Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


1. Mengenal alat sedimentasi sederhana dalam proses pengendapan melalui
percobaan sistem batch dalam suatu bak berbentuk silinder
2. Dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara konsentrasi padatan
dengan laju sedimentasi
3. Dapat membandingkan proses sedimentasi secara manual dan otomatis
4. Menghitung laju sedimentasi dengan menggunakan variasi kapur tanpa
adanya penambahan floulan dan adanya penambahan flokulan
1.2 Dasar Teori
A. Sedimentasi

Sedimentasi adalah suatu proses pemisahan secara mekanis yang


memanfaatkan gaya gravitasi bumi terhadap suatu dilute slurry/suspension
menjadi dua bagian, yakni bagian cairan jernih dan bagian
slurry/suspension yang memiliki kandungan partikel padat yang tinggi.
Sedimentasi juga dapat dikatakan suatu pemisahan solid dari liquid
menggunakan pengendapan secara gravitasi untuk menyisihkan suspended
solid. Umumnya proses sedimentasi digunakan setelah proses koagulasi
dan flokulasi yang berfungsi untuk destabilisasi dan memperbesar
gumpalan/ukuran partikel, sehingga mudah untuk diendapkan. Proses
koagulasi menggunakan kapur (CaCO3) untuk mengikat kotoran atau
memutus rantai pada ikatan senyawa zat warna sehingga membentuk
gumpalan. Sedangkan proses flokulasi dengan cara menambah larutan
polimer untuk memperbesar gumpalan, sehingga relatif mudah untuk
diendapkan.
Proses sedimentasi dapat dilakukan dengan tiga macam cara yaitu :
1. Cara Batch
Cara ini cocok dilakukan untuk skala laboratorium, karena sedimen
batch paling mudah dilakukan, pengamatan penurunan ketinggian mudah.
Mekanisme sedimen batch pada suatu silinder/ tabung dapat dilihat pada
gambar :

Gambar 1 . Mekanisme Sedimentasi Batch


Keterangan :
A = cairan bening
B = zona konsentrasi seragam
C = zona ukuran butir tidak seragam
D = zona partikel padat terendapkan
Gambar di atas menunjukkan slurry awal yang memiliki konsentrasi
seragam dengan partikel padatan yang seragam di dalam tabung (zona B).
Partikel mulai mengendap dan diasumsikan mencapai kecepatan
maksimum dengan cepat. Zona D yang terbentuk terdiri dari partikel lebih
berat sehingga lebih cepat mengendap. Pada zona transisi, fluida mengalir
ke atas karena tekanan dari zona D. Zona C adalah daerah dengan distribusi
ukuran yang berbeda-beda dan konsentrasi tidak seragam. Zona B adalah
daerah konsentrasi seragam, dengan komsentrasi dan distribusi sama
dengan keadaan awal. Di atas zona B, adalah zona A yang merupakan
cairan bening.
Selama sedimentasi berlangsung, tinggi masing-masing zona
berubah (gambar b, c, d). Zona A dan D bertambah, sedang zona B
berkurang. Akhirnya zona B, C dan transisi hilang, semua padatan berada
di zona D. Saat ini disebut critical settling point, yaitu saat terbentuknya
batas tunggal antara cairan bening dan endapan.

2. Cara Semi-Batch
Pada sedimentasi semi-batch , hanya ada cairan keluar saja, atau
cairan masuk saja. Jadi, kemungkinan yang ada bisa berupa slurry yang
masuk atau beningan yang keluar. Mekanisme sedimentasi semi-batch
bisa dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2. Mekanisme Sedimentasi Semi-Batch


Keterangan :
A = cairan bening
B = zona konsentrasi seragam
C = zona ukuran butir tidak seragam
D = zona partikel padat terendapkan
3. Cara Kontinyu
Pada cara ini, ada cairan slurry yang masuk dan beningan yang
dikeluarkan secara kontinyu. Saat steady state, ketinggian tiap zona akan
konstan. Mekanisme sedimentasi kontinyu bisa dilihat pada gambar berikut
:

Gambar 3. Mekanisme Sedimentasi Kontinyu


Keterangan :
A = cairan bening
B = zona konsentrasi seragam
C = zona ukuran butir tidak seragam
D = zona partikel padat terendapkan
Kecepatan sedimentasi didefinisikan sebagai laju pengurangan atau
penurunan ketinggian daerah batas antara slurry (endapan) dan supernatant
(beningan) pada suhu seragam untuk mencegah pergeseran fluida karena
konveksi.
Berdasarkan ukuran partikel, sedimentasi dibedakan menjadi :
1. Discrate partikel adalah partikel yang memiliki ukuran bentuk dan
spesifik gravitasi tetap (tidak berubah dengan waktu) selama proses
pemisahan berlangsung.
2. Flocullant partikel adalah partikel yang memiliki sifat permukaan
yang dapat membesar atau bergabung dengan partikel-partikel lain
ketika akan bersinggungan sehingga ukuran bentuk mungkin akan
berubah.
Pada pengolahan air minum, terapan sedimentasi khususnya
untuk :
1. Pengendapan air permukaan, khususnya untuk pengolahan dengan
filterpasir cepat.
2. Pengendapan flok hasil koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum
disaring dengan filter pasir cepat.
3. Pengendapan flok hasil penurunan kesadahan menggunakan soda-
kapur.
4. Pengendapan lumpur pada penyisihan besi dan mangan.
Pada pengolahan air limbah, sedimentasi umumnya digunakan
untuk :
1. Penyisihan grit, pasir, atau slit (lanau)
2. Penyisihan padatan tersuspensi pada clarifier pertama
3. Penyisihan flok/lumpur biologis hasil proses activated sludge pada
clarifier akhir
4. Penyisihan humus pada clarifier akhir setelah trickling filter.

B. Proses Pengolahan Air


1. Koagulasi
Koagulasi adalah proses penambahan zat kimia (koagulan) yang
memiliki kemampuan untuk menjadikan partikel kolid tidak stabil
sehingga partikel siap membentuk flok (gabungan partikel-partikel
kecil). Flokulasi adalah proses pembentukan dan penggabungan flok
dari partikel-partikel tersebut yang menjadikan ukuran dan beratnya
lebih besar sehingga mudah mengendap. Proses koagulasi dan flokulasi
pada skala laboratorium dilakukan dengan peralatan jar test. Beberapa
senyawa koagulan yang biasa digunakan adalah tawas, senyawa besi,
PAC (poli alumunium klorida) dan lain-lain (Wagiman, 2014).
Koagulasi merupakan proses penggumpalan melalui reaksi
kimia. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membutuhkan zat
pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut. Koagulan yang
banyak digunakan adalah tawas, kapur, dan kaporit. Dari hasil reaksi
koagulan itu selanjutnya endapan dipisahkan melalui filtrasi atau
sedimentasi. Banyaknya koagulan tergantung pada jenis dan
konsentrasi ion-ion yang larut dalam air olahan serta konsentrasi yang
diharapkan sesuai dengan standar baku. Untuk mempercepat proses
koagulasi dalam air limbah maka dilakukan pengadukan dengan static
mixer maupun rapid mixer (Kusnaedi, 2010).
Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan
limbah dalam bentuk koloid, dengan menambahkan koagulan. Dengan
koagulasi, partikel-partikel koloid akan saling menarik dan
menggumpal membentuk flok. Flokulasi terjadi setelah koagulasi dan
berupa pengadukan pelan pada air limbah. Dengan mengendapnya
koloid, diharapkan laju fouling yang terjadi pada membran akan
berkurang sehingga penggunaan mikrofiltrasi dalam proses pengolahan
air bersih menjadi layak untuk dilakukan (Karamah, 2014).
2. Flokulasi
Proses flokulasi adalah agregasi atau berkumpulnya partikel-
partikel kecil dalam sebuah suspensi, menjadi partikel-partikel yang
lebih besar yang disebut flok. Flokulasi disebabkan oleh adanya
penambahan sejumlah kecil bahan kimia yang disebut sebagai flokulan.
Flokulan dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu flokulan organik dan
flokulan anorganik. Di antara flokulan-flokulan anorganik, garam-
garam dari berbagai logam seperti alumunium dan besi telah banyak
digunakan. Flokulan organik dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu
sintetik dan alami. Flokulan sintetik umumnya merupakan polimer
linear yang larut dalam air seperti polyacrylamide, poly(acrylic acid),
poly(diallyl dimethil ammonium chloride), poly(styrenic sulfonic acid),
dan sebagainya. Di sisi lain, pati, selulosa, alginic acid, guar gum,
adalah polimer alami yang sangat sering digunakan sebagai flokulan.
Tujuan dari flokulasi adalah untuk menciptakan partikel yang
lebih besar yang kompatibel dengan proses selanjutnya seperti menetap
atau flotasi. Flokulasi objektif, sebagai proses unit pengolahan air,
adalah untuk menyebabkan tabrakan antara partikel kecil. Setelah
pendinginan, premis adalah bahwa partikel akan menempel satu sama
lain dan dengan demikian menggumpal, tumbuh beberapa ukuran yang
diinginkan dan menjadi flok. Proses aglomerasi disebut flokulasi. Pada
prinsipnya, flokulasi merupakan kasus khusus pencampuran. Pada
risiko beberapa redundansi, flokulasi dianggap di sini sebagai topik
yang terpisah untuk menyalahkan identitas itu sendiri (Hendricks,
2006).
Berikut adalah reaksi kimia untuk menghasilkan flok adalah:

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O+6CO2


Pada air yang mempunyai alkalinitas tidak cukup untuk
bereaksi dengan alum, maka perlu ditambahkan alkalinitas dengan
menambah kalsium hidroksida.

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(OH)2 2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O


Derajat pH yang optimum untuk alum berkisar 4,5 hingga 8,
karena aluminium hidroksida relatif tidak terlarut.
Ferro sulfat membutuhkan alkalinitas dalam bentuk ion
hidroksida agar menghasilkan reaksi yang cepat. Untuk itu, Ca(OH)2
ditambahkan untuk mendapatkan pH pada level di mana ion besi
diendapkan sebagi Fe(OH)3. Reaksi ini adalah reaksi oksidasi-reduksi
yang membutuhkan oksigen terlarut dalam air. Dalam reaksi koagulasi,
oksigen direduksi dan ion besidioksidasi menjadi ferri, di mana akan
mengendap sebagai Fe(OH)3.

2FeSO4.7H2O + 2Ca(OH)2 + 1/2 O2 2Fe(OH)3 + 2CaSO4 + 13H2O

Untuk berlangsungnya reaksi ini, pH harus sekitar 9,5 dan kadang-


kadang stabilisasi membutuhkan kapur berlebih.

Penggunaan ferri sulfat sebagai koagulan berlangsung mengikuti reaksi:


Fe2(SO4)3 + 3Ca(HCO3)2 2Fe(OH)3 + 3CaSO4 + 6CO2

Reaksi ini biasanya menghasilkan flok yang padat dan cepat


mengendap. Jika alkalinitas alami tidak cukup untuk reaksi, diperlukan
penambahan kapur. Rentang pH optimum adalah sekitar 4 hingga 12, karena
ferri hidroksida relatif tidak larut dalam rentang pH ini.

Reaksi ferri klorida sebagai koagulan berlangsung sebagai berikut:


2FeCl3 + 3Ca(HCO3)2 2Fe(OH)3 + 3CaCl2 + 6CO2

Penambahan kapur diperlukan bila alkalinitas alami tidak mencukupi.


2FeCl3 + 3Ca(OH)2 2Fe(OH)3 + 3CaCl2

Reaksi ferri klorida berlangsung pada pH optimum 4 sampai 12. Flok


yang terbentuk umumnya padat dan cepat mengendap.

Anda mungkin juga menyukai