Anda di halaman 1dari 28

PENDIDIKAN DI INDONESIA

DAN PROBLEMATIKANYA

A. Kualitas Pendidikan Indonesia


Kualitas pendidikan indonesia dianggap oleh banyak kalangan masih rendah.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator , pertama lulusan dari sekolah attau
perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya
kompetensi yang dimiliki. Menurut pengamat ekonomi Dr. Berry Priyono, bekal
kecakapan yang diperoleh dari lembaga pendidikan tidak memadai untuk
dipergunakan secara mandiri.karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering
kali hanya terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatip dan kreatif
(kompas,4 desember 2004). Kedua, peringkat human devloment index (HDI)
Indonesia yang masih rendah (tahun 2004 peringkat 111 dari 117 negara dan tahun
2005 peringkat 110 di bawah vietnam dengan peringkat 108). Ketiga, laporan
international educational achievement (IEA) bahwa kemampuan membaa siswa SD
di Indonesia berada diurutan 38 dari 39 negara yang di survei. Keempat, mutu
akademik antar bangsa melalui programme for international student assessment
(PISA) 2003 menunjukan bahwa dari 41 negarayang di survei untuk bidang IPA,
indonesia menempati peringkat ke 38. Sementara untuk bidang matematika dan
kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Jika di bandingkan dengan korea
selatan, peringkkatnya sangat jauh, untuk bidang ipa menempati peringkat ke-8,
membaca peringkat ke-7 dan matematika peringkat ke-3. Kelima, laporan world
competitivenessyearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi
46 dari 47 negara yang disurvei. Keenam, posisi perguruan tinggi Indonesia yang di
anggap favorit, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada hanya
berada pada posisi ke-61 dan 68 dari 77 perguruan tinggi di Asia (asiaweek, 2000).
Ketujuh, ketertinggalan bangsa Indnesia dalam bidang IPTEK dibandingkan dengan
negara tetangga, seperti malaysia, singapura, dan thailand.
Indikator rendahnya kualitas pendidikan Indonesia di atas lebih
memerhatikan lagi dengan data kementerian pemuda dan olahraga yang menyatakan
bahwa sebenarnya 37,06 persen pemuda Inndonesia hanya lulus sekolah dasar (SD) .
Dari 217 juta penduduk Indonesia jumlah pemuda di perkirakan 97 juta orang. Di
asumsikan pemuda adalah mereka yang berusia 15-35 tahun. Dengan kondisi
tersebut sulit mengharapkan mereka mejadi agen perubahan sosial, sebagaimana
yang di harapkan masyarakat luas (Media Indonesia, 22-12-2005).
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia diperparah lagi dengan
maraknya jual beli gelar yang menghasilkan gelar dan ijazah palsu. Yang lebih ironis
lagi penjual dan pembeli gelar palsu dilakukan oleh orang-orang yang perkecimpung
dalam dunia pendidikan dan orang-orang yang selama ini di anggap tokoh
masyarakat. Gelar tersebut diperoleh tanpa melalui proses pendidikan yang
sebenarnya. Di satu sisi, orang dengan susah payah berusaha mendapatkan gelar, di
sisi lain gelar itu di obral. Sungguh suatu ketidak adilan yang sangat nyata.
Pernyataan budirahayu (2002) memperjelas masalah ini bahwa maraknya pasar gelar
yang dilakukan oleh dunia pendidikan tinggi yang tidak bertanggung jawab seakan
memfasilitasi keinginan masyarakat yang malas bersusah payah menempuh
pendidikan, namun mereka memiliki uang dan ingin dipandang atau dihormati
dengan gelar yang di sandangnya. Jangan heran kalau di negara kita banyak orang
yang memiliki gelar, tetapi tidak siap pakai, apalagi mampu meciptakan lapangan
kerja.
Kondisi pendidikan di indonesia seperti dijelaskan diatas, semakin nayata
dengan tabel tabel berikut ini .
Tabel 1.1 jumlah pencari kerja (tenaga kerja yang belum terserap)
menurut pendidikan
Pendidikan Jumlah Persentase
Tdk Sekolah 278.329 3,5
Tdk/ Belum Tamat Sekolah 573.097 7,2
Tamat Sekolah 2.893.565 23,7
Tamat SMP 1.86.317 22,3
Tamat SMA 1.881.578 23,5
Tamat SMK 1.051.912 13,1
Tamat Akademi/ Diploma 289.134 3,1
Tamat Universitas 289.099 3,6
Tabel 1.2. Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan
Jumlah Pengangguran
NO Pendidikan
2002 2003 2004 2005
1 Tdk lulus SD 868.308 1.036.048 1.004.206 1.012.711
2 SD 2.353.330 2.452.805 2.275.281 2.540.977
3 SMP 2.146.495 2.426.393 2.691.912 2.680.810
4 SMA 3.244.130 3.456.099 3.695.504 3.911.502
5 DI/DII 86.567 79.588 92.788 107.516
6 DIII/Akademi 163.859 123.226 144.463 215.320
7 Univ 269.415 245.8857 385.418 385.418
Jml total 9.132.104 9.820.016 10.288.572 10.854.254
Sumber : BPS dalam Kompas, 11 Februari 2005

Tabel 1.3 Penggangurran (Tenaga Sarrjana) Menurut Jurusan

Jurusan Jumlah Persentase


Seni Budaya 181.554 52,8
Pertanian 26.308 9,5
Teknik 16.479 5,7
Keguruan 36.716 12,7
Kesehatan 6.549 2,3
MIPA 4.336 1,5
Lain lain 17.057 5,9
Sumber : IPS Agustus 2001

Tabel 1.4 Perkembangan ruang kelas yang rusak berat di Indonesia

No Jenjang 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004


1 SD 200.479 212.280 201.237 202.503
2 SMP 6.004 6.118 9.599 8.839
3 SMA 1.469 1.524 1.588 1.195
4 SMK 516 502 518 734
Sumber : Departemen Penddidikan Nasional, 2005

Tabel 1.5 Persentase melek Huruf Penduduk di negara Asean tahun 2000
2004

No Negara Persentase
1 Indonesia 87,9
2 Malaysia 88,7
3 Singapura 92,5
4 Filipina 92,6
5 Brunei Darussalam 93,9
Sumber : Lithan Kompas, 2005
Tabel : 1.6 Angka Partisipasi Murni

Angka partisipasi Tidak Mendapat


Umur Jumlah
Murni (Yang Sekolah) Sekolah
7 12 25.57.117 24.434.976 1.422.141 (5,50%)
13 15 13.095.083 7.293.961 5.801.122 (44.30%)
16 18 13.466.700 4.352.759 9.113.941 (67,68%)
19 24 25.784.500 3.688.794 22.095.706 (85,69)
Jumlah 78.203.400 39.770.490 38.432.910 (49,12%)
Sumber : Indonesia Educational Stattistics in Brief 2000/2001 Balitbang Depdiknas
(dikutip dari harian Media indonesia, 2 Mei 2001)

Tabel 1.7 Guru Menurut Ijazah tertinggi Tahun 2002/2003 (dalam %)

No Jenjang Jumlah SMA/D1 D2 D3 S1 S2/S3


Guru
1 TK 137.069 90,5 5,55 - 3,88 -
2 SLB 8.304 47,588 - 5,62 46,35 0,45
3 SD 1.234.927 49,33 40,14 2,17 88,30 0,05
4 SMP 466.7748 11,23 21,33 25,10 42,03 0,31
5 SMA 230.114 1,10 1,89 23,92 72,75 0,33
6 SMK 147.559 3,54 1,79 30,18 64,16 0,33
7 PT 236.296 - - - 56,54 43,46
Sumber : Balibang Depdiknas

Tabel : 1.8 Guru Menurut kelayakan Mengajar tahun 2002/2003

No Jenjang Pendidikan Negeri % Swasta % Jumlah %


1 SD Layak 584.395 47,3 41.315 3,3 625.710 50,77
Tidak 558.675 45,2 50.542 4,1 609.217 49,3
Jumlah 1.143.070 92,6 91.857 7,4 1.234.927 100
2 SMP Layak 202.7720 43,4 96.385 20.77 299.105 64,3
Tidak 108.811 23,3 58.832 12,6 167.6643 35,9
Jumlah 311.531 66,77 155.217 33,3 466.748 100
3 SMA Layak 87.379 38,0 67.051 29,1 154.430 67,1
Tidak 35.424 15,4 40.260 17,5 75.684 32,9
Jumlah 122.803 53,4 107.311 46,6 230.114 100
4 SMK Layak 27.967 19,0 55.631 37,7 83.598 56,7
Tidak 20.678 14,0 43.283 29,3 63.961 43.3
Jumlah 48.645 33.0 98.914 67,0 147.559 100
Sumber : Balinbang Depdiknas

Tabel 1.9 Kualitas Sistem Pendidikan Dikaitkan dengan Daya Saing Tenaga
kerja pada 12 Negara di Asia

No Negara Skor
1 Korea Selatan 3.09
2 Singapura 3.19
3 Jepang 3.50
4 Taiwan 3.56
5 India 4.24
6 Cina 4.27
7 Malaysia 4.41
8 Hongkong 4.72
9 Philipina 5.47
10 Thailand 5.96
11 Vietnam 6.21
12 Indonesia 6.59
Sumber : PERC, 2001

Tabel 1.10 Rangking Indonesia Berdasarkan HDI Dibandingkan Beberapa


Negara tahun 1995, 2000, 2003, 2004, dan 2005

Tahun
No Negara
1995 2000 2003 2004 2005
1 Thailand 58 76 74 76 73
2 Malaysia 59 61 58 59 61
3 Philipina 100 77 85 83 84
4 Indonesia 104 109 112 111 110
5 Cina 111 99 104 94 85
6 Vietnam 120 108 109 112 108

Peningkatan mutu dan pemeratan pendidikan dapat di tempuh melalui


program dan kebijakan. Pertama, meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan
tahun yang bermutu; kedua, memberikan akses yyang lebih besar kepada kelompok
masyarakat yang selama ini kurang dapat terjangkau oleh layanan pendidikan,
seperti masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah konflik
atau masyarakat penyandang cacat; ketiga, meningkatkan penyediaan pendidikan
ketrampilan dan kewirausahaan atau pendidikan nonformal yang bermutu; keempat,
meningkatkan penyediaan dan pemerataan sarana prasarana pendidikan; kelima,
meningkatkan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme tenaga pendidikan dan
kependidikan; keenam, meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidikan dan
kependidikan; ketujuh, menyempurnakan manajemen pendidikan dan meningkatkan
partisipasi dalam proses perbaikan mutu pendidikan; kedelapan, meningkatkan
kualitas kurikulum dan pelaksanaan yang bertujuan membentuk karakter dan
kecakapan hidup (lifeskill), sehingga peserta didik mampu memecahkan berbagai
masalah kehidupan secara kreatif dan menjadi manusia yang inovatif serta prouktif.

B. Pendidikan dalam konteks pembangunan bangsa dan negara


Bangsa Indonesia kini sedang di hadapkan pada persoalan-persoalan
kebangsaann yang sangat krusial dan multidimanensional. Hampir semua bidang
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat mengalami krisis yang
berkepanjangan. Reformasi yang digulirkan bangsa Indonesia melalui gerakan
mahasiswa sejak 1998 hingga saat ini belum menuai hasil yang memuaskan. Di sana
sini masih banyak kita jumpai berbagai masalah dan krisis yang tak kujung reda.
Memang di akui dampak reformasi telah membuka kran demokrasi yang
memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Namun,
dengan modal kebebasan berpendapat saja tidak cukup untuk memperbaiki tingkat
kehidupan masyarakat yang dari hari ke hari semakin terpuruk. Masalah-masalah
pokok yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti kemiskinan, pengangguran, KKN,
dan kekerasan (baik secara individu ataupun kelompok) belum dapat terselesaikan
secara maksimal.
Banyak kalangan yang bependapat bahwa persoalan-persoalan yang di
hadapai bangsa Indonesia di sebabkan oleh sumber daya manusia (SDM) bangsa
Indonesia yang masih rendah. Kualitas SDM yang rendah, baik secara akademis
maupunn nonakademis, menyebabkan belum seluruh masyarakat Inonesia
berpartisipasi menyumbang potesinya baik potesi fisik maupun nonfisik dalam
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan keahlian dan bidangnya masing-masing.
Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sangat penting dan di
perlukan. Sebab, keberhasilan pembangunan hanya dapat tercapai jika masyarakat
berpartisipasi aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan. Hanya dengan kualias
SDM yang tinggi persoalan-persoalan bangsa Indonesia setahap demi setahap dapat
terselesaikan dengan baik.
Menilai kualitas SDM suatu bangsa secara umum dapat dilihat dari mutu
pendidikan bangs tersebut. Sejarah telah membuktikan bahwa kemajuan dan
kejayaan suatu bangsa didunia diitentukan oleh pembangunan di bidang pendidikan.
Mereka menganggap kebodohan adalah musuh kemajuan dan kejayaan bangsa, oleh
karna itu harus diperangi dengan mengadakan revolusi pendidikan. Pengalaman
beberapa negara dapat dijadikan pelajaran. Jepang ketika bangsanya hancur akibat
bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945 menerapkan pendekatan
pembangunan menuju kejayaan jepang kembali dengan mempriortaskan
pembangunan pendidikan. Pertanyaan kaisar jepang dapat di jadikan bukti betapa
jepang sangat menekankan pembangunan pendidikan. Pada waktu itu kaisar jepang
bertanya berapa guru yang masih hidup. Dari pertanyaan tersebut dapat kita tarik
benang merah betapa para pendidik, yakni guru sangat di akui dan dijujung tinggi
dalam konteks kemajuan dan kejayaan bangsa jepang. Ada keyakinan dari bangsa
jepang bahwa dengan mengedepankan pembangunan pendidikan, maka jepang akan
bangkit kembali akan mejadi bangsa yang maju dan jaya.
Negara inggris yang notabenesudah menjadi negara maju dan besar juga
tetap menetapkan pendidikan sebagai suatu prioritas yang utama dalam
pembangunan negara inggris. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Rat Elizabeth II
dalam pidatonya di depan parlemen inggris pada tanggal 14 Mei 1977. Dengan tegas
Ratu Elizabeth II menyatakan Prioritas utama pemerintah sekarang adalah
pendidikan, pemerintah berusaha keras meningkatkan standar pendidika di sekolah
dan perguruan tinggi serta berupaya menggalakkan program belajar terus-menerus di
tempat kerja. Sekarang pun Perdana Menteri Inggris Toni Blair dengan lantang dan
tegas mengampanyekan program utama politiknya, yaitu tiga prioritas pemerintah
inggris : pendidikan, pendidikan, dan pendidikan.
Negara superpower Amerika Serikat juga mengutamakan pembangunan
pendidikan. Ketika berkuasa, pemerintah Bill Clinton memfokuskan program
politiknya pada sistm pendidikan yang diteruskan oleh pemerintah George W. Bush
seperti yang tertuang dalam cetak biru (blueprint) progrm pendidikan dalam
pemerintah George W. Bush. Negara-negara tetangga Indonesia juga mengambil
kebijakan yang sama, dengan menekan pendidikan sebagai prioritas utama dalam
pembangunan negaranya, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Pada masa kini di seluruh dunia telah timbul pemikiran baru terhadap status
pendidikan. Pendidikan di terima dan dihayati sebagai kekayaan yang sangat
berharga dan benar-benar produktif, sebab pekerjaan produktif pada masa kini
adalah pekerjaan yang didasarkan pada akal, bukan tangan. Pembentukan orng-orang
terdidik merupakan modal yang paling penting bagi suatu bangsa. Oleh karna itu,
hampir di semua negara dewasa ini menjadikan pendidikan sebagai pokok
perihatian. Apalagi setelah ada kepercayaan bahwa pendidikan adalah satu-satunya
jalan menuju hidup berguna dan produktif. Di pandang dari segi negara, pendidikan
adalah jalan menuju kemakmuran dan kemajuan serta eksistensi suatu negara.
Sikap di atas dapat dimengerti karena manusia merupakan faktor produksi
yang sangat menentukan dalam usaha pembangunan. Manusia meruapakan pelopor
pembangunan dan karenanya investasi dalam SDM merupakan suatu keharusan
dalam pembangunan. Untuk itu setiap negara yang ingin maju dan berkembang
haruslah membuat pendidikan itu efektif. Pendidikan harus mampu berfungsi
mengubah sikap mental yang kolot dan mampu mengalahkan inovasi dan
memengaruhi secara kreatif pola dan perilaku masyarakat (seda,1970).
Pernyataan pendidikan adalah kuci modernisasi atau pendidikan adalah
investasi manusia memperoleh pengakuan dari banyak ahli. Jika tidak mampu
mengembakan SDM, suatu bangsa tidak akan dapat membangun negaranya. Oleh
karena itu, pengembangan dan pembangunan SDM merupakan salah satu syarat
yang penting bagi pembangunan. Dalam sejarah perkembangan ekonomi di banyak
negara industri terlihat bahwa kualitas SDM dalam pembangunan yang dikenal
dengan istilah human resources based economic development, telah mengantarkan
negara-negara seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura menjadi negara-negara
industri maju (suharno, 2004).
Menurut Quisumbing (2003), dalam Djemari Mardapi (2004), pendidikan
memiliki peran utama dalam pengembangan personal dan sosial, memengaruhi
perubahan individu dan sosial, perdamai, kebebasan, dan keadilan. Mengubah
masarakat memerlukan paradigma baru pendidikan, tujuan baru, definisi baru
tentang kualitas, inovasi pendekatan,program dan praktik, jika pendidikan harus
memenuhi peran strategik dalam pengembangan manusia sebagai individu dan
masyarakat. Kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang dinamis, karena
tuntutan kualitas pendidikan selalu berubah sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Jadi, harus ada usaha
yang terus menerus berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas tidak dapat di ragukan lagi betapa penting
dan strategisnya pendidikan dalam pembangunan suatu bangsa. Dengan
pendidikanlah seseorang di bekali dengan bebagai pengetahuan, ketrampilan,
keahlian, dan tidak kalah pentingnya macam-macam tatanan hidup baik yang berupa
norma-norma, aturan-aturan positif, dan sebagainya. Pendek kata pendidikan
menjadikan manusia seutuhnya baik secara lahiriah maupun batiniah. Bekal yang
diperoleh seseorang melalui pendidikan nantinya akan berguna bagi masa depan
orang tersebut, kemanfaatan bagi masyarakat, bangsa, bahkan untuk seluruh umat
manusia di muka bumi ini.
C. PEBAHARUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Para ahli mengatakan bahwaabad ke 21 mengatakan abad pengetahuan
karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut
Naisbitt (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di
abad ke-21, yaitu (1) dari masalah industri ke masyarakatan informasi, (2) dari
teknlogi yang dipaksakan keteknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke eekonomi
dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek dan perenanan jangka panjang, (5) dari
sentralisasi ke desentralisai, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari
demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke
penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari pilihan tunggal ke pilihan
majemuk.
Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas,surya (1998)
mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad ke-21 mempunyai
karakteristik sebagai berikut. (1) pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar,
yaitu (a) untuk mencerdaskan keidupan bangsa; (b) untuk mempersiapkan tenaga
kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi; (c) membina
dan mengembangkan penguasan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan
teknologi. (2) sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa,
pendidikan tidak hanya sebagai proses tansfer pengetahuan saja, tetapi mempunyai
fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suatu persatuan dan kesatuan nasional.
(3) dengan makin meningkatkannya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan
memengaruhi corak pendidikan nasional. (4) perubahan karakteristik keluaraga baik
fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai
lingkungan pendidikan dan dalam keluaraga sebagai intinya. Nilai-nilai keluarga
hendaknya tetap di lestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan. (5) asas hayat
belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan
pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan zaman. (6) penggunaan
berbagai inovasi iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi
dalam berbagai kegiatan pendidikan. (7) penyediaan perpustakaan dan sumber-
sumber belajar sangat di perlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam
pendidikan. (8) publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain
yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad
pengetahuan.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan
yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga lembaga
pendidikan diharapkan mampu peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam
kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, komunikasi, dan
keterlibatan orang tua atau masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalaha sosok
penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalamnasionalisme dan jiwa
juang keimanan dan ketaqwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin,
profesionalisme, kerjasama belajar dengan berbagai disiplin, wawancara, masa
depan, keastian karir, dan kesejahteraanlahir batin. Pendidikan mempunyai peranan
yang amat strrategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki
kerberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai
megaskillyangmantap. Untuk itu, lembaga pendididkan dalam berbagai jenis dan
jenjang memerlukan kecerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad ke 21 pendidikan akan
mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigm: (1)
dari belajar tetrminal pembelajaran sepajang hayat, (2) dari belajar berokus
penguasaan penguasaan belajar holistik (3) dari citra hubungan guru murid yang
bersifat konfrontatif keccitra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang
menekankan pengetahuan skolastik (akademika) kepenekanan keseimbanaganfokus
pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan
buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) ddari penampilan guru yang terisolassi
kepenampilan dalam timkerja, (7) ddari konsentrasi ekslusif pada kompetisi
keorienttasi kerjasama dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut tampak bahwa
pendidikan dihahdapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia
yang berkualitas dalam mengahdapi tantangan dan tuntunan yang besifat kompetittif.
Praktik belajar yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau
paraigma yang banyak dijumpai diabad industri pada abad pengetahuan paradigma
yang digunakan jauh berbeda dengn pada abad industri. Galbreath (1999)
mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunaka pda abad
pengettahuan adalah pendekatan campuran, yaitu perpaduanantara pendekatan
belajar dari guru, belajar dari siswalain, dan belajar pada diri sendiri. Praktik
pelejaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihatt pada tabel berikut.
TABEL 1.11 Perbedaan Praktik Pembelajaran AbadInddustri dan Abad
Pengetahuan
Abad Industri Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai pengarah Guru sebagai fasilitator, pembimbing,
konsultan
2. Guru sebagai sumber pengetahuan Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh kurikulum Belajar diarahkan oleh siswa dan guru
4. Belajar dijadwalkan secara ketat Belajar secara terbuka, ketat dengan
dengan wkatu yang terbatas waktu yang terbatas fleksibel sesuai
dengan keperluan
5. Terutama didasarkan pada fakta Terutama berdasarkan proyek dan
masalah
6. Bersifat teoritik, prinsip prinsip dan Dunia nyata, dan fleksibel prinsip dan
survei survei
7. Pengulangan dan latihan Penyelidikan dan perencangan
8. Aturan dan prosedur Penemuan dan penciptaan
9. Kompetitif Kolaboratif
10. Berfokus pada kelas Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya ditentukan sebelumnya Hasilnya terbuka
12. Mengikuti norma Keanekaragaman yang kreaif
13. Komputer sebagai subyek belajar Komputer sebagai peralatan semua jenis
belajar
14. Presentasi dengan media statis Interaksi multimedia dinamis
15. Komunikasi sebatas ruang kelas Komunikasi tidak terbatas keseluruh
dunia
16. Tes diukur dengan norma Unjuk kerja diukur oleh pakar,
penasihat, kawan sebaya, dan diri sendiri

Menurut tilaar ( 2001), pendidikan nasional dewasa ini dihadapkan pada


empat krisis pokok, yakni kualitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan
manajemen. Lebih rinci tilaar menyatakan bahwa ada tujuh masalah pokok dalam
sistim pendidikan nasional, yaitu (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didi, (2)
pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal dalam sistim
pendidikan; (4) status kelembagaan; (5)manajemen pendidikan yang tidak sejalan
dengan pembangunan nasional; (6) sumber daya manusia yang belum profesional.
Beberapa permasalahan yang dari dulu sampai saat ini dihadapi sektor pendidikan
antara lain pertama pemerataan dan perluasan pendidikan dasar da menengah, kedua
rendahnya mutu pendidikan, ketiga relevansi pendidikan yang belum maksimal,
keempat, manajemen pendidikan yang masih rendah dan yang kelima pembiayaan
pendidika yang belum memadai (weinata S 2003)
Menurut Soediarto (2005), pendidikan nasinal juga dihadapkan pada
beberapa masalah : (1) pendidikan belum secara terencana dan sistematik
diberdayakan untuk berfungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara
optimal; (2) pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayan
berbagai warisan budaya bangsa, nilai nilai kebudayaan nasional dan nilai nilai
yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh iptek dan prsaingan glbal
belumsepenhnya terlaksana (3) pendidikan yang sudah dilaksanakan secara merata
belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan
mengelolasumber daya alam, mengelola model, mengembangkan teknologi,
menghasilkan komoditas yang mutunya mampu bersaing dan mampu
mengembangkan sistem perdagangan, (4) pendidikan belum sepenuhnya mampu
mengembangkan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria, dan
patriotik.
Sementara iu dimata sagala (2004) ada beberapa problematika pendidikan
nasional sebagai berikut.
1. Dalam rumusan kebijakann dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai
alat pembangunan nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa
kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang
belum menjadi prioritas pembangunan
2. Paradigma pendidikan baru dapat dikatakan berhsil jika dapat memenuhi
kepentingan dan harapan kekuasaan bukan pada tuntutan perubahan dan
pengembagan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang
kompetitif
3. Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai merintis masa depan
yang mengacu pada prinsip prinsip profesionalitas tetapi sebagai usaha
untuk mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan
rutinitas belaka.
4. Anggaran pendidikan khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran
disekolah yang bersumber dari APBD Kabupaten/kota dan provinsi
maupun yang bersumber dari APBN relatif masih kecil, meskipun dalam
UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan anggaran pendidikan
minimal 20% dari keseluruhan APBN
5. Kebijakan perubahan kurikulum tidak dapat diuji atas dasar kebutuhan
(Need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan
kemauan birokras dengan mendapat kebenaran oleh dari pakar ahli yang
ditunjuk oleh irokrasi tersebut
6. Pasar sekolah bagi lulusan labil, khususnya sekolah menengah dan
kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah
menengah terus bertambah.

Beberapa pokok permasalahan pendidikan di indonesia menurut umar (2004) adalah


: (1) belum ada standar nasional mutu, (2) kurikulum nasional dan strukturnya; (3) sistem
ujian; (4) sistem akreditasi; (5) sistem pemantauan mutu pendidikan; (6) sistem birokrasi
pendidikan; (7) sistem pembiayaan dan anggaran pendidikan; (8) kesenjangan mutu antar
daerah; (9) kesadaran masyarakat akan pentingnya mutu. Sementara itu sidi (2003)
berpendpat bahwa ada empat tantangan besar yang di hadapi dunia pendidikan di indonesia.
Pertama tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (added value), yaitu bagaimana cara
meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan kualitas poduktivitas nasional,
pertumbuhan, dan pemerataan ekonomi, seagaia upaya untuk memelihara dan
meningkatakan pembangunan berkelanjuatan. Keduan, tantangan untuk melakukan
pengkajian secara komperhensip dan mendalam terhadap terjadinya transformasi
(perubahan) struktur masyarakat, dari masyarakat agraris ke masyarakat modern, menuju
kemasyarakat industri yang menguasa teknologi dan informasi, yang mplikasinya pada
tuuntutan dan pengembangan SDM. Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang
semakin ketat, yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya
karya yang bermutu dan mampu bersaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni (ipteks). Keempat, munculnya kolonialisme baru dibidang iptek dan
ekonomi menggantikan kolonialisme politik.

Dengan demikian, kolonialisme kini tidak lagi berbenuk fisik, melainkan dalam
bentuk informasi. Berkembangnya teknologi informasi dalam bentuk komputer dan intrenet
sehingga bangsa kita menjadi tergantug kepada bangsa barat dalam hal teknologi informasi.
Inilah belntuk kolonialisme baru yang menjadi macam virtual enemy yang tellah masuk ke
seluruh pelosok dunia ini. Semua tantangan itu menuntut SDM Indoonesia, terutama
generasi muda agar meningkatkan serta memperluas pengetahuan, wawasan, keunggulan
(baik komparatif maupun kompetitif), keahlian yang profesional serta keterampilan dan
kualitasnya.
Penyempurnaan sistem pendidikan menitikberatlkan pada: pertama pelaksanaan
otonomi pengelolaan pendidikan; kedua pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun; ketiga
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum yang menekannkan pada kompetisi; keepat
penyelenggaraan sistem pendidikan yang terbuka; kelima, peningkatan profesionalisme
tenaga kependidikan; keenam penyediaan sarana dan prasarana belajar yag memadai;
keujuh, pembiayaan pendidikan yang berkeadila; kedelapan, pemberdayaan masyarakat;
kesembilan, pengawasan, evaluasi, dan akreditasi pendidikan (Direktorat Menengah Umum
Depdiknas, 2003).

Secara khusus, pemicu perubahan dalam lingkungan pendidikan respons atas


perubahan dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Globalisasi menyebabkan informasi bergerak amat cepat dan tanpa batas. Materi
pembelajaran yang selama ini menajdi otoritas danpenguasaan guru kini dapat
diakses siapa saja termasuk para siswa melaui internet. Sumber belajarpun
tersedia amat luas tidak hanya terbatas pada buku teks. Hal ini menuntut
peningkatan kemampuan kopetensi sumber daya pendidikan.
2. Kemajuan iptek yang sangat cepa dan massif menuntut kemampuan sumber daya
pendidikan melakukan penyesuaian yang signifikan.
3. Mobilitas tenaga kerja baik yang profesional maupun pekerja teknis pada
tataraninternasional yang gerakannya melintas batas bats negara menuntut
pendidikan semakin dikelola secara bermutu.
4. Krisis mutidimensional mendorong dunia pendidikan untuk dapt semakn
memperkaut diri, dikelola secara efisiien dengan akuntanbilitas tinggi sehingga
dapat meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan mendorong terbukanya
mobilitas vertikal SDM.
5. Desentralisasi pendidikan sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaa otonom
daerah membawa perubahan mendasa dalam pengelolaan pendidikan hal ini
menuntut peningkatan kemampuan komunikasi kepala sekolah dengan pihak
pihak lain seperti pemerintah daerah dan steakholders lainnya.
6. Pendanaan dan komitmen peningkatan anggarab pendidikan dari pendidikan
yang masih rendah, demikian pula partisipasi masyarakat terhadap pendidikan
yang masih belum memadai mendorong warga sekolah tak henti hentinya
mengupayakan lahirnya kreatifitas dan inovasi dalam ketercapaian program
program sekolah ynag terus berkembang.
7. Etos kerja tenaga kependidikan masih rendah sehingga menghambat percepatan
penguasaan kompetensi yang dibutuhkan tenaga kependidikan sesua
dengantuntutan perkembangan iptek dan kuirkulum baru.
8. Prestasi belajar siswa masih rendah dengan indikatornila UN dan kemampuan
masuk perguruan tinggi masih rendah.

Melihat reliats diatas diperlukan perubahan paradigma dalam pengelolaan


pendidikan agar sesuai denga perkembangan dan tuntuan jaman, terutama arus
globalisasi. Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi telah menjadikan pendidkan dan sekolah bukanlah merupakan satu
satynya pangkalan ilmu pengetahuan. Proses pendidikan kini telah begeer dari
pendekatan konvensional yang telah diterapkan dlaam sejarah pendidikan manusia
dari waktu kewaktu, diman aguru sebagai pemilik otoritas ilmu pengetahuan di
sekolah, ke arah mukti sumber. Bahkan pendidikn maya ( virtual educations) kini
menjadi alternatif yang menark dan suatu keniscayaan. Dampak teknologi informasi
dan komunikasi telah memiliki kepentingan yang sangat mengglobal bagi dunia
pendidikan, terlepas dari siapa yang memiliki akses terhadapnya. Ilmu pengetahuan
sebagai informasi terkini tersedia 24 jam sehari.

Menurut Zamroni (2000),pembangunan penddidikan harus mengatisiasi


kecenderungan kecenderungan global yang akantterjadi. Beberappa kecenderungan
yang daapaet terindetikasi adalah :

1. Proses inventasi reinventasi;


2. Perkembanganindustri, komunikasi, dan informasi;
3. Pergeseran pendidikan dari back to basic ke arah the forward to urture basic,
yang mengandalkan pad peningkatan kemampuan TLC (how tu think, how to
learn., hoow to create)
4. Perkembangan dan meluasnyya ide demokratisasi yang memunculkan
tuntuan pelaksanaan school based manajemen dan sitte pecisif soluction;
5. Menuntut cara pemecahanmasalahnyasecara sistem analysis, yang bukan
mengandalkan analysis sebab akibat

Kecenderungan kecenderungan diatas menuntut kualityas SDM yang


berbeda dengan kualitas yang ada dewasa ini. Oleh karena ittu, munculpertanyaan,
mampukah prakttik pendidikan kitta manghasilkan lulusan dengan kualittas yang
memadai untuk menghadapi kecenderungan kecenderungan di atas?.

Pendidikan kitta dewasa ini menunjukan kecenderungan kecenderungan


sebagai berrikut: pertama, memperlakukan ppeserta didik berstatus sebagai
objek//klien guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan
indoktrinator. kedua, materi ajar bersifatt subject oriented. Ketiga, manajemen
pendidikan masih baru dalam transisih senntralistik ke desentralistik akibatnya,
pendidikan kita mengisolasi diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang
relevan antara yang diajarkankebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrrasi
pada ppengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan ppengembanga individu
sebagi sattukesatuan yang utuh dan berkepribadian. Keempatt, proses pembelajaran
didominasi dengan ttuntutan untuk menghafalkandan menguasai pelajaran sebanyak
mungkin guna menghadapi ujian/tes, dan pad kesempatan ttersebu pesertta didik
harus mengeluarkan apa yang telah di hafalkan.

Akibat dari praktik pendidikan semacam itu, munculah berbagai


kessenjangan dalam berbagai akamik, okofufasional dan kultural. Kesenjangan
akademik menunjukan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya
dengan kehidupan masyarakat sehari hari. Hall ini terjadi karena sebagian guru tidak
menyyadari, bahwa mereka berada pada masa trasnisi yang berlangsung secara
cepat, dan memamndang sekolah sebagai institusi yang berdiri sendiri dan bukan
merupakan bagian dari masyyarakat yang tengah berubah. Disamping ittu, praktttik
pendidikan kita bersifat melioristik, yyang tercemin dengan seringnya perubahan
kurikulum secara erratic. Masih ditambah lagi, banyaknya guru yang tidak atau
belum mampu mengkaitkan mata pelajaran yyang diajarkan dengan fenoena sosial
yyang dihadapi masyarakat sehingga guru hanya terpaku pada pemikiran sempit.
Terbatasnyya wawasan para guru ddalam memahami fenmena fenomena yang
muncul di tengah tengah masyarakatt menyebabkan kurang tepat dan kurang
pekanya mereka mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan.
Akibatnya mereka kehilangan gambaran tentang pendidikan dan kemasyarakatan
secara komperhensip.

Kesenjangan olupasional, yaitu kesenjangan antara dunia pendidikan dan


duniakerja., bukanlah semata mata isebebakan oleh dunia pendidikan itu sendiri,
melainkan juga ada yang datang dari faktor dunia kerja itu sendiri. Jumlah antara
angkatan kerja ( lulusan sekolah), dan lapangan kerja yang tersedia tidak seimbang.
Kesenjangan kultural lebih ditunjukan kepada ketidak mampuan peserta didik
memahami persoalan persoalan yang di hadapi dan dirasakan masyarakat/bangsa
dimasa kini dan mendatang. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah
sekolah tidak mampu memberikan kesadaran cultural histeris kepada peserta didik.
Peserta didik tidak lagi memiliki historycalroolts dan culturalroots dari berbagai
persoalan yang dihadapi. Disamping masih terwarisi mental priyayi dikalangan
generasi muda kita, yaitu mereka ddalam menulis pekerjan lebih berorientasi kepada
white colar daripada blue colar (suharno, 2004).

Jhon simmon (1993) dalam suharno (2004) telah memprediksikan bahwa


hasil pendidikan tradisional semacam itu hanya akan menghasilkan lulusan yang
menjadi pngikut pemimpin. Jenis pekerjaan yang mereka pilih pun bersifat rutin dan
formal, bukan pekerjaan yang memerlukan banyak inisiatif, kreatifitas, dan
entreprenership.

Kensenjangan antara ilmu pengetahuan yang diberikan sekolahan,(school


knowledge) dan pengetahan luar sekolah(out shool knowledge) semakin melebar.
Pendidikan masakini dan yang akan datang dihadapkan pada tantangan yang sangat
berat sebagai akibat adanyaterobiosan dibidang teknologi informasi dan komunikasi
tersebut. Menurut Gardner (2000) dan Naisbitt (1996) dalam (Hayat, 2005) arah dan
pendeekatan pendidikan manusia telah mengalami prgeseran yang tidak dapat
dielakan. Beberapapergeseran arah dan pendekartan terseburt, baik yang bersifat
filosofi, subtantif, ( isi pendidikan), maupun pedagogis (proses pendodikan)
mencakup antara lain hal hal sebagai berikut.

1. Peran guru sebagai knowledge agent bergeser menjadi learning agent,


yang mendorong, membantu, dan mengerahkan peserta didik untuk
mwngLmi proses pembelajaran sesuai dengan minat, bakat, potensi,
perkembangan fisik, dan psikologisnya, dalam hal ini dibutuhkan sosok
gru yang mampu memahami potensi peserta didik dengan baik sehingga
mampu melayani psr didik ssuiengan kebutuhan dan kaakteristiknya.
2. Proses pendidikan berbass teknoligi informasi da komunikasi
menjadikebiasaan dan cara berfikir (habits of mind) peserta didik di
dominasi oleh cara kerja komputer. Cara berfikir prosedural yang bersifat
eksplisit dan tepat akan diperkuat, sementara aspek pertimbangan estetika
dan etika dimarginalisasi. Karenaguru harus mampu mengimbngi
keadaan ini, peserta didik mempunyai keseimbangan antara bpikir logika
dan etika sertaestetika.
3. Teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan dilakukannya
proses pendidikan individual yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan
tahapan penguasaan peserta didik. Guru harus mampu mengemas
teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran
yang berbasi individual senhuingga peserta didik mampu berkembang
secra maksimal.
4. Dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi, peserta didik akan
dapat melek budaya (culturallitercy) scara instant. Dengan bantuan
teknoligi komputer, peserta didik dapat dengan cepat mengakses segala
informasi didunia yang dia pelukan. Peserta didik tidak perlu memerlukan
waktu yang ama untuk mecari informasi tentang demografi korea grun
sahara, dan kehidupan di antartika. Semua infomasi tersedia dan tersaji di
hadapan peserta didik sebagai kenyataan maya (virtual relity). Kondisi ini
dapat menjadi anugerah disatu sisi dan mugkin bencana disis lain apabila
akses terhadap informasi tersebut dilakuann dengan filterisai budaya yang
memadai. Nilai informasi ditentukan oleh relevansinya dengan
kebutuhannnya proses pendidikan peserta didik. Damal konteks ini
diperlukan sososk guru yang mampu menguasau pembelajaran yang
berbasis multimedia sehingga dapat memudahkan dalam menyampaikan
suatu konsep pembelajaran.
5. Perkembangan ilmu komputer yang berbasis kecerdasan buatan
(artivicialintelligence) dan realitasmaya( pirtualreality) telah membayangi
proses pendidikan , dimana program pendidkan yang semula dirancang
dan dilakukan olhe manusia digantikan oleh perangkat lunak yang
dirancang oleh manusia. Proses pembelajaran interaktif yang mirip
dengan interaksi manusia dapat dilekukan dengan perangkat lunak yang
berbasis kecerdasan buatan. Demikian juga, pengalaman untuk mengnjugi
tempat tertentu yang jah dari tempat peserta didik belajar dapat dilakukan
mealui realitas maya didepan omputer.
6. Pendidik yang secra konfensional diarahkan agar lulusan lembaga
pendidikan dapat memperoleh pekerjaan reguler selam masa dewasanya
secra produktif dianggap telah mengurangi kelenturan pasar kerja.
Pekerjaan yang dilakukan secara manual dan algoritmik ole teaga
manusia kini dilakukan oleh mesinotomatis. Mobilitas pasar kerja dengan
keragaman kompetensi telah mendorong anak untuk bergerak baik secara
manasuka maupun keharusan dari satu bidang kebidang lain, dari satu
prusahan ke perusahaan lain, maupun dari satu sektorekonomi lainya.
Ompetensi yang diperlukan pasarkerja kini bergerak dari spesialisai yang
terfokus kegeneralis yang multi disiplin.

Dengan terjadinya pergeseran pendekatan dan fungsi pendidikan di era


teknologi informasi dan komunikasi, posisi sekolah sebagai institusi pendidikan mengalami
orientasi baru. Orientasi sekolah sebagai institusi ilmu pengatahuan bagi generasi muda
tidak lagi cukup untuk megahdapi tantangan perkemabangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sekolah kini berfunsi sebagai institusi yang memungkinkan peserta didik
mengakses, menginterpretasi, mengkritik, mengkreasi, dan menggunakan ilmu pengetahuan
bagi dirinya dan orang lain, serta mememungkinkan peserta didik mengembangkan
kapasitas untuk belajar sepanjang hayat. Sekolah merupakan landasan pacu bagi peserta
didik untuk terus menerus blajar dan mengembangkan keingintahuannyabagi kepentingan
dirinay agar tetap hidup dalam duia yang dinamis dan pensuh erubahan. Sekolah menjadi
organisasi pembelajaran ( learning organization) yang memungkinkan semua warga sekolah
memiliki kesadaran untuk terus secara bersama sama mengembangkan kapasitas
kemampuannya.

Dengan mengadopsi pendekatan organisai pembelajaran, sekolah harus


menjadi institusi dimana semua warga sekolah secara berkelanjutan meperluas kapasitas dan
kemampuannya untuk menciptakan hasil pendidikan yang diininkan, dimana polaberpikir
baru dan eksfansip di tumbuhkan dimana aspirasi kolektif memiliki ruang, dan dimana
warga sekolah secara bersama berkelanjutan belajar bagaimana cara belajar besama.
Perubhan berkelanjutan yang dilakukan oleh sekolah hanya mungkin terjaadi apabila semua
pihak memiliki komitmen terhadap pembelajaran sekolah pembelajran adalah sekolah yang
melakukan proses perbaikan secara berkelanjutan melalui pengetahuan dan pemahaman
yang lebi baik, serta melakukan proses pendeteksian dan perbaikan terhadap kesalahan yang
dianggap kurang tepat.

Menurut Garvin dalam Hayat (2005), sekolah sebagai organisasi


pembelajaran bertumpu pada lima aktivitas utama berikut.

1. Pemecah masalah secara sistem. Dalam mengidentifiikasi dan


merumuskan serta memecahkan setiap masalah yang muncul, sekolah
menggunakan cara berfikir ilmiah dengan dukungan data empirik
yang tersedia. Identifikasi masalah tidak didasarkan pada prakiraan
yang berdasar asumsi. Setiap masalah yang muncul di sekolah
memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan konteks dan lingkungan
tempat kita berada.
2. Uji coba. Sekolah jangan segan dan ragu untuk selalu mencari dan
mencoba cara, pendekatan, prosedur, serta gagasan baru untuk
memperbaiki keadaan. Aktivitas uji coba akan terjadi apabila ada
peluang dan wawasan yang luas dari warga sekolah untk bergerak dan
keluar dari masalah yang di hadapi sekolah. Semua pihak secara
bersama merasa tidak puas terhadap kondisi yang ada dan mencari
serta menguji coba alternatif yang di anggap tebaik.
3. Belajar dari pengalaman. Sekolah selalu mengkaji keberhasilan dan
kegagalan yang di raihnya, misalnya secara sistematis dan mencatat
serta menjadikan pelajaran terpetik tersebut sebagai pengetahuan
bersamawarga sekolah. Kegagalan masa lalu yang di alami sekolah
menjadi pelajaran agar tidak terulang dan menjadi pijakan untuk
mencari alternatif lain. Akumulasi pengalaman dijadikan bahan untuk
selalu mencari terobosan yang lebih inovatif.
4. Belajar dari pihak/orang lan. Sekolah perlu melakukan
perbandingan dengan sekolah atau lembaga lain untuk memperoleh
perspektif baru. Keberhasilan yang di lakukan lembaga lain dapat
dijadikan masukan untuk perbaikan dantolok ukur ( benchmarks).
Konsep steal ideas shamelessly (SIS), mencuri gagasan pihak/orang
lain tanpa malu-malu, merupakan sikap yang sangat penting dalam
proses benchmerking sekolah. Benchmarking merupakan suatu proses
berjalan dan pengalaman belajar yang menjamin pengalaman terbaik
pihak lain dikaji, dinalisis, diadopsi, dan di terapkan. Belajar dari
pihak lain akan terjadi apabila sekolah bersikap terbuka terhadap
berbagai masukan, kritik, dan saran, dari manapun sumbernya.
Keterbukaan merupakan tantangan yang sulit bagi sekolah, sekaligus
merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.
5. Transfer Pengetahuan. Agar pembelajaran terjadi pada semua warga
sekolah, pengetahuan baru harus di sebarkan secara cepat dan efisien
pada warga sekolah. Gagasan baru akan mempunyai dampak yang
maksimal bagi perubahan apabila di pahami secara meluas dan
mendalam oleh semua warga sekolah. Berbagai bentuk komuikasi
informasi antarwarga sekolah harus di bangun, baik dalam bentuk
media tulis seperti buletin, sirkulasi informasi, papan informasi,
maupun dalam bentuk pertemuan atau forum regular antar warga
sekolah. Sekolah sebagai oragnisasi pembelajran mendorong warga
sekolah untuk secara aktif dan proaktif melakukan pertukaran
inforasi, gagasan, pengetahua, dan pengalaman.
Sekolah harus mampu berfugsi sebagai pusat pembudayaan, demikian
dapat mewujudkan sitem pendidikan nasional yang berfungsi mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Sampai sekarang walaupun sudah ada UU No.
20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, sekolah kita belum dapat didayagunakan
untuk menjadi pusat pembudayaan. Pada umumnya, sekolah kita sampai sekarang baru
dapat menjadi tempat untuk memperoleh pengetahuan, yang umumnya untuk dihafal bukan
untuk digunakan sebagai wahana untuk memecahakan masalah yang di hadapi dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, anggota masyarakat dan sebagai warga nergara
seta warga dunia (Soedijarto, 2006).
Sementara itu, Departemen Pendidikan Nasional dalam renstranya menyatakan bahwa
prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan adalah :
1. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjujung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemuka bangsa;
2. Satu kesatuanyang sistematik dengan sistem terbuka dan
multimakna, diselenggarakan sebagai sutu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat;
3. Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses
pembelajaran;
4. Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi
segenap warga masyarakat;
5. Pendidikan di selenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelengaraan
dan pengadilan mutu layanan pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka di tetapkanlah tujuan


pembangunan pendidikan nasional jangka menengah sebagai berikut:

1. Meningkatkan iman, takwa, dan akhlak mulia;


2. Meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi;
3. Meningkatkan sensitivitas dan kemampuan ekspresi estetis;
4. Meningkatkan kualitas jasmani;
5. Meningkatkan pemerataan kesenptan belajar pada semua jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan bagi sema warga negarasecara adil, tidak
diskriminatif, dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status
sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan
fisik, enosi, mental serta intelektual;
6. Menuntaskan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun secara
efisien, bermutu, dan relavan sebagai landasan yang kokoh bagi
pengembangan kualitas manusia Indonesia;
7. Menurunkan secara segnifikan jumlah penduduk buta aksara;
8. Memperluas akses pendidikan nonformal bagi penduduk laki-laki
maupun permpuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta
aksara, putus sekolah dalam dan antarjenjang serta penduduk lainnya
yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan;
9. Meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilakan lulusan yang
mandiri, bermutu, terampil,ahli dan profesional, mampu belajar
sepanjang hayat,serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu
dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahaan;
10. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan tersedianya standar
pendidikan nasional dan standar pelayanan minimal (SPM), serta
meningkatkan kualifikasi minimum dan sertifikasi bagi tenaga
kependidikan lainya;
11. Meningkatkan relevansi pendidikanyang sesuai dengan kebutuhan
pembagunan melalui peningkatan hasil penelitian, pengembangan, dan
penciptaan ilmu pengetahuan,dan teknologi oleh perguruan tinggi serta
penyebarluasan dan penerapan pada masyarakat;
12. Menata sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin
efisien, produktif, dan demokratis dalam suatu tata kelola yang baik dan
akuntabel;
13. Menigkatkan efisien dan efektifitas manajemen pelayanan pendidikan
melalui peningkatan pelaksanan manajemen berbasis sekolah, peran serta
masyarakat dalam pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanan
otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan;
14. Mempercepat pemberantasan korupsi, kolsi, dan nepotisme untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Untuk dapat menjalankan amanat terhadap pebangunan pendidikan


nasional, maka diperlukan kejelasan arah. Untuk itu pemerintah sudah menuangkan kedalam
visi, misi, dan tat nilai yag harus di jalankan. Visi Pendidikan Nasional adalah terwujudnya
sistem pendidikan sebagai pranta sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan
semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga
mampu dan proaktif menjawab semua tantangan zaman yang selalu berubah. Sementara itu,
misi Pendidikan Nasional adalah:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh


pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Membantu dan memfasiltsi pengembangan potesi anak bangsa secar
utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan
masyarakat belajar;
3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan
untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga
pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan,
ketram[lan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar
nasional dan global;dan
5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelengaraan
pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara
Kesatuan RI.

Untuk mewujudkan prinsip tersebut, pemerintah menetapkan tiga pilar


kebijakan pendidikan, yaitu :

1. Upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan;


2. Peningkatan mutu. Relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan;
3. Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan
pendidikan.
Tiga pilar kebijakan pendidikan diatas dapat tercapai jika seluruh komponen
yang menangani pendidikan, baik yang berada di pusat aupun di daerah dapat bersinergi dan
berkolaborasi serta bahu membahu secara terpadu. Tanpa semua itu rasanya sulit hal di atas
dapat tercapai.
GURU DAN PERMASALAHANNYA

A. Peran Guru dari Masa ke Masa

Kapan guru itu lahir? Kapan guru itu ada? Pertanyaan mendasar yang membutuhkan
jawaban mendasar pula. Guru lahir dan ada semenjak manusia itu ada di muka bumi. Karena
begitu manusia itu ada dalam kehidupan, sesungguhnya proses pendididkan itu terjadi.
Proses pendidikan dalam arti proses internalisasi dan sosialisasi suatu nilai dari orang
dewasa kepada orang yang dianggap perlu menerima suatu nilai. Dalam pembahasan ini
tentu tidak akan dibahas bagimana proses pendidikan itu berlangsung dan bagaimana peran
pendidik (guru) dalam proses tersebut dari satu zaman ke zaman yang lain. Tulisan ini akan
difokuskan pada bagaimana peranan guru Indonesia dalam bingkai sejarah Negara Republik
Indonesia, dari masa penjajahan sampai ke alam kemerdekaan dengan berbagi situasi dan
kondisi.

1. Peran Guru pada masa Penjajahan

Pada masa penjajahan guru tampil dan ikut mewarnai perjuangan bangsa indonesia.
Semangat kebangsaan indonesia tercermin dan terpatri daripada guru pada masa penjajahan
tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari lahirnya organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada
zaman Belanda pada tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda. Organisasi
ini merupakan kumpulan dari guru bantu, guru desa, kepala sekolah dan penilik sekolah.

Dengan semangat perjuangan dan kebangsaan yang menggelora, para guru pribumi
menuntut persamaan hak dan kedudukan dengan pihak Belanda. Sebagai salahsatu bukti
dari perjuangan ini adalah Kepala HIS yang sebelumnya selalu dijabat oleh orang Belanda,
bergeser ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan guru terus bergelora dan
memuncak serta mengalami pergeseran cita-cita perjuangan yang lebih hakiki lagi, yaitu
Indonesia merdeka.

Pada tahun 1932 Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) berubah menjadi
Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan nama ini merupakan suatu langkah berani dan
penuh resiko, karena mengusung nama Indonesia dimana Belanda tidak suka dengan kata
tersebut yang dianggap mengobarkan semangat kebangsaan. Namun, dengan semangat
nasionalisme yang tinggi serta dorongan untuk hidup merdeka menjadikan organisasi ini
tetap eksis sampai pemerintahan kolonial Belanda berakhir.

Ketika pemerintahan kolonial Jepang berkuasa, segala organisasi yang dianggap


membahayakan keberadaan pemerintah kolonial Jepang dilarang, termasuk Persatuan Guru
Indonesia (PGI). Praktis selama pemerintahan kolonial Jepang PGI tidak dapat melakukan
aktivitasnya dengan terbuka.
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa peran guru pada masa penjajahan
sangat penting dan mempunyai nilai yang sangat strategis dalam membangkitkan semangat
kebangsaan Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Dengan peran guru sebagai pengajar
dan pendidik yang berhadapan langsung dengan para siswa, maka guru bisa secara langsung
menanamkan jiwa nasionalisme dan menekankan arti penting sebuah kemerdekan bagi
bangsa Indonesia.

2. Peran Guru Pada Masa Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menjadikan peran guru dalam kehidupan


berbangasa, bernegara, dan bermasyarakat lebih terbuka dan maksimal. Dengan semangat
proklamasi para guru bersepakat menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia yang
berlangsung tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Dalam kongres tersebut disepakati
untuk menghilangkan segala perbedaan latar belakang yang ada pada guru, seperti
perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, daerah asal, politik, agama, dan suku. Mereka
melebur dalam suasana ke-Indonesiaan dan siap mengabdi demi kemajuan bangsa dan
Negara Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Melalui kongres ini didirikan Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) tepatnya tanggal 25 November 1945.

PGRI lahir dalam suasana revolusi dimana bangsa Indonesia masih menghadapi
Sekutu yang ingin mengambil alih kembali Indonesia merdeka. Melalui siaran RRI
Surakarta, para guru bersatu dan siap mengisi kemerdekan dengan tiga tujuan: (1)
mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; (2) mempertinggi tingkat
pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan ; (3) membela hak dan
nasib buruh umumnya, dan guru pada khususnya. Dari tiga tijuan diatas, dapat disimpulkan
bahwa PGRI sangat serius terhadap masalah nasib bangsa ke depan menuju Indonesia
merdeka yang sejahtera, adil, dan makmur.

Dengan Kongres Guru Indonesia, maka semua guru yang ada di Indonesia melebur
dan menyatu dalam suatu wadah atau Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kini
tidak ada lagi sekat-sekat guru karena perbedaan latar belakang guru. Melalui organisasi
PGRI, guru Indonesia siap berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat guru, sekaligus
harkat dan martabat bangsa Indonesia.

PGRI sebagai organisasi perjuangan, oraganisasi profesi, dan organisasi


ketenagakerjaan terus mengalami dinamika, baik yang disebabkan faktor internal maupun
faktor eksternal. Faktor internal terus muncul seiring dengan tuntutan perbaikan nasib guru
yang diakui masih sangat rendah. Bahkan guru sering diidentikkan dengan Umar Bakri yang
oleh penyanyi Iwan Fals digambarkan sebagai sosok guru yang serba minim kehidupannya
dengan sepeda kumbangnya. Sementara itu, faktor eksternal, terutama dinamika sosial
politik nasional juga ikut mewarnai perjalanan organisasi PGRI. Kadang pengaruh itu
positif, tetapi tidak jarang kadang negatif yang menyeret organisasi PGRI ke hal-hal yang
kurang menguntungkan.

Perjuangan PGRI sebagai wadah para guru semakin eksis dengan diterapkannya
kelahiran PGRI tanggal 25 November 1945 sebagai Hari Guru Nasional yang diperingati
setiap tahun melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994. Melalui keputusan
Presiden ini PGRI semakin terbuka lebar untuk berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegar. Namun, seiring dengan terbukanya kiprah ini, PGRI pernah terseret
ke dalam kepentingan penguasa melalui kedekatannya dengan partai politik tertentu. Dan
sebagai Hadiah politik PGRI mendapat jatah kursi di MPR melalui Utusan Golongan.

Ketika angin reformasi berhembus dan kran kebebasan terbuka lebar, para guru lebih
berani berekspresi untuk menyampaikan aspirasinya, terutama menyangkut kesejahteraan.
Pemandangan yang tidak pernah terjadi dalam pemerintahan Orde Baru, yakni guru
berdemonstrasi kini dengan alasan kebebasan dan reformasi guru berani turun ke jalan
menuntut perbaikan kesejahteraan bahkan sampai berani menuntut Menteri Pendidikan
Nasional Yahya Muhaimin untuk mundur dari jabatannya karena dianggap tidak mampu
memperjuangkan nasib guru, kurang memiliki keberanian untuk melakukan proses
demokrasi pendidikan nasional, dan tidak mampu meningkatkan citra birokrasi pendidikan
yang berwibawa sebagai salah satu dasar perbaikan sistem pendidikan nasional (Ki
Supriyoko, Oemar Bakri Menurunkan Menteri, Kompas: 7-3-2000).

Lebih lanjut Ki Supriyoko berpendapat bahwa gaji guru di Indonesia tergolong


sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga apalagi negara maju. Rendahnya gaji
guru disebabkan APBN yang dialokasikan untuk sektor pendidikan masih sangat rendah,
yakni kurang dari 10 %. Dengan alokasi APBN seperti ini rasanya sulit untuk meningkatkan
kesejahteraan guru. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah berani mengambil kebijakan
untuk menaikkan APBN pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 31 ayat 4 UUD
1945.

Tuntutan akan kesejateraan guru perlahan tetapi pasti ternyata di respons oleh
pemerintah. Namun, tampaknya pemerintah menempatkan peningkatan kesejahteraan guru
dalam konteks kompetensi. Hal ini dapat di lihat dari beberapa indikator. Pertama,
pencanangan guru sebagai profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 2
Desember 2004. Kebijakan ini adalah suatu langkah maju menuju perbaikan kesejahteraan
guru sekaligus tuntutan kualifikasi dan kompetensi guru, guna menjawab tantangan dunia
global yang semakin kompleks dan kompetitif. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sumber
daya manusia yang andal dan ini bisa dihasilkan dari dunia pendidikan yang dikelola oleh
guru yang profesional. Kedua, ditetapkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Melalui UU ini di atur hak dan kewajiban guru yang muaranya adalah
kesejahteraan dan kompetensi guru. Ketiga, lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah ini juga mensyaratkan
adanya kompetensi, sertifikasi, dan kesejahteraan guru. Keempat, UU nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen yang telah disahkan tanggal 6 Desember 2005. UU ini juga
menekankan tiga aspek penting dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dilihat
dari tenaga pendidik dan kependidikan, yakni kualifikasi, sertifikasi, dan kesejahteraan.

Kini kesejahteraan guru sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah, bahkan untuk
daerah tertentu, seperti DKI Jakarta, kesejahteraan guru sudah dianggap cukup dengan
adanya tunjangan kesejahteraan dari Pemda DKI Jakarta. Sejalan dengan peningkatan
kesejahteraan guru di Indonesia, kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi para guru sudah
saatnya ditingkatkan. Para guru harus mampu mengubah paradigma berpikir dan bertindak
dala menjalankan tugas sebagai pengajar dan pendidik. Ke depan guru tidak terjebak pada
rutinitas tugas belaka, tetapi secara terus-menerus guru mampu meningkatkan kualitas
mengajar dan mendidiknya sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dapat
meningkat. Hal ini disebabkan guru berada di garda terdepan dalam peningkatan mutu
pendidikan.

Oleh karena itu, dibutuhkan kesejahteraan pribadi dan profesional guru yang
meliputi : (1) imbal jasa yang wajar dan proporsional; (2) rasa aman dalam melaksanakan
tugasnya; (3) kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana
kehidupannya; (4) hubungan antar pribadi yang baik dan kondusif; (5) kepastian jenjang
karier dalam menuju masa depan yang lebih baik (Surya, 1999).

B. Guru dan Tantangan Globalisasi

Globalisasi telah mengubah cara hidup manusia sebagai individu, sebagai warga
masyarakat dan sebagai warga bangsa. Tidak seorang pun yang dapat menghindari dari arus
globalisasi. Setiap individu dihadapkan pada dua pilihan, yakni dia menempatkan dirinya
dan berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi, atau dia menjadi korban
dan terseret derasnya arus globalisasi. Arus globalisasi juga masuk dalam wilayah
pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik positif maupun negatif. Dalam
konteks ini tugas dan peranan guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan sangat berperan.

Tugas dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan
dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan guru di sekolah
diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap
menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi.
Sekarang dan ke depan, sekolah (pendidikan) harus mampu menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas, baik secara keilmuan (akademis) maupun secara sikap mental.
Oleh karena itu, dibutuhkan sekolah yang unggul yang memiliki ciri-ciri : (1) kepala sekolah
yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan
pendidikan; (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah
dirumuskan dengan jelas; (3) guru-guru yang kompeten dan berjiwa kader yang senantiasa
bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif; (4) siswa-siswa yang
sibuk, bergairah, da bekerja keras dalam mewujudkan perilaku pembelajaran; (5)
masyarakat dan orang tua yang berperan serta dalam menunjang pendidikan (Louis V.
Gerstner, Jr., dkk, 1995 dalam Zainal Aqib).

Beberapa tantangan globalisasi yang harus disikapi guru dengan mengedepankan


profesionalisme adalah sebagai berikut :

1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan mendasar.
Dengan kondisi ini guru harus bisa menyesuaikan diri dengan responsif, arif dan
bijaksana. Responsif artinya guru harus bisa menguasai dengan baik produk iptek,
terutama yang berkaitan dengan dunia pendidikan, seperti pembelajaran dengan
menggunakan multimedia. Tanpa penguasaan iptek yang baik, maka guru akan
tertinggal dan menjadi korban iptek serta menjadi guru yang isoku iki.
2. Krisi moral yang melanda bangsa dan negara indonesia.
Akibat pengaruh iptek dan globalisasi telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang ada
dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tradisional yang sangat menjunjung tinggi
moralitas kini sudah bergeser seiring dengan pengaruh iptek dan globalisasi.
Pengaruh hiburan baik cetak maupun elektronik yang menjurus pada hal-hal
pornografi telah menjadikan remaja tergoda dengan kehidupan yang menjurus pada
pergaulan bebas dan materialisme. Mereka sebenarnya hanya menjadi korban dari
globalisasi yang selalu menuntut kepraktisan, kesenangan belaka (hedonisme) dan
budaya instan.
Salah satu survei yang dilakukan lembaga di Yogyakarta menunjukkan angka yang
mengkhawatirkan, yaitu sekitar 10% siswa tingkat SMP di Kota itu pernah
berhubungan badan (M. Idris, 2004). Tentu saja hasil survei tersebut mengejutkan
kita semua, mengingat rata-rata usia SMP 12-15 tahun, suatu usia yang masih belum
waktunya untuk melakukan suatu hubungan seperti layaknya suami istri. Di samping
itu, kita mengenal bahwa Yogyakarta merupakan kota pelajar. Ini sangat ironis bila
dihubungkan dengan kenyataan yang ada. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
arus globalisasi, terutama yang bersifat negatif, bila tidak hati-hati akan
menghancurkan generasi muda dengan perilaku-perilaku yang menyimpang.
3. Krisis sosial, seperti kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan kemiskinan yang
terjadi dalam masyarakat.
Akibat perkembangan industri dan kapitalisme maka muncul masalah-masalah sosial
yang ada dalam masyarakat. Tidak semua lapisan masyarakat bisa mengikuti dan
menikmati dunia industri dan kapitalisme. Mereka yang lemah secara pendidikan,
akses, dan ekonomi akan menjadi korban ganasnya industrialisasi dan kapitalisme.
Ini merupakan tantangan guru untuk merespons realitas ini, terutama dalam dunia
pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang formal sudah mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat harus mampu menghasilkan peserta didik yang siap
hidup dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Dunia pendidikan harus menjadi
solusi dari suatu masalah sosial (kriminalitas, kekerasan, pengangguran, dan
kemiskinan) bukan menjadi bagian bahkan penyebab dari masalah sosial tersebut.
4. Krisis identitas sebagai bangsa dan negara Indonesia.
Sebagai bangsa dan negara di tengah bangsa-bangsa di dunia membutuhkan identitas
kebangsaan (nasionalisme) yang tinggi dari warga negara Indonesia. Semangat
nasionalisme dibutuhkan untuk tetap eksisnya bangsa dan negara Indonesia.
Nasionalisme yang tinggi dari warga negara akan mendorong jiwa berkorban untuk
bangsa dan negara sehingga akan berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Dewasa ini ada kecenderungan menipisnya jiwa nasionalisme di kalangan generasi
muda. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator, seperti kurang apresiasinya
generasi muda pada kebudayaan asli bangsa Indonesia, pola dan gaya hidup remaja
yang lebih kebarat-baratan, dan beberapa indikator lainnya. Melihat realitas di atas
guru sebagai penjaga nilai-nilai termasuk nilai nasionalisme harus mampu
memberikan kesadaran kepada generasi muda akan pentingnya jiwa nasionalisme
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
5. Adanya perdagangan bebas, baik tingkat ASEAN, Asia Pasifik, maupun dunia.
Kondisi di atas membutuhkan kesiapan yang matang terutama dari segi kualitas
sumber daya manusia. Dibutuhkan SDM yang andal dan unggul yang siap bersaing
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dunia pendidikan mempunyai peranan yang
penting dan strategis dalam menciptakan SDM yang digambarkan seperti di atas.
Oleh karena itu, dibutuhkan guru yang visioner, kompeten, dan berdedikasi tinggi
sehingga mampu membekali peserta didik dengan sejumlah kompetensi yang
diperlukan dalam kehidupan ditengah-tengah masyarakat yang sedang dan terus
berubah.

C. Mengubah Paradigma Para Guru

Salah satu faktor utama yang menentukan mutu pendidikan adalah guru.
Gurulah yang berada di garda terdepan dalam menciptakan kualitas sumber daya
manusia. Guru berhadapan langsung dengan para peserta didik di kelas melalui
proses belajar mengajar. Ditangan guru lah akan dihasilkan peserta didik yang
berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan emosional, dan moral
serta spiritual. Dengan demikian, akan dihasilkan generasi masa depan yang siap
hidup dengan tantangan zamannya. Oleh karena itu, diperlukan sosok guru yang
mempunya kualifikasi, kompetensi, dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan
tugas profesionalnya.
Apalagi dalam perubahan kurikulum yang menekankan kompetensi, guru
memegang peranan penting terhadap implementasi KTSP, karena gurulah yang pada
akhirnya akan melaksanakan kurikulum di dalam kelas. Guru adalah kurikulum
berjalan. Menurut mantan Menteri Pendidian dan Kebudayaan Fuad Hasan, sebaik
apapun kurikulum dan sistem pendidikan yang ada, tanpa didukung oleh mutu guru
yang memenuhi syarat, maka semuanya akan sia-sia (Kompas, 15 April 2004).
Peningkatan mutu pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di
bidang kurikulum saja, tetapi harus juga di ikuti dengan peningkatan mutu guru di
jenjang tingkat dasar dan menengah. Tanpa upaya meningkatkan mutu guru,
semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang di inginkan.
Realitas menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih
memprihatinkan. Input guru di Indonesia sangat rendah. Data Balitbang Depdiknas
(1999) menunjukkan dari peserta tes calon guru PNS setelah dilakukan tes bidang
studi ternyata rata-rata skor tes seleksinya sangat rendah. Dari 6.164 calon guru
Biologi ketika di tes Biologi rata-rata skornya hanya 44,96 ; dari 396 calon guru
Kimia ketika di tes Kimia rata-rata skornya hanya 43,55 ; dari 7.558 calon guru
Bahasa Inggris rata-rata skornya hanya 37,57 ; dari 7.863 calon guru matematika
ketika di tes matematika rata-rata skornya hanya 27,67 ; dan dari 1.164 calon guru
Fisika ketika di tes Fisika rata-rata skornya hanya 27,35. Data Balitbang Depdiknas
tahun 2001 juga menunjukkan guru SD (Negeri dan Swasta) yang dinilai layak
mengajar hanya 38% dari 1.141.168 guru se-Indonesia. Begitu pula untuk jenjang
menengah, jumlah guru yang dinilai layak mengajar masih dibawah 70% (Kompas,
25 Januari 2004).
Untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan
ketidakpastian, dibutuhkan guru yang visioner dan mampu mengelola proses belajar
mengajar secara efektif dan inovatif. Diperlukan perubahan strategi dan model
pembelajaran yang sedemikian rupa memberikan nuansa yang menyenangkan bagi
guru dan peserta didik. Apa yang dikenal dengan sebutan Quantum Learning dan
Quantum Teaching, pada hakikatnya adalah mengembangkan suatu model dan
strategi pembelajaran yang seefektif mungkin dalam suasana yang menyenangkan
dan penuh gairah serta bermakna.

Di masa lalu dan mungkin sekarang, suasana lingkungan belajar sering


dipersepsikan sebagai suatu lingkungan yang menyiksa, membosankan, kurang
merangsang dan berlangsung secara monoton sehingga anak-anak belajar secara
terpaksa dan kurang bergairah. Di lain pihak para guru juga berada dalam suasana
lingkungan yang kurang menyenangkan dan sering kali terjebak dalam rutinitas
sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan perubahan paradigma (pola pikir) guru, dari
pola pikir tradisional menuju pola pikir profesional. Apalagi lahirnya Undang-
undang Guru dan Dosen menuntut sosok guru yang berkualitas, berkompetensi dan
bersertifikasi.
Sementara itu, menurut Mulyasa (2005) sedikitnya ada tujuh kesalahan yang
sering dilakukan guru dalam pembelajaran, yaitu (1) mengambil jalan pintas dalam
pembelajaran; (2) menunggu peserta didik berperilaku negatif; (3) menggunakan
destructive discipline; (4) mengabaikan perbedaan peserta didik; (5) merasa paling
pandai dan tahu; (6) tidak adil (diskriminatif); (7) memaksa hak peserta didik.
Beberapa paradigma baru yang harus diperhatikan guru dewasa ini adalah
sebagai berikut :
1. Tidak terjebak pada rutinitas belaka, tetapi selalu mengembangkan dan
memberdayakan diri secara terus menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan
kompetensinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar,
lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan terjebak pada aktivitas datang,
mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangkan potensi
diri secara maksimal.
2. Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran
yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat
menggairahkan motivasi belajar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai
macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses
belajar-mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif dan menyenangkan.
3. Dominasi guru dalam pembelajaran, dikurangi sehingga memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam
proses belajar mengajar.
4. Guru mampu memodifikasi dan memperkaya bahan pembelajaran sehingga
peserta didik mendapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi.
5. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu
profesi yang menyenangkan.
6. Guru mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yag mutakhir
sehingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi
terkini.
7. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat luas dengan
selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas
yang tinggi.
8. Guru mempunyai visi ke depan dan mampu membaca tantangan zaman sehingga
siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan
kecakapan dan kesiapan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai