Anda di halaman 1dari 87

M O DUL

PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA LAIN-LAIN

Error: Reference source not found


DAFTAR ISI

hal.
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN
A. Gambaran
Umum 1
B. Tujuan Instruksional
Umum 2
C. Tujuan Instruksional Khusus 2
KEGIATAN BELAJAR 1. PENGELOLAAN ASET EKS BPPN
A. Pengantar 4
B. Terbentuknya
BPPN 5
C. Pembubaran BPPN 6
D. Review Performa
BPPN 10
E. Penut
up 15
F. Latih
an 18
G. Rangkuma
n 19
H. Tes Formatif 1 20
KEGIATAN BELAJAR 2. PENGELOLAAN ASET EKS BANK
DALAM LIKUIDASI
A. Pengantar 22
B. Kondisi Sebelum Penyerahan Ke Pemerintah (Departemen
Keuangan) 23
C. Kondisi Saat Ini (Setelah Diserahkan Ke Pemerintah) 30
D. Latihan 32
E. Rangkuman 33
F. Tes Formatif 2 33
KEGIATAN BELAJAR 3. PENGELOLAAN ASET EKS
KEPABEANAN (BEA DAN CUKAI)
A. Dasar Hukum terkait Pengelolaan Aset eks Kepabeanan (Bea dan
Cukai) 35
B. Latar
Belakang 35
C. Barang Yang Menjadi Milik Negara 37
D. Penyelesaian Barang yang Menjadi Milik Negara eks Kepabeanan
(Bea dan Cukai) 39

ii
E. Karakteristik Barang yang Menjadi Milik Negara eks Kepabeanan
(Bea dan Cukai) 42
F. Contoh Kasus Peruntukan Barang eks Kepabeanan (Bea dan
Cukai) 42
G. Latihan 44
H. Rangkuman 44
I. Tes Formatif 3 45
KEGIATAN BELAJAR 4. PENGELOLAAN ASET EKS
KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA (KKKS)
A. Pengantar 47
B. Dasar Hukum 47
C. Barang Milik Negara 48
D. Kontraktor Kontrak Kerja Sama 49
E. Pengelolaan Barang Milik Negara eks KKKS 52
F. Karakteristik Barang Milik Negara eks KKKS 53
G. Latihan 54
H. Rangkuman 55
I. Tes Formatif 4 55
KEGIATAN BELAJAR 5. PENGELOLAAN ASET EKS BARANG
RAMPASAN
A. Pengantar 57
B. Dasar Hukum 57
C. Barang Milik Negara 58
D. Pengelolaan Barang Rampasan 59
E. Karakteristik Barang Rampasan 61
F. Latihan 64
G. Rangkuman 64
H. Tes Formatif 5 65
KEGIATAN BELAJAR 6. PENGELOLAAN ASET BEKAS MILIK
ASING/CINA
A. Pengantar 66
B. Tujuan Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina 68
C. Penelitian Kronologis/Riwayat Tanah Aset Bekas Milik Asing/Cina 69
D. Penelitian Masalah Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina dan
Lembaga yang Melakukannya 69
E. Petunjuk Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina 71
F. Latihan 74
G. Rangkuman
H. Tes Formatif 6
74
75
KEGIATAN BELAJAR 7. PENGELOLAAN BENDA BERHARGA
ASAL MUATAN KAPAL TENGGELAM (BMKT)
A. Pengantar 77
B. Pengertian Barang Milik Negara dan Pengelolaannya 79
C. Pemanfaatan Barang Muatan Asal Kapal Tenggelam Untuk 80

iii
Kepentingan Ekonomis
D. Prosedur dan Mekanisme Lelang BMKT 81
E. Penutup 82
F. Latihan 83
G. Rangkuman 83
H. Tes Formatif 7 84
KONDISI TERKINI DAN UPAYA PENGELOLAAN KNL 85
DAFTAR PUSTAKA 89

iv
PENDAHULUAN
A. Gambaran Umum
Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain (KNL) Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan
Negara mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan
teknis, dan evaluasi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain, membina dan
melaksanakan penyusunan daftar kekayaan negara lain-lain, penatausahaan, inventarisasi,
pengawasan, pertanggungjawaban, pelaporan kekayaan negara lain-lain berdasarkan
kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat KNL Ditjen Kekayaan Negara
menyelenggarakan fungsi penyiapan rumusan kebijakan dan standardisasi di bidang
pengelolaan kekayaan negara lainnya sebagai akibat adanya ketentuan, penetapan atau
pengalihan aset sebagai kekayaan negara yang dikelola Menteri Keuangan antara lain aset
eks BPPN, aset nasionalisasi atau Bekas Milik Asing/Cina, benda cagar budaya, harta
karun, barang tidak bertuan, barang sitaan, hak atas bumi, air dan tata ruang angkasa, hak
atas kekayaan intelektual dan aset lainnya.
Lingkup dari KNL adalah aset eks BPPN, aset nasionalisasi atau Bekas Milik
Asing/Cina, benda cagar budaya, harta karun, barang tidak bertuan, barang sitaan, hak
atas bumi, air dan tata ruang angkasa, hak atas kekayaan intelektual dan aset lainnya.
Namun dalam modul ini dibagi ke dalam beberapa jenis aset, yaitu aset eks Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), eks
kepabeanan (bea dan cukai), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks barang
rampasan, Bekas Milik Asing/Cina, dan Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam
(BMKT).
Pada modul ini kita akan membahas 7 (tujuh) topik, Pengelolaan Aset Eks BPPN,
Pengelolaan Aset Eks Bank Dalam Likuidasi, Pengelolaan Aset Eks Kepabeanan (Bea
dan Cukai), Pengelolaan Aset Eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), Pengelolaan
Aset Eks Barang Rampasan, Pengelolaan Aset Bekas Milik Asing/Cina, dan Pengelolaan
Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Topik-topik ini akan dibahas
dalam tujuh Kegiatan Belajar. Dalam setiap kegiatan belajar, kita akan mendiskusikan
segala sesuatu yang terkait dengan topik tersebut. Disamping itu, untuk memudahkan
Anda memahami materi bahasan, dalam setiap kegiatan belajar Anda akan diberi
kesempatan mengerjakan latihan. Kerjakan latihan yang diberikan. JIka Anda belum
dapat mengerjakan latihan dengan benar, ulangi mempelajari bagian yang belum Anda

1
kuasai. Disamping latihan, setiap Kegiatan Belajar dilengkapi dengan rangkuman yang
merupakan intisari dari topik yang dibahas pada kegiatan belajar tersebut. Rangkuman
dapat Anda manfaatkan sebagai acuan pemahaman Anda terhadap materi yang dibahas.
Jangan lupa untuk mengerjakan Tes Formatif yang diberikan di akhir setiap Kegiatan
Belajar. Tes Formatif diberikan untuk mengukur sampai sejauh mana pemahaman Anda
terhadap materi yang dibahas.

B. Tujuan Instruksional Umum


Setelah mempelajari modul Pengelolaan Kekayaan Negara Lain-lain, Anda diharapkan
mampu menerapkan konsep pengelolaan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), eks kepabeanan (Bea dan Cukai), eks
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks barang rampasan, Bekas Milik Asing/Cina,
dan Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) dan menyelesaikan masalah aset
eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), eks Bank Dalam Likuidasi (BDL),
eks kepabeanan (Bea dan Cukai), eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks
barang rampasan, Bekas Milik Asing/Cina, dan Benda Berharga Muatan Kapal
Tenggelam (BMKT).

C. Tujuan Instruksional Khusus :


Secara spesifik, setelah menyelesaikan modul ini, Anda diharapkan mampu :
1. Menjelaskan dasar hukum pengelolaan aset eks Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), eks kepabeanan (Bea dan
Cukai), eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks barang rampasan, Bekas
Milik Asing/Cina, dan Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
2. Menjelaskan jenis/variasi aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),
eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), eks kepabeanan (Bea dan Cukai), eks Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks barang rampasan, Bekas Milik Asing/Cina, dan
Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).dan Dasar Penguasaannya.
3. Menjelaskan tujuan penyelesaian masalah aset eks Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN), eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), eks Kepabeanan (Bea dan
Cukai), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks barang rampasan, Bekas Milik
Asing/Cina, dan Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam (BMKT).
4. Menjelaskan petunjuk penyelesaian yang dapat diterapkan terhadap aset eks Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), eks

2
kepabeanan (Bea dan Cukai), Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), eks barang
rampasan, Bekas Milik Asing/Cina, dan Benda Berharga Muatan Kapal Tenggelam
(BMKT).

Berikut ini petunjuk untuk memudahkan Anda mempelajari materi dalam modul
Pengelolaan Kekayaan Negara Lain-lain.
1. Baca pendahuluan sertiap modul dengan cermat sebelum membaca materi kegiatan
belajar
2. Baca materi kegiatan belajar dengan cermat, jika dalam kegiatan belajar diberikan
contoh, cobalah untuk mencari contoh dari pengalaman Anda sendiri
3. Kerjakan latihan sesuai dengan petunjuk yang diberikan. JIka kunci latihan
disediakan, jangan melihat kunci latihan sebelum mengerjakan latihan
4. Buat rangkuman dan bandingkan rangkuman yang Anda buat dengan rangkuman yang
disediakan.
5. Kerjakan tes formatif dengan jujur. Jangan melihat kunci sebelum Anda selesai
mengerjakan tes formatif.

Selamat belajar.

3
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGELOLAAN ASET EKS BPPN

A. Pengantar
Krisis moneter yang diikuti memburuknya kondisi perbankan nasional mendorong
Pemerintah dan bank Indonesia (BI) melakukan serangkaian kebijakan, yaitu pemberian
Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), Program Penjaminan Pemerintah,
pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dan rekapitalisasi
perbankan. Selama periode 1997-1999, BI telah menyalurkan BLBI kepada 48 bank
dengan jumlah, per posisi tanggal 29 Januari 1999, sebesar Rp.144.536 milyar. Dari
jumlah tersebut, sebesar Rp.98.754 milyar (68,32%) diantaranya diterima oleh empat
bank besar: Bank Central Asia (BCA) sebesar Rp.26.596 milyar, Bank Danamon
Indonesia (BDI) sebesar Rp.23.050 milyar, Bank Umum Nasional (BUN) sebesar
Rp.12.068 milyar, dan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sebesar Rp.37.040 milyar.
Pada tahun 1999, piutang BLBI tersebut, sesuai kesepakatan Pemerintah dan BI,
dialihkan kepada Pemerintah. Sebagai gantinya Pemerintah menerbitkan Surat utang
sebesar jumlah tersebut kepada BI.
Untuk menyehatkan industri perbankan nasional, Pemerintah telah memutuskan
beberapa kebijakan strategis sebagai berikut.
1. Melikuidasi beberapa bank swasta (Bank Dalam Likuidasi);
2. Menjamin simpanan masyarakat di bank (program
penjaminan pemerintah);
3. Membekukan usaha sejumlah bank swasta nasional (Bank
Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha);
4. Mengambilalih (take over) dan merekapitalisasi beberapa
bank swasta;
5. Rekapitalisasi dan merger bank badan usaha milik negara
(bank BUMN);
6. Rekapitalisasi Bank Pembangunan Daerah (BPD); dan
7. Rekapitalisasi bank bank swasta (bank rekap) dengan
bantuan modal dari Pemerintah.
Dana yang digunakan untuk melakukan penyehatan industri perbankan tersebut
diperoleh dari konversi tagihan BLBI pada beberapa bank yang diambil alih pemerintah
(Bank Take Over) dan penerbitan Surat Utang Pemerintah (Obligasi Rekapitalisasi dan

4
Obligasi Penjaminan). Dana yang telah disalurkan untuk mengatasi krisis perbankan
tersebut adalah sebesar Rp.647.130 milyar, yang terdiri dari BLBI sebesar Rp.144.536
milyar, Obligasi Rekapitalisasi sebesar Rp.448.814 milyar yang terdiri dari bank BUMN
sebesar Rp.282.319 milyar, Bank Pembangunan Daerah sebesar Rp.l.230 milyar, dan
bank-bank swasta (BTO dan bank rekap) sebesar Rp.165.265 milyar, serta Obligasi
Penjaminan sebesar Rp.53.780 milyar.

B. Terbentuknya BPPN
Upaya pengembalian uang negara sebesar Rp.647.130 milyar menjadi salah satu
tugas pokok BPPN, yang dibentuk dengan Keppres Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 27
Januari 1998 dan kewenangannya diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 tentang Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (PP 17/1999).
Tugas pokok BPPN sesuai dengan PP 17/1999 meliputi tiga hal berikut ini.
1. Penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh BI.
2. Penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit
Pengelolaan Aset.
3. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank
melalui penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR).
Selain itu, BPPN juga bertugas melaksanakan Program Penjaminan Pemerintah
sesuai dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1998. Dalam melaksanakan tugas-tugas
tersebut, ada beberapa kegiatan dan keputusan yang berada di luar kendali BPPN, yaitu:
1. penyaluran BLBI dan penilaian kewajaran jaminan BLBI;
2. penetapan bank-bank swasta yang akan dibekukan, diambil alih oleh pemerintah atau
direkapitalisasi dengan bantuan modal pemerintah;
3. pemilihan jenis dan kualitas aset bank-bank yang akan dialihkan kepada BPPN, baik
dari bank swasta maupun bank milik pemerintah;
4. rekapitalisasi bank milik pemerintah dan bank milik pemerintah daerah, dengan biaya
sebesar Rp.283.549 milyar;
5. penagihan tagihan BLBI eks Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp.11.889 milyar;
dan
6. pembayaran klaim program penjaminan yang dikuasakan oleh Menteri Keuangan
kepada BI sebesar Rp.12.508 milyar.

5
Menurut Anda, bagaimana pengaruh keterbatasan ruang gerak BPPN ini terhadap
kinerja BPPN? Tuliskan jawaban Anda pada kotak di bawah ini.

Pengaruh keterbatasan ruang gerak BPPN terhadap kinerja BPPN:

Dari uang negara yang disalurkan untuk penyehatan perbankan sebesar Rp.647.130
milyar, sebesar Rp.621.553 milyar (96,05%) upaya pengembaliannya ditugaskan kepada
BPPN yang meliputi penyelesaian tagihan BLBI sebesar Rp.132.647 milyar (jumlah
BLBI sebesar tagihan Rp.144.536 milyar dikurangi dengan BLBI ex BDL yang dialihkan
kembali ke Departemen Keuangan sebesar Rp.11.889 milyar), obligasi untuk biaya
rekapitalisasi BTO dan Bank Rekap Swasta sebesar Rp.165.265 milyar, obligasi
rekapitalisasi bank Pemerintah sebesar Rp.282.319 milyar, Obligasi Rekapitalisasi Bank
Pembangunan Daerah sebesar Rp.1.230 milyar dan penggunaan dana penjaminan sebesar
Rp.40.092 milyar (jumlah dana penjaminan sebesar Rp.53.780 milyar dikurangi saldo
yang belum digunakan per 27 Februari 2004 sebesar Rp.13.688 milyar).

C. Pembubaran BPPN
Berdasarkan Keppres Nomor 15 Tahun 2004, BPPN dinyatakan selesai
melaksanakan tugasnya pada tanggal 27 Februari 2004 dan dinyatakan bubar pada
tanggal 30 April 2004. Sehubungan dengan pembubaran BPPN tersebut, Menteri
Keuangan RI meminta bantuan BPK-RI untuk melakukan Pemeriksaan Laporan
Pertanggungjawaban BPPN yang terdiri dari Laporan Keuangan dan Laporan
Pelaksanaan Tugas.
Sebelum pemeriksaan atas Laporan Pertanggungjawaban BPPN sebagaimana
diminta oleh Menteri Keuangan, BPK-RI telah melakukan beberapa kegiatan
pemeriksaan sejak tahun 1999 sampai tahun 2004 pada BI, BPPN, dan bank-bank yang
terkait, dengan rincian sebagai berikut.

6
1. BPK-RI melaksanakan pemeriksaan investigasi, yang bertujuan untuk menguji adanya
Tindak Pidana Korupsi (TPK) dalam penyaluran dan penggunaan BLBI, terhadap 48
bank penerima BLBI per posisi tanggal 29 Januari 1999 dengan nilai Rp.144.536.095
juta.
2. BPK-RI telah melakukan pemeriksaan atas pengelolaan jaminan BLBI yang diterima
BPPN dari BI. Berdasarkan laporan yang telah diterbitkan oleh BPK, hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa estimasi nilai komersial seluruh hak jaminan yang
diterima BPPN (sebesar Rp.129.418.547 juta) dari BI adalah Rp.12.346.177 juta
(9,54% dari jumlah BLBI yang di disalurkan per posisi 29 Januari 1999). Hal tersebut
disebabkan sebagian besar jaminan dialihkan dari BI ke BPPN tidak mempunyai nilai
komersial.
3. BPK-RI telah melaksanakan pemeriksaan atas PKPS sebanyak 2 (dua) tahap. Pada
Tahap I, berdasarkan laporan yang telah diterbitkan oleh BPK-RI melakukan
pemeriksaan kewajaran Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) atas 12 eks
Pemegang Saham Pengendali (PSP) 10 bank sebesar Rp.115.732.664 juta. Hasil
pemeriksaan BPK-RI menunjukkan bahwa JKPS yang disepakati pemegang saham
dan BPPN lebih rendah sebesar Rp.4.529 milyar. Pada Tahap II, berdasarkan laporan
yang telah diterbitkan oleh BPK RI pada PKPS Tahap II terhadap 21 bank dengan
JKPS sebesar Rp.15.415 milyar, BPPN menetapkan lebih rendah sebesar Rp.4.455
milyar.
4. BPK-RI melaksanakan pemeriksaan secara sampling atas pengelolaan kredit terhadap
4 obligor terbesar, yakni Texmaco, Humpuss, Argo Pantes, dan Bakrie Group.
Berdasarkan laporan yang telah diterbitkan oleh BPK RI, hasil pemeriksaan
menunjukkan antara lain proses restrukturisasi yang tidak sesuai peraturan yang
berlaku, pembuatan skema restrukturisasi tidak memaksimalkan tingkat pengembalian
dari hasil restrukturisasi, terdapat penghapusan piutang yang diberikan keada debitur
yang tidak layak mendapatkannya dan tidak adanya batas waktu untuk proses
restrukturisasi sehingga terdapat proses yang berlarut-larut.
5. Atas permintaan BPPN, BPK-RI juga melakukan pemeriksaan atas pengadaan jasa
konsultan. Berdasarkan laporan yang telah diterbitkan oleh BPK RI, diketahui bahwa
prosedur pengadaan dan pembayaran jasa konsultan kurang memadai, sehingga
terdapat pembayaran jasa konsultan yang tidak wajar.
6. BPK-RI telah melaksanakan pemeriksaan atas Program Penjaminan Pemerintah (PPP)
yang telah dibayarkan oleh BPPN dan BI dari Rekening Nomor 502.000.002.

7
Berdasarkan laporan yang telah diterbitkan oleh BPK RI menunjukkan pembayaran.
kewajiban bank umum yang dinilai tidak sah adalah sebesar Rp.21.563 milyar, yaitu
pada BI sebesar Rp.17.763 milyar dan pada BPPN sebesar Rp.4.072 milyar. Hal ini
disebabkan karena kewajiban tidak tercatat dalam pembukuan bank, kesalahan
perhitungan, tidak didukung dengan bukti yang memadai, nasabah masih memiliki
kewajiban pada bank di bawah BPPN, suku bunga lebih tinggi dari ketentuan PPP,
kewajiban berasal dari transaksi yang tidak wajar, dan nasabah merupakan pihak
terkait dengan bank.
Pemahaman atas operasi dan unsur-unsur sistem pengendalian manajemen BPPN
menunjukkan bahwa BPPN tidak mempunyai kontrol terhadap penetapan bank-bank yang
akan disehatkan karena keputusan tersebut sepenuhnya ada pada Pemerintah dan BI.
Demikian pula BPPN tidak mempunyai kesempatan untuk menilai dan/atau memilih
terlebih dahulu aset yang akan dialihkan oleh bank kepada BPPN. Dengan demikian
BPPN tidak mempunyai kendali terhadap penilaian atas validitas input dalam proses
penyehatan bank dan restrukturisasi aset. Dengan kelemahan kontrol dimaksud, maka
pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan proses, yaitu BPK-RI menilai pelaksanaan
tugas BPPN untuk mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pendekatan output, seperti penilaian tingkat pemulihan (recovery rate) tidak digunakan
sebagai pendekatan utama karena terkendala dengan adanya kondisi signifikan
sebagaimana disebutkan di atas. Namun, atas aset yang diserahkan Pemegang Saham (PS)
dalam rangka Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), dapat diuji validitas
dan kualitas aset yang diserahkan.
Kita telah mendiskusikan alasan pembentukan dan pembubaran BPPN. Menurut
pendapat Anda, faktor apa yang paling dominan menyebabkan BPPN tidak berhasil
menyelesaikan mandat yang diberikan Pemerintah kepada BPPN? Jika diperlukan, Anda
dapat mendiskusikan pertanyaan ini dengan teman lain. Tuliskan pendapat Anda pada
kotak di bawah ini.

8
Faktor dominan yang menyebabkan BPPN tidak berhasil menyelesaikan mandat yang
diberikan Pemnrintah adalah:

Dasar hukum pengelolaan Aset eks BPPN adalah sebagai berikut.


1. Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional;
2. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pemberesan
Badan penyehatan Perbankan Nasional;
4. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
5. Kepmenkeu Nomor 85/KMK.01/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Penanganan Penyelesaian Tugas-tugas Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah dan Penjaminan Pemerintah
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat Sebagaimana Telah
Diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/2006.
6. Kepmenkeu Nomor 1045/KMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan/Prosedur
Operasi Standar Tim Kerja Administrasi Aset dan Kearsipan Tim Koordinasi
Penanganan Penyelesaian Tugas-tugas Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah dan Penjaminan Pemerintah
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

D. Review Performa BPPN


Pemeriksaan atas pelaksanaan tugas BPPN dimaksud bertujuan untuk menilai
kinerja BPPN yang meliputi kepatuhan terhadap ketentuan dan kebijakan yang telah
ditetapkan, kehematan biaya penyehatan bank dan efektivitas pelaksanaan tugas pokok.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka Pemeriksaan diarahkan pada area-area
kunci melalui indikator-indikator kinerja pada pelaksanaan tugas pokok BPPN
sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999, yaitu
untuk melakukan:
1. Penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh BI;
2. Penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit
Pengelolaan Aset;

9
3. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank
melalui penyelesalan Aset Dalam Restrukturisasl (ADR). Selain itu BPPN juga
bertugas melaksanakan Program Penjaminan Pemerintah (PPP) sesuai dengan
Keppres Nomor 26 Tahun 1998.

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan tugas


BPPN, yaitu:
1. Penyehatan Bank
Tugas pertama BPPN adalah melakukan penyehatan bank yang ditetapkan dan
diserahkan oleh BI kepada BPPN, yang selanjutnya disebut Bank Dalam Penyehatan
(BDP). Jumlah bank yang dikelola oleh BPPN adalah 72 bank yang terdiri 65 BDP dan 7
Bank Umum Peserta Rekapitalisasi (Bank Rekap). BDP terdiri dari 13 Bank Take Over
(BTO), 10 bank Beku Operasi (BBO) dan 42 bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU).
Penyehatan bank hanya dilakukan oleh BPPN terhadap 20 bank yaitu 13 BTO dan 7
Bank Rekap, termasuk diantaranya merger Bank Danamon dengan 9 (sembilan) BTO
lainnya dan merger Bank Bali dengan 4 Bank Rekap menjadi Bank Permata. Dengan
demikian dari 20 bank yang telah mengikuti program penyehatan oleh BPPN, saat ini
yang masih menjadi 7 yaitu Bank BCA, Bank Danamon Indonesia, Bank Niaga, Bank
Permata, Bank Lippo, Bank BII dan Bank Bukopin.
Sedangkan terhadap 52 bank lainnya yaitu 10 BBO dan 42 BBKU, BPPN bertugas
melakukan penyelesaian aset dan kewajiban bank, untuk selanjutnya BPPN mengusulkan
kepada BI agar mencabut izin usaha BB0/BBKU. Setelah ijin usaha bank dicabut oleh BI,
selanjutnya BPPN melikuidasi BBO/BBKU tersebut.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pelaksanaan penyehatan perbankan telah
dilakukan oleh BPPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Biaya rekapitalisasi, termasuk biaya
rekapitalisasi merger Bank Danamon dan Bank Permata, yang menjadi beban Pemerintah
adalah sebesar Rp.141.032 milyar. Dari beban pemerintah tersebut, biaya
rekapitalisasi/merger beban Pemerintah tidak hemat sebesar Rp.7.099 milyar (5,03%) dari
keseluruhan biaya rekapitalisasi/merger sebesar Rp.141.032 milyar. Kinerja bank pasca
penyehatan (rekapitalisasi) terus menunjukkan peningkatan menjadi bank sehat, yang
berarti rekapitalisasi bank telah efektif mencapai tujuan yaitu untuk menyehatkan bank-
bank tersebut sehingga dapat menjalankan fungsi intermediasinya sebagaimana yang
diharapkan oleh Pemerintah. Selain itu, kepemilikan pemerintah pada bank-bank tersebut

10
telah dlallhkan kepada pihak lain yang mempunyai visi dan kemampuan berkelanjutan
untuk menjalankan dan menggerakkan roda perekonomian melalui program divestasi
saham pemerintah yang dilakukan oleh BPPN.

2. Penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR)


Penyelesaian ADR meliputi serangkaian kegiatan dari mulai pengalihan aset kredit
dari bank asal ke BPPN, restrukturisasi aset kredit dan penyelesaian aset bermasalah.
Pemeriksaan atas penyelesaian ADR difokuskan pada restrukturisasi aset kredit, dengan
tujuan untuk menilai efektivitas BPPN dalam melakukan restrukturisasi kredit serta
kepatuhan terhadap peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah.
Pemeriksaan restrukturisasi kredit diarahkan pada Program Percepatan (crash program)
pelunasan kredit skala retail/UKM, penagihan kredit skala komersial dan restrukturisasi
kredit skala korporasi.
Berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban BPPN (LPJ BPPN) per 27 Februari dan 30
April 2004, diketahui bahwa kredit yang diterima dari Bank Asal (BBO/BBKU, BTO dan
Bank Rekap) adalah sebesar Rp.346.719 milyar (perincian ada pada Tabel 1).

Tabel 1. Kredit yang Diterima dari Bank Asal


Tagihan Pokok
Rekening % Debitur % %
(Juta Rp.)
UKM/Retail 313.760 83,98 294.414 98,70% 29.367.137 8,47
Komersil 7.239 1,94 1.996 0,67% 27.009.519 7,79
Korporasi 52.626 14,09 1.867 0,63% 290.342.405 83,74
Jumlah 373.625 100,00 298.277 100,00% 346.719.061 100
Catatan : Kurs berdasarkan saat aset dialihkan
Aset kredit tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut :
n Kategori Korporasi Utang sebesar, Rp.50 miliar ke atas
n Kategori Komersial Utang sebesar Rp.5 miliar s.d. Rp.50 miliar
n Kategori UKM/Retail Utang sampai dengan Rp.5 miliar
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dengan kualitas inputan yang rendah:
Dari 4264 debitur skala korporasi senilai Rp.416.290 miliar, BPPN telah berhasil
merestrukturisasi terhadap 3.890 debitur senilai Rp.295.225 milyar (70,921%).
Dari 1.326 debitur skala komersil senilai Rp.16.812 milyar yang diserahkelolakan
oleh BPPN kepada pihak ketiga (outsourcing) yang berhasil direstrukturisasi
sebanyak 225 debitur senilai Rp.3.394 miliar (29,88%). Sisanya sebanyak 1.101

11
debitur senilai Rp.13.305 miliar dilanjutkan pengelolaannya oleh BPPN dengan
tingkat penyelesaian mencapai 922 debitur senilai Rp.11.053 miliar (83,74%).
Dari 70.111 debitur skala retail/UKM senilai Rp.5,906 milyar yang mengikuti
program percepatan pelunasan, hanya 26.695 debitur senilai Rp.3.672 milyar yang
melunasi kewajibannya (62,17%), sedangkan sisanya bersikap pasif dan tidak
melunasi kewajibannya (gagal bayar).

3. Upaya pengembalian Uang Negara yang telah Disalurkan Ke Bank


Upaya pengembalian uang negara yang telah disalurkan kepada bank-bank dilakukan
oleh BPPN melalui program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS),
penjualan aset bank, penjualan aset eks pemegang saham yang diserahkan ke BPPN
dalam rangka PKPS, dan penjualan (divestasi) saham Pemerintah/BPPN.
a. Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham
Pemeriksaan atas PKPS ditujukan untuk menilai apakah pelaksanaan PKPS telah
mengikuti ketentuan yang berlaku dan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah serta
apakah PKPS yang dilakukan oleh BPPN telah efektif sebagai Upaya pengembalian uang
negara. Pemeriksaan tersebut mencakup perhitungan Jumlah Kewajiban Pemegang
Saham (JKPS), penyerahan aset oleh pemegang saham kepada BPPN, pengelolaan aset
eks PS dan implementasi perjanjian PKPS, baik untuk PKPS pola Master Settlement and
Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement
(MRNIA) maupun pola Akta Pengakuan Utang (APU).
Sampai dengan akhir masa tugasnya BPPN telah melakukan PKPS 32 bank dengan
jumlah Obligor 39 orang dengan jumlah kewajiban pemegang saham sebesar Rp.132.048
milyar. Dari jumlah tersebut PKPS yang berhasil diselesaikan adalah 21 obligor dengan
jumlah kewajiban sebesar Rp.96,65 milyar (73,19%) sedangkan PKPS yang tidak berhasil
diselesaikan adalah 18 obligor dengan nilai kewajiban sebesar Rp.35,40 milyar (26,81%).
Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa PKPS telah dilaksanakan oleh BPPN sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebijakan pemerintah yang telah
ditetapkan. Pelaksanaan PKPS pola MSAA dan APU telah dilaksanakan secara efekif.
Namun pada PKPS pola MRNIA, penyerahan aset dari 2 (dua) pemegang saham, yaitu
Kaharudin Ongko (PS eks Bank Umum Nasional/BUN) dan Samadikun Hartono (PS eks
Bank Modern) kepada BPPN tidak berjalan dengan efektif dan belum dapat diselesaikan
sampai dengan pembubaran BPPN tanggal 30 April 2004. Sedangkan penyelesaian PKPS
APU atas 7 PS dilanjutkan penanganannya ke Tim Pemberesan BPPN (TP-BPPN) dan

12
dilanjutkan oleh Departemen Keuangan sesuai ketentuan Keppres 9 Tahun 2006.
b. Penjualan Aset
Pemeriksaan penjualan aset selain untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan dan
kebijakan pemerintah juga bertujuan untuk menilai transparansi dan efektivitas penjualan
aset. Realisasi penjualan aset (aset kredit, aset non kredit, aset eks PS dan divestasi
saham) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Realisasi Penjualan Aset
(Dalam juta Rp.)
Nilai Buku Hasil Penjualan
No. Jenis Aset %
(Rp.) (Rp.)
1 Aset Kredit 260.849.066 48.451.660 18,57
2 Aset Properti 4.109.427 5.051.777 122,93
3 Aset Saham Bank 105.710.436 20.056.420 18,97
4 Aset eks PS - - -
c. Program Penjaminan Simpanan
Premi penjaminan yang diterima BPPN selama periode 1998 s.d. 2004 adalah sebesar
Rp.11.089.866 juta, sedangkan setoran premi penjaminan oleh BPPN ke Kas Negara
adalah sebesar Rp.11.109.918juta. Dengan demikian jumlah setoran BPPN atas
penerimaan lebih besar Rp.20.052 juta. Hal ini terjadi karena sebagian dana penerimaan
premi sebelum disetor ke kas negara ditempatkan pada beberapa bank dan menghasilkan
bunga. Bunga ini kemudian disetorkan ke Kas Negara yang merupakan bagian dari
setoran atas penerimaan premi.
Hasil pemeriksaan premi penjaminan menunjukkan bahwa: (i) beberapa Bank Peserta
PPP membayar premi penjaminan tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya dan
diantaranya belum melunasi denda premi sebesar Rp.133,35 milyar; (ii) beberapa Bank
Peserta PPP membayar premi penjaminan tidak sesuai dengan waktu yang ditetapkan dan
terlambat menyampaikan Laporan Keuangan Bulanan (LK Bulanan). Beberapa bank
diantaranya belum melunasi denda keterlambatan pembayaran premi sebesar Rp.15,05
milyar dan membayar denda keterlambatan penyampaian LK Bulanan periode April 2003
s.d. Pebruari 2004 sebesar Rp.1,51 milyar.
d. Recovery Rate
Upaya pengembalian uang negara yang ditugaskan kepada BPPN adalah sebesar
Rp.621.553 milyar (96,05%) dari seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membiayai krisis
perbankan, yang meliputi penyelesaian tagihan BLBI sebesar Rp.132.647 milyar (jumlah
BLBI sebesar Rp.144.536 milyar dikurangi dengan BLBI ex BDL yang dialihkan kembali

13
ke Departemen Keuangan sebesar Rp.l 1.889 milyar), obligasi untuk biaya rekapitalisasi
BTO dan Bank Rekap Swasta sebesar Rp.165.265 milyar, obligasi rekapitalisasi bank
Pemerintah sebesar Rp.282.319 milyar, Obligasi Rekapitalisasi Bank Pembangunan
Daerah sebesar Rp.1.230 milyar dan penggunaan dana penjaminan sebesar Rp.40.092
milyar. Sampai dengan 30 April 2004, penerimaan tunai/obligasi (recovery) dari bank-
bank tersebut adalah sebesar Rp. 188.884 milyar.
Jumlah seluruh penerimaan yang diperoleh oleh BPPN adalah sebesar Rp.188.884 milyar,
meliputi penerimaan dalam rangka penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR)
sebesar Rp.168.781 milyar dan penerimaan di luar penyelesaian Aset Dalam
Restrukturisasi (ADR) sebesar Rp.20.103 milyar, yaitu penerimaan premi penjaminan
sebesar Rp.11.090 milyar, pengembalian kelebihan Uang Muka Penyertaan Modal Negara
(PMN) sebesar Rp.5.044 milyar dan hasil penjualan NPL Bank Rekap dan BPD sebesar
Rp.3.969 milyar.
Recovery uang negara dari hasil penerimaan BPPN sebesar Rp.188.884 milyar
dibandingkan dengan uang negara yang disalurkan dan dikelola oleh BPPN sebesar
Rp.621.553 milyar adalah 30,39%.
Recovery tersebut belum memperhitungkan bunga Obligasi dan Surat Utang Pemerintah
yang sudah dibayar oleh Pemerintah kepada pemegang Obligasi, divestasi saham
pemerintah pada Bank BUMN/BPD, dan nilai wajar sisa aset BPPN per 30 April 2004
sebesar Rp.18.805 milyar berdasarkan valuasi internal BPPN.

E. Penutup
Dasar pembentukan BPPN adalah berdasarkan Pasal 37A Undang-undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang
menetapkan bahwa:
1. apabila menurut penilaian BI terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional, atas permintaan BI, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang
bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
2. badan khusus tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang
ditetapkan dan diserahkan oleh BI kepada badan dimaksud. Yang dimaksud dengan
kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional adalah suatu
kondisi sistem perbankan yang menurut penilaian BI terjadi krisis kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak.

14
Menurut ketentuan ini, atas piutang bank terhadap pihak ketiga yang diambil-alih
oleh badan khusus, badan khusus tersebut dapat melakukan tindakan penagihan piutang
dengan penerbitan Surat Paksa, dengan berdasarkan pada catatan utang debitor yang
bersangkutan pada bank dalam program penyehatan.
Surat Paksa ini berkepala kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan
penagihan piutang tidak diindahkan oleh pihak berhutang, badan khusus tersebut dapat
melakukan penyitaan atas harta kekayaan milik pihak yang berhutang tersebut, dan
selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas harta pihak yang berhutang dalam rangka
pengembalian piutang dimaksud. Harta yang tidak dapat disita meliputi perlengkapan
rumah tangga, buku-buku, dan peralatan kerja untuk kelangsungan hidup dari yang
berhutang. Walaupun badan khusus ini diberi kewenangan untuk melakukan penagihan
paksa, tata cara pelaksanaan penagihan paksa tersebut tetap memperhatikan aspek
kepastian hukum dan keadilan.
Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan perbankan pada saat itu adalah
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mempunyai tugas melakukan
Penyehatan Bank yang diserahkan oleh BI;
1. Penyelesaian aset Bank baik aset fisik maupun kewajiban debitor melalui Unit
Pengelola Aset (Aset Management Unit/AMU);
2. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank.
Eksistensi BPPN bersifat sementara. Pada tanggal 27 Februari 2004 Pemerintah
mengakhiri tugas dan membubarkan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun
2004 Tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan
Nasional. Selanjutnya, dalam rangka penyelesaian pengakhiran tugas BPPN Pemerintah
membentuk Tim Pemberesan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN. Ketua Tim Pemberesan tersebut adalah
Menteri Keuangan. Selain itu, untuk mengelola aset-aset Bank dalam program
penyehatan perbankan yang dulunya dikelola BPPN dan saat ini sudah tidak terkait
permasalahan hukum lagi, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
2004 telah membentuk suatu Perseroan Terbatas dengan nama PT. Perusahaan
Pengelolaan Aset (PT. PPA).
Tim Pemberesan BPPN (TP-BPPN) berakhir masa kerjanya pada akhir 2005.
Selanjutnya dibentuk tim yang meneruskan tugas-tugas TP-BPPN dengan dasar

15
Kepmenkeu Nomor 85/KMK.01/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan
Penyelesaian Tugas-tugas Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Unit
Pelaksana Penjaminan Pemerintah dan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/2006.
Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah pasca pembubaran BPPN adalah
sebagai berikut.
1. Pemerintah tetap melanjutkan penagihan kepada pemegang saham yang belum
menyelesaikan kewajibannya sesuai pejanjian MRNIA dan APU sampai dengan
pembubaran BPPN. Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah melakukan pengkajian
dan menetapkan sikap meneruskan pola out of court settlement atau menempuh
penyelesaian melalui pengadilan serta melalui Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN).
2. Pemerintah menginvetaris dan melakukan valuasi ulang atas sisa aset BPPN yang
belum dapat diselesaikan penanganannya sampai dengan pembubaran BPPN, baik
aset yang dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA) maupun aset-aset
lainnya yang dikelola oleh Menteri Keuangan. Nilai aset hasil valuasi aset dimaksud
seterusnya dilaporkan dan dibukukan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP).
3. Melakukan langkah-langkah strategis untuk menangani sisa aset eks BPPN, yang
sudah diserahkan kepada Departemen Keuangan, agar sisa aset tersebut dapat
memberikan manfaat dan kontribusi bagi APBN.
4. Sesuai ketentuan Keppres 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran
BPPN, Menteri Keuangan dapat menggunakan hasil audit LPJ BPPN oleh BPK
sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam melakukan penilaian.
Sesuai Keppres No.15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran
BPPN disebutkan bahwa dengan berakhirnya BPPN, segala kekayaan BPPN menjadi
kekayaan Negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan, dengan ketentuan :
1. Kekayaan Negara yang tidak terkait perkara, digunakan sebagai
berikut :
a. Penyertaan Modal Pemerintah dalam rangka pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di bidang pengelolaan aset, yang berupa sebagian atau seluruh inventaris
kantor kecuali tanah dan bangunan.
b. Dikelola oleh Perusahaan Perseroan (Persero) di bidang pengelolaan aset; atau

16
c. Dimanfaatkan oleh Pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan.
2. Kekayaan Negara yang terkait perkara, ditangani dengan cara
sebagai berikut :
a. Untuk kekayaan Negara yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan,
penanganannya dilakukan oleh Tim Pemberesan BPPN yang dibentuk dengan
Keputusan Presiden.
b. Untuk kekayaan Negara yang terkait dengan sita eksekusi Hak Tanggungan dan
sita eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

F. Latihan
1. Sebutkan dasar hukum terkait pengelolaan aset eks BPPN!
2. Jelaskan tugas-tugas Pokok BPPN!
3. Apakah langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah pasca pembubaran BPPN?
4. Jelaskan dasar hukum bahwa segala kekayaan BPPN merupakan kekayaan Negara!
5. Jelaskan kebijakan pengelolaan kekayaan Negara yang berasal dari kekayaan BPPN
sesuai Keppres No.15 Tahun 2004!

G. Rangkuman
BPPN dibentuk dengan Keppres Nomor 27 Tahun 1998 tanggal 27 Januari 1998
dan kewenangannya diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 tentang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (PP 17/1999). Tugas pokok BPPN sesuai dengan PP 17/1999
meliputi penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh BI, penyelesaian aset bank
baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelolaan Aset, dan
pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui
penyelesaian Aset Dalam Restrukturisasi (ADR).
Berdasarkan Keppres Nomor 15 Tahun 2004, BPPN dinyatakan selesai
melaksanakan tugasnya pada tanggal 27 Februari 2004 dan dinyatakan bubar pada
tanggal 30 April 2004. Selanjutnya, dalam rangka penyelesaian pengakhiran tugas BPPN,
Pemerintah membentuk Tim Pemberesan BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 16
Tahun 2004 Tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN. Ketua Tim Pemberesan
tersebut adalah Menteri Keuangan. Selain itu, untuk mengelola aset-aset Bank dalam
program penyehatan perbankan yang dulunya dikelola BPPN dan saat ini sudah tidak

17
terkait permasalahan hukum lagi, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 2004 telah membentuk suatu Perseroan Terbatas dengan nama PT. Perusahaan
Pengelolaan Aset (PT. PPA).
Tim Pemberesan BPPN (TP-BPPN) berakhir masa kerjanya pada akhir 2005.
Selanjutnya dibentuk tim yang meneruskan tugas-tugas TP-BPPN dengan dasar
Kepmenkeu Nomor 85/KMK.01/2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan
Penyelesaian Tugas-tugas Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Unit
Pelaksana Penjaminan Pemerintah dan Penjaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat Sebagaimana Telah Diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 239/KMK.01/2006.
Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah pasca pembubaran BPPN adalah tetap
melanjutkan penagihan kepada pemegang saham yang belum menyelesaikan
kewajibannya sesuai perjanjian MRNIA dan APU, melakukan pengkajian dan
menetapkan sikap meneruskan pola out of court settlement atau menempuh penyelesaian
melalui pengadilan serta melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), menginvetaris
dan melakukan valuasi ulang atas sisa aset BPPN yang belum dapat diselesaikan
penanganannya sampai dengan pembubaran BPPN, dan melakukan langkah-langkah
strategis untuk menangani sisa aset eks BPPN yang sudah diserahkan kepada Departemen
Keuangan, agar sisa aset tersebut dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi APBN.
Dengan berakhirnya BPPN, segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan Negara yang
dikelola oleh Menteri Keuangan, dengan ketentuan kekayaan negara yang tidak terkait
perkara, digunakan sebagai penyertaan modal pemerintah dalam rangka pendirian
perusahaan perseroan (persero) di bidang pengelolaan aset yang berupa sebagian atau
seluruh inventaris kantor kecuali tanah dan bangunan, dikelola oleh perusahaan perseroan
(persero) di bidang pengelolaan aset, atau dimanfaatkan oleh pemerintah dalam rangka
pelaksanaan tugas pemerintahan. Sementara kekayaan negara yang terkait perkara di
lembaga peradilan, penanganannya dilakukan oleh Tim Pemberesan BPPN yang dibentuk
dengan Keputusan Presiden, dan untuk kekayaan negara yang terkait dengan sita eksekusi
Hak Tanggungan dan sita eksekusi lainnya ditangani oleh Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN).

H. Tes Formatif 1
1. Dengan berakhirnya tugas dan dibubarkannya BPPN, maka aset eks BPPN dikelola
oleh .........

18
a. Menteri Dalam Negeri c. Menteri Keuangan
b. Dirjen Kekayaan Negara d. Badan Pertanahan Nasional
2. Aset eks BPPN yang terkait dengan perkara sita eksekusi hak tanggungan dan sita
eksekusi hak lainnya ditangani oleh ......
a. PT PPA b. TP BPPN c. TKAAK d. PUPN
3. Penanganan sisa aset eks BPPN antara lain, kecuali ......
a. dipakai sendiri oleh Pemerintah
b. sebagai penyertaan modal negara pada PT PPA
c. pembuatan akta cessie untuk aset saham yang telah
diverifikasi
d. diserahkelolakan ke PT PPA
4. Keppres No. 16 Tahun 2004 mengatur tentang ........
a. Pembentukan TKAAK c. Pembentukan TP BPPN
b. Pembubaran BPPN d. Pembentukan Tim Likuidasi
5. Dalam hal piutang negara yang berasal dari kekayaan Negara eks BPPN diserahkan
pengurusannya kepada PUPN, penyerah piutangnya adalah .......
a. Bank Asal c. BPPN
b. TP BPPN d. Menteri Keuangan

19
KEGIATAN BELAJAR 2
PENGELOLAAN ASET EKS BANK DALAM LIKUIDASI (BDL)

C. Pengantar
Sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam Pasal 37, BI
memerintahkan 16 Bank yang dilikuidasi pada tanggal 1 November 1997 untuk
mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) guna pembubaran Badan Hukum
Bank dan membentuk Tim Likuidasi. Tim Likuidasi (TL) yang telah terbentuk, sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999, mempunyai masa kerja 5 tahun. Namun
setelah berjalan 5 tahun, TL masih belum dapat menyelesaikan tugasnya dan kemudian
diperpanjang selama 6 bulan. Saat ini masa kerja TL tersebut telah berakhir.
Permasalahan timbul karena berakhirnya masa tugas TL tidak diikuti dengan penunjukan
Institusi yang bertugas menangani penyelesaian asset 16 Bank Dalam Likuidasi (BDL)
tersebut.
Berikut ini permasalahan yang berkaitan dengan 16 BDL.
1. Kewajiban 16 BDL telah diselesaikan/dibayar/di-bail out oleh Pemerintah, maka hasil
likuidasi setelah dikurangi ongkos-ongkos diserahkan kepada Pemerintah.
2. Total aset 16 BDL per 31 Oktober 1997 bernilai Rp.14,1 triliun, terdiri dari aktiva
tetap berupa tanah dan bangunan, serta asset kredit. Sementara itu, total kewajiban
dari 16 BDL tersebut sebesar Rp.15,69 triliun. Dalam perkembangannya sebagian aset
16 BDL telah dijual melalui mekanisme lelang sebesar Rp.2,3 triliun dan telah disetor
ke Kas Negara sebagai setoran BPPN. Asset 16 BDL tersebut sarat dengan
permasalahan hukum dan pencairannya mendapat halangan dari Pemiliknya.
3. Saat ini terdapat 280 gugatan/perkara di Pengadilan terhadap apa yang telah dilakukan
oleh Tim Likuidasi, sehingga perlu dipikirkan penanganan lebih lanjut terhadap
gugatan/perkara tersebut.
BI berpendapat bahwa penyelesaian 16 BDL bukan merupakan kewenangan BI
karena tugas BI hanya memerintahkan 16 BDL untuk melaksanakan RUPS dan
membentuk Tim Likuidasi, di samping tugas utamanya sebagai pengawas Bank/Tim
Likuidasi. Lebih lanjut BI menyatakan bahwa dana talangan yang telah dikeluarkan
dalam rangka likuidasi 16 bank merupakan dana milik Pemerintah sehingga BI tidak
memiliki kepentingan, namun hanya melaksanakan prosesi penyelesaian 16 BDL yaitu
dengan pembentukan Tim Likuidasi. Jika permasalahan ini terus berlarut-larut, maka nilai

20
aset akan menurun sehingga BI menyatakan bahwa pihaknya menyerahkan keputusan ini
pada Pemerintah, karena jika Pemerintah tidak bersedia menerima penyerahan aset, maka
dana talangan akan hilang.
Apabila dilakukan pengkajian lebih jauh, dana talangan yang sudah dibayar untuk
menyelesaikan kewajiban 16 BDL adalah merupakan Piutang Negara karena dana
talangan tersebut berasal dari APBN dan oleh karena itu dapat diserahkan pengurusannya
kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

C. Kondisi Sebelum Penyerahan Ke Pemerintah (Departemen Keuangan)


1. Penetapan Status BDL
Penetapan status bank untuk dilikuidasi/dicabut ijin usahanya adalah berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Keuangan. Pencabutan ijin usaha tersebut dilakukan
berdasarkan usulan BI. Tabel 3 merinci Surat Keputusan Menteri Keuangan untuk 14
bank tersebut.

Tabel 3. SK Menkeu tentang Pencabutan Ijin Usaha


Nomor dan Tanggal Surat Keputusan Menteri
No. Bank yang Dicabut Ijin Usahanya
Keuangan
1. Nomor 537/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Pacific
2. Nomor 531/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Sejahtera, Bank Umum
3. Nomor 529/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Harapan Santosa
4. Nomor 530/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Guna Intemasional
5. Nomor 525/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Industri
6. Nomor 526/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Anrico
7. Nomor 533/KMK.017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Jakarta
8. Nomor 536/KMK.017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank SEAR
9. Nomor 524/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Pinaesaan
10. Nomor 538/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Dwipa Semesta
11. Nomor 527/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Astria Raya
12. Nomor 534/KMK.017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Kosagrha Semesta
13. Nomor 535/KMK017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Mataram Dhanarta
14. Nomor 539/KMK.017/1997 Tgl. 1/11-1997 PT Bank Citrahasta D.
Sesuai dengan ketentuan yang ada, pada akhir masa tugasnya TL bertanggung
jawab kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Akan tetapi dalam pelaksanaan
tugas sehari-hari, TL juga harus menyelesaikan tagihan kepada debitur utamanya, yang
pada umumnya terkait dengan pemegang saham utama, antara lain dengan meminta
tambahan jaminan terhadap hutang-hutang mereka kepada bank yang telah berkategori
macet.

21
Selain itu, secara substansi tidak jelas siapa pemilik utama harta yang masih ada di
14 BDL, mengingat pada umumnya nilai kewajiban 14 BDL kepada Pemerintah berupa
saldo debet dan dana talangan rupiah lebih besar dari harta yang ada. Di samping itu, saat
ini BDL juga sedang menghadapi tuntutan dari kreditur yang merasa memiliki piutang
pada BDL, tetapi atas simpanan tersebut tidak tercatat dalam Laporan Keuangan
Penutupan BDL.
Dari sisi ketentuan perusahaan, harta tersebut adalah milik pemegang saham tetapi
dengan besarnya kewajiban kepada Pemerintah maka Pemerintah merupakan pihak yang
lebih berhak terhadap harta yang masih ada. Dengan kondisi ini, TL kurang memahami
bahwa harta yang masih ada seharusnya sudah menjadi bagian keuangan negara sehingga
seluruh kegiatan TL seharusnya lebih diarahkan terhadap kepentingan negara. Dalam
kenyataannya pemegang saham utama masih besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan
tugas TL sehari-hari yang dapat mengakibatkan tidak maksimalnya pengembalian harta
BDL kepada Negara.
Sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 1999 masa kerja TL telah berakhir pada tahun
2003 namun pada saat itu belum ada kejelasan mengenai status TL sedangkan proses
likuidasi belum selesai.
Tidak ada pihak yang secara efektif menjadi pengawas dan regulator bagi 14 BDL,
baik itu BI maupun Departemen Keuangan. Selama ini pihak BI hanya memantau posisi
aset dan kewajiban serta setoran kepada Negara dari BDL. Ketidakjelasan ini
mengakibatkan tidak adanya ketentuan dan/atau prosedur yang memadai dan secara tegas
mengatur pelaksanaan tugas TL terutama dalam melakukan pencairan aset dan
pembayaran kewajiban kepada Pemerintah.
Untuk kegiatan pencairan aset di 14 BDL selain kegiatan pencairan aset bank dan
jaminan yang diambil alih, juga terdapat pencairan aset milik pemegang saham, baik yang
diserahkan oleh pihak terkait dengan pemegang saham maupun aset yang berhasil disita
dari pemegang saham. Atas aset tersebut oleh TL dilakukan penyitaan dan dilakukan
penjualan proses lelang pengadilan. Pengurusan aset milik pemegang saham yang diambil
alih tersebut dilakukan dengan menggunakaan jasa konsultan hukum.
Selain ketidakjelasan tentang pihak yang menjadi pengawas BDL, juga terdapat
ketidakjelasan mengenai masa kerja TL BDL. Sesuai dengan ketentuan yang ada masa
kerja TL BDL pada umumnya adalah selama lima tahun sejak terbentuknya TL ditambah
dengan enam bulan. Pada akhir masa tugasnya TL harus menyusun NAL yang akan
dimintakan persetujan ke BI sebagai dasar RUPS dalam rangka pembubaran TL. Tetapi

22
sampai dengan lima tahun masa, kerja TL dan telah disusun NAL ternyata belum ada
persetujuan dari BI mengenai pelaksanaan RUPS dan sampai dengan akhir pemeriksaan
belum ada kejelasan mengenai status TL walaupun masa kerja TL sudah berakhir.
Berdasarkan monitoring atas pelaksanaan pemeriksaan pada BDL diketahui bahwa
selama ini pemeriksaan yang dilakukan oleh KAP adalah untuk menentukan posisi aset
dan kewajiban. Tidak ada audit yang ditujukan untuk menilai kinerja TL dan/atau
memberikan opini terhadap laporan keuangan BDL.

2. Pembentukan dan Komposisi Tim Likuidasi (TL)


TL BDL dibentuk berdasarkan Surat Keputusan BI dan dilaksanakan dengan Akta
Notaris. Sesuai dengan PP Nomor 25 Tahun 1999 masa kerja TL telah berakhir antara 24
Nopember 2002 sampai dengan 24 Desember 2002 dan dapat diperpanjang sampai
dengan 30 Juni 2003. Meskipun demikian sampai dengan saat ini TL diperpanjang untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang belum selesai. Di lain pihak, proses likuidasi belum
selesai karena belum seluruh aset dapat dicairkan dan belum seluruh kewajiban dapat
dilunasi.

3. Jumlah BLBI yang Diterima


Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, jumlah BLBI yang diterima oleh 14 BDL
adalah sebesar Rp.11.880.383,98 juta dengan rincian seperti yang tercantum pada Tabel 4

Tabel 4. BDL Penerima BLBI


(Dalam juta rupiah)
Dana Talangan % dari
No. BDL Saldo Debet Jumlah
Rp. Valas Total
2 3 4 5 6 7
1. PT Bank Pacific 1.843.343,36 145.202,00 144.821,08 2.133.366,44 17,96
2. PT Sejahtera Bank Umum 203.731,89 1.297.121,00 186.496,63 1.687.349,52 14,20
3. PT Bank Harapan Santora 1.570L44,26 2.234.524,00 61.614,05 3.866.182,31 32,54
4. PT Bank Guna International 0,01 251.055,00 - 251.055,01 2,11
5. PT Bank Industri 232.346,23 279.124,00 511.470,23 4,31
6. PT Bank Anrico 9.803,73 200.277,00 210.080,73 1,77
7. PT Bank Jakarta - 210.994,00 210.994,00 1,78
8. PT Bank SEAR 733.317,02 166.082,00 899.399,02 7,57
9. PT Bank Pinaesaan 411.118,49 269.966,00 681.084,49 5,73
10. PT Bank Dwipa Semesta 103.135,86 6.970,13 110.105,99 0,93
11. PT Bank Astria Raya 456.969,26 121.949,00 578.918,26 4,87
12. PT Bank Kosagrha Semesta 154.940,41 46.872,20 201.812,61 1,70
13. PT Bank Mataram Dhanarta. 283.265,21 53.498,00 336.763,21 2,83

23
14. PT Bank Citrahasta Dh. 158.404,17 43.398,00 - 201.802,17 1,70
Total 6.160.419,90 5.327.032,33 392.931,76 11.880383," 100,00
Keterangan:
DTV PT Bank Pacific = USD16,108.66 ribu ekuivalen Rp.144.821,08 juta.
DTV PT Sejahtera Bank Umum = USD20,837.61 ribu ekuivalen Rp.186.496,63 juta.
Dari data tersebut di atas terlihat bahwa BDL penerima BLBI terbesar adalah PT
Bank Harapan Sentosa, PT Bank Pacific dan PT Sejahtera Bank Umum, yaitu masing-
masing sebesar 32,54%, 17,96% dan 14,20% dari jumlah BLBI yang diberikan kepada 14
BDL, sedangkan 11 BDL yang lainnya menerima BLBI antara 1% sampai dengan 8% .
BLBI yang diberikan kepada bank-bank di atas telah dialihkan kepada Pemerintah
sesuai dengan kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 6
Februari 1999 dan Akta Cessie yang dibuat di hadapan Notaris antara Direksi BI dan
Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan pengalihan tersebut, maka
BLBI yang diberikan oleh BI beralih menjadi hutang Pemerintah kepada BI dan sekaligus
menjadi piutang Pemerintah cq. BPPN kepada bank-bank.

4. Akta Pengikatan dan Jaminan BLBI


Pada umumnya tidak ada akta pengikatan yang dilakukan bank-bank dengan BI dan
tidak ada jaminan yang diberikan bank-bank kepada BI, baik yang bersumber dari Saldo
Debet maupun dari DTR dan DTV.

5. Pengalihan BLBI Menjadi Kewajiban Pemerintah


BLBI yang diberikan kepada bank-bank telah dialihkan kepada Pemerintah sesuai
dengan kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 6
Februari 1999 dan akta cessie yang dibuat di hadapan Notaris antara Direksi BI dan Ketua
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan pengalihan tersebut, maka BLBI
yang diberikan oleh BI beralih menjadi hutang Pemerintah kepada BI dan sekaligus
menjadi piutang pemerintah cq. BPPN kepada bank-bank.
Jumlah BLBI yang dialihkan tersebut adalah sebesar Rp.11.880,383,98 juta
(rincian: dapat dilihat pada Tabel 5).

Tabel 5. BLBI yang Dialihkan


(Dalam juta rupiah)
No. BDL Posisi Per Jumlah BLBI yang

24
Tanggal Dialihkan
1. PT Bank Pacific 29-01-1999 2.133.366,44
2. PT Sejahtera Bank Umum 29-01-1999 1.687.349,52
3. PT Bank Harapan Santosa 29-01-1999 3.866.182,31
4. PT Bank Guna International 22-02-1999 251.055,00
5. PT Bank Industri 29-01-1999 511.470,23
6. PT Bank Anrico 29-01-1999 210.080,73
7. PT Bank Jakarta 29-02-1999 210.994,00
8. PT Bank SEAB 22-02-1999 899.399,02
9. PT Bank Pinaesaan 29-01-1999 681.084,49
10. PT Bank Dwipa Semesta 22-02-1999 110.105,99
11. PT Bank Astria Raya 29-01-1999 578.918,26
12. PT Bank Kosagrha Semesta 29-01-1999 201.812, 61
13. PT Bank Mataram Dhanarta 29-01-1999 336.763,21
14. PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal 29-01-1999 201.802,17
Jumlah 11.880.383,98
Dari data pada Tabel 5 terlihat bahwa semua BLBI sebesar Rp.11.880.383,98 juta
telah dialihkan menjadi kewajiban Pemerintah atau sebesar 100 %.
6. Pengembalian BLBI Per Tanggal 30 April 2005
Jumlah BLBI tersebut di atas telah dibayar kembali oleh 14 BDL sebesar
Rp.2.590.065,23 juta, sehingga saldo BLBI per tanggal 30 April 2005 adalah sebesar
Rp.9.290.318,76 juta, dengan rincian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Saldo BLBI per BDL


(Dalam juta rupiah/ribu USD)
Pembayaran
No. Nama BDL Jumlah BLBI Saldo BLBI
Kembali
1. 2 3 4 5
PT Bank Pacific
2. 2.133.366,44 315.023,08 1.818.343,36
3. Sejahtera Bank Umum
PT 1.500.852,89 738.529,19 868.077,70
4. USD 20,837.61 USD 12,601.00 USD 8,236.61
PT Bank Harapan Sentosa
5. 3.866.182,31 538. 228,06 3.327.954,26
PT Bank Guna International
6. 251.055,01 156.054,31 95.000,70
PT Bank Industri
7. 511.470,23 279.124,00 232.346,23
PT Bank Anrico
8. 210.080,73 9.532,96 200.547,77
PT Bank Jakarta
9. 210.994,00 100.959,95 110.034,05
PT Bank SEAB
10. 899.399,02 99.302,72 800.096,30
PT Bank Pinaesaan
11. 681.084,49 10.456,68 670.627,81
PT Bank Dwipa S.
12. 110.105,99 6.970,13 103.135,86
PT Bank Astria Raya
13. 578.918,26 121.949,00 456.969,26
PT Bank Kosagrha S.
14. 201.812,61 46.872,20 154.940,41
PT Bank Mataram Dh.
15. 336.763,21 31.186,00 305.577,21
PT Bank Citrahasta, Dh.
16. 201.802,17 23.098,83 179.510,35
17. 11.693.887,36 2.477.286,28 9.216.601,08

25
Jumlah
18. USD 20,837.61 USD 12,601.00 USD 8.236.61
19. 11.880.383,99 2.5".065,23 9.2".318,76
PT Sejahtera. Bank Umum sebesar USD20,837.61 ribu ekuivalen Rp.186.496,63
juta; USD12,601.00 ribu ekuivalen Rp.112.778,95 juta dan USD8,236.61 ribu ekuivalen
Rp.73.717,68 juta; Selain pembayaran kembali dari PT Bank Pacific dengan nilai total
sebesar Rp.315.023,08 juta, terdapat jugs setoran Rp.238.000 juta yang dialihkan untuk
pembayaran pajak. Atas hal ini, TL Bank Pacific sedang melakukan banding;
Pembayaran kembali dari PT Bank Harapan Sentosa Rp.538.228,06 juta belum termasuk
setoran yang dialihkan dalam rangka pembayaran pajak senilai Rp.16.869,95 juta;
Pembayaran kembali dari PT Bank Jakarta sebesar Rp.100.959,95 juta telah mencakup
deposito pemilik lama PT Bank Jakarta (DL) yaitu Probosutedjo senilai 99,98 juta yang
diperlakukan oleh BI sebagai setoran pengembalian BLBI.
Dari data pada Tabel 6 terlihat bahwa pengembalian BLBI yang telah dilakukan
oleh 14 BDL selama lebih dari lima tahun yang lalu secara keseluruhan hanya sebesar
21,80% dari jumlah BLBI.

7. Posisi Keuangan Bank Per Tanggal Penutupan (31 Oktober 1997)


Posisi keuangan Bank-Bank Dalam Likuidasi per tanggal penutupan berdasarkan
Laporan Kantor Akuntan Publik dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Posisi Keuangan BDL


(Dalam juta rupiah)
Jumlah
No. BDL Jumlah Aktiva Kewajiban
Kewajiban Ekuitas
dan Ekuitas
1. PT Bank Pacific 2.406.204,03 3.015.158,65 (608.954,62) 2.406.204,03
2. PT Sejahtera Bank Umum 2.261.667,99 2.394.820,12 (133.152,13) 2.261.667,99
3. PT Bank Harapan Samosa 625.100,21 4.115.569,31 (3.490.469,10) 625.100,21
4. PT Bank Guna International 177.708,17 302.244,79 (124.536,62) 177.708,17
5. PT Bank Industri 634.905,86 843.708,53 (208.802,67) 634.905,86
6. PT Bank Anrico 170.855,87 212.177,65 (41.321,78) 170.855,87
7. PT Bank Jakarta 226.898,52 233.861,06 (6.962,54) 226.898,52
8. PT Bank SEAR 279.539,45 931.265,04 (651.725,59) 279.539,45
9. PT Bank Pinaesaan 370.928,77 647.878,49 (276.949,72) 370.928,77
10 PT Bank Dwipa S. 30.651,64 116.387,43 (85.735,79) 30.651,64
11 PT Bank Astria Raya 749.363,78 710.734,71 38.629,07 749.363,78
12 PT Bank Kosagrha S. 214.417,96 209.047,09 5.370,87 214.417,96
13 PT Bank Mataram D. 121.798,53 381.192,49 (259.393,96) 121.798,53
14 PT Bank Citrahasta D 200.283,59 208.169,72 (7.886,13) 200.283,59
Jumlah 8.470.324,37 14.322.215,08 (5.851.890,71) 8.470.324,37
Pada saat tanggal penutupan 14 BDL ternyata jumlah aktivanya hanya sebesar

26
Rp.8.470.324,37 juta, sedangkan jumlah kewajibannya sebesar Rp.14.322.215,08 juta,
sehingga ekuitasnya menjadi minus sebesar Rp.5.851.890,71 juta.

8. Hal-hal Lain
a. Analisis Efektivitas dan Efisiensi TL dalam Meminimalkan Kerugian
Negara
Hasil analisis terhadap realisasi pencairan aset, pembayaran kewajiban kepada
Pemerintah termasuk BLBI dan biaya operasional serta sisa aset pada 14 BDL
menunjukkan beberapa TL tidak efisien dan efektif dalam upaya meminimalkan kerugian
negara, seperti nampak pada Tabel 8.

Tabel 8. TL yang Tidak Efisien dan Efektif


BiayaOperasional Biaya Pembayaran Ke Pembayaran
Dibanding Operasional Pemerintah Ke Pemerintah
No BDL
Pembayaran Ke Dibanding Dibanding Dibanding
Pemerintah Pencairan Aset Pencairan Aset Jumlah BLBI
1 PT Bank Pacific 75% 30% 39% 15%
2 PT Bank Harapan Samosa 67% 48% 71% 14%
3 PT Bank Anrico 130% 55% 42% 5%
4 PT Bank Pinaesaan 353% 31% 9% 2%
5 PT Bank Dwipa S. 633% 60% 10% 6%
Rata-Rata 38% 26% 68% 23%
Semakin kecil Semakin kecil Semakin besar Semakin besar
Keterangan
semakn baik semakin baik semakin baik semakin baik

Sementara itu, Tabel 9 menunjukkan beberapa TL telah efisien dan efektif dalam
upaya meminimalkan kerugian negara.

Tabel 9. TL yang Efektif dan Efisien


Biaya
Biaya Pembayaran Ke Pembayaran Ke
Opearasional
Operasional Pemerintah Pemerintah
No BDL Dibanding
Dibanding Dibanding Dibanding Jumlah
Pembayaran Ke
Pencairan Aset Pencairan Aset BLBI
Pemerintah
1 PT Sejahtera Bank Umum 13% 10% 78% 53%
2 PT Bank Guna Intemasional 29% 19% 64% 62%
3 PT Bank Industri 17% 23% 137% 55%
4 PT Bank Jakarta 17% 17% 105% 48%
Rata-rata 38% 26% 68% 23%
Semakin kecil Semakn kecil Semakin besar Semakin besar
Keterangan
semakin baik semalkn baik semakin baik semakin baik.
b. Masa Tugas TL
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999

27
tentang Pencabutan Ijin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank Pasal 12 disebutkan
bahwa masa tugas semua TL telah berakhir di tahun 2003. Akan tetapi proses pengalihan
kepada Pemerintah terkesan lambat. Hasil diskusi dengan pihak Departemen Keuangan
dan BI menunjukkan bahwa Pemerintah belum memutuskan langkah-langkah kongkrit
yang akan dilakukan terhadap BDL.

C. Kondisi Saat Ini (Setelah Diserahkan Ke Pemerintah)


Pada awalnya terdapat 16 BDL yang dicabut izin usahanya, namun dalam
perkembangannya Bank Andromeda (DL) telah menyelesaikan kewajibannya & Bank
Umum Majapahit Jaya (DL) telah melaksanakan RUPS pertanggung-jawaban akhir
sehingga jumlah BDL yang melakukan serah terima ke Depkeu berjumlah 14 BDL.
Penyerahan aset dilakukan dengan penandatanganan BAST yang dilakukan bertahap.
Sampai saat ini jumlah BLBI 16 BDL yang di cessie-kan sebesar
Rp.11.888.938.781.558,30 dengan jumlah pengembalian BLBI ke Rekening BUN senilai
Rp.2.730.645.774.151,38, sehingga sisa BLBI adalah Rp.9.158.293.007.406,90
Terdapat BDL yang telah menandatangani berita acara serah terima (BAST) aset.
Untuk 9 BDL yg telah menandatangani BAST, nilai buku aset berdasarkan Laporan
Keuangan per 20 Februari 2007 yang telah dievaluasi oleh BI selaku pengawas BDL
adalah :

Nama Bank Jumlah Aset


1. PT Bank Harapan Sentosa (DL) Rp.136.297.409.195,04
2. PT Bank Guna International (DL) 106.107.201.031,41
3. PT Bank Kosagrha Semesta (DL) 157.450.001.984,00
4. PT Sejahtera Bank Umum (DL) 1.015.640.110.944,00
5. PT South East Asia Bank (DL) 181.953.841.474,06
6. PT Bank Mataram Dhanarta (DL) 6.760.484.884,70
7. PT Bank Pacific (DL) 1.638.279.007.000,00
8. PT Bank Anrico (DL) 140.362.496.466,84
9. PT Bank Citrahasta Dhanamanunggal (DL) 174.218.382.491,00
Untuk BDL yang belum melakukan BAST, nilai buku aset per April 2005 :
Nama Bank Jumlah Aset
1. PT Bank Jakarta (DL) Rp.160.639.374.642,34
2. PT Bank Dwipa Semesta (DL) 117.597.840.000,00
3. PT Bank Industri (DL) 117.260.417.954,00
4. PT Bank Astria Raya (DL) 68.136.922.279,00
5. PT Bank Pinaesaan (DL) 113.297.651.715,00
Adapun tindak lanjut penanganan adalah:
1. Tim Penanganan BDL telah melaksanakan verifikasi terhadap dokumen dan fisik aset

28
9 BDL yang telah melakukan penandatanganan BAST.
2. Penanganan Permasalahan Hukum dengan:
a. Mekanisme serah terima perkara Hukum dari Tim Likuidasi BDL kepada Tim
Penanganan BDL Depkeu RI berikut penanganan perkara hukum BDL
b. Untuk kontrak kerjasama dengan pengacara yang belum dilakukan
pembayaran/terealisasi agar diputuskan/ dinyatakan selesai, sedangkan untuk yang
telah dilakukan pembayaran agar pekerjaan diteruskan oleh pengacara hingga
selesai.
3. Pembuatan akta cessie untuk aset kredit yang telah diverifikasi. Untuk aset yang
dicessiekan dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu :
a. Diserahkan PUPN
Apabila ternyata penanganan pengurusan atas BDL tersebut harus diserahkan
kepada PUPN/DJPLN, maka harus diperhatikan ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu:
1) Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 disebutkan bahwa
PUPN bertugas mengurus Piutang Negara yang diserahkan oleh Pemerintah
atau Badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh
Negara.
2) Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan Piutang Negara ialah jumlah uang yang wajib dibayar
kepada Negara atau Badan-badan yang secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab
apapun.
3) Untuk itu penyelesaian BDL harus jelas ada dan besarnya piutang serta
Penyerah Piutangnya.
4) Sedangkan untuk Penyerah Piutangnya, terdapat alternatif yang akan bertindak
sebagai penyerah piutang negara, yaitu Ketua Tim Penyelesaian Aset BDL,
Departemen Keuangan (dhi. Direktur Kekayaan Negara Lain-lain):
b. Lelang Cessie/Hak Tagih langsung
4. Pembuatan Surat Kuasa Menjual dari Tim Likuidasi BDL kepada Depkeu RI untuk
aset BJDA, Aktiva tetap, dan Aktiva Lain dari bank yang telah diverifikasi. Untuk aset
yang disertai Surat Kuasa Menjual akan dilakukan penjualan langsung melalui lelang
5. Penilaian terhadap aset aktiva tetap dan BJDA dari BDL yang telah diverifikasi.
6. Setoran pasca BAST = Rp.167,5Milyar

29
7. Terhadap 5 BDL yang belum BAST sedang dimintakan pertimbangan hukum dari
Kejakgung

D. Latihan
1. Uraikan gambaran umum terjadinya penutupan atas 16 Bank yang dikenal sebagai
Bank Dalam Likuidasi (BDL)!
2. Jelaskan langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menyelesaikan aset-
aset eks BDL!
3. Jelaskan penanganan lebih lanjut terhadap aset kredit yang diserahkan oleh Tim
Likuidasi (TL) kepada Pemerintah qq Menteri Keuangan!
4. Jelaskan penanganan lebih lanjut terhadap aset tetap yang diserahkan oleh Tim
Likuidasi (TL) kepada Pemerintah qq Menteri Keuangan!
5. Sebutkan 5 Bank Dalam Likuidasi (BDL) yang belum menandatangani BAST kepada
Pemerintah qq Menteri Keuangan dan jelaskan langkah yang sedang ditempuh!

F. Rangkuman
Tim Likuidasi (TL) dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
1999. Dana talangan yang sudah dibayar untuk menyelesaikan kewajiban 16 BDL adalah
merupakan Piutang Negara karena dana talangan tersebut berasal dari APBN dan oleh
karena itu dapat diserahkan pengurusannya kepada Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN).
TL yang menunjukkan efektivitas dan efisiensi tinggi dalam upaya meminimalkan
kerugian negara adalah PT Sejahtera Bank Umum, PT Bank Guna Internasional, PT Bank
Industri, dan PT Bank Jakarta. Sementara PT Bank Pacific, PT Bank Harapan Sentosa, PT
Bank Anrico, PT Bank Pinaesaan, dan PT Bank Dwipa S. Tidak menunjukkan efektivitas
dan efisiensi yang optimal. Selain itu, beberapa BDL belum menandatangani BAST, yaitu
PT Bank Jakarta, PT Bank Dwipa Semesta, PT Bank Industri, PT Bank Astria Raya, dan
PT Bank Pinaesaan.
Tindak lanjut penanganan aset eks BDL adalah verifikasi terhadap dokumen dan
fisik aset 9 BDL yang telah menandatangani BAST, penanganan masalah hukum,
pembuatan akta cessie untuk aset kredit yang telah diverifikasi untuk diserahkan ke
PUPN atau dilelang langsung, pembuatan surat kuasa menjual kepada Depkeu RI,
penilaian terhadap aset yang telah diverifikasi, dan permintaan pertimbangan hukum
kepada Kejaksaan Agung atas 5 BDL yang belum BAST.

30
F. Tes Formatif 2
1. Dana talangan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk penyehatan perbankan
dapat dikategorikan sebagai ........
a. Investasi Jangka Panjang c. Aset Tetap Lainnya
b. Piutang Negara d. Pengeluaran Negara
2. Tim Likuidasi dibentuk karena 16 BDL diperintahkan melaksanakan RUPS oleh .....
a. Menteri Keuangan b. Bank Indonesia c. Menneg BUMN d. DPR
3. Tim Likuidasi yang efektivitasnya paling tinggi dianalisis dari perbandingan antara
pembayaran ke pemerintah dan pencairan asetnya adalah ......
a. PT Bank Pacific b. PT Bank Anrico c. PT Bank Industri d. PT SBU
4. Tim Likuidasi yang efisiensinya paling tinggi dianalisis dari perbandingan antara
biaya operasional dan pembayaran ke pemerintah adalah .....
a. PT Bank Anrico b. PT Bank Pinaesaan c. PT Bank Jakarta d. PT SBU
5. Termasuk tindak lanjut penanganan aset eks BDL, kecuali .....
a. penanganan masalah hukum c. penyaluran modal tambahan
b. pembuatan akta cessie d. penjualan BJDA

31
KEGIATAN BELAJAR 3
PENGELOLAAN ASET EKS KEPABEANAN (BEA DAN CUKAI)

A. Dasar Hukum terkait Pengelolaan Aset eks Kepabeanan (Bea dan Cukai)
1. UU No.10/1995 tentang Kepabeanan
Dalam undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas
lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea
Masuk
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, serta udara di atasnya, seta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-
undang ini.
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan
laut, bandar udara, atau tempat lain yang yang ditetapkan untuk lalu lintas
barang yang sepenuhnya di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
2. UU No.17/2006 tentang Perubahan UU No.10/1995 tentang Kepabeanan
Undang-undang ini berisi tentang perubahan UU Nomor 10/1995 tentang
Kepabeanan. Perubahan ini diperlukan karena beberapa ketentuan dalam undang-
undang sebelumnya (UU No.10/1995) sudah tidak sesuai dengan penyelenggaraan
kepabeanan
3. Peraturan Menteri Keuangan No.13/PMK.04/2006 tanggal 20 Februari 2006
tentang Penyelesaian terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang
Yang Dikuasai Negara, dan Barang Yang Menjadi Milik Negara
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

B. Latar Belakang
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu
lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk.
Institusi yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi
Departemen Keuangan di Bidang Kepabeanan dan Cukai adalah Direktorat Jenderal Bea

32
dan Cukai.
Dalam peraturan kepabeanan, dikenal 3 (tiga) status barang, yaitu : Barang yang
Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Yang Dikuasai Negara, dan Barang Yang Menjadi
Milik Negara. Berikut disampaikan kriteria atas status barang-barang tersebut, sebagai
berikut :
1. Barang yang dinyatakan tidak dikuasai, yaitu :
1) Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang
berada di dalam area pelabuhan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
penimbunannya.
2) Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang
berada di luar area pelabuhan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
penimbunannya.
3) Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat yang telah
dicabut izinnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pencabutan izin;
atau
4) Barang yang dikirim melalui Pos:
yang ditolak oleh si alamat atau orang yang dituju dan tidak dapat dikirim
kembali kepada pengirim di luar Daerah Pabean
dengan tujuan luar Daerah Pabean yang diterima kembali karena ditolak atau
tidak dapat disampaikan kepada alamat yang dituju dan tidak diselesaikan oleh
pengirim dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya
Pemberitahuan dari Kantor Pos
2. Barang yang Dikuasai Negara, yaitu :
(1) barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak
diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dalam Pemberitahuan
Pabean
(2) barang dan/atau sarana pengangkut yang dicegah oleh Pejabat Bea dan Cukai;
atau
(3) barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh
pemilik yang tidak dikenal

33
3. Barang yang Menjadi Milik Negara, yaitu :
1) Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai yang merupakan barang yang dilarang
untuk diekspor atau diimpor, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai yang merupakan barang yang dibatasi
untuk diekspor atau diimpor, yang tidak diselesaikan oleh pemiliknya dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak disimpan di Tempat
Penimbunan Pabean
3) Barang dan/atau sarana pengangkut yang dicegah oleh Pejabat Bea dan Cukai
yang berasal dari tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal
4) Barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh
pemilik yang tidak dikenal yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean
5) Barang yang Dikuasai Negara yang merupakan barang yang dilarang atau
dibatasi untuk diimpor atau diekspor; atau
6) Barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dinyatakan dirampas untuk negara

Barang yang dinyatakan sebagai barang yang menjadi milik negara merupakan
kekayaan negara (vide Pasal 16 ayat (1) Permenkeu No.13/2006).
Sesuai Pasal 16 ayat (4) Permenkeu No.13/2006 disebutkan bahwa pengelolaan
barang yang ditetapkan menjadi barang yang menjadi milik negara dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang yang menjadi milik negara.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengelolaan barang yang menjadi milik negara pada
Ditjen Bea dan Cukai tunduk pada peraturan perundang-undangan di bidang barang milik
negara yaitu UU No.1 Tahun 2004 jo. PP No.6 Tahun 2006.

C. Barang Yang Menjadi Milik Negara


Pengertian Barang Milik Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang syah.Selanjutnya
Barang milik negara/daerah terdiri dari :

34
1) . barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D
2). barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah
barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. (vide pasal 2 ayat (1) PP 6 Tahun 2006)

Barang Yang Menjadi Milik Negara yang berasal dari eks Kepabeanan (Bea dan
Cukai) dapat dikategorikan sebagai barang milik negara, dalam hal ini sebagai barang
yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang. Barang tersebut, sesuai Pasal 73
UU No.10/1995 jo Pasal 1 angka (4) Permenkeu No.13/2006), adalah:
1. Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai yang merupakan barang yang
dilarang untuk diekspor atau diimpor kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan
lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai yang merupakan barang yang
dibatasi untuk diekspor atau diimpor yang tidak diselesaikan oleh pemiliknya dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan
Pabean
3. Barang dan/atau sarana pengangkut yang dicegah oleh Pejabat Bea dan
Cukai yang berasal dari tindak pidana yang pelakunya tidak dikenal
4. Barang dan/atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean
oleh pemilik yang tidak dikenal yang tidak diselesaikan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean
5. Barang yang Dikuasai Negara yang merupakan barang yang dilarang atau
dibatasi untuk diimpor atau diekspor; atau
6. Barang dan/atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dinyatakan dirampas untuk negara

Barang yang dinyatakan sebagai barang yang menjadi milik negara merupakan
kekayaan Negara sesuai Pasal 16 ayat (1) Permenkeu Nomor 13/2006. Barang yang
menjadi milik negara tersebut disimpan di Tempat Penimbunan Pabean (TPP) atau di
tempat lain yang ditunjuk oleh Dirjen Bea dan Cukai. Barang yang menjadi milik negara

35
tersebut dibukukan dalam Buku Catatatn Barang yang menjadi Milik Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Permenkeu Nomor 13/2006.

D. Penyelesaian Terhadap Barang yang Menjadi Milik Negara eks Kepabeanan


(Bea dan Cukai)
Sesuai Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan disebutkan bahwa ketentuan tentang penggunaan barang yang menjadi milik
negara ditetapkan oleh Menteri. Selanjutnya dalam rangka memberikan kepastian hukum,
kepastian waktu, dan kepastian biaya, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan No.13/PMK.04/2006 tentang Penyelesaian Terhadap Barang Yang
Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Yang Dikuasai Negara, dan Barang Yang Menjadi
Milik Negara.
Sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.13/PMK.04/2006,
disebutkan bahwa Dirjen Bea dan Cukai menyampaikan kepada Menteri Keuangan daftar
barang yang menjadi milik negara beserta usulan dilelang, dihibahkan, dimusnahkan,
dan/atau untuk ditetapkan status penggunaannya. Berdasarkan usulan Dirjen Bea dan
Cukai dimaksud, Menteri Keuangan menetapkan peruntukan barang yang menjadi milik
negara dengan memperhatikan usulan Dirjen Bea dan Cukai. Oleh karena itu, maka ada 4
(empat) bentuk peruntukan barang yang menjadi milik negara oleh Menteri Keuangan,
yaitu :
(1) Lelang;
(2) Hibah;
(3) Dimusnahkan;
(4) Status Penggunaan.
Kewenangan Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang Milik Negara untuk
menetapkan status penggunaan atas barang yang menjadi milik negara telah dilimpahkan
kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
nomor 1050/KMK.01/2006 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Jenderal
Kekayaan Negara Untuk dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan
Atau Keputusan Menteri Keuangan.
Selanjutnya sesuai Pasal 16 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan
No.13/PMK.04/2006 disebutkan pengelolaan barang yang menjadi milik negara
dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik
negara, maka pengelolaan atas barang yang menjadi milik negara juga tunduk pada UU

36
No.1 Tahun 2004 jo. PP No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, sebagai berikut :
1. Penetapan Status Penggunaan
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola
dan menatausahakan barang milik negara/daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi instansi yang bersangkutan (pasal 1 angka 7 PP Nomor 6 tahun 2006). Status
Penggunaan adalah kewenangan mengelola barang yang diberikan oleh Pengelola
Barang kepada Pengguna Barang untuk penyelenggaraan tugas pokok kementerian
negara/lembaga.
Contoh pelaksanaan penetapan status penggunaan atas barang yang menjadi milik
negara adalah ketika Dirjen Bea dan Cukai menyampaikan usulan penetapan status
penggunaan atas barang sitaan DJBC berupa mobil, untuk digunakan sebagai
kendaraan dinas Ditjen Bea dan Cukai.
2. Hibah
Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah
daerah, atau dari pemerintah pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa
memperoleh penggantian (PP Nomor 6 pasal 1 angka 18).
Hibah barang milik negara/daerah dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan
sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.
Hibah sebagaimana dimaksud, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. bukan merupakan barang rahasia negara;
2. bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak;
3. tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi dan
penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah.
Hibah barang milik negara selain tanah dan bangunan dilaksanakan berdasarkan
ketentuan sebagai berikut :
a. pengguna barang mengajukan usulan kepada Pengelola Barang disertai alas
an/pertimbangan, kelengkapan data, dan hasil pengkajian tim intern instansi
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji berdasarkan pertimbangan dan syarat
sebagaimana dimaksud di atas;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui sesuai batas kewenangannya;

37
d. pengguna barang melaksanakan hibah dengan berpedoman pada persetujuan
pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang dihibahkan harus dituangkan dalam acara
serah terima barang.
(vide PP Nomor 6 tahun 2006 pasal 58-61)
Contoh pelaksanaan hibah adalah ketika DKI Jakarta dilanda banjir besar, maka
Bakornas Penanggulangan Bencana mengajukan permohonan bantuan DJBC untuk
menghibahkan barang yang menjadi milik negara untuk kepentingan sosial. Proses
hibah ini tidak dapat dilakukan langsung oleh DJBC, tetapi harus melalui penetapan
oleh Menteri Keuangan dalam hal ini diwakili oleh DJKN yang telah menerima
pelimpahan kewenangan dari Menteri Keuangan, berdasarkan usulan dari DJBC.
4. Lelang
Lelang umum adalah penjualan barang melalui kantor lelang negara. Sesuai Pasal 51
PP No.6 Tahun 2006 disebutkan bahwa penjualan barang milik negara dilaksanakan
dengan pertimbangan untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle,
secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual, dan sebagai
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pemusnahan
Pemusnahan adalah kegiatan untuk menghilangkan wujud awal dan sifat hakiki suatu
barang (PMK No.13/PMK.04/2006 pasal 1 angka 18).
a. Persyaratan penghapusan barang milik negara dengan tindak lanjut
pemusnahan :
tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak
dapat dipindahtangankan; atau
alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan.
b. Persyaratan untuk dapat dilakukannya penghapusan barang milik negara
dengan cara pemusnahan adalah terpenuhinya salah satu kondisi sebagai berikut:
Busuk, kadaluwarsa segera dimusnahkan;
Merupakan barang kena cukai berupa minuman yang
mengandung etil alcohol, konsentrat yang mengandung etil alcohol, dan hasil
tembakau, segera dimusnahkan.
Karena sifatnya :

38
1) tidak tahan lama, antara lain barang yang cepat busuk, misalnya buah
segar dan sayur segar;
2) merusak, antara lain asam sulfat dan belerang;
3) berbahaya.

E. Karakteristik Barang yang Menjadi Milik Negara eks Kepabeanan


Barang yang menjadi milik negara eks kepabeanan/bea dan cukai, merupakan
barang milik negara yang diperoleh akibat berlakunya undang-undang kepabeanan. BMN
ini hanya meliputi barang yang masuk atau keluar wilayah kepabeanan, dimana atas
barang tersebut bisa diatur dan dikenakan undang-undang kepabeanan.
Barang yang masuk ke dalam daerah pabean, akan diberlakukan sebagai barang
impor, dan atasnya terutang bea masuk. Begitu juga dengan barang yang akan
dikeluarkan dari daerah pabean, baik itu telah dimuat atau belum dimuat ke dalam sarana
pengangkut.

F. Contoh Kasus Pengelolaan Barang Eks Kepabeanan


Kasus:
Usulan Hibah Barang Yang Menjadi Milik Negara Berupa 3 Unit Mobil Pada KPBC Tipe
A Batam (Usulan Dirjen Bea Cukai untuk menggunakan 3 unit mobil dimaksud)?
Penyelesaian:
Sesuai pasal 1 angka (18) PP No.6 Tahun 2006 disebutkan hibah adalah pengalihan
kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah
daerah kepada pemerintah pusat, antar pemerintah daerah, atau dari pemerintah
pusat/pemerintah daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. Sehingga
kualifikasi hukum hibah adalah:
o Terjadi peristiwa hukum hibah berupa pengalihan kepemilikan barang tanpa
memperoleh penggantian;
o Subjek hukum hibah adalah :
Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; atau
Pemerintah daerah kepada pemerintah pusat;atau
Antar pemerintah daerah; atau
Pemerintah pusat/daerah kepada pihak lain.

39
Berdasarkan hal tersebut maka usulan Dirjen Bea Cukai untuk menggunakan 3
unit mobil dimaksud dengan konstruksi hukum hibah, tidak dalam kualifikasi
hukum hibah, karena:
tidak terjadi pengalihan kepemilikan barang karena kepemilikan barang tetap
dimiliki pemerintah pusat (dhi. digunakan Ditjen Bea dan Cukai);
subyek hukum hibah tidak ada karena subyek atau pihak-pihak dalam usulan ini
hanya Menteri Keuangan sebagai pengelola barang kepada Ditjen Bea Cukai
sebagai pengguna barang sehingga diartikan antar pemerintah pusat saja.
Oleh karena itu, konstruksi hukum terkait dengan usulan Dirjen Bea dan Cukai
untuk menggunakan 3 unit mobil dimaksud adalah penetapan status penguasaan
dan penggunaan barang milik negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(2) huruf c PP No.6 Tahun 2006.
Hal ini sejalan dengan pasal 15 PP No.6 Tahun 2006 yang menyebutkan antara lain
barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah. Konsep hukum penguasaan adalah hubungan yang nyata (faktual)
antara seseorang (dhi negara) dengan barang yang ada dalam kekuasaannya, yang
didalamnya terdapat maksud untuk menguasai (corpus possessionis) dan maksud untuk
menggunakannya (animus posidendi). (Satjipto Rahardjo, 2000:63).
Selanjutnya terhadap barang yang dikuasai negara tersebut terdapat keinginan
negara (dhi. Ditjen Bea dan Cukai) untuk menguasai dan menggunakan kendaraan
tersebut untuk kepentingan operasional. Oleh karena itu maka konstruksi hukum yang
tepat adalah penetapan status penguasaan dan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 ayat (2) PP No.6 Tahun 2006. Kemudian terkait dengan bukti kepemilikan atas 3
unit mobil dimaksud, sesuai Pasal 33 ayat (3) PP 6 Tahun 2006 harus dilengkapi dengan
bukti kepemilikan atas nama pengguna barang karena barang tersebut merupakan barang
milik negara selain tanah dan bangunan.
Langkah selanjutnya: Penetapan oleh Dirjen Kekayaan Negara a.n. Menteri
Keuangan mengenai penetapan status penggunaan barang milik negara kepada Dirjen Bea
dan Cukai.
Dapatkah Anda menambahkan dua contoh Kasus Pengelolaan Barang Eks Kepabeanan?
Tuliskan jawaban Anda pada kotak berikut ini.

Contoh kasus pengelolaan barang eks kepabeanan:

40
G. Latihan
1. Jelaskan dasar hukum bahwa barang yang menjadi milik negara merupakan
kekayaan Negara dan bagaimana pengelolaannya ?
2. Sebutkan 4 bentuk peruntukan barang yang menjadi milik negara dan bagaimana
prosesnya!
3. Jelaskan kriteria barang yang menjadi milik negara!
4. Jelaskan tahapan status dari barang yang masuk ke daerah pabean, sampai
ditetapkan menjadi barang yang menjadi milk negara!
5. Terdapat beberapa hal yang menjadi ciri dari barang yang menjadi milik negara
eks kepabeanan/bea dan cukai, jelaskan!

H. Rangkuman
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu
lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk.
Barang yang masuk atau keluar ini akan dikenakan kewajiban pabean yang diatur dengan
undang-undang kepabeanan. Pelanggaran atas kewajiban pabean maupun atas peraturan
kepabeanan akan mempengaruhi status atas barang dimaksud.
Ada tiga status barang yang timbul sebagai akibat pelaksanaan atau pelanggaran
UU Kepabeanan (1) Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, (2) Barang yang Dikuasai
Negara, serta (3) Barang yang Menjadi Milik Negara. Penyelesaian atas barang dengan
status tersebut diatur bengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor
13/PMK.04/2006 tentang Penyelesaian Terhadap Barang yang Dinyatakan Tidak
Dikuasai, Barang yang Dikuasai Negara, dan Barang yang Menjadi Milik Negara.
Pelaksanaan penyelesaian atas barang-barang tersebut dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai sesuai PMK 13/2006 kecuali untuk Barang yang Menjadi Milik
Negara berlaku Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dengan berlakunya PP Nomor 6/2006, Dirjen
Bea dan Cukai akan bertindak sebagai pengguna barang yang memiliki kewajiban
sebagaimana diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pengelolaan Barang yang Menjadi
Milik Negara eks Kepabeanan/Bea dan Cukai maka Dirjen Bea dan Cukai menyampaikan
kepada Menteri Keuangan daftar Barang Yang Menjadi Milik Negara beserta usulan

41
dilelang, dihibahkan, dimusnahkan, dan/atau untuk ditetapkan status penggunaannya
(vide Ps 16 ayat (3) Permenkeu Nomor 13/2006).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1050/KMK.01/2006 tentang
Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Untuk dan Atas
Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan Atau Keputusan Menteri Keuangan
maka peruntukan atas usulan yang disampaikan oleh Dirjen Bea dan Cukai, baik itu
usulan dilelang, dihibahkan, dimusnahkan, dan/atau untuk ditetapkan status
penggunaannya, ditetapkan oleh Dirjen Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan.

I. Tes Formatif 3
1. Status barang yang timbul sebagai akibat pelaksanaan dan pelanggaran UU
Kepabeanan adalah, kecuali .......
a. Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai
b. Barang Milik Negara
c. Barang yang Menjadi Milik Negara
d. Barang yang Dikuasai Negara
2. Usulan Peruntukan Barang yang Menjadi Milik Negara eks Kepabeanan/Bea dan
Cukai diajukan oleh ....
a. Menteri Keuangan b. DJBC c. DJKN d. Kepolisian
3. Penetapan Peruntukan Barang yang Menjadi Milik Negara eks Kepabeanan/Bea
dan Cukai ditetapkan oleh ...
a. Menteri Keuangan b. DJBC c. DJA d. Kepolisian
4. Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2006, Barang yang Menjadi Milik Negara eks
Kepabeanan/Bea dan Cukai termasuk Barang Milik Negara yang diperoleh dari ....
a. putusan pengadilan yang bersifat in kraacht
b. pelaksanaan dari perjanjian/kontrak
c. ketentuan undang-undang
d. hibah/sumbangan atau yang sejenis
5. Dalam rangka pengelolaan Barang yang Menjadi Milik Negara eks
Kepabeanan/Bea dan Cukai, Menteri Keuangan ...
a. mengusulkan penetapan status penggunaan
b. menetapkan persetujuan penetapan status penggunaan
c. mengusulkan lelang
d. mengusulkan hibah

42
KEGIATAN BELAJAR 4
PENGELOLAAN ASET EKS KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA
(KKKS)

A. Pengantar
Kegiatan usaha di segala bidang, termasuk di bidang minyak dan gas bumi di
Indonesia dijamin dengan aturan perundangan dan atas kegiatan tersebut senantiasa
dilakukan perbaikan untuk aturan-aturan hukum yang berlaku dan pelayanan birokrasi
sehingga tercipta iklim usaha yang sehat. Adanya suasana yang kondusif, kepastian
hukum, ketertiban pelayanan birokrasi dan terjaminnya rasa aman, adalah faktor-faktor
penting yang tidak dapat diabaikan dalam kegiatan di bidang minyak dan gas bumi guna
mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia.
Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang
terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai oleh negara. Dalam hal pelaksanaan penguasaan tersebut,
penyelengara tunggal adalah Pemerintah RI (pemegang kuasa pertambangan) dan dapat
membentuk sebuah badan pelaksana sebagai regulator. Di sektor migas, kegiatan
pengusahaan sumber daya alam migas di Indonesia, hingga saat ini secara umum
dilakukan melalui kontrak kerja sama dengan pola kontrak bagi hasil (production sharing
contract/PSC) berdasarkan UU no 8 Tahun 1971 tentang Pertamina. Dengan pola kontrak
bagi hasil dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, aset-aset yang digunakan menjadi
berstatus barang milik negara. Mekanisme pengelolaan barang milik negara akan tunduk
pada ketentuan tentang keuangan negara.
Namun demikian kondisi yang ada saat ini adalah kelemahan terkait inventarisasi
barang milik/kekayaan negara. Kelemahan dalam inventarisasi barang milik/kekayaan
negara menyebabkan pemerintah tidak memiliki database kekayaan negara secara
menyeluruh, sehingga banyak potensi kekayaan Negara yang belum teridentifikasi baik
dari sisi subyek maupun obyeknya serta belum dikelola secara optimal untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

B. Dasar Hukum
1. UU Nomor 22/2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi
Dalam undang-undang ini pengertian dari Kontrak Kerja Sama (KKS) dan Badan
pelaksana adalah sebagai berikut (vide Pasal 1):

43
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja
sama lain dalam kegiatan eksploitasi dan eksplorasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan
pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi
(BPMIGAS).
2. PP Nomor 31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina menjadi Persero
3. PP Nomor 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi
4. PP Nomor 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi
Sebagaimana aturan pelaksanaan, PP Nomor 35/2004 merupakan penjabaran dari
UU Nomor 22 dimana terkait dengan barang milik negara eks KKKS terdapat
pada pasal 78 ayat [1] dan Pasal 81 ayat [1].
5. PP Nomor 34/2005 tentang Perubahan PP Nomor 35/2004 tentang Kegiatan Usaha
Hulu Minyak Dan Gas Bumi
6. SE Dirjen Anggaran a.n. Menkeu Nomor S-2478/MK.02/2003 tanggal 17-6-2003
tentang Penghapusan dan Pelepasan Aset Eks Contractor Production Sharing
Secara fungsi, instansi yang mengurus penghapusan aset adalah Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagaimana proses penghapusan untuk
aset-aset eks pertambangan lainnya. Perlakuan terhadap penghapusan aset eks KPS
sama dengan penghapusan aset milik/kekayaan negara lainnya.

C. Barang Milik Negara


Pengertian Barang Milik Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 adalah negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN
atau berasal dari perolehan lainnya yang syah.
Selanjutnya Barang milik negara/daerah terdiri dari (vide pasal 2 ayat (1) PP 6
Tahun 2006):
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D;
b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah;
Barang sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi:
1. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
2. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;

44
3. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undangundang; atau
4. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian aset eks KKS dapat dikategorikan sebagai barang milik negara
dalam kaitannya dengan angka 2) yaitu barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari
perjanjian kontrak. Lebih tegas dinyatakan bahwa seluruh barang dan peralatan yang
secara langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang dibeli Kontraktor menjadi
milik/kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola oleh
Badan Pelaksana (vide Pasal 78 ayat [1] PP No.35/2004), Pengelolaan barang dan
peralatan yang dipergunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu dilakukan oleh Badan
Pelaksana. (vide Pasal 81 ayat [1] PP No.35/2004).
Kelebihan persediaan barang dan peralatan dapat dialihkan penggunaanya kepada
Kontraktor lain di Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia atas persetujuan Badan
Pelaksana dan dilaporkan secara berkala kepada Menteri ESDM dan Menteri Keuangan.
Dalam hal kelebihan persediaan barang dan peralatan tidak digunakan oleh Kontraktor
lain, Badan Pelaksana wajib melaporkan kepada Menteri Keuangan melalui Menteri
ESDM untuk ditetapkan kebijakan pemanfaatannya
Dalam hal barang dan peralatan akan dihibahkan, dijual, dipertukarkan, dijadikan
penyertaan modal negara, dimusnahkan atau dimanfaatkan oleh pihak lain dengan cara
dipinjamkan, disewakan dan kerjasama pemanfaatan, wajib terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan Menteri Keuangan atas usul Badan Pelaksana melalui Menteri ESDM.
Dalam hal Kontrak Kerja Sama telah berakhir, barang dan peralatan Kontraktor wajib
diserahkan kepada pemerintah untuk ditetapkan kebijakan pemanfaatannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Kontraktor Kontrak Kerja Sama


Pengusahaan sumber daya alam migas di Indonesia hingga saat ini secara umum
dilakukan melalui kontrak kerja sama dengan pola kontrak bagi hasil (production sharing
contract/PSC) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina. Kontrak Kerja
Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pola PSC dilakukan dengan prinsip-prinsip:

45
Kontrak dilakukan antara pemerintah melalui BP Migas dengan kontraktor untuk
suatu wilayah kerja tertentu dengan jangka dari 25 hingga 30 tahun.
Kontraktor membawa modal, pendanaan, dan teknologi sendiri seta
menanggung/membayar terlebih dahulu biaya-biaya ekplorasi (operating cost)
Bila ternyata akhirnya suatu wilayah kerja tidak dapat memproduksi migas maka
seluruh biaya yang dikeluarkan akan menjadi resiko dan tanggung jawab kontraktor
sendiri.
Pada saat suatu wilayah kerja menghasilkan migas (produksi), biaya-biaya yang telah
dikeluarkan hingga dapat berproduksi (operating cost) akan diganti/dikembalikan
kepada kontraktor dari produksi migas yang dihasilkan (cost recovery).
Penerimaan dari penjualan produksi migas setelah diperhitungkan (dikurangi) cost
recovery akan dibagihasilkan antara kontraktor dan Pemerintah.
Kontrak Kerja Sama (KKS) memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok
yaitu :
a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam
negeri;
h. berakhirnya kontrak;
i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. keselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia
Dalam kontrak kerjasama dikenal istilah Cost Recovery. Cost Recovery (CR)
adalah penggantian biaya operasi kepada kontraktor dengan menggunakan hasil produksi

46
migas sesuai ketentuan dalam kontrak production sharing. Dengan demikian CR dibayar
dalam bentuk hasil produksi, dimana hasil produksi tersebut dinilai dengan weighted
average price (WAP). WAP adalah harga rata-rata tertimbang dihitung berdasarkan nilai
lifting selama satu tahun dibagi dengan jumlah satuan lifting selama periode yang sama.
Komponen utama CR:
Biaya operasi tahun berjalan (currrent year operating cost)
merupakan biaya non capital yang meliputi biaya operasi yang terjadi sehubungan
dengan operasi normal perusahaan a.l. Biaya eksplorasi dan pengembangan, biaya
produksi, dan biaya umum & Administrasi.
Depresiasi aktiva tahun sebelumnya (depreciation previous year asset)
Biaya depresiasi atas aktiva-aktiva yang place in to service (PIS) sebelumnya tetapi
masih dapat didepresiasikan di tahun berjalan. Biaya penyusutan dihitung berdasarkan
aset yang sudah PIS dengan menggunakan metode penyusutan dan umur manfaat
yang diatur dalam kontrak PSC.
Depresiasi aktiva tahun berjalan (depreciation current year asset)
Biaya depresiasi atas aktiva-aktiva yang PIS pada tahun berjalan

E. Pengelolaan Barang Milik Negara eks KKKS


Tiga bentuk pengelolaan yang sudah dilakukan terhadap barang milik negara eks
KKKS adalah : Penetapan Status, Pemanfaatan, Pemindahtanganan dan Pemusnahan.
Penetapan status adalah adalah penetapan penggunaan Barang Milik Negara
kepada pengguna barang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang
bersangkutan.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara yang tidak
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga/satuan
kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan,
dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status
kepemilikan.
Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan Barang Milik Negara
sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan
atau disertakan sebagai modal pemerintah.
Penghapusan adalah tindakan menghapus Barang Milik Negara dari daftar
barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk
membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola barang

47
dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada dalam
penguasaannya.
Dalam pengelolaan barang yang menjadi milik negara, Menteri Keuangan
bertindak selaku pengelola barang yang memiliki fungsi pengaturan (regelling) dan
fungsi pengelolaan atas barang milik negara khususnya tanah dan/atau bangunan dimana
termasuk di dalamnya mengambil keputusan yang bersifat administratif (beschikking).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1050/KMK.01/2006 tentang
Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Untuk dan Atas
Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan Atau Keputusan Menteri Keuangan
maka sebagian kewenangan Menteri Keuangan dalam pengelolaan barang yang menjadi
milik negara, dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Dengan demikian
secara langsung Direktur Jenderal Kekayaan Negara bertanggung jawab atas pengelolaan
barang milik negara eks KKKS.
Prosedur pengelolaan Barang Milik Negara eks KKKS tunduk pada peraturan
pengelolaan barang milik negara yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006.
Dengan demikian departemen/lembaga yang secara fungsional bertanggungjawab selaku
pengguna barang adalah Departemen ESDM (dhi Sekjen DESDM), kuasa pengguna
barangnya adalah Ditjen Migas, DESDM dan sebagai pengelola adalah Menteri
Keuangan cq Ditjen Kekayaan Negara.
Mekanisme pengelolaan BMN eks KKKS adalah sebagai berikut.
1. KKKS/KPS mengajukan pelepasan dan penghapusan atas aset yang sudah tidak
dimanfaatkan kepada BP Migas.
2. BP Migas berdasarkan usulan KKKS/KPS melakukan verifikasi atas aset yang akan
dihapuskan dan dilepas untuk kemudian membuat surat permohonan penghapusan
kepada Ditjen Migas, DESDM.
3. Ditjen Migas, DESDM akan melakukan verifikasi kelengkapan dokumen
penghapusan dan pelepasan untuk selanjutnyai menatausahakan (bersifat
administratif) aset yang akan dihapuskan. Setelah itu, Ditjen Migas akan membuat
usulan permohonan penghapusan kepada Sekretaris Jenderal ESDM sebagai
pengguna barang.
4. Sekjen DESDM setelah menerima permohonan penghapusan akan melakukan
verifikasi kelengkapan dokumen, usulan tindak lanjut penghapusan dan hal-hal yang
berkaitan dengan pemanfaatan, pemindahtanganan, penetapan status dan pemusnahan.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Sekjen DESDM selaku Pengguna Barang

48
mengajukan permohonan penghapusan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola
Barang.
5. Menteri Keuangan dhi Dirjen Kekayaan Negara akan melakukan proses verifikasi atas
usulan dari Sekjen DESDM terkait aspek administratif dan legal yaitu ketentuan
pengelolaan barang milik negara serta aspek-aspek lain yang mendukung. Dalam hal
semua persyaratan terpenuhi Dirjen Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan ijin penghapusan/ pemanfaatan / pemindahtangan atau penetapan status
penggunaan.

F. Karakteristik Barang Milik Negara eks KKKS


1. Macam-macam BMN eks KKKS
Tanah dan Bangunan
Berupa tanah dan bangunan yang digunakan oleh KKKS dan telah diserahkan
kepada DESDM karena kontrak sudah berakhir, tidak digunakan, dan
membebani biaya pemeliharan dan pengamanan.
Selain tanah dan bangunan
Yaitu barang milik negara eks KKKS selain tanah dan bangunan yang memiliki
banyak jenis dan macam seperti scrab, senjata api, bahan peledak, limbah
beracun.
2. Kriteria BMN eks KKKS
Kriteria Aset
Yaitu barang milik negara eks KKKS yang tercatat dalam buku inventaris BP
Migas sebagai barang yang dikelola oleh KKKS. Buku invetaris BP Migas
berupa HARMONI 3 (Harta Modal Nomor Induk 3)
Kriteria Non Aset
Yaitu barang milik negara eks KKKS yang tidak tercatat dalam buku inventaris
BP Migas (harmoni 3). Kriteria non aset diberikan kepada BMN eks KKKS
karena banyak aset eks KKKS yang tidak bisa dicatat dalam harmoni 3, bernilai
tinggi, berjumlah banyak, membutuhkan biaya pengamanan dan sewa
tempat(apabila ada). Sebagai contoh adalah potongan besi eks proyek
pembuatan platform, bekas chasing peralatan operasional KKKS.
Termasuk dalam kriteria non aset adalah barang terminasi. Barang terminasi
adalah barang/peralatan yang diserahkan oleh pihak KKKS terkait dengan tidak

49
berhasilnya kegiatan eksplorasi. Hal ini dilakukan karena dalam kontrak
kerjasama terdapat klausul yang mengharuskan kontraktor menyerahkan
barang/peralatan yang digunakan dalam proses eksplorasi.

G. Latihan
1. Apakah Barang Milik Negara Eks KKKS ?
2. Bagaimana barang dan peralatan kontraktor minyak menjadi Barang Milik Negara?
3. Jelaskan Kriteria barang milik negara eks KKKS?
4. Mengapa diperlukan persetujuan Direktur Jenderal Kekayaan Negara apabila ingin
menjual barang milik negara eks KKKS?
5. Apa yang dimaksud dengan barang terminasi?

H. Rangkuman
Pengertian Barang Milik Negara dalam Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006
adalah negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah. Lebih lanjut barang yang berasal dari perolehan
lainnya yang sah dipertegas dengan kriteria barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan
dari perjanjian/kontrak.
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama
lain dalam kegiatan eksploitasi dan eksplorasi yang lebih menguntungkan Negara dan
hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai pasal 78 dan
81 PP No 35 Tahun 2004 dinyatakan bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara
langsung digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang dibeli Kontraktor menjadi
milik/kekayaan negara yang pembinaannya dilakukan oleh pemerintah dan dikelola oleh
Badan Pelaksana dan Pengelolaan barang dan peralatan yang dipergunakan dalam
Kegiatan Usaha Hulu dilakukan oleh Badan Pelaksana.
Dalam hal barang dan peralatan yang dibeli kontraktor akan dihibahkan, dijual,
dipertukarkan, dijadikan penyertaan modal negara, dimusnahkan atau dimanfaatkan oleh
pihak lain dengan cara dipinjamkan, disewakan dan kerjasama pemanfaatan, wajib
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan atas usul Badan Pelaksana
melalui Menteri ESDM.
Kharakteristik barang milik negara eks KKKS pada umumnya terdiri dari tanah
dan bangunan serta selain tanah dan bangunan. Sedangkan kriterianya terdiri dari aset dan
non aset dimana didalamnya termasuk pengertian barang terminasi.

50
I. Tes Formatif 4
1. Di dalam pola production sharing contract yang berlaku, jangka waktu kontrak
kerjasama antara pemerintah melalui BP Migas dengan KKKS adalah ...
a. 15 sampai dengan 20 tahun c. 20 sampai dengan 25 tahun
b. 25 sampai dengan 30 tahun d. 30 sampai dengan 35 tahun
2. Komponen utama cost recovery adalah, kecuali .....
a. depresiasi aktiva tahun sebelumnya
b. biaya operasi tahun sebelumnya
c. depresiasi aktiva tahun berjalan
d. biaya operasi tahun berjalan
3. Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2004 pasal 81 ayat 1, pengelolaan barang dan
peralatan yang dipergunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu dilakukan oleh ...
a. DESDM b. Menteri Keuangan c. BP MIGAS d. Kontraktor
4. Dalam rangka pemanfaatan aset eks KKKS, Badan
Pelaksana wajib ....
a. melaporkan kepada Menteri ESDM melalui Menteri Keuangan
b. melaporkan kepada Menteri Keuangan melalui Menteri ESDM
c. mengusulkan kepada Menteri ESDM melalui Menteri Keuangan
d. mengusulkan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama
5. Mekanisme pengelolaan BMN eks KKKS yang tidak benar
adalah .....
a. BP Migas melakukan verifikasi atas usulan KKKS/KPS
b. Menteri Keuangan menerbitkan ijin pemanfaatan
c. BP Migas memohon penghapusan kepada Ditjen Migas
d. Menteri Keuangan melakukan verifikasi atas usulan DESDM

51
KEGIATAN BELAJAR 5
PENGELOLAAN ASET EKS RAMPASAN

A. Pengantar
Pengelolaan barang milik negara dalam PP No.6 Tahun 2006 meliputi perencanaan
kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan
dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Lingkup pengelolaan barang milik negara
tersebut merupakan siklus logistik yang lebih terinci sebagai penjabaran dari siklus
logistik sebagaimana yang diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6) Undang-
Undang No.1 Tahun 2004 yang antara lain didasarkan pada pertimbangan perlunya
penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan.
Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap dapat dikategorikan sebagai BMN dimana perolehannya dimaksudkan untuk
mengembalikan kerugian negara. Meski demikian, pengembalian kerugian negara dari
suatu tindak pidana yang mengakibatkan kerugian negara bukan hal yang mudah. Banyak
cara dan jalan yang bisa dipilih oleh terdakwa/terpidana untuk mengamankan hasil
kejahatannya, dari yang paling sederhana sampai yang canggih dengan menggunakan
rekayasa finansial (financial engineering) yang tersedia dalam praktek bisnis di dalam
negeri maupun luar negeri
Disisi lain, masyarakat menuntut adanya penyitaan dan perampasan aset atau harta
kekayaan terpidana dengan instrumen apapun. Dengan demikian, betapa pentingnya
tindakan untuk mengembalikan kerugian negara (asset recovery) dari para terpidana
dengan tidak menyampingkan tujuan utama yaitu menghukum terpidana sesuai
perbuatannya. Dari sisi pengembalian kerugian negara, asset recovery menjadi objek
penting yang harus dikelola dengan benar. Potensi asset recovery harus teridentifikasi
dengan baik dan harus dikelola secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.

B. Dasar Hukum
1. Pasal 273 ayat (3) KUHAP, Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang
bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada pasal 46,
jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga

52
bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukan ke kas negara untuk dan atas nama
jaksa
2. Pasal 18 ayat (1) huruf a, Undang-Undang 31/1999 tentang Pemberantasan TP
Korupsi, Pidana Tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana
tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
3. Pasal 38 C UU NO 20/2001, apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang
diduga atau patut diduga juga berasal dari TP Korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud pasal 38 B ayat (2), maka negara
dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

C. Barang Milik Negara


Pengertian Barang Milik Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 adalah negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN
atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Selanjutnya Barang milik negara/daerah
terdiri dari (vide pasal 2 ayat (1) PP 6 Tahun 2006):
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D;
b. barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah;
Barang sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas meliputi:
1. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
2. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
4. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau
5. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian barang rampasan dapat dikategorikan sebagai barang milik
negara dalam kaitannya dengan angka 4) yaitu barang yang diperoleh berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

D. Pengelolaan Barang Rampasan


Dua bentuk pengelolaan yang sudah dilakukan terhadap barang milik negara dari
Barang Rampasan adalah : Penetapan Status dan Pemanfaatan.

53
Penetapan status adalah adalah penetapan penggunaan Barang Milik Negara
kepada pengguna barang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang
bersangkutan.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara yang tidak
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/ lembaga/satuan
kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan,
dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status
kepemilikan.
Di dalam pengelolaan barang yang menjadi milik negara, Menteri Keuangan
bertindak selaku pengelola barang, yang memiliki fungsi pengaturan (regelling), dan
fungsi pengelolaan atas barang milik negara khususnya tanah dan/atau bangunan dimana
termasuk di dalamnya mengambil keputusan yang bersifat administratif (beschikking).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1050/KMK.01/2006 tentang
Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Untuk dan Atas
Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan Atau Keputusan Menteri Keuangan
maka sebagian kewenangan Menteri Keuangan dalam pengelolaan barang yang menjadi
milik negara, dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Dengan demikian
secara langsung Direktur Jenderal Kekayaan Negara bertanggung jawab atas pengelolaan
barang milik negara dari Barang Rampasan.
Prosedur pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari Barang Rampasan
tunduk pada peraturan pengelolaan barang milik negara yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006.
Menteri Keuangan selaku pengelola barang apabila telah menetapkan status
penggunaan barang milik negara yang berasal dari Barang Rampasan kepada Kejaksaan
Agung, maka pengguna barangnya adalah Kejaksaan Agung (dhi Kepala Bagian
Keuangan, Kejaksaan Agung), kuasa pengguna barangnya adalah Kejaksaan Tinggi dan
Kejaksaan Negeri. Namun demikian apabila amar putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap menyebutkan pihak tertentu atas barang yang dirampas untuk
negara. Misalnya : barang dirampas untuk negara cq departemen kehutanan. Maka
Departemen/Lembaga yang secara fungsional bertanggungjawab sebagai pengguna
adalah departemen/lembaga yang ditunjuk dalam amar putusan pengadailan tersebut.
Mekanisme pengelolaan BMN dari Barang Rampasan adalah sebagai berikut:
1. Kejati/Kejari/instansi yang ditunjuk mengajukan pemanfaatan selain lelang atas aset
yang tidak dijual melalui lelang kepada Kejaksaan Agung.

54
2. Kejaksaan Agung/Departemen/Lembaga yang ditunjuk berdasarkan usulan
Kejati/Kejari/instansi yang ditunjuk melakukan verifikasi atas kelengkapan dokumen
pemanfaatan untuk selanjutnya menatausahakan (bersifat administratif) aset yang
akan dimanfaatkan selain lelang untuk kemudian membuat surat permohonan
pemanfaatan/penetapan status kepada Menteri Keuangan.
3. Menteri Keuangan dhi Dirjen Kekayaan Negara akan melakukan proses verifikasi atas
usulan dari Kejaksaan Agung terkait aspek administratif dan legal yaitu ketentuan
pengelolaan barang milik negara serta aspek2 lain yang mendukung. Dalam hal semua
persyaratan terpenuhi Dirjen Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan
menerbitkan ijin pemanfaatan atau penetapan status penggunaan
Contoh pengelolaan barang rampasan selain dijual lelang adalah sebagai berikut.
1. Permohonan pemanfaatan diatas juga pernah dilakukan oleh Jaksa Agung
Ri cq Jaksa Agung Muda Pembinaan atas barang rampasan Kejaksaan Negeri Tanjung
Perak berupa 7 (tujuh) unit sepeda motor Harley Davidson guna pengawalan pejabat
negara VVIP di wilayah kerja Kodam V Brawijaya Jawa Timur dan di wilayah kerja
Kodam IV/Diponegoro Jawa Tengah dan telah disetujui oleh Menteri Keuangan cq
Dirjen Perbendaharaan dengan surat nomor S 736/MK.6/2006 tanggal 2 Februari
2006.
2. Berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (dhi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta
No.04/PID/TPK/2006/PT.DKI tanggal 12 Juni 2006), 4 unit kendaraan bus dinyatakan
dirampas untuk negara. Berdasarkan amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut maka
barang tersebut dikuasai oleh negara dan menjadi barang milik negara. LPP RRI
mengajukan permohonan atas 4 unit kendaraan tersebut dan disetujui untuk ditetapkan
status penggunaannya kepada LPP RRI.

E. Karakteristik Barang Rampasan


Barang Rampasan pada hakekatnya sesuai dengan KUHAP harus dilakukan
penjualan secara lelang. Namun demikian dimungkinkan atas barang rampasan yang telah
berkekuatan hukum tetap dimanfaatkan selain dijual lelang. Bentuknya berupa penetapan
status dan pemanfaatan dengan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan. Barang rampasan saat ini banyak terkait dengan hasil kejahatan korupsi
dimana potensi kerugian yang ditanggung negara cukup besar dan sebenarnya dapat

55
dimanfaatkan untuk kebutuhan penyelenggaran negara guna mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur.
Hukuman pidana terhadap terdakwa tindak pidana perkara korupsi selain pidana
badan (penjara) dan/atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran
uang pengganti yang besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh
dari korupsi. Dalam praktik hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti
dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset. Sikap terpidana yang
tidak mau atau tidak mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa
diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke
pengadilan. Menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut
hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan undang-undang.
Akibat dari terjadinya tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara. Kerugian tersebut sudah harus diibebankan kepada terpidana
setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lebih lanjut dalam pasal Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi disebutkan bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal dari Tindak Pidana Korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 B ayat (2),
maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Ketentuan tersebut dengan jelas memberikan sebuah kemungkinan untuk terciptanya
keadilan atas perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat
harus dituntut dan dipidana.
Penjelasan pasal tersebut lebih tegas menyebutkan bahwa dasar pemikiran
ketentuan dalam pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut
diduga berasal dari tindak pidana korupsi.Harta benda tersebut diketahui setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki
hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap
harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap, baik putusan tersbut didasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya undang-
undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi atau setelah

56
berlakunya undang-undang tersebut. Untuk melakukan gugutan tersebut negara dapat
menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya terkait pengembalian kerugian negara, tindak pidana korupsi dalam
undang-undang TP Korupsi merumuskan secara tegas tindak pidana formil. Dengan
rumusan formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,
pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai pasal
4 UU TP Korupsi yang berbunyi sebagai berikut Pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanannya pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.
Penjelasan pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian
kerugian negara atau perekonomian negara yang telah dilakukan tidak menghapuskan
pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan
pidana bagi pelakunya.
Dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk pengembalian kerugian
negara telah diatur, terutama pada pasal 18 yaitu:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-
barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan
harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang paling lama 1
(satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang

57
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka di pidana
dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari
pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian kerugian yang
diderita negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah
diamanatkan pasal 278 KUHP.

F. Latihan
1. Jelaskan pengertian barang rampasan
termasuk sebagai barang milik negara?
2. Bagaimanakan bentuk pengelolaan
barang rampasan?
3. Jelaskan proses pengelolaan barang
rampasan selain dijual lelang?
4. Mengapa diperlukan persetujuan Menteri
Keuangan apabila ingin mengunakan barang rampasan ?
5. Apakah pengembalian aset hasil korupsi
oleh koruptor menghapus tindak pidana korupsi yang dilakukannya? Jelaskan !

G. Rangkuman
Barang Milik Negara dalam Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006 adalah negara
adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari
perolehan lainnya yang sah. Selanjutnya Barang milik negara/daerah terdiri dari barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D dan barang yang berasal dari perolehan
lainnya yang sah. barang rampasan dapat dikategorikan sebagai barang milik negara
dalam kaitannya dengan barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dasar hukum barang rampasan pada hakekatnya ada dalam Pasal 273 ayat (3) KUHAP,
Pasal 18 ayat (1) huruf a, Undang-Undang 31/1999 tentang Pemberantasan TP Korupsi

58
dan Pasal 38 C UU NO 20/2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pengelolaan barang rampasan sesuai ketentuan yaitu Jika putusan pengadilan juga
menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara jaksa menguasakan benda
tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang yang
hasilnya dimasukan ke kas negara. Dalam hal barang rampasan tidak dijual lelang, barang
rampasan dapat ditetapkan status penggunaannya dan dimanfaatkan setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun
2006.

H. Tes Formatif 5
1. Mekanisme pengelolaan BMN dari Barang Rampasan yang tidak benar adalah
a. Kejati mengajukan usulan pemanfaatan kepada Kejaksaan Agung
b. Kejakgung melakukan verifikasi atas kelengkapan dokumen usulan
c. Kejakgung menerbitkan ijin pemanfaatan
d. Menteri Keuangan melakukan proses verifikasi atas usulan Kejakgung
2. Dalam pelaksanaan inventarisasi barang rampasan, petugas KPKNL harus
berkoordinasi dengan ....
a. Kepolisian b. Pengadilan c. Kejaksaan d. TNI
3. Yang menjadi dasar hukum pengelolaan aset eks rampasan adalah, kecuali...
a. KUHAP b. UU No. 20/2001 c. PP No. 6/2006 d. UU No. 86/1958
4. Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2006, barang rampasan termasuk Barang Milik
Negara yang diperoleh dari ......
a. putusan pengadilan yang bersifat in kraacht
b. pelaksanaan dari perjanjian/kontrak
c. ketentuan undang-undang
d. hibah/sumbangan atau yang sejenis
5. Yang tidak termasuk hukuman pidana tambahan adalah :
a. Pembayaran uang pengganti
b. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang paling lama 1
tahun
c. Kurungan paling lama 5 tahun
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu

59
KEGIATAN BELAJAR 6
PENGELOLAAN ASET BEKAS MILIK ASING/CINA

A. Pengantar
Pada dasarnya penelitian dan penyelesaian atas tanah dan bangunan bekas milik
asing/Cina ditujukan pada aset-aset yang pernah dikuasai oleh Pemerintah Republik
Indonesia yang dimiliki oleh perkumpulan-perkumpulan Cina terlarang, perkumpulan-
perkumpulan Belanda yang dinasionalisasi, perkumpulan-perkumpulan aliran
kepercayaan asing terlarang, dan milik perkumpulan-perkumpulan eksklusif rasialis Cina
yang secara yuridis formal sudah tidak ada lagi.
Penguasaan-penguasaan itu pada waktu yang lalu dilakukan dengan menggunakan
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur keadaan darurat/keadaan
khusus, dan dilaksanakan oleh aparat yang berstatus dan berfungsi khusus, yang berakhir
tugas dan berfungsi seiring dengan berakhirnya keadaan darurat/keadaan khusus itu.
Aset-aset yang menjadi obyek penelitian dan penyelesaian antara lain sebagai
berikut.
1. Bekas milik perkumpulan-perkumpulan Cina yang dinyatakan terlarang dan
dibubarkan dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor
Prt/032/PEPERPU/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp.Tahun 1960.
Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut pada intinya menyatakan melarang dan
membubarkan semua perkumpulan/organisasi/perusahaan yang didirikan oleh warga
negara asing yang pemerintahnya tidak memiliki hubungan diplomatik dengan
Pemerintah Republik Indonesia atau yang hubungan diplomatiknya sedang
diputuskan. Perkumpulan yang dimaksud adalah perkumpulan Cina yang didirikan
oleh warga negara Cina Taiwan, karena Republik Indonesia tidak mengakui dan
tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Pemerintah Cina Taiwan.
Dengan demikian subyek hak atas tanah dan bangunan sudah tidak ada lagi dan juga
tidak ada ahli waris atau penerusnya. Oleh karena itu sepanjang tanah dan bangunan
itu bukan milik perorangan maka tanah dan bangunan tersebut telah menjadi milik
negara.
2. Bekas milik perkumpulan-perkumpulan Belanda yang dinasionalisasi dalam rangka
aksi pengembalian Irian Barat berdasarkan Undang-Undang No.86 Tahun 1958.
alam rangka pembebasan Irian Barat (1958-1964), Pemerintah menggunakan
perangkat hukum Keadaan Darurat Perang dan perangkat Penguasa Perang telah

60
melaksanakan penguasaan terhadap bangunan dan tanah milik perusahaan-
perusahaan, perkumpulan-perkumpulan serta perorangan-perorangan Belanda.
Selanjutnya terhadap aset tersebut dilakukan Nasionalisasi yang diatur dengan:
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958
Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1960
Kemudian pada tahun 1966, semua aset milik Belanda yang terkena tindakan penguasaan
dan Nasionalisasi itu telah diperhitungkan dan dibayar lunas kepada Pemerintah Kerajaan
Belanda. Dengan demikian sejak saat itu semua aset bekas milik perusahaan Belanda
telah menjadi milik Negara Republik Indonesia.
3. Bekas milik perkumpulan-perkumpulan aliran kepercayaan asing yang dinyatakan
terlarang dan dibubarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Pnps. Tahun 1962.
Pada tahun 1962, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun
1962 tentang pembubaran dan larangan terhadap organisasi-organisasi aliran
kepercayaan asing, karena tidak sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia yang
dalam pelaksanaannya dengan keputusan Presiden Nomor 364 Tahun 1962 telah
dinyatakan bubar dan terlarang atas tujuh buah organisasi. Sesuai dengan ketentuan
dibubarkan dan dilarang, dengan demikian sepanjang aset itu milik
perkumpulan/organisasi, maka menjadi milik Negara.
4. Bekas milik perkumpulan-perkumpulan Cina yang beraliran Kun Chan Tang/berkiblat
ke RRC yang menjadi sasaran aksi massa/kesatuan-kesatuan aksi tahun 1965/1966
dalam rangka keterlibatan RRC dalam pemberontakan G.30.S/PKI. Selanjutnya
tanah dan bangunan-bangunan itu dikuasai oleh Penguasa berdasarkan Instruksi
Kepala Staf Komando Tertinggi Nomor T-403/G-5/1966.
Dengan ditutup, dibubarkan dan dilarangnya semua perkumpulan Cina yang
beraliran Kuo Min Tang, maka yang masih tersisa adalah perkumpulan-
perkumpulan Cina yang beraliran Kun Chan Tang/berkiblat ke RRC. Namun dengan
keterlibatan RRC membantu pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, bangunan-
bangunan milik Cina tersebut menjadi sasaran aksi massa/kesatuan-kesatuan aksi
yang dengan spontan merebut dan mendudukinya. Kemudian atas keadaan tersebut
dikeluarkan Instruksi Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi Nomor T-403/G-
5/1966, memerintahkan para Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (PEPERALDA)
untuk menguasai dan mendayagunakan tanah dan bangunannya.

61
Perkumpulan-perkumpulan Cina Kou Min Tang itu pada umumnya tidak terkena
suatu peraturan/pernyataan pembubaran dan pelarangan. Oleh karena itu secara
formal mereka masih ada namun pada kenyataannya tidak berfungsi lagi, dengan
demikian perlu dilakukan upaya hukum untuk melalui perangkat Pengadilan Negeri
menyatakan perkumpulan tersebut tidak hadir (afwezig) dan karena itu segala
hartanya menjadi harta tak bertuan yang menjadi objek pengelolaan Balai Harta
Peninggalan.
5. Bekas milik perkumpulan-perkumpulan eksklusif rasial Cina yang secara yuridis
formal sudah tidak ada lagi.
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia terdapat sejumlah perkumpulan eksklusif
Cina yang didirikan oleh sekelompok orang-orang Cina dan mendapat pengesahan
sebagai Badan Hukum dari Departemen Kehakiman waktu itu. Dalam keadaannya
sebagai perkumpulan eksklusif rasialis, perkumpulan-perkumpulan itu tidak dapat
hidup lagi karena terbentur pada Keputusan Presiden RI Nomor 240 Tahun 1967
yang antara lain mencegah segala bentuk kehidupan eksklusif rasialis.

B. Tujuan Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina


Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
707/KMK.011/1983 tanggal 15 Oktober 1983 tentang Pembentukan Team Peneliti dan
Penyelesaian Masalah Gedung-Gedung dan Tanah-Tanah Bekas Sekolah Asing Cina,
tujuan penyelesaian aset bekas milik asing/Cina adalah untuk mewujudkan tertib
administrasi dan tertib hukum atas penguasaan/penggunaan gedung-gedung dan tanah-
tanah bekas Sekolah Asing/Cina tersebut.
Dipandang dari sisi manajemen aset (pengelolaan kekayaan), tujuan penyelesaian
aset bekas milik asing/Cina adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan Kekayaan
Negara, meningkatkan nilai (value) Kekayaan Negara, dan menambah Penerimaan
Negara Bukan Pajak dari penjualan (pembayaran kompensasi) dan penyewaan.

C. Penelitian Kronologis/Riwayat Tanah Aset Bekas Milik Asing/Cina


Kronologis/riwayat tanah adalah urutan kejadian yang terkait dengan kepemilikan
tanah sejak awal kepemilikan sampai sekarang, berdasarkan catatan yang masih dapat
ditelusuri melalui data di Badan Pertanahan. Untuk dapat mengetahui kronologis riwayat
tanah, tidak cukup hanya dengan melakukan pemeriksaan dokumen dan catatan saja,
melainkan juga harus melakukan pemeriksaan fisik tanah secara langsung ke lapangan.

62
Hal itu disebabkan oleh sering terjadinya perbedaan antara kepemilikan yang dinyatakan
secara sah dalam dokumen dengan kenyataan penguasaan fisik tanah yang ada di
lapangan.
Dalam hal aset bekas milik asing/Cina, kronologis yang harus diteliti dan disusun
biasanya diawali dari kepemilikan tanah oleh perkumpulan Cina yang dinyatakan
terlarang, perusahaan/perkumpulan/perorangan Belanda, perkumpulan aliran kepercayaan
asing, dan perkumpulan Cina yang kemudian haknya berakhir karena hukum. Kemudian
dilanjutkan dengan peristiwa yang menyebabkan tanah tersebut dikuasai Negara, lengkap
dengan sejarah kejadiannya dan dasar hukumnya. Kemudian dilanjutkan dengan
peristiwa-peristiwa berikutnya baik berupa pemanfaatan maupun pemindahtanganan
sampai adanya kepemilikan yang terakhir pada saat ini.

D. Penelitian Masalah Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina dan Lembaga


yang Melakukannya
Penelitian masalah yang terjadi dalam penyelesaian aset bekas milik asing/Cina
dilakukan oleh Tim Antar Departemen di tingkat pusat. Masalah yang terjadi diteliti
berdasarkan kejadian-kejadian yang dijelaskan di dalam dokumen-dokumen berkas kasus
yang bersangkutan. Masing-masing anggota yang berasal dari berbagai
departemen/lembaga meneliti dokumen sesuai bidang dan kewenangannya. Penelitian
masalah dilakukan terhadap aset-aset yang diusulkan penyelesaiannya oleh Tim Asistensi
Daerah.
Tim Asistensi Daerah meneliti seluruh aset bekas milik asing/Cina yang ada di
wilayahnya untuk diusulkan proses penyelesaiannya kepada Tim Antar Departemen di
Tingkat Pusat. Usulan Penyelesaian dapat diajukan setelah Tim Antar Daerah melakukan
rapat pembahasan dengan mempertimbangkan latar belakang timbulnya aset bekas milik
asing/Cina tersebut, kronologis/riwayat tanah yang dianggap aset bekas milik asing/Cina
tersebut, dan fakta/kondisi terkini pemilikan dan penguasaan aset tersebut.
Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
707/KMK.011/1983 tanggal 15 Oktober 1983 tentang Pembentukan Team Peneliti dan
Penyelesaian Masalah Gedung-Gedung dan Tanah-Tanah Bekas Sekolah Asing Cina, Tim
Antar Departemen Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina terdiri dari wakil-wakil:
1. Departemen Keuangan (sekarang cq DJKN);
2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas);
3. BKMC-BAKIN (sekarang LP2KB-BIN);

63
4. Departemen Dalam Negeri (sekarang cq BPN);
5. Departemen Pekerjaan Umum;
6. Departemen Hankam;
7. Sekretariat Negara; dan
8. Sekretariat Kabinet.
Tugas Tim Antar Departemen Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina adalah
sebagai berikut.
1. Melakukan inventarisasi terhadap gedung-gedung dan tanah-tanah bekas Sekolah
Asing Cina/Organisasi pendukungnya.
2. Melakukan penelitian terhadap status gedung-gedung dan tanah-tanah tersebut di
atas.
3. Melaporkan hasil inventarisasi dan penelitian tersebut serta menyampaikan saran-
saran penyelesaian permasalahannya kepada Menteri Keuangan.
4. Menyelesaikan permasalahannya sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
Dengan mengacu kepada keanggotaan Tim Antar Departemen Penyelesaian Aset
Bekas Milik Asing/Cina di Tingkat Pusat, dan sesuai kebutuhan di daerah/wilayah, serta
mempertimbangkan ketentuan terkait otonomi daerah, Tim Asistensi Daerah Penyelesaian
Aset Bekas Milik Asing/Cina yang dibentuk oleh Gubernur terdiri dari wakil-wakil:
1. Pemerintah Provinsi (cq Setda Provinsi);
2. Departemen Keuangan (Kanwil DJKN);
3. Dinas Pendidikan Provinsi (di bawah Pemprov);
4. Komando Daerah Militer; dan
5. Kanwil BPN.
Sesuai dengan surat edaran Direktur Jenderal Anggaran Nomor SE-71/A/91/0793
tanggal 24 Juli 1993 perihal Tim Asistensi Daerah Penyelesaian Aset Bekas Milik
Asing/Cina, Tugas Tim Asistensi Daerah Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina
adalah sebagai berikut.
1. Mengadakan koordinasi yang sebaik-baiknya dengan instansi yang terkait
dalam membantu mengamankan kebijaksanaan pelaksanaan penyelesaian aset bekas
milik asing/Cina yang telah digariskan oleh pemerintah melalui Surat Menteri
Keuangan Nomor S-394/MK.03/1989 tanggal 12 April 1989

64
2. Memantau perkembangan pelaksanaan penyelesaian aset dimaksud serta
melaporkan hasil pemantauan tersebut kepada Direktur Jenderal Anggaran cq.
Direktur Pembinaan Kekayaan Negara.

E. Petunjuk Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina


Berdasarkan Lampiran I Surat Menteri Keuangan Nomor S-394/MK.03/1989
tanggal 12 April 1989 perihal Gedung dan Tanah Bekas Sekolah Asing/Cina, ada 5
petunjuk penyelesaian yang dapat diterapkan terhadap aset bekas milik asing/Cina.
1. Dimantapkan status hukumnya sebagai milik Negara oleh dan atas nama
Pemerintah Pusat.
Aset bekas milik asing/Cina yang dikuasai secara fisik oleh TNI penyelesaiannya
adalah dengan disertifikatkan menjadi Hak Pakai atas nama Pemerintah RI dengan
Dephan sebagai Pengguna Barang Milik Negara. Prosedurnya dimulai dari usulan
oleh Tim Asistensi Daerah (TAD) agar ABMA/C dimantapkan status hukumnya
sebagai milik Negara. Apabila dokumen lengkap dan sesuai keadaan fisik tanahnya,
maka Menteri Keuangan cq Dirjen KN menetapkan penyelesaiannya untuk
dimantapkan status hukumnya. Kemudian Dephan membuat permohonan untuk
pensertifikatan tanah kepada BPN. Setelah tanah disertifikatkan a.n. Pemerintah RI
yang digunakan oleh Dephan, Dephan memohon penetapan status penggunaannya
kepada Menteri Keuangan selaku pengelola barang. Selanjutnya prosedur penetapan
status penggunaannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Aset bekas milik asing/Cina yang digunakan untuk sekolah dahulu disertifikatkan
menjadi Hak Pakai atas nama Pemerintah RI dengan Depdikbud sebagai Pengguna
Barang Milik Negara, namun dengan adanya otonomi daerah maka sekarang harus
disertifikatkan menjadi Hak Pakai atas nama Pemerintah Daerah
(Propinsi/Kabupaten/Kota).
2. Dimantapkan status hukumnya sebagai milik Negara oleh dan atas nama
Pemerintah Daerah.
Selain yang digunakan untuk sekolah sebagaimana pada angka 1 di atas, aset bekas
milik asing/Cina yang digunakan oleh Pemerintah Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota)
untuk kepentingan dinas juga harus disertifikatkan menjadi Hak Pakai atas nama
Pemerintah Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota). Prosedur penyelesaiannya seperti

65
penyelesaian pada angka 2 di atas, hanya pemohon sertifikatnya adalah Dinas
Pendidikan / Pemerintah Daerah.
3. Dijual/disewakan/ditukar/dihibahkan kepada pihak swasta.
Aset bekas milik asing/Cina yang dikuasai secara fisik oleh pihak swasta dan tidak
ada instansi pemerintah yang menggunakannya untuk kepentingan dinas dapat
dijual/disewakan/ditukar/dihibahkan kepada pihak yang menguasai dan
menggunakannya. Penguasaan secara fisik dan penggunaan oleh pihak swasta
biasanya didasarkan oleh surat penunjukan/penyerahan pengelolaan dari TNI yang
telah mengokupasi aset tersebut sebelumnya, atau surat penunjukan/penyerahan
pengelolaan dari Depdikbud karena aset berupa sekolah. Menteri Keuangan dapat
memberikan hak prioritas kepada pihak ketiga untuk memperoleh Aset Bekas Milik
Asing/Cina berdasarkan pertimbangan ekonomi, sosial, lingkungan, dan/atau budaya.
Pihak ketiga tersebut merupakan pihak yang secara terus menerus
menempati/menghuni aset bekas milik asing/Cina dan bukan merupakan reinkarnasi/
penerus/ onderbouw/ ahli waris pengurus dari organisasi/ perkumpulan/ yayasan
terlarang/ eksklusif rasial yang dahulu menguasai aset dimaksud. Hak prioritas
tersebut tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis Menteri
Keuangan. Prosedurnya dimulai dari usulan pemberian hak prioritas tersebut oleh
TAD. Apabila dokumennya lengkap dan sesuai dengan keadaan fisik aset maka
Menteri Keuangan menetapkan penyelesaiannya untuk diberikan hak prioritas kepada
pihak ketiga tersebut, lalu menugaskan tim penilai untuk menilai aset guna
menentukan besarnya kompensasi yang harus dibayar oleh pihak ketiga tersebut.
Kemudian Menteri Keuangan cq. Dirjen KN menetapkan besarnya kompensasi.
Apabila pemegang hak prioritas telah membayar kompensasi dalam jangka waktu
yang telah ditentukan maka Menteri Keuangan menerbitkan surat pelepasan hak
penguasaan Negara yang ditujukan kepada TAD, agar selanjutnya pihak ketiga
tersebut mengajukan pensertifikatan tanah atas namanya kepada BPN. Selanjutnya
proses penetapan hak atas tanahnya mengacu kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada bidang pertanahan.
4. Dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
Aset bekas milik asing/Cina yang telah diinventarisir dan dimuat di Lampiran I Surat
Menteri Keuangan Nomor S-394/MK.03/1989 ternyata ada yang bukan bekas milik
perkumpulan asing/terlarang, dan kemudian diklaim oleh pemilik sebenarnya atau ahli
warisnya. Apabila pemilik sebenarnya atau ahli warisnya tersebut dapat membuktikan

66
keabsahan kepemilikannya, maka aset tersebut harus dikembalikan kepada pemilik
sebenarnya. Biasanya aset tersebut dahulu dipinjam oleh sebuah perkumpulan
asing/terlarang sehingga ketika dilaksanakan inventarisasi pada tahun 1989 tanah
tersebut masuk dalam daftar ABMA/C yang dianggap bekas milik perkumpulan
asing/terlarang tersebut. Prosedurnya dimulai dari usulan oleh TAD agar ABMA/C
dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, terkait adanya bukti-bukti baru yang
melandasi kepemilikan tersebut atau keputusan pengadilan yang bersifat in kraacht
telah melandasi kepemilikan atas tanah tersebut oleh pihak yang bukan merupakan
perkumpulan asing/terlarang atau penerusnya. Apabila dokumennya telah lengkap dan
sesuai dengan keadaan fisik aset tersebut maka Menteri Keuangan menetapkan aset
tersebut keluar dari daftar ABMA/C untuk selanjutnya dikembalikan kepada pemilik
sebenarnya.
5. Dikeluarkan dari daftar aset bekas milik asing/Cina.
Aset bekas milik asing/Cina yang bukan bekas milik perkumpulan asing/terlarang
namun tidak ada pemilik sebenarnya atau ahli warisnya yang dapat membuktikan
keabsahan kepemilikannya penyelesaiannya adalah dikeluarkan dari daftar aset bekas
milik asing/Cina. Selanjutnya aset tersebut menjadi tanah negara bebas dan masuk ke
dalam domain Badan Pertanahan Nasional yang berwenang untuk memberikan hak
atas tanah. Prosedurnya seperti penyelesaian pada angka 4 tersebut di atas, hanya saja
diakhiri dengan Menteri Keuangan menetapkan aset tersebut keluar dari daftar
ABMA/C untuk selanjutnya menjadi tanah negara bebas yang pengurusan
hak/kepemilikannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku
umum pada bidang pertanahan.

F. Latihan
1. Sebutkan dan jelaskan peristiwa dan peraturan yang melatarbelakangi timbulnya
aset bekas milik asing/Cina!
2. Jelaskan tujuan penyelesaian masalah aset bekas milik asing/Cina!
3. Jelaskan hal-hal yang harus diteliti untuk mengetahui kronologis/riwayat tanah
yang merupakan aset bekas milik asing/Cina!
4. Jelaskan dengan contoh masalah yang mungkin terjadi pada aset bekas milik
asing/Cina!
5. Jelaskan petunjuk penyelesaian aset bekas milik asing/Cina yang dapat diterapkan
sesuai surat Menteri Keuangan Nomor S-394/MK.03/1989!

67
6. Sebutkan lembaga-lembaga dan instansi anggotanya yang bertugas meneliti dan
merekomendasikan cara penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina.
7. Sebutkan dan jelaskan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tersebut pada soal
nomor 6.

G. Rangkuman
Aset Bekas Milik Asing/Cina adalah aset bekas milik perkumpulan Cina yang
dinyatakan terlarang dan dibubarkan, aset bekas milik perkumpulan atau perusahaan
Belanda yang dinasionalisasi, aset bekas milik perkumpulan aliran kepercayaan asing
yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan, aset bekas milik perkumpulan Cina yang
menjadi sasaran aksi massa tahun 1965/1966, dan aset bekas milik perkumpulan eksklusif
rasial Cina yang secara yuridis formal sudah tidak ada lagi.
Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina dilakukan oleh Tim Interdep Pusat yang
diketuai oleh Dirjen Kekayaan Negara dan dibantu oleh Tim Asistensi Daerah di setiap
Propinsi. Penyelesaian tersebut dilakukan dengan dimantapkan status hukumnya sebagai
milik Negara oleh dan atas nama Pemerintah Pusat, dimantapkan status hukumnya
sebagai milik Negara oleh dan atas nama Pemerintah Daerah,
dijual/disewakan/ditukar/dihibahkan kepada pihak swasta, dikembalikan kepada pemilik
sebenarnya, atau dikeluarkan saja dari daftar Aset Bekas Milik Asing/Cina.

H. Tes Formatif 6
1. Yang tidak termasuk Aset Bekas Milik Asing/Cina adalah aset bekas milik ....
a. perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan
b. perkumpulan Cina terlarang
c. orang Cina penganut aliran terlarang
d. perkumpulan Belanda yang dinasionalisasikan
2. Tugas Tim Antar Departemen Penyelesaian ABMA/C adalah ..
a. Melepaskan hak penguasaan kepada pihak swasta
b. memantapkan status hukum ABMA/C
c. memberi rekomendasi penyelesaian ABMA/C kepada Menkeu
d. mengusulkan penyelesaian ABMA/C
3. Tugas Tim Asistensi Daerah adalah ..
a. mengusulkan penyelesaian ABMA/C
b. menetapkan status hukum ABMA/C

68
c. menyelesaikan ABMA/C sesuai arahan Menteri Keuangan
d. melakukan verifikasi atas penetapan Menteri Keuangan
4. Yang tidak termasuk cara penyelesaian masalah ABMA/C adalah ...
a. dilepaskan penguasaannya kepada pihak ketiga dengan pembayaran kompensasi
b. dihibahkan kepada pemilik sebenarnya
c. dimantapkan status hukumnya sebagai milik Negara
d. dikeluarkan dari daftar aset bekas milik asing/Cina
5. Dalam rangka inventarisasi ABMA/C, untuk mengetahui kronologis/riwayat aset,
petugas Kanwil dan KPKNL dapat menghubungi .....
a. Pemerintah Daerah b. BPNc. BIN d. Kanwil Depkumham

69
KEGIATAN BELAJAR 7
PENGELOLAAN BENDA BERHARGA ASAL MUATAN KAPAL TENGGELAM
(BMKT)

A. Pengantar
Letak kepulauan Indonesia yang secara geografis merupakan perempatan jalur
internasional memberikan salah satu potensi kelautan, yaitu kapal tenggelam beserta
benda berharga asal muatannya (BMKT). Di perairan kita, ditemukan banyak kapal
tenggelam dengan muatannya seperti keramik, bagian badan kapal, atau temuan lainnya
oleh para nelayan. BMKT tersebut pada umumnya berasal dari masa sebelum abad XX
(Perang Dunia ke II) telah terdeteksi seluruhnya berjumlah 463 kapal tenggelam yang
memiliki potensi memuat benda berharga diperairan nusantara dengan nilai kurang lebih
US$ 27,049,0001. Sedangkan bila merujuk pada data dari Biro Pusat Statistik di satu titik
pengangkatan yaitu di Cirebon nilainya sekitar US$40,000,000, dapat dibayangkan jika
angka tersebut dikalikan dengan 463 titik lokasi berapa besar nilai yang dapat kita terima.
Namun demikian bila melihat luas perairan nusantara dan keterangan dalam sejarah
kemaritiman di Indonesia, angka tersebut dianggap masih terlalu kecil jika dibandingkan
dengan jumlah kapal tenggelam diperairan Indonesia hingga Perang Dunia Ke II yang
mencapai ribuan kapal.
Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) sebagai harta karun, benda berharga,
atau sebagai kekayaan budaya cultural resources merupakan milik negara yang perlu
dikelola dengan terpadu dan optimal. BMKT merupakan potensi ekonomi yang dapat
memberikan kontribusi penerimaan negara apabila dikelola secara baik, tetapi BMKT
juga termasuk Benda Berharga yang tidak diketahui pemiliknya sehingga harus dilindungi
dan dilestarikan (Pasal 3 UU Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya/BCB
dengan demikian kegiatan eksplorasi dan eksploitasinya harus memperhatikan prinsip-
prinsip akademis, penelitian dan pelestarian, bukan hanya mengacu pada kepentingan
ekonomi semata.
Tujuan pemanfaatan benda cagar budaya/BMKT sejalan dengan amanat Pasal 33
UUD 45 bahwa, Bumi, air dan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya meliputi permukaan bumi
(tanah), tubuh bumi (bawah tanah dan bawah air), dan ruang angkasa (di atas tanah dan di
1
Kuntjorotjakti Dorodjatun, Kliping Visual Arts : Harta Karun Yang Diabaikan.

70
atas air). Kekayaan tersebut dikuasai oleh Negara. Hal ini mengandung pengertian bahwa
Negara mempunyai kewenangan dalam mengatur tata guna maupun hubungan hukum
sebagai kewenangan public yang diwujudkan dalam peraturan tertulis.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
dinyatakan bahwa benda cagar budaya dinyatakan dikuasai oleh negara dan demi
kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, benda cagar budaya dinyatakan
menjadi milik negara. Dengan demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b
jo Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah, BMKT dikategorikan sebagai Barang Milik Negara yang
diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang. Oleh karena itu, terhadap BMKT yang
telah berhasil diangkat selanjutnya dilakukan pemanfaatan yang meliputi penjualan
dengan cara yang transparan dan dengan harga yang optimal kepada pihak ketiga dan
pemanfaatan lain untuk Pemerintah. Lelang dipilih sebagai sarana penjualan BMKT
karena mempunyai peran yang sangat penting serta mempunyai kelebihan-kelebihan lain
dibandingkan dengan cara-cara penjualan biasa.
Pada saat ini pengangkatan dan pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal
Yang Tenggelam, diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2000 tentang
Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal
Yang Tenggelam. Tugas Panitia Nasional (Pannas) antara lain menyelenggarakan
pemantauan, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pengangkatan, pengangkutan,
dan pemanfaatan benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam (BMKT).
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Selaku Ketua
Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal
Yang Tenggelam Nomor 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan
Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam,
pemerintah memberikan izin bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk melakukan survei
dan pengangkatan BMKT.

B. Pengertian Barang Milik Negara dan Pengelolaannya


Pengertian barang milik negara mengacu pada pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah semua barang yang dibeli
atau diperoleh atas APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah.
Sesuai Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, disebutkan barang milik negara/daerah

71
meliputi :
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D
b. barang yang dibeli berasal dari perolehan lain yang sah.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa barang yang berasal dari
perolehan lain yang sah meliputi :
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak
c. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang;atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Dikaitkan dengan Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 dapat disimpulkan
bahwa BMKT termasuk kategori barang milik negara yang diperoleh berdasarkan
ketentuan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 huruf c. Barang milik
negara harus dikelola secara baik untuk menjamin terlaksananya tertib administrasi dan
tertib pengelolaan. Pengelolaan barang milik negara/ daerah berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 harus memperhatikan asas-asas sebagai berikut.
a. asas fungsional
b. asas kepastian hukum,
c. asas transparansi
d. asas efisiensi
e. asas akuntabilitas
f. asas kepastian nilai.
Kegiatan pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi perencanaan kebutuhan
dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan
pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan,
pengawasan dan pengendalian.
Untuk menjamin terlaksananya tertib administrasi dan pengelolaan diperlukan
adanya persepsi dan kesamaan langkah secara integral dan menyeluruh dari unsur-unsur
yang terkait dalam pengelolaan barang milik negara.

C. Pemanfaatan Barang Muatan Asal Kapal Tenggelam Untuk Kepentingan


Ekonomis
Pemanfataan benda cagar budaya pada hakekatnya diutamakan untuk kepentingan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Namun demikian,

72
pemanfataan tersebut tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestariannya. Namun
demikian tidak tertutup kemungkinan BMKT tersebut dapat dipindahtangankan kepada
pihak lain dengan cara dijual dan hasil penjualannya dapat dimasukan sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Berdasarkan penjelasan PP 6 Tahun 2006 barang milik negara/daerah dapat
dimanfaatkan atau dipindahtangankan apabila tidak digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan negara/daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak terjadi adanya peralihan
kepemilikan dari pemerintah kepada pihak lain. Sedangkan dalam konteks
pemindahtanganan akan terjadi peralihan kepemilikan atas barang milik negara/daerah
dari pemerintah kepada pihak lain.
Mengacu kepada pemanfaatan BMKT yang dititik beratkan pada penjualan harus
dilakukan berdasarkan pertimbangan:
untuk optimalisasi BMN/D yang berlebih atau idle;
secara ekonomis lebih menguntungkan apabila dijual;
sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Kegiatan penjualan BMKT dilakukan dengan izin dari pengelola barang dalam hal
ini Menteri Keuangan cq Dirjen Kekayaan Negara. Surat permohonan izin penjualan
dibuat oleh PANNAS BMKT kepada Menteri Keuangan cq. Dirjen Kekayaan Negara.
Izin diberikan dalam bentuk surat persetujuan penjualan oleh Menteri Keuangan cq.
DJKN. Sebelum melakukan penjualan, agar tercapai asas kepastian nilai dan
mendapatkan nilai wajar sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pengelolaan barang
milik negara/daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang. Hal
ini dilakukan agar tercipta optimalisasi dalam pemanfaatan dan pemindahtanganan barang
milik negara.
Cara penjualan BMKT dapat dilakukan secara lelang, kecuali jika BMKT
tersebut berdasarkan pertimbangan secara fisik dan/atau ekonomis tidak dapat dijual
secara lelang.

D. Prosedur dan Mekanisme Lelang BMKT


Dalam pelaksanaan lelang BMKT, yang bertindak selaku pemohon lelang adalah
pihak yang berwenang untuk menentukan pemanfaatan BMKT yaitu Panitia Nasional
BMKT. Pemohon Lelang mengajukan permohonan lelang kepada KPKNL di tempat
barang tersebut berada. Setelah Penjual memenuhi semua dokumen persyaratan lelang

73
dan telah ditetapkan jadwal lelangnya oleh KPKNL, maka Penjual melaksanakan
pengumuman lelang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian Penjual
menyiapkan Harga Limit dari barang yang akan dilelang berdasarkan pendekatan
penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pelaksanaan lelang, pemenang lelang/pembeli selain harus membayar Harga
Lelang, juga dipungut Bea Lelang dan Uang Miskin serta pungutan lain yang diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas PNBP yang berlaku pada
Departemen Keuangan, pengenaan tarif Bea Lelang adalah sebesar Rp.100.000,- (seratus
ribu rupiah) dari Harga Lelang kepada Penjual dan 1 % dari Harga Lelang kepada
Pembeli.
Dalam pelaksanaan lelang BMKT, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
agar pelaksanaan lelang dapat berjalan dengan lancar dan mencapai hasil yang optimal
sebagai berikut :
1. Dokumen persyaratan lelang.
2. Pengumuman lelang yang efektif. Untuk lelang BMKT diperlukan adanya
pengumuman lelang yang efektif, tidak hanya melalui surat kabar harian, namun
dimungkinkan pula melalui media elektronik seperti internet maupun surat.
Pengumuman Lelang melalui surat kabar harian diatur sedemikian rupa sehingga
terbit pada hari kerja KPKNL dan tidak menyulitkan peminat lelang melakukan
penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang.
3. Penentuan Nilai/Harga Limit. Dalam peraturan Lelang hanya diatur bahwa yang
berwenang menetapkan Nilai/Harga Limit adalah Penjual, sedangkan cara bagaimana
Harga/Nilai Limit ditentukan belum ada aturan yang baku. Sudah seharusnya
Nilai/Harga Limit (reserve price) yang ditetapkan oleh Penjual dilakukan berdasarkan
pendekatan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai/Harga Limit
digunakan sebagai acuan dalam penetapan pemenang lelang. Karena BMKT sifatnya
spesifik maka sedapat mungkin menggunakan jasa penilaian dari penilai independen.

E. Penutup
Upaya Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal
Muatan Kapal Yang Tenggelam dalam mengangkat dan memanfaatkan BMKT sebagai
Barang Milik Negara. DJKN sebagai insitusi pemerintah yang berwenang untuk
melaksanakan Lelang Eksekusi maupun Lelang Non Eksekusi melayani permohonan

74
lelang BMKT dengan KPKNL yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun tentunya harus
didukung dengan adanya kejelasan landasan hukum yang digunakan sebagai dasar
pelaksanaan penjualan secara lelang BMKT di Indonesia.
Sebaiknya, pengelolaan BMKT tersebut dapat secara optimal memberikan
kontribusi kepada penerimaan negara, maka sudah sewajarnya pelelangan dilakukan di
Indonesia dengan upaya pemasaran yang semaksimal mungkin sehingga terinformasi
secara internasional. Kegiatan lelang di Indonesia akan menyerap tenaga kerja yang
cukup banyak, dan secara tidak langsung berperan mengembangkan pariwisata dan
penerimaan devisa, karena peserta lelang untuk dapat mengikuti lelang harus berada di
Indonesia sekurang-kurangnya 5 hari, biasanya mereka membawa keluarga atau rekan
bisnis. Selain itu, kegiatan lelang tersebut juga secara tidak langsung dapat memberikan
gambaran positif situasi Indonesia, sehingga kepercayaan investor asing diharapkan akan
semakin tinggi.

F. Latihan
1. Mengapa BMKT dikategorikan sebagai Barang Milik Negara? Jelaskan disertai
dengan aturan perundangan yang berlaku.
2. Jelaskan konteks pemanfaatan menurut UU Cagar Budaya dan pemanfaatan
menurut PP 6 Tahun 2006!
3. Terkait dengan soal di atas, kriteria pemanfaatan menurut UU Cagar Budaya dapat
digolongkan sebagai proses apa dalam PP 6 Tahun 2006?
4. Untuk menjamin terlaksananya tertib administrasi dan tertib pengelolaan barang ada
7 asas yang harus dipenuhi agar Barang Milik Negara dapat dikelola dengan baik.
Sebutkan ke 7 asas tersebut!
5. Apakah prosedur dan mekanisme lelang BMKT sama dengan prosedur lelang pada
umumnya? Jelaskan alasan saudara apabila terdapat perbedaan di antara keduanya!
6. Menurut saudara, apakah Indonesia harus menggunakan jasa lelang luar negeri agar
BMKT yang dijual dapat mencapai nilai yang optimal?

G. Rangkuman
Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) sebagai harta karun, benda berharga,
atau kekayaan budaya merupakan milik negara yang perlu dikelola dengan terpadu dan

75
optimal. BMKT merupakan potensi ekonomi yang dapat memberikan kontribusi
penerimaan negara apabila dikelola secara baik, tetapi BMKT juga termasuk Benda
Berharga yang tidak diketahui pemiliknya sehingga harus dilindungi dan dilestarikan,
sehingga kegiatan eksplorasi dan eksploitasinya harus memperhatikan prinsip-prinsip
akademis, penelitian dan pelestarian, bukan hanya mengacu pada kepentingan ekonomi
semata.
BMKT dapat dimanfaatkan atau dipindahtangankan apabila tidak digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah. Pemanfaatan BMKT yang dititik beratkan
pada penjualan harus dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk optimalisasi BMN/D
yang berlebih, secara ekonomis lebih menguntungkan apabila dijual, atau sebagai
pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Kegiatan penjualan BMKT dilakukan
dengan izin dari pengelola barang dalam hal ini Menteri Keuangan cq Dirjen Kekayaan
Negara. Surat permohonan izin penjualan dibuat oleh PANNAS BMKT kepada Menteri
Keuangan cq. Dirjen Kekayaan Negara. Izin diberikan dalam bentuk surat persetujuan
penjualan oleh Menteri Keuangan cq. DJKN. Sebelum melakukan penjualan, agar
tercapai asas kepastian nilai dan mendapatkan nilai wajar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam pengelolaan barang milik negara/daerah harus didukung oleh adanya
ketepatan jumlah dan nilai barang. Hal ini dilakukan agar tercipta optimalisasi dalam
pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara. Cara penjualan BMKT dapat
dilakukan secara lelang, kecuali jika BMKT tersebut berdasarkan pertimbangan secara
fisik dan/atau ekonomis tidak dapat dijual secara lelang.

H. Tes Formatif 7
1. BMKT dapat dikategorikan sebagai barang milik negara berdasarkan ...
a. UU No. 22/2001 c. UU No. 20/2001
b. UU No. 5/1992 d. UU No. 86/1958
2. Penjualan BMKT harus dilakukan berdasarkan pertimbangan, kecuali ...
a. secara ekonomis lebih menguntungkan jika dijual
b. untuk optimalisasi BMN yang berlebih atau idle
c. sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-undangan
d. penjualan benda cagar budaya yang bernilai sejarah tinggi
3. Usulan lelang BMKT diajukan kepada KPKNL oleh ....
a. DJKN b. Pannas BMKT c. DKPd. perusahaan pengangkat
4. Sebelum dilakukan penjualan, BMKT harus dipilah oleh ....

76
a. DJKN b. DKP c. Depbudpar d. perusahaan pengangkat
5. Peran DJKN dalam pengelolaan BMKT adalah ...
a. mengangkat dari dasar laut c. mengawasi pengangkatan
b. menyimpan di gudang d. menetapkan ijin penjualan

77
KONDISI TERKINI
DAN UPAYA PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA LAIN-LAIN

Beberapa hal yang merupakan kondisi terkini dan upaya yang telah dan akan
dilakukan dalam pengelolaan Kekayaan negara lain-lain, sebagai berikut:
A. Barang Milik Negara eks BPPN
1. Langkah untuk mendukung penertiban yang telah dan akan dilakukan:
a. Pembentukan Tim Koordinasi Penyelesaian aset eks BPPN
b. Penyelesaian sisa aset yang berperkara di Pengadilan melalui mekanisme
perdamaian
c. Penyelesaian sisa aset non-ATK (asset transfer kit) melalui mekanisme
pemberian keringanan bunga, denda, dan ongkos lainnya
d. Koordinasi dengan BPK untuk mengetahui hasil audit atas sisa aset BPPN
2. Hambatan/Kendala
a. Sistem informasi eks BPPN mengalami kerusakan
b. Sistem informasi baru pengganti dalam proses dibangun, sementara arsip
aset eks BPPN berjumlah sangat banyak
B. Kekayaan Negara eks. Bank Dalam Likuidasi, BPPN, dan PT PPA (Persero)
1. Penertiban
a. Pengumpulan/invetarisasi dan verifikasi data
b. Penatausahaan:
Pendaftaran, pencatatan, dan penyimpanan dokumen kepemilikan
Penggolongan dan kodefikasi untuk pelaksanaan pembukuan
c. Pelaporan
d. Pembangunan database terintegrasi
2. Progres pengelolaan
a. Aset pada PT PPA
Aset yang diserahkelolakan ke PT PPA dikelola secara tertib
sampai dengan tahap pembangunan database
Pengendalian yang dilakukan Departemen Keuangan cq. DJKN,
a.l.:
- Penetapan opsi-opsi pengelolaan aset
- Penetapan nilai aset

78
- Pelaporan berkala dari PT PPA berupa Laporan Rekapitulasi Aset yang
diserahkelokan kepada PT PPA dan Laporan Hasil Pengelolaan Aset
b. Aset eks Likuidasi Perbankan (Bank Dalam Likuidasi/BDL)
Pengumpulan/invetarisasi dan verifikasi data aset
Tahap yang saat ini dilakukan:
- Pengalihan hak tagih (cessie) untuk aset hak tagih
- Penilaian (appraisal) dan pembuatan akta kuasa menjual untuk aset tetap dan
Barang Jaminan yang Diambil Alih (BJDA)
Aset eks BDL selanjutnya akan ditatausahakan dalam rangka
pengelolaan kekayaan negara sesuai ketentuan yang berlaku.
c. Aset eks BBO/BBKU dan UP3
Khusus penanganan aset 3 bank (Bank Asiatic, Bank Global
Internasional, dan Bank Dagang Bali) dan 2 bank status BBO/BBKU (Bank
Prasidha dan Bank Ratu) yang menerima dana penjaminan dari UP3 saat ini masih
dilakukan oleh Tim Likuidasi yang berakhir tahun 2009
Departemen Keuangan sebagai pemegang hak tagih terhadap
dana yang telah dibayarkan pemerintah dalam rangka pemberian jaminan terhadap
kewajiban pembayaran ke-5 bank tersebut, al.:
- Melakukan koordinasi dengan Tim Likuidasi dan BI selaku Pengawas Tim
Likuidasi
- Meminta Tim Likuidasi untuk menyampaikan rencana kerja dalam rangka
pencairan aset
- Meminta Tim Likuidasi untuk menyampaikan laporan pencairan aset dan
menyetor hasil pencairan aset kepada pemerintah.
3. Hambatan/Kendala
a. Aset pada PT PPA dan eks Likuidasi Perbankan (Bank Dalam Likuidasi/BDL)
Banyak masalah hukum
b. Aset eks BBO/BBKU dan UP3
Tim Likuidasi belum menyampaikan rencana kerja dalam rangka pencairan
aset.
C. Barang Milik Negara eks Kepabeanan
1. Langkah untuk mendukung penertiban yang akan dilakukan:
a. Melakukan koordinasi internal dengan DJBC

79
b. Penyempurnaan Permenkeu No.13/PMK.04/2006 tentang penyelesaian BMN
dari DJBC
c. Perencanaan penilaian
2. Hambatan/Kendala
a. Belum adanya database BMN eks kepabeanan
b. Belum adanya pendelegasian penyelesaian kepada instansi vertikal DJBC
c. Permenkeu No.13/PMK.04/2006 belum mendukung penertiban kekayaan
negara khususnya dari aspek penilaian (appraisal)
D. Kekayaan Negara eks KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama)
1. Penertiban
a. Penyusunan database
Progres penyusunan database per Juli 2007
Surat permintaan kepada BPMIGAS untuk menyusun database aset eks
KKKS yang selanjutnya disampaikan kepada Departemen Keuangan cq
DJKN
BPMIGAS telah memberikan akses informasi database (Sistem Informasi
Pergerakan Material) kepada DJKN
b. Penyusunan pedoman teknis
Penyusunan kerangka umum pedoman teknis
Penyesuaian pedoman teknis dengan SOP, Urjab, dan RPMK Pengelolaan
BMN
2. Hambatan/Kendala
a. Database di BPMIGAS belum sepenuhnya di-update secara rutin oleh KPS-
KPS
b. Belum adanya standar database atas BMN eks KKKS
c. RPMK Pengelolaan BMN belum ditetapkan
E. Aset Bekas Milik Asing/Cina (ABMA/C)
1. Penertiban
a. Penyusunan database
Jumlah aset asing Cina yang dikelola DJKN adalah sebanyak 942
aset
b. Penyempurnaan pedoman teknis
Penyempurnaan kerangka umum pedoman teknis

80
Penyesuaian pedoman teknis dengan SOP, Urjab, dan RPMK
Pengelolaan BMN
2. Penyelesaian yang selama ini diterapkan
a. disertifikatkan untuk instansi pemerintah yang ditunjuk
b. dilepaskan penguasaannya dari negara kepada pihak ketiga dgn cara
pembayaran kompensasi kepada negara
c. dipertukarkan dengan pihak ketiga
d. dihibahkan
e. dikeluarkan dari daftar/dikembalikan kepada pemilik perorangan yang
sah.
3. Hambatan/Kendala
a. munculnya perkara gugatan baik perdata maupun PTUN
b. adanya klaim dari pihak lain yang mengaku sebagai pemilik aset/ahli waris
c. pihak yang menguasai aset belum bersedia membayar kompensasi kepada
negara
d. aset dijual oleh pihak ketiga tanpa izin Menteri Keuangan
e. penerbitan sertifikat a.n. pihak ketiga tanpa membayar ganti rugi kepada
negara

81
DAFTAR PUSTAKA

1. Kepmenkeu Nomor 1045/KMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan/Prosedur


Operasi Standar Tim Kerja Administrasi Aset dan Kearsipan Tim Koordinasi
Penanganan Penyelesaian Tugas-tugas Tim Pemberesan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional, Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah dan Penjaminan
Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1050/KMK.01/2006 tentang Pelimpahan
Wewenang Kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara Untuk dan Atas Nama
Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan atau Keputusan Menteri Keuangan.
3. Keputusan Menteri keuangan Nomor 179/KMK.017/2000 tentang Syarat, Tata Cara
dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Umum;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 470/KMK.01/1994 tentang Tata Cara
Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik Kekayaan Negara;
5. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
6. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pemberesan
Badan penyehatan Perbankan Nasional;
7. Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional;
8. Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pengakhiran Tugas dan
Pembubaran Tim Pemberesan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Keuangan;
10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kanwil DJKN dan KPKNL;
11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan
Kekayaan Negara Yang Berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional Oleh
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero);
12. Peraturan Pemerintah Nomor : 19 tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional;

82
13. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan
Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset
14. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi;
15. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan
dan Pendistribusian Bahan Bakar dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi
melalui Pipa;
17. Permenkeu No.13/PMK.04/2006 tentang Penyelesaian Terhadap Barang Yang
Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Yang Dikuasai Negara, Dan Barang Yang
Menjadi Milik Negara
18. Undang-undang Nomor : 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
19. Undang-undang Nomor : 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
20. Undang-undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
21. Undang-undang Nomor : 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
22. Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1992 tentang Cagar Alam Budaya;
23. Undang-undang Nomor : 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik
Belanda;
24. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

83

Anda mungkin juga menyukai