Anda di halaman 1dari 16

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
IDENTITAS
Inisial : Tn. NT
Usia : 25 th
Jenis kelamin : Laki-laki
Status pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Jogoyudan
Pekerjaan : Buruh
Masuk RS : 20 Februari 2017
Waktu pemeriksaan : 24 Februari 2017
Bangsal : Bougenville
Dokter yang merawat : dr. Endang Widiastuti, Sp.PD, FINASIM
Ko-asisten : Belva Prima Geniosa

A. SUBYEKTIF AUTOANAMNESIS (24 Februari 2017)


1. Keluhan Utama
Nyeri Perut
2. Keluhan Tambahan
Susah BAB (4 hari belum BAB)
Mual
Muntah
Urin (DC) tidak keluar sejak 23/2/2017 sore
3. RPS
Pasien mengeluh nyeri perut sejak 3 HSMRS, tidak bisa BAB dan jarang BAK.
3 HSMRS (21 Februari 2017)
Pasien mengeluh nyeri perut, mual, muntah, dan demam. Pasien tidak mengeluh nyeri
kepala, nyeri sendi, diare, batuk, pilek maupun sesak napas. BAB terakhir tanggal 20
Februari 2017, BAK sedikit-sedikit sejak keluhan dirasakan. Makan minum pasien menurun.
4. RPD
Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat alergi ()
Riwayat gastritis ()
Riwayat penyakit ginjal ()
Riwayat penyakit jantung ()
1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019

Riwayat Diabetes Mellitus ()


Riwayat hipertensi ()
5. RPK
Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat Diabetes Mellitus ()
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit jantung ()
6. Riwayat Personal Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai buruh di Papua, namun saat ini tinggal di Jogoyudan.
Di sekitar lingkungan kerja tidak ada yang menderita sakit seperti pasien. Pasien tidak suka
mengkonsumsi minuman berkemasan. Pasien pernah mengkonsumsi alcohol 1 tahun yang
lalu. Pasien merupakan seorang perokok. Pasien jarang berolahraga.

A. PEMERIKSAAN FISIK (24 Februari 2017)


1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Vital Signs
o Tekanan Darah : 100/70 mmHg
o Suhu Tubuh : 36,2 C
o Frekuensi Nafas : 22 x/menit
o Frekuensi Nadi : 96 x/menit
Status Gizi : Normal
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 165 cm
60 60
Index Massa Tubuh(IMT): 2 = 1,652 = 2,72 = 22,03 (Normal)

Berat Badan Ideal (BBI) : 90% x (TB 100) x 1 kg =


= 90% x (165 100) x 1 = 90% x65 x 1 = 58,5 kg 10 kg.
2. Kepala
Mata
o Edema palpebra : /
o Conjunctiva anemis : /
o Sklera ikterik : /

2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
o Pupil isokhor : +/+
Telinga
o Discharge : /
o Gangguan pendengaran : /
Mulut
o Mukosa kering ()
o Bibir sianosis ()
o Stomatitis ()
o Lidah kotor ()
3. Leher
Benjolan ()
Limfonodi teraba ()
4. Thorax
Inspeksi
o Simetris (+)
Palpasi
o Benjolan ()
o Ictus cordis teraba ()
Perkusi
o Sonor (+)
Auskultasi Paru
o Vesikuler +/+
o Wheezing /
o Ronkhi /
Auskultasi Jantung
o S1-S2 reguler (+)
o Bising jantung ()
Kesan efusi pleura ( )
5. Abdomen
Inspeksi : distensi ()
Auskultasi : bising usus ( + ) minimal
Perkusi :
o Lapang perut : timpani
3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
o Hepar : pekak, batas herpar normal
Palpasi
o Nyeri tekan
Seluruh lapang perut
+

o Murphy sign ( ), nyeri tekan Mc Burney ( )


o Lien teraba ( )
o Ascites ( ) dengan pemeriksaan undulasi dan shifting dullness.
o Defans muscular (+)

6. Ekstremitas
Akral hangat (+)
Nadi kuat regular
Edema ()
Varises ()
Capillary refill time < 2
Petechie, ekimosis, purpura ()

7. Pemeriksaan Penunjang
o Darah Rutin, Kimia, dan Urinalisa (sedimen) 20 Februari 2017
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Hematologi
Leukosit 21,3 H 4,00 - 10,6 103 / uL
Eritrosit 5,06 4,50 - 6,00 106 / uL
Hemoglobin 14,3 13,0 - 18,0 g/dL
Hematokrit 42,1 42,0 - 52,0 %
MCV 83,3 81 - 99 fL
MCH 28,2 27 - 31 pg
MCHC 33,9 33 - 37 g/dL
RDW-CV 12,2 11 - 16 %
Trombosit 508 H 150 450 103 / uL
Differential Telling
Neutrofil % 93,6 H 50 - 70 %
Limfosit % 3,6 L 20 - 40 %
Monosit % 2,6 L 3,0 - 12 %

4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
Eosinofil % 0,1 L 0,5 - 5,0 %
Basofil % 0,1 0-1 %
Neutrofil # 19,94 H 2-7 103/uL
Limfosit # 0,76 L 0,8 - 4,0 103/uL
Monosit # 0,54 0,12 - 1,20 103/uL
Eosinofil # 0, 02 0,02 - 0,50 103/uL
Basofil # 0, 04 0 -1 103/uL
Kimia
GDS 131 70 - 140 mg/dL
Hati
SGOT 31 H <37 mg/dL
SGPT 18 <42 mg/dL

o Hematologi (23 Februari 2017)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Kimia
Hati
Protein total 5,88 L 6,6-8,7 g/dL
Albumin 3,13 L 3,5-5 g/dL
Globulin 2,75 H 1,8-2,4 g/dL
Ginjal
Ureum 52 H 10-50 mg/dL
Creatinin 2,5 H <1,1 mg/dL
Elektrolit
Natrium 125 L 135-148 mmol/l
Kalium 4,1 3,7-5,3 mmol/l
Chlorida 90 L 98-109 mmol/l

o USG Abdomen (20 Februari 2017)


Hepar: ukuran dalam batas normal (12 cm lobus kanan), echostructure dalam
batas normal, tak tampak massa, IHBD tak melebar
Tampak cairan bebas, banyak, internal echo (+) (keruh)
Lien tak membesar, echostruktur normal
Kesan: asiter keruh suspect peritonitis. Hepar, VF, pancreas, lien, ren d/s, VU dan
prostat sonography dalam batas normal

5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019

A. ASSESSMENT
1. Sepsis
2. Acute Kidney Injury
3. Peritonitis
4. Hipoalbuminemia
5. Hiponatremia
B. PLANNING
1. Infuse tamoliv 1 gram / 8 jam atau paracetamol tablet 3x500mg
2. Infuse NaCl 3%
3. Calcium carbonate 2x1
4. Asam folat 2x1
C. MASALAH YANG AKAN DIKAJI
Bagaimana mekanisme terjadinya oliguria? Apa diagnosis banding untuk gejala oliguria pada
pasien ini?

6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
D. PEMBAHASAN
Urin output merupakan salah satu tanda vital terhadap penyakit akut. Produksi urin normal pada
dewasa adalah 1000-1800 ml/24 jam. Jumlah urin > 2000ml/24 jam disebut poliuria, sedangkan bila
jumlah urin 300-750 ml/24 jam maka disebut oliguria, dan bila jumlah urin < 300 ml/24 jam disebut
anuria. Oliguria juga dapat didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 1 mL/kg/jam pada bayi,
kurang dari 0,5 mL/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mL/hari pada dewasa. Oliguria merupakan
salah satu tanda dari gagal ginjal dan digunakan sebagai kriteria diagnosis dan derajat acute kidney
injury (AKI). Ini merupakan gejala paling awal yang terjadi pada penurunan fungsi ginjal.
Normalnya urin dihasilkan melalui proses ultrafiltrasi di glomerulus, reabsorpsi di tubulus
terhadap solute dan air, serta sekresi di tubulus terhadap zat zat organik dan non-organik. Terjadinya
oluguria dapat diakibatkan oleh proses pre-renal, intrinsic renal dan postrenal.
1. Insufisiensi Pre-renal
Merupakan respons fungsional ginjal normal terhadap hipoperfusi. Fase dini dari kompensasi
ginjal untuk perfusi yang berkurang adalah autoregulasi laju filtrasi glomerulus, melalui
dilatasi arteriol aferen (yang diinduksi oleh respons miogenik, umpan balik tubuloglomerulus
dan prostaglandin) dan via konstriksi arteriol eferen (diperantarai oleh angiotensin II). Fase
dini juga mencakup peningkatan reabsorpsi garam dan air (dirangsang oleh sistem rennin-
angitensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis). Oliguria yang cepat memulih setelah perfusi
ginjal membaik adalah hal yang khas dan lazim, contoh pada dehidrasi dapat pulih tanpa
cedera ginjal ketika dehidrasinya dikoreksi. Namun hipoperfusi ginjal berkepanjangan dapat
menyebabkan dekompensasi karena stimulasi simpatis dan sistem rennin-angiotensin yang
berlebihan. Kemudian dapat terjadi vasokonstriksi renal yang hebat dan cedera iskemik
terhadap ginjal.
2. Intrinsik Renal
Gagal ginjal intrinsic disertai dengan kerusakan struktur ginjal. Hal ini meliputi nekrosis
tubulus akut (akibat iskemia berkepanjangan, obat-obat dan toksin, penyakit glomerulus, atau
lesi pembuluh darah). Iskemia mengakibatkan perubahan metabolisme sel tubulus dan
kematian sel dengan akibat deskuamasi sel, pembentukan cast, obstruksi intratubulus,
tumpahnya cairan tubulus dan oliguria. Pada beberapa situasi, oliguria dapat pulih dan diikuti
perbaikan dan regenerasi sel epitel tubulus.
3. Mekanisme Post-renal

2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
Gagal post renal merupakan akibat dari obstruksi mekanik atau fungsional terhadap aliran
urin. Bentuk oliguria dan insufisiensi ginjal ini biasanya memberi respons setelah obstruksi
dilepas.

Mekanisme di atas dapat menunjukkan diagnosis banding yang bisa mendasari terjadinya oliguria
seperti:
Prerenal Renal Postrenal

Hipovolemia Glomerulonefritis Uropati obstruktif


Perdarahan Pascastreptococus Sambungan ureteropelvik
Kehilangan cairan dari Lupus erimatosus Ureterokel
saluran pencernaan Membranoproliferatif Katup uretra
Hiponatremia Progresivitas cepat idiopatik Tumor
Luka bakar Purpura anafilaktoid
Penyakit ginjal atau adrenal Refluk vesikoureter
dengan pembuangan garam Koagulasi intravaskuler
terlokalisasi Didapat
Hipotensi Trombosis vena sentralis Batu
Septikemia Nekrosis korteks Jendalan darah
Koagulasi Sindrom hemolitik-uremik
intravaskulertersebar
Hipotermia Nekrosis tubulus akut
Perdarahan Logam berat
Gagal jantung Bahan kimia
Hipoksia Obat-obatan
Pneumonia Hemoglobin, mioglobin
Penjepitan aorta Syok
Sindrom kegawatan pernafasan Iskemia

Nefritis interstisial akut


Infeksi
Obat-obatan

Tumor
Infiltrasi parenkim ginjal
Nefropati asam urat

Kelainan perkembangan
Penyakit kistik
Hipoplasia-displasia

Nefritis herediter

Pemeriksaan lab yang dapat digunakan untuk pasien dengan oliguria antara lain, urinalisis,
indeks urin, BUN dan kreatinin serum, elektrolit serum, pH, hitung darah lengkap serta radiologi.

3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
1. Urinalisis
Cara ini merupakan cara cepat dan murah untuk membedakan gagal ginjal prerenal dan renal.
Pada gagal prerenal bisa terlihat beberapa silinder hialin dan granular dengan sedikit protein,
heme, atau sel darah merah. Urin heme-positif yang tidak disertai eritrosit memberi kesan
hemolisis atau rhabdomiolisis. Pada gagal ginjal intrinsik, hematuria dan proteinuria
menonjol. Silinder granular coklat dan lebar khas dijumpai pada iskemia atau nekrosis tubulus
akut dan sedimen eritrosit khas terlihat pada glomerulonefritis akut. Urin pada nefritis
interstisial akut memperlihatkan sel darah putih, khususnya eosinofil dan sedimen sel darah
putih.
2. Indeks Urin
Pengukuran sekaligus dari natrium, kreatinin, osmolalitas serum maupun urin bisa membantu
membedakan azotemia prerenal atau gagal ginjal intrinsik. Pada azotemia prerenal, kapasitas
reabsorpsi dari sel tubulus dan daya konsentrasi ginjal masih baik atau bahkan meningkat.
Pada gagal ginjal intrinsik, fungsi-fungsi ini terganggu karena kerusakan struktural. Pada
gagal prerenal, berat jenis urin tinggi (lebih dari 1020), rasio kreatinin urin: kreatinin plasma
tinggi (lebih dari 40), rasio osmolalitas urin:plasma tinggi (lebih besar daripada 1,5), dan
konsentrasi natrium urin rendah (kurang dari 20 mEq/L). Temuan berlawanan didapatkan pada
gagal ginjal intrinsik, di mana rasio kreatinin urin:plasma kurang dari 20, rasio osmolalitas
urin:plasma kurang dari 1.1, dan konsentrasi natrium urin lebih besar daripada 40 mEq/L.
3. BUN dan kreatinin serum
Pada gagal prerenal ada peninggian mencolok dari BUN, dan rasio BUN/Cr lebih dari 20. Ini
mencerminkan peningkatan reabsorpsi urea di tubulus proksimal. GGA ditandai oleh
peningkatan kreatinin setiap hari (0,5-1,5 mg/dL/hari) dan BUN (10-20 mg/dL/hari).
Peninggian BUN bisa juga diakibatkan dari terapi steroid, nutrisi parenteral, perdarahan
gastrointestinal, dan status katabolisme. Peninggian palsu bisa dijumpai setelah penggunaan
obat yang mengganggu sekresi kreatinin oleh tubulus (trimetoprim, simetidin), atau obat-obat
yang menyediakan substrat khromogenik (sefalosporin), yang mengganggu reaksi Jaff untuk
pengukuran kreatinin serum.
4. Elektrolit serum
Hiponatremia adalah temuan lazim dan biasanya bersifat pengenceran yang terjadi karena
retensi cairan dan pemberian cairan hipotonik. Hipernatremia terjadi sebagai komplikasi GGA
dan biasanya akibat pemberian natrium berlebihan. Hiperkalemia merupakan komplikasi
penting karena penurunan filtrasi glomerulus, penurunan sekresi tubulus, asidosis metabolic

4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
(setiap 0,1 unit penurunan pH arteri meninggikan kalium serum sebesar 0,3 mEq/L), dan
disertai status katabolisme. Hiperkalemia merupakan kedaruratan yang mengancam jiwa dan
harus diatasi segera dan dengan agresif, karena efek depolarisasinya terhadap lintasan
konduksi jantung. Gejala-gejala dapat mencakup malaise, mual dan kelemahan otot.
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia sering sebagai penyulit GGA oligurik. Kelebihan fosfat
disebabkan berkurangnya ekskresi ginjal dan bisa mengakibatkan hipokalsemia dan
penimbunan kalsium fosfat di berbagai jaringan. Hipokalsemia diakibatkan oleh gangguan
penyerapan kalsium di gastrointestinal karena produksi vitamin D yang aktif tidak memadai
oleh ginjal, resistensi rangka terhadap aksi hormon paratiroid, dan hipoalbuminemia.Kadar ion
kalsium penting diukur karena merupakan bentuk kalsium serum yang tidak berikatan, dan
menentukan aktivitas fisiologis. Kalsium ion bisa ditaksir dengan menganggap 1 mg/dL
kalsium berikatan dengan 1 g/dL albumin; jadi, kalsium ion adalah selisih antara kalsium total
dan kadar albumin serum.
5. Imbang asam-basa
Gangguan ekskresi asam non-volatil dan penurunan reabsorpsi tubulus dan berkurangnya
produksi bikarbonat ginjal mengakibatkan asidosis metabolik dengan senjang anion (anion
gap) tinggi. Asidosis berat bisa terjadi pada anak yang hiperkatabolik (syok, sepsis) atau
mereka dengan kompensasi respiratorik tidak adekuat. Dua digit terakhir dari pH arteri
membantu prediksi kompensasi pernapasan. Angka-angka ini meramalkan pCO2 (misal,
pasien dengan pH arteri 7,25 memiliki kompensasi respiratorik yang adekuat jika pCO2 arteri
adalah 25 3 mmHg).
6. Hitung darah lengkap
Anemia adalah hasil dari pengenceran atau berkurangnya eritropoiesis. Anemia hemolitik
mikroangiopatik dengan skistosit dan trombositopenia adalah petunjuk untuk sindroma
hemolitik-uremik. Oliguria yang sekunder terhadap lupus eritematosus sistemik bisa
memperlihatkan neutropenia dan trombositopenia. Eosinofilia adalah selalu disebabkan
nefritis intersitial alergika. GGA yang memanjang bisa mengakibatkan gangguan trombosit.
7. Radiologi, antara lain:
Ultrasonografi, Voiding cystourethrogram diindikasikan pada kecurigaan obstruksi bladder
outlet, Skan radionuklida mungkin berguna dalam penilaian rejeksi transplan dan obstruksi, X-
foto toraks diindikasikan jika dicurigai ada edema paru, Echocardiogram berguna jika ada
gagal jantung bendungan.

5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
OLIGURIA DAN ANURIA PADA GAGAL GINJAL AKUT
Output urin adalah indikator sensitif dari status cairan dan kecukupan hemodinamik, yang
khususnya penting karena oliguria bisa berkembng menjadi gagal ginjal akut. Pada gagal ginjal akut
terjadi gangguan homeostasis, meskipun oliguria (volume urin setiap hari kurang dari 400ml/m2)
adalah lazim, volume urin dapat berkisar normal yang lebih dikenal dengan gagal ginjal non-oliguria
pada tipe gagal ginjal akut tertentu (nefrotoksisitas aminoglikosid). Homeostasis tubuh dipertahankan
oleh reabsorbsi tubulus terhadap garam dan air.
Vasokonstriksi diduga merupakan faktor utama yang mengganggu hemodinamik renal yang
menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut. Vasokonstriksi dari pembuluh darah afferent dan efferen
mengakibatkan laju filtrasi glomerulus, sehingga mengakibatkan penurunan produksi urin. Selain
vasokonstriksi, gangguan pada epitel tubulus ginjal dapat mengakibatkan pengeluaran vasoaktif yang
akn meningkatkan resistensi pembuluh darah kortek, sehingga dapat menyebabkan penurunan aliran
darah ke ginjal dan mengganggu tubulus ginjal.
Pada penatalaksaanan pasien oliguria atau sudah terjadi anuria adalah segera menentukan apakah
status cairan pasien normal dan menyingkirkan dalam retensi urin. Retensi urin adalah
ketidakmampuan berkemih yang terjadi mendadak, biasanya disertai nyeri, sensasi kandung kemih
penuh dan distensi kandung kemih.
Dalam anamnesis harus didapatkan data tentang intake dan output cairan. data keseimbangan
cairan, berat badan setiap hari dan kehilangan cairan harus diperhitungkan. Sedangkan dalam
pemeriksaan fisik dicari tanda tanda kehilangan cairan, kelebihan cairan, dilakukan perkusi dan
palpasi kandung kemih. Jika status cairan susah ditentukan maka dapat dipasang selang vena sentral
untuk bisa menentukan dengan tepat tekanan vena sentral (CVP). Apabila dicurigai terjadinya gagal
ginjal akut, segera lakukan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum Kelainan laboratorium
dapat meliputi anemia, leukopenia, trombositopenia, hiponatremia, hiperkalemia, asidosis,
peningkatan kadar BUN serum, kreatinin, asam urat, dan fosfat dan hipokalsemia.
Penatalaksanaan pada pasien oliguria/anuria tidak perlu dipasang kateter urin untuk menghindari
hambatan pada kateter. Tetapi apabila dalam pemeriksaan masih ada keraguan akan adanya gejala
retensi urin maka bisa dipasang kateter urin.
Seperti pada pasien dengan penyakit berat lainnya, prioritas pada gagal ginjal akut adalah
memastikan oksigenasi dan sirkulasi terjadi dengan adekuat. Penatalaksanaan dilakukan sesuai
dengan penyebab dan dilakukan diet rendah protein - garam dan kalori yang adekuat.
Pada beberapa penderita oliguria mungkin tidak memungkinkan untuk membedakan apakah
oliguria disebabkan oleh hipoperfusi(hipovolemia) atau nekrosis tubus akut yang sedang

6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
mengancam. Dalam hal ini, evaluasi urin terbukti dapat membantu. Pada penderita dengan
hipovolemia, urin dipekatkan (osmolalitas urin melebihi 500mOsm/kg[mmol/L]H2O), kadar natrium
biasanya kurang dari 20mEq/L(mmol/L), dan fraksi ekskresi natrium (kadar natrium urin/plasma
dibagi dengan kadar kreatinin urin/plasma x 100) biasanya kurang dari 1%. Sebaliknya, penderita
nekrosis tubulus memiliki urin yang encer (osmolalitasnya kurang dari 350mOsm/kg[mmol/L]H 2O),
kadar natrium biasanya melebihi 40mEq/L (mmol/L), dan fraksi ekskresi natrium biasanya melebihi
1%. Jika hipovolemia terdeteksi, volume intravaskuler harus ditambah dengan pemberian larutan
garam isotonus secara intravena, 20mL/kg, selama 30 menit. Pada penderita oliguria yang
kekurangan bukti hipovolemia klinis dan laboratorium, furosemid dapat diberikan sebagai dosis
intravena tunggal 2mg/kg pada kecepatan 4mg/menit(untuk menghindari ototoksisitas); jika tidak
respon, dosis kedua sebanyak 10mg/kg dapat diberikan. Bumex dapat diberikan (0,1mg/kg) sebagai
alternatif terhadap lasix. Dosis manitol intravena tunggal sebanyak 0,5-1,0g/kg dapat diberikan
selama 30menit bersama furosemid atau menggantikan furosemid. Tidak boleh diberikan manitol
tambahan karena risiko toksisitas. Untuk menaikkan aliran darah korteks, dopamin (5g/kg/menit)
dapat diberikan (bila tidak ada hipertensi) bersama dengan terapi diuretik. Pembatasan cairan sangat
penting, tergantung pada keadaan hidrasi. Untuk penderita oliguria/anuria yang mempunyai volume
intravaskuler relatif normal, pemberian cairan harus dibatasi sampai 400mL/m2/24jam ditambah
sejumlah cairan yang sama dengan curah urin hari itu.

TATALAKSANA OLIGURIA
Perawatan medis:
1. Pada situasi klinik di mana diantisipasi hipoperfusi atau keracunan ginjal, terapi dengan manitol
(12,5 gr bolus), diuretik (furosemid 100-300 mg) dan dopamin dosis rendah (2-5 g/kg/menit)
telah digunakan untuk mencegah atau memulihkan cedera ginjal. Walaupun cara-cara ini tidak
mengubah perjalanan GGA, mereka bisa mengubah status oliguria menjadi non-oliguria, yang
lebih mudah dikelola karena GGA non-oligurik tidak membutuhkan pembatasan cairan dan
memungkinan dukung nutrisi maksimal. Namun, peran dopamin dewasa ini banyak
diperdebatkan, bahkan suatu uji klinik acak terbaru telah memberi kesan bahwa pemakaian
dopamin tidak bermanfaat.
2. Percobaan dengan manitol atau furosemid intravena harus diusahakan pada pasien oliguria yang
berlangsung kurang dari 48 dan belum memberi respons terhadap hidrasi yang adekuat.

7
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
3. Tujuan utama dari manajemen cairan adalah memulihkan dan mempertahankan volume
intravaskular normal. GGA oligurik bisa tampil dengan hipovolemia, euvolemia atau kelebihan
volume, jadi taksiran status cairan adalah prasyarat untuk memulai terapi.
4. Pemberian kalium dikontraindikasikan sebelum aliran urin cukup. Terapi harus meningkatkan
jumlah urin dalam 4-6 jam. Jika oliguria menetap (dikonfirmasi dengan kateter kandung kemih)
pemantauan vena sentral mungkin diperlukan untuk memandu manajemen selanjutnya.
5. Oliguria dengan kelebihan beban volume membutuhkan pembatasan cairan dan furosemid
intravena. Kegagalan memberi respons terhadap furosemid memberi kesan nekrosis tubulus akut,
bukan hiperfusi ginjal, dan pembuangan cairan dengan dialisis atau hemofiltrasi mungkin
dibutuhkan jika terbukti ada tanda edema paru.
6. Catatan asupan dan keluaran, berat badan harian, pemeriksaan fisik dan natrium serum menuntun
terapi yang sedang berjalan. Bila sesuai, terapi cairan diberikan, berat badan harus turun sebesar
0,5-1,0% per hari akibat kekurangan kalori, dan konsentrasi natrium harus stabil.
7. Hiperkalemia
a. Kadar kalium serum 5,5-6,5 mEq/L harus ditanggulangi dengan menghilangkan semua
sumber kalium dari diit atau cairan intravena dan diberikan resin penukar ion seperti sodium
polystyrene sulfonate (Kayexalate). Kayexalate memerlukan beberapa jam kontak dengan
mukosa kolon sebelum efektif dan lebih disukai pemberian per rektum. Komplikasi terapi ini
mencakup hipernatremia dan konstipasi.
b. Tatalaksana darurat dari hiperkalemia diindikasikan bila kalium serum melebihi 6,5 mEq/L,
atau gelombang T runcing. Di samping Kayexalate, pasien harus diberi natrium bikarbonat
yang menyebabkan perpindahan kalium ke dalam sel. Hati-hati karena bisa menyebabkan
hipokalsemia dan kelebihan natrium.
c. Ambilan kalium oleh sel juga bisa dirangsang dengan infus insulin, atau beta-agonis
(albuterol melalui nebulizer). Khasiat dan kenyamanan nebulized albuterol telah dilaporkan
pada pasien hemodialisis dengan hiperkalemia, namun sering menyebabkan takikardia dan
pengalaman pada anak masih terbatas.
d. Interval PR yang menjang atau kelainan EKG lain membutuhkan pemberian kalsium
glukonat (dengan pemantauan EKG kontinyu) untuk melawan efek hiperkalemia terhadap
miokard.
8. Imbang elektrolit dan asam basa lain
a. Tatalaksana primer dari hiponatremia adalah pembatasan air bebas; namun natrium serum di
bawah 120 mEq/L, atau disertai gejala saraf pusat mungkin membutuhkan infus NaCl 3%.

8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
b. Manajemen hiperfostatemia memerlukan pembatasan diit dan perlu diberikan pengikat fosfat
(kalsium karbonat atau kalsium asetat). Hipokalsemia biasanya memberi respons terhadap
garam kalsium oral yang digunakan untuk mengendalikan hiperfosfatemia tetapi
membutuhkan infus kalsium glukonat 10% jika berat.
c. Asidosis metabolik ringan diatasi dengan natrium bikarbonat oral atau natrium sitrat.
Asidosis berat (pH < 7,2), apalagi jika ada hiperkalemia membutuhkan terapi bikarbonat
intravena. Harus diketahui bahwa terapi bikarbonat membutuhkan ventilasi adekuat (untuk
mengekskresikan karbon dioksida yang dihasilkan) agar efektif, dan bikarbonat bisa
mencetuskan hipokalsemia dan hipernatremia. Pasien yang tidak bisa mentoleransi beban
natrium besar (misal, gagal jantung bendungan) bisa dikelola di ICU dengan trometamin
(THAM) intravena, dengan syarat dukungan ventilasi memadai sebelum dialisis
dilaksanakan.
9. Hipertensi
a. Hipertensi ringan biasanya memberi respons terhadap pembatasan garam dan pemberian
diuretik.
b. Hipertensi sedang dan asimtomatik paling sering diobati dengan antagonis kalsium oral atau
sublingual, atau dengan hidralazin intravena.
c. Jika ada ensefalopati, berikan infus kontinyu sodium nitroprusside dengan memantau kadar
tiosianat. Karena terapi nitroprusid memerlukan perhitungan tetesan yang seksama, alternatif
lain yang bisa diberikan segera adalah diazoksid atau labetalol intravena. Obat oral dimulai
setelah krisis hipertensi diatasi.
10. Obat-obat dan dialisis
a. Obat-obat nefrotoksik harus dihindari, antara lain media kontras, aminoglikosida dan AINS.
b. Pasien pada fase dini harus dianggap memiliki laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 10
mL/menit, tanpa memandang nilai absolut dari kreatinin serum.
c. Tujuan umum dari dialisis adalah membuang toksin-toksin endogen dan eksogen, dan
mempertahankan imbang cairan, elektrolit dan asam basa sebelum fungsi ginjal pulih.
Indikasi untuk dialisis akut adalah tidak mutlak, dan keputusan untuk menggunakan cara ini
tergantung pada cepatnya mula timbul, durasi dan keparahan kelainan yang harus dikoreksi.
Indikasi lazim mencakup kelebihan beban cairan yang tidak responsif terhadap diuretik atau
kesukaran pemberian nutrisi, gangguan imbang asam-basa/elektrolit yang simtomatik
(khususnya hiperkalemia) yang tidak membaik dengan manajemen non-dialitik, hipertensi
refrakter, dan uremia simtomatik (gejala-gejala SSP, perikarditis, pleuritis).

9
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
d. Pilihan antara hemodialis dan peritoneal dialisis tergantung pada kondisi klinik keseluruhan,
ketersediaan teknik, etiologi gagal ginjal, indikasi dan kontraindikasi spesifik.
e. Hemodialisis membutuhkan akses vaskular, heparinisasi, dan volume darah ekstrakorporal
yang besar, dan petugas yang terampil, tetapi keunggulannya adalah cepat mengkoreksi
gangguan imbang cairan, elektrolit dan asam basa.

E. KESIMPULAN
Oliguria didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 1 mL/kg/jam pada bayi, kurang dari 0,5
mL/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mL/hari pada dewasa. Oliguria merupakan salah satu
tanda klinik dari gagal ginjal. Terjadinya oluguria dapat diakibatkan oleh proses pre-renal, intrinsic
renal dan postrenal. Diagnosis banding untuk gejala oliguria antara lain dapat dibedakan berdasarkan
mekanisme tersebut.

10
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017
REFLEKSI KASUS NO. RM: 700019
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi I., Salim S., Hidayat R., Kurniawan J., Thapary D. L. (Ed). (2015). Panduan Praktis Klini
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
2. Tanto C., Liwang F., Hanifati S., Pradipta E. A. (Ed). (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi
IV Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
3. Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., K. M. S., Setiati S. (Ed). (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta Pusat: Interna Publishing
4. Bates & Bickley L. S. (2009). Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta:
EGC
5. Silbernagl S., Lang F. (2006). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
6. Price S. A., Wilson L. M. (2005). Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi VI Volume 1. Jakarta: EGC
7. Gunawan, S.G. et al. (2012). Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik.
FK UI. Jakarta.

Yogyakarta, 14 Maret 2017


Dokter Pembimbing,

dr. Endang Widiastuti, Sp.PD, FINASIM

11

Anda mungkin juga menyukai