Anda di halaman 1dari 55

Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Asma Bronkial ataukah PPOK?


Suatu Laporan Kasus Seorang Penderita dengan Sesak Napas

Disusun oleh:
Amanda Safitria
NIM 1610029032

Pembimbing:
dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P
NIP 19530812 198111 1 001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2017
Bagian Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN KASUS
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

HALAMAN JUDUL

Asma Bronkial dan Penyakit Paru Obstrutif Kronis

Disusun oleh:
Amanda Safitria
NIM 1610029032

Pembimbing:
dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P
NIP 19530812 198111 1 001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2017

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Asma Bronkial dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Laporan Kasus

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik


pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
AMANDA SAFITRIA
1610029032

Dipresentasikan pada 2 Maret 2017

Pembimbing

dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp.P


NIP 19530812 198111 1 001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2017

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul Asma Bronkial dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Laporan
kasus ini disusun berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber
dari textbook, jurnal, guidelines terbaru dan referensi ilmiah lainnya.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepadaberbagai pihak yang telah banyak
membantu penulisdalam pelaksanaan hingga terselesaikannya laporan kasus ini,
diantaranya:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Suhartono, Sp.THT selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Kuntjoro, Sp.PD, selaku Ketua Lab/SMF IPD FK Unmul
4. dr. Emil Bachtiar Moerad,Sp.P selaku dosen Pembimbing Klinik dan
Pembimbing laporan kasus yang dengan sabar memberikan arahan, motivasi,
saran dan solusi yang sangat berharga dalam penyusunan laporan kasus ini
dan juga yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, saran, dan solusi selama penulis menjalani co.assisten di lab/SMF
IPD.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF IPD, terimakasih atas ilmu yang telah diajarkan kepada kami.
6. Kedua orang tua tercinta yang telah begitu banyak mencurahkan kasih sayang
dan tak pernah bosan mendoakan, mengingatkan, dan memberikan dukungan
moril maupun materi kepada penulis.
7. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF IPD RSUD AWS/FK UNMUL yang
selalu memberikan dukungan dan semangat kebersamaan dalam menghadapi
segala permasalahan demi mencapai cita-cita kita yang mulia.

4
8. Dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang. Terakhir, semoga
laporan kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan memberikan manfaat
bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Samarinda, 28 Februari 2017

Penulis

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Global Initiative for Asthma mendefinisikan Asma sebagai penyakit


heterogen yang ditandai dengan inflamasi kronik saluran pernapasan yang
menyebabkan terjadinya hipereaktivitas bronkus. mengakibatkan gejala episodik
berupa sesak, mengi, napas pendek, rasa berat di dada dan batuk, bersamaan dengan
adanya keterbatasan aliran udara ekspirasi (Horak, 2016). Penyakit paru obstruktif
kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati, dengan
karakterisitik berupa keterbatasan aliran udara yang persisten, bersifat progresif dan
berkaitan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan paru
terhadap partikel atau gas gas berbahaya (GINA;GOLD, 2015).
Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit kronis
dengan prevalensi yang tinggi pada populasi umum. Keduanya ditandai dengan
inflamasi kronis jalan nafas dan sumbatan jalan nafas. Dalam dua kondisi ini,
inflamasi kronis mempengaruhi saluran nafas secara keseluruhan, dari saluran nafas
pusat hingga ke perifer, dengan sel-sel inflamasi yang berbeda, produksi mediator
yang berbeda, sehingga berbeda pula respon terhadap terapi yang diberikan
(GINA;GOLD, 2015).
Sumbatan jalan nafas pada asma biasanya intermiten dan reversibel, tetapi
sebaliknya sumbatan bersifat progresif dan sebagian besar irreversibel pada PPOK.
Namun, pada kedua penyakit yang berbeda ini bisa terjadi overlap secara patologis
dan fungsional, khususnya di kalangan orang tua yang mungkin menderita kedua
penyakit ini sekaligus (overlap syndrome asma-PPOK). Meskipun intervensi spesifik
bervariasi pada kedua penyakit tersebut, namun tujuan pengobatan penyakit saluran
napas obstruktif adalah sama dan terutama didorong oleh kebutuhan untuk
mengontrol gejala, mengoptimalkan status kesehatan, dan mencegah eksaserbasi
(GINA;GOLD, 2015).

6
Berdasarkan beberapa hal diatas tersebut, maka diperlukan kepekaan klinis
terhadap gejala dan tanda dari asma dan PPOK sehingga diagnosis dapat ditegakkan
dan penatalaksanaan untuk penderita dapat dilaksanakan lebih optimal. Pada laporan
kasus ini, diharapkan penulis dapat memahami tentang kesesuaian teori dan kasus
terhadap diagnosis dan tatalaksana pasien tersebut.

1.2. Tujuan
Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk membandingkan antara asma
bronkial dan penyakit paru obstruksi kronis yang terjadi pada seorang pasien di
RSUD AWS, serta mengetahui kesesuaian alur penegakan serta penatalaksanaan
antara teori terhadap kasus asma bronkial dan penyakit paru obstruksi kronis yang
merupakan kompetensi standar bagi dokter umum.

7
BAB II
LAPORAN KASUS

Penggalian informasi berupa anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap Tn.


DB dilakukan pada hari Jumat, tanggal 6 Januari 2017 (perawatan hari ke-3) di
Ruang Seruni IRNA B RSUD Abdoel Wahab Sjahranie Samarinda.

2.1. Anamnesis
2.1.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. DB
Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pensiunan pekerja di pabrik kayu, aktivitas sehari-hari
di rumah
Agama : Islam
Status : Menikah
No. Rekam Medis : 2017.320378
Masuk Rumah Sakit : Rabu, 4 Januari 2017
Keluar Rumah Sakit : Jumat, 6 Januari 2017

2.1.2. Keluhan Utama


Sesak Nafas

8
2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya sesak napas yang berat sudah dirasakan sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku setiap hari merasakan sesak napas
tetapi tidak berat dan tidak sampai menggangu aktivitas. Namun 2 hari sebelum
masuk rumah sakit sesak dirasakan semakin berat dan mengganggu aktivitas sehari-
hari pasien. Pasien juga mengatakan bahwa jika ia berjalan 10 meter sesak akan
timbul, kemudian menghilang setelah ia berhenti sejenak. Sesak dirasakan berat
hingga terasa sakit kepala leher seperti tercekik dan nyeri dada. Pasien memiliki obat
yang digunakan setiap kali timbul sesak yaitu berotec inhaler. Ketika kondisi sangat
sesak pasien menggunakan inhaler tersebut tetapi karena 2 hari sebelum masuk rumah
sakit sesak semakin parah, maka pasien datang ke IGD RSUD AWS. Pada saat di
IGD, pasien terus merasa sesak hingga kesulitan dalam berbicara, berbicara dengan
kalimat yang terpenggal-penggal. Setelah diberikan nebulisasi di IGD, selanjutnya
pasien dirawat di ruang rawat inap. Keluhan sesak juga disertai adanya batuk tidak
berdahak yang dirasakan oleh pasien sejak 2 hari SMRS. Pasien mengaku keluhan
batuk sebelumnya sering dialami namun hilang timbul. Batuk terutama dirasakan
waktu dini hari. Selama sakit, pasien menyangkal adanya demam, mual, dan muntah.
Pasien juga mengaku BAB dan BAK masih dalam batas normal.

2.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku sering dirawat di rumah sakit sebelumnya, sekitar 4x dalam
setahun karena penyakit asma. Pasien memiliki riwayat penyakit asma sejak usia
muda. Saat usia 40 tahun sesak semakin sering dan semakin lama semakin memberat.
Pasien menyangkal adanya riwayat sakit hipertensi dan sakit jantung sebelumnya,
namun pasien mengaku memiliki riwayat DM. Pasien juga menyangkal pernah
mendapatkan terapi OAT sebelumnya. Pasien tidak ada riwayat alergi makanan
ataupun obat-obatan. Pasien mengaku alergi terhadap cuaca dingin atau perubahan
cuaca yang tiba-tiba.

9
2.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga
Terdapat keluarga pasien yang menderita asma yaitu adik kandung, tante dan
keponakan pasien. Orang tua pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus.Pada
keluarga pasien tidak didapatkan adanya riwayat, hipertensi, sakit jantung dan TB
Paru.

2.1.6. Riwayat Kebiasaan


Pasien mengaku sebelumnya memiliki kebiasaan merokok selama 16 tahun,
namun saat sejak keluhan sesak sering muncul, pasien berhenti merokok. Pasien
dapat menghabiskan rokok sekitar 5 bungkus per hari. Pasien menyangkal pernah
mengkonsumsi alkohol sebelumnya.
2.1.7. Riwayat Psikososial
Pasien mengaku jarang berolahraga. Hubungan dengan keluarga dan teman
terjalin dengan baik.

2.2. Pemeriksaan Fisik


2.2.1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Composmentis
GCS : E4V5M6
c. Tanda-Tanda Vital : Tekanan Darah :100/70 mmHg
Nadi :86 x/menit, reguler, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 24 x/menit, reguler
Temperatur : 36 oC
2.2.2. Kepala dan Leher
a. Umum : Ekspresi : sakit sedang
Rambut : normal
Kulit Muka : normal

10
b. Mata : Palpebra : edema (-|-); retraksi (-|-); kelambatan (-|-)
Konjungtiva : anemis (-|-)
Sklera : ikterus (-|-)
Pupil : isokor diameter (mm)(3|3); refleks cahaya (+|+)
c. Hidung : deviasi septum (-); tanda radang (-); epistaksis (-)
d. Telinga : Bentuk : normal
MAE : normal; sekret (-|-)
Proc. Mastoideus : nyeri (-|-)
Pendengaran : normal (D = S)
e. Mulut : Bibir : pucat (-); sianosis (-), purse lips breathing (+)
Gigi : carries (+)
Gusi : warna merah muda; perdarahan (-)
Mucosa : tampak licin; pucat (-)
Lidah : tidak tampak kotor
Tonsil : bengkak (-); hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
f. Leher : Inspeksi : pembesaran KGB tidak terlihat; peningkatan vena
jugular (-)
Palpasi : pembesaran KGB tidak teraba; deviasi trakea (-)
Auskultasi : suara trachea (+)
2.2.3. Thorax
a. Umum : Bentuk dada : barrel chest

b. Pulmo Anterior :
Inspeksi : bentuk dada simetris;pergerakan nafas dinding dada
simetris; retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus suara (|);
Perkusi : hipersonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler (|); Rhonki (-|-); Wheezing
(+|+) ekspirasi memanjang

11
c. Pulmo Posterior :
Inspeksi : bentuk dada simetris;pergerakan nafas dinding dada
simetris; retraksi ICS (-)
Palpasi : fremitus suara (|);
Perkusi : hipersonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Rhonki (-|-); Wheezing (+|+) ekspirasi memanjang
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS VII 3 jari lateral
midclavicula line sinistra
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS III parasternal line
dextra; batas jantung kiri pada pada ICS VII 3 jari
lateral midclavicula line sinistra
Auskultasi : S1dan S2 tunggal;suara jantung reguler; murmur(-);
gallop (-)
2.2.4. Abdomen
a. Inspeksi : warna kulit sawo matang; asites (-); sikatriks (-)
b. Auskultasi : bising usus (+) normal; metallic sound (-)
c. Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen; shifting dullness (-);
fluid wave (-)
d. Palpasi : soefl (+); nyeri tekan abdomen di seluruh kuadran (-); massa
abdomen (-); organomegali (-)
2.2.5. Ekstremitas
a. Inspeksi : Superior : sianosis (-|-); sikatriks (-|-); luka (-|-); palmar
eritema (-|-)
Inferior : sianosis (-); sikatriks (-); luka (-|-)
b. Palpasi : Superior : teraba hangat; tanda peradangan (-|-)
Inferior : teraba hangat; tanda peradangan (-|-)

5 5
5 5
c. Lainnya : edema ; kekuatan otot

12
2.3. Pemeriksaan Penunjang
2.3.1. Laboratorium
Tanggal 3/1/17 4/1/17 Unit Normal
Darah Lengkap
Leukosit 5,3 - 103/l 5 10
Hb 13,7 - g/dl 12-16
HCT 42,3 - % 36-48
Trombosit 260 - 103/l 150-400
MCV 85 - fL 80 - 100
MCH 27,5 - pg 27,0 - 34,0
MCHC 32,4 - g/dl 32,0 - 36,0
Kimia Darah Lengkap
GDS 145 - mg/dl 60-100
GDP 165 mg/dL 60-100
GD2PP 290 mg/dL 70-150
HbA1c - 5,7 % 4,5-5,6
SGOT - 7 U/L <40
SGPT - 10 U/L <41
Bilirubin
- 0,9 mg/dL <1,4
total
Bilirubin
- 0,3 mg/dL <=0,3
Direct
Bilirubin
- 0,6 mg/dL 0,0-0,8
Indirect
Total
- 7,3 g/dL 6,6-8,7
Protein
Albumin - 4,1 g/dL 4,0-4,9
Globulin - 3,2 g/dL 2,3-3,5
Cholesterol - 142 mg/dL <200
Asam urat - 3,1 mg/dL 3,4-7,0
Ureum 22,2 23,4 mg/dl 10-40
Kreatinin 0,7 0,6 mg/dl 0,5-1,5
Natrium 141 - mmol/L 135-145
Kalium 4,3 - mmol/L 3,5-5,5
Klorida 99 - mmol/L 95-100
Analisis Gas Darah
pH 7,51 - 7,35-7,45
pCO2 30,60 - mmHg 3,0-200,0
pO2 86,50 - mmHg 0,0-800,0
SO2% 97,30 - % 30,0-101,0
Hct 42 - % 12-70
Hb 14 - g/dl 4,0-24,0

13
2.3.2 Pemeriksaan Radiologi

14
Gambar 2.2. Foto Thorax Tn. DB pada tanggal 3 Januari 2017

Pemeriksaan foto thorax AP


- Keterangan klinis : dyspnea
- Corakan bronkovaskuler tampak prominent
- Cor ukuran normal, aorta dilatasi dan kalsifikasi
- Penampakan bayangan jantung yang tipis, panjang dan sempit dan diafragma
rendah
- Kedua sinus costofrenikus lancip
- Kedua hemidiafragma regular
- Tulang tulang yang tervisualisasi intak dan soft tissue normal
Kesan : Aspek bronchitis
Cor ukuran normal, dengan dilatation et atherosclerosis aortae

2.4. Follow Up

HARI/ TERAPI &


PERJALANAN PENYAKIT
TANGGAL PENATALAKSANAAN

15
Selasa, S : Sesak nafas (+), Batuk (+) Demam P :
3 Januari (-), Riw. OAT (-), Riw DM (-), Riw O2 3 lpm
2017 Asma (+) Infus RL 20 tpm
04.20 Drip aminofilin 1,5 A/kolf
WITA O : TD: 110/70; RR: 27x/I dg nasal Salbutamol 3x4 mg
IGD kanul 02 3 lpm; N: 90x/i; T: 36,8oC; Ikt Ambroxol 3 x 1 tab
(-|-); Ane (-|-); Rho(-|-); Whz (+|+); Nebul berotec 15 tetes + bisolvon
Ves(+|+); Soefl (+); Akral teraba hangat 10 tetes (3 x sehari)
Injeksi Dexamethason 3 x 1 amp
A : Status Asmatikus IV
Selasa, S : Sesak nafas (+), Batuk (+) Demam P :
3 Januari (-), Riw. OAT (-), Riw DM (+) Terapi lanjut
2017 O : TD: 110/70; RR: 27x/I dg nasal
14.15 kanul 02 3 lpm; N: 90x/i; T: 36,8oC; Ikt
WITA (-|-); Ane (-|-); Rho(-|-); Whz (-|-);
IRNA Ves(+|+); Soefl (+); Akral teraba hangat

A : Status Asmatikus

Rabu, S : Batuk dahak (+) sulit mengeluarkan P:


4 Januari dahak, Sesak () semakin sesak jika Terapi lanjut
2017 waktu subuh
07.00 WITA
O : TD: 120/70; RR: 24x/i; N: 86x/i;
Ikt (-|-); Ane (-|-); Rho(-|-); Whz (-|-);
Ves(+|+); Soefl (+); Akral teraba hangat
A : PPOK eksaserbasi akut

Kamis, S: Sesak sejak pukul 05.00 P:


5 Januari Extra Nebul combivent 1 amp jam
2017 O : TD: 130/80; RR: 35x/i; N: 86x/i; 07.20 WITA
07.10 WITA Ikt (-|-); Ane (-|-); Rho(-|-); Whz (+|+); Terapi lain lanjut
Ves(+|+); Soefl (+); Akral teraba hangat

A: PPOK Eksaserbasi Akut

16
Jumat, S: Sesak (-), Batuk berkurang P : Pasien boleh pulang
6 Januari
2017 O : TD: 110/70; RR: 22x/I ; N: 84x/i; T:
36,8oC; Ikt (-|-); Ane (-|-); Rho(-|-); Whz
(-|-); Ves(+|+); Soefl (+); Akral teraba
hangat

A: PPOK Eksaserbasi Akut

2.5 Diagnosa Kerja dan Diagnosa Banding


Diagnosa : Penyakit Paru Obstruksif Kronik Eksaserbasi Akut
Diagnosa Banding : Status Asmatikus

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Asma Bronkial
3.1.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk, batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003).
Secara klinis asma adalah suatu serangan sesak disertai dengan suara napas
mengi (wheezing), yang dapat timbul sewaktu-waktu dan dapat hilang kembali
(sempurna atau hanya sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat-
obatan tertentu/sifat reversibilitas (Danusantoso, 2011).
3.1.2 Etiologi

17
Asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara intrinsik asma
bisa disebabkan oleh infeksi (virus influenza, pneumonia mycoplasma), fisik (cuaca
dingin, perubahan temperature), iritan seperti zat kimia, polusi udara (CO, asap
rokok, parfum), faktor emosional (takut, cemas dan tegang) juga aktivitas yang
berlebihan. Secara ekstrinsik/imunologik asma bisa disebabkan oleh reaksi antigen-
antibodi dan inhlasai allergen (Danusantoso, 2011)
3.1.3 Patofisiologi
Pemicu yang berbeda-beda dapat menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena
inflamasi saluran napas atau bronkospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat
memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lain
dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal di antaranya adalah allergen,
polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau
ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan
eksaserbasi ini adalah rhinitis, sinusitis bacterial, poliposis, menstruasi, refluks
gastroesopageal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat
akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya
bronkokonstriksi akibat daripelepasan Ig-E dependent dari mast sel saluran
pernapasan dari mediator, termasuk di antaranya histamin, prostaglandin, leukotrien
sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat
akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma
sangat hiperresponsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan (Riyanto &
Hisyam, 2009).
Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkokonstriksi
terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang
bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh
karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot
polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskular berperan terhadap
penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan.
Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh
inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkial

18
merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan tonus otot
polos bronkial merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap
peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran
pernapasan ini, akan terjadi gagal napas yang merupakan konsekuensi dari
peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot
pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan
obstruksi saluran napas (Riyanto & Hisyam, 2009).
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma
akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan
dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti peak expiratory flow rate
(PEFR) dan FEV1 (Forced expiration volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara
saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara
yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer
maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan
derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena
ini dapat pula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru
yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinflasi dinamik terutama
berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat
berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan
after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung
terhadap pembuluh darah paru (Riyanto & Hisyam, 2009).
3.1.4 Manifestasi Klinis
Pada stadium dini gejala yang muncul antara lain : batuk berdahak dengan
pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul, belum ada wheezing, belum ada kelainan
bentuk thorax, ada peningkatan eosinofil darah dan IgE, sesak napas, penurunan
tekanan parsial O2. Pada keadaan serangan, terjadinya kontraksi otot polos saluran
napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai
kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar dan terjadi
peningkatan kerja pernapasan untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Tanda

19
klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Pada stadium lanjut, tanda dan gejala yang
muncul adalah : batuk, ronchi, sesak napas berat dan seakan tertekan, dahak lengket,
suara napas melemah dan bahkan tak terdengar (silent chest) bentuk thorax barrel
chest, terdapat tarikan otot sternokleidomastoideus, sianosis, BGA Pa O2 kurang dari
80%, rontgen paru terdapat penigkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri,
hipokapnea, alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Danusantoso, 2011;Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2003)
3.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi asma berdasarkan derajat keparahan asma telah berubah
beberapa tahun terakhir. Sebelumnya derajat keparahan (intermiten, ringan, persisten
dll) didasarkan pada gejala dan penggunaan inhaler dan keterbatasan fungsi paru.
Sebenarnya, klasifikasi tersebut hanya diterapkan pada pasien yang tidak diobati.
Sejak respon terhadap pengobatan dianggap sangat penting, maka GINA
merekomendasikan konsep kontrol asma dan langkah terapinya sejak tahun 2006.
Oleh karena itu derajat keparahan asma tidak lagi ditegakkan dari 1 gambaran
serangan, namun ditegakkan secara retrospektif setelah beberapa bulan periode
pengobatan dan dapat berubah derajatnya di kemudian hari.
Klasifikasi Kontrol Asma menurut GINA untuk dewasa dan anak (Horak, 2016) :
Gejala 4 minggu Kontrol gejala asma
terakhir Well-controlled Partly controlled Uncontrolled
Gejala timbul pada Tidak terdapat Terdapat 1-2 Terdapat 3-4
siang hari lebih dari satupun criteria kriteria kriteria
2x/minggu (atau tersebut
1x/minggu)
Terbangun malam hari
akibat asma (atau
batuk*)
Reliever>2x/ minggu

20
(atau > 1 minggu*)
Adanya keterbatasan
dalam aktivitas harian
karena asma
*pada anak 5 tahun

3.1.6 Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2003).

Anamnesis
Pertanyaan yang dapat diajukan pada pasien dengan kecurigaan menderita
asma bronkial (Kemenkes RI,2009) :
- Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari?
- Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah
terpajan alergen atau pencetus?
- Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan
aktifitas atau olahraga?
- Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim atau
cuaca atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba)?
- Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang atau hilang setelah pemberian
obat pelega (bronkodilator)?
- Apakah dalam keluarga (kakek/nenek, orang tua, anak, saudara kandung,
saudara sepupu) ada yang menderita asma?

21
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang biasanya didapatkan pada pasien yang sedang
mengalami serangan asma bronkial (Kemenkes RI,2009) :
- Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (nafas cuping hidung, nafas cepat),
sianosis.
- Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus)
- Perkusi : biasanya tidak ditemukan kelainan
- Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, dan ronki

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan faal paru dapat mengkonfirmasi diagnosa asma bronkial jika
ditemukan adanya obstruksi jalan napas yang reversible didasarkan pada peningkatan
Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (VEP1), yaitu VEP1 > 12% dan >200 ml
(pada orang dewasa) setelah pemberian 200-400 g salbutamol (Horak, 2016;
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
Apabila terdapat kecurigaan klinis ke arah asma bronkial, namun faal paru
normal, dapat dilakukan uji provokasi bronkial (pemberian methacholine atau
indirect test seperti running exertion atau inhlasi larutan hiperosmolar), khususnya
untuk menentukan hiperresponsif bronkial pada orang dewasa. Selain itu,
peningkatan >12% dan > 200 ml (pada orang dewasa) setelah pemberian terapi
antiinflamasi selama 4 minggu dapat mengkonfirmasi diagnosa asma bronkial.
Apabila alergi dicurigai sebagai pencetus asma, maka pemeriksaan untuk
mendiagnosa alergi yang terdiri dari riwayat kesehatan, skin prick test dan/atau
pemeriksaan IgE dapat dilakukan. (Horak, 2016).

3.1.7 Diagnosa Banding

Usia (tahun)
5 6 11 12-39 > 40

22
Infeksi virus berulang X
Gastroesophageal Reflux X
Malformasi kongenital (mis : trakeomalasia) X
Tuberkulosis X
Bronkitis bakterial kronik X
Imunodefisiensi X
Primary ciliary dyskinesia X X
Bronchopulmonary Dysplasia X X
Aspirasi benda asing X X X
Kerusakan jantung kongenital X X X
Cystic Fibrosis X X X
Batuk kronis (Saluran pernapasan atas) X X
Bronkiektasis X X X
Vocal Cord Dysfunction X X
Hiperventilasi X X
Defisiensi Alfa 1 antitripsin X X
Penyakit Paru Obstruktif Kronis X
Gagal jantung ventrikel kiri X
Batuk terkait obat X
Penyakit parenkim paru X
Emboli paru X
Central airway obstruction X

3.1.8 Penatalaksanaan
3.1.8.1 Terapi Farmakologi
Manajemen asma berbasis kontrol
Pengobatan asma saat ini didasarkan pada konsep kontrol asma, yang telah
terbukti meningkatkan keberhasilan pengobatan. Konsep ini didasarkan pada siklus
asses (menilai), adjust (mengatur) dan review (meninjau kembali). Tahap pertama

23
yaitu asses (menilai) meliputi diagnosa, kontrol gejala, faktor risiko, fungsi paru,
teknik dan kepatuhan inhlasi, serta pilihan pasien. Tahap kedua yaitu adjust
(mengatur) meliputi pengobatan asma, strategi non farmakologi dan penatalaksanaan
untuk faktor risiko asma yang dapat dimodifikasi. Tahap selanjutanya review
(meninjau kembali) mulai dari gejala, kekambuhan, efek samping obat, kepuasan
pasien dan fungsi paru. Selanjutnya akan kembali lagi pada tahap pertama.
Terapi inhalasi merupakan terapi pilihan untuk asma. Terapi inhalasi
menyebabkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi, lebih sedikit efek samping
sistemik, dan toleransi yang sangat baik dibandingkan dengan pemberian sistemik.
Pengobatan asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas (GINA,2015) :
1. Pengontrol (Controller)
Diberikan secara teratur, untuk menurunkan risiko inflamasi dan eksaserbasi,
serta mengontrol gejala.
2. Pelega (Reliever)
Digunakan jika perlu untuk mengurangi gejala saat serangan eksaserbasi
asma. Selain itu, juga digunakan untuk pencegahan jangka pendek pada
bronkokonstriksi akibat aktivitas fisik. Penggunaan pelega (reliever) yang
minimum merupakan tujuan utama dari pengendalian asma.
3. Tambahan (Add-on)
Digunakan pada pasien dengan asma berat dan gejala yang persisten atau
eksaserbasi meskipun sudah menggunakan terapi kombinasi dengan inhalasi
kortikosteroid dan optimalisasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Terapi awal
Terapi dengan menggunakan controller harus diberikan secepat mungkin
setelah diagnosa asma ditetapkan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Gambaran klinis pasien Terapi awal
Timbul gejala atau terdapat Tidak perlu penggunaan pengontrol

24
kebutuhan penggunaan SABA (Short (controller)
Acting Beta 2 Agonis) < 2 x/ bulan
Tidak ada gejala hingga terbangun di
malam hari
Tidak ada faktor-faktor risiko
eksaserbasi
Tidak ada eksaserbasi dalam 12 bulan
terakhir
Timbul gejala atau terdapat Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
kebutuhan penggunaan SABA (Short
Acting Beta 2 Agonis) < 2 x/ bulan
Tidak ada gejala hingga terbangun di
malam hari
Minimal ada satu faktor risiko
eksaserbasi atau satu kali eksaserbasi
(dengan terapi kortikosteroid oral)
dalam 12 bulan terakhir
Timbul gejala atau terdapat Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
kebutuhan penggunaan SABA (Short
Acting Beta 2 Agonis) 2 x/ bulan
Terdapat gejala hingga terbangun di
malam hari 1x/bulan

Timbul gejala atau terdapat Kortikosteroid inhalasi dosis rendah


kebutuhan penggunaan SABA (Short
Acting Beta 2 Agonis) > 2 x/ bulan

Gejala timbul hampir setiap hari Dosis medium/tinggi kortikosteroid


Terdapat gejala hingga terbangun di inhalasi

25
malam hari 1x/bulan Atau dosis rendah kortikosteroid
Minimal ada satu faktor risiko inhalasi/LABA*(Long Acting Beta 2
eksaserbasi Agonis)
* Tidak dianjurkan sebagai terapi awal
untuk anak-anak hingga usia 11 tahun

Penyesuaian terapi asma


Penyesuaian terapi asma didasarkan pada derajat kontrol asma dan
mengikuti algoritma step up/step down untuk menambah atau mengurangi dosis obat.
Tindak lanjut dari pengobatan harus terus dilakukan setiap 2-3 bulan untuk
mengoptimalkan strategi pengobatan. Ini penting untuk catatan kontrol gejala, fungsi
paru-paru, faktor risiko, teknik inhalasi, kepatuhan, dan strategi non farmakologi
secara teratur (Horak, 2016).
Gold standard dalam terapi asma ialah kortikosteroid inhalasi sebagai
controller dan bersama dengan penggunaan SABA. Leucotrien reseptor antagonis
dapat digunakan sebagai pilihan kedua dalam terapi asma. Dapat juga dipertimbakan
kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan LABA pada orang dewasa untuk
memastikan pengobatan berhasil dengan cepat. Selanjutnya step up dari langkah 3
untuk orang dewasa yaitu terapi kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah-
LABA. Untuk anak-anak di atas usia 12 tahun, meningkatkan dosis kortikosteroid
inhalasi lebih baik dibanding dengan terapi kombinasi. Kombinasi dua inhaler
(Formoterol / budesonide dan formoterol / beklometason) juga dapat digunakan
sebagai terapi dasar, digunakan setiap pagi dan malam hari atau pada saat terjadi
serangan eksaserbasi. (Horak, 2016).
Konsentrasi kortikosteroid inhalasi pada terapi kombinasi meningkat sesuai
dengan tingkat keparahan penyakit. Saat ini tiotropium ditambahkan sebagai rejimen
pengobatan pada manajemen asma. Penggunaan teofilin masih tertulis dalam
pedoman, tetapi saat ini teofilin sudah jarang digunakan. Langkah selanjutnya pada
algoritma step up ada terapi tambahan (add-on) seperti penggunaan anti IG-E untuk

26
pasien asma berat, yang menunjukkan faktor risiko alergi sebelum penggunaan
steroid sistemik (Horak, 2016).
Pada kondisi kontrol asma membaik juga harus diperhatikan langkah
menurunkan (step down) dosis terapi setalah terapi 2-3 bulan, sama halnya dengan
langkah step up dosis terapi yang dibahas sebelumnya. Hal ini membutuhkan
pendekatan yang baik untuk mendeteksi gejala dan fungsi paru memburuk.
Prinsipnya, haruslah didapatkan dosis kortikosteroid inhlasi paling rendah yang dapat
menjamin keoptimalan terapi (Horak, 2016).

Algoritma Terapi Asma

Dosis Steroid

27
3.1.8.2 Terapi non farmakologi

3.3 Eksaserbasi Asma

28
Eksaserbasi asma merupakan episode serangan dimana terjadi peningkatan
sesak napas, batuk, dan mengi yang disertai keterbatasan funsi paru. Hal ini
umumnya disebabkan oleh adanya trigger seperti infeksi saluran pernapasan, serbuk
sari, dan polusi udara. Faktor risiko untuk terjadinya eksaserbasi asma atau asthma
related-deaths ialah sebagai berikut :
Risiko terjadinya eksaserbasi asma Meningkatkan risiko kematian
Gejala asma tidak terkontrol
Penggunaan SABA dosis tinggi*
Penggunaan kortikosteroid oral
Penggunaan kortikosterid inhalasi yang Tidak menggunakan kortikosteroid
tidak adekuat inhalasi ; ketidak patuhan terhadap terapi
asma yang sudah ditentukan, tidak ada
rencana terapi asma atau tidak ada tindak
lanjutnya
FEV1 < 60% prediksi
Masalah psikososial yang serius
Terpapar pada rokok, allergen (jika ada Terdapat alergi makanan
riwayat alergi)
Eosinofilia pada sputum atau darah
Kehamilan
Riwayat intubasi sebelumnya atau dalam Near lethal episode dengan intubasi dan
unit perawatan intensif asma ventilasi
Terjadi 1 kali eksaserbasi asma yang Riwayat dirawat di rumah sakit atau
serius dalam 12 bulan terakhir masuk ke emergency room tahun lalu
*Meningkatkan risiko kematian dengan penggunaan > 1 paket salbutamol (atau
yang serupa) MDI

Penilaian derajat serangan asma

29
Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman henti
klinis, fungsi napas
paru,
laboratorium
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi : Bayi : Bayi :
menangis Tangis pendek Tidak mau
dan lemah minum/mak
Kesulitan an
menyusu/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
irritable irritable irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Mengi Sedang, Nyaring, Sangat Sukit/ tidak
sering hanya sepanjang nyaring, terdengar
pada akhir ekspirasi- terdengar Silent Chest
ekspirasi inspirasi tanpa
stetoskop
Penggunaan Biasanya Biasanya ya ya Gerakan paradox
otot bantu tidak torakoabdominal
respiratorik
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hilang
retraksi ditambah ditambah
interkostal retraksi napas
suprasternal cuping
hidung

Self management untuk eksaserbasi asma

30
Tanda Eksaserbasi Asma yang Berat (Status Asmatikus)
Pada pasien yang tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala
dan tanda serangan masih ada pada saat tata laksana awal, dianggap sebagai serangan
berat (dahulu dikenal status asmatikus) dan pasien harus dirawat di Ruang Rawat
Inap. Pemberian oksigen dilakukan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur
parenteral dan lakukan foto toraks untuk mendeteksi adanya komplikasi berupa
pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. Jika sejak penilaian awal pasien
mengalami serangan berat, maka tidak memerlukan tahapan di atas tetapi langsung
ditata laksana serangan berat. Pada keadaan ini harus dicari penyebab kegagalan tata
laksana yang biasanya adalah keadaan dehidrasi, asidosis, dan adanya gangguan
ventilasi akibat atelektasis. Pada pasien dengan gejala dan tanda Ancaman Henti
Napas harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif (Pardede dkk, 2013).

31
Penanganan Eksaserbasi Asma di Instalasi Gawat Darurat

3.4 Penyakit Paru Obstruktif Kronis


3.4.1 Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
dapat diobati, dengan karakterisitik berupa keterbatasan aliran udara yang persisten,
bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada
saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas gas berbahaya (GINA;GOLD,
2015)
3.4.2 Etiologi
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya
terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi
PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat. Yang
karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus

32
(diagnosis fungsional), sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya,
sementara itu pada perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit)
3.4.3 Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, antara
lain :
a. Kebiasaan merokok
Dilaporkan perokok adalah 45% lebih beresiko untuk terkena PPOK
dibanding yang bukan perokok (WHO, 2010). Secara umum telah diketahui bahwa
merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Terdapat beberapa alasan yang
mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan
menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi
aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan
peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan
lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel
pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan
dan partikel asing dari saluran pernapasan. Akibatnya lebih banyak debris
berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah.
Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan
pernapasan dan kualitas hidup (Guyton,2010).
b. Polusi udara
Polusi udara Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat
membahayakan kehidupan manusia. Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
senyawa-senyawa di dalam udara murni (pure air) yang kadarnya dia atas normal,
molekul-molekul (gas-gas) selain yang terkandung dalam udara murni tanpa
memperhitungkan kadarnya dan partikel.
3.4.4 Patofisiologi PPOK
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada
PPOK yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas
bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya
suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru.

33
Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar
saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran
nafas kecil berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. (Riyanto & Hisyam, 2009)
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi
kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru (Riyanto &
Hisyam, 2009).
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumor necrosis factor
(TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species(ROS).
Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada
dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul
oksigen menjadi anion superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat
hydrogen peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima
elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah menjadi
anion hipohalida (HOCl) (Riyanto & Hisyam, 2009).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan fungsi
paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur

34
berupa destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas
yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok (Riyanto & Hisyam, 2009).
3.4.5 Diagnosa
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas. Sesak
napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena terganggunya
aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika FEV1
< 60% prediksi15. Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan
usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa
muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal
perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama
kali disadari pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa muncul tanpa adanya dahak
(Suryadinata & Soeroto A, 2014).

Riwayat Penyakit
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya (Suryadinata & Soeroto A,
2014):
Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis, polip
nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit respirasi
lainnya.
Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
muskuloskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.

35
Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.
Pemeriksaan Fisik
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan saat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan bunyi
mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda hiperinflasi
seperti barrel chest juga mungkin ditemukan (Fauci AS, 2008). Sianosis, kontraksi
otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada pasien
dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti muscle
wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak merupakan tanda-
tanda saat progresifitas PPOK. Clubbing finger bukan tanda yang khas pada PPOK,
namun jika ditemukan tanda ini maka klinisi harus memastikan dengan pasti apa
penyebabnya.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:
Inspeksi :
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti tong)
Terdapat purse lips breathing (seperti orang meniup)
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas
Palpasi :
Sela iga melebar
Perkusi :
Hipersonor
Auskultasi :
Fremitus melemah
Suara nafas vesikuler melemah atau norma
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung menjauh
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa

36
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis
PPOK seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1 / FVC <
0,7.19 Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk mengetahui
kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan
diagnosis PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat
adanya emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga menyebutkan bahwa kekurangan
-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien PPOK maupun asma (Suryadinata &
Soeroto A, 2014).
3.4.6 Klasifikasi PPOK
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara
yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second
(FEV1)), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC) (Vestbo J, 2014).]

Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,7


GOLD 1 Ringan FEV1 80% predileksi
GOLD 2 Sedang 50% FEV1 < 80% predileksi
GOLD 3 Berat 30% FEV1 < 50% predileksi
GOLD 4 Sangat Berat FEV1 < 30% predileksi

Combined COPD Assessment


Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap
masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang dialami,
klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian eksaserbasi (Vestbo J, 2014).

37
Combined COPD Assessment

COPD ASSESMENT TEST


Contoh : Saya sangat senang 0-1-2-3-4-5 Saya sangat sedih
Saya tidak pernah batuk 0-1-2-3-4 Saya selalu batuk
Tidak ada dahak (riak) 0-1-2-3-4-5 Dada saya penuh dengan
sama sekali dahak (riak)
Tidak ada rasa berat 0-1-2-3-4-5 Dada saya terasa berat
(tertekan) di dada (tertekan) sekali
Ketika saya jalan 0-1-2-3-4-5 Ketika saya jalan
mendaki/naik tangga, saya mendaki/naik tangga, saya
tidak sesak sangat sesak
Aktifitas sehari-hari saya 0-1-2-3-4-5 Aktifitas sehari-hari saya
di rumah tidak terbatas di rumah sangat terbatas
Saya tidak khawatir keluar 0-1-2-3-4-5 Saya sangat khawatir
rumah meskipun saya keluar rumah karena
menderita penyakit paru kondisi paru saya
Saya dapat tidur dengan 0-1-2-3-4-5 Saya tidak dapat tidur
nyenyak nyenyak karena kondisi

38
paru saya
Saya sangat bertenaga 0-1-2-3-4-5 Saya tidak punya tenaga
sama sekali
Skor Total :

Modified MRC Dyspnea Scale


Beri tanda cek pada kotak yang sesuai dengan kondisi anda (hanya 1 kotak)
mMRC Level 0 Saya merasa sesak ketika melakukan olahraga berat [ ]
mMRC Level 1 Nafas saya menjadi pendek-pendek ketika berjalan tergesa-gesa
menggunakan tongkat atau berjalan mendekati bukit yang landai [ ]
mMRC Level 2 Saya berjalan lebih lambat dari orang seusia saya karena nafas saya
menjadi sesak, atau saya harus berhenti sejenak untuk mengambil
nafas ketika mendaki [ ]
mMRC Level 3 Saya berhenti untuk mengambil nafas setelah berjalan kurang lebih
100 meter atau setelah beberapa menit mendaki [ ]
mMRC Level 4 Saya terlalu sesak untuk pergi keluar rumah atau saya merasa sesak
ketika memakai atau melepaskan baju [ ]

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment: (Vestbo J, 2014)


1. Kelompok A Rendah Risiko, Sedikit Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling
banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit
akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
2. Kelompok B Rendah Risiko, Banyak Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling
banyak 1 kali dalam setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit
akibat eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score 10 atau mMRC grade 2.
3. Kelompok C Tinggi Risiko, Sedikit Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi
sebanyak 2 kali per tahun atau 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat

39
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
4. Kelompok D Tinggi Risiko, Banyak Gejala
Pasien dengan klasifikasi GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi
sebanyak 2 kali per tahun atau 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score 10 atau mMRC grade
3.4.7 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut
(Suryadinata & Soeroto A, 2014):
Berhenti merokok
Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi
aktivitas
Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien
Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan
emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.
Terapi Farmakologi

40
A. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus
otot polos pada jalan napas (Horak, 2016).
2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari 2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor 2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek
bronkodilator dari short acting 2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan 2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala
(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting 2 agonist pro renata
pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak
didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting 2 agonist
inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan
salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health
related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan
(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah
sakit (Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting 2 agonist baru
dengan waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki
FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping
adanya stimulasi reseptor 2 adrenergik dapat menimbulkan sinus
takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan
aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang
diobati obat golongan ini (Horak, 2016).
Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin

41
pada reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing
anticholinergic inhalasi lebih lama disbanding short acting 2 agonist.
Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat
mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status
kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat
penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat
membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan
obat tersebut (Horak, 2016).
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia (Horak, 2016).
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki
gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi
pada pasien dengan FEV1<60% prediksi (Horak, 2016)
D. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut,
diare, gangguan tidur dan sakit kepala (Horak, 2016).
E. Terapi Farmakologis Lain
Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini
sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak

42
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan:
Ambroksol, erdostein, arbocysteine, ionated glycerol dan N
acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
Vasodilator
Narkotik (morfin)
Antitusif : Golongan obat ini tidak direkomendasikan
Lain-lain : Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur juga tidak
ada yang efektif bagi pengobatan PPOK (Horak, 2016).
Terapi Non Farmakologis
1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi
Terapi lain
1. Terapi oksigen
2. Ventilatory Support
3. Surgical Treatment (Lung Volume Reduction Surgery, Bronchoscopic Lung
Volume Reduction, Lung Transplantation, Bullectomy) (Horak, 2016).
3.5 Overlap antara Asma dan PPOK
Asma secara tradisional digambarkan sebagai penyakit alergi yang
berkembang selama masa kanak-kanak dan ditandai oleh obstruksi jalan napas
reversibel. Sebaliknya, PPOK biasanya berhubungan dengan tembakau rokok,
berkembang di kemudian hari, dan ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang
reversibel tidak sempurna. Meskipun kedua penyakit mempunyai obstruksi jalan
napas sebagai ciri umum, keduanya berada di ujung yang berlawanan dari spektrum
penyakit saluran napas obstruktif yang terlihat dalam praktek klinis. Bagaimanapun,

43
pertimbangan patologis dan fungsional overlap antara asma dan PPOK terutama
terjadi pada kalangan orang tua, yang mungkin memiliki komponen kedua penyakit
(overlap syndrome). Inflamasi saluran napas merupakan komponen utama dari semua
fenotip penyakit saluran napas obstruktif yang berbeda (asma, PPOK, emfisema, dan
bronkitis kronis) yang ada dalam berbagai kombinasi. Studi epidemiologi melaporkan
peningkatan frekuensi diagnosa overlap dengan bertambahnya umur, dengan
prevalensi diperkirakan <10% pada pasien berumur kurang dari 50 tahun dan >50%
pada pasien berusia 80 tahun atau lebih (Soriano JB, 2003). Kelompok pasien yang
memiliki ciri overlap syndrome asma-PPOK adalah perokok dengan asma dan bukan
perokok dengan asma lama yang berkembang menjadi PPOK.

Diagram Venn klasik yang digunakan untuk menggambarkan overlap


ciri patologis dan klinis bronkitis kronis, emfisema, dan asma. Bagian yang
terdiri dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah yang diarsir.
Bronkitis kronis, emfisema, obstruksi jalan napas adalah efek independen
rokok dan dapat terjadi dalam berbagai kombinasi. Pasien dengan bronkitis
kronis, emfisema, atau keduanya tidak dianggap memiliki PPOK kecuali
terdapat obstruksi aliran udara. Pasien dengan asma yang memiliki obstruksi
aliran udara yang reversibel sempurna tidak memiliki PPOK, dimana

44
perkembangan obstruksi parsial aliran udara reversibel dari waktu ke waktu
dianggap memiliki overlap syndrome asma-PPOK (asma dengan ciri PPOK
atau PPOK dengan ciri asma).

Mengingat bahwa ciri overlap menjadi lebih umum dengan


bertambahnya usia dan riwayat merokok, kesan klinis yang berlaku adalah
bahwa dengan usia sering terjadi progresi dari obstruksi aliran udara
reversibel dari pasien asma yang muda dengan obstruksi lebih ireversibel pada
pasien yang lebih tua dengan PPOK (Soriano JB, 2003). Sementara PPOK
cenderung pasti progresif, banyak pasien dengan riwayat asma lama terjadi
penurunan progresif lambat dari fungsi paru-paru, yang diukur dengan FEV1,
sekunder terhadap remodeling saluran napas (Horak, 2016). Bertambahnya
usia, merokok, hiperreaktivitas saluran napas, dan eksaserbasi pada asma dan
PPOK merupakan faktor risiko untuk remodeling saluran napas dan
mempercepat hilangnya fungsi paru-paru (Suryadinata & Soeroto A, 2014).
Akhirnya, overlap syndrome asma dan PPOK didukung oleh "Dutch
hypothesis" yang menyatakan bahwa asma dan hiperreaktivitas saluran napas
mempengaruhi pasien untuk PPOK di kemudian hari, dan asma, PPOK,
bronkitis kronis, dan emfisema memiliki ekspresi atau komponen yang
berbeda dari penyakit saluran napas tunggal. Adanya komponen-komponen
ini dipengaruhi oleh faktor host dan lingkungan (GINA;GOLD, 2015).
Prevalensi overlap syndrome meningkat dengan bertambahnya usia,
membuat perbedaan antara asma dan PPOK sulit dan sering tidak tepat pada
populasi lanjut usia. Berikut ditampilkan beberapa persamaan karakteristik
dan perbedaan antara asma, penyakit paru obstruktif kronik (ppok), dan
overlap syndrome (GINA;GOLD, 2015) :

Persamaan Karakteristik dan Perbedaan Antara Asma, Penyakit Paru


Obstruktif Kronik (PPOK), dan Overlap Syndrome
Overlap
Asma PPOK
Syndrome

45
Peradangan saluran
napas kronis, Peradangan saluran napas Overlap
biasanya eosinofilik kronis, biasanya neutrofilik secara
dan didorong oleh sel dan didorong oleh sel CD8. patologi
CD4. Inflamasi Inflamasi eosinofilik telah dalam profil
neutrofil telah diamati dalam saluran inflamasi dari
Patologi
diamati dalam saluran udara dari beberapa pasien kedua asma
udara penderita asma dengan PPOK dan dan PPOK,
dan beberapa berhubungan dengan khususnya di
berhubungan dengan sensitivitas yang lebih kalangan
peningkatan besar terhadap steroid. orang tua.
resistensi steroid.

Overlap
Obstruksi jalan napas fungsional
Obstruksi jalan napas
reversibel, kerusakan antara asma
sebagian reversibel,
Patofisiologi progresif dari waktu dan PPOK,
progresifitas kerusakan
ke waktu adalah khususnya di
seringkali khas.
jarang. kalangan
orang tua.

Penanganan pada eksaserbasi akut

Memperbaiki gejala
Kortikosteroid Memperbaiki gejala dan
dan fungsi paru-paru
Sistemik dan fungsi paru-paru dan Tidak tersedia
dan mengurangi
Bronkodilator mengurangi lamanya data
lamanya tinggal di
Inhalasi tinggal di rumah sakit.
rumah sakit.

Penanganan saat stabil

Respon kurang efektif.


Kortikosteroid
direkomendasikan untuk
Kortikosteroid Terapi andalah untuk pasien dengan PPOK yang Tidak tersedia
inhalasi asma persisten lebih parah (FEV1 <50% data

46
dari prediksi) yang
gejalanya tidak optimal
dikontrol dengan
bronkodilator inhalasi.

Kortikosteroid terapi
tunggal tidak
direkomendasikan

2-agonis short
acting inhalasi adalah
pengobatan andalan
untuk asma Pengobatan andalan pada
intermiten pasien dengan PPOK;
inhalasi antikolinergik
Terapi tunggal 2- mungkin lebih efektif
agonis long-acting dibandingkan 2-agonis
Bronkodilator inhalasi tidak inhalasi sebagai terapi Tidak ada data
inhalasi dianjurkan. tunggal pada PPOK. tersedia

BAB IV
ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN

Pasien atas nama Tn. DB dengan usia 61 tahun, datang ke rumah sakit dengan
keluhan utama sesak napas sesak napas yang berat sudah dirasakan sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. sesak dirasakan semakin berat dan mengganggu
aktivitas sehari-hari pasien Ketika kondisi sangat sesak pasien menggunakan inhaler
tersebut tetapi karena 2 hari sebelum masuk rumah sakit sesak semakin parah, maka
pasien datang ke IGD RSUD AWS pada hari Rabu, 4 Januari 2017.

47
Pada pasien ini, selama di rawat inap di IRNA B ruang Seruni RSUD AWS
Samarinda, segala upaya dilakukan untuk mengurangi keluhan yang diderita pasien
dan yang paling utama ialah pendekatan berbagai aspek dan pemeriksaan penunjang
untuk penegakkan diagnosa.
Pada bab ini, akan dianalisa kesesuaian antara fakta pada kasus yang didapat
dengan teori berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan
sampai pada penatalaksanaannya.

4.1. Anamnesa
Teori
Kasus
Asma Bronkial
Laki-laki Asma bronkial dapat disebabkan beberapa
Usia 61 tahun faktor seperti perubahan temperature, dan
Sesak nafas sering paparan terhadap iritan misalnya asap
dirasakan pasien sejak rokok, tetapi patofisiologi asma cenderung
usia muda, hilang timbul. akibat adanya bahan allergen, bahan iritan
Saat usia 40 tahun sesak dapat menjadi faktor pemicu eksaserbasi
semakin sering dan asma.
semakin lama semakin Pada umumnya asma diderita usia muda,
memberat. Sesak yang namun tidak tertutup kemungkinan bisa
berat menyebabkan terjadi pada kelompok usia tua.
pasien sering dirawat di Pada pasien yang tidak menunjukkan
rumah sakit, bisa sampai respons (poor response), yaitu gejala dan
4x dalam setahun. tanda serangan masih ada pada saat tata
Sesak napas juga laksana awal, dianggap sebagai serangan
dipengaruhi aktifitas, berat (dahulu dikenal status asmatikus) dan
misalnya pasien harus pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap
berhenti sejenak karena PPOK
sesak setelah berjalan Gejala yang paling sering terjadi pada

48
sekitar 10 meter, setelah pasien PPOK adalah sesak napas
istirahat sesak berkurang. Batuk bisa muncul secara hilang timbul,
Pada saat serangan tapi biasanya batuk kronis adalah gejala
terakhir, sesak napas tidak awal perkembangan PPOK
membaik dengan istirahat Batuk kronis pada PPOK bisa muncul tanpa
dan penggunaan inhaler. adanya dahak
Keluhan disertai batuk Faktor risiko/ riwayat penyakit yang
yang tidak berdahak 2 mengarah ke PPOK :
hari SMRS, terutama - Faktor risiko terpaparnya pasien
dirasakan waktu dini hari. seperti rokok dan paparan
Riwayat merokok selama lingkungan ataupun pekerjaan
16 tahun - Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat pekerjaan di termasuk asma bronchial, alergi,
pabrik kayu sinusitis, polip nasal, infeksi saluran
Alergi terhadap cuaca nafas saat masa anak-anak, dan
dingin atau perubahan penyakit respirasi lainnya.
cuaca yang tiba-tiba - Riwayat keluarga PPOK atau
Terdapat keluarga dengan penyakit respirasi lainnya
riwayat asma - Riwayat eksaserbasi atau pernah
dirawat di rumah sakit untuk
penyakit respirasi.

Anamnesa pada pasien dilakukan secara autoanamnesa.Dari hasil anamnesa


didapatkan bahwa pasien sudah lama didiagnosa menderita asma bronkial serta
terdapat riwayat merokok selama 16 tahun. Dari perbandingan teori dan fakta, kondisi
pasien saat ini lebih mengarah pada penyakit paru obstruksi kronik. Dapat dilihat dari
berbagai faktor risiko terjadinya PPOK yang dijabarkan dalam teori ditemukan pula
pada pasien ini yang didapatkan dari hasil anamnesis saat pasien menjalani rawat
jalan di RSUD AWS.

49
4.2. Pemeriksaan Fisik
Kasus Teori
Keadaan sakit sedang Asma Bronkial
Tanda - Tanda Vital - Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak
(tanggal 06/01/17): (nafas cuping hidung, nafas cepat),
TD: 100/70 mmHg sianosis.
HR: 80 x/menit, - Palpasi : biasanya tidak ada kelainan
reguler, kuat angkat yang nyata (pada serangan berat dapat
RR: 24 x/menit, terjadi pulsus paradoksus)
reguler - Perkusi : biasanya tidak ditemukan
T: 36 C o
kelainan
Bentuk dada barrel chest - Auskultasi : ekspirasi memanjang,
Pergerakan dinding wheezing, dan ronki
simetris
Fremitus suara melemah Penyakit Paru Obstruksi Kronik
pada paru kanan dan kiri .
Inspeksi :
Perkusi terdengar
Bentuk dada: barrel chest (dada seperti
hipersonor di seluruh
tong)
lapangan paru
Terdapat purse lips breathing (seperti
Auskultasi lapangan paru
orang meniup)
terdengar penurunan
Terlihat penggunaan dan hipertrofi
suara vesikuler dan suara
(pembesaran) otot bantu nafas
tambahan wheezing pada
Palpasi :
lapangan paru kanan dan
Sela iga melebar
kiri, dengan ekspirasi
Perkusi :
memanjang. Tidak
Hipersonor
terdapat suara tambahan
Auskultasi :
ronki
Fremitus melemah
Suara nafas vesikuler melemah atau

50
norma
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung menjauh

Pada pemeriksaan fisik didapatkan beberapa hal yang mengarahkan ke
diagnosis penyakit paru obstruksi kronis diantaranya bentuk dada bareel chest,
pursed lips breathing, pergerakan fremitus suara dinding dada kanan dan kiri
melemah, perkusi terdengar hipersonor di seluruh lapangan paru kanan dan kiri,
adanya penurunan suara vesikuler pada lapangan paru kanan dan kiri, serta terdapat
suara wheezing.

4.3. Pemeriksaan Penunjang


Kasus Teori
Radiologi Asma Bronkial
Pemeriksaan foto thorax AP Gambaran radiologi pada
- Keterangan klinis : dyspnea asma pada umumnya normal.
- Corakan bronkovaskuler tampak Pada waktu serangan
prominent menunjukan gambaran
- Cor ukuran normal, aorta dilatasi dan hiperinflasi pada paru-paru.
kalsifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis
- Penampakan bayangan jantung yang Terlihat gambaran :
tipis, panjang dan sempit dan Emfisema
diafragma rendah Hiperinflasi
- Kedua sinus costofrenikus lancip Hiperlusen
- Kedua hemidiafragma regular ICS melebar
- Tulang tulang yang tervisualisasi intak Diafragma mendatar
dan soft tissue normal Jantung menggantung (jantung
Kesan : Aspek bronchitis pendulum/tear drop)
Cor ukuran normal, dengan dilatation Bronkitis Kronik

51
et atherosclerosis aortae Normal
Corakan
bronkovaskuler
bertambah

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan berupa pemeriksaan radiologis


foto thorax menunjukkan adanya gambaran yang sesuai dengan teori gambaran
radiologis pada penyakit paru obstuktif kronis.

4.4. Penatalaksanaan
Kasus Teori
O2 3 lpm Asma bronkial
Infus RL 20 tpm Penatalaksanaan yang diberikan pada kasus
Drip aminofilin 1,5 asma bronkial eksaserbasi derajat berat (status
A/kolf asmatikus) berupa pemberian
Salbutamol 3x4 mg Oksigen
Ambroxol 3 x 1 tab Short Acting Beta 2 Agonis
Nebul berotec 15 tetes Ipratropium bromide
+ bisolvon 10 tetes (3 x Steroid IV atau oral
sehari) Magnesium IV
Injeksi Dexamethason 3 Inhaled corticosteroid dosis tinggi
x 1 amp IV
Penyakit Paru Obstruktif Kronis
.
Penatalaksanaan saat PPOK eksaserbasi akut
di Rumah Sakit :
Terapi oksigen

52
Bronkodilator
- Agonis beta 2
- IV : Metilxantin, bolus dan
drip
Antibiotik

Pada saat eksaserbasi asma bronkodilator diberikan bronkodilator sebagai


pelega, tetapi tetap sebagai terapi utama haruslah diberikan antiinflamasi seperti
kortikosteroid, yang diberikan pada kasus yaitu dexamethason dikarenakan
patofisiologi utama dari asam bronkial ialah adanya proses inflamasi. Sedangkan
pada PPOK eksaserbasi akut tidak perlu menggunakan kortikosteroid, terapi
utamanya hanyalah bronkodilator.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
terhadap pasien Tn.DB dengan diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Secara
umum, data yang didapat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sesuai dengan
teori yang ada. Penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang diberikan terhadap
pasien hampir sesuai dengan teori. Setelah diikuti perjalanan penyakit pada pasien ini.
Dapat disimpulkan bahwa penyakit pada pasien ini ialah penyakit paru obstruksi

53
kronik yang dapat saja riwayat penyakit dahulu berupa asma bronkial dan riwayat
merokok lama menjadi etiologi dari terjadinya kondisi penyakit paru obstuksi kronis
pada pasien ini. Sumbatan jalan nafas pada asma biasanya intermiten dan reversibel,
tetapi sebaliknya sumbatan bersifat progresif dan sebagian besar irreversibel pada
PPOK. Pada pasien ini awalanya terjadi hamabatan jalan nafas yang reversible namun
semakin lama dapat terjadi airway remodeling yang menyebabkan hambatan jalan
nafas yang terjadi menjadi irreversible sehingga pasien mengalami penyakit paru
obstruksi kronis.

5.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut
1. Sebaiknya perlu diberikan edukasi kepada pasien tentang pengobatan rutin
yang tepat dan langkah-langkah agar kekambuhan dapat diminimalisir.
2. Tujuan pengobatan penyakit saluran napas obstruktif adalah sama dengan
asma dan terutama didorong oleh kebutuhan untuk mengontrol gejala,
mengoptimalkan status kesehatan, dan mencegah eksaserbasi, dikarenakan
terapi utama yang berbeda pada kedua penyakit tersebut, maka sangat
penting para klinisi membedakan antara kedua penyakit ini agar tercapai
terapi yang optimal bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Danusantoso, H. (2011). Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Jakarta: EGC 2.
Fauci AS, K. D. (2008). Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th. New
York: Mc Graw Hil.

GINA;GOLD. (2015). Global strategy for the diagnosis, management and prevention
of chronic obstructive pulmonary disease.

Horak, F. e. (2016). Diagnosis and Management of Asthma-Statement on the 2015


GINA Guidelines. Wiener klinische Wochenschrift The Central European
Journal of Medicine .

54
Nadel, M. (2000). Text Book of Respiratory Medicine 3rd Edition Vol-1.
Philadelphia.

Palgunadimargono, B. (2005). Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilmu Penyakit Paru


FK UNAIR. Surabaya: BAG/SMF Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta: PDPI.

Riyanto, B. R., & Hisyam, B. (2009). Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam P.
D. Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hal. 2216-2229). Jakarta :
InternaPublishing.

Rosenbluth, D. (2002). Pleural Effusion: Nonmalignant and Malignant. Dalam A.


Fishman, & J. Elias, Fishman's of Pulmonary Disease and Disorders (hal.
487-506). McGraw-Hill Companies.

Soriano JB, D. K.8. (2003). The proportional Venn diagram of obstructive lung
disease: two approximations from the United States and the United Kingdom.
(124), 47481.

Suryadinata, H., & Soeroto A, Y. (2014). Penyakit Paru Obstruktif Kronik. na J


Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 2 , 83-88.

Vestbo J, H. S. (2014). Global strategy for the diagnosis, management, and


prevention. Am J Respir Crit Care Med , 4 (187), 347 - 65.

55

Anda mungkin juga menyukai