Pemerintah
Sertifikasi Qualified Government Internal Auditor
(QGIA)
Modul Unit 4
Manajemen Keuangan Pemerintah
Bagian 1 – Keahlian Fundamental: Manajemen Keuangan Pemerintah
KATA PENGANTAR
Reformasi Keuangan Negara terjadi ketika disahkannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) ketiga ketentuan hukum, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara sebagai pengganti ketentuan hukum zaman kolonial Belanda. Berpijak pada
ketiga ketentuan hukum tersebut lahirkan berbagai ketentuan hukum pelaksanaannya yang
melandasi proses pengelolaan keuangan Pemerintah.
Kami berharap kehadiran modul ini dapat memberikan manfaat dalam pelatihan persiapan
sertifikasi QGIA, juga dapat menjadi referensi dalam rangka peningkatan kompetensi di bidang
audit internal pemerintah. Materi di dalam modul ini akan terus dikembangkan seiring dengan
perkembangan praktik audit internal di lingkungan pemerintah. Saran dan masukan bagi
penyempurnaan modul ini sangat kami harapkan. Semoga kehadiran modul ini dapat bermanfaat
bagi para peserta pelatihan sertifikasi QGIA dan instruktur/fasilitator, serta dapat memperkaya
referensi bagi para praktisi audit internal sektor pemerintah.
Mohamad Hassan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PENDAHULUAN 3
A. Deskripsi Singkat 3
B. Prasyarat Kompetensi 3
C. Kompetensi setelah Pelatihan 3
D. Relevansi Modul 4
KEGIATAN BELAJAR 1:
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PENGELOLAAN DAN
PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH 5
A. Pendahuluan 5
B. Pengertian Keuangan Negara 6
C. Ruang Lingkup Keuangan Negara 7
D. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara 8
E. Pengertian Manajemen Keuangan Daerah 9
F. Ruang Lingkup Manajemen Keuangan Daerah 10
G. Hubungan Keuangan Negara dan Keuangan Daerah 12
H. Tes Formatif Kegiatan Belajar 1 19
KEGIATAN BELAJAR 2:
ANGGARAN PENDATAPAN DAN BELAJAR NEGARA (APBN) DAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) 23
A. Pendahuluan 23
B. Pengertian APBN dan APBD 24
C. Siklus APBN dan APBD 25
D. Pelaksanaan APBN dan APBD 49
E. Tes Formatif Kegiatan Belajar 2 73
KEGIATAN BELAJAR 3:
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAPORAN PELAKSANAAN
ANGGARAN NEGARA/DAERAH 76
A. Pendahuluan 76
B. Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran 76
C. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran 79
D. Tes Formatif Kegiatan Belajar 3 100
KEGIATAN BELAJAR 4:
SANKSI ADMINISTRATIF, GANTI RUGI, DAN KETENTUAN PIDANA 103
A. Pendahuluan 103
B. Informasi dan Pelaporan Kerugian Negara/Daerah 104
C. Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah 106
D. Penentuan Nilai Kerugian Negara/Daerah 108
E. Keterkaitan Sanksi , Tuntutan Ganti Rugi dengan Sanksi Lainnya 110
F. Tes Formatif Kegiatan Belajar 4 111
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 26
Gambar 2 : Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 37
Gambar 3 : Tahap Perencanaan dan Penggaran dan Tahap Penetapan APBD 38
Gambar 4 : Pendelegasian Kekuasaan dan Pengelolaan Keuangan Negara 49
Gambar 5 : Pelimpahan Kewenangan Kepala Daerah 65
Gambar 6 : Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 66
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Dokumen Daftar Isian Penetapan Anggaran (DIPA) 50
A. Langkah Pembelajaran
Untuk dapat memahami isi modul Manajemen Keuangan Pemerintah ini, peserta disarankan
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Pahami tujuan pembelajaran dari setiap sesi Kegiatan Belajar.
2. Baca modul dengan baik dan pelajarilah dengan teliti semua materi mengenai Manajemen
Keuangan Pemerintah.
3. Kerjakan tes formatif yang tersedia dan review hasilnya untuk menilai pemahaman dan
kemampuan yang telah Anda miliki.
4. Gunakan hasil tes formatif sebagai umpan balik untuk memperdalam pemahaman
mengenai materi tertentu.
5. Jika terdapat studi kasus, diskusikan secara berkelompok untuk meningkatkan pemahaman
dan kemampuan Anda mengenai topik tertentu.
6. Bacalah ketentuan, peraturan perundangan, standar, panduan dan referensi terkait yang
disebutkan dalam modul untuk memperkaya pemahaman Anda.
7. Selamat belajar dan semoga sukses.
B. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran dalam pelatihan terdiri dari pemaparan materi mengenai Manajemen
Keuangan Pemerintah oleh fasilitator, diikuti dengan tanya jawab dan diskusi interaktif, serta
diskusi kelompok dan presentasi studi kasus (jika ada).
C. Waktu Pembelajaran
Waktu pembelajaran yang dibutuhkan adalah 5 sesi atau 10 jam latihan (jamlat), dengan
alokasi waktu sebagai berikut:
Pokok Bahasan Waktu
Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan dan 2,5 jamlat
Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 2,5 jamlat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pertanggungjawaban dan Pelaporan Atas Pelaksanaan 2,5 jamlat
Anggaran Negara dan Daeah
Sanksi Administratif, Ganti Rugi dan Ketentuan Pidana 2,5 jamlat
Jumlah 10 jamlat
Manajemen Keuangan
Pemerintah
PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Pengelolaan keuangan di sektor publik (Pemerintah) memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan pengelolaan keuangan di sektor privat. Sumber dana pemerintah
merupakan dana masyarakat yang diperoleh dari penerimaan pajak dan bukan pajak sehingga
pengelolaannya pun dipengaruhi oleh aspek politik yang dilandasi oleh ketentuan hukum.
Tujuan pengelolaan keuangan pun lebih difokuskan untuk mengadakan kebutuhan
masyarakat yang disebut dengan public good yaitu produk yang tidak mendatangkan
keuntungan namun wajib disediakan oleh pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur,
pelayanan administrasi kependukan dan sebagainya. Dengan demikian, manajemen keuangan
pemerintah bersifat unik karena terikat dengan banyak ketentuan hukum yang harus dipatuhi.
Dalam rangka pemahaman tentang manajemen keuangan pemerintah, maka modul ini
menyajikan pengetahuan tentang proses pengelolaan keuangan pemerintah yang dimulai dari
perencanaan dan penganggaran, penetapan, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan serta
pemeriksaan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah.
Di samping itu, pengelolaan keuangan pemerintah juga sudah mengadopsi dan mengadaptasi
pendekatan pencatatan akuntansi berbasis akrual sehingga pertanggungjawaban keuangan
pemerintah sudah dituangkan dalam bentuk laporan keuangan, yang terdiri atas: Laporan
Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan
Keuangan (CaLK). Oleh karena modul ini merupakan materi dasar dari sertifikasi kualifikasi
auditor intern Pemerintah, maka modul ini sangat penting untuk dipahami.
B. Prasyarat Kompetensi
Peserta pelatihan adalah para calon dan pejabat struktural di lingkungan Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah (APIP) yang umumnya diangkat menjadi pejabat struktural tanpa memiliki
kompetensi yang cukup di lingkungan pengawasan.
D. Relevansi Modul
Manajemen Keuangan Pemerintah merupakan pengetahuan dasar yang harus dipahami
secara sekasama oleh seluruh peserta pelatihan sertifikasi Qualified Government Internal Auditor
(QGIA). Pengetahuan mengenai pengelolaan keuangan pemerintah, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah menjadi suatu keharusan karena lingkup tugas seorang yang
bersertifikat QGIA berada dalam lingkungan pemerintah.
Dengan pengetahuan yang cukup atas manajemen keuangan pemerintah, maka peserta
QGIA diharapkan dapat melaksanakan penugasan audit internal di sektor publik sesuai
dengan kompetensinya yang memadai.
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PENGELOLAAN
DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
NEGARA DAN DAERAH
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 1, peserta diharapkan mampu:
Peserta diharapkan mampu menjelaskan pengertian dan ruang lingkup
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara dan Daerah
A. Pendahuluan
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan
pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
Melalui ketiga produk nasional di atas, ketentuan hukum pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama
Indonesische Comptabiliteitwet (ICW) stbl. 1925 No. 488, Indische Bedrijvenwet (IBW)
stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer
(RAB) stbl. 1933 No. 381. Tidak lagi berlaku. Produk hukum tersebut dinilai sebagai suatu
prestasi yang membanggakan yang diharapkan dapat memberikan aturan yang lebih jelas
bagaimana keuangan negara itu harus dikelola dan dipertanggungjawabkan oleh para
penyelenggara negara, sehingga tujuan bernegara seperti yang diamanatkan oleh konstitusi
bisa dicapai.
Ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dapat dikategorikan ke dalam 3 (tiga)
bidang, yakni: Pengelolaan fiskal, Pengelolaan moneter, dan Pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan.
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang keuangan
yang berkenaan dengan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, ketetapan mengenai
cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan kebijakan pasar
terbuka, termasuk kurs valuta asing. Kebijakan moneter ini dalam praktiknya dilakukan
oleh Bank Indonesia.
Kekayaan negara yang dipisahkan adalah komponen keuangan negara yang pengelolaannya
diserahkan kepada perusahaan yang seluruh atau sebagian modal atau sahamnya dimiliki
oleh negara, atau sering disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD). Kekayaan negara yang dipisahkan ini dikelola secara berbeda,
sehingga hubungan dengan APBN bukan hubungan langsung, tetapi tidak langsung,
misalnya dalam hal pemerintah menyertakan tambahan modal dalam BUMN atau dalam
hal adanya setoran bagian laba BUMN untuk pemerintah merupakan pos-pos pembiayaan
APBN.
1. Asas kesatuan, yaitu menghendaki agar semua pendapatan dan belanja negara
disajikan dalam satu dokumen anggaran;
2. Asas universalitas, yaitu mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran;
3. Asas tahunan membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu;
4. Asas spesialitas, yaitu mewajiban agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara
jelas peruntukannya;
5. Asas akuntabilitas berorientasi pada hasil adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku;
6. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban pengelolaan keuangan negara;
7. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian berasarkan kode etik
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8. Asas keterbukaan dan pengelolaan keuangan negara adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang pengelolaan keuangan negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara; dan
9. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri adalah
asas yang memberikan kebebasan bagi Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan
pemeriksaan keuangan negara dengan tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun.
Dari definisi keuangan daerah di atas, setidaknya terdapat 4 (empat) dimensi, yaitu dimensi
hak dan kewajiban, tujuan dan perencanaan, pengelenggaraan dan pelayanan publik, nilai
uang dan barang.
Manajemen atau Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan terhadap semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintah
daerah yang dapat dinilai dengan uang termaksud di dalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubung dengan hak dan kewajiban daerah dalam rangka anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
Fungsi dari manajemen keuangan daerah meliputi: (1) Pengalokasian Potensi Sumber-
sumber Ekonomi Daerah; 2) Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah; 3) Tolok Ukur Kinerja dan Standarisasi; 4) Pelaksanaan Anggaran yang sesuai
dengan prinsip-prinsip akuntansi; 5) Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Kepala
Daerah; dan 6) Pengendalian dan Pengawasan Keuangan Daerah.
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah pada dasarnya merupakan penerimaan daerah dalam bentuk
peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam periode
tahun anggaran yang bersangkutan.
Menurut Bastian dan Soepriyanto (2002) pendapatan daerah adalah arus masuk
bruto manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas pemerintah satu periode yang
mengakibatkan kenaikan ekuitas dan bukan berasal dari pinjaman yang harus
dikembalikan (Bastian dan Soepriyanto, 2002). Menurut Abdul Halim (2002)
pendapatan adalah penambahan dalam manfaat ekonomi selama periode
akuntansi dalam bentuk arus masuk atau peningkatan aset/aktiva, atau
pengurangan utang/kewajiban yang mengakibatkan penambahan dana yang
berasal dari kontribusi dana. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah definisi pendapatan daerah adalah
semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan.
3. Belanja
a. Belanja Daerah diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib
yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan
minimal.
b. Belanja hibah dan bantuan sosial dianggarkan dalam APBD sesuai dengan
kemampuan keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Belanja
hibah dapat diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Lain,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan badan. lembaga, dan organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.
c. Belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja untuk Desa dianggarkan
dalam APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Belanja DAK diprioritaskan untuk mendanai kegiatan fisik dan dapat
digunakan untuk kegiatan nonfisik.
Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Provinsi, Kabupaten dan Kota
dan pembagian urusan pemerintahan antar pemerintahan tersebut menimbulkan adanya
hubungan wewenang dan keuangan. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan
umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah
Pusat dan Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan pertimbangan itulah, maka pengaturan mengenai
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah mencakup pemberian
kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah, pembagian sumber keuangan,
sejalan dengan pembagian urusan dan tatacara penyelenggaraan urusan tersebut dan
pengaturan mengenai prinsip-prinsip pengelolaan hubungan keuangan Pusat dan Daerah.
Pemberian kewenangan Daerah dalam perpajakan dan retribusi harus disesuaikan dengan
pemberian tanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Pemberian kewenangan perpajakan
dan retribusi kepada Daerah harus mempertimbangkan kesinambungan fiskal dan kesatuan
ekonomi nasional. Penyerahan pajak Pusat kepada Daerah seharusnya tidak mengurangi
kemampuan Pemerintah Pusat untuk melakukan pemerataan kemampuan keuangan antar
Daerah dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan merintangi arus barang/jasa
antar daerah. Dengan pertimbangan tersebut, pemberian kewenangan perpajakan dan
retribusi daerah tidak selalu dapat disesuaikan dengan besarnya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Pertimbangan efisiensi ekonomi dan adanya ketimpangan antar
Daerah dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Untuk meningkatkan
akuntabilitas penggunaan dana, beberapa jenis penerimaan DBH SDA tetap di-earmark
untuk mendanai kegiatan tertentu.
Dana Alokasi Khusus dialokasikan untuk 3 (tiga) tujuan yaitu: (1) Untuk membantu daerah
dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan Minimal pelayanan dasar khususnya untuk
pendidikan, kesehatan, dan/atau infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi, dan air
minum; (2) Pencapaian prioritas nasional; dan (3) Untuk kebijakan tertentu yang ditetapkan
dalam ketentuan Peraturan perundangan-undangan, tidak termasuk kebijakan yang hanya
ditetapkan dalam Undang-Undang APBN.
Daerah yang belum dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal karena dana yang tersedia
tidak mencukupi maka kepada Daerah yang bersangkutan dapat dialokasikan DAK.
Daerah yang memperoleh DAK untuk pemenuhan Standar Pelayanan Minimal tersebut
tidak diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping. DAK untuk prioritas nasional
terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu yang bersifat sektoral dan kewilayahan. Pengalokasian DAK
prioritas nasional yang bersifat sektoral mempertimbangkan kemampuan keuangan Daerah
yang bersangkutan. Sementara itu, DAK untuk prioritas nasional yang bersifat kewilayahan
tidak mempertimbangkan kemampuan keuangan Daerah yang bersangkutan. Daerah yang
menerima DAK untuk tujuan ini hanya ditentukan oleh indeks teknis yang ditetapkan oleh
kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian.
Dana Alokasi Khusus juga dialokasikan kepada Daerah untuk melaksanakan kebijakan
tertentu yang telah diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sektor.
Sebagai contoh, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pemerintah
berkewajiban menjamin pelaksanaan wajib belajar dan peningkatan keprofesionalan
pendidik. Untuk menunjang program wajib belajar dan untuk mendukung profesionalisme
guru kepada Daerah dapat dialokasikan DAK. Besarnya alokasi dana DAK untuk masing-
masing Daerah untuk kebijakan ini ditentukan berdasarkan biaya per satuan kegiatan.
Selain Dana Perimbangan, Pemerintah juga mengalokasikan dana otonomi khusus kepada
Daerah tertentu yang memiliki status Daerah otonom khusus, dana keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, dana desa, dana Hibah serta Dana Darurat dan Pinjaman. Dana
otonomi khusus, dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dana desa tidak
diatur secara rinci dalam Undang-Undang ini karena telah diatur tersendiri dalam Undang-
Undang terkait. Pemerintah dapat memberikan dana Hibah kepada Daerah baik dalam
bentuk penerusan hibah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing,
badan/lembaga internasional maupun dari penerimaan dalam negeri. Pemberian hibah
dilakukan melalui perjanjian hibah yang ditandatangani oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
Dana Darurat diberikan kepada Daerah untuk mendanai kegiatan pasca bencana nasional
yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Pinjaman Daerah merupakan salah
satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi
Daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari
pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi
keuangan Daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh
karena itu, Pinjaman Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi
Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam Undang-Undang ini juga
ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman
yang bersumber dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan
mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-
hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah.
Namun demikian, Daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam melakukan
pinjaman. Pinjaman daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana
yang menghasilkan penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan
prasarana dasar yang tidak menghasilkan penerimaan secara langsung. Namun demikian,
dalam Undang-Undang ini dilakukan pengendalian terhadap pinjaman dengan menetapkan
batas kumulatif pinjaman dan rasio kemampuan membayar utang atau Debt Service Coverage
Ratio (DSCR). Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan
persyaratan tertentu, serta mengikuti ketentuan Peraturan Perundangundangan di bidang
pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang
mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul dari
penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Untuk menjamin pengelolaan yang baik atas dana-dana yang dialokasikan kepada Daerah,
Undang-Undang ini mewajibkan pemenuhan atas prinsip pengelolaan keuangan Daerah.
Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan Daerah tersebut mengacu kepada prinsip-
prinsip pengelolaan keuangan secara tertib, taat pada ketentuan Peraturan Perundang-
undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
para pemangku kepentingan dan tentunya sejalan dengan pengelolaan Keuangan Negara.
Semua penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam pengadministrasian
keuangan Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Surplus APBD dapat digunakan untuk
membiayai pengeluaran Daerah tahun anggaran berikutnya, membentuk dana cadangan,
dan penyertaan modal dalam perusahaan daerah.
Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber pembiayaan untuk menutup
defisit tersebut. Untuk mengendalikan defisit APBD, Menteri Keuangan menetapkan batas
maksimum defisit APBD setiap tahun yang disesuaikan dengan defisit APBN. Total defisit
APBD dan APBN tidak melampaui batas yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Untuk
menjamin agar belanja APBD digunakan untuk penyediaan pelayanan kepada masyarakat,
dalam Undang-Undang ini diatur bahwa belanja APBD diprioritaskan untuk mendanai
urusan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar sesuai dengan Standar Pelayanan
Minimal.
Pemerintah Daerah selain menyelenggarakan urusan yang menjadi tanggung jawabnya juga
dimungkinkan untuk menyelenggarakan urusan Pemerintah Pusat melalui Tugas
Pembantuan. Untuk melaksanakan Tugas Pembantuan tersebut kepada Daerah
dialokasikan Dana Tugas Pembantuan. Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa
pengadministrasian Dana Tugas Pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN,
sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini
dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat
dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan
adanya dukungan sistem informasi keuangan daerah. Sistem tersebut antara lain
dimaksudkan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.
2. Rumusan Keuangan Negara dapat dilihat dari sisi subjek, objek, proses
dan tujuan. Pernyataan di bawah ini adalah rumusan Keuangan Negara
dari sisi subjek.
A Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiscal dan moneter.
B Seluruh objek Keuangan Negara yang dimiliki dan/atau dikuasai
Pemerintah dan badan hukum publik lainnya.
C Seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang.
D Seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek keuangan negara tersebut.
3. Berikut ini adalah ruang lingkup Keuangan Negara yang mencakup kekayaan
pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D).
A Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalm rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
B Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
C Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain.
D Kekayaan negara/daerah yang diperoleh dari usaha orang pribadi atau
kelompok.
10. Yang tidak termasuk dalam Pendapatan APBN yang dibagi-hasilkan kepada
Daerah adalah:
A Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
B Bagi Hasil Tambang
C Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri, Pasal 25, 29, dan 21.
D Cukai Hasil Tembakau
KEGIATAN BELAJAR 2:
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) DAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 2, peserta diharapkan mampu:
Peserta diharapkan mampu memahami penyusunan dan pelaksanaan
APBN dan APBD
A. Pendahuluan
Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris budget yang sebenarnya
berasal dari bahasa Perancis bougette. Kata ini mempunyai arti sebuah tas kecil. Berdasar dari
arti kata asalnya, anggaran mencerminkan adanya unsur keterbatasan. Pada dasarnya
anggaran perlu disusun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah, baik
dana, SDM maupun sumber daya lainnya. Karena terbatasnya dana misalnya, maka
diperlukan alokasi sesuai dengan prioritas dan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
Ada beberapa pengertian angaran yang dapat dikutip.
Anggaran negara (state budget) menurut John F. Due (1959): ”A budget, in the
general sense of the term, is a financial plan for a specific period of time. A government budget
therefore, is a statement of proposed expenditures and expected revenues for the coming period,
together with data of actual expenditures and revenues for current and past period.”
Anggaran (budget) merupakan suatu daftar pernyataan terinci tentang penerimaan dan
pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu. Ada kalanya budget
dibuat pada waktu tertentu misalnya satu tahun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) merupakan rencana anggaran yang dilakukan pemerintah di pusat, sedangkan
rencana anggaran yang dibuat oleh daerah disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah atau APBD.
APBN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perekonomian secara agregat. Setiap
perubahan yang terjadi pada variabel-variabel ekonomi makro akan berpengaruh pada
besaran-besaran APBN. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan APBN pada gilirannya juga akan
memengaruhi aktivitas perekonomian.
Ada pun fungsi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Fungsi Otorisasi, yaitu: Dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja tahun
yang bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan, yaitu: Pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan
pada tahun yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu: Pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN. Semua
penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam
tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
Siklus APBN
Dari siklus APBN di atas, Pemerintah secara luas terlibat pada tahapan Perencanaan dan
Penganggaran APBN, Pelaksanaan APBN, dan Pencatatan dan Pelaporan APBN. Pada
tahap Penetapan APBN dilaksanakan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tahap Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban
APBN dilaksanakan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Pemerintah.
Perencanaan APBN
Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa
dalam mencapai tujuan bernegara. Agar pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik
tidak dapat dilepaskan dari tataran demokrasi dan mengacu pada prinsip-prinsip penting
Dalam cakupan waktu, SPPN disusun dalam cakupan tiga periode perencanaan,
yaitu:
a. Jangka panjang dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
dengan jangka waktu 20 tahun;
b. Jangka menengah dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) yang berjangka waktu 5 tahun, dan
c. Jangka pendek dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan periode
tahunan.
Dalam suatu perencanaan pembangunan sebagai suatu siklus ada empat tahapan
yang dilalui, yakni:
a. Penyusunan rencana;
b. Penetapan rencana;
c. Pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. Evaluasi pelaksanaan rencana.
Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum
dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup
masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap Kementerian/Lembaga, baik Pusat
maupun Daerah, berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan
yang merupakan dan atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
Penganggaran APBN
Anggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukkan alokasi
sumber daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem
penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna
pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan
pertanggungjawaban kepada publik.
Cara agar tujuan itu dapat dicapai adalah dengan menuangkannya dalam program diikuti
dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian tujuan. Program pada anggaran
berbasis kinerja didefinisikan sebagai keseluruhan aktivitas, baik aktivitas langsung maupun
tidak langsung yang mendukung program sekaligus melakukan estimasi biaya-biaya
berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara
untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kinerja tahunan
(Renja) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan
merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja
Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat digunakan dalam manajemen
perencanaan, pemograman, penganggaran dan evaluasi. Kondisi yang harus disiapkan
sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja,
yaitu:
1. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus.
3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan
orang).
4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas.
5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
Penetapan/Persetujuan APBN
Kegiatan penetapan/persetujuan ini dilakukan pada APBNt-1, sekitar bulan Oktober-
Desember. Kegiatan dalam tahap ini berupa pembahasan Rancangan APBN dan
Rancangan Undang-undang APBN serta penetapannya oleh DPR. Selanjutnya
berdasarkan persetujuan DPR, Rancangan UU APBN ditetapkan menjadi UU APBN.
Penetapan UU APBN ini diikuti dengan penetapan Keputusan Presiden (Keppres)
mengenai rincian APBN sebagai lampiran UU APBN dimaksud.
Pelaksanaan APBN
Jika tahapan kegiatan ke-1 dan ke-2 dilaksanakan pada APBNt-1, kegiatan pelaksanaan
APBN dilaksanakan mulai 1 Januari - 31 Desember pada tahun berjalan (APBNt). Dengan
kata lain, pelaksanaan tahun anggaran 2021 akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2021 - 31
Desember 2021. Kegiatan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
kementerian/lembaga (K/L). K/L mengusulkan konsep Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) berdasarkan Keputusam Presiden (Keppres) mengenai rincian APBN
dan menyampaikannya ke Kementerian Keuangan untuk disahkan. DIPA adalah alat untuk
melaksanakan APBN. Berdasarkan DIPA inilah para pengelola anggaran K/L (Pengguna
Anggaran, Kuasa Pengguna Anggaran, dan Pembantu Pengguna Anggaran) melaksanakan
berbagai jenis kegiatan sesuai tugas dan fungsi instansinya.
Siklus APBD
Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah meliputi 5 (lima) tahap:
Perencanaan
Pemeriksanaan Pelaksanaan
Pertanggungjawaban Penatausahaan
Siklus perencanaan dan penganggaran dan penetapan oleh Dewan Perwakilan Daerah
dapat dirinci dalam gambar 3.
Rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) memuat target pencapaian kinerja yang
terukur dari program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk
setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah,
alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi
yang mendasarinya.
Dalam menyusun rancangan KUA, kepala daerah dibantu oleh Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah. Rancangan KUA yang telah
disusun, disampaikan oleh Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan
Daerah kepada Kepala Daerah, paling lambat pada awal bulan Juni.
Rancangan KUA disampaikan Kepala Daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan
bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
RAPBD tahun anggaran berikutnya. Pembahasan dilakukan oleh TAPD bersama panitia
anggaran DPRD selanjutnya disepakati menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan
Juli.
Kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS yang telah disusun kepada DPRD untuk
dibahas paling lambat minggu kedua bulan Juli tahun anggaran berjalan. Pembahasan
dilakukan oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD. Rancangan PPAS yang telah
dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPAS paling lambat akhir Juli tahun anggaran
berjalan. KUA serta PPAS yang telah disepakati, masing-masing dituangkan ke dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan DPRD.
Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA¬SKPD diterbitkan paling
lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan. Berdasarkan pedoman penyusunan
RKA-SKPD, kepala SKPD menyusun RKA-SKPD. Agar terlaksananya penyusunan RKA-
SKPD berdasarkan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah,
penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi kerja, dan terciptanya
kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil pelaksanaan program dan
kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya sampai dengan semester pertama tahun
anggaran berjalan.
Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA-SKPD) memuat rencana
pendapatan, rencana belanja untuk masing-masing program dan kegiatan, serta rencana
pembiayaan untuk tahun yang direncanakan dirinci sampai dengan rincian objek
pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya. RKA-
SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk dibahas lebih
lanjut oleh TAPD.
APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Rancangan
peraturan daerah tentang APBD dilengkapi dengan lampiran yang terdiri dari:
a. Ringkasan APBD;
b. Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
c. Rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan, belanja
dan pembiayaan;
d. Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan
kegiatan;
e. Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan pemerintahan
daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
f. Daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
g. Daftar piutang daerah;
h. Daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
i. Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
j. Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
k. Daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
l. Daftar dana cadangan daerah; dan
m. Daftar pinjaman daerah.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD wajib memuat penjelasan
sebagai berikut:
a. Untuk pendapatan mencakup dasar hukum, target/volume yang direncanakan, tarif
pungutan/harga;
b. Untuk belanja mencakup dasar hukum, satuan volume/tolok ukur, harga satuan, lokasi
kegiatan dan sumber pendanaan kegiatan;
Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh PPKD disampaikan
kepada kepala daerah. Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah.
Apabila DPRD sampai batas waktu 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran berkenaan,
tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan
peraturan daerah tentang APBD, maka kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-
tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan
setiap bulan. Pengeluaran setinggi-tingginya untuk keperluan setiap bulan tersebut,
diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib. Belanja
yang bersifat mengikat merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus
dialokasikan oleh pemerintah daerah dengan jumlah yang cukup untuk keperluan setiap
bulan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang
dan jasa.
Sedangkan Belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya kelangsungan
pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan
dan/atau melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga.
Dalam hal kepala daerah dan/atau pimpinan DPRD berhalangan tetap, maka pejabat yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas
kepala daerah dan/atau selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani
persetujuan bersama.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD dapat dilaksanakan setelah memperoleh
pengesahan dari gubernur bagi kabupaten/kota. Sedangkan pengesahan rancangan
peraturan kepala daerah tentang APBD ditetapkan dengan keputusan gubernur bagi
kabupaten/kota.
Evaluasi bertujuan untuk tercapainya keserasian antara kebijakan daerah dan kebijakan
nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur serta untuk
meneliti sejauh mana APBD Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan kepentingan
umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya yang ditetapkan oleh
Kabupaten/Kota bersangkutan. Untuk efektivitas pelaksanaan evaluasi, Gubernur dapat
mengundang pejabat pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang terkait.
Hasil evaluasi dituangkan dalam keputusan Gubernur dan disampaikan kepada
Bupati/Walikota paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya
rancangan dimaksud. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi atas rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi
peraturan daerah dan peraturan Bupati/Walikota.
Dalam hal Gubernur menyatakan bahwa hasil evaluasi rancangan peraturan daerah tentang
APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti
oleh Bupati/Walikota dan DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan
peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD menjadi peraturan daerah dan peraturan Bupati/Walikota, Gubernur
membatalkan peraturan daerah dan peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus
menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
Pelaksanaan pengeluaran atas pagu APBD tahun sebelumnya, ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah. Penyempurnaan hasil evaluasi dilakukan oleh kepala daerah bersama dengan
Badan anggaran DPRD. Hasil penyempurnaan ditetapkan oleh pimpinan DPRD.
Keputusan pimpinan DPRD dijadikan dasar penetapan peraturan daerah tentang APBD.
Keputusan pimpinan DPRD bersifat final dan dilaporkan pada sidang paripurna
berikutnya. Sidang paripurna berikutnya yakni setelah sidang paripurna pengambilan
keputusan bersama terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD. Keputusan
pimpinan DPRD disampaikan kepada kepada gubernur bagi APBD kabupaten/kota paling
lama 3 (tiga) hari kerja setelah keputusan tersebut ditetapkan. Dalam hal pimpinan DPRD
berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang selaku pimpinan sementara DPRD yang menandatangani keputusan pimpinan
DPRD.
Gubernur menyampaikan hasil evaluasi yang dilakukan atas rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang
penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri.
Penetapan Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
Penjabaran APBD
Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi
peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD tersebut dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran
sebelumnya.
Dalam hal kepala daerah berhalangan tetap, maka pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas kepala daerah yang
menetapkan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang
penjabaran APBD.
Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala
daerah tentang penjabaran APBD kepada gubernur bagi kabupaten/kota paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
Perubahan APBD
Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan, dibahas bersama
DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas
APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran Iebih tahun sebelumnya harus digunakan
dalam tahun berjalan;
d. Keadaan darurat; dan
e. Keadaan luar biasa.
Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD,
dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Keadaan darurat tersebut
sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak dapat
diprediksikan sebelumnya;
b. Tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. Berada di luar kendali dan pengaruh pemerintah daerah; dan
d. Memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan yang
disebabkan oleh keadaan darurat.
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran,
kecuali dalam keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa tersebut adalah keadaan yang
menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami
kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen).
Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tentang pembatalan, Kepala daerah wajib
memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah tentang perubahan APBD dan selanjutnya
kepala daerah bersama DPRD mencabut peraturan daerah dimaksud. Pencabutan
peraturan daerah tersebut dilakukan dengan peraturan daerah tentang pencabutan
peraturan daerah tentang perubahan APBD.
Penatausahaan APBD
Penatausahaan APBD merupakan proses pencatatan atas pelaksanaan APBD yang meliputi
penatausahaan atas pendapatan, penatausahaan atas belanja, penatausahaan atas
pembiayaan, penatausahaan atas pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Bendahara
penerimaan dan Bendahara pengeluaran memiliki peran yang sangat penting dalam
penatausahaan APBD.
Pertanggungjawaban APBD
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menjelaskan tentang
bentuk pertanggungjawaban keuangan negara. Dalam ketentuan tersebut, baik Presiden
maupun Kepala Daerah (Gubernur/Bupati /Walikota) diwajibkan untuk menyampaikan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun
anggaran berakhir (Bulan Juni tahun berjalan).
1. Pelaksanaan APBN
Dalam manajemen pemerintahan, pelaksanaan APBN merupakan kewenangan
pemerintah, sepanjang tidak terdapat batasan yang mengharuskan diperolehnya
persetujuan dari DPR untuk penerimaan/belanja tertentu/tanda bintang.
Pelaksanaan anggaran dilakukan oleh kementerian/lembaga selaku penggunaan
anggaran (PA) sebagai bagian dari siklus pengelolaan keuangan negara tingkat
kemnterian/lembaga.
Pada saat Rancangan APBN disetujui DPR dan ditetapkan dengan Undang-Undang
APBN, maka tahapan pelaksanaan APBN sudah dapat dilaksanakan. Dalam
pelaksanaannya, Presiden menguasakan kepada Menteri Keuangan (Chief of Financial
Officer) selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan dan dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga (Chief
Operational Officer) selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian/lembaga yang dipimpinnya.
Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan pelimpahan wewenang dari Presiden
kepada Menteri Keuangan, Menteri dan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan
Walikota).
Pada awal tahun anggaran, langkah pertama yang harus dilakukan dalam tahap
pelaksanana anggaran adalah penetapan pejabat pengelola anggaran yang meliputi:
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Bendahara yang ditetapkan oleh Pengguna
Anggaran (PA). Kemudian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Penguji
Surat Perintah Membayar (PPSPM) ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA).
DIPA Satker Pusat/Kanor Pusat (KP) adalah DIPA yang dikelola oleh satker kantor
pusat dan atau satker pusat suatu kementerian/lembaga, termasuk di dalamnya
DIPA satker Badan Layanan Umum (BLU) dan DIPA Satker Non Vertikal Tertentu
(SNVT).
DIPA Satker Vertikal/Kantor Daerah (KD) adalah DIPA yang dikelola oleh
kantor/instansi vertikal kementerian/lembaga di daerah termasuk di dalamnya DIPA
satker BLU.
DIPA Dana Dekonsentrasi (DK) adalah DIPA dalam rangka pelaksanaan dana
dekonsentrasi yang dikelola oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) provinsi
yang ditunjuk gubernur.
DIPA Tugas Pembantuan (TP) adalah DIPA dalam rangka pelaksanaan tugas
pembantuan yang dikelola SKPD provinsi/kabupaten/kota yang ditunjuk oleh
menteri/pimpinan lembaga yang memberi tugas pembantuan.
DIPA Urusan Bersama (UB) adalah DIPA yang memuat rincian penggunaan
anggrana kementerian/lembaga dalam rangka pelaksanaan urusan bersama yang
pelaksanaannya dilakukan oleh SKPD provinsi/kabupaten/kota yang ditunjuk oleh
menteri/pimpinan lembaga berdasarkan usulan kepala daerah.
DIPA Bendahara Umum Negara (DIPA-BUN) adalah DIPA yang memuat rincian
penggunaan anggaran yang bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara Umum
Negara (BA-BUN) yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran.
DIPA-BUN disusun dan ditetapkan oleh Pembantu Pengguna Anggaran (PPA) yang
ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku PA. DIPA Bendahara Umum
Negara (DIPA-BUN) terdiri atas pengelolaan:
1. Utang Pemerintah;
2. Hibah;
3. Investasi Pemerintah;
4. Penerusan Pinjaman;
5. Transfer ke Daerah;
6. Belanja Subsidi;
7. Belanja Lain-lain; dan
8. Transaksi Khusus.
Dokumen yang dipergunakan sebagai dasar dalam penyusunan DIPA adalah sebagai
berikut:
1. Keputusan Presiden mengenai rincian APBN.
2. Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga yang telah ditelaah dan
ditetapkan oleh Dirjen Anggaran.
3. Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara (RDP-BUN) yang telah
ditelaah dan ditetapkan oleh Dirjen Anggaran. RDP-BUN merupakan rencana
kerja dan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang memuat
rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun
pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer
daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
4. Bagan Akun Standar untuk memastikan bahwa rencana kerja telah dituangkan
sesuai dengan standat kode dan uraian yang diatur dalam ketentuan tentang
akuntansi pemerintahan.
5. Daftar Nominatif Anggaran (DNA) yang ditetapkan oleh Dirjen
Perbendaharaan untuk satker yang DIPA-nya disahkan oleh Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Contoh: Pendapatan jasa catatan sipil dengan kode 423154 dengan penjelasan
sebagai berikut:
1. Kelompok pendapatan 423 untuk PNBP lannya;
2. Subkelompok pendapatan 42315 untuk pendapatan jasa II;
3. MAP 423154 untuk pendapatan jasa catatan sipil.
Pencantuman angka rencana penarikan dana pada halaman III DIPA berdasarkan
rencana kerja bulanan satker sesuai dengan kebutuhan riil. Berkenaan dengan hal
tersebut, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Untuk Belanja Pegawai, sifat penarikannya cenderung tetap, maka
penyusunan rencana penarikan dapat dibuat secara rata-rata dibagi dengan 13
bulan, dengan menempatkan pembayaran belanja pegawai bulan ke-13 pada
bulan Juli;
2. Untuk belanja selain belanja pegawai, pencantuman rencana penarikan sesuai
dengan rencana penarikan/pembayaran dalam rangka pelaksanaan kegiatan
yang meliputi rencana penarikan uang persediaan (UP) dan rencana
penarikan pembayaran langsung (LS) setiap bulan.
Pengesahan DIPA merupakan penetapan oleh BUN atas DIPA yang disusun oleh
PA/KPA dan memuat pernyataan bahwa rencana kerja dan anggaran pada DIPA
bekenaan dengan tersedianya dana dalam APBN dan menjadi dasar
pembayaran/pencairan dana atas beban APBN. Pengesahan DIPA dilakukan
dengan penerbitan Surat Pengesahan DIPA yang ditandatangani oleh:
1. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan selaku
Kuasa Bendahara Umum Negara untuk satker Kantor Pusat yang berlokasi
di DKI Jakarta dan DIPA Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara;
2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas nama
Menteri Keuangan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk DIPA
Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan yang tercantum dalam DIPA, setelah DIPA
disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan/Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Perbendaharaan, PA/KPA menerbitkan petunjuk operasional kegiatan
(POK). POK adalah dokumen yang memuat uraian rencana kerja dan biaya yang
diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih
lanjut dari DIPA.
Jika KPA belum menyampaikan DIPA sampai dengan batas waktu yang ditentukan,
maka:
1. Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA
yang dilampiri DIPA yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Perbendaharaan berdasarkan Keputusan Presiden mengenai rincian APBN
sebagai DIPA Sementara. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan menerbitkan Surat Pengesahan DIPA yang dilampiri dengan
DIPA yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Perbendaharaan berdasarkan Daftar Nominatif Anggaran (DNA) seabagai
DIPA Sementara;
2. DIPA Sementara tidak perlu ditandatangani oleh PA/KPA.
3. Dana yang dapat dicairkan dibatasi untuk pembayaran gaji pegawai,
pengeluaran keperluan perkantoran sehari-hari, daya dan jasa serta lauk
pauk/bahan makanan, sedangkan dana untuk jenis pengeluaran lainnya harus
diblokir;
4. Apabila DIPA telah diterima dari PA/KPA setelah DIPA Sementara
diterbitkan, maka dilakukan validasi dan pengesahan revisi pertama DIPA
bersangkutan.
Disamping itu, revsi DIPA juga dapat dilakukan dalam hal berikut ini:
1. Terjadi perubahan APBN tahun anggaran berjalan;
2. Penerapan pemberian penghargaan dan pengenaan sanksi;
3. Instruksi Presiden mengenai penghematan anggaran; dan/atau
4. Kebijakan Pemeritah lainnya.
Revisi anggaran dapat dilaksanakan oleh PA/KPA sepanjang tidak mengubah DIPA
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pergeseran antar akun/ antar subkomponen dalam satu komponen dan/atau
antar komponen untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional sepanjang
dalam jenis belanja yang sama;
2. Antar akun/antara subkomponen dalam satu komponen dan/atau
pergeseran antaromponen dalam satu keluaran sepanjang dalam jenis belanja
yang sama; dan/atau
3. Perubahan/pengurangan akun/subkomponen/komponen dalam satu
keluaran.
Revisi anggaran oleh PA/KPA dilakukan dengan cara mengubah ADK RKA Satker
berkenan melalui aplikasi RKA-K/L, mencetak Petunjuk Operasional Kegiatan
(POK) dan KPA menetapkan perubahan POK.
Pendapatan
Pelaksanaan pendapatan meliputi: Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan (PN-Pajak) adalah
semua penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan pajak
perdagangan internasional. Penerimaan perpajakan dalam negeri meliputi semua
penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, bea meterai, sedangkan pajak
perdagangan internasional merupakan semua penerimaan negara yang berasal dari
bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.
Penetapan jumlah penerimaan negara bukan pajak yang terutang ditentukan dengan
cara ditetapkan oleh instansi pemerintah; atau dihitung sendiri oleh wajib bayar.
PNBP terutang tersebut menjadi kadaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung
sejak saat terutangnya penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan.
Ketentuan kadaluwarsa terutnda apabila wajib bayar melakukan tindak pidana di
bidang penerimaan negara bukan pajak.
Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa
dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang, jasa, dan
surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayarkan
kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari
luar negeri.
Hibah merupakan bagian dari pendapatan dalam APBN yang diterima pemerintah
dalam bentuk uang tunai, uang untuk membiayai kegiatan, barang/jasa, dan surat
berharga.
1. Uang tunai, penerimaannya disetorkan langsung ke Rekening Kas Umum
Negara atau rekening yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
2. Uang untuk membiayai kegiatan, penerimaannya dicantumkan dalam
dokumen pelaksanaan anggaran.
3. Barang/jasa, penerimaannya dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat yang dinilai dengan mata uang rupiah pada saat serah terima
barang/jasa.
4. Surat berharga, dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang
dinilai dengan mata uang rupiah berdasarkan nilai nomial yang disepakati
pada saat serah terima oleh pemberi hibah dan pemerintah.
Belanja
Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pembiayaan adalah setiap
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya. Dalam konteks anggaran pembiayaan dilakukan dalam rangka
menutupi defisit anggaran yang terjadi.
b. Belanja Barang
Pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai
untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak
dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau
dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri dari belanja
barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan dinas.
2. Subsidi
Pengeluaran atau alokasi anggaran yang diberikan pemerintah kepada
perusahaan negara, lembaga pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang
memproduksi, menjual, mengekspor atau mengimpor barang dan jasa
untuk memenuhi hajat hidup orang banyak agar harga jualnya dapat
dijangkau masyarkat. Belanja ini antara lain digunakan untuk penyaluran
subsidi kepada masyarakat melalui BUMN/BUMD dan pemsahaan
swasta.
3. Hibah
Pengeluaranpemerintah berupa transfer dalam bentuk uang, barang atau
jasa, bersifat tidak wajib yang secara spesifik telah ditetapkan
peruntukannya dan tidak mengikat serta tidak terus menerus kepada
pemerintahan negara lain, pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi
kemayarakatan serta organisasi intemasional.
4. Bantuan Sosial
Transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna
melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial
dapat langsung diberikan kepada anggota masyarakat dan/atau lembaga
kemasyarakatan termasuk didalamnya bantuan untuk lembaga non
pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Pengeluaran ini dalam
bentuk uang/ barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat, bersifat tidak terus menerus dan
selektif.
d. Belanja Lain-lain
Pengeluaran/belanja pemerintah pusat yang sifat pengeluarannya tidak dapat
diklasifikasikan ke dalam pos-pos pengeluaran diatas.Pengeluaran ini bersifat
tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam,
bencana sosial dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah.
Pinjaman luar negeri adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh
pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian
pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali
dengan persyaratan tertentu. Kegiatan‐kegiatan yang mengandung pinjaman luar
negeri atau hibah adalah kegiatan‐kegiatan yang sebagian atau seluruh kegiatan
dibiayai pinjaman/hibah tersebut, dengan persyaratan sesuai ketentuan berlaku.
Seluruh pinjaman ataupun hibah luar negeri tersebut harus diadministrasikan dan
dicantumkan dalam dokumen anggaran kegiatan yang bersangkutan.
Pinjaman luar negeri dapat bersumber dari Kreditor multilateral, kreditor bilateral,
kreditor swasta asing, lembaga penjamin kredit ekspor, Kreditor multilateral adalah
lembaga keuangan internasional yang beranggotakan beberapa negara, yang memberi
pinjaman kepada pemerintah, misalnya Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (Asian
Development Bank/ADB), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB).
Kreditor bilateral adalah pemerintah negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk pemerintah negara asing
yang memberi pinjaman kepada pemerintah. Kreditor swasta asing adalah lembaga
keuangan asing, lembaga keuangan nasional, dan lembaga non keuangan asing yang
berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia
yang memberikan pinjaman kepada pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman
tanpa jaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor. Lembaga penjamin kredit
ekspor adalah lembaga yang ditunjuk negara asing untuk memberikan jaminan,
asuransi, pinjaman langsung, subsidi bunga, dan bantuan keuangan untuk
meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan atau bagian terbesar dari dana
tersebut dipergunakan untuk membeli barang/jasa dari negara bersangkutan yang
berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik
Indonesia.
Menurut jenisnya, pinjaman luar negeri terdiri dari pinjaman tunai dan pinjaman
kegiatan. Pinjaman tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau
rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pemgelolaan portofolio
utang. Pinjaman kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk
membiayai kegaiatan tertentu.
2. Pelaksanaan APBD
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menatapkan bahwa “Penerimaan daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: “Pendapatan Daerah dan Pembiayaan”.
Kepala Daerah
KBUD KPA
PPTK
Bendahara Bendahara
Penerimaan Pengeluaran
Bendahara Bendahara
Penerimaan Pengeluaran
Pembantu Pembantu
untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja
serta pendapatan yang diperkirakan.
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum
daerah yang menambah ekuitas dana lancar dan merupakan hak pemerintah daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dalam bentuk uang dianggarkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum
Daerah yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah dan penerimaan lainnya yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diakui sebagai penambah
ekuitas yang merupakan hak daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
2. Belanja Daerah
2.1 Belanja operasi
2.1.1 Belanja pegawai
2.1.2 Belanja barang dan jasa
2.1.3 Belanja bunga
2.1.4 Belanja subsidi
2.1.5 Belanja hibah
2.1.6 Belanja bantuan sosial
2.2 Belanja modal
2.2.1 Belanja tanah
2.2.2 Belanja perlatan dan mesin
2.2.3 Belanja bangunan dan gedung
2.2.4 Belanja jalan, irigasi dan jaringan
2.2.5 Belanja aset tetap lainnya
2.2.6 Belanja aset lainnya
3. Pembiayaan Daerah
3.1 Penerimaan pembiayaan
3.1.1 SiLPA
3.1.1.1 Pelampuan penerimaan PAD
3.1.1.2 Pelampauan penerimaan pendapatan transfer
3.1.1.3 Pelampauan penerimaan lain-lain Pendapatan Daerah yang
sah
3.1.1.4 Pelampauan penerimaan Pembiayaan
3.1.1.5 Penghematan belanja
3.1.1.6 Kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun
belum terselesaikan. dan/atau g. sisa dana akibat tidak
tercapainya capaian target Kinerja dan sisa dana
pengeluaran Pembiayaan.
3.1.1.7 Sisa dana akibat tidak tercapainya capaian target Kinerja
dan sisa dana pengeluaran Pembiayaan.
3.1.2 Pencairan Dana Cadangan
3.1.3 Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
3.1.4 Penerimaan Pinjaman Daerah
3.1.4.1 Pemerintah Pusat
3.1.4.2 Pemerintah Daerah lain
3.1.4.3 Lembaga Keuangan Bank
3.1.4.4 Lembaga Keuangan Bukan Bank
3.1.4.5 Masyarakat
3.1.5 Penerimaan kembali Pemberian Pinjaman Daerah
3.1.6 Penerimaan pembayaran lainnya sesuai dengan ketentuan perturan
perundang-undangan
3.2 Pengeluaran pembiayaan
3.2.1 Pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo
3.2.2 Penyertaan modal daerah
Dana perimbangan terdiri atas: Dana Transfer Umum; dan Dana Transfer Khusus.
Dana Transfer Umum terdiri atas: Dana Bagi Hasil (DBH); dan Dana Alokasi
Umum (DAU). Dana Transfer Khusus terdiri atas: Dana Alokasi Khusus (DAK)
Fisik; dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik.
Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah terdiri atas: Hasil penjualan BMD yang
tidak dipisahkan; Hasil pemanfaatan BMD yang tidak dipisahkan; Hasil kerja sama
daerah; Jasa giro; Hasil pengelolaan dana bergulir; Pendapatan bunga; Penerimaan
atas tuntutan ganti kerugian Keuangan Daerah; Penerimaan komisi, potongan, atau
bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi, dan/atau
pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat
penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah
atau dari kegiatan lainnya merupakan Pendapatan Daerah; Penerimaan keuntungan
dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; Pendapatan denda atas
keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; Pendapatan denda pajak daerah; Pendapatan
denda retribusi daerah; Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; Pendapatan dari
pengembalian; Pendapatan dari BLUD; dan Pendapatan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belanja Daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang
tidak perlu diterima kembali oleh Daerah dan pengeluaran lainnya yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perLtndang-undangan diakui sebagai pengurang ekuitas
yang merupakan kewajiban daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
1. Terdapat beberapa fungsi dari APBN/APBD, antara lain fungsi otorisasi, yaitu
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja tahun yang bersangkutan. Yang
tidak termasuk dalam fungsi APBN/APBD adalah:
A Alokasi
B Target
C Perencanaan
D Distribusi
4. Pada tingkatan perencanaan strategis manakah visi, misi dan program Presiden
terpilih dipertimbangkan?
A Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.
B Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menegah..
C Penyusunan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga.
D Penyusunan Rencana Strategis Pemerintah Daerah.
7. Perencanaan dan Penganggaran APBN yang telah disepakati oleh semua pihak
yang terkait dilanjutkan ke tahapan Penetapan/persetujuan APBN oleh DPR.
Apabila APBN tahun 2021 yang diajukan untuk disetujui, pada bulan berapakah
usulan APBN tersebut diserahkan oleh Pemerintah kepada DPR?
A Juni – Oktober 2020
B Juli – Oktober 2020
C September – November 2020
D Oktober – Desember 2020
10. Dalam menyusun rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
oleh Pemerintah Daerah meliputi beberapa tahapan. Tahapan yang tidak tepat dari
penyusunan rancangan PPAS adalah:
A Penetapan total anggaran penerimaan dan pengeluaran.
B Penentuan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan.
C Penentuan urutan program untuk masing-masing urusan.
D Penyusunan plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
KEGIATAN BELAJAR 3:
PERTANGGUNGJAWABAN DAN PELAPORAN ATAS
PELAKSANAAN ANGGARAN NEGARA DAN DAERAH
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 3, peserta diharapkan mampu:
Peserta diharapkan mampu menjelaskan Pertanggungjawaban dan
Pelaporan atas Pelaksanaan Anggaran Negara dan Daerah
A. Pendahuluan
Dari aspek hukum, Anggaran Pendapatan da Belanja Negara (APBN) merupakan mandat
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Pemerintah untuk melakukan penerimaan
atas pendapatan negara dan menggunakannya sebagai pengeluaran untuk tujuan tertentu
dan dalam batas jumlah yang ditetapkan dalam satu tahun anggaran.
Mandat yang diberikan oleh DPR tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk
Laporan Keuangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Laporan Keuangan tersebut disusun berdasarkan Standar
Akuntansi Pemerintah.
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dan oleh kepala satuan kerja perangkat
daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah
mempunyai tugas menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya.
BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntansi dengan mengacu pada standar
akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan oleh
menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Laporan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) setidak-tidaknya meliputi:
1. Laporan Realisasi Anggaran/ Laporan Operasional
2. Neraca
3. Laporan Arus Kas
4. Catatan atas Laporan Keuangan
5. Laporan Kinerja
Apabila BLU memiliki beberapa unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU, maka laporan
keuangan masing-masing unit dikonsolidasikan ke dalam Laporan Keuangan BLU. Lembar
muka laporan keuangan unit-unit usaha dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU.
Laporan keuangan BLU secara berkala wajib paling lambat 1 (satu) bulan setelah
berakhirnya periode pelaporan disampaikan kepada menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya yang kemudian akan
dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementerian/lembaga/SKPD/pemerintah
daerah. Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan.
Pimpinan BLU bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok
ukur yang ditetapkan dalam Rencana Belanja Anggaran (RBA). Untuk itu, maka pimpinan
BLU mengihktisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan
laporan keuangan BLU.
Surplus dari hasil operasional dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali
atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,
disetorkan sebagaian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan
mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. Apabila terjadi adanya defisit, maka defisit
anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui
menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya untuk diajukan
anggaran untuk menutup defisit defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD
tahun anggaran berikutnya.
Prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan terdiri dari 8 (delapan) prinsip yang
digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah, yaitu:
1. Basis akuntansi;
2. Prinsip nilai historis;
3. Prinsip realisasi;
4. Prinsip substansi mengungguli bentuk formal;
5. Prinsip periodisitas;
6. Prinsip konsistensi;
7. Prinsip pengungkapan lengkap; dan
8. Prinsip penyajian wajar.
1. Basis Akuntansi
Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis
akrual, untuk pengakuan pendapatan-LO (Laporan Operasional), beban, aset,
kewajiban, dan ekuitas. Dalam hal peraturan perundangan mewajibkan
disajikannya laporan keuangan dengan basis kas, maka entitas wajib menyajikan
laporan demikian.
Basis akrual untuk LO berarti bahwa pendapatan diakui pada saat hak untuk
memperoleh pendapatan telah terpenuhi walaupun kas belum diterima di
Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan dan beban
diakui pada saat kewajiban yang mengakibatkan penurunan nilai kekayaan bersih
telah terpenuhi walaupun kas belum dikeluarkan dari Rekening Kas Umum
Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Pendapatan seperti bantuan pihak
luar/asing dalam bentuk jasa disajikan pula pada LO.
Dalam hal anggaran disusun dan dilaksanakan berdasar basis kas, maka Laporan
Realisasi Anggaran (LRA) disusun berdasarkan basis kas, berarti bahwa
pendapatan dan penerimaan pembiayaan diakui pada saat kas diterima di
Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau oleh entitas pelaporan; serta belanja,
transfer dan pengeluaran pembiayaan diakui pada saat kas dikeluarkan dari
Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Namun demikian, bilamana anggaran
disusun dan dilaksanakan berdasarkan basis akrual, maka LRA disusun
berdasarkan basis akrual.
Basis akrual untuk Neraca berarti bahwa aset, kewajiban, dan ekuitas diakui dan
dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada saat kejadian atau kondisi
lingkungan berpengaruh pada keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat
kas atau setara kas diterima atau dibayar.
Nilai historis lebih dapat diandalkan daripada penilaian yang lain karena lebih
obyektif dan dapat diverifikasi. Dalam hal tidak terdapat nilai historis, dapat
digunakan nilai wajar aset atau kewajiban terkait.
3. Prinsip Realisasi
Bagi pemerintah, pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui
anggaran pemerintah selama suatu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar
utang dan belanja dalam periode tersebut.
5. Prinsip Priodisitas
Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi
menjadi periode-periode pelaporan sehingga kinerja entitas dapat diukur dan
posisi sumber daya yang dimilikinya dapat ditentukan. Periode utama yang
digunakan adalah tahunan. Namun, periode bulanan, triwulanan, dan semesteran
juga dianjurkan.
Laporan keuangan SKPD disusun dan disajikan oleh Kepala SKPD selaku
Pengguna Anggaran (PA) sebagai entitas akuntansi paling sedikit meliputi:
Laporan Realisasi Anggaran (LRA); Neraca; Laporan Operasional (LO);
Laporan Perubahan Ekuitas (LPE); dan Catatan atas Laporan Keuangan
(CaLK).
Ruang lingkup SAPP adalah pemerintah pusat (dalam hal ini lembaga tinggi
Negara dan lembaga eksekutif) serta pemerintah daerah yang mendapatkan
dana dari APBN (terkait dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan) sehingga
tidak dapat diterapkan untuk lingkungan pemda atau lembaga keuangan
negara.
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku untuk seluruh unit organisasi pada
Pemerintah Pusat dan unit akuntansi pada Pemerintah Daerah dalam rangka
pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan yang dananya
bersumber dari APBN serta pelaksanaan Anggaran Pembiayaan dan
Perhitungan.Sistem akuntansi pemerintah pusat memiliki tujuan dan
karakteristik untuk mencapai tujuanya.
Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP) terdapat 2 (dua) sub sistem yaitu:
Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) dilaksanakan oleh
Kementerian Keuangan selaku BUN dan Pengguna Anggaran Bagian
Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (BAPP) dan Sistem Akuntansi Instansi
(SAI) yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga. Dalam
pelaksanaan SAI, Kementerian Negara/Lembaga membentuk unit akuntansi
keuangan dan unit akuntansi barang. Dalam menjelaskan tentang Sistem
akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Menteri Keuangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.05/2013
Tentang Sistem Akuntansi dan Peaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Rincian dari Bagan Akun Standar (BAS) dapat diakses pada Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Penerapan Standar Akuntansi
Pemerintah Berbasis Akrual pada Pemerintah Daerah.
2. Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SA-BUN) terdiri atas sistem yang
berikut ini, kecuali:
A Sistem Akuntansi Pusat (SIAP)
B Sistem Akuntansi Utang Pemerintah dan Hibah (SA-UP&H)
C Sistem Akuntansi Piutang Pemerintah (SAPP)
D Sistem Akuntansi Transfer ke Daerah (SA-TD)
4. Unit yang memroses transaksi belanja subsidi dan belanja lain-lain yang
dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga.
A Direktorat Jenderal Anggaran
B Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
C Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
D Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
6. Unit kerja di Daerah yang berperan sebagai Bendahara Umum Daerah adalah:
A Sekretaris Daerah (Sekda)
B Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)
C Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
D Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
KEGIATAN BELAJAR 4:
SANKSI ADMINISTRATIF, GANTI RUGI
DAN KETENTUAN PIDANA
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari Kegiatan Belajar 4, peserta diharapkan mampu:
Peserta diharapkan mampu menjelaskan sanksi administrasi, ganti rugi dan
ketentuan pidana dalam pengelolaan APBN/APBD
A. Pendahuluan
Sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara, baik dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maupun Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
diatur mengenai ketentuan pidana, sanksi administratif, dan ganti rugi yang berlaku bagi
menteri/pimpinan lembaga serta pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga
yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam
undang-undang. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap para bendahara yang dalam
pengurusan uang/barang yang menjadi tanggung jawabnya telah melakukan perbuatan
melawan hukum yang berakibat merugikan keuangan negara.
Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata
dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Kerugian negara/daerah terjadi disebabkan oleh Tindakan/perbuatan melanggar hukum
atau kelalaian suatu kewajiban oleh Bendahara, Pegawai Negeri Bukan Bendahara, atau
Pejabat lainnya atau Pihak manapun. Kerugian negara/daerah baik atas kekurangan
perbendaharaan (bendahara) atau kekurangan bukan perbendaharaan (pegawai negeri
bukan bendahara atau pejabat lainnya atau pihak manapun) dapat diketahui dari berbagai
sumber informasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, hal mengenai
ketentuan pidana, sanksi administrasi, dan ganti rugi diantaranya diatur dalam pasal 34 dan
35 sebagai berikut:
1. Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda
sesuai dengan ketentuan undang-undang.
2. Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah
ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
3. Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang
kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.
4. Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan
keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
5. Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara
yang berada dalam pengurusannya.
Ketika diperoleh informasi terjadinya kerugian negara/daerah, maka atasan langsung atau
kepala satuan kerja wajib melakukan verifikasi terhadap informasi tersebut. Dalam
pelaksanaannya, atasan langsung atau kepala satuan kerja dapat menunjuk Pegawai
Aparatur Sipil Negara/Anggota Tentara Nasional Indonesia/Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia/Pejabat Lain untuk melakukan tugas verifikasi terhadap informasi itu.
Apabila dalam hal berdasarkan hasil verifikasi terdapat indikasi Kerugian Negara/Daerah,
maka:
1. Atasan kepala satuan kerja/kepala satuan kerja:
a. Melaporkan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga; dan
b. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, untuk indikasi kerugian
negara yang terjadi di lingkungan satuan kerjanya.
2. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah:
a. Melaporkan kepada Gubernur, Bupati, atau Walikota;
b. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, untuk indikasi kerugian
daerah yang terjadi di lingkungan Satuan Kerja Perangkat Daerah.
3. Gubernur, Bupati, atau Walikota memberitahukan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan, untuk indikasi kerugian daerah yang dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja
Pengelola Keuangan Daerah;
4. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara:
a. Melaporkan kepada Presiden; dan
b. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, untuk indikasi kerugian
negara yang dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.
5. Presiden memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, untuk indikasi
Kerugian Negara/Daerah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan/Pimpinan
Lembaga Negara/Gubernur, Bupati, atau Walikota. Laporan atau pemberitahuan itu
disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diperoleh informasi terjadinya
Kerugian Negara/Daerah.
Dalam hal kerugian negara dilakukan oleh kepala satuan kerja, kewenangan untuk
menyelesaikan kerugian negara dilakukan oleh atasan kepala satuan kerja sedangkan dalam
hal kerugian daerah dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah
selaku Bendahara Umum Daerah, kewenangan untuk menyelesaikan kerugian daerah
dilakukan oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota.
Dalam rangka penyelesaian Kerugian Negara/Daerah, PPKN/D atau pejabat yang diberi
kewenangan membentuk Tim Penyelesaian Kerugian Negara/Tim Penyelesaian Kerugian
Daerah (TPKN/TPKD). Tim tersebut melakukan pemeriksaan Kerugian Negara/Daerah
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah dibentuk.
Laporan hasil pemeriksaan yang dijelaskan di atas setidak-tidaknya memuat hal-hal berikut
ini:
1. Pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kerugian Negara/Daerah; dan
2. Jumlah Kerugian Negara/Daerah.
Dalam hal Kerugian Negara/Daerah sebagai akibat perbuatan melanggar hukum, Pihak
Yang Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris wajib mengganti
Kerugian Negara/Daerah paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak
ditandatanganinya Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM), yaitu surat
pernyataan dari Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain, yang menyatakan
kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa Kerugian Negara/Daerah menjadi
tanggungjawabnya dan bersedia mengganti Kerugian Negara/Daerah dimaksud.
Penentuan nilai tersebut didasarkan pada nilai buku atau nilai wajar atas barang yang
sejenis. Dalam hal baik nilai buku maupun nilai wajar dapat ditentukan, maka nilai barang
yang digunakan adalah nilai yang paling tinggi di antara kedua nilai tersebut.
Dalam hal telah ditetapkan pihak yang Pihak Yang Merugikan untuk mengganti Kerugian
Negara/Daerah, pihak tersebut dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Keputusan pidana tidak membebaskan Pihak Yang Merugikan dari Tuntutan Ganti
Kerugian.
3. Berdasarkan informasi tertulis dari hasil pemeriksaan oleh BPK, maka atasan
langsung wajib melakukan verifikasi. Dalam pelaksanaannya, atasan langsung dapat
menunjuk pejabat berikut ini, kecuali:
A Pegawai Aparatur Sipil Negara.
B Anggota Tentara Nasional Indonesia.
C Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
D Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
4. Apabila dalam hal berdasarkan hasil verifikasi terdapat indikasi Kerugian Daerah,
maka Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku Bendahara
Umum Daerah memberitahukan hal tersebut kepada:
A Gubernur
B Bupati
C Walikota
D Badan Pemeriksa Keuangan
10. Apabila Kerugian Negara/Daerah diakibatkan karena kelalaian, maka pihak Yang
Merugikan/Pengampu/Yang Memperoleh Hak/Ahli Waris wajib mengganti
Kerugian Negara/Daerah dalam waktu paling lama:
A 12 bulan sejak Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak ditandatangani.
B 18 bulan sejak Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak ditandatangani.
C 24 bulan sejak Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak ditandatangani.
D 36 bulan sejak Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak ditandatangani.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Halim, Abdul dan Muhammad Syam Kusufi, (2012) ‘Akuntansi Keuangan Daerah –
SAP berbasis Akrual’ Salemba Empat, Edisi 4, Jakarta
2. Chartered Institute of Internal Auditors, (2019), Corporate Governance,
file:///C:/Users/HP/Downloads/Corporate%20governance%20(1).pdf
3. Hamzah, Andy P, Arief Surya Surya, Eko Wisnu, Husna Roza, Lilik Purwanti,
Rahmawati, Lintje Kalangi, Didin Solahudin, Agus Solihin, Dian Yulia Sari, (2014),
‘Modul Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah dan SKPD’, Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Daerah, Kementerian Keuangan.
4. Kementerian Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2014 Tentang
Badan Layanan Umum Daerah (Perubahan atas Permendagri Nomor 61 Tahun 2007
5. Kementerian Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 tentang
Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah
6. Kementerian Dalam Negeri, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
7. Kementerian Dalam Negeri, Surat Edaran Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan
Daerah Nomor 900/079/BAKD/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Akuntansi
Daerah
8. Kementerian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 213 Tahun 2013 tentang
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
9. Kementerian Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 238 Tahun 2011 tentang
Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan
10. Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, Buletin Teknis (Bultek) Standar Akuntansi
Pemerintahan No. 1–10
11. Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, Interpretasi Standar Akuntansi Pemerintahan
(IPSAP) No. 2 dan No. 3
12. Mulyana, Budi, Handbook Akuntansi Keuangan Daerah Berbasis Akrual, Berdasar SAP
Akrual (PP 71/2010), 2012
13. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
14. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
15. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
16. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah
17. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah
18. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
19. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum
20. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt581196805bd82/badan-layanan-
umum-blu-dan-ruang-lingkupnya/)