Masa jabatan
12 Maret 1983 11 Maret 1988
Presiden Soeharto
Masa jabatan
19731983
Presiden Soeharto
Masa jabatan
25 November 1969 27 April 1973
Presiden Soeharto
Presiden Soekarno
Soeharto
Masa jabatan
19601965
Presiden Soekarno
Informasi pribadi
Kebangsaan Indonesia
Profesi Militer
Agama Islam
Dinas militer
Pengabdian Indonesia
Dinas/cabang
TNI Angkatan Darat
Jenderal TNI
Unit Infanteri
Kodam Siliwangi
Kodam Jaya
Kostrad
Umar Wirahadikusumah lahir pada tanggal 10 Oktober 1924 dari pasangan Raden Rangga
Wirahadikusumah dan Raden Ratnaringrum. Umar dilahirkan sebagai keluarga bangsawan
dan menyelesaikan pendidikannya di bawah Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada tahun 1943, dengan Indonesia saat itu di bawah pendudukan Jepang, Umar bersama
dengan kelompok pemuda beroperasi di bawah pengawasan Pemerintah Kerja Jepang.
Kelompok-kelompok pemuda memberikan beberapa pelatihan fisik yang Umar melakukan.
Hal ini diikuti pada Oktober 1944 oleh PETA, pasukan tambahan yang terdiri dari rekrutan
Indonesia yang dimaksudkan untuk membantu Jepang dalam melawan Sekutu. Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Umar, seperti banyak pemuda lain dari usia
yang sama bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat, cikal bakal TNI.
Umar menikah dengan Karlina dan memiliki dua anak perempuan. Ia juga adalah paman
dari Agus Wirahadikusumah, seorang perwira militer yang menjadi Panglima Kostrad.
Karier militerSunting
Kodam III/SiliwangiSunting
Setelah Revolusi Nasional Indonesia, Umar bertugas di Angkatan Darat. Umar ditempatkan
di provinsi asalnya Jawa Barat dan bertugas untuk waktu yang lama di Kodam III/Siliwangi.
Kariernya melejit setelah membantu menumpas pemberontakan PKI pada tahun 1948 serta
memerangi pemberontakan PRRI di Sumatera. Ia juga pernah menjadi ajudan Abdul Haris
Nasution saat menjabat sebagai Komandan Divisi Siliwangi.
Kodam V/JayaSunting
Pada tahun 1959, Umar dipercaya sebagai Komandan Kodam V/Jaya dan ia bertanggung
jawab terhadap keamanan di Jakarta dan sekitarnya.
Peristiwa G30SSunting
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, enam jenderal diculik dari rumah mereka. Sebagai Panglima
Kodam V / Jaya, Umar berkeliling kota untuk memeriksa keamanannya. Setelah mendengar
tentang penculikan dan melihat pasukan tak dikenal menduduki Lapangan Merdeka, Umar
mengirim kabar kepada Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto.
Umar menerima keputusan Soeharto untuk mengambil komando Angkatan Darat dan
mendukungnya dalam usahanya untuk menindak usaha kudeta. Menjelang tengah hari,
Umar menerima perintah dari Presiden Soekarno yang dicurigai berada di Halim, tempat di
mana enam jenderal diculik. Soeharto khawatir bahwa ini adalah upaya untuk membunuh
Umar dengan memerintahkanya ke Halim. Soeharto dengan tegas menolak perintah
tersebut.
Setelah Soeharto merebut kembali kendali situasi di Jakarta, Umar kemudian
mengkonsolidasikan situasi. Dia memberlakukan jam malam dari jam 6 sore hingga jam 6
pagi dan memonitor semua surat kabar ibu kota.
Ketika peristiwa diduga didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), Umar menyetujui
pembentukan gabungan aksi untuk membasmi Gerakan 30 September (KAP-GESTAPU).[1]
Orde baruSunting
Meskipun ia bukan bagian dari lingkaran dalam Soeharto, Umar memenangkan
kepercayaan besar dari Soeharto atas bantuan dan dukungan yang diberikan dalam
menyelesaikan G30S.[2] Saat Soeharto mulai menjabat sebagai Pejabat Presiden, karier
Umar juga melejit. Pada tahun 1965, Soeharto mempercayakan Umar untuk
menggantikannya sebagai Panglima Kostrad. Pada tahun 1967, Umar menjadi Wakil Kepala
Staf Angkatan Darat sebelum akhirnya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pada tahun
1969.
Pada tahun 1973, karier aktif militernya berakhir dan ia menjadi Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) selama 10 tahun. Sebagai Ketua BPK, Umar bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa departemen pemerintah, kementerian, dan badan pemerintahan
menggunakan uang negara dengan baik. Selama masa jabatannya sebagai Ketua BPK,
Umar membuat penilaian suram yang menilai bahwa tidak satu pun departemen pemerintah
adalah bebas dari korupsi.[3]
Menjadi wakil presidenSunting
Umar Wirahadikusumah mengucapkan sumpah jabatan sebagai Wakil Presiden RI masa jabatan 1983-1988.
Pada bulan Maret tahun 1983, Umar mencapai puncak kariernya. Soeharto, yang telah
dipilih untuk masa jabatan keempat sebagai Presiden berdasarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) memilih Umar untuk menjadi wakil presidennya.
Pemilihan ini dianggap menjadi pilihan yang agak tak terduga mengingat karier Umar
dalam politik di Indonesia tidak lebih memucat dibandingkan dengan dua
pendahulunya, Hamengku Buwono IX dan Adam Malik. Meskipun kepribadian rendah hati,
Umar memiliki reputasi yang baik dan dihormati secara luas.
Sebagai wakil presiden, Umar menjadi salah satu dari sangat sedikit dalam rezim Soeharto
yang memilih untuk memberantas korupsi. Sebagai orang yang religius, Umar berharap
bahwa agama dapat digunakan untuk mengubah koruptor untuk melakukan perbuatan yang
benar. Umar juga melakukan inspeksi kejutan (kadang-kadang penyamaran) ke kota-kota
dan desa-desa daerah untuk memantau bagaimana kebijakan pemerintah berpengaruh
terhadap rakyat. Selama menjadi Wakil Presiden Umar juga mengadakan pelayanan doa di
Istana Wakil Presiden.
Karier Umar sebagai Wakil Presiden berakhir pada Maret 1988 ketika ia digantikan
oleh Sudharmono. Banyak yang kecewa melihat dia tidak melanjutkan untuk masa jabatan
kedua sebagai Wakil Presiden. Hal ini menjadi bukti reputasi yang baik bahwa Sudharmono
ingin memastikan penerimaan Umar untuk tidak melanjutkan sebagai Wakil Presiden untuk
periode selanjutnya.[4]
WafatSunting