Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Kornea merupakan lapisan yang transparan dan tidak berpembuluh darah.


Permukaan anterior kornea berbentuk elips dengan diameter horizontal 11,7 mm dan
diameter vertikal 11 mm. Permukaan posterior berbentuk sirkular dengan diameter rata-
rata 11,5 mm. Ketebalan kornea pada bagian tengah 0,52 mm dan menebal pada bagian
perifer, yakni 0,7 mm. Bagian sentral kornea memiliki radius kelengkungan 7,8 mm dan
6,5 mm. Kekuatan refraksi kornea sekitar 45 dioptri (1).

(1)
Gambar 2.1
Lapisan Kornea

Kornea terdiri dari 5 lapis, yakni :


2
- Epitel gepeng berlapis, yang terdiri dari 5-6 lapis sel.
- Membran Bowman, yang terdiri dari massa fibril kolagen aseluler yang
terkondendasi, memiliki resistensi yang kuat terhadap infeksi, tetapi sekali rusak,
tidak dapat beregenerasi.
- Stroma, memiliki ketebalan 0,5 mm (90% ketebalan kornea), terdiri dari fibril
kolagen yang berada pada matriks proteoglikan.
- Membran Descemet, lapisan homogen yang terikat pada stroma di bagian
posteriornya, sangat resisten terhadap agen kimia, trauma, dan proses patologis.
- Endotel, terdiri dari selapis sel yang merupakan pompa aktif. Kepadatan densitas
endotel sekitar 2500 sel/mm2. Jumlah sel menurun sekitar 0,6 persen setiap
tahunnya dan sel di sekitarnya membesar untuk mengisi ruangan yang
ditinggalkannya. Ketika jumlah endotel menjadi tinggal 500 sel/mm 2, terjadi
edema kornea dan transparansinya menjadi berkurang (1).

2.2 Fisiologi Mata

Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi dan
melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat dijalankan melalui
transparansi kornea dan penggantian jaringannya (1).
Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik
avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut melalui transport
aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler perilimbal. Oksigen didapatkan
secara langsung dari udara melalui tear film (1).
Kornea berfungsi sebagai pelindung dan jalan masuk cahaya menuju retina. Sifat
tembus kornea disebabkan karena strukturnya yang uniform, avaskular dan deturgesen.
Deturgesen adalah keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang dipertahankan oleh
pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel
mempunyai peran lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi (2).
Kerusakan pada endotel lebih berbahaya daripada kerusakan pada epitel karena
kerusakan endotel dapat menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan serta
kerusakan pada endotel cenderung bertahan lama karena kemampuan regenerasi sel sel
endotel lebih lambat daripada regenerasi sel sel pada epitel. Epitel merupakan bagian
dari kornea yang berfungsi sebagai lapisan pertama dalam menahan masuknya
mikroorganisme ke bagian kornea yang lebih dalam. Apabila epitel kornea terkena
trauma sehingga menimbulkan defek pada epitel, maka stroma dan membran bowman
3
akan mudah terinfeksi oleh berbagai macam organisme seperti bakteri, jamur, amoeba
dan virus (kecuali Neisseria gonore, Corynebacteria, Shigella dan Listeria). Defek epitel
akan memungkinkan terjadinya adhesi patogen yang selanjutnya akan melakukan
penetrasi lebih dalam (2).
Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat menyebabkan
nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri. Selain itu, lesi kornea
biasanya menyebabkan penglihatan yang kabur, terutama bila lokasinya di sentral.
Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang mengalami peradangan. Dilatasi pada
pembuluh darah iris merupakan refleks akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun
demikian, photophobia terjadi secara minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang
terjadi (2).

2.3 Keratitis

2.3.1 Definisi keratitis


Keratitis adalah infeksi pada salah satu lapisan kornea (3). Infeksi pada lapisan
kornea bisa disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan amoeba (3).

2.3.2 Faktor predisposisi keratitis (3):

1. Pemakaian lensa kontak yang terlalu lama


2. Penggunaan salep mata yang tidak steril
3. Trauma pada mata
4. Penyakit pada permukaan mata
5. Tempat lensa kontak yang terkontaminasi oleh bakteri
6. Cara penggunaan lensa kontak yang tidak steril.
7. Riwayat operasi mata sebelumnya
8. Riwayat penyakit sebelumnya, infeksi virus herpes simplek
/ herpes zoster
9. Penggunaan obat kortikosteroid pada mata jangka panjang.

2.3.3 Etiologi Keratitis


Keratitis sebagian besar disebabkan oleh (3):
4
1. Bakteri
2. Jamur
3. Virus
4. Amoeba

2.3.4 Klasifikasi Keratitis


Penggolongan keratitis dibagi berdasarkan morfologi dan etiologinya. Berikut ini
adalah keratitis berdasarkan morfologinya, yaitu (3):
(A) Keratitis Ulserasi / Ulkus kornea
Berdasarkan lokasinya : ulkus kornea sentral dan ulkus kornea perifer
Berdasarkan purulentnya: ulkus kornea suppuratif dan ulkus kornea
non suppuratif. Ulkus kornea suppuratif biasanya terjadi pada ulkus
kornea yang disebabkan bakteri dan jamur. Sedangkan ulkus kornea
non suppuratif biasanya disebabkan oleh virus, Chlamydia dan alergi.
Berdasarkan ada/tidaknya hipopion : ulkus kornea sederhana (tanpa
hipopion) dan ulkus kornea dengan hipopion.
Berdasarkan kedalaman ulkusnya : superficial ulkus kornea, ulkus
kornea dalam, ulkus kornea dengan non perforasi, ulkus kornea
dengan perforasi.
Berdasarkan bentuk slough : ulkus kornea dengan slough dan ulkus
kornea tanpa slough
(B) Non - Ulkus kornea
Keratitis perifer: keratitis superficial difus dan keratitis superficial
punctat.
Keratitis sentral :
o Non suppuratif : keratitis interstitial, keratitis disciform,
keratitis profunda dan keratitis sklerotik
o Suppuratif : abses kornea sentral dan abses kornea posterior

Berdasarkan Etiologinya keratitis dibagi menjadi 7, yaitu :


5
1. Keratitis infektif : bakteri, jamur, virus dan amoeba
2. Keratitis alergi : keratitis phlyctenular, keratitis vernal dan keratitis
atopic.
3. Keratitis tropic : keratitis eksposure, keratitis neuroparalitik,
keratomalacia dan ulkus ateromatus
4. Keratitis yang berhubungan dengan penyakit kulit dan membrane
mukosa
5. Keratitis yang berhubungan dengan penyakit kolagen sistemik.
6. Keratitis traumatic : mekanik, kimia, suhu, radiasi
7. Keratitis idiopatik : ulkus kornea moorens, keratokonjunctivitis limbus
superior, keratitis superficial punctat Thygeson.

2.3.5 Komplikasi Keratitis


Berikut ini merupakan komplikasi dari keratitis, antara lain :
Gangguan refraksi
Sikatrik permanent
Ulkus kornea
Perforasi kornea
Glaukoma sekunder

2.3.6 Prognosis Keratitis


Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepatdan jika
tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya.Prognosis visual tergantung pada
beberapa faktor, tergantung dari (4) :
Virulensi organism
Luas dan lokasi keratitis
Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen

2.4 Keratitis bakteri

6
2.4.1 Definisi keratitis bakteri
Keratitis bakteri adalah infeksi pada salah satu lapisan kornea yang disebabkan
oleh bakteri (4).

2.4.2 Etiologi
Bakteri tersering penyebab infeksi pada kornea yaitu (4):
1. Pseudomonas aeruginosa
2. Staphylococcus aureus
3. Staphylococcus epidermidis
4. Streptococcus pneumoniae
5. Nesseria Gonorrhea

Beberapa kuman seperti nesseria gonorrhea dan pseudomonas aeruginosa dapat


melakukan infiltrasi langsung ke kornea tanpa adanya mikrotrauma. Hal ini disebabkan
karena daya penetrasi kuman yang tinggi hingga dapat menyebabkan defek dari epitel
kornea lalu menginfiltrasi hingga lapisan terdalam dari kornea (4).
2.4.3 Patogenesis
Pada proses radang, mula-mula pembuluh darah mengalami dilatasi, kemudian
terjadi kebocoran serum dan elemen darah yang meningkat dan masuk ke dalam ruang
ekstraseluler. Elemen-elemen darah makrofag, leukosit polimorf nuklear,limfosit, protein
C-reaktif imunoglobulin pada permukaan jaringan yang utuh membentuk garis
pertahanan yang pertama. Karena tidak mengandung vaskularisasi, mekanisme kornea
dimodifikasi oleh pengenalan antigen yang lemah. Keadaan ini dapat berubah, kalau
dikornea terjadi vaskularisasi (4).
Rangsangan untuk vaskularisasi timbul oleh adanya jaringan nekrosis yang dapat
dipengaruhi adanya toksin, protease atau mikroorganisme. Secara normal kornea yang
avaskuler tidak mempunyai pembuluh limfe. Bila terjadi vaskularisasi terjadi juga
pertumbuhan pembuluh limfe dilapisi sel. Reaksi imunologik di kornea dan konjungtiva
kadang-kadang disertai dengan reaksi imunologik dalam nodus limfe yang masuk ke
limbus (kornea perifer) dan sklera yang letaknya berdekatan dapat ikut terkait dalam
sindrom iskhemik kornea perifer, suatu kelainan yang jarang terjadi, tetapi merupakan
kelainan yang serius (4).

7
Patofisiologi keadaan ini tidak jelas, antigen cenderung ditahan oleh komponen
polisakarida di membrana basalis. Dengan demikian antigen dilepas dari kornea yang
avaskuler, dan dalam waktu lama akan menghasilkan akumulasi sel-sel yang memiliki
kompetensi imunologik di limbus. Sel-sel ini bergerak kearah sumber antigen di kornea
dan dapat menimbulkan reaksi imun di tepi kornea. Sindrom iskhemik dapat dimulai oleh
berbagai stimuli (4).
Bahwa pada proses imunologik secara histologik terdapat sel plasma, terutama di
konjungtiva yang berdekatan dengan ulkus. Penemuan sel plasma merupakan petunjuk
adanya proses imunologik. Pada keratitis herpetik yang khronik dan disertai dengan neo-
vaskularisasi akan timbul limfosityang sensitif terhadap jaringan kornea (4).

2.4.4 Gejala klinis


Pada kertitis bakteri dapat menimbulkan gejala klinis sebagai berikut (2):
1. Fotofobia
2. Nyeri
3. Visus menurun
4. Sekret mukopurulen / purulent
5. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp didapatkan
tanda : edema palpebra, khemosis konjungtiva, edema kornea, defek
epitel berbatas tegas dengan infiltrat luas pada bagian bawah,
hipopion, kadang didapati anterior uveitis (2).

2.4.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang keratitis bakteri (2):
1. Kultur Kuman
2. Test Sensitivitas kuman
3. Pengecatan gram kuman penyebab infeksi

2.4.6 Diagnosis banding


Diagnosis banding dari keratitis bakteri antara lain :
keratitis jamur, keratitis virus, keratitis amoeba, keratitis marginal, ulkus kornea
dan toksik keratitis (2).

8
2.4.7 Terapi
Terapi pada keratitis bakteri antara lain (2):
1. Antibiotika :
Bakteri gram positif :
Cefazolin, dosis = 50 mg/ml/jam (topikal), 100 mg/0,5 ml/jam
(subconjungtival).
Vancomycin, dosis = 25 50 mg/ml/jam (topikal), 25 mg/0,5
ml/jam (subconjungtival).

Bakteri negatif :
Tobramycin, dosis = 9 14 mg/ml jam (topikal), 20 mg/0,5
ml/jam (subconjungtival).
Floroquinolon, dosis = 3 mg/ml/jam (topikal)
Ceftriaxone, dosis = 50 mg/ml/jam (topikal), 100 mg/0,5 ml/jam
(subconjungtival).

2. Sikloplegi (diberikan untuk mencegah terjadinya sinekia dan untuk


mengurangi nyeri) :
Atropin 1% dosis 1 2 tetes / 6 jam
Homatropin 2% dosis 1 2 tetes / 6 jam

2.5 Keratitis Virus

2.5.1 Definisi keratitis virus


Keratitis virus adalah infeksi pada salah satu lapisan kornea yang disebabkan oleh
virus (3).

2.5.2 Etiologi keratitis virus


Virus penyebab keratitis yang tersering adalah virus herpes simplek dan virus
herpes zoster (3).

9
2.5.3 Patogenesis keratitis virus :
Keratitis virus yang disebabkan oleh virus herpes simplek ada dalam dua bentuk
yaitu infeksi primer dan infeksi rekurens. Infeksi primer terjadi akibat adanya kontak
langsung dengan penderita herpes simpleks, misalnya menggunakan handuk secara
bergantian dengan orang yang menderita penyakit herpes simplek, maka akan
menularkan virus herpes simplek dari satu orang ke orang lainnya. Penularan bisa terjadi
juga pada bayi baru lahir dengan ibu yang menderita herpes simplek, serta penularan
melalui kontak oral maupun seksual (3).
Infeksi rekuren merupakan infeksi primer yang telah sembuh dan dapat kembali
kambuh akibat rangsangan non spesifik seperti demam, menstruasi, penggunaan obat
kortikosteroid sistemik maupun lokal jangka panjang, stress psikis dan trauma. Lesi yang
timbul pada kornea akibat penetrasi virus ke dalam sel didahului oleh mikrotrauma pada
epitel kornea. adanya mikrotrauma tersebut menyebabkan virus dapat menginfiltrasi
kornea ke lapisan yang lebih dalam dan virus berkembang melalui siklus replikasi di
sepanjang cabang cabang nervus oftalmik pada kornea (3).

2.5.4 Gejala klinis keratitis virus


Gejala klinis dari keratitis virus, yaitu (3):
1. Fotofobia
2. Epifora
3. hipostesia / anastesia
4. visus menurun
5. Pericorneal vaskular injection

2.5.5 Pemeriksaan penunjang keratitis virus


Pemeriksaan penunjang keratitis virus, yaitu (3):
1. slit lamp
2. fluoresin test : gambaran ulkus dendritik dengan batas jelas.
3. Pewarnaan hapusan kuman dengan giemsa

2.5.6 Terapi keratitis virus


1. Debridement

10
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena
virus berlokasi di dalam epithelial. Debridement juga mengurangi beban antigenic virus
pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi
mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat
siklopegik seperti atropine 1% atau homatropin 2% diteteskan ke dalam sakus
konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan
diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam (3).

2. Terapi Obat
IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan1% dan diberikan
setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap4 jam)
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1%setiap 4 jam
Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (3)

3. Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin di indikasikan untuk rehabilitasi penglihatan
pasien yang mempunyai parut kornea yang berat,namun hendaknya dilakukan
beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif (3).

2.6 Keratitis Jamur

2.6.1 Definisi keratitis jamur


Keratitis jamur adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur. Salah satu jenis
jamur yang dapat menginfeksi kornea adalah Fusarium (5). Ketika Fusarium
menginfeksi kornea maka disebut keratitis Fusarium (5).

2.6.2 Etiologi keratitis jamur


Ada 70 jenis jamur yang berbeda yang menjadi penyebab keratitis jamur, 2 grup
yang mempunyai peranan penting di dunia medis yang menyebabkan infeksi kornea

11
adalah jamur yeast dan filamentus (septate dan nonseptate) (5).
Yeast mempunyai karakteristik koloni creamy, opak, dan seperti bubur pada
permukaan media kultur. Candida adalah jenis patogen yang paling mewakili pada grup
ini, terutama merusak kornea melalui steroid topikal, patologi permukaan atau keduanya.
Material seperti bulu dan bubuk tumbuh di permukaan media kultur yang
diproduksi oleh septate jamur berfilamen merupakan penyebab utama dari keratitis jamur.
Jamur yang tersering mengakibatkan keratitis adalah Fusarium, Cephalosepharium, dan
curvurlaria. (5)

2.6.3 Patogenesa keratitis jamur


Keratitis jamur lebih jarang terjadi daripada keratitis bakteri. Secara umum
ditemukan kurang dari 5-10% dari infeksi kornea yang dilaporkan di USA. Keratitis
jamur filamentus lebih sering terjadi di bagian USA yang tempatnya lebih hangat dan
lebih lembab daripada di wilayah yang lainnya. Trauma pada kornea dengan materi
tumbuhan atau sayuran merupakan faktor resiko yang menonjol untuk terjadinya keratitis
jamur (5). Terutama pada tukang kebun yang menggunakan alat penghias rumput atau
alat bermotor lain yang serupa untuk halaman rumput tanpa memakai pelindung mata.
Trauma yang berhubungan dengan penggunaan kontak lensa adalah faktor resiko lain
yang sering terjadi yang menimbulkan keratitis jamur. Kortikosteroid topikal adalah
faktor resiko utama lainnya (5).
Pemakaian kortikosteroid mengaktifkan dan meningkatkan virulensi organisme
jamur dengan menurunkan resistensi kornea terhadap infeksi. Peningkatan penggunaan
kortikosteroid topikal selama empat dekade terakhir telah disinyalir sebagai sebuah
penyebab utama terjadinya peningkatan insiden keratitis jamur selama periode ini.
Selanjutnya, penggunaan kortikosteroid sistemik mungkin mensupresi respon imun host
yang akan menjadi predisposisi terjadinya keratitis jamur. Faktor resiko lain meliputi
bedah kornea (misal : penetrasi keratoplasti, radial keratotomi) dan kronik keratitis (misal
: herpes simpleks, herpes zoster, atau konjugtivitis alergi/vernal) (5).
2.6.4 Gejala klinis keratitis jamur
Pasien dengan keratitis jamur cenderung untuk memiliki gejala dan tanda
inflamasi yang lebih sedikit selama periode awal daripada gejala dan tanda inflamasi
pada keratitis bakteri dan mungkin mempunyai sedikit atau tidak ada injeksi konjungtiva

12
yang tampak pada periode awal. Keratitis jamur filamentus sering bermanifestasi sebagai
infiltrat kering berwarna putih abu-abu yang mempunyai bentukan irregular atau tepi
filamentus (5).
Lesi superfisial mungkin tampak berwarna putih abu-abu melebihi permukaan
kornea, kering, kasar, atau tekstur berpasir yang terdeteksi pada saat dilakukan scraping
pada kornea. Adakalanya tampak multifokal atau infiltrat satelit walaupun hal tersebut
lebih jarang ditemukan daripada seperti yang sebelumnya. Sebagai tambahan, sebuah
infiltrat sroma yang dalam mungkin tampak pada sebuah epitel yang intak. Suatu plak
endothelial dan atau hipopion juga mungkin tampak jika infiltat jamur cukup dalam atau
besar (5).
Saat keratitis mengalami suatu progres, supurasi yang hebat mungkin muncul dan
lesi mungkin menyerupai keratitis bakteri. Pada keadaan ini, hipopion tumbuh dengan
cepat dan ruang anterior membran yang menyebabkan inflamasi mungkin terbentuk.
Perluasan infeksi jamur ke bilik mata depan sering dijumpai pada kasus-kasus dengan
inflamasi bilik mata depan yang berkembang cepat. Adakalanya, jamur mungkin
menginvasi iris atau bilik mata belakang dan glaukoma sudut tertutup mungkin terbentuk
dari blok pupil yang meradang (5).
Keratitis yeast sering disebabkan oleh Candida spp. Bentukan dari keratitis jamur
ini timbul dengan bentukan superfisial warna putih, koloni-koloni yang meningkat pada
sebuah perubahan susunan mata. Walaupun sebagian besar kasus cenderung superfisial,
invasi yang dalam mungkin tampak dengan supurasi menyerupai keratitis yang dipicu
oleh bakteri gram positif (5).

2.6.5 Pemeriksaan penunjang pada keratitis jamur


Pemeriksaan penunjang pada keratitis jamur, yaitu (5) :
Hapusan langsung
Kultur
Biopsi kornea
Confocal microscope
2.6.6 Terapi keratitis jamur
Terapi keratitis jamur, yaitu (5) :
Natamisin topical 5% dianjurkan untuk pengobatan pada keratitis jamur
13
filamentus, terutama yang disebabkan oleh Fusarium spp.
Mikonazol topikal 1% (10 mg/mL) adalah pilihan untuk melawan
Paecilomyces lilacinus, sebuah organisme agresif di mana conidia secara relatif
resisten pada sebagaian besar teknik sterilisasi dan diketahui mengkontaminasi
lensa intraokuler.
Amphoterisin B topikal (0,15%-0,3%) adalah obat yang paling ampuh untuk
mengobati keratitis yeast. Amphoterisin B juga dianjurkan untuk keratitis
filamentus yang disebabkan oleh Aspergillus spp.
Ketonazol oral (200-600mg/hari) mungkin dipertimbangkan untuk terapi
adjuvan pada keratitis jamur filamentus yang berat.
Flukonzol oral (200-400mg/hari) untuk keratitis yeast yang berat.
Itrakonazol oral (200 mg/hari) mempunyai efek broad spektrum melawan
semua spesies Aspergillus dan Candida, tetapi mempunyai aktifitas yang tidak
tetap melawan Fusarium.

2.6 Keratitis amoeba

2.6.1 Definisi keratitis amoeba (6)


Keratitis amoeba adalah infeksi dari salah satu lapisan kornea akibat infeksi
amoeba (Acanthamoeba castellani dan A. polyphaga).

2.6.2 Etiologi keratitis amoeba (6)


Penggunaan lensa kontak
Visual higine yang buruk
Post operasi keratomy / keratoplasty
Cuaca tropis
Trauma kimia ( misal pada petani hortikultural yang tersiram pupuk)

2.6.3 Gejala klinis keratitis amoeba (6)


Nyeri pada mata
Pandangan kabur
Nerocoh pada salah satu mata
14
Fotofobia
Blepharospasme
Merasa ada benda asing pada salah satu mata

2.6.4 Pemeriksaan klinis pada keratitis amoeba (6)


Pada pemeriksaan segmen anterior menggunakan slit lamp didapatkan :
Stadium awal : Unilateral epitheliopati dengan punctate keratopati,
pseudodendrit, epithelial atau subepithelial infiltrat, dan perineural
infiltrates.
Stadium lanjut : Ring infiltrat atau uveitis anterior, perforasi kornea, hyfema,
hipopion, skleritis dan peningkatan tekanan intra okuler.

2.6.5 Pemeriksaan penunjang keratitis amoeba (6)


Kultur kuman
Hapusan langsung
Pewarnaan gram

2.6.6 Penatalaksanaan keratitis amoeba (6)


Antibiotik spektrum luas
Polyhexamethylene biguanide 0.020.06% (200600 g/ml)
chlorhexidine 0.020.2% (2002000 g/ml)

15

Anda mungkin juga menyukai