Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia memiliki kebudayaannya masing-masing yang saling berbeda.
Kebudayaan ini sangat berpengaruh dalam tindakan keperawatan yang dibahas dalam
transkultural keperwatan. Keperawatan transkultural didefinisikan oleh Leininger (2002)
sebagai penelitian perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal)
dan perbedaan (budaya tertentu) di antara kelompok manusia.
Perawat dalam memberikan tindakan keperawatan diharapkan menggunakan
transkultural keperawatan untuk mengatasi perbedaan budaya antara klien maupun
menyesuaikan pola aktivitas sehari-hari klien yang dipengaruhi budayanya dengan
tindakan keperawatan.

B. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan konsep transkultural keperawatan


2. Menjelaskan unsur-unsur yang berkaitan dengan transkultural.
3. Mengetahui dan memahami aplikasi transkultural dalam masalah penyakit kronik,
nyeri dan mental.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perspektif Transkultural dalam Keperawatan


1. Keperawatan Transkultural dan globalisasi dalam pelayanan kesehatan

Office of Minority Health (OMH) menggambarkan budaya sebagai ide-ide,


komunikasi, tindakan, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai, adat istiadat dari kelompok
ras, etnik, agama, atau sosial. Budaya meliputi segala aspek kehidupan di dalam
manusia. Budaya menunjukkan cara pandang seseorang dalam mengambil keputusan.
Keperawatan transkultural didefinisikan oleh Leininger (2002) sebagai
penelitian perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan
perbedaan (budaya tertentu) di antara kelompok manusia. Tujuan keperawatan
transkultural adalah bentuk pelayanan yang sama secara budaya atau pelayanan yang
sesuai pada nilai kehidupan individu dan arti yang sebenarnya. Mengetahui nilai-nilai
pelayanan budaya klien, arti, kepercayaan, dan praktiknya sebagai hubungan antara
perawat dan pelayanan kesehatan mewajibkan perawat untuk menerima aturan pelajar
atau teman sekerja dengan klien dan keluarganya dalam bentuk karakteristik arti dan
keuntungan dalam pelayanan (Leininger, 2002).
Pelayanan kompeten secara budaya adalah kemampuan perawat menghilangkan
perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya yang berbeda, serta
membuat klien dan keluarganya mencapai pelayan yang penuh arti dan suportif.
Contohnya, perawat yang mengetahui tentang kebudayaan kliennya, maka perawat
memerlukan dukungan dalam menyesuaikan keadaan klien. Klien juga membutuhkan
informasi, perundingan, dan permintaan.
Kompetensi budaya adalah proses perkembangan kesadaran budaya,
pengetahuan, keterampilan, pertemuan, dan keinginan. Perawat harus bisa
mengintrospeksi tentang latar belakang dirinya. Perawat juga harus memiliki
pengetahuan yang merupakan perbandingan antar kelompok. Keterampilan budaya
termasuk pengkajian social maupun budaya yang mempengaruhi pengobatan dan
perawatan klien. Pertemuan sebagai mediapembelajaran. Keinginan sebagai motivasi
dan komitmen pelayanan.
Konflik budaya juga dapat muncul dalam proses keperawatan. Konflik budaya
yang muncul dapat berupa etnosentrisme, pemikiran bahwa cara hidup yang dianut

2
lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. Hal ini menyebabkan adanya pilihan
untuk mengabaikan budaya dan menggunakkan nili-nili dan gaya hidup mereka
sebagai petunjuk dalam berhubungan dengan klien dan menafsirkan tingkah laku
mereka.
Globalisasi menyebabkan tuntutan asuhan keperawatan semakin besar.
Perpindahan penduduk dan pergeseran tuntutan keperawatan dapat terjadi. Perawat
yang tidak mampu menyesuaikan asuhan keperawatan terhadap kondisi yang ada akan
menyebabkan penurunan kualitas pada pelayanan keperawatan. Oleh karena itu, hal
ini menyebabkan dibutuhkannnya peningkatan terhadap profesi keperawatan.
Peningkatan pengetahuan, koordinasi antar profesi atau tenaga kerja kesehatan lain
sangat diperlukan. Perawat harus lebih aktif dalam menghadapi globalisasi terutama
dalam pelayanan kesehatan.

2. Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural

Jika pemahaman mengenai latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda
antar klien baik, maka akan dapat meningkatkan pemberian asuhan keeperawatan
secara efektif. Kozier (2004) menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan dengan
asuhan keperawatan transkultural ini. Diantaranya:
a. Subkultur
Sebuah subkultur biasanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai suatu
identitas yang berbeda. Namun masih dihubungkan dengan suatu kelompok yang
lebih besar.
b. Enkultural
Enkultural digunakan untuk mendeskripsikan orang yang menggabungkan
(persilangan) dua budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai (Giger & Davidhizar, 1999).
c. Keanekaragaman
Keanekaragaman menunjuk pada fakta atau status yang menjadikan perbedaan.
Diantaranya, ras, jenis kelamin, orientasi seksual, etnik kebudayaan, status
ekonomi-sosial, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
d. Akulturasi
Proses akulturasi terjadi saat seseorang beradaptasi dengan ciri budaya lain.
Anggota dari sebuah kelompok budaya yang tidak dominan seringnya terpaksa

3
belajar kebudayaan baru untuk bertahan. Hal ini juga dapat didefinisikan sebagai
perubahan pola kebudayaan terhadap masyarakat dominannya (Spector, 2000).
e. Asimilasi
Asimilasi merupakan proses seorang individu berkembang identitas
kebudayaannya. Asimilasi berarti menjadi seperti anggota dari kebudayaan yang
dominan. Beberapa aspeknya, seperti tingkah laku, kewarganegaraan, ciri
perkawinan, dan sebagainya. Di sini, seseorang atau kelompok kehilangan
beberapa kebudayaan aslinya untuk kemudian membentuk kebudayaan baru
bersama dengan yang lain. Hal ini ditujukan untuk membentuk interaksi yang
baik.
Ada beberapa faktor kebudayaan yang menjadi pertimbangan toleransi,
diantaranya:
1) Ras
Ras merupakan klasifikasi orang-orang yang dibagi berdasarkan
karakteristik biologis, tanda keturunan (genetik) dan corak. Orang
dengan ras yang sama, umumnya mempunyai banyak persamaan
karakter. Namun, penting untuk diketahui bahwa tidak semua
orang dengan ras yang sama memiliki kebudayaan yang sama pula.
2) Prasangka
Merupakan sebuah kepercayaan negatif atau kecenderungan yang
menyamaratakan pada satu kelompok dan hal tersebut akan
menuntut pada dakwaan. Hal ini terjadi karena orang yang
berprasangka tidak mengetahui penuh budaya orang yang
diprasangkai atau orang tersebut membuat penyamarataan
pandangan berdasarkan pengalamannya dengan seorang individu
dari kelompok tersebut terhadap semua anggota kelompok itu.
3) Stereotipe
Stereotipe adalah menyamakan seluruh anggota dari sebuah
kebudayaan atau kelompok etnik bahwa mereka semua mirip/
sama. Stereotipe mungkin berdasarkan penyamaan yang ditemukan
pada penelitian atau mungkin tidak berhubungan dengan
kenyataan. Di sini, perawat harus tahu bahwa tidak semua orang
dari kelompok tertentu memiliki kepercayaan kesehatan yang
sama, praktik dan nilai yang sama pula.
4
4) Diskriminasi
Diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan individu atau
kelompok berdasarkan kategori, seperti ras, etnik, jenis
kelamin, dan kelas sosial. Terjadi jika seseorang bertindak
merugikan atau menyangkal hak pokok individu lain atau lebih.
5) Culture Shock
Culture shock adalah suatu guncangan atau ketidaknyamanan
yang terjadi sebagai respons atas pergantian/ perpindahan dari
satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Ini terjadi jika seseorang
pindah dari satu lokasi geografi ke lokasi lain atau berimigrasi
ke negara baru.
Salah satu cara untuk menganalisis keyakinan adalah dengan
menggunakan heritage consistensy. Heritage consistensy
dikembangkan oleh Estes dan Zitzaw (1980). Teori ini
menggambarkan tingkat gaya hidup yang mencerminkan
konteks kultural (Potter & Perry, 2009). Hal ini memungkinkan
kita mengkaji keyakinan tentang kesehatan dengan menentukan
ikatannya dengan keyakinan tradisionalnya.
6) Budaya
menggambarkan sifat nonfisik, seperti keyakinan, sikap atau
adat-istiadat suatu masyarakat yang diturunkan dari generasi ke
generasi selanjutnya. Budaya merupakan kumpulan keyakinan,
kebiasaan, praktik, kesukaan, norma, adat-istiadat,
ketidaksukaan dan ritual yang dipelajari dari keluarga selama
sosialiasasi bertahun-tahun (Potter & Perry, 2009). Di dalam
budaya tidak hanya terbatas pada komunikasi lisan, tetapi juga
yang lain. Contoh, cara membuat kontak mata, menyentuh
tubuh, dan memegang tangan.
7) Etnisitas
Etnisitas adalah rasa identitas diri yang berkaitan dengan
kelompok kultur sosial umum dan warisan budaya (Potter &
Perry, 2009). Karakteristik dari suatu etnik mencakup bahasa
dan dialek, status perpindahan, suku bangsa, dan kepercayaan

5
serta praktek religius. Sehingga, etnisitas sangat kompleks,
sukar dipahami dan didefinisikan dengan kurang jelas.
8) Religi
Religi adalah keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan
atau di luar kekuatan manusia yang harus dipatuhi dan
diibadatkan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta
((Abramsom, 1980) dalam Fundamental Keperawatan). Nilai
religi berfungsi untuk mengklarifikasi etnisitas lebih jauh.
Klien berasal dari budaya yang berbeda. Di dalamnya
mencakup latar belakang etnis, keagamaan, dan budaya.
Konsistensi warisan budaya ini membantu cara pemahaman
terhadap klien bagaimana mereka menginterpretasikan
kesehatan atau penyakit dengan cara modern atau tradisional.

Selain heritage consistensy, ada 6 fenomena kultural yang diidentifikasi oleh Giger &
Davidhizar (1995). Keenam fenomena ini terdiri dari:
a. Kontrol Lingkungan
Mengacu pada kemampuan dari anggota kelompok kultural tertentu untuk
merencanakan aktivitas yang mengontrol sifat dan faktor keturunan langsung (Giger
& Davidhizar, 1995). Di dalamnya mencakup keyakinan tradisional tentang kesehatan
dan penyakit, pengobatan tradisional dan penggunaan penyembuh tradisional.
Sehingga, fenomena ini berperan penting dalam cara klien berespons terhadap
pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan.
b. Variasi Biologis
Seseorang dari satu kelompok kultural pasti mempunyai variasi biologis berbeda
dengan kelompok kultural lainnya. Beberapa contoh signifikan yang dapat dijadikan
pertimbangan, yaitu:
a) Struktur dan bentuk tubuh
b) Warna kulit
c) Variasi enzimatik dan genetik
d) Kerentanan terhadap penyakit
e) Variasi nutrisi

6
c. Organisasi Sosial
Lingkungan sosial tempat seseorang dibesarkan dan bertempat tinggal berperan
penting dalam perkembangan dan identitas kultural mereka. Proses sosialisasi ini
menjadi suatu bagian warisan yang diturunkan dan mengacu pada unit keluarga dan
organisasi kelompok sosial yang dapat diidentifikasi oleh klien.
d. Komunikasi
Perbedaan bahasa antara perawat dengan klien menjadi hal terpenting dalam
memberikan asuhan keperawatan. Perbedaan ini akan berpengaruh pada setiap aspek
dan tahapan asuhan keperawatan. Ketidakberhasilan berkomunikasi secara efektif
akan membuat penundaan dalam diagnosis dan tindakan terhadap klien. Bahkan bisa
lebih dari itu. Perawat tidak seharusnya menganggap klien dapat memahami apa yang
sudah diucapkannya. Istilah-istilah medis harus dijelaskan dengan jelas dan terang
terutama klien yang mempunyai keterbatasan ketrampilan dalam bahasa perawat.
e. Ruang
Ruang personal di sini mencakup perilaku individu dan sikap yang ditujukan pada
ruang di sekitar mereka. Teritorialitas merupakan suatu sikap yang ditujukan pada
area seseorang yang diklaim dan dipertahankan atau reaksi emosional ketika orang-
orang lain memasuki area tersebut. Keduanya ini dipengaruhi oleh budaya. Perawat
harus berusaha menghargai teritorial klien. Ruang personal ini banyak berhubungan
dengan aktivitas keperawatan dan perawat harus sensitif terhadap respons klien
berkenaan dengan ruang personal ini. Misalnya, saat memberikan asuhan keperawatan
yang mengharuskan perawat menyentuh tubuh klien.
f. Orientasi Waktu
Orientasi waktu berbeda antara kelompok satu dengan yang lain. Perawat yang
mempunyai sikap yang berhubungan dengan waktu mungkin menemukan kesulitan
untuk memahami dan merencanakan asuhan keperawatan terhadap klien yang
mempunyai orientasi waktu yang berbeda. Perbadaan orientasi waktu dapat menjadi
hal penting dalam perawatan kesehatan, seperti perencanaan jangka panjang dan
penjelasan tentang jadwal medikasi. Misalnya, penjelasan pentingnya keteraturan
minum obat pada penderita tekanan darah tinggi.
Dari banyak penjelasan di atas, asuhan keperawatan transkultural memang sangatlah
kompleks. Sebelum kita membuat perencanaan dan tindakan perawatan, kita perlu
mengetahui konsep, prinsip, fenomena, dan faktor-faktor lain yang dapat dijadikan
pertimbangan yang berhubungan dengan budaya ini. Diharapkan, setelah kita
7
mengetahuinya, kelak asuhan keperawatan yang kita berikan terhadap klien akan
efektif dan berlangsung dengan lancar.

3. Pengkajian dan Instrumennya dalam Asuhan keperawatan Budaya

Penting bagi perawat untuk memahami bahwa klien mempunyai wawasan


pandangan dan interprestasi mengenai penyakit dan kesehatan yang berbeda,
berdasarkan keyakinan sosial-budaya dan agama klien sehingga terjalin hubungan
baik. Hubungan ini akan meningkatkan pemberian asuhan keperawatan yang aman
dan efektif secara budaya.
Karena terdapat rentang yang luas tentang keyakinan dan praktik kesehatan
yang berlatar belakang etnik, budaya, sosial dan agama dari individu, keluarga atau
komunitas. Klien dapat mengantisipasi saat mengalami suatu penyakit dengan
pendekatan modern ataupun pendekatan tradisional, dapat juga menggunakan kedua
pendekatan tersebut.
Hubungan dan komunikasi transkultular terjadi ketika setiap individu berusaha
untuk memahami sudut pandang orang lain melalui budayanya. Setelah mencapai
kultular, perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien sepanjang
proses keperawatan.
Heritage Consistency adalah melihat akulturasi sebagai suatu kontinum.
Dengan menggunakan teori ini, dikaji tingkat diamana masyarakat menjadi bagian
dari kultur dominan dan tradisional.
a) Budaya, menggambarkan sifat non-fisik, seperti nilai, keyakinan, sikap
atau adat istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b) Etnisitas, rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok sosial dan
warisan budaya.
c) Religi, keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan atau diluar
kekuatan manusia yang harus dipatuhi dan diibadatkan sebagai pencipta
dan pengatur alam semesta (Abramsom, 1980).

8
1. Keyakinan Tradisional Tentang Kesehatan Penyakit
Keyakinan kesehatan tradisional tentang penyebab dari suatu penyakit dapat
sangat berbeda dengan model epidemiologi orang barat sehingga penting untuk
memahami epidemiologi tradisional, atau penyebab penyakit di dalam sistem
keyakinan. Dalam model epidemiologi orang barat, penyebab suatu penyakit mungkin
stress dan maladaptasi, virus, bakteri atau karsinogen. Pada model epidemiologi
tradisional, terdapat perbedaan yang sangat menonjol tentang agens penyebab,
termasuk kekosongan jiwa, mantra, mata setan dan guna-guna yang dapat disebabkan
oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membuat orang lain sakit. Orang
yang percaya dengan kekuatan ini harus dihindari, termasuk iri, benci atau cemburu.
2. Praktik Tradisional.
Pengobatan rakyat terus ada, sejalan dengan tekanan yang harus meningkat
dari pengobatan modern yang telah diturunkan dari sekolah kedokteran dan generasi
sebelumnya. Praktik rakyat dahulu hanya memiliki bagian yang telah diabaikan oleh
sistem keyakinan perawatan kesehatan modern. Berikut ini adalah keragaman dari
pengobatan rakyat tradisional (Yoder, 1972).
a) Pengobatan Rakyat Alamiah
Pengobatan rakyat alamiah adalah salah satu penggunaan lingkungan alamiah dan
menggunakan herbal, tumbuhan, mineral dan substansi hewan untuk mencegah
dan mengatasi penyakit. Umumnya pengobatan ini ditemukan pada ramuan
tradisional tradisional dan obat-obatan rumah tangga. Aspek umum dari
penggunaan herbal adalah pengetahan bahwa segala yang terdapat di alam
merupakan sumber terapi. Secara umum, tradisi pengobatan rakyat yang
menggambarkan tahun dimana herbal itu dipetik; cara herbal itu dikeringkan; dan
metode; jumlah; dan frekuensi penggunaan.
b) Pengobatan Rakyat Magisoreligius
Salah satu contoh dari pengobatan ini adalah bentuk penyembuhan keagamaan
tidak resmi. Dalam praktik ini lues, jimat, air suci dan manipulasi fisik digunakan
dalam upaya penyembuhan penyakit.
c) Penggunaan Benda Pelindung
Jimat adalah benda dengan kekuatan magis. Jimat dikenal dengan perlindungan
yang dikenal oleh semua masyarakat di seluruh dunia dan berkaitan dengan
perlindungan terhadap masalah (Budge, 1978). Seseorang juga ada yang
menggunakan talisman atau benda keagamaan lainnya yang telah disucikan.
9
11

Tulisman diyakini memiliki kekuatan yang luar biasa dan dapat dipakai dengan
tali mengelilingi pinggang atau dibawa di dalam saku baju atau tas. Orang yang
mengenakan jimat atau tulisman harus diperbolehkan untuk melakukannya di
lembaga perawatan tempat ia dirawat.
d) Penggunaan Makanan
Banyak orang percaya bahwa sistem tubuh terjaga keseimbangannya dengan
memakan tipe makanan tertentu, sehingga terdapat banyak makanan dan
kombinasi makanan yang dianggap tabu. Seperti contoh, dipercaya bahwa
beberapa bahan makanan dapat dimakan untuk mencegah penyakit. Orang dari
banyak latar belakang etnik memakan bawang putih atau memakainya ditubuh
mereka atau menggantungkannya di rumah untuk tujuan ini.
e) Praktik Religius
Pendekatan tradisional lain terhadap pencegahan penyakit berpusat pada sekitar
agama termasuk praktik nseperti membakar lilin, ritual penebusan dan
sembahyang. Banyak orang percaya bahwa penyakit dapat dicegah dengan
mengikuti secara ketat aturan, moral dan praktik serta memandang penyakit
sebagai hukuman terhadap pelecehan religius.
f) Ramuan Tradisional
Ketika seseorang menggunakan obat-obatan yang berasal dari warisan budaya
etnokultular mereka,maka penggunaan obat-obatan ini disebut pengobatan
alternatif. Sifat farmasitis dari vegetasi tumbuhan, akar0akaran, batang, bunga, biji
dan herbal telah banyak diteliti, dicoba, dibuatkan katalog dan digunakan di
banyak Negara.
g) Penyembuh (Dukun)
Dalam komunitas tertentu, orang tertentu dikenal mempunyai kekuatan untuk
menyembuhkan. Dukun dianggap mendapat anugerah dari Tuhan. Banyak contoh
seseorang dengan warisan budaya konsisten terlebih dahulu berkinsultasi dengan
dukun sebelum ia berhubungan dengan pemberi perawatan kesehatan modern.
Terdapat banyak perbedaan antara dokter Barat dengan dukun tradisional
(Kaptchuk & Croucher, 1987) Hubungan antara seseorang dengan dukun sering
lebih dekat dibandingkan dengan tenaga perawatan kesehatan professional. Orang
vmenganggap dukun sebagai seseorang yang mampu memahami masalah dalam
konteks kultural, berbicara dengan bahasa yang sama, dan memiliki pandangan
yang sama tentang dunia.
10
3. Faktor Kultular dan Proses Keperawatan
1) Pengkajian Komunitas
Perawat harus memberikan perawatan yang sensitif dan kompeten secara
kultular di komunitas.
2) Diagnosa Keperawatan
Mengelompokkan data yang relevan dan mengembangkan diagnose
keperawatan aktual dan potensial yang berhubungan dengan kebutuhan
kultular dan etnik klien.
3) Perencanaan
Perawat sekali lagi mempertimbangkan variable kultular yang berkaitan klien
yang melibatkan keluarga besar dalam proses perawatan.
5) Implementasi
Perawat mengetahui perawatan seperti apa yang dianggap klien sesuai dengan
mereka dan melibatkan keluarga tentang harapan mereka.
6) Evaluasi
Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan dengan menentukan sejauh mana
tujuan dan hasil yang diharapkan dari perawatan telah terpenuhi.

B. Aplikasi transkultural pada beberapa masalah kesehatan


1. Aplikasi transkultural pada masalah penyakit kronik

Penyakit kronik adalah penyakit yang timbul bukan secara tiba-tiba, melainkan
akumulasi dari sesuatu penyakit hingga akhirnya menyebabkan penyakit itu sendiri. (Kalbe
medical portal) Penyakit kronik ditandai banyak penyebab. Contoh penyakit kronis adalah
diabetes, penyakit jantung, asma, hipertensi dan masih banyak lainnya. Ada hubungan antara
penyakit kronis dengan depresi. Depresi adalah kondisi kronis yang mempengaruhi pikiran
seseorang, perasaan dan perilaku sehingga sulit untuk mengatasi peristiwa kehidupan sehari-
hari. (Andres Otero-Forero, Queensland Transcultural Mental Health Centre).

Seseorang yang menderita depresi memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita


penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung atau asma. Penyebab depresi itu sendiri
kompleks, terkait dengan lingkungan interaksi seseorang maupun kepribadiaannya sendiri.
Beberapa faktor penyebab umum adalah:

11
1. Faktor herediter 2. Trauma

3. Isolasi atau kesepian 4. Pengangguran

5. konflik Keluarga 6. Kesulitan penyelesaian

7. Stres 8. Nyeri

Berbagai jenis depresi memerlukan cara yang berbeda dalam jenis


pengobatannya. Untuk depresi ringan, dapat dianjurkan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tertentu. Dalam kasus depresi parah, dianjurkan untuk mengkonsumsi obat
dan psikoterapi. Salah satu pendekatan yang muncul menjadi lebih umum untuk
segala bentuk depresi adalah manajemen diri. Manajemen diri mengacu pada strategi
orang menggunakan untuk berurusan dengan kondisi mereka. Dimana seseorang
melibatkan tindakan, sikap atau tujuan dalam mengambil atau membuat keputusan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
Pengobatan terhadap penyakit kronik yang telah dilakukan di masyarakat saat
ini amat beragam. Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pengobatan tradisional juga
merupakan sub unsur kebudayaan masyarakat sederhana yang telah dijadikan sebagai
salah satu cara pengobatan. Pengobatan inilah yang juga menjadi aplikasi dari
transkultural dalam mengobati suatu penyakit kronik. Pengobatan tradisional ini
dilakukan berdasarkan budaya yang telah diwariskan turun-temurun. Beberapa
contohnya adalah sebagai berikut:
1) Masyarakat negeri Pangean lebih memilih menggunakan ramuan dukun untuk
menyembuhkan penyakit TBC, yaitu daun waru yang diremas dan airnya dimasak
sebanyak setengah gelas.
2) Masyarakat di Papua percaya bahwa penyakit malaria dapat disembuhkan dengan cara
minta ampun kepada penguasa hutan lalu memetik daun untuk dibuat ramuan untuk
diminum dan dioleskan ke seluruh tubuh.
3) Masyarakat Jawa memakan pisang emas bersamaan dengan kutu kepala (Jawa: tuma)
tiga kali sehari untuk pengobatan penyakit kuning.

Pengobatan tradisional yang sering dipakai berupa pemanfaatan bahan-bahan herbal.


Herba sambiloto menjadi sebuah contoh yang khasiatnya dipercaya oleh masyarakat
dapat mengobati penyakit-penyakit kronik, seperti hepatitis, radang paru (pneumonia),

12
radang saluran nafas (bronchitis), radang ginjal (pielonefritis), radang telinga tengah
(OMA), radang usus buntu, kencing nanah (gonore), kencing manis (diabetes melitus).
Daun lidah budaya dan tanaman pare juga dijadikan sebagai pengobatan herbal.
Tumbuhan tersebut berkhasiat menyebuhkan diabetes melitus.
Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun masih ada negara yang meyakini
bahwa pengobatan medis bukan satu-satunya cara mengobati penyakit kronik. Misalnya,
di Afrika, penduduk Afrika masih memiliki keyakinan tradisional tentang kesehatan dan
penyakit. Mereka menganggap bahwa obat-obatan tradisional sudah cukup untuk
mengganti produk yag akan dibeli, bahkan mereka menggunakan dukun sebagai
penyembuh tradisional. Hal seperti ini juga terjadi di Amerika, Eropa, dan Asia.

2. Aplikasi transkultural pada gangguan nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk
mencari bantuan perawatan kesehatan. Selanjutnya, definisi nyeri menurut keperawatan
adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang
ada kapanpun individu mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien nyeri adalah
bahwa semua nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya belum diketahui. Keberadaan nyeri
adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien bahwa nyeri itu ada.
Aplikasi transkultural pada gangguan nyeri baik yang dilakukan oleh pasien
berdasarkan apa yang dipercaya olehnya atau yang dilakukan oleh perawat setelah melakukan
pengkajian tentang latar belakang budaya pasien adalah sebagai berikut:
1) Dengan membatasi gerak dan istirahat. Seorang pasien yang mengalami nyeri
diharuskan untuk tidak banyak bergerak karena jika banyak bergerak dapat
memperparah dan menyebabkan nyeri berlangsung lama. Menurut pandangan umat
Islam, seseorang yang menderita nyeri untuk mengurangi tau meredakannya dengan
posisi istirahat atau tidur yang benar yaitu badan lurus dan dimiringkan ke sebelah
kanan. Hal ini menurut sunah rasul. Dengan posisi tersebut diharapkan dapat
meredakan nyeri karena peredaran darah yang lancer akibat jantung yang tidak
tertindih badan sehingga dapat bekerja maksimal.
2) Mengkonsumsi obat-obatan tradisional. Beberapa orang mempercayai bahwa ada
beberapa obat tradisional yang dapat meredakan nyeri bahkan lebih manjur dari obat

13
yang diberikan oleh dokter. Misalnya, obat urut dan tulang ‘Dapol Siburuk’ dari
burung siburuk yang digunakan oleh masyarakat Batak.
3) Dengan dipijat atau semacamnya. Kebanyakan orang mempercayai dengan dipijat
atau semacamnya dapat meredakan nyeri dengan waktu yang singkat. Namun, harus
diperhatikan bahwa apabila salah memijat akan menyebabkan bertambah nyeri atau
hal-hal lain yang merugikan penderita. Dalam budaya Jawa ada yang disebut dukun
pijat yang sering didatangi orang banyak apabila mengalami keluhan nyeri misalnya
kaki terkilir.

Dalam menerapkan transkultural pada gangguan nyeri harus tetap mempertahankan


baik buruknya bagi si pasien. Semua aplikasi transkultural sebaiknya dikonsultasikan kepada
pihak medis agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan.

3. Aplikasi transkultural pada gangguan kesehatan mental

Berbagai tingkahlaku luar biasa yang dianggap oleh psikiater barat sebagai penyakit
jiwa ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-barat. Adanya variasi yang luas
dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai masyarakat
dunia, Barat maupun non-Barat, telah mendorong para ilmuwan mengenai tingkahlaku untuk
menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu ‘mitos’, suatu fenomena sosiologis, suatu hasil
dari angota-anggota masyarakat yang ‘beres’ yang merasa bahwa mereka membutuhkan
sarana untuk menjelaskan, memberi sanksi dan mengendalikan tingkahlaku sesama mereka
yang menyimpang atau yang berbahaya, tingkahlaku yang kadang-kadang hanya berbeda
dengan tingkahlaku mereka sendiri. Penyakit jiwa tidak hanya merupakan ‘mitos’, juga
bukan semata-semata suatu masalah sosial belaka. Memang benar-benar ada gangguan dalam
pikiran, erasaan dan tingkahlaku yang membutuhkan pengaturan pengobatan.(Edgerton 1969 : 70).
Nampaknya, sejumlah besar penyakit jiwa non-barat lebih dijelaskan secara personalistik
daripada naturalistik.
Sebagaimana halnya dengan generalisasi, selalu ada hal-hal yang tidak dapat
dimasukkan secara tepat ke dalam skema besar tersebut. Kepercayaan yang tersebar luas
bahwa pengalaman-pengalaman emosional yang kuat seperti iri, takut, sedih, malu, dapat
mengakibatkan penyakit, tidaklah tepat untuk diletakkan di dalam salah satu dari dua kategori
besar tersebut. Mungkin dapat dikatakan bahwa tergantung situasi dan kondisi, kepercayaan-
kepercayaan tersebut boleh dikatakan cocok untuk dikelompokkan ke dalam salah satu
kategori. Misalnya, susto, penyakit yang disebabkan oleh ketakutan, tersebar luas di Amerika

14
Latin dan merupakan angan-angan. Seseorang mungkin menjadi takut karena bertemu dengan
hantu, roh, setan, atau karena hal-hal yang sepele, seperti jatuh di air sehingga takut akan
mati tenggelam. Apabila agen-nya berniat jahat, etiologinya sudah tentu bersifat
personalistik. Namun, kejadian-kejadian tersebut sering merupakan suatu kebetulan atau
kecelakaan belaka bukan karena tindakan yang disengaja. Dalam ketakutan akan kematian
karena tenggelam, tidak terdapat agen-agen apa pun.
Kepercayaan-kepercayaan yang sudah dijelaskan di atas menimbulkan pemikiran-
pemikiran untuk melakukan berbagai pengobatan jika sudah terkena agen. Kebanyakan
pengobatan yang dilakukan yaitu mendatangi dukun-dukun atau tabib-tabib yang sudah
dipercaya penuh. Terlebih lagi untuk pengobatan gangguan mental, hampir seluruh
masyarakat desa mendatangi dukun-dukun karena mereka percaya bahwa masalah gangguan
jiwa/mental disebabkan oleh gangguan ruh jahat. Dukun-dukun biasanya melakukan
pengobatan dengan cara mengambil dedaunan yang dianggap sakral, lalu menyapukannya ke
seluruh tubuh pasien. Ada juga yang melakukan pengobatan dengan cara menyuruh pihak
keluarga pasien untuk membawa sesajen seperti, berbagai macam bunga atau binatang ternak.
Para ahli antropologi menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis shaman. Shaman
adalah seorang yang tidak stabil dan sering mengalami delusi, dan mungkin ia adalah seorang
wadam atau homoseksual.namun apabila ketidakstabilan jiwanya secara budaya diarahkan
pada bentuk-bentuk konstruktif, maka individu tersebut dibedakan dari orang-orang lain yang
mungkin menunjukkan tingkahlaku serupa, namun digolongkan sebagai abnormal oleh para
warga masyarakatnya dan merupakan subyek dari upacara-upacara penyembuhan. Dalam
pengobatan, shaman biasanya berada dalam keadaan kesurupan (tidak sadar), dimana mereka
berhubungan dengan roh pembinanya untuk mendiagnosis penyakit. para penganut paham
kebudayaan relativisme yang ekstrim menggunakan contoh shamanisme sebagai hambatan
utama dalam arguentasi mereka bahwa apa yang disebut penyakit jiwa adalah sesuatu yang
bersifat kebudayaan.
Dalam banyak masyarakat non-Barat, orang yang menunjukkan tingkahlaku abnormal
tetapi tidak bersifat galak maka sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka,
kebutuhan mereka dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Namun, jika mereka
mengganggu, mereka akan dibawa ke sutu temapt di semak-semak untuk ikuci di kamrnya.
Sebuah pintu khusus (2 x 2 kaki) dibuat dalam rumah, cukup untuk meyodorkan makanan
saja bagi mereka dan sebuah pintu keluar untuk keluar masuk komunitinya.
Usaha-usaha untuk membandingkan tipe-tipe gangguan jiwa secara lintas-budaya
umumnya tidak berhasil, sebagian disebabkan oleh kesulitan-kesulitan pada tahapan
15
penelitian untuk membongkar apa yang diperkirakan sebagai gejala primer dari gejala
sekunder. Misalnya, gejala-gejala primer yaitu yang menjadi dasar bagi depresi. Muncul lebih
dulu dan merupakan inti dari gangguan. Gejala-gejala sekunder dilihat sebagai reaksi
individu terhadap penyakitya ; gejala-gejala tersebut berkembang karena ia berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan tingkahlakunya yang berubah (Murphy, Wittkower, dan Chance 1970 : 476).

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :
1. Keperawatan transkultural didefinisikan oleh Leininger (2002) sebagai penelitian
perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan perbedaan
(budaya tertentu) di antara kelompok manusia.
2. Tujuan keperawatan transkultural adalah bentuk pelayanan yang sama secara budaya
atau pelayanan yang sesuai pada nilai kehidupan individu dan arti yang sebenarnya.
3. Konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultural didasari pada ilatar
belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda dengan kliennya yag dijadikan
sebagai pertimbangan dalam meningkatkan pemberian asuhan keperawatan secara
efektif.
4. Pengkajian dan instrumennya dalam asuhan keperawatan budaya memepelajari
budaya klien beserta hubungan dan komunikasi transkultular untuk
mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien sepanjang proses keperawatan.
5. Aplikasi Transkultural dalam masalah penyakit kronik, ganguan nyeri dan ganguan
mental dalam masyarakat adalah pengobatan tradisional yang diajarkan secara turun
temurun yang dipercaya oleh masing-masing penganut dan tidak ada juga yang
menggunakan tanaman sebagai obat herbal.
6. Kasus diabetes dapat ditinjau dari transkultural keperawatan bahwa budaya seseorang
terkhususnya dalam makanan memepengaruhi resiko terkena diabetes dan menjadi
faktor pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan agar berjalan efektif.

B. Saran

17
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efy. Ringkasan Materi : Unit 2 Keragaman budaya dan perspektif transkultural
dalam keperawatan.
Forero, Andres Otero. (2008). Pendekatan Transcultural Menghormati Pikiran & Tubuh.
Foster, G.M. & Anderson, B.G (2006). Antropologi Kesehatan. Terjemahan Priyanti PS &
Meutia F.H.S.Jakarta:UI Press.
Harrison. (1999). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume I. Terjemahan. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Giger, J. N. & Davidhizar. (1995). Transcultural Nursing: Assessment and Intervention. St.
Louis: Mosby.
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2009). Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Buku I hal.175-199.
Terjemahan Penerbit Salemba Medika.
RN, Redinger. (2007). The Pathophysiology of Obesity and Its Clinical Manifestations.
Gastroenterology & Hepatology.11 (3): 856-863.

18

Anda mungkin juga menyukai