Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perawat

2.1.1 Pengertian Perawat

Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan

melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh

melalui pendidikan keperawatan (Budiono dan Pertami, 2015). Kemudian

menurut Undang-Undang No 38 tahun 2014 dalam keperawatan dijelaskan

bahwa definisi keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada

individu, keluarga, kelompok baik dalam keadaan sakit maupun sehat.

Sedangkan definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan

tinggi keperawatan, baik didalam maupun luar negeri yang diakui pemerintah

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan (Dep Kes RI,

2017).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perawat merupakan seseorang yang

telah lulus pendidikan perawat dan memeliki kemampuan adan kewenangan

melakukan tindakan keperawatan berdasarkan bidang keilmuan yang dimiliki

dan memberikan pelayanan kesehatan secara holistik yang profesional untuk

individu sehat maupun sakit perawat berkewajiban memenuhi kebutuhan

pasien meliputi bio-psiko-sosial-spiritual.

9
10

2.1.2 Peran Perawat

Peran perawat menurut hasil Lokakarya Nasional Keperawatan Tahun 1983,

yaitu :

a. Pelaksanaan pelayanan keperawatan, perawat memberikan asuhan

keperawatan baik langsung maupun tidak langsung dengan metode proses

keperawatan.

b. Pendidikan dalam keperawatan, perawat mendidik individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat, serta tenaga kesehatan yang berada di bawah

tanggung jawabnya.

c. Pengelola pelayanan keperawatan, perawat mengelola pelayanan maupun

pendidikan keperawatan sesuai dengan manajemen keperawatan dalam

kerangka paradigma keperawatan.

Peneliti dan pengembang pelayanan keperawatan, perawat melalukan

identifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian,

serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau

pelayanan dan pendidikan keperawatan (Budiono dan Pertami, 2015).

2.1.3 Fungsi Perawat

Budiono dan Pertami (2015) mengatakan bahwa fungsi perawat adalah

suatu pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan sesuai dengan perannya. Fungsi
11

tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada, perawat dalam

menjalankan perannya memiliki beberapa fungsi, seperti berikut :

1. Fungsi Independen

a. Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan perintah dokter.

b. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu

keperawatan.

c. Perawat bertanggung jawab terhadap klien, akibat yang timbul dari

tindakan yang diambil. Contoh melakukan pengkajian.

2. Fungsi Dependen

a. Perawat membantu dokter memberikan pelayanan pengobatan dan

tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya

dilakukan dokter, seperti pemasangan infus, pemberian obat dan

melaukan suntikan.

b. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis menjadi tanggung

jawab dokter.

3. Fungsi Interpenden

a. Tindakan perawat berdasarkan apda kerja sama dengan tim perawat

atau tim kesehatan.

b. Cohtohnya untuk menangai ibu hamil yang menderita diabetes,

perawat bersma tenaga gizi berkolaborasi membuat rencana untuk

menentukan kebutuhan makanan yang diperlukan bagi ibu dan

perkembangan janin.
12

2.1.4 Tugas Dan Tanggung Jawab Perawat

Budiono dan Pertami (2015) mengatakan bahwa tugas dan tanggung jawab

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sebagai berikut :

1. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien (sincere intereset).

2. Jika perawat terpaksa menunda pelayanan maka perawat bersedia

memberikan penjelasan dengan ramah kepada kliennya (explanation about

the delay).

3. Menunjukkan pada pasien sikap menghargai (respect) yang ditunjukkan

dengan perilku perawat, misalnya mengucapkan salam, tersenyum,

membungkuk, bersalaman dan sebagainya.

4. Berbicara dengan klien yang berorientasi pada perasaan klien (subjects the

patiens disires) bukan pada kepentingan atau keinginan perawat.

5. Tidak mendiskusikan klien lain di depan pasien dengan maksud menghina

(derogotary)

6. Menerima sikap kritis kritis klien dan menccoba memahami kliendalam

sudaut pandang klien (see the patient point of you).


13

Selanjutnya, dilihat dari jenis dan tanggung jawab (responsibility)

perawat dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat di klsifikasikan sebagai

berikut :

1. Tanggung jawab utama terhadap tuhanya (responsibility to god)

2. Tanggung jawab klien dan masyarakat (responsibility to client and

society)

3. Tanggung jawab sesama rekan sejawat dan atasan (responsibility to

colleague and supervisior)

2.2 Konsep Komunikasi Terapeutik

2.3.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik

Menurut Direja (2011) Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang

direncanakan secara sadar, tujuan dan kegiatanya difokuskan untuk penyembuhan

klien. Kemudian menurut (Prabowo, 2017) Komunikasi terapeutik merupakan

komunikasi profesiaonal bagi perawat, itu berarti komunikasi terapeutik adalah

proses pertukaran pesan yang memfasilitasi proses penyembuhan. Komunikasi

terapeutik adalah komunikasi yang memiliki makna terapeutik bagi pasien dan

dilakukan oleh perawat (Helper) untuk membantu pasien mencapai kemampuan

kondisi yang adaptif dan positif (Prabowo, 2014).

Jadi dapat disimpulakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang

telah disusun untuk meningkatkan proses penyembuhan klien dan komunikasi sangat

dibutuhkan untuk hubungan interpersonal perawat dan pasien.


14

2.3.2 Tujuan Komunikasi terapeutik

Komunikasi terapeutik mampu mendorong dan mengerjakan kerja sama antara

perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Perawat berusaha

mengungkap perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi

tindakan yang dilakukan dalam keperawatan. Selain itu, dengan komunikasi

terapeutik perawat bisa membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban

perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien. Jadi,

kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh

kualitas hubungan perawat dengan klien.

Tujuan komunikasi terapeutik :

a. Realisasi diri dan penerimaan diri.

b. Identitas diri jelas dan integritas tinggi.

c. Kemampuan embina hubungan interpersonal.

d. Peningkatan fungsi dan kemampuan memenui kebutuhan dan tujuan personal

yang realitas.

Tujuan terapeutik akan tercapai jika perawat memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Kesadaran diri yang terhadap nilai yang dianutnya.

b. Kemampuan untuk menganalisa perasaannya sendiri.

c. Kemampuan untuk menjadi contoh peran.

d. Altruistik

e. Rasa tanggung jawab etik dan moral


15

f. Tanggung jawab (Prabowo, 2017 )

2.3.3 Teknik Komunikasi Terapeutik

1. Mendengarkan Dengan Penuh Perhatian

Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara

mendengarkan apa yang disampaikan klien. Satu-satunya orang dapat

menceritakan kepada perawat tentang perasaan, pikiran dan persepsi klien

adalah klien itu sendiri. Sikap yang dibutuhkan untuk menjadi pendengar

yang baik adalah pandang klien saat sedang bicara, tidak menyilangkan

kaki dan tangan, hindari gerakan yang tidak perlu, anggukkan kepala jika

klien membicarakan hal yang penting atau memerlukan umpan balik,

condong tubuh kearah lawan bicara (Manurung, 2011).

2. Menunjukkan Penerimaan

Menerima bukan berarti menyetujui, melainkan bersedia untuk

mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan sikap ragu atau penolakan.

Dalam hal ini sebaknya perawat tidak menjukkan ekspresi wajah yang

menunjukkan ketidaksetujuan atau penolakan. Selama klien masih

berbiacara sebaiknya perawat tidak mencela atau membantah. Untuk

menunjukkan sikap penerimaan sebaiknya perawat menggunakan kepala

dalam merespon pembicaraan klien.

3. Mengulang Pernyataan Klien


16

Dengan mengulang pernyataan klien, perawat memberikan umpan

balik sehingga klien mngetahui bahwa pesannya mendapat responden

berharap komunikasi dapat berlanjut. Mengulang pokok pikiran klien

menunjukkan indikasi bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.

4. Klasifikasi

Apabila terjadi kesalahpahaman, perawat perlu menghentikan

pembicaraan untuk meminta penjelasan dengan menyamakan pengertian.

Ini berkaitan dengan pentingnya informasi dalam memberiakan pelayanan

keperawatan. Klasifikasi diperlukan untuk memperoleh kejelasan dan

kesamaan ide, perasaan, dan persepsi.

5. Memfokuskan pembicaraan

Tujuan penerapan metofe ini untuk membatasi materi pembicaraan

agar lebih spesifik dan mudah dimengerti. Perawat tidak perlu menyela

pembicaraan klien ketika menyampaikan maslah penting kecuali apabila

tidak membuahkan informasi baru.

6. Menyampaikan hasil pengamatan

Perawat perlu menyampaikan hasil pengamatan terhadap klien untuk

mengetahui bahwa pesan dapat tersampaikan dengan baik. Perawat

menjelaskan kesan yang didapat dari isyarat nonverbal yang dilakukan

klien berkomunikasi dengan lebih baik dan berfokus pada permasalahan

yang sedang dibicarakan.

7. Menawarkan Informasi
17

Penghayatan kondisi klien akan lebih baik apabila ia mendapatkan

informasi yang cukup dari perawat. Memberikan informasi yang lebih

lengkap merupakan pendidikan kesehatan bagi klien. Apabila ada

informasi yang tidak disampaikan oleh dokter, perawat perlu meminta

penjelasan alasannya. Perawat dimungkinkan untuk memfasilitasi klien

dalam pengambikan keputusan, bukan menasihatinya.

8. Diam

Dengan diam akan terjadi proses pengorganisasian pikiran dipihak

perawat dan klien. Penerapan metode ini memerlukan keteramilan dan

keteapan waktu agar tidak menimbulkan perasaan tidka enak. Diam

mengungkinkan klien berkomunikasi dengan dirinya sendiri,

menghimpun pikirannya, dan memproses informasi.

9. Menunjukan Penghargaan

Menunjukkan penghargaan dapat dinyatakan dengan mengucapkan salam

kepada klien, erlebih disertai menyebutkan namanya. Hal ini akan

diterima oleh klien sebagi suatu penghargaan yang tulus. Dengan

demikian klien merasa keberadaan ya dihargai.

10. Refleksi

Reaksi yang muncul dalam komunikasi perawat dan klien disebut

refleksi. Refleksi dibedakan dalam dua klasifikasi :


18

a. Refleksi isi bertujuan mensahkan sesuatu yang didengar. Klasifikasi

ide yang diungkapkan oleh klien dan pemahaman perawat tergolong

dalam klasifikasi refleksi ini.

b. Ungkapan yang bertujuan memberi respon terhadap ungkapan

perasaan tergolong dalam refleksi perasaan. Regleksi ini bertujuan

agar klien dapat menyadari eksistensinya sebagai manusia yang

mempunyai potensi sebagai individu yang berdiri sendiri (Prabowo,

2017)

2.3.4 Sikap Perawat Dalam Komunikasi Terapeutik

Menurut Direja (2011) Sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara

fisik sehingga dapat memfsilitasi komunikasi yang terapeutik :

1. Berhadapan

Sikap ini menunjukkan kesiapan dalam melayani dan mendengarkan

keluhan klien.

2. Mempertahankan kontak mata

Sikap ini menandakan kita menghargai klien dan menyatakan keinginan

untuk tetap berkomunikasi serta dapat dipercaya.

3. Membungkuk kearah klien

Sikap ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau mendengarkan

semua apa yang dikatakan oleh klien.

4. Mempertahankan Sikap Terbuka


19

Pada saat berkomunikasi dengan klien kita jangan melipat kaki atau

menyilangkan tangan. Hal ini menunjukan keterbukaan untuk

berkomunikasi dan siap membantu klien.

5. Tetap Relaks

Tetap bersikap tenang, meskipun pada situasi tidak menyenangkan.

Perawat harus bisa mengontrol ketegangan, kecemasan dan relaksasi

dalam berkomunikasi dengan klien.

2.3.5 Tahapan Hubungan Komunikasi Terapeutik

Menurut Manurung (2011) mengatakan bahwa proses hubungan perawat-

klien dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :

1. Tahap Pra Interaksi

Pada tahap ini perawat menggali dan mengenal perasaan, khayalan dan

ketakutannya sendiri, menganalisa ketakutan dan keterbatasan profesional

agar lebih efektif dalam memberikan asuhan keperawatan. Bila mungkin

menyimpulkan data tentang pasien dan merencankan pertemuan pertama

dengan pasien.

2. Tahap Perkenalan

Menetukan mengapa pasein mencari bantuan, membentuk komunikasi

terbuka, percaya dan menerima. Bersama-sama membuat kontrak kerja;

menggali perasaan, pikiran dan kegiatan pasien. Mengidentifikasi

masalah pasien; menetukan tujuan bersama pasien.


20

3. Tahap Kerja

Menggali stressor yang berkaitan, meningkatkan perkembanagan

pemahaman diri pasien dan pemakaian mekanisme penyesuaian yang

kontruktif dan mnegatasi perilaku yang resisten.

4. Tahap Terminasi

Membangun kenyataan adanya perpisahan. Meninjau kemajuan terapi dan

pencapaian tujuan. Bersama-sama menggali prasaan ditolak, kehilangan,

sedih, marah dan perilaku yang berkaitan sehubungan dengan perpisahan.

2.3.6 Hambatan Komunikasi Terapeutik

Menurut Manurung (2011) mengatakan bahwa hambatan komunikasi

terapeutik dalam hubungan perawat-pasien meliputi :

1. Resisten, merupakan upaya pasien tetap tidak mneyadari aspek penyebab

ansuetas yang dialaminya. Resisten utama sering merupakan akibat dari

ketidaksediaan pasien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah

dirasakan.

2. Transferens, Respon tidak sadar dimana pasien mengalami perasaan dan sikap

terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam

kehidupannya yang lalu. Sifat yang paling menonjol dari transferens adalah
21

ketidak tepatan respons pasien dan intensitas dan penggunaan mekanisme

pertahanan pengisaran (Diaplocement) yang maladaptif.

3. Kontertransferens, hambatan yang dibuat oleh perawat dimana respon

emosional perawat terhadap pasien tidak tepat. Respon perawat tidak dapat

dibenarkan oleh kenyataan tetapi lebih mencerminkan konflik terdahulu yang

dialami terkait denga isu-isu seperti otoritas, seks, keasertifan dan

kemandirian.

2.5 Konsep Perilaku Kekerasan

2.5.1 Definisi Perilaku Kekerasan

Menurut Muhith (2015) menyebutkan bahwa Perilaku kekerasan atau agresif

merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara

fisik maupun psikologis. Sedangkan menurut (Yusuf, dkk, 2015) perilaku kekerasan

adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri

sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk

ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-

tindakan yang dapat membayangkan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan

merusak lingkungan (Prabowo, 2014).

Jadi perilaku kekerasan adalah respon dari rasa marah, kecewa, jengkel dan

hilangnya kontrol pikiran pada individu yang dapat melukai diri sendiri, orang lain

dan lingkungan.
22

2.5.2 Rentang Respon

Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun yang dimaanifestasikan

oleh perasaan marah dapat berfluktuasi sepanjang rentang respon adaptif dan

maladaptif (Muhith, 2015).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif frustasi pasif agresif kemarahan

Bagan : Rentang Respon Marah (Keliat, 1996)

Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan

melarikan diri atau respon melawan dan menentang. Respon melawan dan menatang

merupakan respon yang maladaptif yaitu adresif-kekerasan. Perilaku yang

ditampakkan dimulai dari yang rendah sampai tinggi (Munith, 2015).

2.5.3 Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang merupakan faktor predisposisi,

artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasaan jika faktor berikut

dialami olehh individu.

a. Faktor Psikologis

psychoanalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku agresif

merupakan akibat dari instinctual drivers. Freud berpendapat bahwa perilaku

manusia dipengaruhi oleh dua insting.


23

Frustation-agresiation theory : teori yang dikembangkan oleh pengikut freud

ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan

mengalami hambatan, maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya

akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang

menyebabkan frustasi.

Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif : mendukung

pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup.

b. Faktor Sosial Budaya

Social Learning Theory : teori ini mengemukakan bahwa agresi tidak

berbeda dengan respon-respn yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi

atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, maka semakin besar

kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan

emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya.

Pembelajaran ini bisa internal dan eksternal.

c. Faktor Biologis

Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresig mempunyai

dasar biologis. Penelitian neuribiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian

stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik )

binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.


24

d. Perilaku

Reinforcment yang diterima pada saat melakukan kekerasan dan sering

mengobservasi kekerasan atau luar rumah, semua aspek ini menstimulasi

individu mengadopsi perilaku kekerasan.

2.5.3 Faktor Presipitasi

Menurut Yusuf, dkk (2015) menyatakan bahwa faktor presipitasi perilaku

kekerasan adalah :

1. Internal

a. kelemahan

b. rasa percaya menurun

c. takut sakit

d. hilang kontrol

2. Eksternal

a. penganiayaan fisik

b. kehilangan orang yang dicintai

c. kritik

2.5.4 Gejala-Gejala Marah

Kemarahan dinyatakan dala, berbagai bentuk, ada yang mneimbulkan

pengurusan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau

perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya adalah
25

Tabel 2.1
Gejala-gejala Marah

Perubahan Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan


Psikologik meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi
buang air besar meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks
tendon tinggi.
Perubahan Mudah tersinggung, tidak sabar, frekuensi ekspresi wajah
emosional nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
Perubahan Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga,
perilaku mengamuk, nada suara keras dan kasar.
Perilaku Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1. menyerang antau menghindar
2. menyatakan secara asertif
3. memberontak
4. perilaku kekerasan, tindakan kekerasan atau amukan yang
ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

2.5.5. Mekanisme Koping

Menurut Muhith (2015) Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan

pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan

mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Kemarahan

merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa

meknisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain

Tabel 2.2
26

Mekanisme Koping

Sublimasi Menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami


suatu dorongan, penyalurannya ke arah lain.
Proyeksi Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik.
Represi Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar.

2.5.6 Rencana Tindakan Keperawatan

1. Stategi Pelaksnaaan 1 (SP 1) Untuk Klien

a. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

b. Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

c. Mengidentifikasi tanda dan gelaja perilaku kekerasan

d. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan

e. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan yang dilakukan

f. Menyebutkan cara mengontor perilaku kekerasan

g. Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol fisik I (tarik

nafas dalam)

2. Stategi Pelaksnaaan 2 (SP 2) Untuk Klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II

(memukul bantal dan kasur)

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

3. Stategi Pelaksnaaan 3 (SP 3) Untuk Klien


27

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

4. Stategi Pelaksnaaan 4 (SP 4) Untuk Klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

5. Stategi Pelaksnaaan 5 (SP 5) Untuk Klien

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

b. Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara meminum obat

c. Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

2.6 Penelitian Terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sodikin, dkk (2015)

tentang Pengaruh Latihan Asertif Dalam Memperpendek Fase Intensif Dan

Menurunkan Perilaku Kekerasan Di Ruang Intensive Psychiatric Care Unit (IPCU)

RSJ Dr Radmajiman Wediodiningrat Lawang, bahwa hasil penelitian menunjukkan

bahwa fase intensif pasien lebih cepat pada kelompok perlakuan dari pada kelompok

kontrol dengan nilai p<0.001 dan didapatkan penurunan perilaku kekerasan yang

lebih besar pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol dengan nilai p
28

<0.001. Dapat disimpulkan bahwa pemberian latihan asertif dapat memperpendek

fase intensif dan menurunkan gejala perilaku kekerasan pasien oleh karena itu

direkomendasikan untuk diterapkan diruang perawatan intensif psikiatri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Irvanto, dkk (2013) tentang

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Asertif Terhadap Perubahan Perilaku Pada

Pasien Perilaku Kekerasan, menunjukkan bahwa hasil penelitian perilaku kekerasan

sebelum dilakukan terapi aktivitas kelompok asertif paling banyak masuk kategori

buruk sebanyak 51 (71,8%) dan baik 20 (28,2%) sedangkan perilaku kekerasan

setelah terapi aktivitas kelompok asertif paling banyak masuk baik sebanyak 50

(70,4) dan buruk 21 (29,6). Perilaku pasien yang mendapatkan terapi dapat

mengontrol kemarahannya dibandingkan yang tidak mendapatkan terapi asertif. Hasil

uji wilcoxon menunjukkan ada pengaruh yang sifnifikan antara terapi aktivitas

kelompok asertif terhadap perubahan perilaku pada pasien perilaku kekerasan terlihat

dari nilai p value sebesar 0,000 (p<0,05), perubahan perilaku dari buruk ke baik

tampak pada hasil penurunan sebelum mendapat terapi dan setelah mendapat terapi.

Berdasarkan peneltian yang dilakukan oleh Saseno dan Kriswoyo (2013)

tetang Pengaruh Tindakan Restrain Fisik Dengan Manset Terhadap Penurunan

Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Ruang Rawat Intensif Bima Rumah

Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa hasil penelitian

menunjukkan setelah di beri perlakuan restrain fisik dengan menunjukkan sebanyak

39 responden, hasilnya menunjjukan sebanyak 29 responden (76,3) perilaku

kekerasannya menurun ke intensif 2 dan senyak 9 responden (23,7%) perilaku


29

kekerasannya menurun ke intensif 3. Pada uji wilcoxon menunjukan nilai Z sebesar -

5,386 dan nilai p=0,000. Karena p<0,005 maka ha ditolak dan ha diterima artinya ada

pengaruh tindakan restrain fisik dengan manset terhadap penurunan perilaku

kekerasan, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode restrain fisik menggunakan

manset memberikan pengaruh terhadap penurunan perilaku kekerasan pada pasien

skizofrenia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2012) tentang Pengaruh

Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan

Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Amino Gondhoutomo Kota

Semarang, bahwa hasil penelitian menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan

kemampuan klien mengatasi perilaku kekerasan sebelum dan sesudah diberikan terapi

kelompok suportif. Rekomendasi penelitian ini adalah perlunya dilakukan terapi

kelompok suportif yang dilakukan du rumah sakit jiwa denga spesialis keperawatan

jiwa.
30

2.6 Kerangka Teori

Bagan Kerangka Teori

1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
b. Faktor Sosial Budaya
c. Faktor Biologis
d. Perilaku

2. Faktor Presipitasi

seseorang akan
mengeluarkan respon marah
apabila merasa dirinya
terancam. Ancaman tersebut
dapat berupa luka secara
psikis atau lebih dikenal
denga cadanya ancaman
terhadap konsep diri
seseorang

Perilaku Kekerasan

Komunikasi terapeutik
1. Tahap prainteraksi
Pengendalian Perilaku
2. Tahap perkenalan
Kekerasaan
3. Tahap kerja
4. Thap terminasi
31

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan yaitu kuantitatif dalam penelitian ini adalah

survey analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional yang bertujuan

mengetahui hubungan komunikasi terapeutik oleh perawat dalam upaya pengendalian

perilaku kekerasan di lima ruang rawat inap yaitu Cempaka, Cendrawasih, Kenanga,

Bagau dan Asoka RS. Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan (Notoatmodjo,

2018).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lima ruang rawat inap yaitu Cempaka,

Cendrawasih, Kenanga, Bagau dan Asoka Rumah Sakit Dr. Ernaldi Bahar Provinsi

Sumatra Selatan. Penelitian ini akan dilakukan pada Maret Sampai Juli tahun 2019.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi 39

Populasi menjelaskan secara spesifik tentang siapa atau golongan mana yang

menjadi sasaran penelitian tersebut. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
32

perawat Rumah Sakit Dr Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan yang berjumlah 67

orang (Notoadmodjo, 2012).

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah sebagian dari seluruh objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel penelitian ini adalah perawat di lima

ruang rawat inap yaitu Cempaka, Cendrawasih, Kenanga, Bagau dan Asoka Rumah

Sakit Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan yang berjumlah 50 orang sebagai

berikut (Notoatmodjo, 2012).

1. Kriteria Inklusi :

a. Perawat yang berhubungan dengan pelaksanaan komunikasi terapeutik pada

pasien di ruang rawat inap Cempaka, Cendrawasih, Kenanga, Bagau dan

Asoka

b. Bersedia menjadi responden

2. Kriteria Ekslusi :

a. Responden menolak

b. Responden Sedang sakit/cuti

c. Kuesioner tidak diisi dengan lengkap

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan total sampling. Pada total sampling ini dilakukan karena


33

jumlah populasi yang kurang dari 100, seluruh populasi yang akan dijadikan

sample seluruhnya (Sugiyono, 2016).

3.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep

satu terhadap konsep lainnya dari masalah yang diteliti (Notoadmojo, 2010).

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Komunikasi Terapeutik Pengendalian Perilaku


Kekerasan

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional definisi yang membatasi ruang lingkup atau penegtahuan

variabel-variabel yang diamatai atau diteliti (Notoadmodjo, 2012).


34

Tabel 3.1
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Alat Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur
1. Variabel Perubahan wawancara Kuesioner 1. Tinggi, jika Ordinal
Independen : perilaku pasien skor median >
Pengendalian dari maladaptif 60
perilaku menjadi adaptif. 2. Rendah, jika
kekerasan skor median <
60
(Arikunto,
2017).

3. Variabel komunikasi yang wawancara Kuesioner 1. Baik, Ordinal


Dependen : direncanakan apabila skor
Komunikasi secara sadar, >75% dari
Terapeutik tujuan dan total jawaban
kegiatanya 2. Cukup,
difokuskan untuk apabila skor <
penyembuhan 75 % dari total
klien jawaban
(Budiman Dan
Riyanto, 2013)

4. Karakteriatik Lama waktu Angket Kuesioner 1. <40 Tahun Ordinal


Perawat: hidup atau sejak 2. >40 Tahun
Usia ada (sejak (Supriyadi,
dilahirkan) 2014)
5. Jenis kelamin Perbedaan yang Angket Kuesioner 1. laki-laki Nominal
dimiliki pasien 2. perempuan
secara fisik dan (Notoatmojo,
secara fungsi 2010)
reproduksi
6. Pendidikan Jenjang studi Angket Kuesioner 1. Diploma Ordinal
belajar yang 2. Sarjana +
35

telah ditempuh Ners


pasien (UU No. 38,
2014)

3.6 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, penelitian rumusan masalah penelitian telah ditanyakan dalam bentuk

kalimat. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada

teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui

pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis

terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik (Notoatmodjo,

2010).

Hipotesis dalam Penelitian ini adalah :

Ha : Adanya hubungan komunikasi terapeutik oleh perawat dalam upaya

pengendalian perilaku kekerasan Di Rumah Sakit Dr Ernaldi Bahar Provinsi

Sumatra Selatan Tahun 2019

Ho : Tidak ada hubungan komunikasi terapeutik oleh perawat dalam upaya

pengendalian perilaku kekerasan Di Rumah Sakit Dr Ernaldi Bahar Provinsi

Sumatra Selatan Tahun 2019

3.7 Pengumpulan Data


36

3.7.1 Sumber Data

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana

data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuisioner atau wawancara dalam

mengumpulkan datanya, maka sumber data disebut responden yaitu orang yang

merespon atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan.

Apabila peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber datanya bisa berupa

benda, gerak atau proses sesuatu. Apabila peneliti menggunakan teknik dokumen,

maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber data, sedang isi catatan subjek

penelitian atau variable penelitian (Arikunto, 2010).

3.7.2 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh melalui hasil perlakuan secara

langsung kepada responden. Perlakuan ini guna untuk mengetahi bagaimana

Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Perubahan Perilaku Kekerasan Pada

Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Dr Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan.

3.7.3 Data Sekunder

Data sekunder adalah adata yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada,

yaitu data yang diperoleh dari buku referensi, internet, dan Rumah Sakit Dr Ernaldi

Bahar Provinsi Sumatra Selatan.

3.7.4 Instrumen Penelitian


37

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengmpulan

data. Instrumen ini dapat berupa, kuesioner (daftar pertanyaan), formulir observasi,

formulir-formulir lain yang berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya

(Notoadmojo, 2012). Dalam penelitian ini instrumen penelitian menggunakan

kuisioner yang terdiri dari beberapanpertanyaan dalam bnetuk objektif tentang

komunikasi terapeutik terhadap pebubahan perilaku kekersan , sebagai alat ukur

melalui metode kuesioner.

3.8 Pengolahan Data

Menurut Notoatmodjo (2012) mengatakan bahwa langkah-langkah

pengolahan data sebagai berikut :

2. Editing (Penyuntingan Data)

Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan

penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Secara umum editing adalah kegiatan

untuk memperbaiki isian formulir atau kuesioner tersebut :

a. Apakah lengkap, dalam arti semua pernyataan sudah terisi.

b. Apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup jelas atau

terbaca.

c. Apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya.

d. Apakah jawaban-jawaban pertanyaan komsisten dengan jawaban

pertanyaan yang lainnya.

3. Coding
38

Setelah quesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan peng “kodean”

atau coding, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data

angka atau bilangan.

Variabel Independen

Perubahan perilaku kekerasan

1. Tinggi, jika skor Mean/Median

2. Rendah, jika skor Mean/Median

Variabel Dependen

Komunikasi Terapeutik

1. Baik, apabila skor >75%

2. Cukup, apabila skor 56-74%

4. Memasukkan Data (Data Entry Atau Processing)

Data, yakni jawaban dari masing-masing responden yang dalam bentuk “kode”

(angka atau huruf) dimasukkan dalam program atau software komputer. Salah

satu program yang paling sering digunakan untuk “entri data” penelitian adalah

paket program SPSS for window.

5. Pembersihan Data (Cleaning)

Apabila data setiap sumber data atau responden selesai dimasukkan, perlu dicek

kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkina adanya kesalahan kesalahan

kode, ketidaklengkapan dan sebaginya, kemudian dilakkan pembetulan atau

koreksi. Proses ini disebut pembersihan data (data cleaning).


39

3.9 Analisis Data

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang berkumpul sebagaimna adanya tanpa membuat

kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya analisis ini

hanya menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).

Analisis yang dilakukan dengan melihat distribusi frekuensi dari masing-masing

kategori variabel independen (pengendalian perilaku kekerasan) dan variabel

dependen (komunikasi terapeutik).

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan dengan tujuan untuk mencari

hubungan antara variabel (Notoatmodjo, 2012). Analisis yang bertujuan untuk

melihat pengaruh antara variabel independen (pengendalian perilaku kekerasan) dan

variabel dependen (komunikasi terpaetik) dengan uji kuadran (chi square). Uji chi

square dengan batas kemaknaan 𝛼 = 0,05 pada tes signifikan sebagai berikut :

a. p value <𝛼 (0,05) Ha diterima dan H0 ditolak yang berarti ada berpengaruh

yang signifikan antara variabel independen dan variabel dependen.


40

b. p value >𝛼 (0,05) H0 diterima dan ha ditolak yang berarti ada berpengaruh

yang signifikan antara variabel independen dan variabel dependen.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka


Cipta

Budiono & Sumirah Budi Pertami. 2015. Konsep Dasar Keperawatan . Jakarta :
Bumi Medika

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta
: Nuha Medika

Hidayati. 2012. Pengaruh Terapi Kelompok Suportif Terhadap Kemampuan


Mengatasi Perilaku Kekerasan Pada Klien Skizofrenia. (Online).
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/524. Diakses
Pada Tanggal 02 Maret 2019.

Info Datin. 2017. Situasi Tenaga Keperawatan Indonesia. (Online).


http://www.depkes.go.id/recources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%20p
erawat%202017.pdf. Diakses Pada Tanggal 03 Maret 2019.

Irvanto, dkk. 2013. Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Asertif Terhadap


Perubahan Perilaku Pada Pasien Perilaku Kekerasan. (Online).
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/downlo
ad/164/188. Diakses Pada Tanggal 02 Maret 2019.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Peran Keluarga Dukung


Kesehatan Jiwa Masyarakat. (Online).
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-
kesehatan-jiwa-masyarakat.html. Diakses Pada Tanggal 18 Februari 2019

Manurung, Santa. 2011. Keperawatan Profesional. Jakarta : CV Trans Info Media

Munith, Abdul. 2015. Pendikikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta
: Pustakaan nasional.
41

Notoadmodjo, S. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Notoadmodjo, S. 2012. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

Nurgustianty. 2017. Pola Komunikasi Terapeutik Perawat Pada Pasien Skizofrenia


Dalam Proses Penyembuhan Di Klinik Jiwa Utama Graha Atma Bandung.
(Online). http://repository.unpas.ac.id/id/eprint/27755. Diakses Pada Tanggal
28 Januari 2019.

Prabowo, Eko. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika

Prabowo, Tri. 2017. Komunikasi Dalam Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru


Press

Putri, dkk. 2018. Pengaruh Strategi Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Terhadap


Resiko Perilaku Kekerasan Pada Pasien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Jambi. (Online).
http://jab.stikba.ac.id/index.php/jab/article/download/77/64. Diakses Pada
Tanggal 02 Maret 2019.

Rohmi. 2017. Korelasi Antara Beban Keluarga Dengan Kemampuan Komunikasi


Kelauarga Pada Penderita Skizofrenia. (Online).
http://ejournal.stikeskepanjen-
pemkabmalang.ac.id/index.php/mesencephalon/article/view/23. Diakses Pada
Tanggal 28 Januari 2019.

Saseno & Kriswoyo. 2013. Pengaruh Tindakan Restrain Fisik Dengan Manset
Terhadap Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Diruang
Rawat Intensif Bima Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Intimewa Yogjakarta.
(Online). http://ejournal.poltekkes-
smg.ac.id/ojs/index.php/jkm/article/view/30. Diakses Pada Tanggal 02 Maret
2019.

Sodikin, dkk. 2015. Pengaruh Latihan Asertif Dalam Memperpendek Fase Intensif
Dan Menurunkan Gejala Perilaku Kekerasan Ruang Intensif Psychiatric Care
Unit (IPCU) RSJ Dr Radjiman Wediodoningrat Lawang. (Online).
http://jik.ub.ac.id/index.php/jik/article/view/45. Diakses Pada Tanggal 02
Maret 2019.

Supriyadi. 2014. Statistik Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika


42

Sutejo. 2013. Keperawatan Kesehatan Jiwa Prinsip Dan Praktik Asuhan


Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2014. Tentang Keperawatan. (Online).


http://ppniqatar.files.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 01 April 2019.
.

Anda mungkin juga menyukai