Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

I. Fisiologi Termoregulasi

Suhu Tubuh Normal

Rentang suhu tubuh normal pada manusia berkisar antara 96,50 sampai 99,50F (360
sampai 380C) dengan rata-rata suhu oral 98,60F (370C), dengan suhu terendah 98,20 atau
36,80. Dalam masa 24 jam, terdapat fluktuasi suhu pada seorang individu antara 10 sampai 20,
dengan suhu terendah pada waktu tidur. Terdapat perbedaan suhu antara usia muda dan usia
tua. Infan mempunyai area permukaan tubuh yang relatif lebih luas terhadap volume dan
cenderung mengluarkan panas llebih cepat. Pada usia tua, mekanisme untuk mempertahankan
suhu tubuh tidak berfungsi seefisien masa muda, dan perubahan suhu lingkungan tidak dapat
dikompensasi secepat atau seefektif masa muda. Hal ini penting diingat ketika menangani
pasien usia sangat muda atau sangat tua.(3)

Suhu tubuh terbagi atas suhu inti dan suhu kulit. Suhu jaringan tubuh organ dalam
disebut sebagai suhu inti yang sifatnya hampir selalu konstan, kalaupun terjdi perubahan
berkisar 10F ( 0.60C). Sedangkan suhu kulit sifatnya naik dan turun sesuai dengan suhu
lingkungan.(4)

1
Berdasarkan penelitian terhadap orang sehat usia antara 18 sampai 40 tahun diperoleh
bahwa rata-rata suhu mulut 36.80 0.40C (98.20 0.70F) dengan nilai terendah pada jam 6
pagi dan tertinggi pada jam 4 sampai 6 sore. Suhu mulut normal tertinggi 37.20C (98.90F)
pada jam 6 pagi dan 37.70C (99.90F) pada jam 4 sore. Sehingga berdasarkan penelitian ini
didapat jika suhu tubuh pada pagi hari >37.20C (98.90F) atau pada sore hari >37.70C (99.90F)
dikatakan demam. Suhu rektum 0.40C (0.70F) lebih tinggi daripada suhu mulut.(2)

Pada wanita yang menstruasi, suhu pagi hari akan lebih rendah 2 minggu sebelum
terjadi ovulasi yang kemudian akan naik sekitar 0.60C (10F) pada saat terjadi ovulasi hal ini
disebabkan peningkatan pelepasan progesteron dan terus bertahan sampai terjadinya
menstruasi. Suhu tubuh meningkat setelah fase postprandial. (2)

Keseimbangan Suhu Tubuh

Suhu tubuh akan berada dalam rentang yang normal jika terjadi keseimbangan antara
pembentukan panas dengan pengeluaran panas. Pembentukan panas berasal dari kerja otot,
asimilasi makanan dan proses-proses vital yang memberi kontribusi terhadap laju
metabolisme basal. Pengeluaran panas dari tubuh melalui radiasi, konduksi dan penguapan
air di saluran nafas dan kulit. Sebagian kecil panas juga dikeluarkan melalui urin dan feses. (1)
Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih besar daripada laju hilangnya panas,
timbul panas dalam tubuh dan suhu tubuh meningkat. Sebaliknya, bila kehilangan panas lebih

2
besar, panas tubuh dan suhu tubuh menurun. Produksi panas adalah produk tambahan
metabolisme yang utama. Panas ini dihantarkan dari organ dan jaringan yang lebih dalam ke
kulit, kemudian panas tersebut hilang ke udara dan sekitarnya. (4)

Produksi panas

Pada respirasi sel, proses melepaskan energi dari makanan untuk membentuk ATP, juga
menghasilkan panas ketika satu energi dihasilkan.(3) Walaupun respirasi sel, berlangsung
konstan, banyak faktor yang mempengaruhi proses ini, yaitu :

1. Hormon tiroksin (dan T3) dihasilkan oleh kelenjar tiroid, meningkatkan laju
respirasi sel dan produksi panas. Sekresi tiroksin diregulasi oleh laju produksi energi tubuh,
laju metabolisme itu sendiri. Ketika laju metabolisme berkurang, kelenjar tiroid distimulasi
untuk menghasilkan lebih banyak tiroksin. Ketika tiroksin meningkatkan laju respirasi sel,

3
mekanisme umpan balik negative menghambat sekresi lebih lanjut sampai laju metabolisme
turun kembali. Tiroksin disekresi ketika kebutuhan respirasi sel meningkat dan mungkin
merupakan pengatur utama produksi energi harian.

2. Pada keadaan stress, epinerin dan norepinefrin disekresikan oleh medulla adrenal,
dan sistem saraf simpatis menjadi lebih aktif. Epinefrin meningkatkan laju respirasi sel,
khususnya di organ seperti jantung, otot rangka, dan hati. Stimulasi simpatis juga
meningkatkan aktivitas organ-organ ini. Peningkatan produksi ATP untuk memenuhi
kebutuhan ATP pada keadaan stress yang juga berarti lebih banyak panas yang dihasilkan.

3. Organ-organ yang aktif menghasilkan ATP merupakan sumber panas ketika


tubuh istirahat. Otot rangka, contohnya, biasanya pada kedaan kontraksi ringan disebut tonus
otot. Karena meskipun kontraksi ringan membutuhkan ATP, otot juga menghasilkan panas.
Menghasilkan sekitar 25% dari total panas tubuh pada saat istirahat dan lebih banyak pada
saat olahraga, ketika lebih banyak ATP yang dihasilkan. Hati merupakan organ yang secara
kontinu aktif, menghasilkan ATP untuk menghasilkan energi untuk fungsinya yang banyak.
Hasilnya, hati menghasilkan sebanyak 20% total panas tubuh pada saat isitrahat. Panas yang
dihasilkan oleh organ-organ ini disebarkan ke seluruh tubuh oleh darah. Ketika darah yang
mengalir lebih rendah melalui organ seperti otot dan hati, panas yang mereka hasilkan
ditransfer ke darah, menghangatkan darah. Darah yang hangat tersebut bersirkulasi ke area
tubuh yang lain, mendistribusikan panas.

4. Asupan makanan juga meningkatkan produksi panas, karena aktivitas metabolisme


saluran cerna meningkat. Panas yang dibentuk ketika saluran cerna menghasilkan ATP untuk
peristalsis dan untuk sintesa enzim pencernaan.

5. Perubahan suhu tubuh juga menimbulkan efek terhadap laju metabolisme dan
produksi panas. Hal ini secara klinis penting ketika seseorang demam, peningkatan suhu
tubuh yang abnormal. Suhu yang tinggi meningkatkatkan laju metabolisme, yang
meningkatkan produksi panas dan meningkatkan suhu tubuh lebih lanjut. Demam yang tinggi
memicu siklus yang tak berujung meningkatkan produksi panas. (3)

Untuk mempertahankan suhu tetap hangat, tubuh harus membentuk gerakan volunter
tambahan (gerakan anggota gerak) dan kontraksi otot involunter (menggigil). Bayi baru lahir

4
juga mempunyai jaringan yang dikenal lemak coklat (brown fat), yang mampu menghasilkan
panas tambahan tanpa menggigil. Dingin menstimulasi jalur reflex yang menghasilkan
pelepasan norepinefrin (reseptor 3-adrenergik) dalam jaringan lemak, yang menstimulasi
terjadinya (1) lipolisis dan (2) ekspresi lipoprotein lipase (LPL) dan thermogenin. LPL
meningkatkan suplai asam lemak bebas. Thermogenin berada di dalam membran mitokondria
yang merupakan protein bebas yang berfungsi sebagai H+-uniporter. Sirkuit pendek gradient
H+ antar membran dalam mitokondria, melepaskan (produksi panas) produksi ATP melalui
rantai respirasi.(5)

Pembuangan panas

Kehilangan panas melalui radiasi berarti kehilangan panas dalam bentuk gelombang
panas infra merah, suatu jenis gelombang elektromagnetik. Tubuh manusia menyebarkan
gelombang panas ke segala penjuru. Gelombang panas juga dipancarkan dari dinding dan
benda-benda lain ke tubuh. Bila suhu tubuh lebih besar dari suhu lingkungan, kuantitas panas
yang lebih besar dipancarkan keluar dari tubuh daripada yang dipancarkan ke tubuh.(4)
Kehilangan panas melalui konduksi langsung dari permukaan tubuh ke benda-benda
lain, seperti kursi atau tempat tidur hanya sebagian kecil. Sebaliknya, kehilangan panas
melalui konduksi ke udara cukup besar walaupun dalam keadaan normal. Sekali suhu udara
yang berlekatan dengan kulit menjadi sama dengan suhu kulit, tidak terjadi lagi kehilangan
panas dari tubuh ke udara. Oleh karena itu, konduksi panas dari tubuh ke udara mempunyai
keterbatasan kecuali udara yang dipanaskan bergerak dari kulit sehingga udara baru, yang
tidak panas terus menerus bersentuhan dengan kulit, fenomena ini disebut konveksi udara.
Pemindahan panas dari tubuh melalui konveksi udara secara umum disebut kehilangan panas

5
melalui konveksi. Sebenarnya, panas pertama-tama harus dikonduksi ke udara kemudian
dibawa melalui aliran konveksi.(4)
Air memiliki panas khusus beberapa ribu kali lebih besar daripada udara, sehingga
setiap unit bagian air yang berdekatan ke kulit dapat mengabsorbsi jumlah kuantitas panas
yang lebih besar daripada udara. Kecepatan kehilangan panas ke air pada suhu yang cukup
rendah jauh lebih besar daripada kecepatan kehilangan panas ke udara pada suhu yang sama.
Saat air dan udara sangat dingin, kecepatan kehilangan panas ke udara menjadi hampir sama
besar dengan air, karena air dan udara pada dasarnya mampu membawa semua panas yang
dapat berdifusi melalui penyekat subkutan kulit. (4)
Bila air berevaporasi dari permukaan tubuh, panas sebesar 0,5 kalori (kilokalori) hilang
untuk setiap satu gram air yang mengalami evaporasi. Bahkan bila seseorang tidak
berkeringat, air masih berevaporasi secara tidak kelihatna dari kulit dan paru-paru dengan
kecepatan sekitar 450 sampai 600 ml/hari. Hal ini menyebabkan kehilangan panas terus
menerus dengan kecepatan 12 sampai 15 kalori per jam. Evaporasi air melalui kulit dan paru-
paru yang tidak kelihatan ini dapat dikendalikan untuk tujuan pengaturan suhu karena
evaporasi tersebut dihasilkan dari difusi molekul air terus menerus melalui kulit dan
permukaan sistem pernafasan. Akan tetapi kehilangan panas melalui evaporasi keringat dapat
diatur dengan pengaturan kecepatan berkeringat.(4)
Selama suhu kulit lebih tinggi dari suhu lingkungan, panas dapat hilang melalui radiasi
dan konduksi. Tetapi ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu kulit, tubuh memperoleh
panas melalui radiasi dan konduksi. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya cara tubuh
melepaskan panas adalah dengan evaporasi. Oleh sebab itu, setiap faktor yang mencegah
evaporasi yang adekuat ketika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu kulit akan
menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Hal ini kadang terjadi pada manusia yang dilahirkan
dengan kelainan kelenjar keringat. Orang ini dapat tahan terhadap suhu dingin seperti halnya
orang normal, tetapi mereka hampir mati akibat serangan panas pada daerah tropis, karena
tanpa sistem pendinginan evaporatif, orang ini tidak dapat mencegah peningkatan suhu tubuh
ketika suhu udara lebih tinggi dari suhu tubuh. (4)
Pakaian mengurung udara di antara kulit dan rajutan pakaian, sehingga meningkatkan
ketebalan yang disebut daerah pribadi dari udara yang berdekatan dengan kulit dan juga
menurunkan aliran udara konveksi. Akibatnya, kecepatan kehilangan panas tubuh melalui
konduksi dan konveksi sangat ditekan. Sekitar setengah dari panas yang dipindahkan dari
kulit ke pakaian dipancarkan melalui radiasi ke pakaian dan bukan dipancarkan melalui
konduksi melewati ruang kecil.(4)

6
Efektivitas pakaian dalam mempertahankan suhu tubuh hampir hilang semuanya bila
pakaian menjadi basah karena konduktivitas air yang tinggi meningkatkan kecepatan
pemindahan panas sebesar 20 kali lipat lebih. Oleh karena itu, salah satu faktor terpenting
untuk melindungi tubuh terhadap udara dingin di kutub adalah dengan menjaga sangat hati-
hati agar pakaian tidak basah. Tentu saja, seseorang harus berhati-hati untuk tidak menjadi
kepanasan walaupun untuk sementara waktu, karena dengan berkeringat di dalam pakaian
akan membuat pakaian tersebut kurang efektif sebagai penyekat.(4)

Mekanisme Kerja Hipotalamus

Pengaturan suhu tubuh diatur oleh hipotalamus region anterior dan posterior yang
masing-masing berespon pada suhu tubuh meningkat dan berkurang. Suhu tubuh diatur
hampir seluruhnya oleh mekanisme umpan balik, dan hampir semua mekanisme in terjadi
melalui pusat pengaturan suhu yang teletak pada hipotalamus. Agar mekanisme umpan balik
ini dapat berlangsung, harus juga tersedia pendetektor suhu untuk menentukan kapan suhu
tubuh menjadi sangat panas atau sangat dingin.(4)
Area preoptik hipotalamus anterior mengandung sejumlah besar neuron yang sensitif
terhadap panas yang jumlahnya kira-kira sepertiga neuron yang sensitif terhadap dingin.
Neuron-neuron ini diyakini berfungsi sebagai sensor suhu untuk mengatur suhu tubuh.
Neuron-neuron yang sensitif terhadap panas ini meningkatkan kecepatan kerjanya sesuai
dengan peningkatan suhu, kecepatannya kadang meningkat 2 sampai 10 kali lipat pada
kenaikan suhu tubuh sebesar 100C . Neuron yang sensitif terhadap dingin, sebaliknya,
meningkatkan kecepatan kerjanya saat suhu tubuh turun.(4)
Apabila area preoptik dipanaskan, kulit di seluruh tubuh dengan segera mengeluarkan
banyak keringat, sementara pada waktu yang sama pembuluh darah kulit di seluruh tubuh
menjadi sangat berdilatasi. Jadi, hal ini merupakan reaksi yang cepat untuk menyebabkan
tubuh kehilangan panas, dengan demikian membantu mengembalikan suhu tubuh kembali
normal. Disamping itu, pembentukan panas tubuh yang berlebihan dihambat. Oleh karena itu,
jelas bahwa area preoptik dari hipotalamus memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai
termostatik pusat kontrol suhu tubuh.(4)
Sinyal yang ditimbulkan oleh reseptor suhu dari hipotalamus sangat kuat dalam
mengatur suhu tubuh, reseptor suhu pada bagian lain dari tubuh juga mempunyai peranan
penting dalam pengaturan suhu. Hal ini terjadi pada reseptor suhu di kulit dan beberapa
jaringan khusus dalam tubuh. Reseptor dingin terdapat jauh lebih banyak daripada reseptor

7
panas, tepatnya, terdapat 10 kali lebih banyak di seluruh kulit. Oleh karena itu, deteksi suhu
bagian perifer terutama menyangkut deteksi suhu sejuk dan dingin daripada suhu hangat. (4)
Apabila seluruh kulit tubuh menggigil, terjadi pengaruh refleks yang segera
dibangkitkan untuk meningkatkan suhu tubuh melalui beberapa cara : (1) dengan
memberikan rangsangan kuat sehingga menyebabkan mengigil, dengan akibat meningkatnya
kecepatan pembentukan panas tubuh; (2) dengan menghambat proses berkeringat bila hal ini
harus terjadi, dan (3) dengan meningkatkan vasokonstriksi kulit untuk menghilangkan
pemindahan panas tubuh ke kulit. (4)
Walaupun banyak sinyal sensoris temperatur berasal dari reseptor perifer, sinyal ini
membantu pengaturan suhu tubuh terutama melalui hipotalamus. Area pada hipotalamus
yang dirangsang oleh sinyal sensoris ini adalah suatu area yang terletak bilateral dalam
hipotalamus posterior kira-kira setinggi korpus mamilaris. Sinyal sensoris temperatur dari
hipotalamus anterior-area preoptik juga dipindahkan ke dalam area hipotalamus posterior ini.
Di sini sinyal dari area preoptik dan sinyal dari perifer tubuh digabung untuk mengatur reaksi
pembentukan panas atau reaksi penyimpanan suhu tubuh. (4)

8
Sistem pengatur temperatur menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas
tubuh ketika temperatur menjadi sangat tinggi :(4)
1. Vasodilatasi.
Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit berdilatasi dengan kuat. Hal ini
disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang
menyebabkan vasokonstriksi. Vasodilatasi penuh akan meningkatkan kecepatan
pemindahan panas ke kulit sebanyak delapan kali lipat.
2. Berkeringat.
Peningkatan temperatur tubuh 10C menyebabkan keringat cukup banyak untuk
membuang 10 kali lebih besar kecepatan metabolisme basal dari pembentukan panas.
3. Penurunan pembentukan panas.
Mekanisme yang menyebabkan pembetukan panas berlebihan, seperti menggigil dan
termogenesis kimia, dihambat dengan kuat.

Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan temperatur mengadakan prosedur yang sangat
berlawanan, yaitu:(4)
1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh.
Hal ini disebabkan oleh rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior.
2. Piloereksi.
Piloereksi berarti berdiri pada akarmya. Rangsangan simpatis menyebabkan otot erektor
pili yang melekat ke folikel rambut berkontraksi, sehingga rambut berdiri tegak.

9
BAB II

PEMBAHASAN

Gangguan Keseimbangan Suhu Tubuh

Demam
Demam adalah kenaikan suhu tubuh melebihi variasi suhu normal sehari-hari dan
disertai dengan kenaikan set point hipotalamus, misalnya dari 370C mejadi 390C. Perubahan
set point ini menggambarkan setting ulang thermostat ke level yang lebih tinggi untuk
meningkatkan suhu ambient dalam ruangan. Sekali setpoint hypothalamus meningkat, saraf-
saraf vasomotor diaktifkan dan terjadi vasokonstriksi. Penderita merasakan dingin pertama
kali pada tangan dan kaki. Menghambat darah ke perifer menuju organ dalam yang penting
menurunkan pengeluaran panas dari kulit, dan penderita merasa dingin. Menggigil, yang
meningkatkan produksi panas dari otot, bisa dimulai pada saat yang sama, tapi menggigil
tidak terjadi jika mekanisme pembentukan panas sudah cukup meningkatkan suhu darah.
Produksi panas pada di hati juga terjadi. Pada manusia, tingkah laku berupa memakai lebih
banyak pakaian atau tidur akan meningkatkan suhu tubuh. (2)
Proses konservasi panas (vasokonstriksi) dan produksi panas (menggigil dan
peningkatan aktivitas metabolisme) akan terus berlangsung sampai suhu darah yang berada di
neuron-neuron hipotalamus sama dengan thermostat yang berubah tersebut. Ketika set point
tercapai, hipotalamus akan mempertahankan suhu demam tersebut dengan mekanisme yang
sama ketika pada keadaan tidak demam. Ketika set point hypothalamus menurun (baik akibat
zat yang pirogen berkurang atau penggunaan antipiretik), proses pengeluaran panas melalui
vasodilatasi dan keringat akan dimulai. Hal ini akan terus berlangsung sampai suhu darah
mencapai set point hipotalamus yang turun tersebut. (2)
Demam >41.50C (>106.70F) disebut hiperpireksi. Keadaan ini terjadi pada pasien
dengan infeksi yang sangat parah dan biasanya terjadi pada penderita dengan perdarahan
sistem saraf pusat. Set point hypothalamu juga dapat meningkat akibat trauma lokal,
perdarahan, tumor, ataupun malfungsi hipotalamus intrinsik.(2)
Pirogen merupakan bahan-bahan yang menyebabkan demam. Pirogen eksogen berasal
dari luar pasien, umumnya produk mikroba, toksin mikroba, atau mikrogorganisme. Contoh
pirogen endogen adalaha endotoksin polisakarida yang dihasilkan bakteri gram negatif,

10
bakteri gram positif dan endoktoksin dari Staphylococcus aureus dan toksin stretococcus grup
A dan B. (2, 4)
Sitokin adalah protein ukuran kecil (10.000 sampai 20.000 Da) yang mengatur
imunitas, inflamasi, dan proses hematopoeisis. Contoh, stimulasi proliferasi limfosit selama
respon imun terhadap vaksinasi adalah hasil dari sitokin interleukin (IL) 2, IL-4 dan IL-6.
Sitokin lain, faktor stimulasi koloni granulosit, stimulasi granulocytopoeisis di dalam
sumsum tulang. Beberapa sitokin menyebabkan demam dan disebut sitokin pirogen. Yang
dikenal sebagai sitokin pirogen adalah IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), ciliary
neurotropic factor (CNF), dan interferon (IFN) . (2)
Sitokin pirogen dilepas oleh sel dan memasuki sirkulasi sistemik, yang secara sistemik
akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan sintesa PGE2. PGE2 juga meningkat di
jaringan perifer yang akan menyebabkan mialgia nonspesifik dan arhtralgia. Peningkatan
PGE2 di otak yang akan memulai peningkatan setpoint hipotalamus untuk suhu inti. (2)

Hipertermi
Hipertermi adalah keadaan suhu tubuh yang meningkat secara tidak terkontrol yang
meningkatkan pengeluaran panas tanpa terjadi perubahan pada set point hipotalamus
(normal). Paparan panas dari luar dan produksi panas endogen merupakan mekanisme
terjadinya hipertermi. Pembentukan panas yang berlebihan dapat dengan mudah
menimbulkan hipertermi mengalahkan kontrol fisiologis dan tingkah laku suhu tubuh.
Misalnya, bekerja atau olahraga pada lingkungan panas akan menyebabkan produksi panas
lebih cepat daripada mekanisme perifer dalam mengeluarkan panas. (4)
Ada beberapa keadaan dimana kenaikan suhu tubuh yang terjadi bukan demam tetapi
hipertermi. Seperti serangan panas (heat stroke), akibat pusat pengaturan suhu tubuh gagal
bekerja pada lingkungan yang panas. Terdiri atas exertional heat stroke biasanya terjadi pada
orang muda yang berolahraga pada suhu lingkungan dan atau kelembaban yang lebih tinggi
dari normal, yang lain non exertional heat stroke terjadi pada baik orang muda maupun tua
terutama pada gelombang panas. Drug induced hyperthermia yaitu hipertermi yang terjadi
kaibat penggunaan obat psikotropika seperti mono amine oxidase inhibitors (MAOIs),
tricyclic antidepressant, dan amfetamin ataupun kokain.(2)
Malignant hyperthermia terjadi pada individu dengan kelainan bawaan pada retikulum
sarkoplasma sel otot rangka yang menyebabkan peningkatan kadar kalsium intraseluler dalam
respon terhadap halothane dan anestesi inhalasi lain atau succinylcholine. Peningkatan suhu,
peningkatan metabolisme otot, rigiditas otot, rhabdomyolisis, dan instabilitas kardiovaskular

11
dapat segera terjadi. Kondisi ini sering fatal. Neuroleptic malignant syndorme (NMS) terjadi
akibat pemakaian obat bersifat neuroleptik (antipsikotik phenothiazine, haloperidol,
prochlorperazine, metoclopramide) atau obat dopamin dan dikarakteristikkan oleh rigiditas
otot, efek samping ekstrapiramidal, disregulasi otonom, dan hipertermi. Kelainan ini muncul
karena inhibisi pusat reseptor dopamin di hipotalamus, yang akan menyebabkan peningkatan
pembentukan panas dan penurunan pengeluaran paans. Serotonin syndrome muncul pada
pemakaian inhibitor serotonin selektif (SSRIs), MAOIs dan obat-obat serotonergik lain, juga
menimbulkan hipertemi. Thyrotoxicosis dan pheochromocytoma juga dapat menyebabkan
hipertermi. (2)
Sangat penting membedakan antara demam dan hipertermi karena hipertermi dapat
berakibat fatal dan ditandai dengan tidak respon terhadap antipiretik. Hipertermi sering
didiagnosa pada kejadian yang segera menimbulkan peningkatan suhu inti, seperti terpapar
panas atau pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi regulasi suhu tubuh. Secara
klinis juga dapat dijumpai pada hipertermi dengan serangan panas ataupun akibat obat-obatan
kulit terasa panas dan kering. Ditambah lagi, antipiretik tidak dapat menurunkan peningkatan
suhu tubuh pada hipertermia sedangkan pada demam dan bahkan hiperpireksi dosis aspirin
atau asetaminofen yang adekuat dapat menurunkan suhu tubuh.(6)

Hipotermi
Hipotermi terjadi ketika turunnya suhu tubuh inti tiba-tiba di bawah 350C (950F). Pada
suhu ini, mekanisme kompensasi fisiologis untuk memelihara panas gagal. Hipotermi primer
merupakan hasil dari paparan langsung individu yang sehat terhadap lingkungan
dingin.(2)Jika seseorang yang tidak segera ditangani, terpapar dengan air es selama 20 sampai
30 menit dapat meninggal karena jantung berhenti sama sekali atau fibrilasi jantung. Pada
saat itu, suhu tubuh internal jatuh sampai 77oF. Jika segera dihangatkan dengan pemberian
panas secara eksternal, hidup orang tersebut masih dapat diselamatkan.(4)
Ketika tubuh terpapar dengan suhu yang rendah, area permukaan dapat membeku,
keadaan ini disebut frostbite. Hal ini terjadi terutama pada lobus telinga dan jari-jari tangan
dan kaki. Jika bekuan cukup untuk menyebabkan kristal dalam sel, akan menyebabkan
terjadinya kerusakan permanen seperti kerusakan jaringan local.(4)

12
II. Mekanisme Hipotermi pada Operasi

Shivering

Menggigil paska anestesi regional dapat terjadi sekitar 40-60% . Ciri khas menggigil
berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal terhadap hipotermia
selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip menggigil yang berasal dari non
termoregulator dan bersifat involunter juga bisa muncul pada periode pasca pembedahan.
Menggigil non termoregulator dapat berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak
adekuat pada saat pulih sadar atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik
pada waktu pulih sadar dari agen halogen dapat terlihat seperti mengigil demikian juga
gerakan klonik spontan yang menyerupai menggigil juga dapat terlihat.
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,537,5 0C pada suhu
lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem
termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis
dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan
berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi. Kombinasi antara
gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan anestesi dan eksposur suhu
lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan terjadinya hipotermia pada pasien yang
mengalami pembedahan.
Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang
dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan
potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output,
takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler.
Definisi hipotermia adalah temperatur inti 10oC lebih rendah di bawah standar deviasi
ratarata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan yang
normal (2835oC). Kerugian paska operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi
termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung
yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif. Fungsi termoregulasi
diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor sentral dan perifer yang
terintegrasi pada pengendali dan sistem respon eferen. Input termal aferen datang dari
reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus
otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila
ada peningkatan produksi panas.

13
Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satusatunya jalur
termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur serabut saraf asendens
ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron termosensitif berada pada daerah di luar
preoptik anterior hipotalamus, termasuk ventromedial hipotalamus midbrain, medula
oblongata, dan korda spinalis. Input multiple yang berasal dari berbagai termosensitif,
diintegrasikan pada beberapa tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk
respon pertahanan tubuh.
Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen :
1. Termosensor dan jalur saraf aferen
2. Integrasi input termal
3. Jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.

Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan


peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin.
Hampir semua obatobat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur inti pada
anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,01,5oC selama satu jam pertama anestesi
yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural
menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi
ukurannya kurang dari 0,6oC dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di
atas ketinggian blok. Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung
berinteraksi dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi
intravena pada dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh
terhadap termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional
tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan
pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal aferen.

14
Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi)

Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi.

Pada anestesi spinal akan menurunkan ambang menggigil sampai dan pada inti
hipotermi pada jam pertama atau setelah dilakukan anestesi spinal akan menurun sekitar 1
2oC, hal ini berhubungan dengan redistribusi panas tubuh dari kompartermen inti ke perifer
dimana spinal menyebabkan vasodilatasi. Pada anestesi spinal terjadi menggigil di atas
blokade dari lokal anestesi disebabkan karena ketidakmampuan kompensasi otot di bawah
ketinggian blokade untuk terjadinya menggigil. Sama seperti pada anestesi umum, hipotermia
terjadi pada jam pertama anestesi, atau setelah dilakukan tindakan anestesi spinal. Hal ini
terjadi karena proses redistribusi panas inti tubuh ke perifer oleh vasodilatasi yang
disebabkan blokade anestesi spinal.
Terjadinya hipotermia tidak hanya murni karena faktor blokade spinal itu sendiri tapi
juga karena faktor lain seperti :
1. Cairan infus atau cairan irigasi yang dingin

15
2. Temperatur ruangan operasi
3. Tindakan pembedahan.

Pasien akan mengalami penurunan temperatur tubuh oleh karena terjadi redistribusi
panas di bawah ketinggian blok ditambah pemberian cairan dengan suhu yang rendah akan
memberikan implikasi yang tidak baik pada pasien yang menjalani pembedahan terutama
pasien dengan usia tua karena kemampuan untuk mempertahankan temperatur tubuh pada
keadaan stress sudah menurun.
Pemberian obat lokal anestesi yang dingin seperti es, akan meningkatkan kejadian
menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya pada suhu 30oC. Menggigil
selama anestesi regional anestesi dapat dicegah dengan mempertahankan suhu ruangan yang
optimal, pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan pemberian obat yang
efektifitasnya sama untuk mengatasi menggigil paska anestesi umum. Menggigil merupakan
mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme kompensasi yang lain tidak
mampu mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal. Rangsangan dingin akan diterima
afektor diteruskan ke hipothalamus anterior dan memerintahkan bagian efektor untuk
merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan bersifat involunter serta
dapat menghasilkan panas sampai dengan 600% diatas basal. Mekanisme ini akan dihambat
oleh tindakan anestesia dan pemaparan pada lingkungan yang dingin dan dapat meningkat
pada saat penghentian anestesia.

Monitoring Dasar
a) KARDIOVASKULER
Fungsi jantung dapat diperkirakan dari observasi nadi, bunyi jantung, pemeriksaan
EKG, tekanan darah dan produksi urin.

1. Nadi
Monitoring frekuensi dan ritme nadi dapat dilakukan dengan meraba arteri temporalis,
arteri radialis, arteri femoralis, arteri karotis. Anestesi yang terlalu dalam dapat
bermanifestasi dengan nadi yang bertambah lambat dan melemahkan denyut jantung.
Pemeriksan juga dapat dilakukan dengan monitor nadi yang bermanfaat pada kasus-
kasus anak dan bayi dimana pulsasi nadi lemah, observasi ritme ektopik selama
anestesi, indeks penurunan tekanan darah selama anestesi halotan, dan selama
pernafasan kontrol dimana monitoring nafas tidak dapat dikerjakan. Monitoring nadi

16
akan berfungsi baik bila pembuluh darah dalam keadaan vasodilatasi dan tidak efektif
pada keadaan vasokonstriksi.

2. Elektrokardiogram
EKG selama anestesi dilakukan untuk memonitor perubahan frekuensi ritme jantung
serta sistim konduksi jantung. Indikasi monitoring EKG selama anestesi:
Mendiagnosa adanya cardiac arrest.
Mencari adanya aritmia.
Diagnosis isckemik miokard.
Memberi gambaran perubahan elektrolit.

3. Tekanan Darah
Dua macam cara pemantauan tekanan darah yang kita kenal. Pemantauan darah :
Non Invasive(cuff pressure)
Invasive Blood Pressure(arterial pressure).

Dengan cara ini kita dapat mengukur tekanan darah secara langsung dan terus menerus.
Pengukuran tekanan darah merupakan suatu hal yang mutlak dilaksanakan pada setiap
pasien selama anestesi. Teknik pengukuran darah Pemantauan darah Non Invasive(cuff
pressure) dengan menggunakan cuff atau manset, baik secara manual maupun
menggunakan mesin sebagaimana bedsidemonitor yang ada di unit pelayanan Intensif.
Ukuran manset harus disesuaikan dengan besarnya lengan pasien, karena ketidak
sesuaian ukuran manset akan mengurangi validitas hasil pengukuran.

Data status hemodinamik yang bisa didapatkan adalah tekanan sistolik, tekanan
diastolic, dan tekanan ratarata arteri (Mean Arterial Pressure=MAP) Pengukuran
tekanan darah secara invasive dapat dilakukan dengan melakukan insersi kanule ke
dalam arteri yang dihubungkan dengan tranduser. Tranduser ini akan merubah tekanan
hidrostatik menjadi sinyal elektrik dan menghasilkan tekanan sistolik, diastolic,
maupun MAP pada layar monitor. Setiap perubahan dari ketiga parameter diatas,
kapanpun,dan berapapun maka akan selalu muncul dilayar monitor. Selama operasi,
peningkatan tekanan darah bisa disebabkan karena overload cairan atau anestesi yang

17
kurang dalam, sebaliknya tekanan darah dapat turun bila terjadi perdarahan atau
anestesi yang kurang dalam.

4. Produksi Urin
Dalam anestesi, urin dipengaruhi oleh obat anestesi, tekanan darah, volume darah, dan
faal ginjal. Jumlah urin normal kira-kira 0,5-1 ml/KgBB/jam. Bila urin ditampung
dengan kateter perlu dijaga sterilitas agar tidak terinfeksi.

5. Perdarahan selama pembedahan


Jumlah perdarahan harus dihitung dari botol penghisap. Perdarahan akut dapat diatasi
dengan kristaloid, koloid, plasma ekspander, atau darah. Selain jumlah perdarahan,
perlu diawasi juga warna perdarahan merah tua atau merah muda

6. Central Venous Pressure (CVP)


Merupakan pengukuran langsung dari atrium kanan. Central venous pressure
mencerminkan preload ventrikel kanan dan kapasitas vena,sehingga dapat diketahui
volume pembuluh darah atau cairan dan efektifitas jantung sebagai pompa. CVP adalah
pengukuran tekanan di vena cava superior atau atrium kanan. Daerah pemasangan yaitu
Vena subclavia, Vena jugularis, Vena antecubital, atau Vena femoralis.

b) RESPIRASI
Respirasi harus dimonitor dengan teliti, mulai dengan cara-cara sederhana sampai
monitor yang menggunakan alat-alat. Pernafasan dinilai dari jenis nafasnya, apakah thorakal
atau abdominal, apakah ada nafas paradoksal retraksi intercostal atau supraclavicula.
Pemantauan terhadap tekanan jalan nafas, tekanan naik bila pipa endotrakhea tertekuk,
sekresi berlebihan, pneumothorak, bronkospasme, dan obat-obat relaksan habis. Pemantauan
terhadap Oxygen Delivery dan end tidal CO2. Oxygen Delivery, pada mesin anestesi
sebaiknya dilengkapi dengan suatu alat pemantau (oxygen analyzer) sehingga oksigen yang
diberikan ke pasien dapat dipantau dengan baik. Bila ada kebocoran pada sirkuit maka alarm
akan berbunyi, sedangkan untuk oksigen jaringan dapat dipantau dengan alat transkutaneus
PO2, pemantauan non invasif dan kontinyu. Pada bayi korelasi antara PO2 dan PCO2 cukup
baik. End tidal CO2, korelasi antara Pa O2 dan Pa CO2 cukup baik pada pasien dengan paru
normal. Alat pemantaunya adalah kapnometer yang biasa digunakan untuk memantau emboli
udara pada paru, malignan hiperthermi, pasien manula, operasi arteri karotis. Stetoskop,

18
merupakan alat sederhana, murah, non invasif, dan cukup aman. Dapat secara rutin
digunakan untuk memantau suara nafas dan bunyi jantung .
Obat anestesi dapat memprediksi pusat pengatur suhu (SSP) sehingga mudah
dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan tehnik anestesi. Monitoring suhu jarang dilakukan,
kecuali pada bayi/anak-anak, pasien demam, dan tehnik anestesi dengan hipothermi buatan.
Pemantauan suhu tubuh terutama suhu pusat, dan usaha untuk mengurangi penurunan suhu
dengan cara mengatur suhu ruang operasi, meletakkan bantal pemanas, menghangatkan
cairan yang akan diberikan, menghangatkan dan melembabkan gas-gas anestetika.

c) CAIRAN
Pemantauan terhadap status cairan dan elektrolit selama operasi dapat dilakukan
dengan menghitung jumlah cairan atau darah yang hilang dan jumlah cairan atau darah yang
diberikan. Pengukuran ini harus benar-benar cermat terutama pada pasien bayi. Kebutuhan
cairan selama operasi meliputi kebutuhan standar ditambah dengan kebutuhan sesuai dengan
trauma dan stress akibat operasi.

Suara nafas tambahan, disebabkan karena hambatan sebagian jalan nafas.


1) Snoring :
Suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian
atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan
cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk
tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk
menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di
tenggorokan korban. Pindahkan benda tersebut Tindakan Cross-Finger
2) Gargling :
Suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh
cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger (seperti di atas), lalu lakukanlah finger-
sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk
menyapu rongga mulut dari cairan-cairan). Tindakan Finger Sweep
3) Crowing :
Suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada
trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw
thrust saja.

19
Ada 3 cara untuk membuka mulut:
1) Gerak jari menyilang, untuk mandibula yang agak lemas.
2) Gerak jari dibelakang gigi geligi untuk mandibula yang kaku.
3) Gerak angkat mandibula lidah, untuk mandibula yang sangat lemas.

a) Gerak jari menyilang.


Penolong pada verteks atau samping kepala penderita. Jari telunjuk pneolong di
masukkan ke dalam sudut mulut penderita dan tekankan jari tersebut pada gigi geligi atasnya,
kemudian tekanlah gigi geligi bawah dengan ibu jari yang menyilang jari telunjuk tadi
sehingga mulut secara paksa membuka.

b) Gerak jari di belakang gigi geligi.


Masukkan satu jari telunjuk di antara pipi dan gigi geligi penderita dan ganjalkan ujung
jari telunjuk tadi di belakang molar terakhir.

c) Gerak angkat mandibula lidah.


Ibu jari penolong dimasukkan ke dalam mulut dan farings penderita dan dengan ujung
ibu jari penolong dasar lidah diangkat. Jari-jari yang lain memegang mandibula tadi pada
dagu dan mengangkatnya ke depan. Gerakan gerakan A, B dan C tadi selain untuk
membuka mulut secara paksa juga digunakan menghisap benda asing, memasukkan alat jalan
nafas dan laringoskop.

III. Tatalaksana
Mengigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi terjadi
akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi
yang dingin, bedah abomen yang luas dan lama. Mengigil selain akibat turunnya suhu dapat
juga disertai oleh naiknya suhu, dan biasanya akibat obat anestetik inhalasi.
Terapi petidin 10-20 mg i.v, atau medikamentosa lain sering dapat membantu
menghilangkan mengigil, selain itu perlu selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu penghangat untuk menaikkan suhu tubuh.

Mekanisme Petidin untuk menanggulangi hipotermi


Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada periode
durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis optimal obat-

20
obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum jelas. Sebagian
besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Banyak sediaan obat digunakan
untuk tujuan ini, walaupun masih dalam tahap uji klinis seperti clonidine, doxapram,
ketanserin, alfentanil, dexametason dosis rendah, magnesium sulfat, ketamin, tramadol dll.
Salah satu obat yang paling efektif adalah Pethidin.
Pethidin efektif sebagai terapi terhadap menggigil. Pethidin menurunkan ambang
rangsang menggigil dua kali dibandingkan dengan ambang vasokonstriksi. Mekanisme
pethidin sebagai antishivering mungkin bisa dijelaskan oleh kerja pethidin yang menginhibisi
re-uptake biogenic monoamine, antagonis reseptor NMDA(N-methyl daspartate) atau
stimulasi dari reseptor-2.
Pethidin merupakan sintetis opioid agonist yang bekerja pada reseptor- dan reseptor-k
dan merupakan derivate dari phenylepiperidine. Sesuai rumus bangunnya, pethidin hampir
sama dengan atropine, dan memiliki kerja mild atropine. Petidin intratekal akan berikatan
dengan reseptor- dan reseptor-k di mana reseptor-reseptor ini akan menurunkan ambang
rangsang menggigil. Petidin intratekal juga akan menstimuli reseptor-2 dimana jika reseptor
ini distimuli akan meningkatkan pelepasan norepinefrin. Petidin intratekal juga akan
mengantagonis reseptor NMDA (N-methyl d aspartate).
Mekanisme menggigil diatur oleh keseimbangan antara serotonin dan norepinefrin pada
hypothalamus, dimana peningkatan serotonin akan menyebabkan terjadinya menggigil dan
vasokonstriksi sedangkan norepinefrin akan menurunkan ambang suhu untuk terjadinya
menggigil. Pada prinsipnya pemberian petidin intratekal ini untuk meningkatkan jumlah
norepinefrin pada medulla spinalis dimana hal ini akan memodulasi ambang suhu yang
datang dari perifer menuju hypothalamus.

Penggunaan Medikamentosa Lain


Selain penggunaan Pethidine ada beberapa obat-obatan lain yang sering digunakan
untuk mengatasi atau mencegah menggigil pada saat operasi. Seperti Tramadol
hydrochloride, suatu obat agonis reseptor -opioid, memiliki efek modulasi pada jalur sentral
mono-aminergic yang berujung pada pembatasan jumlah noradrenalin/serotonin dan
meningkatkan sekresi hydroxytriptamine yang mengembalikan pengaturan regulasi suhu
tubuh. Obat ini sudah cukup dikenal penggunaan klinisnya dalam mengontrol menggigil.
Obat lainnya adalah Clonidine, obat alpha-2 agonist, menurunkan pelepasan noradrenaline
dari terminal axon axon di hipotalamus untuk memberikan efek anti menggigilnya.
Butorphanol, obat golongan opioid yang mudah ditemukan, bekerja melalui modulasi agonis

21
reseptor k dan , namun masih sedikit catatan dalam penggunaannya untuk mengatasi
menggigil.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pranav Bansal dan Gaurav Jain dari
departemen anestesiologi fakultas kedokteran Teerthanker Mahaveer di Moradabad, India,
didapatkan hasil bahwa Butorphanol menjadi yang paling efektif dalam mengatasi menggigil
pada saat operasi (83.3%). Diikuti oleh Tramadol (73.3%) dan Clonidine (53.3%). Dengan
tingkat kecepatan efek obat terhadap menggigil juga dengan urutan yang sama.
Selain itu ada beberapa obat yang sering digunakan untuk mengatasi menggigil berikut
dengan dosisnya :
Ketanserin 10 mg IV
Physostigmine 0,04 mg/kgbb
Nefopam 0,15 mg/kgbb
Magnesium Sulfat 30 mg/kgbb

Dari hasil penelitian dari Medica Hospitalia (2012), didapatkan pemakaian :

Ondancetron 8 mg pasca anestesi umum dan spinal


Tramadol 1-2 mg/kgbb pasca anestesi umum
Dari hasil penelitian Neocritical Care Society (2010) didapatkan obat-obat dengan dosis rata-
rata yang dapat mencegah terjadinya mengigil pasca operasi sebagai berikut :

22
SKALA PULIH ANESTESIA

Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi baik Dapat dibangunkan Tidak dapat
dibangunkan
Warna Merah muda Pucat atau kehitaman Sianosis
Tanpa O2, SaO2 Perlu O2 agar SaO2 Dengan O2 , SaO2
>92% >92% <90%
Aktifitas 4 ekstremitas 2 ekstremitas Tidak ada gerakan
bergerak bergerak ekstremitas
Respirasi Dapat nafas dalam Nafas dangkal Apnea atau obstruksi
Batuk Sesak nafas
Kardiovaskuler Tekanan berubah Berubah 20-30% Berubah 50%
<20%

23
BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan, didapatkan bahwa shivering merupakan salah satu respon tubuh dalam
menangani keadaan hipotermi yang diakibatkan oleh tindakan anestesi dan paparan langsung suhu
lingkungan. Shivering dapat menyebabkan keadaan hipoksia perifer, peningkatan konsumsi oksigen,
peningkatan potensi produksi karbondioksida, peningkatan cardiac output, hipertensi, dan takikardia
jika tidak ditangani dengan tepat.

Untuk menangani keadaan ini, dapat digunakan beberapa metode. Pertama, medikamentosa
dapat dipilih Pethidin, Tramadol, Ondancetron, Clonidine, atau Butorphanol. Kedua, dari segi non
medikamentosa, dapat dilakukan penghangatan dengan blanket warmer postoperasi, pemakaian
selimut, infusion warmer, dan menyesuaikan suhu ruang operasi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong W. Review of medical physiology. 21st ed. California: Mc-Graw Hill


company; 2003.
2. Kasper D, Fauci A, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J. Harrison's principl
es of internal medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill companies; 2012.
3. Guyton A. Textbook of medical physiology. Eleventh ed. Pennsylvania: Elsevier
saunders; 2006.
4. Despopoulos A, Silbernagl S. Color atlas of physiology. 5th ed. New York: Thieme;
2003.
5. Sherwood L. Human physiology from cells to systems. Fifth ed. California: Thomson
Brooks/cole; 2004.

6. Medica Hospitalia. Perbandingan Efektivitas Ondansetron & Tramadol Intravena


dalam Mencegah Mengigil Pasca Anestesi Umum. Vol 1 (1) : 7-11. 2012, available
from URL : http://journal.rskariadi.co.id/index.php/mh/article/view/31/23
7. AANA Journal. Effects of Hypothermia and Shivering on Standard PACU Monitoring
of Patients.Vol 73 No 1. 2005, available from URL :
https://www.aana.com/newsandjournal/Documents/p47-53.pdf
8. Neurocritical Care Society. Preventions of Shivering During Therapeutic
Temperature Modulation : The Columbia Anti-Shivering Protocol. 2010. DOI
10.1007/s12028-010-9474-7.
9. Pradip KB, Lata B, Rajnish KJ, Ramesh CA. Post Anaesthesia Shivering: A Review.
Indian J. Anaesth. 2003. 47(2): 88-93.
10. Mufti, TM Department of Anaesthesiology, A.M College, Mil Hospital. Changes in
Body Temperature during Anaesthesia. 2011, available on URL :
11. Drolet P, MD et al University of Montreal. Post-Operative Shivering. Vol 3 Issue 6.
2004, available on URL :
12. Bansal P, Gaurav J. Control of Shivering with Clonidine, Butorphanol, and Tramadol
Under Spinal Anrsthesia : A Comparative Study. Local and Regional Anesthesia.
2011:4 29-34.

25

Anda mungkin juga menyukai