Anda di halaman 1dari 16

ORAL SIFILIS: RANGKAIAN 5 KASUS

Moritz Hertel, Dr Med Dent,* Daniel Matter, Dr Med Dent,y Andrea


M. Schmidt-Westhausen, Prof Dr Med Dent, and Michael M.
Bornstein, PD Dr Med Dent

Sifilis merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual


yang disebabkan oleh Treponema pallidum, subspesies pallidum. Oleh karena
meningkatnya prevalansi di Eropa selama beberapa tahun terakhir, para dokter gigi
dihadapkan pada pasien-pasien dengan manifestasi oral dari sifilis. Karena lesi oral
sangat menular, sangatlah penting untuk membuat diagnosis yang tepat dengan cepat
untuk memulai terapi yang sesuai dan memutuskan rantai infeksi. Penulis menyajikan
kasus-kasus dari 5 pasien yang memiliki lesi oral yang berhubungan dengan sifilis.
Kasus-kasus ini merupakan contoh yang baik karena memiliki manifestasi klinis, usia,
distribusi jenis kelamin dan pendekatan diagnosis. Tujuan dari penyajian laporan ini
adalah untuk menekankan pentingnya dokter gigi mengetahui dan mengidentifikasi
sifilis pada stadium-stadium yang berbeda untuk mendiagnosa penyakit dan
menentukan penatalaksanaan pada stadium awal.

2014 American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons J Oral Maxillofac


Surg 72:338-345, 2014

Sifilis memiliki keterikatan yang penting untuk tim gigi dan mulut. Pertama,
sifilis dapat muncul dalam manifestasi oral, yaitu pada stadium pertama dan kedua
yang sangat menular. Kedua, penyakit ini dapat ditularkan melalui kontak langsung
dengan lesi oral, air liur dan darah. Ketiga, penyakit menular seksual lainnya (seperti
gonorrhea) dapat muncul dan resiko infeksi dari human immunodeficiency virus
(HIV) dapat meningkat. Akhirnya, tim gigi dan mulut memiliki peran dalam
menentukan diagnosis yang tepat dan dini serta merujuk pasien untuk mendapatkan
penatalaksanaan yang memadai.

Pada tahun-tahun awal di abad ke-20, lesi di luar kemaluan akibat sifilis
merupakan suatu hal yang biasa dan dapat ditemukan di bagian tubuh mana pun.
Suatu ulkus yang ber-indurasi dengan limfadenopati regional harusnya mengarahkan
dokter untuk memikirkan suatu penyakit sifilis primer, dimana pun letaknya.

Pada abad sebelumnya, insidens dari suatu penyakit yang dahulu menyebar
telah menurun sampai dengan titik nadir yang dicapai pada pertengahan tahun 1980-
an. Korelasi antara penurunan insidens penyakit dan munculnya kampanye-kampanye
pencegahan HIV merupakan hal yang penting.1

Semenjak runtuhnya Uni Republik Sosialis Soviet pada tahun 1990-an, insidens
dari kasus-kasus yang dilaporkan meningkat, pertama di Eropa Timur, namun lama
kelamaan juga di Eropa Barat. Peningkatan insidens pada tahun 1990-an disebabkan
oleh seks bebas. Kebalikannya, pariwisata seks, kebebasan berjelajah, kontrasepsi-
kontrasepsi baru dan perubahan pertemuan sosial dapat berkontribusi dalam
peningkatan yang signifikan dalam infeksi-infeksi belakangan ini. HIV merupakan
penyakit yang dapat menimbulkan kematian pada tahun 1980-an; namun bagaimana
pun juga, dengan penelitian farmakologi yang terdepan, hal ini bukan lagi merupakan
perkara. Akibatnya, metode penghalang seperti kondom telah digunakan semakin
tidak konsisten, memungkinkan penyebaran dari penyakit. Ditambah lagi, kegiatan-
kegiatan yang sering disebut sebagai seks yang aman, seperti seks oral, tidak
dianggap sebagai suatu jalur penyebaran yang berkaitan untuk HIV. Akan tetapi, seks
oral merupakan penyebab utama dari manifestasi oral pada sifilis.

Pada waktu sifilis menjadi suatu penyakit yang perlu dilaporkan di Jerman pada
tahun 2001, 1.697 kasus baru telah dilaporkan dan 1.379 dari pasien yang terinfeksi
adalah laki-laki. Pada tahun 2004, jumlah infeksi baru meningkat menjadi 3.325.
Jumlah wanita yang terinfeksi pada dasarnya adalah tetap. Dari tahun 2004 hingga
tahun 2008, jumlah kasus tetap tinggi (3.000 hingga 3.500 per tahun). Pada tahun
2009, 2.716 infeksi baru telah dilaporkan.2 Data terbaru yang tersedia telah
menunjukkan peningkatan baru pada jumlah infeksi yang perlu dilaporkan. Pada
tahun 2010, 3.033 pasien dengan sifilis telah dilaporkan; 1 tahun kemudian, 3.698
infeksi telah dicatat, sesuai dengan insidens rata-rata 4.5 kasus/100.000 penduduk dan
merupakan angka tertinggi sejak pelaksanaan persyaratan pemberitahuan. Kota-kota
besar seperti Cologne, Frankfurt dan Berlin telah melaporkan insidens yang lebih
tinggi (24, 21 dan 18/100.000, berturut-turut). Pria terinfeksi 14 kali lebih banyak
dibandingkan dengan wanita. Diantara pasien-pasien tersebut yang tersedia informasi
mengenai jalur penularannya, 83,9% adalah pria yang berhubungan seksual dengan
pria.3

Di Swiss, laboratorium dan dokter diminta untuk melaporkan kasus-kasus sifilis


yang telah terdiagnosa sejak tahun 2006. Penyakit tersebut tidak dilaporkan di Swiss
pada tahun 1999 hingga tahun 2006. Pada tahun 1990-an, jumlah infeksi baru
menurun dari 300 kasus pada tahun 1990 hingga 50 kasus pada tahun 1999.4 Pada
tahun 2006, 2009, dan 2010, 182, 363, dan 381 infeksi telah dikonfirmasi oleh
laporan klinis dan laboratorium, masing-masing. Jumlah kasus yang dilaporkan telah
meningkat (657 pada tahun 2006, 792 pada tahun 2009, dan 975 tahun 2010).5 Faktor
risiko dan distribusi antara jenis kelamin mirip dengan yang ada di Jerman. Pada usia
40 hingga 44 tahun, laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki berada pada
risiko tertinggi tertular sifilis, menunjukkan bahwa perilaku promiskuitas
berpengaruh.6

Popularitas dari seks oral telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir
sebagian dikarenakan hal itu seharusnya menjadi kegiatan seks yang lebih aman.
Akibatnya, lesi ekstragenital, dimana manifestasi oral merupakan yang paling sering
muncul, telah menjadi hal yang biasa.1 Oleh karena itu, dokter gigi dapat berperan
besar dalam mendeteksi penyakit tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa laporan telah menyajikan serangkaian


kasus pasien dengan manifestasi oral dari syphilis.7-9 Sebuah ulasan kasus sifilis juga
telah diterbitkan pada tahun 2005.10 Dalam semua 5 kasus kami, kecurigaan awal dari
sifilis didapatkan dari hasil pemeriksaan dokter gigi. Tujuan dari laporan ini adalah
untuk menekankan pentingnya dokter gigi mengetahui dan mengidentifikasi sifilis
pada stadium yang berbeda, terutama karena penyakit ini mungkin sementara hanya
menyebabkan gejala oral. Selain itu, niat kami adalah untuk menggaris bawahi
pentingnya kerja sama antara dokter gigi dan spesialis penyakit infeksi untuk
memperluas riwayat kesehatan pasien dan untuk mencapai diagnosis dan pengobatan
dini.

Pasien dan Metode

Lima pasien yang telah dipastikan menderita sifilis telah diidentifikasi dari
tahun 2004 hingga 2011 di Departemen Kesehatan Mulut, Radiologi Gigi, dan Bedah
Mulut di Charite (Berlin, Jerman) dan Departemen Bedah Mulut dan Stomatologi di
School of Dental Medicine, University of Bern (Bern, Swiss). Sesuai dengan
Deklarasi Asosiasi Kesehatan Dunia dari Helsinki pada protokol dan etika penelitian
medis dan karena sifat retrospektif penelitian, pengecualian diberikan dari institusi
penulis dan tidak diperlukannya persetujuan formal oleh dewan peninjau institusi.
Data yang telah terkumpul merupakan anonim pada tahap pengambilan data pasien.

Laporan Kasus

Kasus 1

Seorang pasien laki-laki berusia 43 tahun dirujuk ke Department Bedah Mulut


dan Stomatologi di University of Bern, oleh dokter gigi untuk pemeriksaan dari suatu
lesi berwarna keputihan yang tidak bisa dihilangkan di langit-langit kiri dan frenum
labial bawah yang menebal. Riwayat medis nya mengungkapkan bahwa, 10 bulan
sebelumnya, pasien mengalami gangguan pendengaran di sebelah kiri dan lama-
kelaman di sebelah kanan. Pemeriksaan di Departemen Otorhinolaryngologi, Bedah
Kepala dan Leher, mengkonfirmasi adanya gangguan pendengaran, dan menyarankan
pemakaian alat bantu dengar.

Ketika diwawancarai, pasien mengatakan bahwa sekitar 2 minggu sebelumnya,


lesi serupa pada frenum labial atas telah sembuh secara spontan. Namun, lesi pada
langit-langit dan frenum labial bawah bertahan dan mengalami perubahan yang tetap.
Pemeriksaan intraoral menunjukkan adanya suatu gambaran kemerahan dan
keputihan, sebagian mengalami ulkus dan plak pada frenum labial yang menebal
(Gambar 1A). Pada bagian kiri dari langit-langit lunak, dapat terlihat ulkus
berebentuk lonjong yang ditutupi oleh fibrin dengan diameter sekitar 10 mm (Gambar
1B).

Dari sudut pandang klinis, hal tersebut dianggap sebagai suatu ulkus aftosa yang
berulang. Sebuah biopsi eksisi dari frenum labial bawah dilakukan dengan
menggunakan laser karbondioksida dengan pasien dibawah pengaruh anestesi lokal.
Jaringan yang telah dipotong diperiksa secara histologis setelah pewarnaan dengan
hematoxylin dan eosin. Pemeriksaan histologi menunjukkan infiltrasi oleh sel limfoid,
peningkatan sel plasma, dan beberapa pulau kecil limfoepitelial. Inflamasi yang tidak
spesifik ini menyebabkan pertanyaan berikutnya pada pasien ini, khususnya yang
berkaitan dengan riwayat perilaku seksualnya. Namun, setelah beberapa wawancara,
riwayat perilaku seksualnya masih belum jelas. Akhirnya, pasien diminta untuk
menjalani tes serologi untuk sifilis dan HIV. Hasil tes serologi menunjukkan positif
untuk sifilis (Treponema pallidum particle agglutination assay [TPPA] positif;
Venereal Disease Research Laboratory [VDRL] positif; dan enzyme-linked
immunosorbent assay positif untuk IgG dan IgM Treponema pallidum; untuk rincian
tambahan lihat bagian diskusi), dan negatif untuk HIV.

Gambar 1. Pasien 1. A, frenum labial bawah bengkak dan menunjukkan ulkus yang
berdiameter 4 sampai dengan 5 mm yang tertutup oleh fibrin. B, ulkus berbentuk
lonjong, berdiameter 10 mm, pada bagian kiri langit-langit lunak yang tertutup oleh
fibrin.

Hertel et al. Oral Syphilis. J Oral Maxillofac Surg 2014.


Oleh karena itu, pasien dirujuk ke Department Penyakit Infeksi. Permintaan
tambahan menunjukkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, para pasien yang
mereupakan heteroseksual telah melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
beberapa wanita. Karena lesi oral dan hasil serologi positif untuk sifilis, muncullah
diagnosis sifilis sekunder. Gangguan pendengaran tersebut dikatakan merupakan
gejala awal dari neurosifilis. Pungsi lumbal dilakukan, dan analisis cairan
serebrospinal (CSF) menunjukkan pleositosis limfositik khas (30 sel, 95%
mononuklear), protein yang diubah (0,68 g/dL), dan kontribusi CSF/serum yang tidak
jelas dengan TPPA negatif dan VDRL batas ambang positif. Seperti yang disarankan,
terapi dengan pemberian injeksi intravena dari 4 juta unit aqueous crystalline
penicillin G setiap 4 jam (24 juta unit setiap harinya) dilakukan selama 14 hari. Selain
itu, pasien juga mendapat dosis tunggal prednison 50 mg oral sebelum dosis pertama
penicillin untuk mencegah reaksi Herxheimer-Jarisch. Setelah pasien menyelesaikan
terapi intravena selama 14 hari, pasien menerima terapi intramuskular tambahan
dengan 2,4 juta unit benzathine-penicillin untuk menyelesaikan terapi selama 3
minggu.

Satu bulan setelah sifilis didiagnosis, pasien mengatakan gejalanya telah


berhenti dengan sukses.

Kasus 2

Seorang pasien wanita berusia 33 tahun dirujuk ke Departemen Kesehatan


Mulut, Radiologi Gigi dan Bedah Mulut di Charite, Berlin, oleh dokter gigi nya untuk
konsultasi karena perubahan yang tidak jelas pada mukosa mulut nya. Apusan yang
diambil oleh dokter gigi umum tidak bisa mengkonfirmasi adanya infeksi mikosis.
Riwayat medis pasien mengungkapkan bahwa sekitar 6 minggu sebelumnya, pasien
menyadari adanya vesikel yang muncul pada bibir atas dan bawahnya. Satu minggu
sebelum konsultasi pertama, lesi yang nyeri muncul pada langit-langit keras, mukosa
bukal kiri, ujung lidah dan pada komisura. Selanjutnya, pasien juga menyadari adanya
perubahan kulit di perut dan di daerah vagina. Dia berasumsi bahwa penyebab gejala
ini mungkin adalah makanan yang dia telah ia konsumsi selama 3 bulan.

Pada pemeriksaan klinis ekstraoral, beberapa makula eritematosa muncul


terutama di daerah sekitar pusar (Gambar 2A). Di intraoral, kanan dan kiri, terdapat
papul berwarna sedikit keputihan dan erosi yang ditemukan pada langit-langit keras
(Gambar 2B), mukosa mulut dari bibir atas dan bawah (Gambar 2C), komisura kiri
(Gambar 2D), ujung lidah kiri bagian lateral dan bukal gingiva di regio molar kanan
bawah.

Selama pemeriksaan ulang 1 minggu kemudian, pasien melaporkan bahwa 3


bulan sebelumnya suaminya telah menunjukkan lesi serupa di rongga mulut. Biopsi
yang dilakukan oleh dokter gigi nya tidak menunjukkan penemuan yang khas.
Perubahan patologis telah sembuh secara spontan. Dari riwayat medis umum dan
munculnya lesi yang serupa pada suami pasien dan temuan klinis, pasien dirujuk
untuk melakukan pemeriksaan serologi untuk sifilis. Awalnya, pasien menolak
kemungkinan menderita penyakit menular seksual. Akhirnya, diagnosis sifilis
sekunder dikonfirmasi oleh hasil tes positif (TPPA positif, fluorescent treponemal
antibody absorbtion test [FTA-Abs] positif dan IgM Treponema pallidum positif).
Selanjutnya, pasien diobati dengan intramuskular benzathine-penicillin sehingga
hilangnya semua gejala.
Gambar 2. Patient 2. A, Daerah di sekitar umbilikus menunjukkan eksantema dengan
makula eritematosa multipel. B, C, D, Lesi seperti aftosa yang tertutup fibrin pada
langit-langit keras dan bibir bawah dan di sudut kiri mulut yang berhubungan dengan
sifilis sekunder.

Hertel et al. Oral Syphilis. J Oral Maxillofac Surg 2014.

Kasus 3

Seorang pasien laki-laki berusia 42 tahun dirujuk dirujuk ke Departemen


Kesehatan Mulut, Radiologi Gigi dan Bedah Mulut di Charite, Berlin, oleh dokter gigi
nya. Pasien mengalami perubahan yang sedikit terasa nyeri, dengan pembengkakan di
sekitarnya, pada mukosa bukal kanan. Riwayat medisnya tidak menunjukkan hal yang
bermakna..

Pasien melaporkan lesi yang mengalir yang terdapat pada komisura sebelah
kanan setelah cedera yang disebabkan oleh perkelahian 4 minggu sebelumnya. Sesaat
sebelum munculnya perubahan ini, pasien sempat pergi ke luar negeri untuk jangka
yang lama.

Pemeriksaan intraoral menunjukkan terdapat ulkus yang sedikit nyeri di


komisura kanan (Gambar 3) berukuran 10 x 10 mm, disertai dengan pembengkakan
ekstraoral dari pipi dan pembesaran kelenjar getah bening dari sisi ipsilateral.
Diagnosis sementara adalah ulkus aftosa yang sangat terinfeksi. Salep yang terdiri
dari clobetasol topikal dan nistatin diberikan, sehingga mukosa mulut secara klinis
sembuh setelah 2 minggu. Namun, 3 minggu kemudian, pasien diperiksa ulang.
Perubahan aftosa multipel pada mukosa bukal dan pembengkakan kelenjar getah
bening lokal ditemukan. Papula kemerahan terlihat pada permukaan palmar tangan
dan permukaan plantar kaki. Selanjutnya, ruam intraoral yang terdiri dari makula
eritematosa pada lengan atas dan tubuh ditemukan. Karena temuan ekstra dan
intraoral klinis, infeksi sifilis dicurigai. Pemeriksaan serologis menegaskan dagnosis
dari sifilis stadium dua (TPPA positif, VDRL positif, FTA-Abs positif, IgM
Treponema pallidum, C-reaktif protein 20 mg/L). Pemberian intramuskular
Benzathine-penicillin menyebabkan hilangnya eksantema dan enanthema setelah 1
minggu. Pemeriksaan serologi berikutnya menegaskan kesembuhan total setelah 3
bulan pengobatan (VDRL 1: 1). Temuan pada pemeriksaan pertama bisa didiagnosis
sebagai infeksi sifilis pada stadium pertama.

Gambar 3. Pasien 3. Ulkus ber-indurasi yang tertutup fibrin pada komisura kanan
dengan pembengkakan meluas ke mukosa bukal yang menunjukkan sifilis primer.

Hertel et al. Oral Syphilis. J Oral Maxillofac Surg 2014.

Kasus 4

Seorang pasien laki-laki berusia 43 tahun dirujuk ke Departemen Kesehatan


Mulut, Radiologi Gigi dan Bedah Mulut di Charite, Berlin, oleh dokter gigi nya
karena lesi pada langit-langit keras yang telah muncul selama 2,5 minggu. Tidak ada
perbaikan setelah pengobatan topikal pertama dengan glukokortikoid yang diresepkan
oleh dokter umum. Riwayat medisnya mengungkapkan bahwa pasien positif HIV.
Selama 2 tahun setelah diagnosis, pasien diobati dengan terapi antiretroviral. Pada
pemeriksaan, jumlah sel CD4+ pasien adalah 575/uL (nilai normal adalah 500 hingga
1.500/uL), dan viral load-nya kurang dari batas deteksi.

Sebuah enanthema intraoral, ditandai dengan beberapa papula eritematosa


dengan tepi keputihan yang sering disebut sebagai plak mukosa telah ditemukan. Hal
tersebut diamati pada langit-langit keras di regio molar kanan atas, di bibir atas dan
bawah, pada mukosa bukal kiri dan pada ujung lidah (Gambar 4A, B). Riwayat
seksualnya mengungkapkan bahwa pasien homoseksual, dengan berganti-ganti
pasangan seksual. Dari riwayat medis dan temuan klinis, dipikirkan sebagai suatu
infeksi sifilis stadium kedua. Oleh karena itu, pasien dirujuk untuk pemeriksaan
serologi, yang mengungkapkan hasil positif untuk sifilis (TPPA positif, VDRL positif,
FTA-Abs positif, IgM Treponema pallidum positif). Terapi dengan benzathine-
penicillin diberikan secara intramuskuler dengan hasil tidak munculnya tanda dan
gejala klinis kembali.

Gambar 4. A, B, Pasien 4. Plak membran mukosa dari bibir bawah dan mukosa
bukal sebagai manifestasi dari sifilis sekunder.

Hertel et al. Oral Syphilis. J Oral Maxillofac Surg 2014.

Kasus 5
Seorang pasien wanita berusia 60 tahun dengan lesi oral yang nyeri dirujuk ke
Departemen Bedah Mulut dan Stomatologi di University of Bern. Enam bulan
sebelumnya, ia telah meminta saran pada instalasi gawat darurat Rumah Sakit
Universitas (Inselspital) karena sakit kepala yang hebat. Diduga pansinusitis, dan
pasien diberikan terapi analgetik. Tiga bulan kemudian, pasien mengalami gejala
seperti influenza disertai dengan perubahan mukosa mulut dan alat kelaminnya.
Biopsi yang dilakukan oleh dokter kandungannya hanya menunjukkan lesi lichenoid
dari mukosa vagina.

Gambar 5. Pasien 5. Papula eritematosa sebagian di dorsum posterior kanan lidah


yang terkait dengan sifilis.

Hertel et al. Oral Syphilis. J Oral Maxillofac Surg 2014.

Pemeriksaan klinis menunjukkan papul eritematosa multipel sebagian di bagian


dorsum dan ujung lidah dan pada mukosa bukal bilateral (Gambar 5). Sebuah biopsi
eksisi pada bukal kanan dilakukan, menunjukkan adanya mucositis sel plasma.
Karena klinis dan temuan patologis tidak sesuai dan adanya manifestasi pada alat
kelamin, pemeriksaan serologi dilakukan untuk sifilis. Karena hasil tes positif untuk
sifilis (TPPA positif, VDRL positif, FTA-Abs positif) dan negatif untuk HIV, pasien
dirujuk ke Departemen Penyakit Infeksi. Pengobatan tambahan dengan azitromicin
diberikan karena pasien memiliki alergi terhadap penisilin. Walaupun temuan klinis
dan serologis tidak mendukung klasifikasi definitif sebagai sifilis stadium kedua atau
ketiga, pasien menolak pemeriksaan pada CSF. Karena titer VDRL tidak menurun
selama 2 bulan ke depan, tetrasiklin diberikan, dan pasien akhirnya sembuh.
Diskusi

Kasus yang telah disajikan menunjukkan pentingnya sifilis dimasukkan ke


dalam diagnosis banding dari ulkus mulut tidak spesifik atau erosi dan enanthema.
Dalam setiap kasus, riwayat medis terperinci dan pemeriksaan klinis sangatlah
penting dalam menemukan diagnosis yang tepat.

Seperti yang telah dilaporkan, konfirmasi akhir selalu membutuhkan


pemeriksaan serologi oleh seorang spesialis penyakit infeksi, dokter spesialis kulit,
atau dokter umum. Diagnosis serologis sifilis terdiri dari deteksi antibodi spesifik dan
tidak spesifik. Sebagai prosedur penyaringan, tes TPPA digunakan. Partikel yang
disensitisasi oleh antigen Treponema pallidum menyebabkan reaksi aglutinasi positif
apabila imunoglobulin spesifik terdapat dalam serum pasien. Karena kemungkinan
terdapatnya hasil positif palsu, tes FTA-Abs harus digunakan dalam kasus hasil TPPA
positif. Jika ada, imunoglobulin terhadap Treponema pallidum akan terikat dan dapat
dideteksi menggunakan fluorescin coupled antihuman antibodies. Untuk menentukan
keaktifan infeksi, VDRL kuantitatif digunakan. Bovine cardiolipin ditambahkan ke
dalam serum pasien dan reaksi flokulasi positif menunjukkan adanya antibodi
terhadap fosfolipid mitokondria dari sel nekrotik. Oleh karena itu, pemeriksaan
serologi untuk sifilis menggunakan VDRL adalah tidak langsung. Selain itu, enzyme-
linked immunosorbent assay dan/atau Western blot dapat digunakan untuk
mendeteksi IgM dan IgG terhadap Treponema pallidum.11,12 Jika keterlibatan sistem
saraf dicurigai, pemeriksaan CSF diperlukan. Seperti ditunjukkan pada pasien 1, 2,
dan 5, selain teknik khusus seperti fluorescence in situ hybridization, pemeriksaan
histopatologi rutin terhadap lesi sifilis dapat lebih tidak spesifik. Oleh karena itu,
evaluasi biopsi bukan merupakan kepentingan utama dalam kasus dengan kecurigaan
yang kuat untuk sifilis.

Pengobatan tergantung pada stadium penyakit dan biasanya menggunakan


penicillin untuk memberikan efek jangka panjang selama tidak ada alergi. Jika terapi
berhasil, pemeriksaan serologi tindak lanjut akan menunjukkan penurunan dari titer
VDRL. Meskipun penicillin masih sangat efektif, resistensi terhadap antibiotik lini
kedua, terutama azithromycin, telah dilaporkan.13 Selain itu, mempertimbangkan
munculnya penyakit menular seksual lainnya (misalnya, sifilis dan HIV) adalah
penting, seperti itu ditunjukkan untuk pasien 4.14

Stadium pertama sifilis ditandai dengan kompleks primer, termasuk ulkus


soliter tanpa rasa nyeri dengan tepi mengeras dikombinasikan dengan limfadenopati
ipsilateral yang terjadi setelah masa inkubasi 2 sampai 4 minggu. Adanya suatu
infeksi lokal, lokalisasi lesi akan sesuai dengan tempat di mana bakteri telah
menembus penghalang epitel tubuh, biasanya dengan cara mikrolesi dari mukosa
mulut atau dubur kelamin. Oleh karena itu, lesi ekstragenital dalam stadium primer
akan paling sering ditemukan di anus dan mulut.15 Lesi primer oral sifilis
mengandung banyak treponemae oleh karena itu dianggap sangat menular. Seperti
terlihat pada pasien 3, lesi ini biasanya akan sembuh spontan. Diagnosis banding
harus mencakup aftosa dan/atau ulkus lain, lesi traumatik, ulkus yang berhubungan
dengan penggunaan obat, lichen planus erosif, dan neoplasia seperti karsinoma sel
skuamosa mulut dan limfoma.

Jika penyakit ini tidak diobati, sampai dengan 90% dari pasien dengan sifilis
primer akan berkembang menjadi stadium selanjutnya.16 Manifestasi oral yang khas
adalah plak membran mukosa, seperti yang dijelaskan pada pasien 4. Namun
demikian, lesi terkait dapat secara klinis dan secara histopathologis tidak spesifik,
seperti yang terlihat pada pasien 1, 2, dan 3, atau akan meniru lesi lain. Dalam sifilis
sekunder, manifestasi oral dapat hadir dalam satu sepertiga sampai setengah dari
keseluruhan pasien.10 Eksantema, terutama ketika mempengaruhi telapak tangan dan
telapak kaki (seperti terlihat pada pasien 4) dan limfadenopati generalisata yang
menyertai, adalah sangat mencurigakan. Sama seperti lesi pada stadium penyakit
primer, orang-orang dari sifilis sekunder yang menular. Lichen planus, lupus
erythematodes, erythroleukoplakia, dan kandidiasis perlu dipertimbangkan dalam
kemungkinan diagnosis banding untuk plak mukosa. Sebaliknya lesi tidak spesifik
harus dibedakan dari aftosa kecil, manifestasi dari herpes simplex dan zoster, lichen
planus erosif, dan ulkus yang berkaitan dengan penggunaan obat.

Sekitar sepertiga dari pasien yang terinfeksi yang tidak melakukan terapi akan
memiliki mengalami penyembuhan spontan lengkap setelah sifilis stadium kedua;
namun, dua pertiganya akan memasuki masa variabel laten dengan tidak adanya
gejala klinis. Pada fase awal laten, yang didefinisikan sebagai periode 1 tahun setelah
manifestasi eksantema terakhir, pasien tetap harus dianggap menular; ini akan
berubah pada fase akhir laten.16 Sepertiga dari pasien yang tidak diobati akan
mengembangkan sifilis tahap ketiga, dengan guma sebagai lesi karakteristik sions.16
Fokus oral dan ekstraoral necrotizing tidak menular. Di negara-negara industri, karena
sistem medis yang sangat maju, kontak dengan pasien dengan sifilis pada tahap itu
tidak memungkinkan.

Seperti ditunjukkan dalam 5 kasus kita telah disajikan, keragaman lesi oral yang
disebabkan oleh sifilis primer atau sekunder menggarisbawahi pentingnya mengambil
riwayat medis menyeluruh dari pasien dengan perubahan yang tidak spesifik pada
mukosa mulut. Perlu diingat bahwa sifilis adalah suatu peniru besar dan harus
dimasukkan ke dalam diagnosis banding setiap kasus. Secara khusus, riwayat pasien
mengenai perilaku seksual sangatlah penting. Namun, dapat dimengerti apabila pasien
melihat dokter gigi mereka tidak pada umumnya mencatatrincian mengenai kegiatan
seksual mereka pada kunjungan pertama mereka.

Pengakuan

Para penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Peter A. Reichart,


Profesor pengunjung, Departemen Bedah Mulut dan Stomatology, University of Bern
School of Dental Medicine, Bern, Swiss, untuk nasihat penting dan dukungan yang
diberikan. Gambar 2 diberikan courtesy of Dr Med Dent Michael Hopp (Berlin,
Jerman).
TINJAUAN PUSTAKA

1. Lautenschlager S: Diagnosis of syphilis: Clinical and laboratory problems. J


Dtsch Dermatol Ges 4:1058, 2006
2. Robert Koch Institut (RKI): Syphilis in Deutschland im Jahr 2009. Epidemiol
Bull 49:487, 2010
3. Robert Koch Institut (RKI): Erneuter Anstieg der Syphilis- Mel- dungen in
2011. Epidemiol Bull 24:221, 2012
4. Bundesamt fur Gesundheit (BAG): Sexuell ubertragbare Infektio- nen (STI)
in der Schweiz 1988 bis 2006: Aktueller Stand und Aus- blick. Bull Bundesamt
Gesundheit 8:140, 2008
5. Bundesamt fur Gesundheit (BAG): Meldepflichtige sexuell ubertragbare
Infektionen (STI) in der Schweiz: Chlamydiose, Gon- orrhoe, Syphilis. U
berwachungssystem und epidemiologische Situ- ation Ende 2010. Bull
Bundesamt Gesundheit 12:253, 2011
6. Bundesamt fur Gesundheit (BAG): Nationales Programm HIV und andere
sexuell ubertragbare Krankheiten (NPHS) 2011- 2017. Bern, Vertrieb
Bundespublikationen, 2010
7. Compilato D, Amato S, Campisi G: Resurgence of syphilis: A diag- nosis based
on unusual oral mucosa lesions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod 108:45, 2009
8. Scott CM, Flint SR: Oral syphilisre-emergence of an old disease with oral
manifestations. Int J Oral Maxillofac Surg 34:58, 2005
9. Lu SY, Eng HL: Secondary syphilis-related oral ulcers: Report of four cases.
Chang Gung Med J 25:683, 2002
10. Little JW: Syphilis: An update. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod 100:3, 2005
11. Young H, Syphilis: Serology. Dermatol Clin 16:691, 1998
12. Read PJ, Donovan B: Clinical aspects of adult syphilis. Intern Med J 42:614,
2012.
13. Stamm LV: Global challenge of antibiotic-resistant Treponemapallidum.
Antimicrob Agents Chemother 54:583, 2010
14. Rottingen JA, Cameron DW, Garnett GP: A systematic review of the
epidemiologic interactions between classic sexually trans- mitted diseases and
HIV: How much really is known? SexTransm Dis 28:579, 2001
15. Alam F, Argiriadou AS, Hodgson TA, et al: Primary syphilis re-mains a cause
of oral ulceration. Br Dent J 189:352, 2000
16. Marre R, Mertens T, Trautmann M, Zimmerli W: Klinische Infek-tiologie.
Munchen: Elsevier, 2008, pp 802813

Anda mungkin juga menyukai