TETANUS
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh program pendidikan profesi dokter
Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Tugurejo Semarang
Disusun Oleh :
M.Fiqih Hidayat
01.207.5514
Pembimbing :
dr.Noorjanah P, Sp.S
dr.Siti Istiqomah, Sp.S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2013
STATUS MAHASISWA
KEPANITRAAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TUGUREJO SEMARANG
Kasus : Tetanus
NIM : 01.207.5514
IDENTITAS PENDERITA
Mengetahui,
Mahasiswa Penguji
ANAMNESA
II. OBYEKTIF
1. Status Praesent
KU : Lemah
Kesadaran : CM, GCS = E4M6Vafasia
Tekanan Darah : 160/ 110 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
RR : 22 x/ menit
Suhu : 36 0C
Kepala : mesochepal
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), kaku kuduk (-)
2. Status Psikis
Tingkah laku : kooperatif, baik
Perasaan Hati : afek sesuai mood
Cara Berpikir : logis
Daya Ingat : baik
Kecerdasan : tidak diperiksa
3. Status Neurologis
A. Kepala
Bentuk : mesochepal
Nyeri tekan : (-)
Simetris : (+)
B. Leher
Sikap : simetris
Gerakan : kaku
Kaku kuduk : (-)
C. Saraf Kranial
N. I (Olfaktorius)
Subyektif :N
Dengan Bahan : tidak diperiksa
N. II (Optikus)
Tajam Penglihatan:
Penglihatan Warna : tidak diperiksa
Lapang Penglihatan :
P. Fundus Okuli :
N. III (Okulomotorius) kanan kiri
Palpebra : N N
Gerakan bola mata : N N
Fungsi dan reaksi pupil : N N
Ukuran pupil :diameter 2,5mm diameter 2,5 mm
Bentuk pupil :bulat, isokor bulat isokor
Reflek cahaya langsung : (+) (+)
Reflek cahaya tak langsung (+) (+)
Reflek akomodatif : (+) (+)
Strabismus divergen : (-) (-)
Diplopia : (-) (-)
N. IV (Throklearis)
Gerakan mata ke lateral bawah: (+) (+)
Strabismus konvergen : (-) (-)
Diplopia : (-) (-)
N. V (Trigeminus) kanan kiri
Menggigit : (-) (-)
Membuka mulut : (-) (-)
Reflek Kornea :
Reflek bersin :
Reflek Masseter : tidak bisa diperiksa
Reflek Zigomatikus :
Trismus :
N. VI (Abdusen)
Gerakan Mata ke lateral : (+) (+)
Srabismus konvergen : (-) (-)
Diplopia : (-) (-)
N. VII (Fasialis)
Kerutan kulit dahi : (+) (+)
Kedipan mata : N N
Lakrimasi : N N
Sudut mulut : N N
Lipatan nasolabial : simetris
Pengecapan lidah 2/3 depan:
Reflek visual palpebra :
Reflek glabela : tidak bisa diperiksa
Reflek aurikulo palpebra :
Tanda Myerson :
Tanda Chevostek :
N. VIII (Akustikus)
Tes suara berbisik :
Tes Rinne : tidak diperiksa
Tes Weber :
Tes Schwabach : tidak diperiksa
N. IX (Glossofaringeus)
Arcus faring : simetris
Pengecapan lidah 1/3 belakang: tidak bisa diperiksa
Reflek muntah :
Sengau : (-)
Tersedak : (-)
N. X (Vagus)
Arcus faring : simetris
Bersuara (fonasi) : (-)
Menelan : (-)
Denyut nadi : 80 x/ menit
N. XI (Accesorius)
Memalingkan kepala :
Sikap bahu : tidak bisa diperiksa
Mengangkat bahu :
Trofi otot bahu : (-)
N. XII (Hipoglossus)
Sikap lidah : normal
Tremor lidah : (-)
Artikulasi : normal
Menjulurkan lidah : (-)
Kekuatan lidah : (-)
Trofi otot lidah : eutrofi
Fasikulasi lidah : (-)
IV. RINGKASAN
seorang pasien datang ke IGD RSUD dr.Adhyatma, MPH Semarang dengan keluhan
lemas,dan tidak bisa bicara. kurang lebih 2 minggu yang lalu ( tanggal 15 April),
pasien mengalami kecelakaan lalu lintas di Rembang, terdapat luka di punggung kaki
kanan,dan mendapat jahitan luka di luka tersebut,setelah beberapa hari kemudian
pasien kalau batuk kadang keluar darah, kurang lebih sudah 3 hari yang lalu (tanggal
29 April), badan lemes dan sulit menelan, 2 hari yang lalu (tanggal 30 April) tidak
bisa bicara.
Gejala penyerta : kepala pusing (+)
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sebelumnya pasien tidak pernah sakit seperti ini
Terdapat riwayat Hipertensi
Riwayat Penyakit Keluarga :
dikeluarga tidak ada yang sakit seperti ini
PF :
KU : lemah
Kesadaran : CM, GCS = E4M6Vafasia
TTV Tekanan Darah : 160/ 110 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
RR : 22 x/ menit
Suhu : 36 0C
Kepala : dbn
Leher : kaku kuduk (-)
Thoraks : dbn
Abdomen : perut papan
V. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinis : Spasme generalisata, Hipertensi
Diagnosis Topis : Sistem saraf pusat
Diagnosis Etiologi : Clostridium tetani
TETANUS
Definisi
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi,
infeksi telinga, bekas suntikan, pemotongan tali pusat.
Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain
tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris. Di negara
berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus masih cukup
tinggi. Oleh karena itu tetanus masih merupakan masalah kesehatan.
Etiologi
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob murni. Kuman ini
mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena pembentukan spora dan karena bentuk
yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau raket squash. Spora
Clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini
terdapat di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100C dan bahkan pada
otoklaf 120C selama 15-20 menit. Dari berbagai studi yang berbeda spora ini tidak jarang
ditemukan pada feses manusia juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh
bentuk vegetatifnya
Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka. Semua jenis luka dapat
terinfeksi oleh kuman tetanus seperti luka laserasi, luka tusuk, luka tembak, luka bakar, luka gigit
oleh manusia atau binatang, luka suntikan dan sebagainya. Pada 60 % dari pasien tetanus, port
dentre terdapat didaerah kaki terutama pada luka tusuk. Infeksi tetanus dapat juga terjadi
melalui uterus sesudah persalinan atau abortus provokatus. Pada bayi baru lahir Clostridium
tetani dapat melalui umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis
antisepsis. Otitis media atau gigi berlubang dapat dianggap sebagai port dentre, bila pada pasien
tetanus tersebut tidak dijumpai luka yang diperkirakan sebagai tempat masuknya kuman tetanus.
Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk
perubahan bentuk tersebut dan kemudian mengeluarkan ekotoksin. Kuman tetanusnya sendiri
tetap tinggal di daerah luka, tidak ada penyebaran kuman. Kuman ini membentuk dua macam
eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin dalam percobaan
dapat menghancurkan sel darah merah tetapi tidak menimbulkan tetanus secara langsung
melainkan menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya bakteri. Tetanospasmin terdiri
dari protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini diabsorbsi oleh end organ saraf di
ujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat.
Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat
dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau berdegenerasi, lambat menyerap toksin, sedangkan
saraf sensorik sama sekali tidak menyerap.
Manifestasi klinis
Masa inkubasi berkisar antara tiga sampai empat minggu, kadang lebih lama; rata-rata
delapan hari. Beratnya penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi : makin pendek masa
inkubasi prognosis penyakit makin buruk. Pada umumnya pasien dengan masa inkubasi kurang
dari satu minggu angka kematiannya tinggi. Masa inkubasi rata-rata pada pasien yang akhirnya
meninggal adalah sekitar tujuh hari, sedangkan pada pasien yang sembuh sekitar sebelas hari.
Tetanus dapat timbul sebagai tetanus local, terutama pada orang yang telah mendapat imunisasi.
Gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang terkontaminasi basil
tetanus. Kadang-kadang pada trauma kepala timbul tetanus local tipe sefalik. Gejala pertama
biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang, sukar membuka mulut lebar-lebar),
rhesus sardonicus (wajah setan). Kemudian diikuti kaku kuduk, kaku otot perut, gaya berjalan
khas seperti robot, sukar menelan, dan laringospasme. Pada keadaan yang lebih berat terjadi
episthotonus (posisi cephalic tarsal), dimana pada saat kejang badan penderita melengkung dan
bila ditelentangkan hanya kepala dan bagian tarsal kaki saja yang menyentuh dasar tempat
berbaring. Dapat terjadi spasme diafragma dan otot-otot pernapasan lainnya. Pada saat kejang
penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga subfebris. Sekujur tubuh
berkeringat.
Stadium tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium klinis pada
anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak
1. Stadium 1 :Dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), belum ada keang rangsang, dan
belum ada kejang spontan.
2. Stadium 2 : Dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum ada
kejang spontan.
3. Stadium 3 : Dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang
spontan.
Diagnosis
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis, karena pemeriksaan kuman Clostridium
tetani belum tentu berhasil. Anamnesis kemungkinan adanya kelainan yang dapat menunjukkan
tempat masuknya kuman tetanus, adanya trismus, risus sardonikus, kaku kuduk, opistotonus,
perut keras seperti papan atau kejang tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan
diagnosis tetanus.
Diagnosis banding
Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya diagnosis pasti mudah ditegakkan. Pada fase
awal kadang keraguan dapat timbul. Infeksi lokal daerah mulut juga sering disertai dengan
trismus. Kemungkinan lainnya adalah meningitis, ensefalitis. Pasien dengan gejala hysteria
mungkin sulit dibedakan dengan pasien tetanus.
Penatalaksanaan Tetanus
Terdiri atas :
Pemberian Antitoksin Tetanus. Pemberian serum dalam dosis terapeutik untuk ATS bagi
orang dewasa adalah sebesar 10.000-20.000 IU IM dan untuk anak-anak sebesar 10.000
IU IM, untuk hypertext bagi orang dewasa adalah sebesar 3000 IU-6000 IU IM dan bagi
anak-anak sebesar 3000 IM. Pemberian antitoksin dosis terapeutik selama 2-5 hari
berturut-turut.
Penatalaksanaan luka. Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera
dikerjakan 1 jam setelah terapi sera ( pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan
dicuci dengan perhydrol.Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob.
Pemberian Antibiotika. Obat pilihannya adalah penisilin, dosis yang diberikan untuk
orang dewasa adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedng untuk anak-anak
adalah sebesar 50.000 IU/KgB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.Bila penderita
alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis pemberian tetrasiklin pada
orang dewasa adalah 4x500 mg/hari, sedangkan untuk anak-anak adalah 40
mg/KgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis.
Penanggulangan kejang. Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat
menimbulkan serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan
pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah.
Perawatan penunjang. Yaitu dengan tirah baring; diet per sonde, dengan asupan sebesar
2000 kalori/hari untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/KgBB/hari untuk anak-anak;
bersihkan jalan nafas secara teratur;berikan cairan infus dan oksigen;awasi dengan
seksama tanda-tanda vital.
Pencegahan komplikasi. Mencegah anoksia otak dengan pemberian anti kejang, sekaligus
mencegah laringospasme, jalan nafas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi atau
lakukan trakeotomi berencana, pemberian oksigen. Mencegah pneumonia dengan
membersihkan jalan nafas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian
antibiotika. Mencegah fraktur vertebra dengan pemberian antikejang yang memadai.