Anda di halaman 1dari 7

http://ctb.ku.

edu/en/table-of-contents/leadership/leadership-
ideas/team-building/main

Perubahan Paradima Leadership: Gerakan Kualitas


(TS)

Gerakan kualitas merupakan gelombang pertama dari terbentuknya


organisasi pembelajaran yang secara terus-menerus membentangkan
kemampuannya dalam rangka membentuk masa depan.

Akar gerakan kualitas terletak pada masalah mendasar atas “asumsi-asumsi


tentang orang, organisasi, dan manajemen” yang beralih menjadi bagaimana
memiliki satu tema pemersatu: “membuat belajar berkelanjutan sebagai jalan hidup,
khususnya dalam meningkatkan kinerja organisasi sebagai sistem yang menyeluruh”.
Hal diatas hanya bisa dicapai dengan jalan membongkar habis faham otoriter,
komando, dan pengawasan-- dimana atasan berpikir dan bawahan bertindak Ini
merupakan usaha penggabungan pikiran dan tindakan yang ada pada semua
tingkatan.

Evolusi organisasi pembelajaran dapat diartikan sebagai sederetan ombak.


Sebagian besar manajer beranggapan bawah manajemen kualitas terfokus pada
usaha peningkatan “proses kerja” yang bisa diwujudkan saja. Ini adalah gambaran
gelombang pertama. Pada gelombang ini, fokus perubahan utama adalah para
pekerja yang ada di lini depan. Tugas pihak manajemen adalah mempertahankan
kemajuan yang berkelanjutan, mencerabut halang-rintang (seperti ahli pengawasan
kualitas dan birokrasi yang tak perlu) yang melemahkan pemberdayaan karyawan
setempat, dan mendukung cara-cara baru seperti pelatihan kualitas dan penentuan
standar yang membawa peningkatan di bidang pengolahan.

Pada gelombang kedua, fokus bergeser dari peningkatan kerja menjadi


peningkatan cara kerja – yaitu mendorong cara-cara berpikir dan berinteraksi, dan
pembelajaran terus-menerus yang kondusif dalam kaitannya dengan bermacam-
macam masalah yang dinamis dan rumit, dan yang menentukan keseluruhan kinerja
sistem.

Kedua gelombang di atas perlahan-lahan akan menyatu kedalam gelombang


ketiga, dimana “pembelajaran menjadi melembaga sebagai jalan hidup yang identik
dengan para manajer dan karyawan”.

Organsisasi pembelajaran sesungguhnya adalah suatu VISI. Kita perlu


dijauhkan dari model pemberian inovasi yang menerapkan “cara meniru dan
mengkopi lembaga atau organisasi yang berkinerja baik”. Melaksanakan saja hasil2
yang sudahh terbukti ditempat lain, dilaksanakan pihak lain, dsbnya sehingga “tiru
saja, tidak perlu anda mikir lagi”. Itulah Pendekatan “mekanistik”. Manusia bukanlah
mesin (baca tulisan berikut). Masalahnya bukan pada apakah mereka menjalankan
visi tersebut atau tidak, namun pada apa yang telah visi jalankan.

Kita begitu terpana untuk melaksanakan “tugas dengan benar” sehingga kita
kehilangan “esensi orientasi kreatif” yang intrinsik, yaitu yang memberikan inspirasi
kepada kita untuk melakukan sesuatu yang benar-benar bermakna.
2

Mungkin kita tidak pernah sepenuhnya merampungkan visi tersebut. Visi


adalah suatu “gagasan”. Aspek yang paling radikal dari cara kita mendekati sesuatu
adalah “berfokus pada pemikiran”. Kebanyakan orang percaya bahwa anda dapat
merubah organisasi dengan jalan mengatur kembali kondisi eksternal seperti dengan
sistem pemberian hadiah, teknologi informasi, melakukan reformasi birokrasi dengan
menata stuktur suatu organisasi berikut tupokisnya, dsb.

Pemimpin dan Pembelajaran

Tiga macam pemimpin pada organisasi pembelajaran, secara umum terkait


dengan 3 posisi:
1. Pemimpin lini depan: melakukan percobaan-percobaan yang berarti untuk
menguji apakah kemampuan pembelajaran baru membawa perbaikan
kinerja.
2. Pemimpin eksekutif: mendukung pemimpin lini depan, mengembangkan
prasarana pembelajaran, dan memimpin melalui pemberian contoh proses
bertahap perubahan norma dan perilaku budaya pembelajaran.
3. Pemimpin jaringan kerja, atau pembina masyarakat, penabur benih kultur
baru: dapat berpindah-pindah dengan bebas di sekitar dan diluar organisasi,
mencari orang yang berkemauan membawa perubahan, membantu
percobaan, dan menunjang penyebaran pembelajaran baru.

Inilah sketsa tentang ketiga tipe pemimpin yang kita pelajari dan diterapkan di
berbagai organisasi manapun.

Pemimpin Lini Depan

Tidak akan ada permulaan kerja apa pun tanpa adanya pemimpin lini depan
yang berkomitmen. Pemimpin lini depan adalah individu dengan tanggung jawab
usaha yang besar dan menjadi fokus garis dasar. Mereka memiliki unit-unit yang
cukup besar untuk jadi mikrokosmos penting organisasi, dan juga mereka
mempunyai cukup otonomi untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang berarti.

Sesungguhnya, mereka menciptakan sub-budaya yang mungkin berbeda jauh


dengan kebudayaan pokok (mainstream). Agar mereka bermanfaat dalam
menciptakan laboratorium percobaan, mereka harus berhadapan dengan masalah
dan tantangan program yang terlihat penting dan muncul berkali-kali. Misalnya,
kelompok kerja yang unik dari berbagai fungsi mungkin penting artinya, namun ia
kurang bermanfat untuk percobaan pembelajaran dibanding dengan tim yang
mengelola proses kegiatan yang sifatnya berkelanjutan, umum, dan vital untuk
pencapaian upaya di masa depan, seperti eliminasi berbagai penyakit menular,
GIBU-KUR, GAKI, Kualitas lulusan PT, Outcome layanan RS, dll.

Peran kunci yang dimainkan oleh pemimpin lini depan adalah melaksanakan
percobaan praktis yang bermanfaat. Tanpa percobaan praktis yang serius dengan
tujuan menghubungkan kemampuan pembelajaran baru dengan hasil upaya, maka
tidak akan ada jalan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan
pembelajaran itu sekedar ide yang menantang atau memang benar-benar membawa
perbedaan menuju perubahan.

Telah kita saksikan tidak ada contoh kemajuan yang berarti tanpa
kepemimpinan dari manajer dan pemimpin lini depan, dan kita saksikan pula bahwa
3

banyak contoh tentang pimpinan puncak dengan komitmen tulus gagal dalam
memanfaatkan momentum penting. Fakta: cakupan posyandu diberbagai wilayah
yang rendah. Gerakan untuk jemput bola (kunjungan rumah), dll

Pemimpin Eksekutif

Keingintahuan kita dengan percobaan praktis yang dipimpin oleh manajer


dan pemimpin lini depan seringkali membuat kita silap dengan peran utama yang
dimainkan oleh pemimpin eksekutif. Pemimpin lini depan mendapat keuntungan
besar dari juara-juara eksekutif yang dapat menjadi pengayom, penasehat, dan
mitra berpikir.

Bekerja dalam suatu konser dengan pelaku kerja jaringan intern, para
eksekutif dapat membantu menghubungkan para pemimpin lini depan dengan
orang-orang lain “yang sepaham”. Para eksekutif ini juga memainkan peran
penasehat dalam membantu pendewasaan para pemimpin lini depan, memahami
liku-liku politik yang rumit, dan mengkomunikasikan ide-ide mereka kepada pihak-
pihak yang terkait.

Bagian permasalahan dalam memahami kepemimpinan eksekutif yang efektif


dalam pembelajaran adalah bahwa kita begitu terbiasa dengan kapten kapal kelas A
kepemimpinan hirarki tradisional. Kita selalu membayangkan pimpinan puncak
sebagai pembuat keputusan kunci, orang yang paling terpandang dan berpengaruh;
menunggu pedoman, petunjuk pelaksanaan, siapnya modul, dll. Meskipun tanpa
diragukan bahwa beberapa keputusan kunci harus selalu dibuat di tingkat atas,
budaya yang ada tidak akan berubah hanya melalui keputusan tunggal, dan
kekuatan pengambilan keputusan tidak akan membuahkan kemampuan
pembelajaran yang baru.

Bilamana para eksekutif memimpin dengan menerapkan peran sebagai guru,


pelayan, dan perancang, mereka akan mengisi peran-peran yang lebih jelas,
kontekstual, dan berjangka panjang dibanding peran yang ada pada hirarki
kepemimpinan model tradisional yang birokratik.

Pemimpin eksekutif yang efektif membangun lingkungan pembelajaran dalam


tiga hal:

 Cara yang pertama adalah melalui pengungkapan gagasan pemandu.


Gagasan pemandu berbeda dengan slogan atau kata-kata kosong terbaru.
Gagasan pemandu muncul secara bertahap, selama bertahun-tahun, melalui
refleksi pada sejarah organisasi dan tradisi, pertumbuhan jangka panjangnya,
serta kesempatan yang dimilikinya. Daya kekuatan gagasan pemandu berasal
dari energi yang dilepaskan ketika imajinasi dan aspirasi muncul secara bersama-
sama. Pemahamanan terhadap daya kekuatan ini telah menjadi monumen
kehormatan para pemimpin besar. Janji organisasi pembelajaran adalah janji
bahwa daya kekuatan ini akan tertanam kuat kedalam melalui cara yang sangat
berbeda dengan yang berlangsung pada “organisasi otoriter tradisional”.

 Cara kedua untuk membangun lingkungan pembelajaran adalah melalui


“pemberian perhatian terhadap prasarana pembelajaran”. Para eksekutif semakin
menyadari bahwa dalam dunia yang cepat berubah dan saling tergantung,
pembelajaran memiliki arti yang sangat penting sehingga tidak mungkin bisa
4

ditinggalkan. “Kita memiliki banyak prasarana untuk keperluan pengambilan


keputusan didalam melaksanakan berbagai upaya kesehatan; yang kurang
adalah prasarana untuk pembelajaran”. Kita banyak mendengar pimpinan
eksekutif beberapa tahun belakangan, yang mengeluhkan bahwa “kita tidak bisa
belajar dari diri kita sendiri”, “bahwa inovasi yang penting tidak menyebar begitu
saja”. Namun, para pemimpin eksekutif itu jarang menyadari bahwa mereka
sebenarnya sedang menggambarkan deskripsi kerja mereka di masa depan.
Bilamana kita berhenti berfikir, pertanyaan tertentu muncul: Mengapa cara-cara
baru yang berhasil justru muncul di organisasi? Siapakah yang mempelajari
inovasi pendokumentasian alasan mereka bekerja? Dimanakah proses
pembelajaran jika sementara orang hanya mengikuti jejak langkah para inovator
sukses? Siapakah yang bertanggung-jawab terhadap proses pembelajaran?

 Cara ketiga untuk membangun lingkungan kerja untuk upaya program adalah
‘ranah pengambilan tindakan’ para eksekutif sendiri, maksudnya yaitu tim
eksekutif itu sendiri. Yang penting, pertama-tama, adalah para eksekutif harus
memahami bahwa mereka juga harus berubah, dan berbagai ketrampilan yang
membuat mereka berhasil di masa lalu pun dapat mengganggu pembelajaran.
Mereka mungkin hebat, menyuarakan anjuran, namun mereka biasanya tidak
begitu peka dalam melongok pikiran mereka sendiri atau mengungkap wilayah
pikiran mereka yang lemah (inilah contoh terjadinya “psikosklerosis”).

Pemimpin Jaringan

Peran kepemimpinan yang paling sulit adalah peran pemimpin jaringan kerja
intern, atau pembangun masyarakat. Pelaku jaringan kerja intern menjadi efektif
karena alasan bahwa usaha pimpinan puncak untuk mengawali perubahan berubah
menjadi senjata makan tuan. Ungkapan ironinya mungkin seperti “Tiadanya
kekuasaan adalah kekuasaan”.

Lebih jelasnya, karena tidak memiliki wewenang jabatan, para pelaku


jaringan kerja intern bebas bergerak dalam organisasi yang besar tanpa diketahui
orang banyak. Bilamana seorang pimpinan eksekutif mengunjungi seseorang, maka
semua orang akan tahu. Bilamana sang pimpinan berkata, “Kita perlu menjadi
organisasi pembelajaran,” maka setiap orang akan mengangguk. Namun, bila
seseorang dengan sedikit atau tanpa kewenangan mulai mengenal orang yang
benar-benar tertarik untuk mengubah cara kerja mereka dan tim, maka orang yang
kemungkinan menanggapinya adalah mereka yang memang benar-benar tertarik
saja. Dan apabila para pelaku jaringan kerja intern tersebut bertemu seseorang yang
benar-benar tertarik, ia akan bertanya,” Siapa sajakah yang benar-benar peduli
dengan semua ini?” Kemungkinan ia akan menerima tanggapan yang benar-benar
jujur.

Satu-satunya kewenangan yang dimiliki oleh para pelaku jaringan kerja intern
berasal dari “kekuatan rasa percaya diri mereka dan kejelasan gagasan mereka”.
Inilah satu-satunya kewenangan sah bilamana perubahan mendasar dibutuhkan,
terlepas dari posisi seseorang. Para pelaku jaringan kerja intern mempunyai
keuntungan yang ironis, mengingat bahwa itulah satu-satunya sumber kewenangan
mereka.

Untuk mengidentifikasi pelaku jaringan kerja intern, bukanlah pekerjaan


ringan karena mereka bisa jadi orang-orang dari berbagai posisi. Mereka mungkin
5

konsultan intern, widiaswara, atau staf bagian pengembangan organisasi, atau SDM
yang dedikasi dan cara berinteraksinya mengundang kohesi SDM lain. Mungkin juga
mereka staf senior. Yang penting adalah bahwa mereka bebas bergerak dengan
tingkat aksesibilitas yang tinggi. Mereka memahami jaringan kerja informal, tempat
dimana informasi dan cerita mengalir dan cara-cara inovatif bertaut secara alami.

Fungsi vital pertama yang dimainkan oleh para pemimpin jaringan kerja
adalah mengenal manajer/pemimpin garis depan yang memiliki kekuasaan
mengambil tindakan dan dipercayai mengembangkan kemampuan pembelajaran
baru. Banyak waktu dan energi bisa terbuang percuma bila bekerja dengan orang
yang salah, khususnya pada tahap awal proses perubahan.

Sejalan dengan dikembangkannya pengetahuan praktis, para pelaku jaringan


kerja intern terus bekerja sebagai ‘penabur benih’, yaitu menghubungkan orang-
orang sepaham dari latar belakang yang berbeda untuk upaya pembelajaran. Secara
bertahap mereka membantu pengembangan koordinasi formal dan mekanisme
bimbingan yang diperlukan dalam rangka mengungkit pengalaman lokal menuju
pembelajaran organisasi yang luas.

Keterbatasan pelaku jaringan kerja intern tidaklah sulit diidentifikasi. Karena


mereka tidak memiliki banyak wewenang formal, mereka tidak dapat berbuat banyak
untuk menyanggah langsung wewenang hirarki. Jika seorang pemimpin lini depan
menjadi ancaman bagi rekan sejawat atau atasan, maka mereka menjadi tidak
berdaya untuk menolongnya. Para pemimpin jaringan kerja intern tidak memiliki
wewenang untuk melembagakan perubahan baik dalam struktur organisasi ataupun
proses.

Tantangan kepemimpinan dalam pembentukan organisasi pembelajaran


menggambarkan “alam mikrokosmos kepemimpinan jaman kita” yaitu bagaimana
lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, baik perusahaan multinasional maupun
masyarakat, sibuk menantang masalah-masalah yang rumit dan sistemik, dimana
wewenang hirarki belum banyak berubah. Tak akan ada satu pun masalah besar
yang dapat dipecahkan melalui “pendekatan wewenang hirarki”.

Pada semua persoalan ini, tidak ada penyebab yang sederhana, tidak ada
pemecahan yang sederhana. Tidak ada seorangpun yang harus disalahkan. Tidak
akan ada pil ajaib. Perubahan berarti membutuhkan imajinasi, kegigihan, dialog,
kepedulian yang dalam, dan ini yang terpenting yaitu “kemamuan untuk merubah
diri sebagai bagian dari berjuta-juta umat manusia”.

Tantangan perubahan sistemik --dimana hirarki merupakan kehendak yang


tak sempurna--- mendorong kita melihat pandangan kepemimpinan baru yang
didasarkan prinsip-prinsip baru. Tantangan ini tidak dapat dipenuhi oleh oleh
pemimpin heroik yang tersisih. Mereka membutuhkan gabungan unik berbagai-
macam orang, dengan posisi yang berbeda, yang memimpin dengan cara-cara yang
berbeda pula. Perubahan dibutuhkan pada model-model kepemimpinan tradisional
kita.

Tugas pemimpin dimulai dengan prinsip tegangan kreatif, termasuk


membangun visi bersama dalam organisasi pembelajaran. Pandangan
tradisional kita terhadap pemimpin—sebagai orang khusus yang memberikan
pengarahan, membuat keputusan kunci, dan memotori pasukan—berurat-akar pada
6

pandangan dunia yang individualistik dan non-sistemik. Di dunia Barat, pemimpin


adalah pahlawan—orang besar, dan wanita yang berdiri di garis depan pada saat-
saat krisis. Sejauh mitos demikian masih berlaku, maka kondisi tersebut akan
memperkuat fokus terhadap peristiwa jangka pendek dan pahlawan kharismatik,
ketimbang dorongan sistemik dan pembelajaran kolektif.

Pada organisasi pembelajaran, peran pemimpin sangat berbeda dari peran


pembuat keputusan yang kharismatik. Pemimpin adalah perancang, guru, dan
pelayan. Peran-peran tersebut menuntut ketrampilan baru antara lain: kemampuan
membangun visi bersama, memunculkan dan mengubah model mental yang ada,
dan kemampuan mendorong pola pemikian yang lebih sistemik, kemampuan untuk
bekerjasama dalam tim.

Pendek kata, pemimpin pada organisasi pembelajaran bertanggungjawab


untuk membangun organisasi dimana orang-orangnya secara berkelanjutan
mengembangkan kemampuan mereka dalam rangka membentuk masa depan
mereka; singkatnya, pemimpin bertanggungjawab atas pembelajaran bagi
organisasinya untuk menuju perubahan.

Pekerjaan yang melibatkan banyak manusia yang berhimpun dalam tim


dengan latar belakang berbeda, membutuhkan ikatan batin, rasa saling memiliki,
kerjasama untuk berbagi, dan berinteraksi. Sebagai tim yang hidup, ciri-cirinya
adalah pertama: adanya perasaan komunitas dan identitas kolektif yang kuat dan
setiap anggota mempunyai perasaan kebersamaan yang kuat, sebagai bagian dari
“sistem hidup” (living system). Ciri yang kedua adalah terbukanya pandangan-
pandangan dan wacana pikir maupun batin terhadap dunia luar, toleransi bagi
individu yang baru, serta gagasan-gagasan yang baru, dan adaptasi terhadap
keadaan yang baru pula. Hal ini bagi anggota tim yang sedang berproses dalam
“learning organization” akan membangkitkan spontanitas kemunculan secara tiba-
tiba (emergent properties).

Tim pembelajar dicerminkan melalui perilaku tim yang saling menguatkan


satu dengan lain. Ibarat air, yang unsur-unsurnya terbentuk oleh hidrogen dan
oksigen yang saling mengikat satu dengan yang lain, ia membentuk tetesan-tetesan
yang saling berinteraksi dan berfusi menjadi kekuatan yang solid. Tim yang cerdas
dan waspada, jarang melaksanakan instruksi secara harafiah. Sistem hidup yang
dikembangkan oleh tim akan membuat pilihan yang harus diperhatikan sehingga
dibutuhkan cara-cara/metoda dalam menanggapinya (para tim pemimpin lini depan).

Di dalam kiprahnya, perlu dipahami 5 prinsip sebagai anggota tim pembelajar


sebagai LIVING SYSTEMS (sistem hidup) yaitu:

Pertama, pembelajaran harus ditanamkan kedalam budaya dengan adat


istiadat masyarakatnya, nilai dan norma serta etika yang diyakini, sehingga mengalir
dalam dirinya nilai cinta kemanusiaan, kesederhanaan, dan kepedulian yang timbul
dari dalam dirinya.
Kedua, pembelajaran dibangun atas dasar kepemimpinan, yaitu
kepimimpinan yang visioner dan dapat membangun organisasi baru beserta
kemampuannya.
Ketiga, pembelajaran muncul melalui kinerja dan kerja keras. Orang yang
dengan meyakini bahwa ia perlu belajar seumur hidup, adalah orang yang memilki
kekuatan untuk bertindak. Karena itu, pembelajaran menuntut perubahan aliran
7

waktu dan tindakan yang diperlamban untuk memudahkan pengulasan kembali


tentang asumsi-asumsi tersirat yang membentuk tindakan seseorang.
Keempat, olah rasa orang-orang yang berhimpun dalam tim akan dihadapkan
pada rasa takut berbuat kesalahan. Akibatnya, tampak sikap bertahan, defensif, dan
kecenderungan menutup-nutupi masalah serta menyalahkan orang lain.
Kelima, ketidaktahuan adalah posisi awal yang menakutkan ego individu.
Disatu pihak ia harus berubah sehingga mengakibatkan pembelajaran terjadi
diantara ketakutan dan kebutuhan, dilain pihak rasa cemas dapat mengiringi
ketidaktahuan dan ketidakbisaan serta rasa ketidakmampuan. Karena itu, untuk
mempelajari hal yang bermakna, ia harus berani menolak konsep dasar tentang
dunia sekelilingnya dan diriNYA sendiri (merasa PALING berpengalaman).

Seluruh pembelajaran bertujuan tidak hanya mengetahui tentang learning to


now, dan bukan hanya dapat melaksanakan tugasnya learning to do. Tetapi juga
sesuai harapan yang besar dari kita semua, tenaga kesehatan lini depan dapat
belajar bagaimana menjadi petugas yang professional, dapat bekerja secara tim,
serta dapat memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik. Hakikat dari pembekalan
tenaga kesehatan bersama masyarakat adalah menghidupkan organisasi tim untuk
mencapai tujuan bersama dengan bekerja secara terpadu berlandasakan berpikir
secara sistemik. Karena itu, sistem yang hidup akan selalu menjaga keutuhan melalui
proses “autopoesis” yaitu kemampuan untuk memperbaiki dan memproteksi diri,
bila terjadi kerusakan pada anggota tim, dan pada makhluk hidup, salah satu
ujudnya adalah berkomunikasi melalui bahasa.

Bahasa akan menimbulkan kalimat; dan, sebagai bagian dari anggota, tim
akan mencoba mengkomunikasikan segala bentuk informasi untuk diterima dan
diteruskan serta ditindak lanjuti melalui bahasa. Kesamaan bahasa dalam tim akan
dapat menjamin terwujudnya kinerja yang tangguh.

Kata kunci disini adalah rasa saling berterima dalam tim; yakni,
keberterimaan secara mutual, secara imbal balik tanpa syarat, tanpa kondisi, baik
berbentuk harapan, maupun berbentuk balas budi. Ini mengandung makna
kesejajaran, baik dalam pengertian ruang psikis, yang terbuka untuk orang lain,
maupun dalam pengertian kesejajaran potensi yang dimiliki. Kesejajaran dalam
hubungan akan melahirkan ruang interaksi yang rileks, tidak tegang. Karena tidak
ada ketegangan, plastisitas dalam interaksi akan muncul sehingga melahirkan
toleransi. Tiadanya ketegangan juga akan melahirkan kreativitas, dan
mengoptimalkan potensi kecerdasan. Dalam situasi seperti ini, semua orang dalam
tim akan memiliki kecerdasan yang semakin berkembang. Kesejajaran juga
bermakna pengakuan terhadap adanya intelegensi yang sama dalam suatu tim.
Karena itu, proses pembelajaran akan melahirkan dan membangun empati, sikap,
dan kebersamaan. Kebersamaan terwujud dalam menyatunya rasa keutuhan
diantara anggota yang tidak bisa dipisahkan.

Anda mungkin juga menyukai