Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang

disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai

daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi

motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan

sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan

sensasi dan fungsi motorik volunter (Marilynn E. Doenges,1999;338).

Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang

mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera

baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda

sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data

dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam

5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka

kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk

angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).

Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita

karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini

1
wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di

asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical

Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999).

Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada

L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan

ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga

beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena

profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu

sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan

keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien

dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya laporan inti ini yang

berjudul “ Asuhan Keperawatan Pada Ny. NS Dengan Cidera Medulla Spinalis

Bone Loss L2-3 di Ruang Orthopaedi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati

Jakarta” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu

asuhan keperawatan.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk memberikan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan dengan

kasus cidera medulla spinalis bone loss L2-3.

2
2. Tujuan Khusus

a. Mampu mengidentifikasi data yang menunjang

b. Mampu menentukan diagnosa keperawatan

c. Mampu menulis definisi diagnosa keperawatan

d. Mampu menjelaskan rasional diagnosa keperawatan

e. Mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan

f. Mampu menyusun rencana keperawatan untuk masing-masing diagnosa

keperawatan

g. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien

h. Mampu melaksanakan evaluasi

i. Mampu mengidentifikasi faktor penghambat dan penunjang dalam

melaksanakan asuhan keperawatan

j. Mampu mengidentifikasi dalam pemberian penyelesaian masalah (solusi).

1.3 Metode Penulisan

Dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode studi kasus

dengan teknik pengumpulan data sebagai berikut : teknik wawancara, teknik

3
observasi, pemeriksaan fisik, studi kepustakaan dengan mengambil literature yang

berhubungan dengan kasus cidera medulla spinalis.

4
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

ASKEP CEDERA MEDULA SPNALIS

2.1 DEFINISI

Trauma medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan

sebagai cidera atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan

perubahan fungsional, baik secara mental maupun permanen, pada fungsi motorik,

sensorik, atau otonom. Trauma pada medulla spinalis dapat bervariasi dari trauma

ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang

menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinalis dengan quadriplegia

(Fransiska B. Batticaca 2008).

Cedera medula spinalis (CMS) atau spinal cord injury (SCI ) ditandai

dengan adanya tetralegia atau paraplegia, parsial atau komplit, dan tingkatan atau

level tergantung area terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau quadriplegia

adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di segmen servikal medulla

spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan fungsi sensorik dan motorik di

segmen thorakal, lumbal dan sakrum ( Kirshblum & Benevento, 2009).

Cedera Medula Spinalis adalah cedera yang mengenai Medula Spinalis baik

itu bagian servikalis, torakalis, lumbal maupun sakral akibat dari suatu trauma

yang mengenai tulang belakang. (Arif Muttaqin,2008).

5
2.2 ETIOLOGI

Menurut Arif Muttaqin (2008) penyebab dari cidera medulla spinalis adalah :

a. otomobil, industri

Kecelakaan yang hebat dapat menyebabkan suatu benturan dari organ tubuh

salah satu yang terjadi adalah cidera tulang belakang secara langsung yang

mengenai tulang belakang dan melampui batas kemampuan tulang belakang

dalam melindungi saraf –saraf yang berada didalamnya.

b. Terjatuh, olahraga

Peristiwa jatuh karena suatu kegiatan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi terjadinya cidera salah satunya karena kegiatan olahraga yang

berat contohnya adalah olahraga motor GP , lari, lompat.

c. Luka tusuk, tembak

Luka tusuk pada abdomen atau tulang belakang dapat dikatakan menjadi

faktor terjadinya cidera karena terjadi suatu perlukaan atau insisi luka tusuk atau

luka tembak.

d. Tumor

Tumor merupakan suatu bentuk peradangan. jika terjadi komplikasi pada

daerah tulang belakang spinal. Ini merupakan bentuk cidera tulang belakang.

Medulla Spinalis

6
2.3 PATOFISIOLOGI

Menurut Arif Muttaqin 2008, kerusakan medulla spinalis berkisar dari

komosis sementara (dimana pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi,

dan kompresi substansi medulla (baik salah satu atau dalam kombinasi), sampai

transeksi lengkap medulla (yang membuat pasien paralisis di bawah tingkat

cedera). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis darah dapat merembes

ke ekstradural, subdural atau daerah subarakhnoid pada kanal spinal. Segera

setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai

membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis

menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh

darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan

yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-

kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi,

yang pada gilirannya mengakibatkan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini,

diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medulla spinalis pada tingkat

cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika

kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali

pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat antiinflamasi

lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari

perkembangannya, masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

7
2.4 TANDA DAN GEJALA

1. Menurut Diane C. Baughman (2000) tanda dan gejala Medula Spinalis

Meliputi :

a) Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang

terkena

b) Paraplegia

c) Tingkat neurologic

d) Paralisis sensorik motorik total

e) Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung

kemih)

f) Penurunan keringat dan tonus vasomotor

g) Penurunan fungsi pernafasan

h) Gagal nafas

i) Pernafasan dangkal

2. Menurut ENA, (2000 tanda dan gejala Medula Spinalis Meliputi :

a) Penggunaan otot-otot pernafasan

b) Pergerakan dinding dada

c) Hipotensi

d) Bradikardi

e) Kulit teraba hangat dan kering

f) Poikilotermi (ketidakmampuan mengatur suhu tubuh)

8
g) Kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan gerak

h) Kehilangan sensasi

i) Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegi, guadriparalesis, guadriparaplegia

j) Adanya spasme otot dan kekakuan

3. Menurut Brunner dan Suddarth, (2001) tanda dan gejala Medula Spinalis

Meliputi :

a) nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang

terkena

b) paraplegia

c) tingkat neurologik

d) paralisis sensorik motorik total

e) kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)

f) penurunan keringat dan tonus vasomotor

g) penurunan fungsi pernafasan

h) Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah

4. Menurut campbell( 2004) tanda dan gejala Medula Spinalis Meliputi :

a) Kelemahan otot

b) Deformitas tulang belakang

c) Nyeri

d) Perubahan bentuk pada tulang servikal

e) Kehilangan kontrol eliminasi dan feses

9
f) Terjadi gangguan ereksi penis (priapism)

2.5 PENATALAKSANAAN

Menurut Francisca B. Batticaca,(2008) penatalaksanaan Medula Spinalis

Meliputi:

1) Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,

memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cidera lain, yang

menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih

lanjut. Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu

tulang-ed). Untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi

tulang belakang untuk melidungi koral spiral.

2) Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau

debrideben luka terbuka.

3) Fikasi internal elekif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang

belakang, cidera ligaemn tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif,

cidera yang tak dapat direbduksi, dan fraktur non-union.

4) Terapi steroid, nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral

spiral. Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 3mg/kgBB diikuti 5,4

mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam sejak

cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga

akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.

10
5) Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi

sensorik, motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau

asenden.

6) Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak

keadaan dekompensasi.

7) Pengelolaan cedera stabil tanpa deficit neurologis seperti angulasi atau baji

dari bahan luas tulang belakang, fraktr psoses transverses, spinosus, dan

lainnya, tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang),

imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.

8) Cedera tak stabil disertai deficit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur

memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.

a. Metode reabduksi antara lain : · Transaksi memakai sepit (tang) metal

yang dipasang pada tengkorak. Beban 20kg tergantung dari tingkat ruas

tulang belakang, ulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1. · Manipulasi dengan

anestesi umum · Reabduksi terbuka melalui operasi

b. Metode imobilisasi antara lain : · Ranjang khusus, rangka, atau selubung

plester. · Transaksi tengkorak perlu beban sedang untuk memperahankan

cedera yang sudah direabduksi. · Plester paris dan splin eksternal lain. ·

Operasi.

9) Cedera stabil disertai deficit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan

neurologis disebabkan oleh:

11
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan

trauma langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.

b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya

seperti spondiliosis servikal.

c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral.

10) Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang

tampak pada saat pertama kali diperiksa:

a. Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif

b. Cedera di daerah servikal, leher di mobilisasi dengan kolar atau sepit

(kapiler) dan di beri metal prednisolon.

c. Pemeriksaan penunjang MRI.

d. Cedera neurologis tak lengkap konservatif.

e. Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, ttraksi

tengkorak, dan metal prednisolon.

f. Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya.

g. Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka

lakukan mielografi.

h. Cedera tulang tak stabil.

i. Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi.

Melindungi imobiisasi seperti penambahan perawatan paraplegia.

j. Bila deficit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti

imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.

12
k. Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan pada saat yang

sama.

Cedera yang menyertai dan komplikasi: · cedera mayor berupa cedera kepala atau

otak, toraks, berhubungan dengan ominal, dan vascular. · cedera berat yang dapat

menyebabkan kematian, aspirasi, dan syok. (Fransisca B. Batticaca 2008).

2.6 PEMERIKSAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal

menurut Mahadewa dan Maliawan, (2009) adalah :

a. Foto Polos

Pemeriksaan foto yang terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view.

Posisi lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat

instabilitas ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan

pada AP dan lateral, dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina,

artikulasi sendi facet, jarak interspinosus. Posisi oblique berguna untuk

menilai fraktur interartikularis, dan subluksasi facet.

b. CT Scan

CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang

mengenai elemen posterior dari medulla spinalis. Fraktur dengan garis fraktur

sesuai bidang horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik

dilihat dengan CT scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk

13
melihat pendesakan kanal oleh fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen

posterior.

c. MRI

MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medulla

spinalis dan struktur ligament. Identifikasi ligament yang robek seringkali lebih

mudah dibandingkan yang utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap

penderita yang menggunakan fiksasi metal, dimaka akan memberikan artefact

yang mengganggu penilaian fisik. Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan

MRI, memungkinkan kita bias melihat kelainan pada tulang dan struktur jaringan

lunak (ligament, diskus dan medulla spinalis).

d. Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf

Kedua prosedur ini biasannya dikerjakan bersama-sama satu sampai dua

minggu setelah terjadinya trauma. Elektromiografi dapat menunjukan adanya

denerfasi pada ekstremitass bawah. Pemeriksaan pada otot paraspinal dapat

membedakan lesi pada medulla spinalis atau cauda equine, dengan lesi pada

pleksus lumbal atau sacral

1. Sedangkan menurut Arif Mutaqim, (2005) pemeriksaan radiologi yang dapat

dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Rontgen

14
Pada pemeriksaan Rontgen, rnanipulasi penderita harus dilakukan secara

hati-hati. Pada fraktur C-2, pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus

dengan membuka mulut. Pemeriksaan posisi AP secara lateral dan kadang-kadang

oblik dilakukan untuk menilai hal-hal sebagai berikut.

1) Diameter anteroposterior kanal spinal.

2) Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra.

3) Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal.

4) Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosusKetinggian ruangan

diskus intervertebralisPembengkakanjaringan lunak.

b. Pemeriksaan CT-scan terutama untuk melihat fragmentasi dan pergeseran

fraktur dalam kanal spinal.

c. Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi.

d. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu

diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam

sumsum medulla spinalis.

2.7 KOMPLIKASI

1. Neurogenik shock

Syok Neurogenik adalah kondisi medis yang ditandai dengan

ketidakcukupan aliran darah ke tubuh yang disebabkan karena gangguan sistem

saraf yang mengendalikan konstriksi dari pembuluh-pembuluh darah. Gangguan

15
ini menyebabkan kehilangan sinyal saraf tiba-tiba, yang menyebabkan terjadinya

relaksasi dan pelebaran pembuluh-pembuluh darah

2. Hipoksia.

Hipoksia merupakan kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke

jaringan di bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan

tubuh.

3. Hipoventilasi

Hipoventilasi adalah kurangnya ventilasi dibandingkan dengan kebutuhan

metabolik, sehingga terjadi peningkatan PCO2 dan asidosis respiratorik

4. Instabilitas spinal

Instabilitas spinal adalah hilangnya kemampuan jaringan lunak pada spinal

(contoh : ligamen, otot dan diskus) untuk mempertahankan kontrolintersegmental

saat terjadinya beban atau stress fisiologis.

5. Orthostatic Hipotensi

Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah yang terjadi tiba-tiba

saat berubah posisi dari telentang ke posisi duduk atau tegak. Hal ini lebih sering

pada pasien yang mengambil obat antihipertensi. Gejala seperti lemah tiba-tiba,

pusing, terasa pingsan dan pingsan dapat terjadi.

6. Ileus Paralitik

16
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus

karena usus tidak dapat bergerak (mengalami dismolititas).

7. Infeksi saluran kemih

Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi bakteri yang mengenai bagian dari

saluran kemih. Ketika mengenai saluran kemih bawah dinamai sistitis (infeksi

kandung kemih) sederhana, dan ketika mengenai saluran kemih atas dinamai

pielonefritis (infeksi ginjal).

8. Kontraktur

Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi

secara pasif maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong,

otot dan kulit.

9. Dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit,

bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada

suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah

setempat. Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir

yang disebabkan karena adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang

menonjol (bony prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu

yang lama.

10. Inkontinensia blader

17
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang

tidak terkendali atau terjadi di luar keinginan. (Brunner&Suddarth, 2002).

11. Konstipasi (Fransisca B. Batticaca 2008)

Konstipasi adalah kondisi tidak bisa buang air besar secara teratur atau tidak

bisa sama sekali. Jika mengalaminya, Anda biasanya akan mengalami gejala-

gejala tertentu. Misalnya tinja Anda menjadi keras dan padat dengan ukuran

sangat besar atau sangat kecil.

2.8 DIAGNOSA BANDING

1. Herniasi Discus Lumbalis

Herniasi diskus lumbal atau hernia nucleus pulposus sering terjadi pada pria

dewasa dengan insiden puncak decade ke 4 dan ke 5. Kelainan ini dapat terjadi

pada individu yang bekerja membungkuk dan mengangkat berat. Keluhan utama :

a. Nyeri punggung bawah yang onsetnya perlahan-lahan

b. Bersifat tumpul atau terasa tidak enak

c. Sering intermiten

d. Kadang-kadang nyeri tersebut onsetnya mendadak dan berat

e. Nyeri terjadi akibat regangan ligamentum longitudinalis posterior karena

diskus tidak memiliki serabut nyeri, nyeri tersebut khas yaitu diperhebat

oleh aktifitas atau pengerahan tenaga serta mengejan.

f. Batuk atau bersin

18
g. Nyeri menghilang bila berbaring pada sisi yang tidak terkena dengan

tungkai yang sakit di fleksikan

h. Sering terdapat spasme reflek otot-otot parapetebra menyebabkan nyeri

dan pasien tidak bisa berdiri secara pe.nuh

i. Nyeri pinggul pada sisi posterior atau posterolatral paha serta tungkai sisi

yang terkena (skiatika/iskialia)

j. Rasa baal dan kesemutan menjalar pada sebagian kaki

2. Kompresi Medula Spinalis

Dalam keadaan normal, medula spinalis dilindungi oleh kolumna spinalis

yang memiliki struktur seperti tulang, tetapi penyakit tertentu dapat mekenan

medula spinalis dan mengganggu fungsi normalnya. Lokasi dari kerusakan pada

medula spinalis menentukan otot dan sensase yang terkena. Kelemahan atau

kelumpuhan serta berkurangnya atau hilangnya rasa cenderung terjadi dibawah

daerah yang mengalami cedera. Penekanan medula spinalis yang berjalan paling

lambat biasanya merupakan akibat dari kelainan pada tulang yang disebabkan

oleh artrits degenerativa atau tumor yang pertumbuhannya sangat lambat.

Penderita tidak merasakan nyeri atau nyeri bersifat ringan, perubahan rasa

(misalnya kesemutan) dan kelemahan berkembang dalam beberapa bulan.

19
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA MEDULA

SPINALIS

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Cedera Medulla Spinalis

3.1 Pengkajian keperawatan (sumber)

Penting bagi perawat untuk mengetahui bahwa setiap adanya riwayat trauma

pada servikal merupakan hal yang penting diwaspadai.

Pengkajian

Anamnesa

Tanggal MRS :

Tanggal Pengkajian :

No. Registrasi :

Diagnose Medis :

Pengumpulan data

1. Identitas

Nama Pasien :

20
Usia :

Jenis Kelamin :

Alamat :

Pendidikan :

Agama :

2. Anamnesis Riwayat Penyakit

a. Keluhan Utama

Cedera medulla spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama yang

berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul

seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggun dan kelemahan pada

ekstremitas atas maupun bawah.

b. Riwayat Penyakit Saat Ini

Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan

adanya kehilangan fungsi neurologic. Medulla spinalis dapat mengalami cedera

melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses

verikut dan gaya : kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

21
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh beberapa

penyakit seperti Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis,

Osteoporosis maupun Tumor ganas.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera

medulla spinlis.

e. Riwayat Psiko-Sosio-Spiiritual

Pengkajian meliputi : Bagaimana emosi klien ? Apakah klien memiliki

kebiasaan meminum minuman keras dan suka mabuk? Bagaimana keyakinan

klien terhadap sakit yang dialaminya? Apakah ada penyangkalan tentang

penyakitnya ? Bagaimana emosi klien : sedih, marah, takut, cemas, gelisah,

menarik diri maupun tidak percaya diri?

3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian

focus ditujukan pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera medulla spinalis.

Keadaan umum : (Arif muttaqin 2008) Pada keadaan cidera tulang belakang

umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-

tanda vital, meliputi bradikardi dan hipotensi.

B1 (BREATHING)

22
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf

parasimpatis klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan

karena adanya kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada tulang

belakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis,

pemeriksaan fisik dari sistem ini akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi

umum didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas.dst

B2 (BLOOD)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan rejatan syok hipovolemik

yang sering terjadi pada klien cedera tulang belakang. Dari hasil pemeriksaan

didapatkan tekanan darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar.

Pada keadaan lainnya dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak

pada kompensasi tubuh.

B3 (BRAIN)

Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan

pengkajian saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien

dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi

sistem persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi

penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian

sistem motorik : inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah,

baik bersifat paralis, paraplegia, maupun quadriplegia Pengkajian sistem sensori :

23
ganguan sensibilitas pada klien cedera medula spinalis sesuai dengan segmen

yang mengalami gangguan.

B4 (BLADDER)

Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk

berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat

terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauida ekuina

kandung kemih dikontrol oleh pusat (S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung

kemih akan menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat

spinal.

B5 (BOWEL)

Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus

paralitik, dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi,

tidak ada. Hal ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan

berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.

B6 (BONE)

Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian

lesi saraf yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi

segmental dari saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah

kelemahan dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit,

suhu, kelembapan, dan turgor kulit dst.

24
4. pemeriksaan Diagnostik

a. Laboratorium

b. Radiologi

c. Neurofisiologi klinik

 EMG

 NCV

 SSEP

d. MRI

e. CT Scan

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Arif Muttaqim, (2008) diagnosa keperawatan yang muncul pada Cedera

Medula Spinalis adalah sebagai berikut:

1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan

dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, dan

penurunan kemampuan batuk (ketidakmampuan batuk/batuk efektif).

2. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-

otot pernapasan atau kelumpuhan otot diafragma.

3. Penurunan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan penurunan

curah jantung akibat hambatan mobilitas fisik.

25
4. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan

refleks spasme otot sekunder.

5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhu-

bungan dengan kemampuan mencerna makanan dan

peningkatan kebutuhan metabolisme

6. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuro-

muskular

7. Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan

persarafan pada usus dan rektum

8. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsipersepsi

spasial dan kehilangan sensori

9. Perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan

kelumpuhansaraf perkemihan

10. Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis kondisisakit,

program pengobatan, dan lamanya tirah baring.

11. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik

ekstremitas bawah.

12. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan

hambatan mobilitas fisik

13. Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imunprimer

(cedera pada jaringan paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi,

dan tindakan invasif

26
14. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasidan

tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

15. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap

konsep diit, dan perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran.

16. Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritispada

klien.

17. Risiko ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan

dengan ketegangan akibat krisis situasional.

3.3 PERENCANAAN KEPERAWATAN

Menurut Arif Muttaqin (2008) tujuan perencanaan dan implementasi dapat

mencakup perbaikan pola pernapasan, perbaikan mobilitas, pemeliharaan

integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan

rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi Rencana keperawatan

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Rasionalisasi

Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neuromuskular

Batasan karakteristik :

a. Penurunan waktu reaksi

b. kesulitan membolak balik posisi

27
c. melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan

d. dispnea setelah beraktivitas

e. perubahan cara berjalan

f. gerakan bergetar

g. keterbatasan pengetahuan melakukan ketrampilan motorik halus

h. keterbatasan melakukan ketrampilan motorik kasar

i. keterbatasan rentang pergerakan sendi

j. tremor akibat pergerakan

k. ketidak stabilan postur

l. pergerakan lambat

m. pergerakan tidak terkoordinasi

NOC :

a. Joint Movement : Active

b. Mobility Level

c. Self care : ADLs

d. Transfer performance

Criteria Hasil :

 Klien meningkat dalam aktivitas fisik

 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan

kemampuan berpindah

28
 Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)

NIC :

Exercise therapy : ambulation

a. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat

latihan

b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan

kebutuhan

c. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap

cedera

d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi

e. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

f. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai

kemampuan

g. Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan

ADLs ps.

h. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.

i. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika

diperlukan

j. Mengetahui tingkat kemampuan aktivitas klien

k. Menurunkan rsiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulassi darah yang

jelek pada daerah yang tertekan.

29
l. Gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot serta

memperbaiki fungsi jantung dan pernafasan.

m. Otot volumter akan kehilangan tonus dan kekuatanya bila tidahk dilatih

untuk digerakan

n. Telapak kaki dalam posisi 90 derajat dalam mencegah footdrop.

o. Deteksi dini adanya gangguan sirkulai dan hilangnya sensasi resiko tinggi

kerusakan integritass kulit kemungkinan komplikasi imobilisasi.

p. Untuk memelihara fleksibelitas sendi sesui kemampuan.

q. Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.

r. Dilakukan untuk menegakan postur ddan menguatkan otot-otot spinal.

s. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan

dengan latihan fisik dari tim fisio terapis.

Risiko trauma berhubungan dengan penurunan kesadaran, kerusakan

mobilitas fisik

Faktor-faktor risiko

Internal:

1. Kelemahan

2. penglihatan menurun

3. penurunan sensasi taktil

4. penurunan koordinasi otot, tangan dan mata

30
5. kurangnya edukasi keamanan

6. keterbelakangan mental

Eksternal:

Lingkungan

NOC :

1. Knowledge : Personal Safety

2. Safety Behavior : Fall Prevention

3. Safety Behavior : Fall occurance

4. Safety Behavior : Physical Injury

5. Tissue Integrity: Skin and Mucous Membran

Kriteria hasil :

a. Pasien terbebas dari trauma fisik

b. Lingkungan rumah aman

c. Perilaku pencegahan jatuh

d. Dapat medeteksi resiko

e. Pengendalian resiko : penggunaan alcohol, penggunaan narkoba,

pencahayaan sinar matahari

f. Pengetahuan keamanan terhadap anak

g. Pengetahuan personal sefty

31
h. Dapat memproteksi terhadap kekerasan

NIC :

Environmental Management safety

a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien

b. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik

dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien

c. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan

perabotan)

d. Memasang side rail tempat tidur

e. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih

f. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.

g. M embatasi pengunjung

h. Memberikan penerangan yang cukup

i. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.

j. Mengontrol lingkungan dari kebisingan

k. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan

l. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya

perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.

RASIONAL :

32
a. Meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulang

dengna jaringan lunak di sekitarnya.

b. Menghindari tekanan yang berlebih yang menonjol

c. Mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan

dan keamanan.

d. Bila fase edema telah lewat, kemungkinan bebat menjadi longer dapat

terjadi.

e. Antibiotik bersifat bakte-riosida/baktiostatika untuk

membunuh/menghambat perkembangan kuman

f. Menilai perkembangan masalah klein.

Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) ygang berhubungan dengan

gangguan persarafan pada usus dan rektum, imobilisasi, intake cairan yang

tidak adekuat

Batasan Karakeristik :

 Nyeri abdomen

 Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot

 Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot

 Anoraksia

 Penampilan tidak khas pada lansia

 Borbogirigmi

 Darah merah pada feces

 Perubahan pada pola defekasi

33
 Penurunan frekuensi

 Penurunan volume feces

 Distensi abdomen

 Rasa rektal penuh

 Rasa tekanan rektal

 Keletihan umum

 Feces keras dan berbentuk

 Sakit kepala

 Bising usus hiperaktif

 Bising usus hipo aktif

 Peningkatan tekanan abdomen

 Tidak dapat makan, mual

 Rembesan feces cair nyeri pada saat defekasi

 Masa abdomen yang dapat diraba adnya feces lunak

 Perkusi abdomen peka

 Sering flatus

 Mengejan pada saat defekas

 Tidak dapat mengeluarkan feces

 Muntah

NOC :

a. Bowel elimination

b. Hydration

34
Kriteria Hasil

a. Mempertahankan bentuk fases lunak setiap 1-3 hari

b. Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi

c. Mengidentifikasi indicator ntuk menjega konstipasi

d. Fases lunak dan berbentuk

NIC :

Constipation/Impaction Management

1. Monitor tanda dan gejala konstipasi

2. Monitor bising usus

3. Monitor fases : frekwensi, konsistensi, volume

4. Konsultasi dengan dokter tentang penurunan dan peningkatan bising usus

5. Monitor tanda dan gejala rupture usus/peritoritis

6. Jelaskan etiologi dan nasionalisasi tindakan terhadap pasien

7. Identifikasi factor penyebab dan konstribusi konstipasi

8. Dukung intake cairan

9. Kolaborasikan pemberian laksatif

10. Pantau tanda-tanda dan gejala konstipasi dan inpaksi

11. Memantau gerakan usus, termasuk konsistensi frekuensi, bentuk, volume

dan warna

12. Memantau bising usus

35
13. Konsultasikan dengan dokter tentang penurunan/tentang kenaikan bising

usus

14. Pantau tanda-tanda dan gejala pecahnya usus

15. Jelaskan etiologi masalah dan pemikiran tindakan untuk pasien

16. Meyusun jadwal ke toilet

17. Mendorong meningkatkan asupan cairan kecuali dikontraindikasikan

18. Evaluasi profil obat untuk efek samping gastrointestinal

19. Anjurkan pasien/keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan

konsistensi tinja

20. Ajarkan pasien/keluarga bagaimana untuk menjaga buku harian makanan

21. Anjurkan pasien/keluarga untuk idiet tinggi serat

22. Anjurkan pasien/keluarga pada penggunaan yang tepat dari obat pencahar

23. Anjurkan pasien/keluarga pada hubungan asupan diet, olahraga dan cairan

sembelit

24. Menyarankan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter jika sembelit terus

ada

25. Menginformasikan pasien prosedur penghapusan manual dari tinja jika

perlu

26. Lepaskan impaksi tinja secara manual, jika perlu

27. Timbang pasien secara teratur

28. Ajarkan pisen atau keluarga tentang proses pencernaan yang normal

36
29. Ajarkan pasien atau keluarga tentang kerangka waktu untuk resolusi

sembelit

RASIONAL :

1. Klien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi.

2. Perdarahan gastrointestinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma

dan stress.

3. Bising usus menandakan sifat aktifitas peristaltic. Penurunan bising usus

mungkin ada selama syok spinal.

4. Dien seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltic dan

eliminasi regular.

5. Masukan cairan adeuat membantu mempertahankan konsistensi feces yang

sesui pada usus dan membantu eliminasi regular.

6. Aktifitas fisik regular membantu eliminasi dengan memperbaikei tonus

otot abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltic.

7. Pelunak feces meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang

melunakan massa feces dan membantu eliminasi.

37
3.4 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan

Keperawatan, implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari

rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.

3.5 EVALUASI KEPERAWATAN

Menurut Setiadi,(2012) dalam buku Konsep & Penulisan Asuhan

Keperawatan, Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis

dan terencaan tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,

dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan

tenaga kesehatan lainnya.

Komponen catatan perkembangan, antara lain sebagai berikut.

1. Kartu SOAP(data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan

perencanaan/plan) dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan

pengkajian ulang.

2. Kartu SOAPIER sesuai sebagai catatan yang ringkas mengenai penilaian

diagnosis keperawatan dan penyelesaiannya. SOAPIER merupakan

komponen utama dalam catatan perkembangan yang terdiri atas:

S (Subjektif) : data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien

yang afasia.

38
O (Objektif) : data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya

tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat

pengobatan.

A (Analisis/assessment) : masalah dan diagnosis keperawatan klien yang

dianalisis/dikaji dari data subjektif dan data objektif. Karena status klien selalu

berubah yang mengakibatkan informasi/data perlu pembaharuan, proses

analisis/assessment bersifat diinamis. Oleh karena itu sering memerlukan

pengkajian ulang untuk menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.

P (Perencanaan/planning) : perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan

keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil modifikasi

rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien.

Proses ini berdasarkan kriteria tujaun yang spesifik dan periode yang telah

ditentukan.

I (Intervensi) : tindakan keperawatan yang digunakan untuk memecahkan atau

menghilangkan masalah klien. Karena status klien selalu berubah, intervensi harus

dimodifikasi atau diubah sesuai rencana yang telah ditetapkan.

E (Evaluasi) : penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan analisis respons

klien terhadapintervensi yang berfokus pada kriteria evaluasi tidak tercapai, harus

dicari alternatif intervensiyang memungkinkan kriteria tujuan tercapai.

R (Revisi) : tindakan revisi/modifikasi proses keperawatan terutama diagnosis dan

tujuan jika ada indikasi perubahan intervensi atau pengobatan klien. Revisi proses

39
asuhan keperawatan ini untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam kerangka

waktu yang telah ditetapkan.

40
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa cedera medulla

spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan

pada daerah medulla spinalis. Penyebab dari cidera medulla spinalis adalah

otomobil, industri , terjatuh, olahraga, terluka tusuk, tembak ,tumor. Tanda dan

gejala cedera spinalis Menurut campbell (2004), yaitu : Kelemahan otot,

Deformitas tulang belakang, Nyeri, Perubahan bentuk pada tulang servikal,

Kehilangan kontrol eliminasi dan feses,Terjadi gangguan ereksi penis (priapism).

Pemeriksaan diagnostic cedera spinalis menurut Mahadewa dan Maliawan

(2009) adalah : Foto Polos, CT Scan, MRI, Elektromiografi dan Pemeriksaan

Hantaran Saraf. Komplikasi cedera spinalis diantaranya Neurogenik shock ,

hipoksia, instabilitas spinal, infeksi saluran kemih, kontraktur, dekubitus,

inkontinensia blader, Dan konstipasi. Diagnosa banding cedera spinalis yaitu

Herniasi discus lumbalis dan kompresi medulla spinalis.

4.2 Saran :

Selayaknya seorang mahasiswa keperawatan dan seorang perawat dalam

setiap pemberian asuhan keperawatan termasuk dalam asuhan keperawatan cedera

medulla spinalis menggunakan konsep yang sesuai dengan kebutuhan dasar

41
manusia yang bersifat holistic yang meliputi aspek biopsikospiritual dan semoga

makalah ini dapat digunakan sebagai titik acuh khalayak umum.

42

Anda mungkin juga menyukai