Anda di halaman 1dari 36

Pendahuluan

Hepatitis virus adalah infeksi sistemik yang menyerang hati. Hepatitis virus masih
merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara
maju. Virus penyebab adalah hepatitis virus A (HAV), hepatitis virus B (HBV), hepatitis virus C
(HCV), hepatitis virus D (HDV), hepatitis virus E (HEV), dan hepatitis virus G (HGV).

Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi yang berupa inflamasi dan atau nekrosis hepatosit
serta infiltrasi panlobular oleh sel mononukleus (sel MN). Dengan kemajuan di bidang biologi
molekular, saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik.
Semua memberi gejalan klinis yang sama, mulai dari asimptomatik hingga ke hepatitis fulminan
dan kematian adalah sama bagi. Kecuali hepatitis virus G yang memberikan gejala sangat ringan,
semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau
penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya karsinoma hepatoselular,
yang dikenal dengan hepatoma. Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak menyebabkan
penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B,D dan C dapat menyebabkan infeksi kronis. Petanda
adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum
terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan
beratnya nekrosis pada sel sel hati.

Hepatitis A

Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral. Seseorang dapat terkena Hepatitis A saat
memakan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh kotoran orang yang telah terinfeksi virus ini. Hal
ini bisa terjadi dengan berbagai cara. Misalnya saat orang yang telah terinfeksi
menyiapkan/memasak makanan untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih dahulu dengan
baik. Seseorang pun bisa terkena Hepatitis A lewat minuman yang terkontaminasi dengan virus
ini. Virus Hepatitis A lebih mudah menyebar di area yang kebersihannya kurang terjaga.
A. Virologi

Hepatitis Virus A (HAV) adalah noneveloped virus berukuran 27nm dan merupakan RNA
virus rantai tunggal, dari famili picornavirus, terdiri dari satu serotipe, tiga atau lebih genotipe,
bereplikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan
karena mekanisme imun yang diperantai sel-T.

Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat
menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi
serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan, melalui rute fekal-oral. Virus yang
tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada
reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV matur yang sudah bereplikasi kemudian
diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses.

Penyakit Hepatitis A ini merupakan penyakit endemis di beberapa negara berkembang.


Selain itu merupakan hepatitis yang ringan, bersifat akut, sembuh spontan/ sempurna tanpa gejala
sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik. Sumber penularan umumnya terjadi karena
pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, sanitasi yang buru,
dan personal hygiene rendah.

B. Epidemiologi

Di negara berkembang dimana HAV masih endemis (Afrika, Amerika Selatan, Asia
Tengah, dan Asia Tenggara) paparan terhadap HAV hampir 100% pada anak 10 tahun. Di
Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5 tahun,
dan mencapai lebih dari 0% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV
mencapai hampir 100%. Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi disekitar kampus
universitas Gadjah Mada yang menyerang lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari
pedagang kaki lima yang berada sekitar kampus. Di negara maju 3 prevalensi anti HAV pada
populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang.
C. Patofiologi

Diawali dengan masuknya virus kedalam saluran pencernaan, kemudian masuk ke aliran
darah menuju hati melalui vena porta, lalu menginvasi ke hepatosit, dan bereplikasi sehingga
menyebabkan sel hepatosit menjadi rusak. Setelah itu virus akan keluar dan masuk ke dalam ductus
biliaris yang akan dieksresikan bersama feses. Hepatosit yang telah rusak akan merangsang reaksi
inflamasi yang ditandai dengan adanya agregasi makrofag, pembesaran sel kupfer yang akan
menekan ductus biliaris sehingga aliran bilirubin direk terhambat, kemudian terjadi penurunan
ekskresi bilirubin ke usus. Keadaan ini menimbulkan ketidak seimbangan antara uptake dan
eksresi bilirubin dari sel hati sehingga bilirubin yang telah mengalami proses konjugasi (direct)
akan terus menumpuk dalam sel hati yang akan menyebabkan refluks ke pembuluh darah sehingga
akan bermanifestasi kuning (ikterus) pada jaringan kulit terutama pada sklera, dan kadang disertai
rasa gatal dan air kencing menjadi berwarna teh pekat akibat partikel bilirubin direk berukuran
kecil sehingga dapat masuk ke ginjal dan dieksresikan melalui urin. Akibat bilirubin direk yang
kurang dalam usus mengakibatkan gangguan dalam produksi asam empedu, karena produksinya
menurun, sehingga proses pencernaan lemak terganggu, dan lemak akan bertahan dalam lambung
dengan waktu yang cukup lama, dan menyebabkan regangan pada lambung sehingga merangsang
saraf simpatis dan parasimpatis mengakibatkan teraktifasinya pusat muntah yang berada di medula
oblongata dan menyebabkan timbulnya gejala mual, muntah, dan menurun nya nafsu makan.

Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama merupakan
refleksi jejas pada hepatosit, yang melepaskan alanin aminotransferase (ALT, atau serum glutamat
piruvat transaminase) dan aspartat aminotransferase (AST, dahulu serum glutamatoksaloasetat
transaminase) ke dalam aliran darah. ALT lebih spesifik pada hati daripada AST, yang juga dapat
naik sesudah cedera pada eritrosit, otot skelet, atau sel miokardium. Tingginya kenaikan tidak
berkorelasi dengan luasnya nekrosis hepatoseluler dan nilai prognostik kecil. Pada beberapa kasus,
penurunan kadar aminotransferase dapat meramalkan hasil yang jelek jika penurunan terjadi
bersama dengan kenaikan bilirubin dan waktu protrombin yang memanjang (prothrombine
time/PT). Kombinasi temuan ini menunjukkan bahwa cedera hati masif telah terjadi, menyebabkan
sedikit berfungsinya hepatosit. Enzim lain, laktat dehidrogenase bahkan kurang spesifik terhadap
hati daripada AST dan biasanya tidak membantu dalam evaluasi cedera hati.
Hepatitis virus juga disertai dengan ikterus kolestatik, dimana kadar bilirubin direk maupun
indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera terhadap hepatosit.
Kenaikan alkali fosfatase serum, 5'-nukleotidase, -glutamil transpeptidase, dan urobilinogen
semua dapat merefleksikan cedera terhadap sistem biliaris. Kelainan sintesis protein oleh hepatosit
digambarkan oleh kenaikan PT. Karena protein ini waktu paruhnya pendek, PT adalah indikator
cedera pada hati yang sensitif. Albumin serum adalah protein serum lain yang dibuat-hati, tetapi
waktu paruhnya yang panjang membatasi relevansinya untuk pemantauan cedera hati akut.
Kolestasis menyebabkan penurunan kumpulan asam empedu usus dan pengurangan penyerapan
vitamin larut-lemak. Cedera hati dapat juga menyebabkan perubahan pada karbohidrat, ammonia
dan metabolisme obat.

D. Manifestasi Klinis

Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, anoreksia, dan nyeri perut. Pada
bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, jarang terjadi ikterus (30%).
Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan
dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu:

1. Masa inkubasi : berlangsung selama 18-50 hari (28 hari)


2. Masa prodomal : terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih. Gejala berupa fatigue,
malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas,
demam (biasanya < 39C). Merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang
ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik : dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh
feses yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan
menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan : ikterus menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4
minggu setelah onset.
Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi
relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya viremia persisten maupun
penyakit kronis.
Terdapat 5 macam gejala klinis:

1. Hepatitis A klasik

Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum
jaundice. Diderita oleh 80% dari penderita simtomatis. IgG anti-HAV pada bentuk ini
mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari kompleks IgA-HAV,
sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah terjadinya relaps.

2. Hepatitis A relaps

Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah dinyatakan sembuh
secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari
serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala
relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.

3. Hepatitis kolestatik

Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis
dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT,
dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi.

4. Hepatitis A protracted

Pada bentuk protracted (8,5%), clearance dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya
fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar
ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan lobular
hepatitis.

5. Hepatitis A fulminan

Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian.
Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu protombin.
Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita usia tua yang
menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya bentuk
fulminan ini.
E. Diagnosis

Diagnosa hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dari pemeriksaan


serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi dan bertahan dalam
waktu 3-6 bulan. Sedangkan untuk pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam waktu 5-6
minggu setelah terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan memberi proteksi
terhadap HAV seumur hidup.

Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat penyakit. Pemanjangan waktu
protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada bentuk fulminan.

F. Tatalaksana

Infeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah
terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, dengan
indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per-oral, kadar SGOTSGPT> 10 kali
nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.

Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya


asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek.
Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protombin
secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah:

1. Pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik

2. Umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun

3. Kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dl atau waktu sejak dari ikterus menjadi

ensefalopati lebih dari 7 hari.

G. Pencegahan

Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih
diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang dewasa
dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis.
Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu perbaikan higiene makanan-minuman,
perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (sampai dengan 2 minggu sesudah
timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu
imunisasi pasif dengan immunoglobulin, dan imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix,
Vaqta dan Avaxim).

Imunisasi Pasif

Indikasi pemberian imunisasi pasif:

1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita

2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau
keluarganya menderita hepatitis A.

3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A.

4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara dengan
endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada usia dibawah 2
tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun.

Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum globulin prophylaxis
dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan dengan dosis 0,02 ml/kgBB untuk
memberikan perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular melalui otot deltoid
dengan dosis 0,06 ml/kgBB pada anak usia 2-18 tahun dan tidak boleh diberikan dalam waktu 2
minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella, varicella) sebab IG
akan menurunkan imunogenitas vaksin. Akan tetapi, dengan penemuan vaksin yang sangat efektif,
immunoglobulin tersebut menjadi jarang digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis
yang berkunjung ke daerah endemik dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah
endemis HAV, orang dengan immunocompromised yang memiliki resiko penyakit berat setelah
kontak erat, dan pekerja kesehatan setelah terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV
teridentifikasi, contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin
prophylaxis harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut. Hal
ini terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah sakit, penjara, dan
institusi lainnya.
Normal human immunoglobulin (NIHG) mengandung 100 IU antiHAV, diberikan sebagai
upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat epidemi) atau disebut
profilaksis pasca paparan. Diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,02 ml/kg berat badan
pada anak yang lebih besar dan dewasa 5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi
3 ml.

Imunisasi Aktif

Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix dan Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal dari
inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung preservatif sedangkan Vaqta
tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan
pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.

Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik rata-
rata anti-HAV pada Vaqta lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/L pada
Havrix dan 10 mIU/L pada Vaqta mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi
mencapai 88% dan 99% pada Havrix dan 95% dan 100% pada Vaqta pada bulan ke 1 dan ke
7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih.
Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi.

Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada


vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma Guillain-
Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda
dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.

Indikasi imunisasi aktif:

1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi

2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak.

3. Homoseksual

4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini
yang mengidap hepatitis C kronis.

5. Peneliti HAV.
6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi
hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat.

7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX).

Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita,
maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi
untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status
imunologi dalam masyarakat.

Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi
berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat
protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup, dan
lebih dari 70% orang dewasa telali mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang
dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah
vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan pemeriksaan tidak dapat
mendeteksi kadar antibodi yang rendah.

Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop


permukaan virus. Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual dan diberikan pada
anak berusia 2 tahun.

Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis vaksin bervariasi
tergantung produk dan usia resipien.

Monovalen
o Anak 2 tahun: 720 IU
o Dewasa: 1440 IU
Kombinasi Hep A dan B: >1 tahun
Kombinasi Hep A dan tifoid: 2 tahun

Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster diberikan antara 6 - 18 bulan setelah
dosis pertama, tergantung produk. Vaksin hepatitis A terbukti imunogenisitasnya baik.
Diperkirakan anti-HAV protektif menetap selama > 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi
akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat anamnestic boosting infeksi alamiah.
Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain (hepatitis B, tifoid) tidak mengganggu
respons imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Vaksin
VHA tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis
pertama.

Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek
samping tersering (21-54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.

Hepatitis B

A. Virologi

Virus hepatitis B (HBV) manusia termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan
virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepatitis virus juga ditemukan pada marmut, 10 tupai,
dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular pada manusia.
Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus hepatotropik ini
mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nuklotida dengan diameter
42 nm dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap
berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm
dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk
bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B
surface antigen (HbsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk
oleh selubung hepatitis B core antigen (HbcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase,
transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam
core adalah hepatitis B e antigen (HbeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus
yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati. HbeAg merupakan petanda
tak langsung derajat beratnya infeksi. Masa inkubasi HBV 60-90 hari.

B. Epidemiologi

WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola
prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HbsAg 0,2- 0,5% dan
anti-HBs 4-6%), prevalensi sedang (HbsAg 2-7% dan anti-HBs 20-55%), dan prevalensi tinggi
(HbsAg 7-20% dan anti-HBs 70-95%). Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan
negara-negara Skandinavia prevalensi HbsAg bervariasi antara 0,1%- 0,2% sedangkan di Afrika
dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi dapat
mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%.

Pada ibu yang melahirkan dengan HbeAg (+), bayi memiliki risiko tertular sebesar 90%,
sedangkan bila hanya HbsAg (+) maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan tindakan
imunoprofilaksis. 90% bayi yang tertular akan berkembang menjadi infeksi kronis dan 25% akan
meninggal karena penyakit hati kronis.2 HBV tidak selalu didapatkan dalam ASI, namun yang
dikhawatirkan adalah luka pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah
dan HBV.

C. Patofisiologi

Virus hepatitis B merupakan virus non-sitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan


melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons
imunologis. Langkah pertama dalam proses hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV,
menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting dari antigen
virus ini adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk HBcAg. Antigen-
antigen ini, bersama dengan Protein histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu
sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis.

Antigen tersebut akan bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC
I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang
tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang
keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi,
protein core atau protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat
diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran
hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang mengandung virus
harus bertahan hidup. Mekanisme imunologis juga berperan pada manifestasi ekstrahepatik.
Kompleks imun yang mengandung HbsAg dapat menimbulkan poliarteritis nodosa,
glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan sindroma Guillain-Barre.
Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis yang
menyebabkan gangguan produksi anti-HBs karena pada pasien Hepatitis B kronik antiHBs tidak
lagi terdeteksi; sehingga HbcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel
T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak
perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi
kronis. Infeksi HBV < 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi >umur
3 tahun.

Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus DNA biasa, dan sederatan strain mutan telah
dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebabkan kegagalan mengekspresikan
HBeAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi
infeksi HBV kronis yang lebih berat.

D. Gejala Klinis
1. Hepatitis akut

Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.
Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan
muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST sebelum timbulnya gejala
klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti
serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula dan makulopapular).
Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan
berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada neonatus, 10% pada anak
dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis
akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.

Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan
mukosa dibawah lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Bila hati tidak dapat teraba
dibawah tepi kosta, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan lembut diatas hati
dengan tinju menggenggam. Sering ada splenomegali dan limfadenopati.
2. Hepatitis kronis

Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HbsAg
dalam serum, minimal selama 6 bulan. Perubahan histologis yang menetap pada penderita dengan
hepatitis B, C, atau D menunjukkan perkembangan penyakit kronis. Sebagian besar penderita
hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar
aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan
adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar aminotransferase serum
mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum
meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak
berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum, atau
kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada
pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang
menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan
menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan
beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan
perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.

3. Gagal hati fulminan

Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik.
Gagal hari fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa minggu
setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan
peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh
adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.

4. Pengidap sehat

Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum
berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi
kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang
terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1) membaik (antiHbe
positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1%, (3)
menderita karsinoma hati kurang dari 1%.
E. Diagnosis

Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi
HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan
dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat
ini DNA HBV, HbsAg, HbeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung
terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap
sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hari yang
terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis.

Tabel 1. Penanda Serologis Infeksi HBV

Antigen Interprestasi Bentuk Klinis


HBsAg Sedang infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis
HBeAg Proses replikasi dan sangat Hepatitis akut, hepatitis kronis
menular
Anti HBs Resolusi infeksi Kekebalan
Anti HBcTotal Sedang infeksi / pernah infeksi Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis, kekebalan
IgM anti HBc Infeksi akut / infeksi kronis yang Hepatitis akut, hepatitis kronis
kambuh
Anti HBe Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan
PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis kronis,
penanda kronis
Hibridisasi DNA Replikasi aktif dan sangat menular Hepatitis akut, hepatitis kronis
HBV

F. Tatalaksana

Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi
kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada
dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, atau
bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak
dibawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian
besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit;
sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B
kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh
dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta
komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan HbeAg dan
DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar aminotransferase serum
yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.

1. Interferon alfa

Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-a2b) adalah pengobatan standar untuk


penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati, koagulopati,
dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HbeAg dan DNA HBV) serta peningkatan
kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia,
trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terdahap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis
interferon subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.

Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri
sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok. Efek
autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-interferon, hipertiroidisme,
diabetes, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan
jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah
terkena m2 infeksi bakterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih,
peritonitis, dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan
tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan
penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi,
paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.

Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu selama
pengobatan. Pemeriksaan HbsAg, HbeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai, selesai
pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau pengobatan
dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan
berat, dan efek samping yang berat. Antara 10-40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan
5-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi
bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat , kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan
pneumonia.

Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif


rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta adanya
gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan 46% penderita
yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-Hbe dan 8% dengan
timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV menurunkan
kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama
setelah pengobatan.

2. Analog nukleosida

Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan nukleosida yang menghambat


replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon.
Dosisnya 3 mg/kgBB PO 1x/hari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran
histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya HbeAg dan timbulnya anti-Hbe sebesar 17-
18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HbeAg menjadi anti-Hbe sebesar 23%.
Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh.

Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar
aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon terutama
penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi precore HBV mendapat
imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan
pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin
terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan
lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi respons yang signifikan
terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudine tidak lebih baik
dibandingkan pengobatan dengan lamivudine saja.
G. Pencegahan

Pencegahan umum

Meliputi uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumen
kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan pemakaian
sarung tangan oleh tenaga medis.

Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk
pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan
penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0,1-20% dengan anti-HBc positif dan 80%
dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan
direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru lahir
dengan risiko rendah (ibu HbsAg negatif saat melahirkan) dan anak-anak di luar Asia atau
Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring dan imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-1
bulan.

Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi.
Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi tertular
melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan
setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HbsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya
dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.

Untuk nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya


setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs nya tidak muncul
atau anti-HBs <10mlU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan walaupun
dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para nonresponder ini dapat
dilakukan:

(1) pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HbsAg

(2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell peptide

(3) pemberian kombinasi HbsAg dengan HbcAg

(4) transfer limfosit dari responder.


Untuk penderita dengan dialysis yang respon imunologisnya sangat rendah, hal diatas
kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi vaksinasi sebelum penyakitnya
lanjut dan menjalani dialisis.

Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum suntik disposable,
mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu, idealnya
skrining ibu hamil (trimester ke 1 dan ke 3 terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi risiko
tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan
seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien
VHB).

Pencegahan khusus

Cakupan imunisasi hepatitis B di Indonesia pada anak usia 12 - 23 bulan sebesar 62,8%.
Walaupun cakupan masih rendah, tetapi secara bermakna dapat menurunkan angka kesakitan
hepatits B baik akut maupun kronik. Hepatitis B di kalangan anak-anak dan remaja telah berkurang
hingga lebih dari 95% dan hingga 75% pada dewasa. Pemberian ketiga dosis vaksin hep. B dengan
jumlah dosis sesuai rekomendasi, akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti HBs
10 mlU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja. Vaksin diberikan secara intramuskular
dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan anteroIateral paha sedangkan pada anak besar dari
dewasa diberikan di regio deltoid.

Indikasi :

Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu

Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB

Karyawan di lembaga perawatan cacat mental

Pasien hemodialisis

Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang

Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubungan seksual

Drug users

Homosexuals
Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai
pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa
hal yang perlu diingat:

Imunisasi minimal diberikan 3 kali

Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir

Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi paling
optimal

Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval
antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer
antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).

Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster.
Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4-12 bulan),
semakin tinggi titier antibodinya.

Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua.
Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi
kedua.

Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan

Pada anak yang berumur antara 6 minggu - 2 tahun dapat diberikan kombinasi vaksin
pentavalen (DTwP-HiB-Hep.B) atau hexavalen (DTaP-HiB-IPV-Hep.B)

Vaksin kombinasi Hepatitis A dan B (catch-up immunization) dapat diberikan pada anak
berumur 18 bulan atau lebih, dengan jadwal 0,1,6 bulan.

Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah
suntikan

Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu
yang melahirkan dengan HbsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya
diberikan vaksinasi pasif HBIg dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIg saja tanpa vaksinasi aktif
hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi
HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi
imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila
dosis dikurangi maka milai titer antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonversi makin
berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas.
Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan
bukan ke otot.

Imunisasi Pasif

Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi


meskipun hanya untuk jangka pendek 3-6 bulan. HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan
virus, hepatitis B (bayi dari ibu VHB), needle stick injury, kontak seksual, terciprat darah ke
mukosa atau ke mata. Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya
berlangsung lama.

Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda,
dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85-95%) dalam mencegah infeksi VHB
dan kronisitas. Apabila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%.

Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan untuk diberikan
imunisasi, 6 sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi
cukup bulan. Pemberian vaksin HB pada bayi prematur dapat juga dilakukan dengan cara di bawah
ini:

1. Bayi prematur dengan ibu HBsAg positif harus diberikan imunisasi HB bersamaan
dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1
bulan kemudian, dosis ke- 3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan.

2. Bayi prematur dengan ibu HBsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan :

a. Dosis pertama saat lahir, ke-2 diberikan pada umur 2 bulan, ke-3 dan ke-4 diberikan
pada umur 6 dan 12 bulan. Titer anti Hbs diperiksa setelah imunisasi ke-4.

b. Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gram atau sekitar
umur 2 bulan. Vaksinasi HB pertama dapat diberikan bersama-sama DPT, OPV (IPV) dan
Haemophylus influenzae B (Hib). Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian dan dosis ke-3
pada umur 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah imunisasi ke-3.

Catch up immunization merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum
pernah diimunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi
hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis
pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16
minggu sesudah dosis pertama.

Efektivitas dan lama proteksi vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%.
Memori sistem imun menetap minimal sampai 15 tahun pasca imunisasi namun secara teoritis
menetap seumur hidup sehingga pada anak normal, tidak diperlukan untuk imunisasi booster.

Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin hanya
berlangsung selama titer anti HBs >=10 mlU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan anti-HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti- HBs turun menjadi <10
mIU/mL.

Non responder; mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer,
diberikan vaksinasi tambahan. Tambahan satu kali vaksinasi menyebabkan 15-25% non responder
memberikan respons antibodi yang adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40%
dapat membentuk antibodi yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi
serokonversi, dapat dipertimbangkan untuk pemberian vaksin hepatitis B dosis ganda.

Uji serologis; pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pasca imunisasi tidak
dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis
pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pasca imunisasi perlu
dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan,
dan pasien imunokompromais. Uji serologis pasca imunisasi ini dilakukan 1-2 bulan sesudah
imunisasi HB lengkap.

Reaksi KIPI; efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan
bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.
Kontra indikasi absolut vaksin hepatitis B adalah riwayat anafilaksis setelah vaksinasi
hepatitis B sebelumnya, terhadap komponen vaksin seperti yeast. Ikterus, kehamilan, dan laktasi
bukan indikasi kontra imunisasi VHB.

Hepatitis C

A. Virologi

HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan
Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30- 60nm,
dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat
melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.

Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak,
terdiri dari 4 genotipe. Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase
kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan
nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui.

Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang
merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi
dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat ditemukan virus-
virus yang berbeda susunan nukleotidanya. Masa inkubasi virus ini 30-60 hari.

B. Epidemiologi

Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari
pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan 1,5%,
Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 13%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar 1,0%,dan
Banjarmasin 1,0%.

Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan ada mereka yang
menggunakan obat bius dengan suntikan dan penerima transfusi berulang (antara 60-90%). Pada
pasien yang hemodialisis (20%) dan angka yang rendah pada kontak seksual (1-10%). Penularan
melalui transfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisa, tertusuk jarum suntik,
tattoo, dan hubungan seksual lebih banyak pada orang dewasa. Sedangkan pada anak biasanya
disebabkan karena adanya penularan secara vertikal melalui plasenta.

Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV (+), didapatkan angka 5%. Bila ibu
menderita HIV disertai dengan HCV, maka kemungkinan tertular akan lebih besar yaitu 14%.
Kemungkinan penularan in-utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru lahir.
Tetapi viremia mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila seorang bayi
dicurigai tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana antibodi
ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi hati juga penting pada
bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir, tetapi bila terjadi peningkatan hasil uji fungsi hati,
yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi tersebut tertular secara perinatal. Gejala
klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 - 18 bulan tidak
terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan secara perinatal.

C. Patofisiologi

HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi
non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus lainnya,
eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus yang beredar
dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan menghambat
replikasi intraseluler melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari aktivitas antibodi
penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini dapat menyebabkan
timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita terdapat virus
yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi dari antobodi
penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan cara infeksi
langsung pada sel limfoid dan menggangu produksi interferon. Kerusakan hepatoselular masih
menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan ditemukannya perubahan
degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b mungkin lebih bersifat sitopatik
daripada genotip lain. Mekanisme sitotoksisitas yang diperantarai sel diduga juga berperan dalam
kerusakan sel hati, yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan
HLA kelas 1 dan core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi
HCV juga berhubungan dengan gangguan imunologis seperti vaskulitis, glomerulonefritis, artritis,
dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem imun yang
menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan pembentukan kompleks imun dari IgG
dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin juga
menimbulkan limfoma.

D. Manifestasi Klinis
1. Hepatitis C Akut

Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan masa
inkubasi sekitar 7 minggu (2-30 minggu). Anak maupun dewasa yang terkena infeksi biasanya
asimtomatik atau gejala tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada
penderita dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT,
ALT dapat meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi terhadap HCV (antiHCV) mungkin
belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah infeksi akut. Kadar
transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40% penderita akan menjadi normal
walaupun tidak berhubungan dengan status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara
spontan dengan pembuktian menggunakan metode PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak
seperti HAV maupun HBV, infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan.

2. Hepatitis C Kronis

Pola klinis infeksi kronis biasanya serupa dengan pola klinis virus hepatitis yang lain. HCV
merupakan hepatitis virus yang paling mungkin menyebabkan infeksi kronis. Tidak kurang dari
85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme mengenai mengapa virus
masih tetap ada setelah infeksi akut belum diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan
kemampuan virus untuk melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan
penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak
enak pada perut kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita
menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak
berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepatik bisa meliputi gejala hematologis,
autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf.

Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang
lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal. Khas, pola fluktuasi kenaikan aminotransferase
terjadi pada sekitar 80% dari mereka yang berkembang HCV kronis. Walaupun kenaikan kadar
aminotransaminase kronis lazim. Khas Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal
kecuali pada fase lanjut.

E. Diagnosis

Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu:2

1. Uji saring

Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu
mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita dengan
gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada penderita
transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal perjalanan penyakit dengan
adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.

2. Uji konfirmasi

Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun
perbaikan pemeriksaan serologis EIA (Enzyme Immuno Assay) generasi ketiga dapat menyamai
atau tidak memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil
pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah, uji konfirmasi
ini meliputi:

a. Recombinant immunoblot assay (RIBA-1, RIBA-2, RIBA-3)

b. Deteksi virologis

c. Biopsi hati

Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obat anti
virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2 golongan besar, yaitu
pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.

3. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari
antigen HCV serta untuk menemukan adanya IgG anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan secara
rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA
generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural (C100) NS-
4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core
atau C-22 dengan protein nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1
dengan cara mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik
daripada EIA generasi pertama, dimana generasi kedua ini dapat menemukan timbulnya
serokonversi antiHCV dengan lebih cepat yaitu antara 4-6 minggu paska infeksi.

Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV tidak timbul pada
core semua penderita hepatitis C akut, tetapi ada pada penderita hepatitis C kronis ( 50% penderita
infeksi kronis). Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan erat dengan viremia, sehingga
mungkin titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan viremia yang rendah.2,11 EIA
generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain antibodi
terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan protein
rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat menyebabkan hasil
positif palsu.

Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA yang melakukan deteksi
antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang diikat lapisan nitroselulosa.
Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya karena menggunakan antigen yang
sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan
perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang meragukan (endeterminate).

4. Pemeriksaan molekular

Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga
dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis
molekular.2,11

Ada 4 cara diagnosis molekular terhadap HCV:

1. PCR

2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBA)

3. Ligase chain reaction (LCR)

4. Branched DNA assay (b DNA assay)


PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target
amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification.
Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan
seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya
kontaminasi.

F. Tatalaksana

Terapi standar yang umumnya digunakan adalah pegylated interferon alfa- 2a atau alfa-2b
dikombinasikan dengan ribavirin.12 Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin walaupun
ditoleransi dengan baik oleh anak, obat ini memiliki efek samping yang signifikan dan beberapa
kontraindikasi yang perlu diketahui sebelum memutuskan terapi.Pasien berusia kurang dari satu
tahun tidak boleh menggunakan terapi ini karena risiko terjadinya neurotoksitas yang berat berupa
spastik displegia. Di Amerika Serikat regimen ini dianjurkan digunakan pada anak berusia 3 tahun
atau lebih, mengunakan regimen pegylated interferon alfa-2b dan ribavirin. Pasien dengan depresi
perlu diawasi oleh psikiater. Pada sekitar 21% pasien yang mendapat terapi ini mengalami efek
samping yang lebih berat sehingga pemeriksaan status kesehatan sebelum terapi dan selama terapi
diperlukan. Efek samping pegylated interferon sama dengan interferon standar yaitu pireksia, sakit
kepala, gejala gastrointestinal, depresi, penurunan berat badan dan perlambatan pertumbuhan linier
dan neutropenia selama terapi. Sedangkan efek samping ribavirin adalah anemia hemolitik dan
teratogenisitas. Pasien dengan sirosis kompensasi atau dekompensasi ringan masih dapat diberikan
terapi ini tetapi di senter yang tersedia transplantasi hati karena bisa dengan cepat memburuk.
Dosis pegylated interferon alfa-2b adalah 60 mcg/m2 sekali seminggu (disetujui digunakan pada
usia 3 tahun atau lebih), dosis maksimal 1,5 mcg/ kg) dikombinasi dengan ribavirin 15 mg/kg/hari
dibagi menjadi 2 dosis. Bila digunakan pegylated interferon alfa-2a dosisnya 180 mcg/1,73 m2,
dosis maksimum 180 mcg) dikombinasi dengan ribavirin pada anak berusia 5 tahun atau lebih.
Dapat juga diberikan interferon (3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu) dan dikombinasi ribavirin.

G. Pencegahan

1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ.

2. Uji saring terhadap individu yang berda pada daerah dengan prevalensi HCV yang tinggi

untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.


3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh.

4. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan gunting kuku

5. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang dipakai

steril

6. Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau RNA

HCV setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi

penyakit hepatitis C.

Hepatitis D

Hepatitis D adalah salah satu penyakit yang membahayakan jika tidak segera ditangani.
Penyakit yang menyerang hati atau liver ini semakin berbahaya karena gejalanya yang tidak selalu
tampak. Virus Hepatitis D hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan virus
hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki resiko tinggi
terhadap virus ini adalah pecandu obat. Biasanya para pengguna narkoba yang kemungkinan
terjangkit penyakit hepatitis D ini. Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat yang
memerlukan pertolongan virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada
orang yang terinfeksi hepatitis B. Virus hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling
berbahaya dari semua virus hepatitis.

A. Virologi

HDV adalah virus RNA rantai tunggal dengan ukuran 36 nm. Lapisan luarnya adalah
HbsAg yang membungkus genom RNA dan antigen delta. HDAg adalah protein yang dikode oleh
RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul 27000 kD dan
24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati
kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di dalam sel hati
maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV.
B. Epidemiologi

Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan
asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Di Amerika Serikat, infeksi HDV ditemukan
paling sering pada penyalahguna obat parenteral, hemofilia, dan orang-orang yang berpindah dari
Itali Selatan, bagian timur Eropa, Amerika Selatan. Afrika, dan Timur Tengah.

Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau
menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV (superinfeksi). Masa inkubasi
pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV
tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. HDV adalah virus blood
born sehingga penularan terjadi secara parenteral. Ditemukan dua pola infeksi. Penularan biasanya
terjadi dengan kontak intrafamilial atau intim pada daerah prevalensi yang tinggi, yang terutama
adalah negara yang sedang berkembang. Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat
dalam keluarga pada daerah dengan prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara
inapparent parenteral. Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi
pada kulit lebih sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada
penderita penyakit darah, dan infeksi nosokomial.

C. Patofisiologi

Oleh karena dibungkus HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan
besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik menyebabkan
kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik pada pemeriksaan
histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.

Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas. Pada
binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan infeksi
HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban replikasi virus
yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik). Peran sistem imun
pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel radang kronis pada portal trek yang menandakan
peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak memberikan efek yang
menguntungkan, terdapat beberapa auto-antibodi pada serum penderita dan infeksi kronis HDV
namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak jelas.
D. Manifestasi Klinis

Dari semua jenis penyakit / tingkatan penyakit hepatitis dapat diketahui bahwa gejala awal
yang dirasakan oleh penderita hampir sama diantaranya rasa lelah, demam, diare, mual, muntah,
sakit perut, mata kuning, sakit kepala dan hilangnya nafsu makan jika HDV koinfeksi. Sedangkan
pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis
dan pada kejadian superinfeksi risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi.

E. Diagnosis

Diagnosa infeksi HDV ditegakkan dengan mendeteksi HDV RNA di darah maupun hepar
tepat sebelum dan di awal masa infeksi akut. IgM anti-HDV dapat menjadi indikator yang
diandalkan untuk pajanan terhadap HDV, timbul sekitar 2-4 minggu setelah infeksi secara
koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi. Untuk menegakkan diagnosis pada kasus koinfeksi
HDV dan HBV, deteksi IgM HDAg dan HbcAg (infeksi akut) dapat dilakukan. Sementara itu
untuk kasus superinfeksi, HbsAg menetap di serum ditambah dengan antibodi HDV (IgG maupun
IgM).

F. Tatalaksana

Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan
lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada
penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar
ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons
positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian
interferon diteruskan sampai HbsAg hilang dari serum.

G. Pencegahan

Tidak ada vaksin hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka
otomatis Anda akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa HBV.
Hepatitis E

Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara enterik.
Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun 1955 di mana terdapat
29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari perusahaan air minum kota
yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis hepatitis ini secara pemeriksaan
serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B (HBV).

A. Virologi

Hepatitis E Virus adalah RNA virus rantai tunggal dengan virion nonenveloped yang
mempunyai diameter 32-34nm, dalam pemeriksaan mikroskop elektron virus ini berbentuk sferis,
dan dulu termasuk golongan calcivirus seperti Norwalk virus, akan tetapi sekarang 30 termasuk
family Hepeviridae. HEV terdiri dari 7500 pasangan nukleotida. Biasanya menyerang usia lebih
dewasa antara 15-40 tahun.

B. Epidemiologi

Infeksi ditularkan secara enterik. Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgir,
Uni Soviet pada tahun 1955-1956 yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai
usia pertengahan. Juga terjadi di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 200000 dan 10000
kasus. Epidemi juga terjadi di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis
E di Kalimantan Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.

C. Patofisiologi

HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologinya


menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe
kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis
lain yaitu pembengkakan sel hati, degenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PMN pada daerah
intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan statis empedu pada
kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV. IgM
menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti HEV dapat
bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati pada infeksi HEV masih belum jelas;
namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype
menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan
humoral.

D. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus
fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya sekitar 40 hari (15-60 hari). Bentuk
subklinisnya tidak dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes
dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT
dicapai setelah 3 minggu sejak timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok
anak muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan
umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak
pernah didapatkan bentuk kronis. HEV memiliki angka fatalitas tinggi pada wanita hamil.

E. Diagnosis

Diagnosis hepatitis E ditentukan dengan cara:

1. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita

2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking

assay

3. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu
minggu timbulnya gejala klinis

4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja

H. Pencegahan

Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.
Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah
penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk
mencegah infeksi HEV.
Hepatitis G

Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada
sekelompok penderita hepatitis pasca transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum diketahui
penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non A-E. Pada tahun 1996 ditemukan suatu
virus baru penyebab hepatitis non A-E yang dinamakan dengan virus hepatitis G dan isolat lainnya
virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus hepatitis C tetapi tidak menyebabkan
gangguan yang serius pada hati.

A. Virologi

Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri
atas 9300 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviviridae, dengan ukuran 50-100nm,
ditularkan secara parenteral. Virus ini bereplikasi dalam sel mononuklear (MN cells), termasuk
CD4, CD8, sel T, dan sel B.

Beberapa genotype GBV-C:

1. Genotype 1 umumnya ditemukan di Afrika Barat


2. Genotype 2 ditemukan di Amerika Utara
3. Genotype 3 ditemukan di Asia
4. Genotype 4 ditemukan di Asia Tenggara
5. Genotype 5 ditemukan di Afrika Selatan
6. Genotype 6 ditemukan di Indonesia
B. Epidemiologi

HGV adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita penyakit
darah yang mengalami transfusi berulang, juga pengguna obat secara intravena. Cara lain adalah
inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi yang terjadi selama
proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta. Prevalensi HGV pada
donor darah dan populasi umum di negara maju antara 1-2%. Di negara tropis dan subtropis
prevalensi antara 5-10%. Tingginya prevalensi HGV di daerah tropis dan subtropis mungkin
disebabkan adanya serangga dan vektor lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di
masyarakat mempunyai kadat ALT serum normal.
C. Patofisiologi

Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi tidak
didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas normal.
Sampai saat ini tidak didapatkan bukti bahwa HGV menyebabkan gejala klinis. Replikasi virus
terjadi pada sel mononuklear, termasuk CD4 dan CD8 sel T dan sel B. Karena ditemukan di
limfosit, virus ini dianggap mempunyai sifat biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV.

D. Manifestasi Klinis

Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi
dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak ditemukan
kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C. Akan tetapi pasien dengan
GB-C virus akan meningkatkan resiko dari limfoma non-hodgkin akibat replikasi dari GB-C virus
ini yang menyebabkan kegagalan imunitas. Selain itu apabila seseorang menderita HIV disertai
Hepatitis G akan mengurangi mortalitas penderita infeksi HIV, akibat dari Virus GB-C yang
menghalangi penetrasi HIV kedalam limfosit.

E. Diagnosis

Untuk mendiagnosis Hepatitis G, adalah dengan mengidentifikasi GBV-C RNA di dalam


darah penderita dengan PCR (polymerase chain reaction). Partikel virus ini terdapat dalam sel
hepatosit, endotel, monosit dan limfosit. Apabila infeksi telah hilang, terbentuk antibodi terhadap
kapsul glikoprotein E2 (anti-E2) dan dapat ditemukan didalam darah.

F. Pencegahan

Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi ini.


Kesimpulan

Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang dan
negara maju. Penemuan baru dalam bidang biologi molekuler telah membantu identifikasi dan
pemahaman patogenesis keenam virus yang sekarang diketahui menyebabkan hepatitis. Hepatitis
disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit
merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari
infeksi tersebut. Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu
virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi
mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan
kematian.

Hepatitis A merupakan penyakit self limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup.
Penyebaran terutama dengan rute fekal-oral. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum
speenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung menyimpulkan
adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Gejala klinisnya bedakan menjadi 4 stadium yaitu:
Masa inkubasi, masa prodomal, fase ikterik, fase penyembuhan.

Faktor risiko yang paling penting untuk mendapat infeksi hepatitis B pada anak adalah
pemajanan perinatal terhadap ibu positif HbsAg. Faktor risiko penting lain untuk infeksi HBV
pada anak adalah pemberian obat-obat atau produk-produk darah secara intravena, kontak seksual,
perawatan institusi dan kontak dengan pengidap. Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana
mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan mukosa dibawah lidah. Hati biasanya membesar dan
nyeri pada palpasi. Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang- kurangnya dua
pertanda serologis. Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling efisien. Secara garis
besar, upaya pencegahan terdiri dari preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif
maupun aktif.
Daftar Pustaka

1. Arief S. Hepatitis virus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. Jilid 1.


Jakarta: IDAI; 2012. H.285-328.
2. Herdiana M, Arief S, Setyobudi B. Mengenal hepatitis a pada anak. 2015. Diunduh dari:
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-hepatitis-a-padaanak
3. Ranuh G, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, Ismoedijanto, Soedjatmiko.
Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014. h.247-
53,335-40.
4. Ismalita. Sari pediatri: Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi Prematur. Volume 5.
Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU; 2006. H. 58-63.
5. Djer M, Sekartini R, Handryastuti RAS, Hidayati EL, Juniar I. Current evidence in
pediatric practices. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2014. H.12-
13.
6. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
UKRIDA; 2013. H.129-138.
7. Wedemeyer H, Manns MP. Epidemiology, pathogenesis and management of hepatitis D:
update and challenges ahead. Ed.7. Vol.1. Nature Reviews Gastroenterology &
Hepatology; 2010. P. 31-40.

Anda mungkin juga menyukai