2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
PEMERIKSAAN FISIK (28 Februari 2017)
1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Vital Signs
o Tekanan Darah :180/90 mmHg
o Suhu Tubuh : 37 °C
o Frekuensi Nafas : 20 x/menit
o Frekuensi Nadi : 98 x/menit
Status Gizi : Normal
Berat Badan : 62,5 kg
Tinggi Badan : 150 cm
BB 62,5 62,5
Index Massa Tubuh(IMT): = = =27,7 (Gemuk)
TB 2 1,502 2,25
Berat Badan Ideal (BBI) : 90% x (TB – 100) x 1 kg =
= 90% x (150 – 100) x 1 = 90% x 50 x 1 = 45 kg ±10 kg
2. Kepala
Mata
o Edema palpebra : ‒/‒
o Conjunctiva anemis : ‒/‒
o Sklera ikterik : ‒/‒
o Pupil isokhor : +/+
Telinga
o Discharge : ‒/‒
o Gangguan pendengaran : ‒/‒
Mulut
o Mukosa kering (–)
o Bibir sianosis (–)
o Stomatitis (–)
o Lidah kotor (‒)
3. Leher
Benjolan (–)
Limfonodi teraba (–)
3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
4. Thorax
Inspeksi
o Simetris (+)
Palpasi
o Benjolan (–)
o Ictus cordis teraba (–)
Perkusi
o Sonor (+)
Auskultasi Paru
o Vesikuler +/+
o Wheezing +/+
o Ronkhi +/+
Auskultasi Jantung
o S1-S2 reguler (+)
o Bising jantung (–)
Kesan efusi pleura ( ‒ )
5. Abdomen
Inspeksi : distensi (–)
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi :
o Lapang perut : timpani, suprapubik redup
o Hepar : pekak, batas herpar normal
Palpasi
o Nyeri Tekan ( -)
o Murphy sign ( ‒ ), nyeri tekan Mc Burney ( ‒ )
o Lien teraba ( ‒ )
o Ascites ( – ) dengan pemeriksaan undulasi dan shifting dullness.
6. Ekstremitas
Akral hangat (+)
Nadi kuat regular
Edema (+)(+)
Varises (‒)
4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
7. Pemeriksaan Penunjang
o Darah Rutin, Kimia, dan Urinalisa (sedimen) (23 Februari 2017)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Hematologi
Leukosit 8,0 4,00 - 10,6 103 / uL
Eritrosit 3,57 L 4,50 - 6,00 106 / uL
Hemoglobin 8,5 L 13,0 - 18,0 g/dL
Hematokrit 27,2 L 42,0 - 52,0 %
MCV 76,3 L 81 - 99 fL
MCH 23,9 L 27 - 31 pg
MCHC 31,3 L 33 - 37 g/dL
RDW-CV 12,4 11 - 16 %
Trombosit 270 150 – 450 103 / uL
Differential Telling
Neutrofil % 79,6 H 50 - 70 %
Limfosit % 12,5 L 20 - 40 %
Monosit % 6,3 3,0 - 12 %
Eosinofil % 1,4 0,5 - 5,0 %
Basofil % 0,2 0-1 %
Neutrofil # 6,36 2-7 103/uL
Limfosit # 1,00 0,8 - 4,0 103/uL
Monosit # 0,50 0,12 - 1,20 103/uL
Eosinofil # 0,11 0,02 - 0,50 103/uL
Basofil # 0,01 0 -1 103/uL
Kimia
GDS 372 H 70 - 140 mg/dL
Hati
SGOT 32 <37 mg/dL
SGPT 10 <42 mg/dL
Ginjal
Ureum 59 H 10 - 50 mg/dL
Creatinin 6,2 H <1,1 mg/dL
5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
(24 Februari 2017 pukul Tanggal Terima : 06.41 Tanggal Selesai : 08.10)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Glukose Darah Puasa 208 H 70-116 mg/dl
Cholestrol Total 209 H <200 mg/dl
HDL Choletsrrol 24 L >=65 mg/dl
LDL Cholestrol 140 <150 mg/dl
Trigliserida 223 H <150 mg/dl
Asam Urat 8,6 H 2,4-5,7 mg/d
(24 Februari 2017 pukul Tanggal Terima : 06.41 Tanggal Selesai : 11.10)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Glukosa 2 jam PP 110 85-140 mg/dl
(26 Februari 2017 pukul Tanggal Terima : 06.51 Tanggal Selesai : 11.14)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Ureum 70 H 10-50 mg/dl
Creatinin 8,4 H <0,9 mg/dl
6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
VF, lien, pancreas, uterus = normal
B. ASSESSMENT
1. Chronic Kidney Disease Derajat 5
2. Oedem Pulmo
3. Asthma
4. Diabetes Mellitus
5. Hipertensi Derajat II
C. PLANNING
1. Infus Nacl 0,9%
2. Amlodipin 1x10 mg po
3. Valsartan 1x80 mg
4. Callos 3x1 po
5. Anemolat 3x1 po
6. Inj. Ranitidine 1 A
7. Inj. Furosemide 2 A/8 jam
7
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
8. Inj. Ondansetron 1 A
9. Novorapid 3x10 ui
10. Ambroxol 3x1 po
8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
1. Mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun
dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus
ginjal dan interstitium
2. Mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi
nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi terhadap total GFR.
Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal
masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang
tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan
menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi
poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat.
Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding
dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan
kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan
ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan
inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan
mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular
sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat
menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi
nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun non-
ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen,
penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan
ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca,
menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan
produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi.
Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II
diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan
mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II
9
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan
kemo aktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zat –
zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23,
growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis
kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi
resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi
peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder.
Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan
menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu
hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis
fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi.
Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada
CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko
terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal
maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada
tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium.
Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari
fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD
dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah
satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh.
Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan
ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan
dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan
menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan
meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia
bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal –
gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun,
dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat.
10
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang
akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang
memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.
11
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
mengalami nyeri dada dan sesak napas. Hal ini disebabkan selaput pembungkus jantung mengalami
peradangan. Karena itu, orang yang memiliki masalah jantung agar lebih berhati-hati karena berisiko
besar mengalami gangguan ginjal.
Kelebihan Protein
Langkah yang hingga kini cukup efektif untuk mengetahui apakah fungsi ginjal mulai atau sudah
terganggu adalah tes proteinuria. Tes ini untuk mengetahui apakah di dalam urin terkandung protein
dalam jumlah melebihi nilai normal (150 mg/urin per 24 jam). Protein bagi tubuh berfungsi sebagai
pembangun sistem pertahanan tubuh agar bisa menghadapi serangan penyakit infeksi, membantu sistem
pembekuan darah, dan menjaga agar cairan yang beredar dalam tubuh berada dalam jumlah dan
komposisi yang tepat. Sebuah penelitian yang disponsori National Institutes of Health di AS pada tahun
1996 mengungkapkan, proteinuria adalah peramal yang paling baik dari gagal ginjal progresif pada
mereka yang menyandang penyakit diabetes melitus tipe 2. The National Kidney Foundation maupun
Yayasan Ginjal Indonesia juga merekomendasikan check up rutin, termasuk mengetes protein yang
terbuang melalui air seni.
Hal ini perlu dilakukan siapa pun, terutama mereka yang termasuk kelompok risiko. Mereka yang
termasuk kelompok risiko adalah penderita diabetes melitus, hipertensi, atau mempunyai riwayat
keluarga penderita proteinuria.
Air Seni Berbusa
Jika protein sudah sedemikian banyak terbuang melalul air seni, ditandai dengan air seni yang
berbusa. Tubuh kekurangan protein yang menyebabkan komposisi darah tidak bisa lagi mempertahankan
keseimbangan cairan. Sebagai hasilnya terjadi pembengkakan pada tangan, kaki, dan perut. Meski
demikian, tidak semua penderita proteinuria mengalami hal seperti itu. Ada juga yang tanpa gejala dan
baru diketahui pada saat tanda-tanda payah ginjal muncul. Karena itu, satu-satunya cara mendeteksi
proteinuria adalah dengan melakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala (enam atau setahun
sekali atau jika perlu lebih sering). Seperti dianjurkan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (ahli
ginjal), untuk mengetahui adanya proteinuria, air seni yang baik buat diperiksa adalah pada saat pagi hari
karena telah mengalami pemekatan pada malam harinya. Biasanya dengan dipsticks, berupa kertas tipis
yang akan berubah warna jika urin mengandung protein, dan terlihat berapa kadarnya. Warna yang
12
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
keluar bisa dicocokkan dengan list warna yang disertakan dalam wadah dipsticks.Namun, pemeriksaan
jenis ini masih terlalu sederhana dan hanya bisa mendeteksi protein jenis albumin saja. Lebih baik
lakukan pemeriksaan di laboratorium yang teruji untuk hasil maksimal.
Dimulai dari beberapa faktor risiko seperti Diabetes Melitus, dimana akan terjadi hiperglikemia
(kadar glukosa melebihi batas normal) dalam pembuluh darah, sehingga akan terjadi hiperperfusi dan
hiperfiltrasi yang mengakibatkan dilatasi arteri afferen ke glomerulus karena kelebihan tampungan
glukosa. Akibatnya tekanan di glomerulus akan meningkat. Seiring dengan berjalannya tingkat
keparahan penyakit maka glomerulus akan rusak. Hal tsb menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
Hiperurisemia juga dapat menjadi faktor risiko dimana terdapat kelebihan kadar asam urat di
darah misalnya pada penderita arthritis Gout. Asam urat ini akan meningkatkan konsentrasi plasma
darah yang difiltrasi ginjal dan mengendap di lumen tubulus, akibatnya semakin lama akan terjadi
penyumbatan, peningkatan tekanan intrarenal, dan akhirnya aliran darah yang terfiltrasi (LFG) turun
serta menimbulkan reaksi inflamasi. Ada juga faktor risiko hipertensi atau tekanan darah tinggi dimana
pembuluh darah dapat mengalami kerusakan sehingga terjadi penurunan aliran darah untuk difiltrasi
glomerulus. Hal ini akan menyebabkan jatuhnya laju filtrasi (LFG). LFG turun menyebabkan oliguria
bahkan anuria.
Dari ketiga faktor risiko di atas yang semuanya menyebabkan penurunan LFG, timbul beberapa
proses baru, seperti:
1. Penurunan ekskresi K+ yang akan menyebabkan penumpukan ion K+ di darah
(hiperkalemia).
2. Penurunan ekskresi fosfat (P) sehingga terjadi hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan
menghambat aktivasi vitamin D menjadi kalsitriol untuk meningkatkan reabsorbsi Ca2+ di usus.
Akibatnya di dalam plasma darah akan kekurangan Ca2+ sehingga terjadi aktivasi hormon paratiroid
(PTH) yang akan mengambil Ca2+ dari tulang ke darah untuk memenuhi kadarnya di plasma darah.
Ca2+ di tulang menurun sehingga tulang lebih mudah rapuh dan pematangan sel darah akan
terganggu.
Selain itu fosfat berlebih yang menumpuk di kulit dapat menyebabkan pruritus (gatal kulit).
3. Penurunan ekskeresi zat buangan dari tubuh, dapat menimbulkan uremia (urea dalam
darah) yang akan meningkatkan keasaman darah, dapat mengiritasi lambung. Apabila terjadi iritasi
sampai perdarahan dapat timbul melena. Perdarahan berkepanjangan akan menyebabkan anemia.
4. Terjadinya kerusakan ginjal kronis yang dapat menyebabkan diantaranya:
13
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
a. Sklerosis glomerulus dan fibrosis - protein tidak terfiltrasi - proteinuria - akibatnya
tubuh hipoalbuminemia - pembuluh darah menjadi lebih permeabel - plasma darah
ekstravasasi ke interstitial - edema
b. Overaktivitas sistem renin angiotensin aldosteron - peningkatan tekanan darah dan
retensi Na+ & air karena aldosteron - vasokonstriksi arteriola eferen saat retensi - LFG
meningkat - lama-lama glomerulus rusak
c. Produksi eritropoietin menurun - anemia - kekurangan Hb - hipoksia jaringan -
peningkatan pembentukan H+ tetapi,
d. Penurunan ekskresi H+ untuk keseimbangan asam basa - asidosis metabolik
Penyebab utama seseorang mengalami gagal ginjal kronik hingga membutuhkan pelayanan
Hemodialisa (cuci darah) adalah akibat penyakit diabetes dan darah tinggi. Tingginya kadar gula dalam
darah bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal karena organ ini dipaksa bekerja keras. Pada kasus
hipertensi, ginjal bisa rusak akibat sempitnya dinding pembuluh darah akibat lemak.
Hipertensi merupakan keadaan di mana tekanan darah berada di atas batas normal, yaitu di atas
120/80. Peningkatan tekanan darah berkepanjangan akan merusak pembuluh darah di sebagian besar
tubuh. Di dalam ginjal terdapat jutaan pembuluh darah kecil yang berfungsi sebagai penyaring guna
mengeluarkan produk sisa darah. Jika pembuluh darah di ginjal rusak, maka kemungkinan aliran darah
berhenti membuang limah dan cairan esktra dari tubuh. Bila ekstra cairan di dalam pembuluh darah
meningkat, maka bisa meningkatkan tekanan darah.Naiknya tekanan darah memang bisa menjadi salah
satu gejala munculnya penyakit ginjal. Namun, seperti halnya hipertensi, penyakit ginjal kronik (PGK)
seringkali tidak bergejala. Secara umum PGK bisa didefinisikan sebagai ketidaknormalan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerular (LFG) sehingga menimbulkan
kerusakan ginjal. Akibat gangguan fungsi ginjal itu pasien bisa mengalami muntah-muntah, bengkak
pada kaki, atau pucat.
KLASIFIKASI
1. GGK Stadium 1 : LFG > 90 ml/menit
2. GGK Stadium 2 : LFG 60 - 89 ml/menit
3. GGK Stadium 3 : LFG 30 - 59 ml/menit
4. GGK Stadium 4 : LFG 15 - 29 ml/menit
5. GGK Stadium 5 : LFG < 15 ml/menit
Rumus Hitung LFG
a. Laki-laki = LFG (ml/mnt/1,73m2 ( 140-umur) x berat badan
14
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
72 x Kreatinin plasma (mg/dl )
b. Wanita = LFG (ml/mnt/1,73m2 (140- umur ) x berat badan x 0,85
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
PATOFISIOLOGI
Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Penurunan
jumlah glomeruli yang normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan
klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme
protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mempengaruhi fungsi
kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu Blood Ureum
Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat
dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak
nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan
cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh,
sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis
metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Terjadi penurunan
produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul
keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan
penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan
dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Brunner dan
Suddarth, 2001).
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik yang muncul pada pasien dengan gagal ginjal kronik yaitu:
Gangguan pada sistem gastrointestinal:
1.Anoreksia, nausea, dan vomitus b/d gangguan metaboslime protein dalam usus.
2. Mulut bau amonia disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur.
3. Cegukan (hiccup)
15
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
4. Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik
Sistem Hematologi:
1. Anemia
2. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
3. Gangguan fungsi leukosit
Sistem kardiovaskuler:
1. Hipertensi, akibat penimbunan cairan dan garam.
2. Nyeri dada dan sesak nafas
3. Gangguan irama jantung
4. Edema akibat penimbunan cairan
Kulit:
1. Kulit berwarna pucat akibat anemia.
2. Gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik.
3. Ekimosis akibat gangguan hematologis
4. Urea frost akibat kristalisasi urea
5. Bekas-bekas garukan karena gatal
Sistem Saraf dan Otot:
1. Restles leg syndrome: Pasien merasa pegal pada kakinya, sehingga selalu digerakkan.
2. Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama ditelapak kaki.
3. Ensefalopati metabolik: Lemah, sulit tidur, konsentrasi turun, tremor, asteriksis, kejang.
4. Miopati: Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas proksimal
Sistem endokrin:
1. Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki.
2. Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, dan gangguan sekresi insulin.
3. Gangguan metabolisme lemak.
4. Gangguan metabolisme vitamin D
16
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
PATHWAY
Glomerulonefritis,
Pielonefritis, Hidronefrosis,
Sindroma Nefrotik,Tumor Ginjal
GFR/LFG menurun
17
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
Edema
F. KESIMPULAN
Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal
sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal
jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan
resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin
menurunnya fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan.
18
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016
REFLEKSI KASUS NO. RM: 331485
DAFTAR PUSTAKA
1. Alwi I., Salim S., Hidayat R., Kurniawan J., Thapary D. L. (Ed). (2015). Panduan Praktis Klini
Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
2. Tanto C., Liwang F., Hanifati S., Pradipta E. A. (Ed). (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV
Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
3. Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., K. M. S., Setiati S. (Ed). (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V Jilid I. Jakarta Pusat: Interna Publishing
4. Bates & Bickley L. S. (2009). Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta: EGC
5. Silbernagl S., Lang F. (2006). Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC
6. Price S. A., Wilson L. M. (2005). Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi
VI Volume 1. Jakarta: EGC
19