosis.
2.5 Predisposisi preeklampsi meningkat pada kehamilan :

- Penyakit Trophoblastic
Terjadi pada 70 % dari wanita dengan mola hidatidosa terutama pada usia
kehamilan 24 minggu.

- Multigravida
Walaupun kejadian preeklampsi lebih besar pada primigravida, insidennya
meningkat juga pada multipara kejadiannya hampir mendekati 30 %.

- Penyakit Hipertensi kronik.


- Penyakit Ginjal kronik.
- Hidramnion, gemmeli.
- Usia ibu lebih dari 35 tahun.
- Memiliki riwayat Preeklampsi.
- DM, insiden 50 %.
- Obesitas.
2.6 Penanganannya.

Tujuan utama terapi adalah


Mencegah timbulnya kejang

Mengontrol dan menstabilkan tekanan darah

Optimalisasi status volume intravascular

Terapi definitive untuk preeklampsia-eklampsia adalah mengeluarkan janin dan


plasenta. Sampai hal tersebut dapat dilakukan yang harus diperhatikan adalah
mengendalikan perjalanan penyakit.

Kehamilan dapat diteruskan selama kondisi intrauterine masih adekuat untuk


mempertahankan pertumbuhan dan maturasi dari janin tanpa membahayakan ibu.Terapi
yang dilakukan bersifat simptomatik. Pada preeklampsia berat, eklampsia dan HELLP
syndrome, persalinan harus dilakukan segera tanpa memperhatikan berat dan maturitas
janin. Memperpanjang masa gestasi pada kehamilan seperti itu sering sangat berbahaya
dengan angka mortalitas janin yang tinggi dan timbulnya berbagai komplikasi maternal.
Selama janin dapat mentoleransi kontraksi uterus, indulksi dan persalinan pervaginam
dapat dilakukan dan bukan merupakan kontraindikasi pada preeklampsia. Namun jika
terjadi perburukan pada janin atau ibu, maka diperlukan tindakan bedah Caesar.

Terapi dilakukan untuk meminimalkan vasospasme, memperbaiki sirkulasi,


terutama uterus, plasenta dan ginjal, memperbaiki volume intravascular, mengkoreksi
gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Jika preeklampsia dapat dideteksi
secara dini dan diterapi dengan tepat, perubahan patofisiologis yang terjadi dapat
diminimalkan dan kehamilan dapat diteruskan sampai aterm. Meskipun preeklampsia
berhubungan dengan retensi air dan garam, beberapa klinisi masih melakukan restriksi
cairan dan garam karena berpendapat hal tersebut berhubungan dengan edema pulmonal
dan edema serebral. Namun opini yang dominan adalah pemberian cairan yang adekuat,
volume intravascular yang cukup dengan cairan garam fisiologis berguna untuk
menurunkan tekanan darah ibu dan memperbaiki aliran darah plasenta dan janin.

Pada masa lalu, yang direkomendasikan adalah restriksi berat natrium, hal yang
ternyata dapat menuju kekurangan natrium dan kemungkinan peningkatan produksi renin,
angiotensin dan aldosteron. Cairan intravena yang diberikan harus mengandung natrium
untuk mencegah water intoxication dan kejang.

Terapi magnesium

Di Amerika Utara dan di banyak negara dunia ketiga pemberian magnesium


secara parenteral dianggap sebagai terapi baris pertama untuk mengontrol preeklampsia-
eklampsia. Magnesium adalah anti konvulsan yang efektif, bersifat tokolitik dan
vasodilator sistemik ringan. Mekanisme anti konvulsan magnesium adalah
kemampuannya untuk mendepresi sistem saraf pusat. Meskipun berbagai jenis anti
konvulsan lain seperti barbiturat, diazepam dan phenytoin telah pernah digunakan, namun
tidak ada yang terbukti lebih baik dari magnesium baik efektifitasnya maupun efek
sampingnya. Efek tokolitik dari magnesium menjadikannya berguna pada preeklampsia,
di mana kadang kala uterus menjadi hiperaktif. Magnesium menyebabkan vasodilatasi
ringan dengan mendepresi kontraksi otot polos dan menekan pelepasan katekolamin

Berbagai mekanisme kerja Magnesium Sulfat pada Preeklampsia-eklampsia :

1. Antikonvulsan

2. Vasodilatasi

a) Meningkatkan aliran darah uterus


b) Meningkatkan aliran darah ginjal
c) Antihipertensi

3. Meningkatkan pelepasan prostacyclin oleh sel endotelial

4. Menurunkan aktivitas renin plasma

5. Menurunkan angiotensin-converting enzymes

6. Meningkatkan respons vaskular terhadap substansi yang bersifat pressor

7. Mengurangi agregasi trombosit

8. Bronkodilatasi
9. Tokolisis: memperbaiki aliran darah uterus dan mengantagonis hiperaktivitas uterus

Kadar terapeutik magnesium dalam darah maternal adalah berkisar antara 46


mEq/liter, dengan toksisitas terjadi pada kadar plasma mencapai 10 mEq/liter.

Namun ada juga yang mengemukakan kadar terapeutik magnesium berkisar 5-7
mg/dL, dengan toksisitas terjadi jika mencapai kadar 119 mg/dL1. Over dosis terjadi
biasanya setelah pemberian bolus berulang atau melalui infus pada kasus-kasus dengan
penurunan fungsi ginjal. Gejala over dosis adalah sebagai berikut kelemahan maternal,
insufisiensi pernafasan dan bahkan gagal jantung. Semua komplikasi tersebut tidak
terjadi begitu saja tapi didahului adanya penurunan refleks tendon, sehingga dengan
demikian pemberian magnesium harus dikurangi atau dihentikan bila adanya penurunan
refleks tendon. Terapi dari gejala-gejala over dosis biasanya berupa topangan
kardiorespirasi dan pemberian calcium chlorida.

Terapi hipertensi

Bila dengan pemberian magnesium atau antikonvulsan lain dan tirah baring,
tekanan darah maternal tetap tidak lebih rendah dari sistolik 160 mm Hg dan diastolik
110 mm Hg, maka diperlukan antihipertensi lain. Antihipertensi meskipun berguna untuk
maternal tapi sepertinya tidak memperbaiki keadaan janin. Sampai saat ini antihipertensi
yang paling banyak digunakan adalah hydralazine, yang mekanisme kerja primernya
adalah menurunkan resistensi precapillary arteriolar. Penggunaan hydralazine dapat
meningkatkan cardiac output dan menyebabkan takikardia yang dapat mengganggu efek
antihipertensinya. Hydralazine juga meningkatkan aliran darah ginjal.7Meskipun masih
dipergunakan secara luas, penggunaan hydralazine mulai digantikan oleh antihipertensi
lain, metyldopa. Metyldopa telah banyak digunakan sebagai terapi hipertensi pada
preeklampsia-eklampsi terutama di daratan Eropa. Penggunaannya terutama pada kronik
hipertensi yang pada awalnya telah terkontrol dengan hydralazine atau untuk kontrol
tekanan darah jangka panjang pada masa post partum. Efek samping terhadap janin
minimal.

Clonidine dan prazosin, 1bloker, juga sudah dipergunakan dengan hasil baik
pada preeklampsia. Penggunaan -bloker pada preeklampsia dan pada wanita hamil
dengan hipertensi juga lebih umum dilakukan. Pada mulanya dikhawatirkan bahwa
propanolol berhubungan dengan peningkatan aktivitas uterus, penurunan aliran darah
uterus dan plasenta, penurunan laju nadi janin, penurunan toleransi janin terhadap
hipoksia dan mempengaruhi kondisi janin setelah lahir. Meskipun penelitian terhadap
penggunaan bloker masih jarang, namun dikatakan bahwa secara klinis penggunaannya
aman terhadap ibu hamil dan janinnya.

Beberapa penulis tidak menganjurkan pemberian derivate thiazide karena dapat


menyebabkan diuresis pada keadaan volume darah yang sudah berkurang, selanjutnya
dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit, peningkatan viskositas darah,
intoleransi glukosa baik pada janin atau ibu. Thiazide juga meningkatkan kadar asam urat
dalam darah yang memang sudah meningkat. Diuretik jarang diindikasikan untuk terapi
hipertensi pada kehamilan, kecuali sebagai terapi edema pulmonal yang disebabkan gagal
jantung kongestif atau faktor lain. Bila memberikan antihipertensi pada preeklampsia-
eklampsia, laju nadi janin harus dimonitor secara ketat. Penurunan yang tiba-tiba dari
tekanan darah maternal akan mengakibatkan gawat janin. Berikut adalah obat-obat yang
sering digunakan sebagai antihipertensi pada preeklampsia-eklampsia.

2.7 KONSEP SECTIO CAESARIA (SC)

2.7.1 DEFINISI
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui
suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan berat badan
diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang utuh (Gulardi
& Wiknjosastro, 2006).
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka
dinding perut dan dinding rahim (Mansjoer, 2002).

2.7.2 JENIS JENIS


o Sectio cesaria transperitonealis profunda
Sectio cesaria transperitonealis propunda dengan insisi di segmen bawah
uterus. insisi pada bawah rahim, bisa dengan teknik melintang atau memanjang.
Keunggulan pembedahan ini adalah:
Pendarahan luka insisi tidak seberapa banyak.
Bahaya peritonitis tidak besar.
Perut uterus umumnya kuat sehingga bahaya ruptur uteri dikemudian hari
tidak besar karena pada nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak
mengalami kontraksi seperti korpus uteri sehingga luka dapat sembuh lebih
sempurna.
2.7.3 Sectio cacaria klasik atau section cecaria corporal
Pada cectio cacaria klasik ini di buat kepada korpus uteri, pembedahan ini
yang agak mudah dilakukan,hanya di selenggarakan apabila ada halangan untuk
melakukan section cacaria transperitonealis profunda. Insisi memanjang pada
segmen atas uterus.
2.7.4 Sectio cacaria ekstra peritoneal
Section cacaria eksrta peritoneal dahulu di lakukan untuk mengurangi
bahaya injeksi perporal akan tetapi dengan kemajuan pengobatan terhadap injeksi
pembedahan ini sekarang tidak banyak lagi di lakukan. Rongga peritoneum tak
dibuka, dilakukan pada pasien infeksi uterin berat.
2.7.5 Section cesaria Hysteroctomi
Setelah sectio cesaria, dilakukan hysteroktomy dengan indikasi:
Atonia uteri
Plasenta accrete
Myoma uteri
Infeksi intra uteri berat

2.7.6 ETIOLOGI
Manuaba (2002) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin
adalah fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram. Dari beberapa faktor
sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio caesarea sebagai
berikut:
1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )
Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu
tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu
tidak dapat melahirkan secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan
susunan beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami. Bentuk
panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus
dilakukan tindakan operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk
rongga panggul menjadi asimetris dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi
abnormal.
2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah
perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab
kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan. Karena
itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati
agar tidak berlanjut menjadi eklamsi.
3. KPD (Ketuban Pecah Dini)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
persalinan dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar
ketuban pecah dini adalah hamil aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah
36 minggu.

4. Bayi Kembar
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi
daripada kelahiran satu bayi. Selain itu, bayi kembar pun dapat mengalami
sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk dilahirkan secara
normal.
5. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada
jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu sulit bernafas.
6. Kelainan Letak Janin
a. Kelainan pada letak kepala
1) Letak kepala tengadah
Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
UUB yang paling rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya
bundar, anaknya kecil atau mati, kerusakan dasar panggul.
2) Presentasi muka
Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak
paling rendah ialah muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3) Presentasi dahi
Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah
dan tetap paling depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya
akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala.
b. Letak Sungsang
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang
dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum
uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan
presentasi kaki (Saifuddin, 2002).

2.7.7 PATOFISIOLOGI
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr
dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi dilakukan tindakan
ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak,
placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin
besar dan letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post
partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang
informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak adekuat akan
mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan menjadi post
de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan
luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap
janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati,
sedangkan pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa
atonia uteri sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas
yaitu jalan nafas yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot
nafas silia yang menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan
dengan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan terjadi
proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap untuk
metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi. (Saifuddin, Mansjoer & Prawirohardjo, 2002)

2.7.8 TEKNIK PENATALAKSANAAN


1. Bedah Caesar Klasik/ Corporal.

a. Buatlah insisi membujur secara tajam dengan pisau pada garis tengah korpus
uteri diatas segmen bawah rahim. Perlebar insisi dengan gunting sampai
sepanjang kurang lebih 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan dua jari
operator.
b. Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah. Janin dilahirkan dengan
meluncurkan kepala janin keluar melalui irisan tersebut.
c. Setelah janin lahir sepenuhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan dipotong
diantara kedua klem tersebut.
d. Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
e. Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
Lapisan II
lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
Lapisan III
Dilakukan reperitonealisasi dengan cara peritoneum dijahit secara jelujur
menggunakan benang plain catgut no.1 dan 2
f. Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban
g. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

2. Bedah Caesar Transperitoneal Profunda


a. Plika vesikouterina diatas segmen bawah rahim dilepaskan secara melintang,
kemudian secar tumpul disisihkan kearah bawah dan samping.
b. Buat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen bawah rahim kurang lebih 1
cm dibawah irisan plika vesikouterina. Irisan kemudian diperlebar dengan gunting
sampai kurang lebih sepanjang 12 cm saat menggunting lindungi janin dengan
dua jari operator.
c. Setelah cavum uteri terbuka kulit ketuban dipecah dan janin dilahirkan dengan
cara meluncurkan kepala janin melalui irisan tersebut.
d. Badan janin dilahirkan dengan mengaitkan kedua ketiaknya.
e. Setelah janin dilahirkan seluruhnya tali pusat diklem ( dua tempat) dan
dipotong diantara kedua klem tersebut.
f. Plasenta dilahirkan secara manual kemudian segera disuntikkan uterotonika
kedalam miometrium dan intravena.
g. Luka insisi dinding uterus dijahit kembali dengan cara :
Lapisan I
Miometrium tepat diatas endometrium dijahit secara silang dengan
menggunakan benang chromic catgut no.1 dan 2
Lapisan II
Lapisan miometrium diatasnya dijahit secara kasur horizontal (lambert)
dengan benang yang sama.
Lapisan III
Peritoneum plika vesikouterina dijahit secara jelujur menggunakan
benang plain catgut no.1 dan 2
h. Eksplorasi kedua adneksa dan bersihkan rongga perut dari sisa-sisa darah dan
air ketuban
i. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

3. Bedah Caesar Ekstraperitoneal


a. Dinding perut diiris hanya sampai pada peritoneum. Peritoneum kemudia
digeser kekranial agar terbebas dari dinding cranial vesika urinaria.
b. Segmen bawah rahim diris melintang seperti pada bedah Caesar transperitoneal
profunda demikian juga cara menutupnya.
4. Histerektomi Caersarian ( Caesarian Hysterectomy)
a. Irisan uterus dilakukan seperti pada bedah Caesar klasik/corporal demikian juga
cara melahirkan janinnya.
b. Perdarahan yang terdapat pada irisan uterus dihentikan dengan menggunakan
klem secukupnya.
c. Kedua adneksa dan ligamentum rotunda dilepaskan dari uterus.
d. Kedua cabang arteria uterina yang menuju ke korpus uteri di klem (2) pada tepi
segmen bawah rahim. Satu klem juga ditempatkan diatas kedua klem tersebut.
e. Uterus kemudian diangkat diatas kedua klem yang pertama. Perdarahan pada
tunggul serviks uteri diatasi.
f. Jahit cabang arteria uterine yang diklem dengan menggunakan benang sutera
no. 2.
g. Tunggul serviks uteri ditutup dengan jahitan ( menggunakan chromic catgut
( no.1 atau 2 ) dengan sebelumnya diberi cairan antiseptic.
h. Kedua adneksa dan ligamentum rotundum dijahitkan pada tunggul serviks
uteri.
i. Dilakukan reperitonealisasi sertya eksplorasi daerah panggul dan visera
abdominis.
j. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis

2.7.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Elektroensefalogram ( EEG )
Untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2. Pemindaian CT
Untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI)
Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan
gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah daerah otak yang itdak
jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET )
Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan
lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
a. Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
b. Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
c. Panel elektrolit
d. Skrining toksik dari serum dan urin
e. AGD
f. Kadar kalsium darah, natrium darah, magnesium darah

2.7.10 KOMPLIKASI

Yang sering terjadi pada ibu SC adalah :

1. Infeksi puerperial : kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas dibagi
menjadi:
a. Ringan, dengan suhu meningkat dalam beberapa hari
b. Sedang, suhu meningkat lebih tinggi disertai dengan dehidrasi dan perut sedikit
kembung
c. Berat, peritonealis, sepsis dan usus paralitik
2. Perdarahan : perdarahan banyak bisa terjadi jika pada saat pembedahan cabang-cabang
arteri uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.
3. Komplikasi-komplikasi lainnya antara lain luka kandung kencing, embolisme paru
yang sangat jarang terjadi.
4. Kurang kuatnya parut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa
terjadi ruptur uteri.
Yang sering terjadi pada ibu bayi : Kematian perinatal

2.7.11 PENATALAKSANAAN
1. Perawatan awal
Letakan pasien dalam posisi pemulihan
Periksa kondisi pasien, cek tanda vital tiap 15 menit selama 1 jam pertama,
kemudian tiap 30 menit jam berikutnya. Periksa tingkat kesadaran tiap 15 menit
sampai sadar
Yakinkan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi
Transfusi jika diperlukan
Jika tanda vital dan hematokrit turun walau diberikan transfusi, segera
kembalikan ke kamar bedah kemungkinan terjadi perdarahan pasca bedah

2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan
jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air
putih dan air teh.

3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3
sampai hari ke5 pasca operasi.

4. Fungsi gastrointestinal
Jika tindakan tidak berat beri pasien diit cair
Jika ada tanda infeksi , tunggu bising usus timbul
Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat
Pemberian infus diteruskan sampai pasien bisa minum dengan baik

5. Perawatan fungsi kandung kemih


Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah pembedahan atau sesudah semalam
Jika urin tidak jernih biarkan kateter terpasang sampai urin jernih
Jika terjadi perlukaan pada kandung kemih biarkan kateter terpasang sampai
minimum 7 hari atau urin jernih.
Jika sudah tidak memakai antibiotika berikan nirofurantoin 100 mg per oral per
hari sampai kateter dilepas
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter
biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan
keadaan penderita.

6. Pembalutan dan perawatan luka


Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak
jangan mengganti pembalut
Jika pembalut agak kendor , jangan ganti pembalut, tapi beri plester untuk
mengencangkan
Ganti pembalut dengan cara steril
Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih
Jahitan fasia adalah utama dalam bedah abdomen, angkat jahitan kulit dilakukan
pada hari kelima pasca SC

7. Jika masih terdapat perdarahan


Lakukan masase uterus
Beri oksitosin 10 unit dalam 500 ml cairan I.V. (garam fisiologik atau RL) 60
tetes/menit, ergometrin 0,2 mg I.M. dan prostaglandin

8. Jika terdapat tanda infeksi, berikan antibiotika kombinasi sampai pasien


bebas demam selama 48 jam :
Ampisilin 2 g I.V. setiap 6 jam
Ditambah gentamisin 5 mg/kg berat badan I.V. setiap 8 jam
Ditambah metronidazol 500 mg I.V. setiap 8 jam

9. Analgesik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan


Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
Supositoria = ketopropen sup 2x/ 24 jam
Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu

10. Obat-obatan lain


Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobian I vit. C

11. Hal Hal lain yang perlu diperhatikan


Paska bedah penderita dirawat dan diobservasi kemungkinan komplikasi berupa
perdarahan dan hematoma pada daerah operasi
Pasca operasi perlu dilakukan drainase untuk mencegah terjadinya hematoma.
Pasien dibaringkan dengan posisi semi fowler (berbaring dengan lutut ditekuk)
agar diding abdomen tidak tegang.
Diusahakan agar penderita tidak batuk atau menangis.
Lakukan perawatan luka untuk mencegah terjadiny infeksi
Dalam waktu 1 bulan jangan mengangkut barang yang berat.
Selama waktu 3 bulan tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat menaikkan
tekanan intra abdomen
pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi
kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena
pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain
itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya
hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15
menit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.
Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-
manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan
kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya
pengaruh anestesi.
Perawatan pasca operasi, Jadwal pemeriksaan ulang tekanan darah, frekuensi nadi
dan nafas. Jadwal pengukuran jumlah produksi urin Berikan infus dengan jelas,
singkat dan terinci bila dijumpai adanya penyimpangan.
Penatalaksanaan medis, Cairan IV sesuai indikasi. Anestesia; regional atau general
Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria. Tes
laboratorium/diagnostik sesuai indikasi. Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
Tanda vital per protokol ruangan pemulihan, Persiapan kulit pembedahan
abdomen, Persetujuan ditandatangani. Pemasangan kateter.

2.8 Konsep Dasar Anestesi Umum


2.8.1 Pengertian
Anestesi Umum Anestesi dapat dibagi dua macam, yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya
yaitu inhalasi dan intravena.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum, yaitu
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
reversible. Dalam memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan
menjalani operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari
trias anestesi :
a. Hipnotik
b. Analgesia
c. Relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan
kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu
dan mencegah terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum
(menggunakan zat anestesi yang mudah menguap) sebagai berikut :
a. Stadium I yaitu analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya
kesadaran
b. Stadium II yaitu excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya
respirasi teratur, mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah
c. Stadium III yaitu dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi
Dibagi 4 plane:
Plane 1 yaitu dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya
pergerakan bola mata
Plane 2 yaitu dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga
mulainya paralisis intercostal
Plane 3 yaitu dari mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis
intercostal
Plane 4 yaitu dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma
d. Stadium IV yaitu overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga
cardiac arrest
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani
operasi maka perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi,
induksi, maintenance, dan lain-lain.
2.8.2 Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah :
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
1) ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%
2) ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atauproses patofisiologis. Angka mortalitas 16%
3) ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%
4) ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina
menetap. Angka mortalitas 68%
5) ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi /
dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito, ASA ditambah
huruf E (Emergency) tanda darurat

2.8.3 Macam Macam Teknik Anestesi


Open Drop Methode
Cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap, peralatan sangat
sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang
diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
Semi Open Drop Methode
Hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat
anestetik , digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan sering
terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk menghindarinya
dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari minimal volume
udara semenit.
Semi Closed Methode
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat
ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar zat
anestetik dapat ditentukan. Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke
udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan
memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari
dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100 % kebutuhan
Closed Methode
Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara ekspirasi dialirkan
melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
mengandung anestetik dapat digunakan lagi
Pada kasus isi dipakai semi closed anestesi karena memiliki beberapa
keuntungan, yaitu:
a. Konsentrasi inspirasi relatif konstan
b. Konservasi panas dan uap
c. Menurunkan polusi kamar
d. Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar
2.8.4 Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain :
Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam
Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
Memberikan analgesia, misal : pethidin
Mencegah muntah, misal : droperidol
Memperlancar induksi, misal : pethidin
Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropindan hoisin
Macam Macam Obat Premedikasi :
A. Golongan Opioid
Tujuan mempunyai efek analgetik yang sangat kuat, mengurangi rasa
nyeri saat pembedahan
Efek samping dapat menyebabkan depresi pernapasan, mual, muntah,
vasodilatasi pembuluh darah yang dapat menyebabkan hipotensi
Jenis obat opioid
a) Pethidin
Petidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat
diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila
digunakan pada pasien dengan hipovolemia. Juga dapat menyebabkan
depresi pusat pernapasan dimedula yang dapat ditunjukkan dengan respon
turunnya CO2, mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik
pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek tersebut
Sediaan dalam ampul 100 mg / 2cc.
Dosis : 0,5 1 mg / kg BB
Pemberian : IV & IM
b) Morphine
Morphin digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat
yang tidak dapat diobati dengan analgesik non opioid. Apabila nyerinya
makin besar dosis yang diperlukan juga semakin besar .Morphin sering
digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark miokard,
neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, okulasi akut pembuluh darah
perifer,pulmonal atau koroner,perikaditis akut, pluritis dan pnumotorak
spontan, nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, frakturdan nyeri pasca
bedah.
Morphin dapat menyebabkan depresi pernafasan, nausea, vomitus, mental
berkabut, disforia, pruritus, kontipasi kenaikan tekanan pada traktus bilier,
retensi urin,
Sediaan dalam ampul 10 mg/ 1cc.
Dosis : 0,1 0,2 mg / kg BB ( IM )
Golongan sedasi
1) Tujuan memberikan rasa nyaman dan tenang, mengurangi kecemasan, amnesia
retrograde
2) Jenis Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin
kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan
premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika
sebelumnya Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi
anestesi, basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang
dilakukan di bawah anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama
anestesi. Obat ini dikontra indikasikan pada keadaan sensitive terhadap
golongan benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-
angle glaucoma. Midazolam mempunyai efek samping :
1. Efek yang berpotensi mengancam jiwa :
Midazolam dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular,
iritabilitas pada ventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut
jantung.
2. Efek yang berat dan ireversibel :
Selain depresi SSP yang berhubungan dengan dosis, tidak pernah
dilaporkan efek samping yang ireversibel
3. Efek samping simtomatik :
Agitasi, involuntary movement, bingung,pandangan kabur, nyeri pada
tempat suntikan, tromboflebitis dantrombosis. Midazolam dapat berinteraksi
dengan obat alkohol, opioid, simetidin, ketamin
3) Dosis premedikasi sebelum operasi :
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum
tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau
analgesik. Dosis : 0,07 0,1 mg / kg BB ( IM )
Anak - anak : 0,05 mg/ kg BB secara IM
Golongan antikolinergik
1) Tujuan mencegah terjadinya efek bradicardia dari obat-obatan anasthesi lain,
mengurangi produksi saliva, mengurangi resiko terjadinya reflek vagal.
2) Jenis Sulfas Atropin, Dosis : 0,01 0,02 mg / kg BB ( IM )
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk mengurangi
sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Efek
lainnya yaitu melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan
spasme gastrointestinal, dan mengurangi rasa mual serta muntah. Obat ini juga
menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan kabur, maka lebih baik
tidak diberikan pra anestesi local maupun regional. Dalam dosis toksik dapat
menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan pada pasien.
Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin 12 mg intravena.
a) Sediaan dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5mg.
b) Dosis 0,01 mg/ kgBB.
c) Pemberian SC, IM, IV
2.8.5 Induksi
a. Propofol
1) Induksi Pada kasus ini digunakan Propofol. Propofol adalah campuran 1% obat
dalam air dan emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan
2,25% glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa
premedikasi.
2) Pemberian intravena propofol (2mg/kg) menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai
plebitis atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol
yang berkesinambungan dengan opiat,N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
3) Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini
disebabkan karena vasodilatasi perifer dari pada penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak
merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran darah ke otak, metabolisme otak dan
tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan propofol karena bekerja lebih
cepat dari tiopental dan konfusi pasca operasi yang minimal.
4) Efek samping propofol pada sistem pernapasan adanya depresi pernapasan,
apnea, brokospasme dan laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardia, bradikardia, hipertensi. Pada susunan saraf pusat
adanya sakit kepala, pusing, euforia,kebingungan, kejang, mual dan muntah.

b. Tiopenthal
a. Indikasi
Obat induksi, suplementasi dari anestesi regional, antikonvulsan, pengurangan
dari tekanan intracranial, proteksi serebral ( narcosis barbiturate )
b. Dosis
Induksi IV 3 5 mg/kgbb ( dewasa )
Induksi IV 5 6 mg/kgbb ( anak )
Induksi IV 7 8 mg/kgbb ( bayi )
Suplementasi anestesi IV 0,5 1 mg/kgbb
Infuse 0,05 0,35 mg/kgbb/menit
c. Onset
10 20 detik
d. Duration
2 5 menit
e. Efek samping
Depresi sirkulasi, aritmia, depresi pernapasan, apnoe, laringospasme,
bronchospasme, mual, muntah, urtikaria, reaksi anafilaktik
c. Ketamin
a. Indikasi
Anestetik disosiatif, induksi dan pemeliharaan anestesi, khususnya pada pasien
hipovolemik atau beresiko tinggi, satu satunya anestetik untuk prosedur bedah
singkat.
b. Dosis
Sedasi atau alagesia 0,5 1 mg/kgbb IV
Induksi 1 2 mg/kgbb IV
c. Onset
< 30 detik
d. Duration
5 15 menit
e. Efek samping
Hipertensi, tachicardi, hipotensi, aritmia, bradikardi, depresi pernapasan, apnoe,
laringospasme, hipersalivasi, mual, muntah, delirium bangkitan
2.8.6 Obat Muscle Relaxan
Obat muscle relaxan adalah obat pelumpuh otot yang bekerja pada otot
bergaris / otot lurik, sehingga akan terjadi kelumpuhan otot pernapasan, otot
otot mandibulla, otot intercostalis, otot abdominal, dan relaksasi otot ekstremitas.
Pada pemberiannya pastikan penderita dapat diberi napas buatan.
Pelumpuh otot di bagi 2 yaitu depolarisasi dan non depolarisai :
Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama
menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang
diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium.
Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini
memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek
(kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian
besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin.
Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti
hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini di temukan pada kehamilan,
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga
ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang
memanjang. Interaksi obat Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block
pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat
kolinesterase maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka depolarisasi
akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan menghambat
pseudokolinesterase.
Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
1) Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai kerja
pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek akumulasi
pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan selamg
waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena
pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15
mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
2) Atracurium
a) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari
tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme
terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
b) Dosis
Dosis 0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative
0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.Lebih cepat durasinya pada anak
dibandingkan dewasa.Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan
dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada
suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
c) Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
3) Vekuronium
a) Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan
lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai
efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
b) Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang
dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit
3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan
sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan
pelemas otot memperpanjang penggunaan.
c) Dosis
Dosis intubasi 0,08 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg
setiap 15 20 menit. Drip 1 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada pasien
post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
4) Rokuronium
1. Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih cepat.
Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan
kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih
lama.
2. Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi tidak
terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan hepar
berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di ICU). Pasien
orang tua menunjukan prolong durasi
3. Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya. 0,45 0,9 mg /
kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4
mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2
mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk
intubasi. Tapi tidak sampai 3 6 menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk
drip 5 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien orang tua.
4. Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental. Rocuronium (0,1
mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk prekurasisasi sebelum
suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
Jenis pelumpuh berdasarkan durasi :
1. Ultrashort ( 5 10 menit ) = suksinilkolin
2. Short acting ( 10 15 menit ) = mivakurium
3. Medium acting ( 15 30 menit ) = atrakurium (Dosis 0,5 mg / kg BB,
iv), vecuronium ( Dosis 0,12 mg / kg BB, iv), rocuronium (Dosis 0,6
1,2 mg / kg BB,iv)
4. Long acting ( 30 120 menit ) = pancuronium, metokurin, doksakurium

2.8.7 Maintanance Obat Inhalasi


a. Halotan
Anasthesi inhalasi berbentuk cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, tidak
mudah terbakar, berbau harum tapi mudah terurai cahaya.
Efek dari halotan :
1) Tidak merangsang saluran pernapasan
2) Depresi napas pada stadium analgetik
3) Menghambat salivasi
4) Hipnotik kuat, analgetik kurang baik, relaksasi cukup
5) Mencegah spasme laring dan bronchus
6) Vasodilatasi pembuluh darah otak
7) Meningkatkan aktivitas vagal menyebabkan vagal refleks
8) Menghambat kontraksi otot rahim
9) Pemberian berulang beresiko kerusakan pada hepar
10) Dapat digunakan sebagi obat induksi dan maintenance
11) 1 MAC = 0,75 %
b. Isofluran
Anasthesi inhalasi berbentuk cairan yang tidak berwarna, berbau tajam, tidak
mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya, tidak merusak logam,merupakan isomer
dari enfluran.
1) Efek dari isoflurane
2) Efek bronchodilator tapi tidak kuat
3) Mempunyai bau yang tajam sehingga pasien merasa tidak nyaman
4) Menimbulkan depresi ringan pada jantung
5) Dalam waktu 7 -10 menit biasanya sudah mencapai stadium pembedahan
anasthesi
6) 1 MAC = 1,15 %
c. Sevofluran
Anasthesi inhalasi berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak
iritatif, tidak korosif, tidak mudah terbakar, dan stabil terkena matahari
Efek dari sevoflurane :
1) Menimbulkan relaksasi pada anak
2) Pada sistem kardiovaskuler sedikit menimbulkan depresi kontraksi jantung
3) Memicu bronchospasme
4) 1 MAC = 2%
2.8.8 Obat Obat Emergency
a. Adrenalin
1) Indikasi
a) Asistol
b) PEA
c) VF/VT pulseses
d) Severe
e) Hipotensi
f) Bradikardi
2) Dosis
1 mg tiap 3-5 menit IV
Intratracheal 3x dosis IV diencerkan 10 ml (tidak direkomendasikan )
b. Sulfas Atropin
1) Indikasi
Bradikardi (denyut nadi < 60x/mnt )
2) Dosis
0,5 1 mg (total 3 mg), < 0,5 mg justru menyebabkan bradikardi
b. Lidocain
1) Indikasi
VF & VT bila tidak ada amiodaron, PVC
2) Dosis
1 mg / kgbb tiap 3-5 mnt, Maksimal 3 mg/kgbb
d. Efedrin
1) Indikasi
Hipotensi systole < 90 mmhg
2) Dosis
Bolus IV 5 10 mg
2.8.9 Intubasi Endotracheal
Intubasi Endotrakeal Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea,sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan.
a. Tujuan Intubasi Endotrachal
1) Mempermudah pemberian anestesi
2) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
3) Mencegah kemungkinan aspirasi lambung
4) Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
5) Pemakaian ventilasi yang lama
6) Mengatasi obstruksi laring akut
b. Indikasi Intubasi Endotracheal
1) Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui masker nasal.
2) Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
3) Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
4) Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
5) Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
6) Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena
pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask
tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
7) Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan
tidak ada ketegangan.
8) Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan
tekanan intra pulmonal.
9) Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
10) Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
11) Tracheostomni.
12) Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
13) operasi dengan posisi miring/ tengkurap
14) operasi dengan resiko tinggi
15) operasi dengan lambung penuh
16) terapi gangguan respirasi (obstruksi saluran nafas)
c. Kontra Indikasi Intubasi Endotracheal
1) Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus
2) Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
d. Persiapan Alat
1) Laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yaitu :
2) Blade lengkung ( McIntosh ) dewasa
3) Blade lurus ( blade Miller ) bayi dan anak-anak
4) Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu
misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk
yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah
kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff)
pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah
trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal
untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm.
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak
Rumus yang di pakai :

diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)

Rumus lain: (umur + 2)/2

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih
besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan
dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
5) Pipa orofaring atau nasofaring. mencegah obstruksi jalan nafas karena
jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
6) Plester memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.
7) Stilet atau forsep intubasi. (McGill) mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi digunakan
untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui
orofaring.
8) Alat pengisap atau suction.
9) Tampong
10) Xilocain spray
11) Salep mata
12) Kasa
13) Gunting
e. Mesin Anestesi
Selalu pastikan mesin berguna dengan baik dengan cara :
1) Hubungkan kabel listik dengan sumber listrik.
2) Hubungkan pipa oksigen dari mesin anestesi dengan Outlet sumber oksigen
3) Pasang Currogated + bag sesuai kebutuhan.
4) Cek apakan ada kebocoran dengan cara tutup valve, kembangkan bag dengan
5) flash O2 atau putar O2 10 lpm, lalu coba pompa bag dan cari apakah ada
kebocoran dari bag, sambungan, atau currogate
6) Soda lime ( bila warna sudah berubah harus diganti )
7) Vaporizer harus di cek apakan agent inhalasi sudah terisi
f. Suction
1) Sambungkan dengan sumber listrik
2) Cek Kelengkapannya meliputi: selang suction, tabung penampung
3) kateter suction dengan diameter 1/3 diameter ETT, ujungnya harus tumpul dan
lubang lebih dari satu.
4) Atur kekuatan penghisapan sesuai kebutuhan (Adult 200 mmHg pediatric
100 mmHg dan bayi 60 mmHg )
g. Prosedur Tindakan Intubasi
1) Persiapan. Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang
cukup keras atau botol infus) kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea
dan laringoskop berada dalam satu garis lurus
2) Oksigenasi. Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2
menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan
kanan
3) Laringoskop. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Blade laringoskop dimasukkan dari
sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Blade laringoskop didorong ke
dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan bentuk huruf V
4) Pemasangan pipa endotrakheal. Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui
sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu,
sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior
sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet
dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan
blade laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester
5) Mengontrol letak pipa. Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan
suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di
pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang
timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih
berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai
ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus
maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat
ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin
lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut
dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup
6) Ventilasi. Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan
h. Komplikasi Intubasi Endotracheal
1) Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a) Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi
laringeal cuff
b) Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa
mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal
c) Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring
2) Malfungsi tuba berupa perforasi cuff
i. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
1) Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
2) Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit
hidung.
3) Malfungsi tuba berupa obstruksi.
j. Komplikasi setelah ekstubasi.
1) Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea),
suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan
aspirasi laring.
2) Gangguan refleks berupa spasme laring.
k. Syarat Ekstubasi.
1) Insufisiensi nafas (-)
2) Hipoksia (-)
3) Hiperkarbia (-)
4) Kelainan asam basa (-)
5) Gangguan sirkulasi ( TD turun tidak ada, perdarahan tidak ada )
6) Pasien sadar penuh
7) Mampu bernafas bila diperintah
8) Kekuatan otot sudah pulih
9) Tidak ada distensi lambung
2.8.10 Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang.
a. Tujuan Terapi Cairan
b. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi
c. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yangdiberikan
Pemberian Cairan Terbagi
a. Pra Operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %
b. Durante Operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
1) Ringan = 4 ml/kgBB/jam
2) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
3) Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah
yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Post Operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisitcairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. .
2.8.11 Pemulihan Pasca Anestesi
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang
biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recoveryroom yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan kebangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Aldrete Scoring Sistem ( General Anestesi )


1) Gerakan Badan
a. Menggerakan 4 ekstremitas ...............................................................................2
b. Menggerakan 2 ekstremitas................................................................................1
c. Tidak Mampu Menggerakan 2 ekstremitas........................................................0
2) Pernafasan
a. Bisa menarik nafas dalam dan batuk bebas.......................................................2
b. Dispneu atau limitasi bernafas ..........................................................................1
c. Apnea / tidak bernafas ......................................................................................0
3) Sirkulasi
a. TD +/- 20 mmHg dari normal ...........................................................................2
b. TD +/- 20 50 mmHg dari normal ...................................................................1
c. TD +/- > 50 mmHg dari normal........................................................................0
4) Warna kulit
a. Merah jambu .....................................................................................................2
b. Pucat .................................................................................................................1
c. Sianosis .............................................................................................................0
5) Kesadaran
a. Sadar penuh ......................................................................................................2
b. Respon terhadap panggilan ...............................................................................1
c. Tidak ada respon ...............................................................................................0
Total skor > 8 keluar RR

Bromage Scoring System ( Spinal Anestesi )


1) Lengkap ( lutut dan kaki tidak bisa digerakan )....3
2) Hampir Lengkap ( hanya telapak kaki dapat bergerak )....2
3) Parsial ( hanya sampai lutut yang dapat bergerak )...1
4) Tidak Ada ( secara reflek lutut dan kaki dapat bergerak )....0
Jika skor 2 keluar RR

Steward Scoring System ( General Anestesi Pada Anak )


1) Pernapasan
a. Batuk, menangis......2
b. Pertahankan jalan napas...1
c. Perlu bantuan...0
2) Kesadaran
a. Menangis.2
b. Bereaksi terhadap rangsangan.1
c. Tidak bereaksi..0
3) Aktifitas
a. Gerak bertujuan..2
b. Gerak tak bertujuan1
c. Tidak bergerak0
Jika Jumlah > 5 Keluar RR

2.8.12 Regional Epidural Anestesi


a. Pengertian
Anestesi epidural merupakan teknik anestesi neuraxial yang menawarkan
aplikasi yang lebih luas dibanding anestesi spinal yang memakai prinsip all or
nothing. Blok epidural dapat dilakukan pada tingkat lumbal, thorakal, atau
servikal. Anestesia epidural pada regio sakral dianggap sebagai blok kaudal dan
akan dijelaskan pada akhir bab ini. Teknik epidural digunakan secara luas untuk
anestesia intraoperatif, analgesia obstetrik, kontrol nyeri postoperatif dan
penanganan nyeri kronik. Anestesi epidural dapat digunakan sebagai single shot
teknik atau dengan kateter untuk memungkinkan bolus intermitten dan atau infus
kontinu. Blok motorik dapat berkisar dari tidak ada hingga komplit. Semua
variabel ini dikontrol oleh pemilihan obat, konsentrasi, dosis dan lokasi
penyuntikan.

Ruang epidural dibatasi oleh dura mater di posterior, lateral dan anterior.
Serabut saraf berjalan dalam ruang ini begitu keluar secara lateral melalui
foramen sebelah luar. Kandungan lainnya termasuk jaringan pengikat lemak,
limfatik dan plexus venosus (Batson). Pemeriksaan fluoroskopik terbaru
menunjukkan adanya septum atau jaringan pengikat. Pertambahan umur
menyebabkan penurunan jaringan adiposa dalam epidural.

Anastesi epidural memiliki onset yang lebih lambat (10-20 menit) dan
biasanya tidak sekuat anestesi spinal. Hal ini dapat bermanifestasi sebagai
differential blok atau blok segmental, suatu gambaran yang dapat berguna secara
klinis. Sebagai contoh, dengan menggunakan larutan anastesi lokal yang digabung
dengan opiat, epidural dapat memblok simpatis yang lebih kecil dan serat-serat
sensorik, bila pada serabut motorik yang lebih besar hanya menghasilkan
analgesia tanpa blok motorik. Hal ini sering dilakukan pada analgesia persalinan
dan analgesia postoperatif. Selain itu, blok segmental mungkin terjadi karena zat
anastetik tidak disebarkan secara cepat oleh cairan serebrospinalis dan bertahan
pada area yang dekat dengan area penyuntikan. Blok segmental ditandai oleh zat-
zat anastesi yang terikat pada serabut saraf tertentu, sementara serabut-serabut di
bawah dan di atasnya tidak. Hal ini dapat terlihat pada epidural torakal yang
memberikan efek anastesia pada abdomen bagian atas sementara kurangnya efek
anestesia pada serabut-serabut saraf servikal dan lumbal.

Epidural lumbal merupakan lokasi insersi anastesis yang paling sering


digunakan untuk anestesia dan analgesia epidural. Pendekatan secara midline dan
paramedian dapat digunakan. Anestesia epidural lumbal dapat digunakan untuk
prosedur yang dilakukan di bawah diaphragma. Karena medulla spinalis
umumnya berakhir pada tingkat L1, maka lebih aman melakukan blok pada
interspace lumbal bawah, khususnya bila terjadi tusukan dural yang tidak
disengaja.

Blok epidural thorakal secara teknik lebih sulit dilakukan dibanding blok
lumbal dan beresiko trauma medula spinalis, walaupun kemungkinannya sangat
kecil dengan teknik yang baik, lebih besar dibanding pada tingkat lumbal. Teknik
ini dapat pula dilakukan dengan pendekatan midline atau paramedian. Beberapa
dokter merasa bahwa pendekatan paramedian lebih mudah karena adanya oblik
yang ekstrim pada procesus spinosus thorakal. Jarang digunakan sebagai anestesi
primer, teknik epidural thorakal merupakan yang paling sering digunakan untuk
analgesia intra dan postoperatif. Teknik single shoot atau kateter digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri kronik. Infus melalui kateter epidural sangat berguna dalam
memberikan efek analgesi dan ventilasi postoperasi yang lebih singkat untuk
pasien dengan penyakit paru dan operasi di daerah dada. Blok servikal biasanya
dilakukan dengan cara duduk. Leher difleksikan dan menggunakan pendekatan
midline. Secara klinis, digunakan untuk penanganan nyeri.

b. Jarum Epidural
Jarum epidural standar biasanya adalah 17-18. Panjang 3 atau 3,5 inci,
bevel tumpul dengan lengkungan 15-30 pada ujungnya. Jarum Tuohy adalah
yang paling sering digunakan (Gb.16-11). Ujung yang tumpul dan lengkung
membantu mendorong dura setelah melewati ligamentum flavum sehingga tidak
dapat menembusnya. Jarum lurus tanpa ujung lengkung (jarum Crawford)
memiliki insidens terjadinya tusukan dura yang tinggi. Namun mempermudah
pemasangan kateter epidural. Modifikasi jarum termasuk yang memiliki wing tip
dan introduser didesain untuk menentukan penempatan kateter.

c. Kateter Epidural
Menempatkan kateter di dalam ruang epidural memungkinkan infus
kontinu atau teknik bolus intermitten. Di samping memperpanjang durasi blok,
hal ini juga memungkinkan dosis total obat anestesi yang digunakan lebih rendah
dan karena itu lebih mengurangi efek gangguan hemodinamik saat diberikan
initial dose.

Kateter epidural berguna untuk anestesi epidural intraoperatif atau


analgesia postioperatif. Biasanya, kateter ukuran 19 atau 20 dimasukkan melalui
jarum epidural ukuran 17 atau 18. Saat menggunakan jarum ujung melengkung,
bevel diarahkan ke kranial atau ke kaudal dan kemudian kateter didorong 2-6 inci
ke dalam ruang epidural. Semakin pendek jarak kateter di dorong, semakin mudah
kateter terdorong dan tercabut. Sebaliknya, semakin jauh kateter di dorong,
semakin tinggi kesempatan blok-blok unilateral kemungkinan akibat ujung kateter
meninggalkan ruang epidural melalui foramen intervertebrata atau masuk ke
dalam recessus lateral dari ruang epidural. Setelah memasukkan kateter
kekedalaman yang diinginkan, jarum ditarik keluar meninggalkan kateter di
tempat. Kateter diisolasi atau diamankan sepanjang punggung. Kateter memiliki
lubang masuk tunggal pada bagian distal atau untuk memudahkan insersi. Kawat
spiral yang memperkuat membuat kateter tidak mudah tertekuk. Ujung spiral ini
berkaitan dengan kurangnya insidens parasthesia, serta disersi intravaskuler.

d. Teknik Anestesi Epidural


Dengan menggunakan pendekatan midline atau para median, jarum
epidural dilewatkan dari kulit menembus ligamentum flavum. Pada anestesia
epidural diharapkan jarum terhenti sebentar saat menembus ligamentum flavum
untuk menghindari terjadinya penetrasi pada dura. Dua teknik yang ada untuk
mengenali saat jarum telah memasuki ruang potensial epidural adalah : teknik
hanging drop atau loss of resistance.
Teknik loss of resistance lebih sering digunakan oleh para dokter. Jarum
ditusukkan menembus jaringan subkutan dengan stylet ditempat sampai
ligamentum intraspinosum dimasuki yang ditandai oleh peningkatan resistensi
jaringan . Stylet atau introduser dikeluarkan dan syringe kaca yang berisi kurang
lebih dari 2 ml cairan atau udara yang ditancapkan di poros jarum. Bila jarum
berada dalam ligamentum akan terasa tahanan ringan dan injeksi tidak dapat
dilakukan. Jarum semakin di dorong perlahan-lahan millimeter per millimeter,
baik dengan cara kontinu atau cepat mengulangi tusukan. Begitu jarum memasuki
ruang epidural terdapat resistensi yang hilang tiba-tiba dan suntikan mudah
dilakukan.

Pada teknik hanging drop, begitu jarum masuk kedalam ligamentum


interspinatum dan stylet dikeluarkan, poros jarum diisi dengan larutan sehingga
tetesan menggantung di bagian luar. Jarum kemudian di dorong lebih dalam
secara perlahan-lahan. Begitu ujung jarum berada dalam ligamentum ruang
epidural terjadi tekanan negatif dan tetesan cairan terisap masuk ke dalam jarum.
Bila jarum menjadi tertancap tetesan tidak akan tenggelam ke dalam poros jarum
dan tusukan dural secara tidak sengaja bisa terjadi. Beberapa dokter lebih suka
menggunakan teknik ini untuk pendekatan paramedian dan untuk epidural
servikal.

e. Mengaktifkan Epidural Anestesi


Kuantitas (volume dan konsentrasi) anestesi lokal yang diperlukan untuk
anestesi epidural relatif lebih besar dibanding anestesi spinal. Toksisitas yang
signifikan dapat terjadi bila jumlah ini disuntikkan secara intratekal atau
intravaskuler. Untuk menghindari hal ini diperlukan test dose epidural dan dosis
tambahan. Hal ini benar dilakukan bila suntikan melalui jarum atau melalui
kateter epidural.

Test dose di desain untuk mendeteksi adanya penyuntikan subarachnoid


dan penyuntikan intra vaskuler. Test dose klasik yaitu menggabungkan anestesi
lokal dan epinefrin biasanya 3 ml lidokain 1,5% dengan 1:200.000 epinefrin
(0,005 mg/ml). 45 mg lidokain bila disuntikkan secara intratekal, akan
menghasilkan anestesia spinal yang segera tampak. 15 g epinefrin, bila
disuntikkan secara intervaskuler, akan meningkatkan denyut jantung (20% atau
lebih). Beberapa menyarankan dosis anestesi local yang lebih rendah, karena
suntikan 45 mg lidokaine intrakekal sulit untuk diatur pada beberapa area seperti
kamar bersalin. Sama halnya, epineprin sebagai pertanda penyuntikan intravena
tidak ideal. Positif palsu dapat terjadi (kontraksi uterus menyebabkan nyeri dan
peningkatan denyut jantung bersamaan dengan pemberian test dose) begitu pula
negatif palsu (pasien minum -bloker). Fentanyl dianjurkan sebagai test dose, dan
dosis anestesi lokal tanpa epinefrin.

Beberapa menganggap bahwa aspirasi sebelum penyuntikan perlu untuk


menghindari penyuntikan intra vena. Namun, beberapa ahli berpengalaman
menghandari terjadinya negatif palsu dengan aspirasi melalui jarum dan kateter.

Incremental dosis adalah metode yang sangat efektif untuk menghindari


komplikasi serius. Bila aspirasi negatif, fraksi dari dosis total anestesi lokal
disuntikkan, biasanya 5 ml. Dosis ini harus cukup besar bahwa penyuntikan
intravaskuler gejala ringan terjadi tetapi cukup kecil untuk menghindari kejang
atau gangguan kardiovaskuler. Hal ini penting khususnya pada labor epidural
yang digunakan untuk sectio cesarean. Bila bolus awal labor epidural diberikan
melalui jarum dan kemudian kateter dimasukkan, kemungkinan posisi kateter
sudah baik karena sejak bolus awal pasien sudah merasa nyaman. Bila kateter
dimasukkan secara intravaskuler atau berpindah ke intravaskuler, toksisitas
sistemik akan terjadi bila anestesi dosis penuh disuntikkan. Kateter dapat
berpindah secara intratekal atau intravaskuler dari posisi epidural yang sudah
tepat setelah penempatan awal. Beberapa kasus perpindahan letak kateter
mungkin lambat diketahui.

Bila seseorang menggunakan initial tes dose, perlu dilakukan aspirasi


setiap penyuntikan dan selalu menggunakan incremental dosis, toksisitas sistemik
yang signifikan dan penyuntikan intratekal yang tidak tepat jarang terjadi.

f. Zat Anestesi
Zat anestesi epidural dipilih berdasarkan dampak klinisnya, apakah ia
digunakan sebagai anestesi primer atau digabung dengan anestesi umum, atau
untuk analgesia. Untuk antisipasi durasi prosedur mungkin memerlukan anastetik
single-shot kerja lama atau kerja singkat atau dengan pemasangan kateter
epidural. (Tabel 16-6). Pada umumnya menggunakan zat-zat kerja singkat sampai
sedang yang sering digunakan untuk anestesi pembedahan termasuk lidokain 1,5-
2%, Chlorpocaine 3% dan mepivacaine 2%. Zat-zat kerja lama termasuk
bupivacaine 0,5-0,75%, ropivacaine 0,5-1% dan etidocaine. Pengalaman dengan
levobupivacaine, S-Enantioners bupivacaine yang kurang toksik, masih kurang.
Hanya larutan anestesi lokal yang bebas pengawet atau khususnya yang sudah
diberi label untuk epidural atau kaudal yang dibolehkan.

Setelah bolus awal persegmen 1-2 ml (dalam dosis terpisah), ulangi


pemberian dosis melalui kateter epidural dilakukan dalam interval waktu,
berdasarkan pengalaman para ahli dengan zat atau saat blok memperlihatkan
beberapa derajat regresi. Waktu regresi 2 segmen adalah gambaran khas dari
setiap anestesi lokal dan diartikan sebagai waktu yang diperlukan untuk level
sensorik untuk berkurang 2 tingkat dermatom. (Tabel 16-7). Saat regresi 2 segmen
terjadi, seseorang secara umum aman untuk diberikan ulang 1/3 sampai dosis
aktivasi awal.

Harus diingat bahwa chlorprocaine, suatu ester dengan onset cepat, durasi
singkat dan toksisitas yang rendah, dapat dengan efek analgesik dari opiat
epidural. Formula chloroprocain yang lama dengan pengawet khususnya bisulfat
dan EDTA terbukti menimbulkan masalah. Preparat bisulfat menyebabkan
neurotoksik bila disuntikkan dalam volume besar secara intratekal, sementara
formula EDTA terkait dengan nyeri punggung berat (kemungkinan karena
hipokalsemia lokal). Preparat chlorprocain terbaru bebas pengawet dan tanpa
komplikasi.

g. Faktor yang mempengaruhi blok


Faktor-faktor yang mempengaruhi level anestesia epidural mungkin tidak
dapat diprediksikan sebagaimana anestesi spinal. Pada orang dewasa, anestesi
lokal antara 1-2 ml persegmen secara umum menurut protokol pelaksanaan.
Contoh: untuk mencapai tingkat sensorik T4 dari penyuntikan pada L4 L5
memerlukan sedikitnya 12-24 ml. Untuk blok analgesik atau segmental,
memerlukan volume yang lebih sedikit.

Dosis yang diperlukan untuk mencapai tingkat anestesi yang sama


berkurang sesuai dengan umur. Hal ini mungkin berhubungan dengan adanya
pengurangan dalam ukuran atau kemampuan ruang epidural terkait dengan umur
seseorang. Karena larutan anestesi lokal melalui foramen intervertebra cenderung
membatasi penyebaran anestesi lokal ke kranial, penyempitan foramina
intervertebra yang terkait dengan umur dianggap sebagai penyebab, namun hal ini
masih diperdebatkan. Sementara terdapat sedikit hubungan antara berat badan dan
dosis yang diperlukan, tinggi pasien mempengaruhi lamanya penyebaran ke arah
kranial. Kemudian, pasien yang lebih pendek mungkin hanya memerlukan 1 ml
anestesi lokal per segmen untuk diblok, sementara pasien yang lebih tinggi
umumnya memerlukan 2 ml per segmen. Meskipun kurang cepat dibanding
anestesi spinal, penyebaran anestesi lokal epidural cenderung dipengaruhi oleh
gravitasi. Posisi lateral dekubitus. Trendelenburg dan kontra Trendelenburg, dapat
digunakan untuk membantu mencapai blok pada dermatom yang diinginkan.

Penyuntikan pada posisi duduk tampaknya menggunakan lebih banyak


anestesi lokal pada serabut saraf L5-S1 dan S2 dan yang lebih besar; kegagalan
anestesia atau tidak terbloknya dermatom-dermatom tersebut, kadang-kadang
terjadi pada anestesia epidural lumbal.

Penambahan pada anestesi lokal, khususnya opioid cenderung memiliki


efek yang lebih besar terhadap kualitas anestesia epidural daripada durasi blok.
Epinefrin dalam konsentrasi 0,005 mg/ml memperpanjang efek lidokain epidural,
mepivacaine dan chlorprocaine lebih daripada bupivacaine, etidocaine dan
ropivacaine. Selain itu, untuk memperpanjang durasi dan meningkatkan kualitas
blok, epinefrin mengurangi absorbsi vaskuler dan kadar puncak dalam darah dari
anestesi lokal yang diberikan melalui epidural. Phenylephrine secara umum
kurang efektif dibanding epinefrin sebagai vasokonstriksi untuk anestesi epidural.
2.8.13 ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan


penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/
subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal.

Hal hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien,
obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.

Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam.
Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory
sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu
kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.

Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat.


Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran
darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya
anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.

Indikasi

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai


bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan
khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur
tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi
dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan
tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine
surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS,
heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant
surgeon.

Persiapan Pasien

Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed


concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin
terjadi.

Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan


untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga
adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan
adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin
parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.

Perlengkapan

Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan


operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan
tindakan resusitasi.

Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai
dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain,
lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi
aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat
jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan
berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan
serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.

Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan
duk steril juga harus disiapkan.

Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan
jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak
digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.

Teknik Anestesi Spinal

Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:

1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi
termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi
dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di
depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah
satu sisi tubuh berada di meja operasi.

2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara


vertebrata lumbalis (interlumbal).

3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.

4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang


medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial.
Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan
subaraknoid.

5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.


6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan
vasokonstriktor seperti adrenalin.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat


penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera
pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.

2.9 KONSEP DASAR ASKEP

2.9.1 PENGKAJIAN
Identitas
Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
Keluhan Utama
Serangan kejang dan atau koma yang timbul bukan akibat dari kelainan
neurologis
Riwayat Penyakit Sekarang
terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri epigastrium, mual muntah,
penglihatan kabur
Riwayat Penyakit dahulu / riwayat kehamilan
penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM
Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion
serta riwayat kehamilan dengan eklamsia sebelumnya
Riwayat Penyakit keluarga
Adanya riwayat ibu atau saudara perempuan yang mengalami preeklamsi-
eklams meningkatkan resko empat sampai delapan kali.
Pola nutrisi
Jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan.
Psiko social spiritual
Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh karenanya perlu
kesiapanmoril untuk menghadapi resikonya.
Pemeriksaan fisik
1. B1 ( breath)
o Inspeksi :keadaan jalan nafas, hitung respirasi rate,
iramanya, :amplitude, simetris atau tidak, ada retraksi atau :tidak,
adakah jejas atau tidak.
o Palpasi :gerakan expansi paru, adakah udara pernapasan.
o Perkusi :hipersonor, atau peka, redup.
o Auskultasi :Adakah ronchi atau wheezing.
2. B2 (blood)
o Inspeksi :konjungtiva pucat atau tidak, perfusi merah atau :pucat
o Palpasi :Nadi (irama,frekwensi, kekuatan), tensi sistol dan
diastolnya normal atau tidak, akral hangat kering, atau dingin basah,
CRT berapa detik. Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau
tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
o Perkusi :Adakah suara redup pada daerah pericardial
o Auskultasi :Suara jantung
3. B3 (brain)
Adakah penurunan kesadaran (GCS). Reflek cahaya, pupil isokor
atau anisokor, normal,midriasis atau miosis, adakah jejas di kepala, papil
edema, gelisah atau tenang. Reflek tendon dalam dievaluasi setiap 4 jam
terhadap hiperaktivitas dari tendon bisep, trisep, atau achiles.
4. B4 (bladder)
o Inspeksi :adakah jejas atau trauma pada traktus urinaria, :adakah
:produksi urine, warna,jumlah.
o Palpasi :untuk mengetahui TFU, letak janin, adakah distensi :pada
vesika urinaria.
o Auskultasi :mendengarkan djj untuk mengetahui adanya fetal distress.
o Perkusi :adakah nyeri ketok pada fesika urinaria atau ginjal.
5. B5 (bowel)
o Inspeksi :adakah jejas atau trauma, pembesaran abdomen :normal
atau tidak, frekwensi BAB, warna dan konsistensinya
o Palpasi :Adakah spasme/defans muskuler, adakah nyeri tekan
o Perkusi :adakah nyeri ketok, suara abdomen tympani atau
hipertympani
o Auskultasi :Bising usus meningkat atau tidak, frekwensi.
6. B6 (bone)
o Inspeksi :Adakah edema / edema pada kaki yang tidak hilang :dalam
kurun waktu 24 jam
o Palpasi :Adakah piting oedem, turgor kulit luring atau lebih dari 2
detik, elastic atau lembek.
o Perkusi :untuk mengetahui reflek pada patella sebagai syarat
pemberian SM (jika reflek +)
2.9.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap : Penurunan haemoglobin, haematokrit
meningkat, trombosit menurun.
Urinalisis : protein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya meningkat
hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif )
Pemeriksaan fungsi hati : bilirubin meningkat, laktat dehydrogenase
meningkat, aspartate aminomtransferase > 60 ul, SGOT/SGPT meningkat,
total protein serum menurun.
Tes kimia darah : asam urat meningkat.
2. Radiologi
USG ; Ditemukan retardasi pertumbuhan janinintra uterus, pernafasan intra
uterus lambat, aktivitas janin lambat, volume cairan ketuban sedikit
NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin
2.9.3 TERAPI
Pripsip penatalaksanaan eklamsi sama dengan penatalaksanaan preeklamsi
berat, dengan tujuan menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan
mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu
memunggkinkan.

2.9.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN


Pola nafas tidak efektif b.d kesdaran (kejang)
Resiko aspirasi b.d penurunan kesdaran (kejang)
Resiko perdarahan b.d gangguan pembuluh darah
Nyeri b.d kerusakan fungsi hati dan edema hati
Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d gangguan penglihatan (kabur)
Kelebihan volume cairan b.d edema, oliguria dan proteinuria.
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake tidak adekuat (mual,muntah)
Resiko tinggi terjadinya foetal distress pada janin berhubungan dengan
perubahan pada plasenta
Risiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah
ke placenta
Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif
terhadap proses persalinan
2.9.5 INTERVENSI
Diagnosa keperawatan 1
Pola nafas tidak efektif b.d penurunan kesadaran(kejang)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan dalam waktu 15-30 menit diharapkan
pola nafas efektif
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan pola pernafasan efektif, dibuktikan dengan status pernafasan yang tidak
berbahaya, : ventilasi dan status tanda vital.
2) Menunjukkan status pernafasan : ventilasi tidak terganggu, diandai dengan indicator :
kedalaman inspirasi dan kemudahan bernafas, ekspansi dada simetris, tidak ada
penggunaan otot bantu nafas, bunyi nafas tambahan tidak ada, nafas pendek tidak ada.
Intervensi:
1. Pantau kecepatan, irama,kedalaman dan usaha respirasi termasuk pergerakan dada,
amatikesimetrisan, penggunaan otot bantu nafas.
R/ Kecepatan biasanya meningkat, dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas.

2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas tambahan


R/ Ronkhi dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas
3. Berikan oksigen tambahan
R/ memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
4. Catat perubahan pada pemeriksaan nilai gas darah arteri
R/ Hipoksemia ada pada berbagai derajat, tergantuk pada jumlah obtruksi jalan nafas
Diagnosa keperawatan 2
Resiko aspirasi b.d penurunan kesadaran (kejang)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan aspirasi tidak terjadi dibuktikan dengan
kemampuan kognitif dan status neurologis yang tidak berbahaya.
Kriteria Hasil :
a. Menunjukkan peningkatan kemampuan menelan
b. Bertoleransi terhadap asupan oral dan sekresi tanpa aspirasi
c. Bunyi paru bersih dan jalan nafas paten
d. Mempertahankan kekuatan dan tonus otot yang kuat.
Intervensi :
1. Anjurkan pasien untuk mengosongkan mulut dari benda atau zat tertentu atau alat
yang lain untu menghindari rahang mengatup jika kejang terjadi.
R/ menurunkan risiko aspirasi atau masuknya sesuatu benda asing ke faring.
2. Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama
serangan kejang.
R/ meningkatkan aliran secret, mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas
3. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen.
R/ untuk memfasilitasi usaha bernafas atau ekspansi dada
4. Lakukan penghisapan sesuai indikasi
R/ menurunkan risiko aspirasi atau aspiksia
5. Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan.
R/ dapat menurunkan hipoksia cerebral

3) Diagnosa keperawatan 3
Resiko tinggi terjadinya fetal distress pada janin berhubungan dengan perubahan pada
plasenta
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi foetal distress pada janin
Kriteria Hasil :
a. DJJ ( + ) : 12-12-12
b. Hasil NST : tidak ada fetal distress pada janin
c. Hasil USG : tidak ada lilitan tali pusat, letak lintang (-), kepala sudah masuk PAP
(pintu atas panggul).
Intervensi :
1. Monitor DJJ sesuai indikasi
R/ peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta
2. Pantau tentang pertumbuhan janin
R/. Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga timbul
IUGR
3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta ( nyeri perut, perdarahan, rahim tegang,
aktifitas janin turun )
R/. Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia bagi
janin
4. Pantau respon janin pada ibu yang diberi SM
R/. Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas
janin
5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST
R/. USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin.
d. Diagnosa keperawatan 4 :
Risiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah ke placenta
Tujuan : agar cedera tidak terjadi pada janin lakukan resusitasi cepat 30 detik setelah bayi
lahir

Kriteria Hasil :
a. Lahir cukup bulan.
b. Ketuban jernih
c. Bayi lahir menangis spontan
d. Apgar scor 7-8
e. Jalan nafas bebas
f. Tonus otot baik
Intervensi :
1. Istirahatkan ibu
R/ dengan mengistirahatkan ibu diharapkan metabolism tubuh menurun dan peredaran
darah ke placenta menjadi adekuat, sehingga kebutuhan O2 untuk janin dapat dipenuhi
2. Anjurkan ibu agar tidur miring ke kiri
R/ dengan tidur miring ke kiri diharapkan vena cava dibagian kanan tidak tertekan oleh
uterus yang membesar sehingga aliran darah ke placenta menjadi lancar
3. Pantau tekanan darah ibu
R/ untuk mengetahui keadaan aliran darah ke placenta seperti tekanan darah tinggi, aliran
darah ke placenta berkurang, sehingga suplai oksigen ke janin berkurang.
4. Memantau bunyi jantung ibu
R/ dapat mengetahui keadaan jantung janin lemah atau menurukan menandakan suplai
O2 ke placenta berkurang sehingga dapat direncanakan tindakan selanjutnya.
5. Beri obat hipertensi setelah kolaborasi dengan dokter
R/ dapat menurunkan tonus arteri dan menyebabkan penurunan after load jantung dengn
vasodilatasi pembuluh darah, sehingga tekanan darah turun. Dengan menurunnya
tekanan darah, maka aliran darah ke placenta menjadi adekuat.
e. Diagnosa keperawatan 5
Gangguan psikologis ( cemas ) berhubungan dengan koping yang tidak efektif terhadap
proses persalinan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan kecemasan ibu berkurang atau hilang

Kriteria Hasil :
a. Ibu tampak tenang
b. Ibu kooperatif terhadap tindakan perawatan
c. Ibu dapat menerima kondisi yang dialami sekarang
Intervensi :
1. pantau tingkat kecemasan ibu
R/. Tingkat kecemasan ringan dan sedang bisa ditoleransi dengan pemberian pengertian
sedangkan yang berat diperlukan tindakan medikamentosa
2. Jelaskan mekanisme proses persalinan
R/. Pengetahuan terhadap proses persalinan diharapkan dapat mengurangi emosional ibu
yang maladaptif
3. Gali dan tingkatkan mekanisme koping ibu yang efektif
R/. Kecemasan akan dapat teratasi jika mekanisme koping yang dimiliki ibu efektif
4. Beri support system pada ibu
R/. ibu dapat mempunyai motivasi untuk menghadapi keadaan yang sekarang secara
lapang dada asehingga dapat membawa ketenangan hati

2.9.6 IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan. Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi
yang telah ditentukan.

2.9.7 EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir penilaian dari proses keperawatan dengan
menggunakan SOAP sebagai penialain keberhasilan atau tidak berhasilnya
implementasi yang telah dlakukan serta melanjutka dari intervensi yang belum
tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Hasil seminar kegawatan bumil dan neonatus dengan preeklampsi dan eklampsi, 2001. RSUD
Dr Soetomo. Surabaya.

JNPKKR - POGI ,2000. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta. Yayasan Bina
Pustaka.
Manuaba, Ida Bagus Gede ,1998. Ilmu Kebidanan Penyakit kandungan dan KB. Jakarta :
EGC.

Myles MF, Text Book For Midwive, Churchillivine Stone, London,1998.

Prawirohardjo, Sarwono, 1997. Ilmu Kebidanan . Jakarta YBP. SP.

Rustam Mocthar, 1992. Sinopsis Obstetri. Jakarta. EGC.

Taber. Ben Zion, MD ,1994. Kapita Sclekta : Kedaruratan Obstetri Dan Ginekologi. Penerbit
EGC. Jakarta.

Yasmin Asih, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan, Maternitas EGC, Jakarta.

Mansjoer, Arif. dkk. Anestesi spinal. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran edisi III hal.261-264.
2000. Jakarta.

Dobridnjov, I., etc. Clonidine Combined With Small-Dose Bupivacaine During Spinal
Anesthesia For Inguinal Herniorrhaphy: A Randomized Double-Blind Study. Anesth Analg
2003;96:1496-1503.

Syarif, Amir. Et al. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 5
hal.259-272. 2007. Gaya Baru, jakarta.

Anda mungkin juga menyukai