Anda di halaman 1dari 12

4 Hal yang Perlu Direfleksi

Guru Indonesia
October 4, 2015 Luna Cahya 27 Comments

Halo semuanya, selamat Hari Pendidikan Nasional! Pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit berbagi
pandangan tentang dunia pendidikan, khususnya peran guru dalam proses belajar siswa. Sebelum di Zenius,
saya sempat berkecimpung di dunia pendidikan selama 5 tahun, baik sebagai mahasiswi jurusan pendidikan,
guru, dan juga wali kelas. Nah, berdasarkan dari pengalaman tersebut, dalam peringatan hari
pendidikan nasional kali ini, saya mau sedikit berbagi pandangan dan pengalaman saya tentang dunia
pendidikan Indonesia secara umum, khususnya peran guru dalam mengajar.

Ngomong-ngomong soal hari pendidikan, biasanya peringatan hari pendidikan itu jadi moment untuk
memberikan dukungan kepada profesi guru sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap peran dan kontribusi
guru dalam mendidik dan membangun generasi yang lebih baik. Memang nggak bisa dimungkiri, peran guru
sangatlah besar dalam kehidupan sosial bermasyarakat, terutama untuk membangun peradaban dan generasi
masa mendatang yang lebih baik. Nah, justru karena peran besarnya itulah... pada peringatan hari
pendidikan nasional ini, saya ingin mencoba mengajak kita semua (khususnya para guru) untuk merefleksi
bersama, terutama tentang sejauh mana peran seorang guru dalam membangun semangat belajar kepada para
muridnya.
Mungkin sudah bukan hal baru lagi kalo saya mengatakan bahwa profesi guru masih dipandang sebelah mata
di Indonesia. Sedikit-banyak mungkin karena masyarakat Indonesia umumnya beranggapan bahwa tugas
seorang guru hanya sekadar mengajar di depan kelas dan memberi tugas kepada murid. Tapi menurut saya
pribadi, tugas utama seorang guru bukan hanya mengajar, tapi juga memberi contoh, inspirasi, dan yang paling
penting adalah membuat murid senang belajar serta menikmati proses belajar itu sendiri.

Dalam perspektif ini, saya berpendapat bahwa tolak ukur keberhasilan seorang guru itu bukan ditentukan oleh
kepala sekolah maupun orangtua, tapi justru oleh murid-muridnya. Keberhasilan guru utamanya tercermin
pada perubahan positif yang dialami oleh murid-muridnya. Perubahan positif itu bisa jadi macam-macam
indikatornya, dari mulai pemahaman murid akan materi pelajaran, rasa antusias murid dalam mengikuti proses
pembelajaran, dan yang paling penting adalah sejauh mana murid menikmati proses belajar yang dijalaninya
tersebut.
Sayangnya, dari pengalaman saya berkecimpung di dunia pendidikan (baik sebagai siswi, mahasiswi, maupun
guru), tidak semua guru sepakat dengan pandangan saya di atas. Maksudnya, masih banyak guru yang tidak
menjadikan "antusiasme murid dalam belajar" sebagai tolak ukur utama dalam proses mengajar ; tapi
justru menciptakan semacam sistem yang membuat murid-murid belajar dengan penuh keterpaksaan, seperti
pemberian tugas dengan porsi yang tidak wajar, memberi sanksi dan hukuman dengan cara yang kurang tepat
sasaran, dsb.

Dalam prakteknya, saya yakin setiap guru memiliki niat dan tujuan yang baik dalam mendidik murid, saya
juga mengerti bahwa setiap guru memiliki style dan caranya masing-masing dalam menjalankan perannya
sebagai pendidik. Saya sungguh sangat memahami itu karena biar bagaimanapun saya sendiri pernah
menjadi seorang guru dan juga wali kelas. Namun terlepas dari itu, menurut saya ada beberapa 'style' cara
mengajar yang saya kira perlu kita evaluasi lagi bersama. Karena saya khawatir, banyak guru yang mungkin
tidak menyadari bahwa cara mengajar yang selama ini mereka terapkan itu kurang tepat dan bahkan
berdampak negatif bagi para murid.

Okay, terlepas dari apakah pandangan saya ini tepat atau tidak, pada kesempatan kali ini saya hanya ingin
berbagi pendapat dan pandangan saya lebih jauh tentang beberapa pendekatan guru dalam mengajar yang saya
anggap keliru dan malah memberikan efek negatif terhadap murid-muridnya. Perlu saya tekankan
bahwa mungkin beberapa point dalam artikel ini adalah pendapat pribadi saya dan tidak mewakili sudut
pandang Zenius secara umum. Semoga apa yang saya sampaikan dalam kesempatan ini, bisa menjadi refleksi
kita bersama di hari guru nasional ini. Berikut adalah beberapa gaya pengajaran guru yang menurut saya keliru
dan perlu kita refleksi ulang bersama:

1. Tugas dan PR yang tidak tepat


Sebagai seorang yang pernah menjadi guru, saya mengerti bahwa jam mengajar guru di sekolah terkadang
terasa kurang untuk memastikan para murid untuk betul-betul memahami materi yang dibahas. Oleh karena
itulah, guru memberikan PR atau tugas dengan harapan membantu para siswa memahami materi di luar jam
kelas. Secara umum, tujuan guru memberikan PR/tugas kurang-lebih seperti ini:

1. Mengevaluasi materi yang sudah dipelajari di kelas.


2. Mendorong murid untuk berlatih mengerjakan soal.
3. Mendorong murid untuk mendalami pemahamannya untuk topik tertentu.

Di satu sisi, saya juga mengerti maksud dan tujuan guru itu baik dalam memberikan PR atau tugas, tapi saya
kira ada saatnya PR/tugas yang diberikan tidak memberi dampak positif bagi para siswa. Wah, memangnya ada
ya kasus dimana tugas/PR yang tidak memberi dampak positif, contohnya seperti apa? Sebagaimana yang telah
saya sampaikan sebelumnya, yang paling berhak mengevaluasi guru adalah murid-muridnya, jadi coba yuk kita
lihat beberapa curhatan murid zenius di bawah ini:

klik gambar untuk memperbesar


Dari beberapa potongan curhatan murid zenius ini, ada beberapa hal yang menurut saya agak ironis. Kenapa
ironis? Karena tidak sedikit siswa yang justru menganggap bahwa tugas dan PR itu adalah beban yang
menghalangi mereka untuk BELAJAR. Nah loh, padahal kan justru niat guru awalnya memberikan tugas itu
supaya muridnya belajar, tapi dalam beberapa kasus malah menjadi halangan mereka untuk belajar.

Hal menarik berikutnya yang saya lihat adalah hasil survei zenius yang dilakukan pada 22 September 2014
hingga 15 Desember 2014 terkait persepsi siswa mengenai tugas yang diberikan guru mereka. Berikut adalah
hasil 1340 responden pelajar dari berbagai pelosok Indonesia :

Survei zenius Sept - Okt 2014 terhadap 1340 responden siswa seluruh Indonesia terkait pemberian tugas oleh
Guru.

Berdasarkan data di atas, kita bisa melihat bahwa sebetulnya sebagian besar siswa beranggapan bahwa tugas
yang diberikan guru itu penting, tapi lucunya sebagian besar dari responden (dengan persentase yang sama
yaitu 48%) juga berpendapat bahwa tugas dari guru itu membebankan. Dari sini, secara sederhana saya bisa
mengambil kesimpulan bahwa sebetulnya sebagian besar siswa itu tidak bermasalah dengan adanya tugas

dari guru, akan tetapi bentuk tugas/ jumlah / frekuensinya itulah yang menjadi masalah dan
membebani siswa.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oviedo Spanyol, tugas dan PR akan memberikan
dampak positif yang signifikan bagi pemahaman siswa jika tugas dan PR tersebut dirancang agar siswa hanya
membutuhkan waktu sekitar 60 menit dalam proses penyelesaiannya. Menurut penelitian tersebut juga,
efektivitas tugas dan PR ini akan terus berkurang jika waktu penyelesaiannya lebih dari 90 menit. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Stanford Graduate School of Education juga menemukan bahwa mengerjakan PR dan
tugas selama lebih dari tiga jam setiap harinya akan memberikan efek negatif baik secara mental maupun fisik.

Menyingkapi hal ini, saya pribadi berpendapat bahwa PR dan tugas itu bisa jadi hal yang positif, dengan
catatan porsinya wajar. Jika ingin memberikan tugas dan PR yang cukup banyak, sebaiknya guru
memperpanjang tenggat waktu penyelesaian tugas dan PR tersebut mengingat kemungkinan siswa mendapat
tugas dan PR dari guru mata pelajaran lain. Akan jauh lebih baik lagi, jika guru bisa memberikan tugas yang
justru bisa menjadi pemicu siswa untuk menikmati proses belajar itu sendiri, memberi tantangan yang menarik
bagi siswa untuk mencari tau lebih jauh materi yang mereka pelajari, bukan justru menekan siswa untuk harus
belajar.

Di sisi lain, saya juga tau bahwa tugas seorang pelajar ya memang belajar. Tapi perlu kita sadari juga, bahwa
definisi "belajar" bagi anak-remaja tidak hanya sebatas pada dinding ruang kelas, PR, atau tugas dari sekolah
saja. Saya percaya, ada banyak hal di luar sana yang bisa menjadi bahan pembelajaran bagi siswa, di luar
konteks akademis, seperti bersosialisasi, membaca, menonton film yang bermanfaat, berinteraksi lingkungan
sosial, dsb. Intinya, jangan sampai jumlah/frekuensi tugas yang diberikan oleh guru bukan memberikan
dampak positif, tapi membuat siswa merasa jenuh, tertekan, dan malah tidak menikmati proses belajar itu
sendiri.
2. Pendekatan cara mengajar yang
kurang tepat
Mau tidak mau, kita harus mengakui bahwa para siswa seringkali punya pandangan yang terpolarisasi terhadap
cara mengajar guru-gurunya. Sederhananya, ada guru yang dipandang oleh para siswa sebagai guru yang cara
ngajarnya asik, seru, mudah dipahami. Guru-guru seperti ini seringkali menjadi idola murid-murid bahkan jam
pelajarannya ditunggu-tunggu oleh para siswa. Sementara itu, di sisi lain ada juga guru yang dipandang siswa
sebagai guru yang cara mengajarnya membosankan, bikin ngantuk, materinya tidak menarik, dll. Dua bentuk
polarisasi dari cara pandang siswa terhadap gurunya ini memang seringkali ada, bahkan bersifat kolektif. Kalo
ada beberapa anak yang menganggap gurunya ini membosankan, masa satu kelas akan kompak menganggap
guru tsb membosankan.

Menjadi seorang guru,

memang bukan perkara yang mudah. Walaupun guru memiliki niat baik untuk mengajar, mendidik, dan
membagikan ilmunya... ada saja murid yang ngobrol sendiri, ada yang ngelamun, ada yang main hape, ada
yang malah gambar-gambar, dsb. Hal ini tentu membuat guru merasa jengkel, tidak jarang guru memutuskan
untuk mengambil jalan tegas pada segala bentuk tindakan yang tidak menghargai jalannya proses belajar
mengajar. Di satu sisi, saya mengerti bahwa setiap guru ingin merasa dihargai, tidak terlepas juga dengan saya.
Namun di sisi lain, saya kira kita jangan sampai hanya berhenti pada solusi memarahi siswa. Karena sedikit
banyak, hal itu justru akan menambah parah polarisasi cara pandang siswa terhadap guru-gurunya. Udah
gurunya membosankan, galak lagi. Lengkaplah sudah.

Saya rasa, ada banyak cara yang bisa digunakan oleh guru untuk bisa "menguasai kelas", membawa suasana
belajar yang menarik, seru, dan menciptakan atmosfir belajar yang sehat bagi para siswa. Cara untuk
menguasai audience memang tidak mudah. Terus terang, sampai saat ini pun saya masih perlu banyak belajar
untuk bisa membuat nuansa belajar yang positif di kelas. Tapi, sedikit-banyak saya hanya ingin berbagi
beberapa tips yang mungkin bisa jadi masukan bagi guru-guru lain. Moga-moga tips yang saya bagikan ini
bisa berguna bagi rekan-rekan guru yang lain.

A. Bangun interaksi dan hubungan emosional dengan para murid di luar kelas

Saat menjadi seorang guru, saya selalu berusaha untuk tidak membatasi interaksi saya kepada murid dalam
lingkup akademis saja; tetapi saya mencoba memasuki kehidupan mereka. Dari hanya sekadar mendengarkan
keluhan dan curhatan mereka, makan bersama, atau bahkan menyempatkan diri bergaul dengan mereka di
waktu luang... semua itu saya rasa sangat membantu saya untuk membangun nuansa belajar yang positif di
kelas.

Dengan membangun hubungan emosional dengan para murid, saya jadi jauh lebih mudah untuk menguasai
kelas, berinteraksi langsung dengan murid yang saya anggap belum paham, membaca keinginan mereka,
memahami cara mengajar seperti apa yang diharapkan oleh mereka, dsb. Sebaliknya, mereka pun jadi jauh
lebih menghargai saya ketika mengajar, mereka jadi merasa enggan untuk main hape, asik ngobrol sendiri,
atau melakukan tindakan apapun yang menunjukan sikap tidak menghargai usaha saya di kelas. Saya percaya,
di sekolah seorang murid memang perlu memahami pelajaran, sementara seorang guru perlu memahami
murid-murid mereka.

B. Fokus pada bagaimana cara membuat siswa menikmati proses belajar

Menurut pendapat saya pribadi, tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tapi yang lebih penting
adalah membuat murid-muridnya suka belajar. Hal ini mungkin terkesan sepele, tapi menurut saya cara
pandang seperti ini krusial sekali dengan bagaimana cara guru membawa materi di kelas.
Dari pengalaman saya menjadi murid, seorang guru yang berfokus hanya pada konteks "mengajar", mentrasfer
ilmu pada murid-muridnya, membawa misi agar murid-muridnya mampu mengerjakan soal... seringkali justru
kurang berhasil membawa suasana kelas yang positif dan bersemangat untuk belajar. Di sisi lain, seorang guru
yang fokus untuk membangun nuansa belajar yang positif dulu di awal, bercerita dulu tentang berbagai contoh
nyata yang menggambarkan kenapa materi tersebut penting untuk dikuasai, kenapa materi itu menarik dan seru
untuk dibahas... guru semacam ini lebih bisa membangun nuansa kelas yang siap menerima pengajaran,
sehingga proses belajar-mengajar jadi lebih menyenangkan, seru, menarik, tidak membosankan, dan para siswa
jadi lebih termotivasi belajar.

3. Memberi hukuman yang tidak


menyelesaikan masalah.
Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Butuh kesabaran yang luar biasa untuk dapat
mengendalikan emosi dalam mengontrol para siswa. Dari pengalaman saya menjadi guru dan wali kelas,
memang selalu ada-ada saja ulah murid yang menjengkelkan, dari yang sering terlambat, bikin ribut di kelas,
menyontek, lupa mengerjakan PR, dsb. Dalam hal ini, saya mengerti jika guru menggunakan metode hukuman
untuk dapat lebih mudah mengontrol, mengendalikan perilaku siswa, sekaligus memberikan efek jera dan
bentuk peringatan bagi anak-anak yang lain. Di satu sisi, hukuman memang cara yang paling praktis untuk
membuat siswa berhenti melakukan kenakalan. Namun di sisi lain, apakah hukuman yang diberikan betul-betul
dapat menyelesaikan masalah?

Seorang psikolog klinis dari Columbia University, Laura Markham, mengatakan bahwa hukuman tidak selalu
mampu mengubah anak didik menjadi lebih baik, terutama untuk jangka panjang. Sebaliknya, menurut
pendapat Laura, hukuman dari pihak otoritas (guru / orangtua) malah bisa membuat pihak terhukum merasa
rendah diri, hilang kepercayaan, kerenggangan hubungan emosional, perasaan untuk terus memberontak,
bahkan memicu kebohongan-kebohongan untuk menutupi kesalahan lainnya. Saya pikir, hal ini juga bisa jadi
relevan dalam konteks hubungan guru dengan murid. Bentuk hukuman yang tidak tepat sasaran bisa berpotensi
membuat siswa untuk bersikap antipati terhadap guru, bahkan membenci mata pelajaran yang diajarkan.
Dalam konteks ini, saya pribadi berpendapat bahwa sebagai guru, kita perlu mengevaluasi
penerapan "hukuman" sebagai alat kontrol di dalam kelas. Terutama pada siswa yang sedang dalam umur-
umur krusial untuk menumbuhkan rasa kecintaan mereka terhadap sebuah ilmu. Saya pribadi sebetulnya
kurang sepakat dalam bentuk hukuman yang kurang relevan pada penyelesaian masalah. Seperti contohnya
: berdiri di depan kelas dengan satu kaki, lari keliling lapangan 10 keliling, mencabuti rumput, hormat di depan
tiang bendera selama berjam-jam, menulis berulang kalimat "aku tidak akan terlambat" sebanyak 100x, dan
bentuk hukuman sejenisnya yang tidak berfokus pada penyelesaian masalah.

Dalam hal ini, bukan berarti saya berpendapat bahwa tindakan menghukum itu sama sekali tidak perlu.
Memberi hukuman bisa jadi tepat jika proses itu memberikan pengertian bagi siswa bahwa tindakan dia itu
keliru. Berilah hukuman jika itu membuat siswa memahami konsekuensi dan risiko yang relevan dari
tindakannya. Akan jauh lebih baik lagi, jika bentuk hukuman, teguran, sanksi, atau perintah dari guru tersebut
berorientasi pada penyelesaian akar masalah yang sesungguhnya, bukan sekadar menjadi bentuk cara untuk
mengontrol, memberi efek jera, memberi contoh pada siswa lain, apalagi hanya untuk sekadar
melampiaskan emosi dan kejengkelan terhadap murid tersebut.

Saya pribadi dalam prakteknya lebih menyukai pendekatan personal bagi setiap siswa yang bermasalah. Jika
saya menemukan ada murid yang (katakanlah misalnya) sering terlambat, biasanya saya panggil untuk
mengetahui akar permasalahannya. Jika ternyata akar masalahnya itu karena siswa tersebut memiliki kesulitan
mengatur pola tidur, maka saya akan mencoba untuk membantu memberikan arahan, saran, atau mungkin
perintah yang intinya berfokus untuk memberikan solusi terhadap siswa tersebut. Karena saya kira, memberi
hukuman hormat tiang bendera selama berjam-jam tidak akan membantu memberi solusi
dan menyelesaikan masalah seorang anak yang punya kesulitan mengatur pola tidur.

4. Sikap antikritik dan tertutup pada


evaluasi
Point terakhir yang mau saya sampaikan adalah hal yang saya kira perlu kita semua renungkan, termasuk
untuk diri saya sendiri. Menjadi seorang guru terkadang membuat diri kita selalu berada dalam posisi yang
'dominan' di depan kelas. Sehingga tidak jarang hal ini menumbuhkan sikap antikritik, tertutup pada evaluasi,
bahkan merasa diri paling mengerti "caranya mengajar" karena pengalaman mengajar yang lama. Pada
kesempatan ini, saya hanya ingin mengingatkan bahwa kita semua adalah manusia biasa, yang tentu tidak luput
pada kekeliruan. Oleh karena itu, saya kira peran seorang guru (yang notabene sangatlah penting) juga
perlu diiringi rasa keterbukaan untuk dapat terus mengevaluasi diri dan terbuka pada kritik.

Saya tau bahwa memang setiap guru memiliki cara yang unik dalam mengajar. Ada yang pembawaannya
cenderung serius, ada yang sambil bercanda, ada yang cuma duduk di kursi sepanjang jam pelajaran
berlangsung, ada yang kalo ngajar nggak bisa diem, ada yang lebih suka menjelaskan secara satu arah, ada
yang cenderung mengajak 2--3 orang siswa berinteraksi, ada yang suka mengajak seluruh kelas berdiskusi,
dsb. Sebetulnya bagi saya, tidak masalah cara mengajar guru itu seperti apa, selama tujuan proses mengajar itu
tercapai, yaitu siswa dapat memahami materinya dan juga menikmati proses belajar itu sendiri.

Masalahnya, agar tujuan dan proses mengajar itu tercapai... saya kira semua pendidik, tidak terkecuali
(termasuk saya sendiri) rasanya perlu berani untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Karena memang tidak bisa
dipungkiri bahwa, tidak semua style mengajar guru itu sukses dalam membuat murid paham dan menikmati
proses belajar. Sayangnya, beberapa kasus yang saya perhatikan, ada saja oknum guru yang memiliki sikap
antikritik, terutama jika mereka merasa sudah memiliki pengalaman mengajar yang jauh lebih lama daripada
rekan-rekan guru yang lain.
Menurut pendapat saya, sikap seperti inilah justru yang bisa menjadi masalah yang fatal dalam dunia
pendidikan kita. Karena bagi seseorang tertutup pada evaluasi, boleh jadi mereka memiliki pengalaman
mengajar yang lama, tetapi sebetulnya, mereka hanyalah mengulang pola mengajar yang keliru dan itu terus
berulang selama bertahun-tahun lamanya.

Untuk melahirkan generasi penerus yang lebih baik, saya kira para tenaga pendidik perlu memiliki sikap
terbuka pada kritik dan evaluasi. Apakah cara mengajar kita selama ini sudah tepat? Apakah cara kita mengajar
mampu membuat siswa paham dengan materi yang dipelajari dan menikmati proses belajar?

Untuk membantu proses evaluasi diri guru, para siswa juga diharapkan berperan di dalamnya. Tolak ukur
keberhasilan guru dalam mengajar adalah siswa. Jadi kalau kita ingin mengetahui sudah sejauh mana
keberhasilan kita dalam mengajar, tanya pendapat murid-murid kita ; bukan pendapat kepala sekolah,
bukan pendapat orangtua, bukan siapa-siapa melainkan murid kita sendiri. Bagikan angket anonim yang berisi
pertanyaan tentang kesan/cara mengajar kita selama ini. Saya percaya jika setiap pendidik memiliki
keterbukaan pada kritik dan saran, maka kualitas guru di Indonesia akan semakin baik.

Anda mungkin juga menyukai