Anda di halaman 1dari 14

ANEMIA DEFISIENSI BESI

A. Gambaran Umum
Anemia oleh WHO didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika kadar
hemoglobin bagi seorang pria dengan usia di atas 15 tahun di bawah 13
g/dl, pada wanita yang tidak hamil dengan usia di atas 15 tahun di bawah
12 g/dl, dan pada wanita hamil di bawah 11 g/dl (Goddard dkk., 2005).
Anemia kemudian diklasifikasikan ke dalam 4 besar berdasarkan
penyebabnya oleh WHO, antara lain:
1. Anemia Defisiensi Zat Besi
Anemia ini disebabkan oleh turunnya kadar zat besi pada tubuh.
Temuan khusus pada penderita biasanya didapatkan sel–sel darah
merah yang hipokromatik dan mikrositik, kadar serum ferratin yang
rendah, dan jika kondisi anemia ini memberat biasanya akan disertai
glossitis (Baughman dan Hackley, 2000).
2. Anemia Hipoplastik
Anemia jenis ini disebabkan oleh adanya gangguan pada
sumsum tulang sehingga kurang mampu membentuk sel–sel darah
yang baru. Gangguan yang terjadi pada sumsum tulang ini belum
diketahui secara jelas penyebabnya, namun dicurigai akibat adanya
infeksi berat (sepsis) dan adanya paparan radiasi yang berlebihan.
Anemia ini biasa ditandai dengan adanya perdarahan mukosa berupa
epitaksis, perdarahan sub konjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis,
dan menorrhagia yang sering dijumpai pada wanita (Chinmory dan
Mukhopadhay, 2009).
3. Anemia Megaloblastik
Anemia jenis ini sering disebut sebagai anemia kehamilan
karena sering terjadi pada ibu hamil, dan hampir jarang terjadi selain
pada ibu hamil. Keadaan ini merujuk pada kurangnya asam folat dan
vitamin B12. Tanda dan gejala pada keadaan ini berupa adanya ikterus
ringan akibat pemecahan globulin. Kekurangan vitamin B12 dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga terjadi kesemutan di tangan
dan kaki, hilangnya rasa ditungkai, adanya purpura trombositopenia.
Sedangkan kekurangan asam folat akan mempengaruhi berat bayi lahir
rendah, ablasio plasenta, dan Neural Tube Defect (NTD), (Wiwik dan
Sulistyo, 2008).
4. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan oleh
proses hemolisis, yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah
sebelum waktunya. Jenis anemia ini bisa dibilang jarang ditemukan,
hanya sekitar 6% dari total penderita anemia di dunia dan biasa
disebabkan adanya keadaan autoimun pada tubuh penderita. Temuan
pada penderita antara lain pucat, ikterus, pireksia, dan hemoglobinuria.
Hemoglobinuria merupakan kondisi khas pada anemia hemolitik,pada
urin penderita penderita ditemukan adanya hemoglobin (Behrman
dkk., 1999).
Di antara keempat anemia tersebut, yang menempati posisi pertama
dan dikatakan paling sering ditemukan sebagai faktor penyebab anemia
adalah kadar zat besi yang kurang dalam darah. Hal ini mengakibatkan
konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang, sehingga pembentukan
sel-sel darah merah terganggu. Idealnya, jika simpanan zat besi dalam
tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang tersebut mendekati
anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisologis. Simpanan zat
besi sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel
darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus
menerus menurun di bawah batas normal dan mengakibatkan anemia
defisiensi zat besi (Bakta, 2007).
Anemia defisiensi zat besi merupakan anemia yang terbanyak baik di
negara maju maupun negara berkembang. Meskipun besi merupakan suatu
unsur terbanyak pada lapisan kulit bumi, defisiensi besi merupakan
penyebab anemia yang paling sering terjadi. Hal ini disebabkan tubuh
manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap besi yang
berlebihan yang diakibatkan perdarahan (Hoffbrand dkk., 2005).
Keadaan tersebut dapat diderita oleh bayi, anak anak, bahkan orang
dewasa baik pria maupun wanita. Hal ini disebabkan banyak hal yang
dapat mendasari terjadinya anemia defisiensi besi. Selain itu, dampak dari
anemia defisiensi besi sangat luas antara lain terjadi perubahan epitel,
gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anak-anak, kurangnya konsentrasi
pada anak yang mengakibatkan prestasi di sekolahnya menurun dan
penurunan kemampuan kerja bagi pekerja sehingga produktifitasnya
menurun (Hoffbrand dkk., 2005).
Abdulsalam dan Daniel (2002) menyebutkan umumnya sebelum
seseorang dikatakan menderita anemia defisiensi zat besi, penderita akan
melewati 3 stadium, antara lain:
1. Stadium I
Biasa ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot.
Keadaan ini dikenal dengan istilah stadium deplesi besi. Pada stadium
ini kadar besi dan hemoglobin di dalam serum masih normal. Kadar
besi di dalam depot dapat ditentukan dengan pemeriksaan sitokimia
jaringan hati atau sumsum tulang. Di samping itu kadar feritin/saturasi
transferin di dalam serumpun dapat mencerminkan kadar besi di
dalam depot.
2. Stadium II
Timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam
serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih
normal. Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.
3. Stadium III
Keadaan ini barulah dinamakan dengan istilah anemia defisiensi
besi. Ditandai oleh adanya penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH,
MCHC dan penurunan kadar feritin serta kadar besi di dalam serum.
Gambaran klinis yang terjadi akibat pengaruh defisiensi zat besi bisa
terlihat melalui fisik seseorang pada umumnya dan mukosa rongga mulut
khususnya. Gambaran klinis tidak begitu menonjol apabila anemia
defisiensi zat besi masih dalam taraf ringan dan sedang. Gambaran klinis
yang menonjol apabila anemia defisiensi zat besi telah berat adalah
iritabilitas, anoreksia, infeksi, takikardi, dilatasi jantung serta sering
terdengar bising jantung sitolik. Pengaruh defisiensi zat besi pada rongga
mulut yang spesifik adalah pada lidah dan sudut mulut. Manifestasinya
pada lidah berupa atrofi papila filiformis dan papila fungiformis sehingga
lidah akan terlihat pucat, pada sudut mulut terlihat angular chelitis, juga
terdapat ulcer dalam bentuk Reccurent Alphthous Ulcer (RAU) (Rawson,
2002).
Klasifikasi defisiensi besi menurut Bakta (2007) dibagi menjadi tiga
tingkatan yaitu:
1. Deplesi besi (Iron depleted state)
Pada keadaan ini cadangan besi menurun, tetapi penyediaan besi
untuk erotopoesis belum terganggu
2. Eritropoesis defisiensi zat besi
Cadangan besi sudah tidak ada dan penyediaan besi untuk
eritropoesis sudah terganggu tetapi belum tampak anemia secara
laboratoris.
3. Anemia defisiensi besi
Pada keadaan ini cadangan besi sudah tidak ada dan gejala
anemia defisiensi besi sudah terlihat.

B. Patogenesis
Sintesis hemoglobin di dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Besi adalah salah satu faktor terpenting. Besi yang diabsorbsi oleh
tubuh akan berikatan dengan protein apotransferin di plasma darah. Besi
dan apotransferin membentuk ferritin, suatu protein yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan Fe2+/3+. Ferritin akan mengangkut Fe2+/3+ dan
melepaskannya menuju eritroblas. Pada mitokondria eritroblas, terjadi
proses pembentukan heme dan globin. Fe2+/3+ akan berikatan dengan
protoporfirin IX untuk mensintensis heme. Setiap heme nantinya akan
bergabung dengan rantai polipeptida (globin) sehingga terbentuk rantai
hemoglobin. Beberapa orang yang tidak memiliki transferin cukup, dapat
terjadi kegagalan pengangkutan Fe2+/3+ ke eritroblas. Hal tersebut dapat
menyebabkan kondisi defisiensi Fe2+/3+ dan berdampak pada proses sintesis
hemoglobin (Guyton dan Hall, 2011).
Hemoglobin merupakan substansi pada eritrosit yang mempunyai
peran utama dalam proses pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh. Rantai
hemoglobin akan berikatan dengan oksigen secara reversibel dan longgar.
Oksigen didistribusi ke seluruh jaringan di tubuh dalam bentuk molekul.
Hemoglobin bertanggung jawab sebagai stabilisator tekanan oksigen
dalam jaringan. Apabila terjadi gangguan pada proses pembentukan
hemoglobin, akan berpengaruh juga pada proses distribusi oksigen
(Guyton dan Hall, 2011).
Hipoksia dapat terjadi di daerah perifer, akibat dari defisiensi Fe2+/3+.
Darah yang kaya oksigen lebih banyak dialirkan ke organ-organ utama
seperti otak, jantung, dan hati (Adeyemo dkk., 2011). Daerah perifer
seperti mukosa bibir akan mengalami pucat. Kondisi ini disebabkan oleh
kadar serum ferritin pada darah <30µg/L. Serum ferritin merupakan salah
satu protein dalam darah, dan dapat menjadi indeks bagi jaringan yang
mengalami kekurangan kadar zat besi. Ketika konsentrasi oksigen dalam
darah menurun ditambah dengan kadar zat besi yang juga menurun, maka
kadar serum ini akan ikut menurun pada jaringan dan mengakibatkan
kondisi jaringan akan terlihat lebih pucat (Greenberg dkk., 2008).
Selain itu, papila lidah juga mengalami atrofi. Zat besi dalam darah
berguna mengatur pertumbuhan sel. Ketika zat besi dalam darah menurun,
maka kadar myoglobin akan ikut menurun. Myoglobin adalah sejenis
protein pada sel darah merah yang penting bagi otot, temasuk otot lidah.
Ketika zat besi berkurang maka pertumbuhan sel dan perkembangan otot
akan terganggu, sehingga papilla lidah mengalami atropi (Macoon dan Yu,
2012).
Kondisi defisiensi Fe2+/3+ dapat memicu pertumbuhan Candida
albicans sehingga timbul infeksi opportunistik. Candida albicans akan
mudah tumbuh dan berkembang di area bebas Fe2+/3+ dan menimbulkan
infeksi sekunder di area sudut bibir, atau disebut juga angular cheilitis
(Kaur dkk., 2015).

C. Gambaran Manifestasi Oral


Little dkk., (2008) menyebutkan manifestasi oral pada penderita
anemia defisiensi besi antara lain:
1. Sering ditemukan mukosa rongga mulut yang pucat
Mulut pucat disebabkan karena kadar serum ferritin pada darah
<30µg/L. Serum ferritin merupakan salah satu protein dalam darah,
dan dapat menjadi indeks bagi jaringan yang mengalami kekurangan
kadar zat besi. Ketika konsentrasi oksigen dalam darah menurun
ditambah dengan kadar zat besi yang juga menurun, maka kadar
serum ini akan ikut menurun pada jaringan dan mengakibatkan
kondisi jaringan akan terlihat lebih pucat (Greenberg dkk., 2008).
Gambar (A). Mukosa oral tampak pucat
(Singh dkk, 2013)

2. Lidah mengalami glositis sehingga terjadi burning sensation dengan


papila hilang atau atropi.
Glositis merupakan peradangan atau infeksi pada lidah yang dapat
menimbulkan nyeri lidah yang tampak normal, atau tampak merah
serta tidak berpapil. Penyebab glositis yaitu kekurangan zat besi, asam
folat, vitamin B12. Gambaran klinisnya berupa lidah terlihat normal
atau terlihat lesi garis atau bercak merah (terutama pada kekurangan
vitamin B12), tidak memiliki papila dengan eritema (pada kekurangan
zat besi, asam folat atau vitamin B), atau pucat (kekurangan zat besi).
Depapilisasi lingual dimulai pada ujung dan tepi dorsum, yang
nantinya akan mengenai seluruh bagian dorsum (Scully dan Cawson,
2013). Zat besi dalam darah berguna mengatur pertumbuhan sel.
Ketika zat besi dalam darah menurun, maka kadar myoglobin akan
ikut menurun. Myoglobin adalah sejenis protein pada sel darah merah
yang penting bagi otot, temasuk otot lidah. Ketika zat besi berkurang
maka pertumbuhan sel dan perkembangan otot akan terganggu,
sehingga papilla lidah mengalami atropi (Macoon dan Yu, 2012).

Gambar (B, C). Glossitis (Shafer dkk., 2012)


Burning sensasion ditandai dengan adanya sensasi terbakar yang
mempengaruhi mukosa oral yang disebabakan oleh faktor lokal dan
sistemik lain misalnya xerostomia, desain gigi tiruan yang tidak baik,
diabetes, kekurangan gizi dan anemia. Burning sensation biasanya
terjadi pada lidah, bibir, dan palatum durum, namun lebih sering pada
lidah. Faktor inisiasi dari burning sensation belum jelas, tetapi banyak
laporan sensasi tidak muncul saat makan ataupun bekerja, dan lebih
sering terasa saat waktu istirahat. Rasa sakit konstan namun dapat juga
datang pergi (Coulthard dkk., 2003).
3. Angular cheilitis
Defisensi Fe2+/3+ dapat memicu pertumbuhan Candida albicans
sehingga timbul infeksi opportunistik. Candida albicans akan mudah
tumbuh dan berkembang di area bebas Fe2+/3+, dan menimbulkan
infeksi sekunder di area sudut bibir, atau disebut juga angular cheilitis
(Kaur dkk., 2015). Pada pasien, biasanya ditemukan warna putih
keabuan disertai erythema di sudut mulut. Kebanyakan pasien yang
mengalami penyakit ini mengalami burning sensation yang terjadi
ketika lesi diberikan tekanan. Etiologi dari angular cheilitis masih
menjadi kontroversi, namun etiologi yang paling banyak
menyebabkan penyakit ini adalah infeksi yang disebabkan oleh 3
organisme, yaitu Candida albicans, Staphylococcus aureus, dan B-
hemolytic streptococci. Staphylococcus aureus menempati posisi
kedua sebagai etiologi angular Cheilitis yang banyak ditemukan di
penelitian setelah Candida albicans (Park dkk., 2011).

Gambar (D). Angular Cheilitis (Spiller, 2015)

4. Aphthae/Ulcer/Ulkus
Ulcer merupakan lesi berbentuk kawah dengan bentuk kawah pada
mukosa mulut. Kawah ini terbentuk akibat adanya luka pada jaringan
mukosa yang terbuka, yang ditandai dengan adanya disintegrasi
jaringan perlahan-lahan disertai adanya nekrosis. Tepi lesi berwarna
kemerahan dengan bagian tengah berwarna kuning keabuan yang
isinya adalah fibrinopurulen. Lesi ini bisa disebabkan karena trauma,
adanya infeksi, kurangnya asupan vitamin ataupun penyakit
granulomatosis (Langlais dkk., 2015). Sedangkan pasien anemia
defisiensi zat besi mengalami penurunan ketebalan epitel yang
signifikan pada mukosa yang ditentukan secara histologis (Greenberg
dkk., 2008). Oleh karena itu, pasien anemia defisiensi besi lebih
rentan menderita ulcer dibandingkan individu sehat pada umumnya.

Gambar (E, F). Aphtae/Ulcer/Ulkus


(Scully., 2010)
Beberapa pasien dengan anemia defisiensi besi berat dapat
berkembang menjadi sindrom Plummer Vinson. Sindrom Plummer Vinson
merupakan sebuah kondisi terbentuknya selaput kerongkongan, hal ini
biasanya dikaitkan dengan genetik dan kekurangan nutrisi berat
khususnya zat besi, namun penderita sindrom ini yang berasal dari anemia
defisiensi zat besi jarang ditemukan. Pada penderita sindrom ini yang
bermula dari anemia defisiensi zat besi, memiliki karakteristik sakit di
area rongga mulut (sore mouth), angular cheilitis, atropik glositis kronik,
disfagia (disebabkan oleh degenerasi otot di esofagus), meningkatnya
frekuensi kejadian karsinoma pada rongga mulut dan faring (Little dkk.,
2008).
Berdasarkan studi dari 12 pasien dengan anemia defisiensi zat besi,
diurutkan manifestasi oralnya menurut presentase temuan di lapangan,
antara lain: angular cheilitis (58%), glositis (42%), mukosa rongga mulut
pucat (33%), oral candidiasis (25%), reccurent apthous stomatitis (8%),
mucositis eritematosa (8%) dan mulut terasa terbakar (8%) selama
beberapa bulan dalam satu tahun. Tingginya prevalensi manifestasi oral
dari anemia defisiensi zat besi terjadi karena imunitas seluler yang
terganggu, aktivitas bakterisida, kekurangan leukosit polimorfonuklear,
respon antibodi yang tidak memadai, dan kelainan epitel (Greenberg dkk.,
2008).

D. Treatment
Perawatan yang paling penting dalam pengobatan anemia defisiensi
besi adalah sebagai berikut (Huch dan Schaefer, 2006):
1. Eliminasi faktor penyebab hilangnya zat besi atau memberikan
terapi pada penyakit yang menyebabkan timbulnya anemia
defisiensi besi, misalnya pada keadaan menorrhagia, perdarahan
gastrointestinal, infestasi cacing tambang, dan schistomiasis.
2. Memperbaiki status zat besi dengan menambah diet yang
mengandung banyak zat besi.
3. Memberikan suplemen zat besi
Terapi besi oral, dapat menggunakan preparat (Sudoyo dkk., 2006).
a. Ferrous sulfat
b. Ferrous gluconate
c. Ferrous fumarat
d. Ferrous lactat
e. Ferrous succinate
Terapi besi parenteral dapat dilakukan ketika pasien tidak dapat
mengabsorbsi suplemen yang diberikan secara oral, misalnya pada kondisi
adanya efek samping pada gastrointestinal yang parah atau jumlah zat besi
yang hilang melebihi jumlah yang dapat diserap oleh tubuh melalui oral
(Kaur dkk., 2015).
Berikut ini adalah preparasi zat besi yang sering diberikan secara
parenteral (Huch dan Schaefer, 2006).
a. Iron (III) sucrose complex
b. Sodium-iron (III) gluconate complex
c. Iron (III)-polymaltose complex
d. Iron (III)-dextran complex
e. Ferric-sorbitol-citrate complex
4. Terapi kausal, terapi untuk efek perdarahan
5. Transfusi darah

Pasien dengan anemia harus diperhatikan konsumsi makanan,


malnutrisi, alkohol atau penggunaan obat, kehamilan, hipotiroid, kelainan
perdarahan dan Hb, serta transplantasi organ. Riwayat harus diketahui agar
dapat memahami tingkat keparahan penyakit serta tata laksana apa saja
yang harus dilakukan. Penderita anemia dapat mengalami penyakit serius
seperti ulserasi kronis dan karsinoma. Sebelum melakukan perawatan gigi
dan mulut dokter harus memastikan keadaan pasien, minimal Hb pasien
adalah 11g/dL. Hipersensitivitas pasien terhadap obat dapat meningkat dan
rawan terjadi hemolisis. Infeksi gigi dan mulut juga dapat menyebabkan
terjadinya hemolisis. Pasien anemia dengan kondisi kurang stabil
disarankan untuk menunda perawatan gigi dan mulut.
Sedangkan tata laksana perawatan gigi dan mulut pada pasien
anemia (Little dkk., 2008):
1. Pastikan bahwa kondisi pasien dalam keadaan stabil
2. Rencanakan pertemuan singkat untuk mengurangi stress
3. Hindari prosedur yang lama dan rumit
4. Pertahankan kondisi gigi dan mulut yang baik
5. Berikan edukasi perawatan gigi dan mulut preventif
a. Oral hygiene
b. Kontrol diet
c. Sikat gigi dan flossing
d. Aplikasi pasta gigi berfluoride
6. Pertahankan suplai oksigen pasien
7. Gunakan anestesi tanpa epinefrin, hindari anestesi total cukup anestesi
lokal
8. Hindari obat-obatan narkotika karena dapat memicu hipoksia dan
asidosis
9. Gunakan antibiotik profilaktik untuk prosedur bedah mayor untuk
menghindari terjadinya infeksi yang memicu osteomyelitis
10. Hindari penggunaan salisilat
11. Gunakan oksigen-nitrous oksida dengan kadar oksigen lebih dari 50%,
aliran tinggi dan pertukaran udara baik
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam, A., Daniel, A., 2010, Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan


Anemia, Sari Pediatri, V.4(2):74-77.

Adeyemo, T. A., Adeyemo, W. L., Adediran, A., Akinbami, A. J. A., Akanmu, A.


S., 2011, Orofacial Manifestation Of Hematological Disorder: Anemia
and Hemostatic Disorders, Indian Journal of Dental Research 22(3):
454-460.

Bakta, I. M., 2007, Hematologi Klinik Ringkas, EGC: Jakarta.

Baughman, D. C., Hackley, J. C., 2000, Keperawatan Medikal-Bedah, Jakarta:


EGC, p.28.
Behrman, R. E., Kliegman, R. M., Arvin, A. M., 1999, Ilmu Kesehatan Anak
Nelson, Jakarta: EGC, p.1717.
Chinmory, K. B., Mukhopadhay, A., 2009, Caesarean Delivery in a Patient with
Hypoplastic Anemia with a Very Low Refractory Platelet Level, Journal
Turkish-Germany Associate, V.10(2):49-51.
Coulthard P, K Horner, P Sloan, and E Theaker. 2003. Master Dentistry Vol 1:
Oral and Maxillofacial Surgery, Radiology, Pathology and Oral
Medicine. Edinburgh: Churchill Livingstone.

Goddard, A. F., James, M. W., McIntyre, A. S., Scott, B. B., 2010, Guidelines For
The Management Of Iron Deficiency Anaemia, BSG Guidelines in
Gastroenerology, V.12(3):1-5.

Greenberg, M. S., Glick, M., Ship, J. A., 2008, Burket’s Oral Medicine, DC
DeckerInc: Hamilton.
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2011, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi-12,
Elsevier: Singapura.

Hoffbrand, A. V., dkk., 2005, Kapita Selekta Hematologi, EGC: Jakarta.


Huch , R., Schaefer, R., 2006, Iron Deficiency and Iron Deficiency Anemia, Georg
Thieme Verlag: New York

Kaur, N., Goyal, G., Padda, S., Kaur, B., Sunidhi, 2015,Iron Deficiency Anemia
And Oral Health Prospective – A Review, Indian Journal of
Comprehensive Dental Care, 5 (2): 655-659

Langlais, R.P., 2015, Atlas Berwarna Lesi Mulut yang Sering Ditemukan,
Terjemahan Oleh Titi Suta, EGC: Jakarta

Little, J.W., Falace, D.A., Miller, C.S., Rhodus, N.L., 2008, Dental Management
Of The Medically Compromised Patient, Elsevier: China.

Macoon, L., Yu, W., 2012, Glossitis, Journal of Healthline, V.25(12):1-8


Park, K. K., Brodell, R. T., Helms, S. E., 2011, Angular cheilitis, part 1 : local
etiologies, Cutis J , pp. 289–295

Rawson, R. A., 2002, Cawson’s Essential Of Oral Pathology And Oral Medecine
Seventh Edition, Edinburg: Churcill Livingstone.
Scully, C., Cawson, R. A., 2013, Atlas Bantu Kedokteran Gigi: Penyakit Mulut,
Hipokrates: Jakarta

Scully, C., Gorsky, M., Lozada-Nur, F., 2010, The Diagnosis and Management of
Reccurent Aphtous Stomatitis, JADA American Dental Association,
V.243:100-107
Shafer,s W. G., Hine, M. K., Levy, B. M., 2012, Shafer’s Textbook of Oral
Pathology, Elsevier: India.

Singh, A., Yuwanati, M., Umarji, H., Gupta, S., 2013, Plummer-Vinson
Syndrome, Journal of Oral Health Research, V. 4(4):13-18.
Spiller, M. S., 2015, The Doctorspiller Website. [Online]. Available:
http://doctorspiller.com/angular_cheilitis.htm, diakses 17 November
2015.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi,B., dkk., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Buku
Kedokteran FK UI, Jakarta.
Wiwik, H., Sulistyo, A., 2008, Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Hematologi, Salemba Medika: Jakarta.

BLOK ORAL BIOMEDIC


LAPORAN PRESENTASI
MANIFESTASI ORAL PENYAKIT SISTEMIK
ANEMIA DEFISIENSI BESI

Dosen Pembimbing:
drg. Fadli Ashar

KELOMPOK 1
Rinda Dini Papista (G1G013006)
Farihatun Arafah (G1G013007)
Adi Nugroho (G1G013014)
Fitria Ayu Mutiarasari (G1G013034)
Eka Novita Sari (G1G013036)
Ziyada Salisa (G1G013037)
Dewi Sisma Putriasari (G1G013040)
Reza Farabi (G1G013041)
Laksmita Tanjung (G1G013048)
Ageng Rahma H. I (G1G013056)
Nindyarani Sulistyaningsih (G1G013061)

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2015

Anda mungkin juga menyukai