Disusun oleh:
Pembimbing:
PALANGKARAYA
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam nyawa dan ditandai oleh
demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Krisis
tiroid sering terjadi pada pasien dengan hipertiroid yang tidak diberikan terapi atau mendapat
terapi yang tidak adekuat, dan dipicu oleh adanya infeksi, trauma, pembedahantiroid atau
diabetes melitus yang tidak terkontrol. Sindrom ini paling sering terjadi pada pasien dengan
penyakit Graves, tiroiditis dan strumamultinodosa toksik.Angka mortalitasnya cukup tinggi,
sehingga diagnosis dini yang tepat dan terapi agresif yang adekuat dapat menurunkan
mortalitas.1,2,3
Sampai saat ini belum ada didapatkan angka yang pasti insidensi dan prevalensi penyakit
Grave’s di Indonesia. Sementara di Amerika Serikat sebuah studi yang dilakukan di Olmstead
Country Minnesota diperkirakan kejadian kira-kira 30 kasus per 100.000 orang per tahun.
Prevalensitirotoksikosis pada ibu adalah sekitar 1 kasus per 500 orang. Di antara penyebab
tirotoksikosis spontan, penyakit Grave’s adalah yang paling umum. Penyakit Grave’s merupakan
60-90% dari smeua penyebab tirotoksikosis di berbagai belahan dunia.2
Krisis tiroid menduduki peringkat pertama dalam spektrum kegawatdaruratanendokrin.
Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi sekitar 1-2% pasien
hypertiroidisme. Namun, angka kematiannya cukup tinggi dengan rentang 20-30%. Bahkan
beberapa laporan penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang dirawat
inap.1Presentasi klinik termasuk demam, takikardia, hipertensi, abnormalitasneurologi dan
gastrointestinal.Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%.4,5
Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme terbanyak dan merupakan
penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ lain, melakukan anamnesis yang tepat
sangat penting untuk menegakkan diagnosis.Hal ini penting karena diagnosis krisis tiroid
didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris.Hal lain yang penting
diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan
intensif dan pengawasan terus-menerus.Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang
adekuat, prognosis biasanya akan baik.6
2
BAB II
LAPORAN KASUS
PRIMARY SURVEY (Ny. M)
Vital sign
Nadi : 110x/menit
Pernapasan : 23x/menit
Suhu : 37,80C
I. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Usia : 60 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kapuas Barat
II. ANAMNESIS
Keluhan utama :Nyeri perut
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien rujukan RS Kuala Kapuas dengan krisis tiroid. Pasien mengeluh nyeri perut
kurang lebih 1 minggu terakhir, nyeri perut dirasakan mulas, nyeri perut disertai mencret-
mencret, hari ini pasien sudah mencret 3 kali. Konsistensi tinja lembek, masih ada ampas,
3
lendir dan darah disangkal, BAB hitam disangkal. Selain nyeri perut pasien juga
mengeluh dada sering berdebar-debar. Diakui pasien mengeluh batuk-batuk selama
kurang lebih 1 minggu terakhir, batuk tidak berdahak dan membuat pasien merasa sesak.
Selama seminggu terakhir pasien juga mengaku sering demam, demam tidak terlalu
tinggi dan tidak menyebabkan pasien menggigil. Mual dan muntah disangkal, tetapi
pasien mengaku tidak nafsu makan. Pasien juga mengaku mengalami penurunan berat
badan selama 3 bulan terakhir, batuk-batuk lama sebelumnya disangkal.
4
Ekstremitas
Atas : akral hangat, edem (-/-), capilary refill time <2”
Bawah : akral hangat, edem (-/-),capilary refill time <2”
EKG
Foto thoraks
V. Diagnosis Kerja
Susp. krisis hipertiroid
VI. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana awal di IGD :
IVFD NaCl 0,9% 200 cc
Tatalaksana selanjutnya :
IVFD NaCl 0,9% 500 cc/24 jam
Inj. Pantoprazole 40 mg
Per oral:
PTU 3 x 100 mg
5
Propanolol 3 x 10 mg
Digoxin 0,25 mg 1 x ½
Planning
Cek TSH dan FT4 di ruangan.
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh
demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna.1
Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan
kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika
jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu
tirotoksikosis.1
Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap
tirotoksikosis tersebut.Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati
atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.1
3.2 Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul toksik,
tiroiditis Hashimoto, tiroiditasdeQuevain, karsinomatiroidfolikularmetastatik, dan tumor
penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves
(goiter difus toksik).7 Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi
dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada
pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah operasi. Operasi
umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi
6
lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-
kasus seperti ini dapat menyebabkan kematian.8
Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat. Kondisi krisis tiroid dan
gangguan fungsi ginjal menunjukkan adanya hipokalsemia. Kadar serum normal fragmen ujung
asam amino hormon paratiroid dalam keadaan hipokalsemia menunjukkan adanya gangguan
fungsi paratiroid.9Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritisinterstisial.
Tabel 1. EtiologiHipertiroid
Biasa Penyakit Graves
Nodultiroid toksik
Tidak biasa Hipertiroidisme neonatal
Sekresi TSH yang tidak tepat oleh hipofisis
yang dapat disebabkan oleh kondisi tumor,
maupun non tumor (sindrom resistensi
hormone tiroid)
Iodiumeksogen
Jarang Metastasis kanker tiroid
Koriokarsinoma dan mola hidatidosa
Struma ovarium
Karsinoma testicular embrional
Pilyostotic fibrous dysplasia (Syndrome Mc-
Cune Albright)
3.3 Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang
merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH)
dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormonethyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan
ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk:
1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat
pada thyroid-binding globulin(TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat
7
berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid
ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.1
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar
tiroid: TBG, tiroidperoksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah
yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroiddirangsang
terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan
karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari
subkelasimunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG
yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi
ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.3
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan
merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh
hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel
tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk
bertahannyanyawa pasien dan menyebabkan kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat
meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan
kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresiurinepinefrin maupun norepinefrin
normal pada pasien tirotoksikosis.9
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah
diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon
tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar
hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang
muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis
hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-
adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-
blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin,
mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan
8
kecepatan ekskresiurinkatekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers-
gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.2
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari
sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin
menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar
hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya
yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat
mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari
hormon tiroidsebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.2
3.4 Gambaran Klinis
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala seperti
iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan sangat turun,
keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan
rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah
demam, mencret, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna
yang sering diutarakan oleh pasien adalah diare dan nyeri perut.. Sedangkan keluhan neurologik
mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang
dan koma.2
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur 37,8oC. Pasien bahkan
dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda
kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau
hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan
demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti
fibrilasi atrium, tetapi takikardiventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik
mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidaltransien, tremor, kejang,
dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan goiter.2
Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan kasus seorang pasien
dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan normotensif) yang disertai oleh
sindromadisfungsi organ yang multipel, seperti asidosislaktat dan disfungsi hati, dimana
keduanya merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan bahwa
9
kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk mengenali gambaran atipik
ini pada kasus-kasus krisis tiroid yang dihadapi.10
10
hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan
didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan biasanya
mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3,
penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.2
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini jarang
terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan
kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada
analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk
menilai dan memonitor penanganan jangka pendek.2
3.6 Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis krisis tiroid lebih didasarkan pada gambaran klinis dibandingkan
dengan hasil uji laboratorium yang hasilnya tidak segera didapat, dengan demikian pengelolaan krisis
tiroid tidak perlu menunggu hasil uji fungsi tiroid.Gambaran klinis krisis tiroid yang khas meliputi
demam dengan suhu > 38,50C, gangguan kardiovaskular berupa hipertensi dengan tekanan nadi yang
melebar, yang pada fase berikutnya hipotensi disertai tanda-tanda gagal jantung antara lain fibrilasi
atrium atau takikardiventrikular, dan gangguan neurologik berupa agitasihiperrefleksia, tremor,
kejang, dan koma.
Untuk memudahkan diagnosis, digunakan skor kriteria Burch dan Wartofsky; skor lebih dari
45 berarti diagnosis krisis tiroid dapat ditegakan. Penggunaan skor kriteria ini sebagai petunjuk
diagnosis dilaporkan meningkatkan keberhasilan resusitasi. 3
Diagnosis krisis tiroid dapat ditunjang dengan hasil pemeriksaan fungsi tiroid yaitu kadar
thyroid-stimulating hormone (TSH) tidak terdeteksi (<0,001 mU/L) dan peningkatan kadar T3, free
T4 dan total. Biasanya peningkatan kadar T3 lebih menonjol dibandingkan T4 karena terjadi
bersamaan dengan peningkatan konversi hormon tiroidperifer T4 ke T3.
KRITERIA SKOR
Disfungsi Pengaturan Suhu
Suhu 37,20 – 37,70C 5
Suhu 37,80 – 38,20C 10
Suhu 38,30 – 38,80C 15
Suhu 38,90 – 39,30C 20
Suhu 39,40 – 39,90C 25
11
Suhu 400 atau lebih 30
Gangguan Sistem Saraf Pusat
Tidak ada 0
Gelisah 10
Delirium 20
Kejang atau koma 30
Disfungsi Gastrointestinal
Tidak ada 0
Diare, mual, muntah, nyeri abdomen 10
Ikterik 20
DisfungsiKardiovaskuler (kali/menit)
90-109 5
110-119 10
120-129 15
130-139 20
≥140 25
Gagal Jantung Kongestif
Tidak ada 0
Ringan (udem) 5
Sedang (ronki basah basal) 10
Berat (edema paru) 15
Fibrilasi Atrium
Tidak ada 0
Ada 10
Riwayat adanya kondisi/penyakit pemicu
Tidak ada 0
Ada 10
3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah. Idealnya, terapi yang
diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan
dekompensasi multi organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk mencegah
kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan
pengawasan terus-menerus.11
3.6.1 Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid
12
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan
untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di
sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI
merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya
menghambat inkorporasiiodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat
hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi
kedua obat tersebut.4PTU diindikasikan untukhipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit
Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko
terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati
serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya
meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien
yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester
pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati,
termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.11
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan
hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati,
hentikan bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan
perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau
intoleran terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi
pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan, kelemahan,
nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.11
13
kelenjar tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis. Pasien yang intoleran
terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid.11
Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium
karena penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon
tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis
peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan untuk menghilangkan
hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan
pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat intravena natrium
iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran.11
3.6.3 Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid. Propranolol
menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3. Obat ini
menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala.
Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada
dosis yang besar. Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan
terhadap irama jantung pasien.11
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang berhasil digunakan
pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti propranolol maupun esmolol,
tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat
asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin.
Pengobatan dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis
besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam keadaan
kolapskardiovaskular atau syok.11
14
pulan cairan intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi.
Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke.
Hipertermia diatasi melalui aksi sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk
hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan
malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan
untuk menyerap panas secara perifer.11
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka
harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi
relatif akibat percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung.
Namun, pasien mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai
oleh insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium dan titer
antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai
tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek menghambat konversi T4
menjadi T3. Dengan demikian, dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison,
sekarang rutin diberikan.11
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat
muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya.
Pemberian digitalis diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi
atrium. Obat-obat anti-koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan
jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada
dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah
keracunan. Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal
jantung kongestif muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitasmiokardium dan mungkin
memerlukan pengawasan dengan kateter Swan-Ganz.11
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal
selama tirotoksikosis dapat memicu iskemiamiokardialtransien dan pengawasan jangka panjang
elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemiamiokardial
tersebut. Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan
efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki
ketidakseimbangan simpatovagal.12
15
3.6.5 Penatalaksanaan: efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi mudah berdarah,
kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas, peningkatan kadar transaminase
hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis
eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan piodermagangrenosum. Meskipun
termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus
tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama kehamilan. Risiko
kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak,
terutama selama enam bulan pertama terapi.6
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan obat anti-tiroid
dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien
yang menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%)
dan sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%),
tonsilitis akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah positif
untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Capnocytophaga
species. Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ
yang multipel. Basil Gram negatif, seperti Klebsiellapneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan
patogen yang paling sering ditemui pada isolatklinis. Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas
anti-pseudomonas harus diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat
anti-tiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.13
3.7 Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme,
kerusakan nervuslaringeusrekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI,
gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir,
gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosislaktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi.
Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam
setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang
mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat
hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan
16
normotermihipoglikemik dan asidosislaktat, perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis
krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting
pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang
atipik.14
3.8 Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat
krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang
menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya
krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik.1
3.9 Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah
diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade
hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme
terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian
RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari
folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih
tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa
penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah
menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI
dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang
lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua.
Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada
pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-
Albright).2
17
Kesimpulan
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam
tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang
paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis
tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang
menyebabkan hipermetabolisme berat.
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika
gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu
konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif
dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi
organ. Angka kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%.
Namun, dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan
baik.
18
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus, perempuan, usia 60 tahun dengan diagnosis krisis tiroid
dengan leucopenia dan trombositopenia. Krisis tirois merupakan kondisi hipermetabolik yang
mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem
saraf, dan sistem saluran cerna.Dengan diagnosisdan penatalaksanaan yang tepat sangat penting
untuk mencegah terjadinya mortalitas.
19
DAFTAR PUSTAKA
20
14. Izumi K, Kondo S, Okada T. A case of atypical thyroid storm with hypoglycemia and
lactic acidosis. Endocr J. 2013;56(6):747-52.
21