Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka

tembus abdomen.

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa membran serosa rongga

abdomen dan meliputi visera. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri, organisme berasal dari

penyakit saluran gastrointestinal atau, pada wanita, dari organ reproduktif internal.. Bakteri

paling umum yang terlibat adalah E.coli, Klebsiella, Proteus, dan Pseudomonas . Inflamasi dan

ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah

appendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonotis juga dapat

dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal.


BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Anatomi

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di bagian

belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian

bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari luar ke

dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak subkutan dan fasia superfisial (fasia

Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus

abdominis internus, dan m.tranversus abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan

peritoneum. Otot di bagian depan terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya

yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.(1)

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan

dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang
aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa

superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini

memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan

pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan

n.lumbalis I.

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap

yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran

yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang

meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan

ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di

tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian

peritoneum sekitar masing-masing organ diberi nama-nama khusus.(2)

Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya seperti kipas,

pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang mengembang melekat pada

usus halus. Di antara dua lapisan membran yang membentuk mesenterium terdapat pembuluh
darah, saraf dan bangunan lainnya yang memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus

besar dinamakan mesokolon. Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti

celemek di sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi

lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat kembali dan

melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil bernama omentum minus

yang terentang antara lambung dan liver.

II.2. Definisi

Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput

peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan penyulit

berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis. Seringkali disebabkan dari

penyebaran infeksi yang berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah

perforasi dari organ lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar

dari organ lain yang menjalar melalui darah.(3)

II.3. Etiologi

Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke

dalam rongga peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum,

intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat disebabkan

oleh trauma, darah yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang

mengalami strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana vaskular

(trombosis dari mesenterium/emboli).(4)

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis), ruptur saluran
cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme

yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, seperti Escherichia coli atau Bacteroides

sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar.

II.4. Klasifikasi

Infeksi peritoneal diklasifikasikan menjadi primer (spontan), sekunder (berhubungan

dengan proses patologi yang berlangsung di organ dalam), atau tersier (infeksi berulang yang

terjadi setelah terapi yang adekuat). Infeksi intaabdomen dapat dibagi menjadi lokal (localized)

atau umum (generalized/ infektif), dengan atau tanpa pembentukan abses.

Penyebab terbanyak dari peritonitis primer adalah peritonitis yang disebabkan karena

bakteri yang muncul secara spontan (Spontaneus Bacterial Peritonitis) yang sering terjadi karena

penyakit hati kronis.(5) Peritonitis primer dibedakan menjadi : 1) Spesifik yaitu Peritonitis yang

disebabkan oleh infeksi kuman yang spesifik seperti kuman Tb. 2) Non spesifik yaitu Peritonitis

yang disebabkan oleh infeksi kuman yang non spesifik seperti pneumonia. Infeksi peritonitis

relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Sekitar 10-30%

pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan berakhir menjadi SBP. Penyebab lain

yang menyebabkan peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan

duodenum, perforasi kolon akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker, dan strangulasi kolon

asendens.

Penyebab peritonitis
Area sumber Penyebab

Esofagus Keganasan

Trauma

Iatrogenik

Sindrom Boerhaave

Lambung Perforasi ulkus peptikum

Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,

tumor stroma gastrointestinal)

Trauma

Iatrogenik

Duodenum Perforasi ulkus peptikum

Trauma (tumpul dan penetrasi)

Iatrogenik

Traktus bilier Kolesistitis

Perforasi batu dari kandung empedu

Keganasan

Kista duktus koledokus


Trauma

Iatrogenik

Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu

empedu)

Trauma

Iatrogenik

Kolon asendens Iskemia kolon

Hernia inkarserata

Obstruksi loop

Penyakit Crohn

Keganasan

Divertikulum Meckel

Trauma

Kolon desendens dan apendiks Iskemia kolon

Divertikulitis

Keganasan

Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn


Apendisitis

Volvulus kolon

Trauma

Iatrogenik

Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease

Keganasan

Trauma

Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous

Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi

intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik.

Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi

bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula

penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan

asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites,

semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan

opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.

Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Patogen yang

paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia

coli, 7% Klebsiella pneumoniae, spesies Pseudomonas, Proteus, dan gram negatif lainnya
sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif, yakni Streptococcus pneumoniae 15%,

jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5%

kasus juga ditemukan mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi

campur beberapa mikroorganisme.

Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi, disebabkan

oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri

rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan

SBP, peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran

cerna bagian atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula

terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan

ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba, mengandung

gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram negatif.

Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan mengalami

peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan spesifik untuk

membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan

pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang

tepat untuk pasien seperti ini (Mansjoer, 2000).

II.6 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.

Terbentuk kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi

satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat

menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada

permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis

generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang sampai

timbul ileus paralitik ; usus kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam

lumen usus, menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguuria, dan mungkin syok.

Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat

mengganggu pulihnya motilitas usus dan menyebabkan terjadinya obstruksi usus.[2] Jika bahan

yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan

menimbulkan peritonitis generalisata sehingga aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus

paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam

lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan syok. Perlekatan

dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat menimbulkan

terjadinya obstruksi usus.

Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam rongga abdomen

biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau perforasi tumor. Terjadi

proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan.

Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah

putih, debris seluler, dan darah. Respon segera dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti

oleh ileus paralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus

II.7 Gejala Klinis


Manifestasi utama dari peritonitis adalah nyeri abdomen akut dan nyeri tekan. Lokasi

nyeri dan nyeri tekan bergantung pada sebab yang mendasari dan apakah proses radangnya

bersifat local atau umum. Pada peritonitis local seperti yang dijumpai pada apendisitis tanpa

komplikasi atau divertikulitis, kelainan fisisnya hanya ditemukan pada daerah yang mengalami

peradangan. Pada radang peritoneum yang menyebar, terdapat peritonitis umum dengan nyeri

tekan pada seluruh dinding abdomen dan nyeri pantul(rebound). Ketegangan dinding perut

merupakan kelainan yang sering ditemukan pada peritonitis dan dapat local atau umum. Pada

awalnya mungkin masih ada peristaltik usus tetapi biasanya akan hilang sejalan dengan

berkembangnya penyakit dan suara usus menghilang. Hipotensi, takikardi, oligouria,

leukositosis, demam, muntah adalah kelainan-kelainan yang sering ditemukan terutama pada

peritonitis umum.

Nyeri perut yang terjadi merupakan nyeri yang somatik. Nyeri somatik terjadi karena

rangsangan pada bagian yang dipersarafi oleh saraf tepi, misalnya rangsangan pada peritoneum

parietalis, dan luka pada dinding perut. Nyeri yang timbul dapat lokal, dan dapat pula merata

pada seluruh perut tergantung luasnya rangsangan pada peritoneum. Karena rangsangan tersebut

berlangsung terus pada peritoneum, rasa nyeri dirasakan terus menerus.

Nyeri dirasakan seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan secara tepat

letaknya dengan jari. Rangsang yang menimbulkan nyeri ini dapat berupa rabaan, tekanan,

rangsang kimiawi, atau proses radang.[3]

Gesekan antara visera yang meradang akan menimbulkan rangsangan peritoneum dan

menyebabkan nyeri. Peradangannya sendiri maupun gesekan antara kedua peritoneum dapat

menyebabkan perubahan intensitas nyeri. Setiap gerakan penderita, baik berupa gerak tubuh
maupun gerak napas yang dalam atau batuk, juga akan menambah rasa nyeri sehingga penderita

gawat perut yang disertai rangsang peritoneum berusaha untuk tidak bergerak, bernapas dangkal,

dan menahan batuk.[3]

II.7. Diagnosis

Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali. Diagnosis

peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.[5]

Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan pasien datang

dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya,

nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan

kemudian infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi

(peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut,

iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul langsung secara umum/general sejak dari awal.

Mual dan muntah biasanya sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat

terjadi karena gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.[6] Anamnesis mengandung

data kunci yang dapat mengarahkan diagnosis gawat abdomen. Sifat, letak dan perpindahan nyeri

merupakan gejala yang penting. Demikian juga muntah, kelainan defekasi dan sembelit. Adanya

syok, nyeri tekan, defans muskular, dan perut kembung harus diperhatikan sebagai gejala dan

tanda penting. Sifat nyeri, cara timbulnya dan perjalanan selanjutnya sangat penting untuk

menegakkan diagnosis.

Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,

pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.

Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik. Pasien

tampak kesakitan, gambaran facies Hippocrates (tulang pipi tampak menonjoldengan pipi yang

cekung), Pernafasan costal, cepat dan dangkal. Pernapasan abdominal tidak tampak karena

dengan pernapasan abdominal akan terasa nyeri akibat perangsangan peritoneum. Perut Distensi.

Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul

gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan

hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan

yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif,

pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan

dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.

Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan

ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk

menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati

adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut

membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase.

Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. [2]

Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit di

abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuik pasien. Auskultasi

dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis

umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena

peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).

Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.[6]


Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat

sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus selalu

dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai

pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans

muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale

(nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan

ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.

Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot

dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang

meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat.

Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara bebas

atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati dan

shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, akibat dari

perforasi usus yang berisi udara sehingga udara akan mengisi cavum peritoneum sehingga pada

perkusi hepar terjadi perubahan suara redup menjadi timpani dan perkusi abdomen hipertimpani

karena adanya udara bebas tadi.Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus

dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan

diagnosis. Pada pemeriksaan rectal toucher akan didapatkan tonus m.sphingter ani yang

menurun, ampula recti berisi udara dan nyeri pada semua arah.

Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan

informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah

panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general
peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus,

karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus

ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan

pada alat kelamin dalam perempuan.[3]

Pemeriksaan penunjang kadang perlu untuk mempermudah mengambil keputusan,

misalnya pemeriksaan darah, urin, dan feses. Kadang perlu juga dilakukan pemeriksaan

Roentgen dan endoskopi. Beberapa uji laboratorium tertentu dilakukan, antara lain nilai

hemoglobin dan hemotokrit, untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi.

Hitung leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan ( leukositosis). Hitung trombosit

dan dan faktor koagulasi, selain diperlukan untuk persiapan bedah, juga dapat membantu

menegakkan demam berdarah yang memberikan gejala mirip gawat abdomen.

Pencitraan diagnostik yang perlu dilakukan biasanya foto abdomen 3 posisi (supine,

upright and lateral decubitus position) untuk memastikan adanya tanda peritonitis, udara bebas,

obstruksi, atau paralisis usus. Pemeriksaan ultrasonografi sangat membantu untuk menegakkan

diagnosis kelainan hati, saluran empedu, dan pankreas. [3]

Kadang-kadang, aspirasi cairan dengan jarum (peritoneal fluid culture) dapat digunakan

untuk pemeriksaan laboratorium. Dimana cairan yang diambil diperiksa untu mengetahui

organisme penyabab, sehingga dapat diketahui antibiotik yang efektif yang dapat digunakan.

Prosedur ini cukup sederhana, dan dapat dilakukan pada saat pasien berdiri atau pun berbaring.[6]

Dalam mengevaluasi pasien dengan kecurigaan iritasi peritoneal, pemeriksaan fisik

secara komplit, adalah penting. Proses penyakit di thoraks dengan iritasi diafragma (misal:

emyema), proses ekstra peritoneal (misal: pyelonefritis, cystitis, retensi urin) dan proses pada
dinding abdomen (misal: infeksi, hematoma dari rektus abdominis) dapat menimbulkan gejala

dan tanda yang serupa dengan peritonitis. Selalu periksa pasien dengan hati-hati untuk

menyingkirkan hernia inkarserat yang juga menimbulkan gejala serupa.

II.8. Penatalaksanaan

Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan memuasakan

pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan

nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara

intravena, pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin

dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.7

Prinsip umum dalam menangani infeksi intraabdominal ada 4, antara lain: (1) kontrol infeksi

yang terjadi, (2) membersihkan bakteri dan racun, (3) memperbaiki fungsi organ, dan (4)

mengontrol proses inflamasi.9

Eksplorasi laparatomi segera perlu dilakukan pada pasien dengan akut peritonitis.

Penatalaksanaan peritonis meliputi, antara lain:

1. Pre Operasi

Resusitasi cairan

Oksigenasi

NGT, DC

Antibiotika

Pengendalian suhu tubuh


2. Durante Operasi

Kontrol sumber infeksi

Pencucian rongga peritoneum

Debridement radikal

Irigasi kontinyu

Ettapen lavase/stage abdominal repair

3. Pasca Operasi

Balance cairan

Perhitungan nutrisi

Monitor vital Sign

Pemeriksaan laboratorium

Antibiotika

II.9. Prognosis

Angka mortalitas umumnya adalah 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis, antara

lain:

1. jenis infeksinya/penyakit primer

2. durasi/lama sakit sebelum infeksi

3. keganasan
4. gagal organ sebelum terapi

5. gangguan imunologis

6. usia dan keadaan umum penderita

Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%. Pasien

dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses

abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang

jelek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004.

2. Principles of Surgery/ editor, Seymour I. Schwartz .[et al.], 9th ed. McGraw-Hill, A

Division of The McGraw-Hill Companies. An Enigma Electronic Publication, 2010.

3. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit =

Pathophysiology.clinical concepts of disease processes/Sylvia Anderson Price, Lorraine

McCarty Wilson; alih bahasa, Bram U. Pendit [et.al] ; editor, Huriawati Hartanto. Ed.6.-

Jakarta: EGC, 2005.

4. Buku ajar bedah/ David C. Sabiston; alih bahasa, Petrus Andrianto, Timan I.S.; Editor,

Jonatan OswariJakarta : EGC.

5. Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plus

http://medlineplus.gov/ accessed on dec 1st 2012


6. Genuit, Thomas,...[et al], 2004. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Instant Access

to The Minds of Medicine http://www.emedicine.com/ accesed on dec 1st 2012

7. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002311/Peritonitis. accessed on dec 2nd

2012

8. http://www.UniversityofMaryland medical centre.edu/altmed/articles/peritonitis-000127.htm,

accessed on dec1 st 2012

Anda mungkin juga menyukai