Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkopneumonia hingga saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan


utama pada anak di negara berkembang. Bronkopneumonia merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang 2 juta
anak balita, meninggal setiap tahun akibat bronkopneumonia, sebagian besar terjadi
di Afrika dan Asia Tenggara. 1,2,3

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka


mortalitas bronkopneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut adalah berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen dinasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara
(polusi industri atau asap rokok).4

Bronkopneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru yang


dapat disebabkan baik oleh bakteri, virus, jamur maupun benda asing
lainnya. Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi
pertanyaan penting adalah penyebab dari bronkopneumonia (bakteri atau
virus). Bronkopneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus yang
kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit
membedakan bronkopneumonia bakterial dengan bronkopneumonia viral.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa bronkopneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, dan leukositosis.1,2

Pola bakteri penyebab bronkopneumonia biasanya berubah sesuai dengan


distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam
bronkopneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, streptokokus grup B, serta kuman atipik klamidia
dan mikoplasma. Walaupun bronkopneumonia viral dapat ditatalaksana tanpa
antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena infeksi
bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.1,2

1
Di negara berkembang, bronkopneumonia pada anak terutama disebabkan
oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan bronkopneumonia adalah
Streptococcuspneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus.
Bronkopneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini umumnya responsif
terhadap pengobatan dengan antibiotik betalaktam.5

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan kongenital yang paling


umum dan sebagai jenis penyakit jantung terbanyak pada anak. Di negara maju
hampir semua pasien telah dapat dideteksi dalam masa bayi, sedangkan di negara
berkembang masih banyak yang dibawa berobat setelah anak besar, hal tersebut
berarti bahwa banyak neonatus dan bayi muda dengan penyakit jantung bawaan berat
telah meninggal sebelum diperiksa oleh dokter atau pun PJB ringan tidak sampai di
diagnosis secara adekuat.6

Kelainan jantung bawaan dikelompokkan atas dua bagian yaitu PJB non
sianotik dan PJB sianotik. Sebenarnya sulit sekali menentukan penyebab PJB secara
tepat. Dapat disimpulkan tiga kelompok faktor etiologi PJB berikut: Faktor genetik;
Faktor lingkungan/eksterna (obat, virus, radiasi) yang terdapat sebelum kehamilan 3
bulan (2%) Hipoksia pada waktu persalinan dapat mengakibatkan tetap terbukanya
duktus arteriosus pada bayi; interaksi dari faktor genetik dan faktor lingkungan
(90%).6

Problem pernapasan adalah masalah yang sering terlihat menyertai problem


jantung. Dilihat dari jenis penyakit penyerta, sebagian besar pasien PJB menderita
kelainan paru terutama bronkopneumonia (32,6%) dan TB paru dan diberikan terapi
sesuai dengan penyakit penyerta. Pada umumnya pasien yang dirawat dengan status
gizi kurang (52%) dan bronkopneumonia merupakan penyakit penyerta terbanyak
yang membawa pasien datang berobat. 6

Berikut ini akan dibahas sebuah laporan kasus atas pasien dengan diagnosis
bronkopneumonia suspek penyakit jantung bawaan.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Nama Mahasiswa : Veronika Peny Laba


NIM : FAA 111 039
Tanda tangan :
Dokter Pembimbing : dr. Eny Karyani, Sp.A

A. IDENTITAS PASIEN
DATA PASIEN AYAH IBU
Nama An. D Tn. S Ny. Y
Umur 10 bulan 49 tahun 45 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Jl. Cilik Riwut Km.8, Palangka Raya
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMP SMP
Pekerjaan - Buruh Tani Ibu rumah tangga
Penghasilan - Rp 1.000.000 -
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS
No. RM 21 12 21

B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu kandung OS, pada tanggal 3 Desember 2015, pukul
15.00 WIB.

3
1. Keluhan Utama : Sesak
2. Keluhan Tambahan : Demam
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak ± 10 jam SMRS OS datang dengan keluhan demam (+) dengan panas
yang mendadak tinggi dan tidak ada mengalami penurunan panas. OS tidak ada
meminum obat. Kejang (-) menggigil (-) berkeringat (-) mimisan (-) gusi berdarah (-)
muntah hitam (-), BAB hitam (-). OS juga dikeluhkan batuk berdahak (+) sudah 4
hari SMRS , dahak keluar sedikit, berwarna putih kekuningan, darah (-), batuk timbul
kadang-kadang dan disertai sesak napas (+) saat batuk.. Sesak yang dialami OS saat
batuk tampak hingga adanya tarikan pada dinding dada, sesak saat batuk kadang
sampai membuat bibir biru (+), sesak masih bisa diselingi dengan tangisan, sesak
tidak timbul bila OS berbaring, sesak hanya timbul saat OS batuk. Keluhan menyusu
yang sering terputus-putus disangkal. OS juga mengalami muntah (+) 1 kali 8 jam
SMRS. Muntah tidak menyemprot kuat. Isi muntah yaitu cairan beserta makanan dan
tanpa darah. Volume setiap kali muntah kurang lebih satu gelas aqua. Mencret (-),
BAK tidak ada keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
OS baru pertama kali mengalami batuk berdahak seperti ini. Riwayat sesak
napas sebelumnya disangkal. Riwayat kebiruan pada bibir sebelumnya disangkal.
Riwayat aspirasi disangkal. Sulit makan atau minum/menetek terputus disangkal. OS
pernah di rawat inap di RSUD dr. Doris Sylvanus 2 bulan yang lalu karena diare
dengan dehidrasi sedang. OS pernah beberapa kali menggalami demam namun
sembuh dalam 3 hari dengan obat penurun panas. Tidak ada riwayat alergi obat atau
alergi makanan/susu sebelumnya, pengobatan paru disangkal.
5. Riwayat Kehamilan dan Antenatal
Ibu memeriksakan kehamilannya secara teratur di bidan sebulan sekali dan
Mendapatkan suplemen penambah darah dan vitamin. Tidak pernah menderita
penyakit selama kehamilan, riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat
trauma selama kehamilan disangkal, riwayat demam selama kehamilan disangkal. Ibu
pasien pada awal kehamilan asupan makan kurang, akan tetapi pada akhir kehamilan
nafsu makan Ibu membaik.
Kesan: Riwayat pemeliharaan prenatal baik.

4
6. Riwayat Persalinan
 Tempat kelahiran : Ruang bersalin RSUD dr. Doris Sylvanus
 Penolong persalinan : Bidan
 Cara persalinan : Pervaginam spontan
 Masa gestasi : 38 minggu G5P4A0
 Air ketuban : Ibu tidak tahu
 Berat badan lahir : 2800 gram
 Panjang badan lahir : 47 cm
 Lingkar kepala : Ibu lupa
 Langsung menangis : Tidak, badan kebiruan (+)
 Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
 Kelainan bawaan : Tidak ada
 Penyulit/ komplikasi : tidak ada
Kesan: Neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan kurang sehat.
7. Riwayat Neonatal
Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di ruang Perinatologi selama satu
minggu dikarenakan pasien saat lahir tidak segera menangis.
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
 Pertumbuhan
o Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir 47 cm.
o Berat badan sekarang 6,1 kg, panjang badan sekarang 64 cm.
 Perkembangan
o Tiarap : 3,5 bulan
o Merangkak : 5 bulan
o Duduk : 7 bulan
o Berdiri :-
o Berjalan :-
o Saat ini : Pasien dapat mengucapkan kata “mama”, “papa” spesifik,
Dapat memegang kue dan memindahkannya ke tangan sebelahnya, dapat bertepuk
tangan bila dipimpin, tertawa bila diajak bercanda.
Kesan: Usia anak saat ini 10 bulan. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak
tidak terlambat dan sesuai dengan usia.

5
9. Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG 1 bln - - - - -
POLIO - - - - - -
HEPATITIS B Saat lahir - - - - -
DPT - - - - - -
CAMPAK - - - - - -
Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap
10. Riwayat Makan dan Minum Anak
Jenis Kualitas Kuantitas Umur
ASI Tiap ± 2 jam 0-6 Bulan
ASI + SF +MP ASI SF 1 sendok takar ASI / SF tiap ± 2 jam. 6 bulan - 9
dalam 50 ml air. Biskuit 1-2 x sehari, bulan
Biskuit, pisang pisang 1-3 x sehari.
ASI/SF + NASI Nasi + lauk seperti ASI/ SF tiap 2-3 jam 9 bulan –
LUNAK telur, ikan, ayam, atau Nasi lunak 2 x sehari, sekarang
tempe + sayur + kuah satu mangkok kecil
sering tidak habis
Kesan: Kualitas makanan baik dan kuantitas cukup
11. Silsilah/Ikhtisar Keturunan

Keterangan: = Laki-laki

= Perempuan

= Pasien

6
12. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah dan Ibu pasien tidak mengalami hal yang serupa. Riwayat batuk-batuk
dan sesak napas pada orangtua pasien disangkal. Riwayat asma dan pengobatan paru
pada kedua orangtua disangkal.
13. Riwayat Sosial Lingkungan
Pasien dan orangtuanya tinggal di barak di KM.8 Cilik Riwut. Mereka hanya
tinggal bertiga, sedangkan kakak-kakak pasien tinggal di Jawa. Barak berukuran 8 x 5
m. Kamar tidur berjumlah 1, kamar mandi berjumlah 1, terdapat dapur dan terdapat
ruang keluarga. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak
dinyalakan pada siang hari. Jendela hanya terdapat di depan dan belakang rumah.
Letak rumah di dalam gang, tidak dipinggir jalan besar. Sehari-hari menggunakan
kipas angin setiap saat.
Ayah pasien merupakan seorang perokok, sehari satu-dua bungkus. Ayah
pasien sering merokok dirumah. Ayah pasien adalah seorang buruh tani, dengan
penghasilan perbulan rata-rata kurang lebih Rp.1.000.000,- per bulan. Ibu pasien
adalah seorang ibu rumah tangga dan tidak memiliki penghasilan sendiri. Ayah
menanggung nafkah 2 orang yaitu 1 orang istri dan 1 orang anak. Biaya pengobatan
ditanggung lewat BPJS.
Kesan: Keadaan lingkungan rumah kecil tetapi sanitasi baik, pencahayaan baik dan
ventilasi cukup. Riwayat kebiasaan orang tua merokok dalam rumah. Riwayat
sosial ekonomi kurang.

7
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 3 Desember 2015, pukul 15.00 WIB
di Bangsal Flamboyan.
1. Keadaann Umum
Kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, sesak (+), tampak rewel (+)

2. Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan
Nadi : 126x/menit, reguler, isi dan ketegangan cukup
Laju nafas : 32x/menit
Suhu : 380 C (aksila)

3. Data Antropometri
Berat badan : 6,1 kg
Panjang badan : 64 cm
Lingkar lengan atas : 13cm
Lingkar kepala : 45cm

4. Kulit
Warna : normal
Sianosis : (-)
Hemangiom : (-)
Turgor : baik
Kelembaban : cukup
Pucat : (-)
Lain-lain : (-)

5. Kepala
Bentuk : normocephal
UUB : datar
UUK : datar
Lain-lain : (-)
Rambut: Warna : coklat
Tebal/tipis : tipis
Distribusi : merata
Alopesia : (-)
Lain-lain : (-)
Mata: Palpebra : cekung (-)
Alis, bulu mata: hitam
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Produksi air mata: cukup
Pupil: Diameter: 3/3 isokor
Simetris: simetris
Refleks cahaya: L +/+ TL +/+
Kornea : Jernih

8
Telinga : Bentuk : Normal
Sekret : (-)
Serumen : cukup
Nyeri : (-) Lokasi : (-)
Hidung: Bentuk : normal
Napas cuping hidung: (+)
Epistaksis : (-)
Sekret : (+) putih
Lain-lain : polip (-)
Mulut: Bentuk : normal, palatolabioskisis (-)
Bibir : pucat (-) sianosis (-)
Gusi : Mudah berdarah/tidak: tidak
Bengkak/tidak: tidak
Gigi-geligi : 2212 2122
2212 2122
Lidah: Bentuk : normal. Deviasi (-)
Pucat/tidak : tidak
Kotor/tidak : tidak
Tremor/tidak : tidak
Warna : merah muda
Faring: Hiperemi : (-)
Edema : (-)
Membran/pseudomembran: (-)
Tonsil: Warna : merah muda
Pembesaran : T1-T1
Abses/tidak : tidak
Membran/pseudomembran: (-)

6. Leher
Vena jugularis: pulsasi : tidak tampak
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : (-)
Kaku kuduk : (-)
Massa : (-)
Tortikolis : (-)

7. Thoraks
Dinding dada/paru
Inspeksi: Bentuk : normal
Retraksi : (+) supraclavicula, intercostae, epigastrium
Dispneu : (+)
Pernapasan : abdominotorakal
Palpasi : fremitus fokal +/+ Tidak ada hemitoraks yang
tertinggal
Perkusi : sonor
Auskultasi: Suara napas dasar : vesikuler

9
Suara napas tambahan: Rhonki + +
+ +
+ +

Wheezing - -
- -
- -

 Jantung
Inspeksi: Ictus cordis : tidak tampak
Palpasi : apeks : teraba di IC V midclavicula kiri
Thrill : (-)
Perkusi: Batas kanan : IC IV parasternalis kanan
Batas kiri : IC V midclavicula kiri
Batas atas : IC II parasternalis kanan
Auskultasi: Frekuensi : 126 X/menit, irama: reguler
Suara dasar : S1 S2 tunggal reguler
Bising : Murmur (-) Gallop (-) Derajat: (-)
Lokasi: (-)
Punctum max: (-)
Penyebaran: (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba membesar.
Tidak ada teraba masa lainnya, tidak ada ascites.
Perkusi : Timpani, kembung (-) shifting dullness (-)

9. Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Hangat +/+ +/+
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Gerakan Aktif Aktif
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Klonus (-) (-)
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Sensibilitas (+) (+)
Tanda meningeal (-) (-)

10. Susunan saraf : Nervus Cranialis II, III, IV, VI, VII normal
I, V, VII, IX, X, XI, XII normal

10
11. Genitalia : Perempuan, normal
12. Anus : Normal. Eritema (-), lecet (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 2-12- 2015


PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
RUJUKAN
Leukosit 19.48 103/ul 4.00-10.00
Eritrosit 4.98 106/uL 3,8 – 5,8
Hemoglobin 13.1 g/dL 11-16
Hematokrit 41.0 % 35 – 45
Trombosit 256 103/ul 150 – 521
GDS 77 Mg/dl <200

Pemeriksaan Radiologi (Rontgen Thorax) 5 Desember 2015

Foto thorax posisi AP


Deskripsi: Bercak infiltrat (+) lapangan paru atas kanan dan kiri, sillhoute sign (+),
Jantung CTR < 50%
Kesan: Bronkopneumonia. Tidak tampak kardiomegali.

11
E. PEMERIKSAAN KHUSUS
Pemeriksaan Status Gizi
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak perempuan 10 bulan Pertumbuhan persentil anak menurut WHO
Berat badan 6,1 kg adalah sebagai berikut:
Tinggi badan 64 cm  BB/U= < Persentil 3 = (Gizi buruk
menurut berat badan per umur)
 TB/U = 64/71,5 x 100% = 89,5% (Mild
Stunting menurut tinggi badan per umur
Pelletieer)
 BB/TB = < Persentil 15 = (Gizi kurang)
Kesan: Anak perempuan 10 bulan, status gizi
kurang.

Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)


Lingkar kepala sekarang: 45 cm = Normocephal

12
F. DAFTAR MASALAH
 Anamnesis:
Terdapat sesak, demam dan batuk
 Pemeriksaan fisik:
Terdapat berat badan per umur buruk, berat badan per tinggi badan kurang,
panjang badan per umur mild stunting, sekret pada hidung, napas cuping
hidung, bibir kadang sianosis, dispneu, terdapat ronkhi basah kasar pada
kedua lapang paru, retraksi dada di supraclavicula, intercostae dan
epigastrium.
 Pemeriksaan penunjang:
Terdapat leukosit 19.480/ul. Pada pemeriksaan thoraks foto, terdapat bercak
infiltrat pada lapang paru atas kiri dan kanan dengan kesan adanya
bronkopneumonia.

G. DIAGNOSIS BANDING
 Bronkopneumonia
 Bronkiolitis
 Bronkitis akut
 Gizi kurang

13
 Penyakit Jantung Bawaan

H. DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumonia + suspek penyakit jantung bawaan + gizi kurang

I. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
- IVFD D5 ¼ ns 20 tpm
- Inj. Cefotaxime 3x250 mg
- Inj. Gentamicin 2x15 mg
- Inj. Methilprednisolone 3x6,25 mg
- Nebulizer NaCL 3%, Ventolin, NaCL 3%
- Paracetamol drop 3 x 0,8 cc
- Puyer batuk 3x1
- Ataroc 2x1,5 ml
- O2 NK bila sesak muncul 1-2 lpm
2. Nonmedikamentosa
- Rawat inap
- Diet bubur saring atau susu formula via NGT
- Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit pasien, komplikasi penyakit
- Konsul jantung
- Awasi sesak

J. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

K. SARAN PEMERIKSAAN
- Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
- Pemeriksaan serologi
- Pemeriksaan fungsi paru
- EKG
- Echocardiografi

14
L. PERJALANAN PENYAKIT
Terlampir

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan


bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution) (Bennete, 2013). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada
paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011)

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan


pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia
lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang
melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya
kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

15
3.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011)

3.3 ETIOLOGI
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). 4
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al.,
2011):
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi :
1) Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
3) Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a. Bronkopneumonia hidrokarbon :

16
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan
seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak
binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak
merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

3.4 KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia interstitialis
c. Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =
CAP)
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a. Pneumonia bakteri
b. Pneumonia virus
c. Pneumonia mikoplasma
d. Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit

17
a. Pneumonia tipikal
b. Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a. Pneumonia akut
b. Pneumonia persisten

3.5 PATOGENESIS
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim
paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan
awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel. Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu,
atau bila virulensi organisme bertambah. Invasi bakteri ke parenkim paru
menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang bisa lobular
(bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan seperti histamine dan prostaglandin dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal
ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen
dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

18
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
3.6 MANIFESTASI KLINIK
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada
awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia
ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi dinding
dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan
pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-
bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub
kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal
yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif.

19
Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal
lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan
fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya
akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head
bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala
disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf pusat
dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal (contohnya
pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior
dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga
menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama
inspirasi.
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru
(kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun
rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah
(tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret
jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

3.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI


Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan
corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir lapang
paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah (Bennete, 2013).

20
3.8 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil
yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru,
cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete,
2013).

3.9 KRITERIA DIAGNOSIS


Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,
2011):
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
2. Panas badan
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

3.10 KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam
rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran
bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah
komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi (Bradley et.al., 2011).

3.11 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri
dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al.,
2011)
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2
pada analisis gas darah ≥ 60 torr.

21
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada
72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi
klinis. Pneumonia ringan à amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan
angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90
mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus dipertimbangkan
berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan
antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia.
1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
a. ampicillin + aminoglikosid
b. amoksisillin - asam klavulanat
c. amoksisillin + aminoglikosid
d. sefalosporin generasi ke-3
2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
a. beta laktam amoksisillin
b. amoksisillin - asam klavulanat
c. golongan sefalosporin
d. kotrimoksazol
e. makrolid (eritromisin)
3. Anak usia sekolah (> 5 thn)
a. amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
b. tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

22
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai
hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang
nyata dalam 24-72 jam à ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya
penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak
efektif).

DAFTAR PUSTAKA
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview. (9 Marert 2013)
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan
S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and
Swanson J.T. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America.
Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI
3.3 ETIOLOGI
Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus
merupakan tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan. Patogen
penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :

g. Usia
h. Status imunologis
i. Status lingkungan
j. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
k. Status imunisasi
l. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi). 4
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil

23
meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli,
pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita
pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,
Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.

Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang


bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat di tabel 1.4

Tabel 1. Etiologi Pneumonia

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Lahir - 20 hari Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
3 miggu – 3 Bakteri Bakteri
bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza tipe B
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza tipe B
Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
5 tahun – remaja Bakteri Bakteri
Clamydia pneumoniae Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia Legionella sp
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza

Sumber: Ostapchuk M, Robert DM, Haddy R. Community Acquired Pneumonia in Infants and
Children. Am Fam Physician 2004.

24
3.4 KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang
memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan
etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia
berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih
relevan. 4
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru
Pneumonia lobaris
Pneumonia lobularis (bronkopneumoni)
Pneumonia interstitialis
b. Berdasarkan asal infeksi
Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired
pneumonia = CAP)
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
Pneumonia bakteri
Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma
Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit
Pneumonia tipikal
Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit
Pneumonia akut
Pneumonia persisten
Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lingkungan dan Pejamu
Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Lingkungan dan Penjamu

Tipe Klinis Epidemiologi


Pneumonia Komunitas Sporadis atau endemic; muda atau orang tua
Pneumonia Nosokomial Didahului perawatan di RS
Pneumonia Rekurens Terdapat dasar penyakt paru kronik
Pneumonia Aspirasi Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien transplantasi, onkologi, AIDS

25
3.5 PATOGENESIS
Istilah pneumonia mencangkup setiap keadaan radang paru dimana
beberapa atau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis
pneumonia yang umum adalah pneumonia bakterialis yang paling sering
disebabkan oleh pneumokokus. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga
cairan dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah
masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang terinfeksi secara
progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh
perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus. 2

Gambar 5. Gambaran Alveoli pada Pneumonia

Pada keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring


sampai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril
oleh mekanisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A,
dan batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi
mikroorganisme patogen adalah makrofag yang terdapat di alveolus dan
bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglobulin lain. 4

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer


melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel
PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli.

26
Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin
semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi
proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu.
Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut
stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal.4

Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran infeksi di sepanjang


jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius, menyebabkan
obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris seluler.
Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhadap
infeksi berat. Atelektasis, edema interstisial, dan ventilation-perfusion
mismatch menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan
napas. Infeksi viral pada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko
terhadap infeksi bakteri sekunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan
normal pejamu, mengubah sekresi normal, dan memodifikasi flora bakterial.4

Ketika infeksi bakteri terjadi pada parenkim paru, proses patologik


bervariasi tergantung organisme yang menginvasi. M. pneumoniae menempel
pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan menyebabkan destruksi
seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Ketika infeksi berlanjut,
debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus menyebabkan
obstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cabang-
cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan
edema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya
ke bagian paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-
bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru.5,6

Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan


infeksi yang lebih difus dengan pneumonia interstisial. Pneumonia lobar tidak
lazim. Lesi terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan
ulkus yang compang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan
perdarahan terlokalisasi. Proses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan
melibatkan fasa limfatika. Pneumonia yang disebabkan S.aureus adalah berat

27
dan infeksi dengan cepat menjelek yang disertai dengan morbiditas yang lama
dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila diobati lebih awal. Stafilokokus
menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang sering unilateral atau
lebih mencolok pada satu sisi ditandai adanya daerah nekrosis perdarahan
yang luas dan kaverna tidak teratur.1

3.6 GEJALA KLINIS

Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi,


batuk dan nyeri dada. Anak sangat gelisah, dispnu, pernapasan cepat dan
dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan
mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak
ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk setelah beberapa
hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada stadium permulaan
sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya nafas
cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan
hidung baru dipikirkan kemungkinan pneumonia. Penyakit ini sering
ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan
laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada.1,3,4,8

3.7 PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :

 Suhu tubuh ≥ 38,5o C


 Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
 Takipnoe
 Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
 Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
 Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine
crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak
ditemukan pada bayi. Dan kadang terdengar juga suara bronkial.4

28
3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas


normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000 – 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-kadang terdapat
anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum,
hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan
antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.1,4

2. C-Reactive Protein (CRP)

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk


membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih
rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi
bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap
terapi antibiotik.1,4

Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang


pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena
pneumokokus dengan nilai CRP ≥ 120 mg/l dan prokalsitonin ≥ 5 ng/ml. 6

3. Pemeriksaan Mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak


rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil
yang positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari
usap tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis
dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau
aspirasi paru.4

4. Pemeriksaan serologis

Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi


bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi,
diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan

29
titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Uji
serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen pada anak dengan
infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia
memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan
pneumonia berat yang memerlukan penanganan yang cepat.4,6

5. Pemeriksaan Roentgenografi

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar


diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia
ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan
timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara
pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang
diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan
posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto
rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.1,4,6

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan


bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat
terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan
pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
 Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau
virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan

30
kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata
dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. 4

3.9 DIAGNOSIS

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau


serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang
yang memadai. Tidak ada gejala distress pernafasan, takipneu, batuk, ronki,
dan peningkatan suara pernafasan dapat menyingkirkan dugaan pneumonia.
Terdapatnya retraksi epigastrik, interkostal, dan suprasternal merupakan
indikasi tingkat keparahan. Pada bronkopneumoni, bercak-bercak infiltrat
didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan
adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai.
Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal.
Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.4,6

Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,


upaya penanggulangannya WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan
tatalaksana yang sederhana. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria
diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat dideteksi, menetapkan
klasifikasi penyakit, dan menentukan penatalaksanaan. Tanda bahaya pada
anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, mengi, demam, atau menggigil. 4

Klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun :

 Pneumonia berat
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit,
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Sianosis

31
- Anak tidak mau minum
- Tingkat kesadaran yang menurun dan merintih (pada bayi)
- Anak harus dirawat dan di terapi dengan antibiotik
 Pneumonia
- Frekuensi pernafasan pada anak umur 2-12 bulan ≥ 50 x/menit,
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
- Adanya retraksi
- Anak perlu di rawat dan berikan terapi antibiotik

Bayi berusia di bawah 2 bulan

Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakit lebih


bervariasi. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai
berikut :

 Pneumonia
- Bila ada nafas cepat ≥ 60 x/menit atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatik

3.10 PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan antibiotika

Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit

 Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3
hari. Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat
dinaikan sampai 80-90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB – sulfametoksazol 20
mg/kgBB) dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari

32
 Pneumonia berat
- Kloramfenikol 25 mg/kgBB setiap 8 jam
- Seftriakson 50 mg/kgBB i.v setiap 12 jam
- Ampisilin 50 mg/kgBB i.m sehari empat kali, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Benzilpenisilin 50.000 U/kgBB setiap 6 jam, dan gentamisin 7,5
mg/kgBB sehari sekali
- Pemberian antibiotik diberikan selama 10 hari pada pneumonia
tanpa komplikasi, sampai saat ini tidak ada studi kontrol mengenai
lama terapi antibiotik yang optimal

Pemberian antibiotik berdasarkan umur

 Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :


- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
 Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
 Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
2. Penatalaksaan suportif

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas


hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena dengan
dosis awal 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg). Selanjutnya periksa

33
ulang analisis gas darah setiap 4-6 jam. Bila analisis gas darah
tidak bisa dilakukan maka dosis awal bikarbonat 0,5 x 2-3 mEq x
BB (kg).
- Obat penurun panas dan pereda batuk sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibiotik awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada
penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan
jantung.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih
tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu
diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang
menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).5

3. Penatalaksanaan bedah

Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi


komplikasi pneumotoraks atau pneumomediastinum.7

3.11 PROGNOSIS

Dengan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat


diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan malnutrisi energi
protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih tinggi.1

BAB IV
DISKUSI KASUS

Pasien anak perempuan 10 bulan, didiagnosis dengan Bronkopneumonia,


Kurang Energi Protein dan Suspect Penyakit Jantung Bawaan. Dasar diagnosis
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Masalah Interpretasi
Anamnesis
- Pada anamnesis didapatkan bahwa Pada anak-anak dengan

34
pasien sesak napas. Sesak napas bronkopneumonia, gejala fisik
sebelumnya didahului dengan biasanya didahului dengan adanya
demam dan batuk. ISPA. Pada kasus ini, terdapat gejala
- Ayah dan ibu pasien tidak ISPA terlebih dahulu seperti batuk,
mengalami gejala yang sama demam, dan baru kemudian terjadi
seperti pasien, Pasien dan sesak napas. Batuk pada
orangtuanya saat ini tinggal satu bronkopneumonia anak dapat disertai
rumah dengan dahak, awalnya batuk kering
- Ayah pasien merokok dan kemudian menjadi berdahak.
mempunyai kebiasaan merokok di Kemudian ada pula gambaran infeksi
lingkungan rumah umum seperti demam, malaise dan
anak menjadi rewel. Pada kasus ini,
terdapat gejala infeksi umum maupun
infeksi dari saluran pernapasan.
Ayah pasien sering merokok di
lingkungan rumah, hal ini
menyebabkan pasien sering terpajan
polusi atau asap dari rokok tersebut,
dimana terpajannya polusi atau asap
merupakan faktor resiko terjadinya
bronkopneumoni.
Pemeriksaan Fisik
- Pada pemeriksaan fisik yang - Dari pemeriksaan fisik yang
didapat saat awal pasien masuk didapatkan dapat dilihat bahwa pasien
yaitu pada tanda vital suhu tubuh mengalami demam. Pasien juga
meningkat 38°C dan pernapasan terlihat sesak. Ronkhi basah halus
yang cepat pada kedua lapang paru dapat
- Pada pemeriksaan antropometri, menunjukkan gejala kearah
didapatkan berat badan pasien bronkopneumoni. Demam dan ronkhi
menurut umur dibawah rata-rata pada kasus ini menandakan adanya
dan berat badan per tinggi badan infeksi pada jaringan paru, sementara
pasien kurang sesak napas yang terjadi dikarenakan
- Pada pemeriksaan fisik lainnya reaksi inflamasi pada bronkus dan

35
didapatkan ronkhi basah kasar (+) kemudian lumen bronkial terisi
pada kedua lapang paru eksudat.
- Pada pemeriksaan antropometri
menandakan adanya status gizi
kurang.
Pemeriksaan Penunjang
(Laboratorium dan Rontgen Thoraks)
- Pada pasien didapatkan hasil Pada pneumonia bakteri didapatkan
laboratorium: leukositosis yang berkisar antara
Leukosit 19.480/ul 15.000 – 40.000 / mm3 dengan
- Pada pemeriksaan rontgen thorax: predominan PMN. Kadang-kadang
Infiltrate paracardial (+), sillhoute sign terdapat anemia ringan dan laju endap
(+), COR CTR <0,56 darah ( LED ) yang meningkat.
Kesan: Bronchopneumonia Namun penyebab dari pneumoni pada
pasien ini belum dapat ditentukan jika
hanya melihat dari hasil laboratorium
dan masih memerlukan pemeriksaan
penunjang lainnya yang lebih
spesifik.
Pada pemeriksaan rontgen thoraks
ditemukan kelainan seperti di atas.
Pada bronkopneumoni gambaran
yang akan didapat yaitu berupa bercak
– bercak infiltrat halus yang dapat
meluas hingga daerah perifer paru,
disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial. Hal ini sesuai dengan
gambaran foto thorax pada pasien
dimana menunjukan adanya bercak
infiltrat di pericardial.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Bagian II. Edisi 15.
EGC, Jakarta: 2000. hal: 883-889.

2. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 2. EGC, Jakarta: 2006. hal
554.

3. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Media Aesculapius Fakultas


Kedokteran UI, Jakarta: 2000. hal 465.

37
4. Garna H, Nataprawira HM. 2012 Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak.ed.4, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/RS Hasan Sadikin.
Bandung.

5. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru


Indonesia. Bandung: 2005.

6. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi
6, Penerbit EGC, Jakarta: 2005, hal: 804.

8. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta: 1999. hal: 695-705.

9. Bordow RA, Moser KM (ed), Manual of Clinical Problems in Pulmonary


Medicine with Annonated Key References, 2nd edition, Little Brown & Co (inc.),
USA, 1986, p: 85-105

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pneumonia. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010;250-4.

2. Said M. Pneumonia. Dalam: Nastiti NR, Bambang S, Darmawan B, editor. Buku


Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010: 350-54; 358-
64.

3. Djoko W, Indri H, Ika W. Pola Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Anak
Usia Bawah Lima Tahun (BALITA) Rawat Jalan Di Puskesmas I Purwareja
Kabupaten Banjarnegara Tahun 2004. Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik,
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2008: 2. Diakses dari :
http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/3._Pak_djoko.pdf

38
4. Achmad G. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Klasifikasi Pneumonia Pada
Balita Di Puskesmas Gilingan Kecamata Banjarsari Surakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2010: 23-8. Diakses dari :
http://eprints.uns.ac.id/112/1/167360309201012321.pdf

5. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Pulmunologi Anak. Dalam


:Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000: 465-68.

6. Hariyanto, Didik. Profil Penyakit Jantung Bawaan di Instalasi Rawat Inap Anak
RSUP Dr.M.Djamil Padang Januari 2008 – Februari 2011. Bagian Ilmu Kesahatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang. Sari
Pediatri: Vol. 14, No. 3, Oktober 2012

39

Anda mungkin juga menyukai