- Faktor Genetik
1
Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita daripada laki-laki dengan
rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun
data ini masih dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat
memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada orang-orang usia sekitar 50
tahun.
- Infeksi
Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah terinfeksi secara
genetik. Virus merupakan agen yang potensial memicu rheumatoid arthritis seperti
parvovirus, rubella, EBV, borellia burgdorferi.
- Lingkungan
Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid arthritis seperti
merokok.
Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis antara lain infeksi streptokokus
hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolik dan faktor
genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan
oleh factor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor
infeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid
yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita
3. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi
membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan
tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas
otot dan kekuatan kontraksi otot.
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan
2
pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi
progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi
vaskulitis yang difus.
4. Diagnosis
Kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis (RA) dimulai pada beberapa minggu
setelah onset gejala. Pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat menurunkan
progresivitas penyakit. Bukti menunjuk pada suatu “jendela oportunitas” untuk memulai
pengobatan yang dapat mengubah perjalanan penyakit. Bukti terakhir menunjukkan
bahwa Kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis (RA) dimulai pada beberapa minggu
setelah onset gejala. Pengobatan yang dilakukan sejak dini dapat menurunkan
progresivitas penyakit. Bukti menunjuk pada suatu “jendela oportunitas” untuk memulai
pengobatan yang dapat mengubah perjalanan penyakit. Bukti terakhir menunjukkan
bahwa
5. Manifestasi Klinis
RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan.
RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi,
sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan
destruksi tulang disekitar sendi
3
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu
1) Stadium Sinovitis
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada
membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski
pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi
sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan
tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan
metakarpofalangeal
2) Stadium Destruksi
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan synovial.
3) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi yang terjadi secara menetap.
Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung
tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan
(Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan
teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun
kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana,
2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap,
meskipun sendi-sendi ini mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun
dari onset terjadinya
4
Gambar 2. Sendi Metacarpopalangeal dan proksimal interfalangeal yang bengkak pada penderita artritis
rheumatoid
Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi
proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya
sendi sendi kecil pada tangan.
a. Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan gejalanya
berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan (fatigue), malaise, depresi
dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum merefleksi derajat
inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi
(Longo, 2012).
b. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan dekat
periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru, pleura,
5
pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan diasosiasikan dengan
infeksi, ulserasi dan gangren (Longo, 2012).
c. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s
syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes)
atau xerostomia (Longo, 2012).
d. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial (Longo, 2012).
e. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti arteri
koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).
f. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit RA
yang sudah kronis (Longo, 2012).
g. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan
keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering
disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir
(Longo, 2012).
h. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar dibanding
populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma sercara luas
(Longo, 2012).
Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas pada pasien RA
adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan hipoandrogenisme
6
Gambar 3. Manifestasi ekstraartikular
6. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa RA.
1) Pemeriksaan cairan synovial
a) Warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang menggambarkan
peningkatan jumlah sel darah putih.
b) Leukosit 5.000 – 50.000/mm3, menggambarkan adanya proses inflamasi yang
didominasi oleh sel neutrophil (65%).
c) Rheumatoid faktor positif, kadarnya lebih tinggi dari serum dan berbanding
terbalik dengan cairan sinovium.
2) Pemeriksaan kadar sero-imunologi
7
a) Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis rheumatoid
terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, tuberkulosis
paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues, endokarditis bakterialis, penyakit
kolagen, dan sarkoidosis.
b) Anti CCP antibody positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini.
3) Pemeriksaan darah tepi
a) Leukosit : normal atau meningkat sedikit
b) Anemia normositik atau mikrositik, tipe penyakit kronis.
c) Trombosit meningkat.
d) Kadar albumin serum turun dan globulin naik.
e) Protein C-reaktif biasanya positif.
f) LED meningkat.
Protein C-Reaktif (CRP)
Protein C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam
aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan
destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap
darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi
keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera
kembali ke kadar normalnya.
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase
akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut
yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa
keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi ( rheumatoid
arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (
pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial. CRP
juga meningkat pada kehamilan trimester terakhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus
dan pengaruh obat kontrasepsi oral. Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk
mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga
digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah
sebagai sistem deteksi dini kemungkinan infeksi. Tes CRP dapat dilakukan secara manual
menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich
8
imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi
antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi.
Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer
glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan
dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi.
Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan
Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat
diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP
dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat gold colloidal particle.
Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP
dalam sampel pada level patologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area
tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna
diukursecara Kuantitatifmenggunakan NycoCardreader II.
Nilairujukan normalCRP denganmetode sandwich imunometri adalah <5 mg/L. Nilai
rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang
digunakan ( Laboratorium Kesehatan , 2009).
9
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan
Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut
sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi
jika nilai LED meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang
menyakinkan. Dengan metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu
disebabkan panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan
inilah yang menyebabkan para klinisi lebih menyukai metode Westergreen daripada
metode Wintrobe. Selain itu, Internasional Committee for Standardization in Hematology
(ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen.
7. Terapi
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa
penyakit ini tidak dapat disembuhkan. Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar
menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak
muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease
Modifying Anti-Rheumatic Drugs)
c. Mengurangi inflamasi
10