Anda di halaman 1dari 27

POLRI DAERAH JAWA BARAT

BIDANG KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

RUMKIT BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH BANDUNG

LAPORAN KASUS

PAPIL ATROFI

Diajukan guna melengkapi tugas portofolio

Disusun oleh:

Putri Nisrina Hamdan


LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PERIODE 18 SEPTEMBER 2017 – 18 SEPTEMBER 2018

RUMKIT BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH BANDUNG

JUDUL : PAPIL ATROFI


PENYUSUN : PUTRI NISRINA HAMDAN

Bandung, Januari 2018

Menyetujui,

Pembimbing, Pendamping,

dr. Agung Santosa, SpM, MH.Kes dr. Leony Widjaja, SpKJ


AKBP NRP 65090811 NRP. 196410301992032001

ii
DAFTAR ISI

COVER i
LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II LAPORAN KASUS 5

2.1 Identitas pasien 5


2.2 Anamnesis 5
2.3 Pemeriksaan fisik 6
2.4 Diagnosis kerja 13
2.5 Diagnosis banding 13
2.6 Tatalaksana 13
2.7 Edukasi 14
2.8 Prognosis 14

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 16

3.1 Anatomi 16
3.2 Definisi 17
3.3 Patofisiologi 21
3.4 Penyebab 21
3.5 Gambaran Klinik 21
3.6 Diagnosis 22
3.7 Tatalaksana 22
3.8 Pencegahan 23
3.9 Komplikasi 23

DAFTAR PUSTAKA 24

BAB I
PENDAHULUAN

Saraf optik berisi sekitar 1,2 juta akson dari sel-sel ganglion dari retina.
Akson memiliki selubung myelin yang disediakan oleh oligodendrosit Nervus

3
optikus berperan untuk mempertahankan tajam penglihatan, penglihatan warna,
lapang penglihatan dan sensitivitas kontras.1,2,3,4
Atropi papil merupakan kerusakan pada saraf optik yang mengakibatkan
degenerasi saraf optik yang terjadi sebagai hasil akhir suatu proses patologik yang
merusak akson pada sistem penglihatan anterior. Atropi papil dapat bersifat primer
atau sekunder. Atropi papil tidak terjadi dengan segera tetapi umumnya terjadi 4-6
minggu setelah terjadinya kerusakan akson.5 Atrofi papil menyebabkan
hilangnya sebagian akson perifer dengan menurunnya akson sentral sehingga
tajam penglihatan sentral berkurang. 3,4,5,6
Di Amerika menurut penelitian Tielsch dkk prevalensi kebutaan akibat
atropi papil adalah 0,8%. Menurut penelitian Munoz dkk prevalensi gangguan
penglihatan dan kebutaan akibat atropi papil adalah 0,04% dan 0,12%. Atropi
papil bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan suatu tanda dari berbagai proses
penyakit, sehingga morbiditas dan mortalitasnya sangat tergantung pada
penyebabnya. Atropi papil lebih banyak dijumpai pada orang Afrika Amerika
(0,3%) dibanding pada kulit putih (0,05%). Atropi papil dapat terjadi pada wanita
2
dan laki-laki, dan dapat terjadi pada semua umur. Gejala atrofi papil meliputi
perubahan papil dan penurunan fungsi visual. Perubahan fungsi visual antara lain
penurunan ketajaman penglihatan, penurunan penglihatan perifer, dan buta warna.
Gejala bisa sangat ringan dengan gangguan visus dan lapang pandang yang sangat
ringan ( hidden visual loss ) sampai hilangnya visus dan lapang pandang secara
total.3 Beberapa kemungkinan penyebab atrofi papil antara lain neuritis optikus,
Leber's hereditary optic atrophy, neuropati toksik dan nutrisional, glaukoma,
kelainan vaskular, trauma, dan kelainan sitemik lainnya. Penatalaksanaan atrofi
papil saraf optikus tergantung pada penyakit yang mendasari.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas pasien


Nama : Ny. K
Tanggal lahir/ usia : 12 Februari 1977/ 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan

4
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku : Sunda
Alamat : Mengger Girang RT 002/008 Bandung
Status : BPJS
No. Rekam Medik : SA-185121
Tanggal masuk : 12 Februari 1977 (11.00 WIB)
DPJP : dr. Agung Santosa, SpM, MH.Kes

2.2. Anamnesis
Sumber informasi : Autoanamnesis
Keluhan utama : Penglihatan buram

2.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh penglihatan buram secara perlahan di kedua mata sejak 3
bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh mata terasa perih, melihat cahaya silau dan
berair. Terdapat pusing, mual dan muntah. Tidak terdapat kotoran pada mata.
Nyeri pada saat menggerakan bola mata disangkal. Riwayat mata merah ataupun
trauma kepala disangkal.

2.2.2 Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat darah tinggi : + tidak terkontrol
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
 Riwayat pakai kacamata : disangkal
 Riwayat trauma mata : disangkal
 Riwayat konsumsi obat-obat mata : disangkal

2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat darah tinggi : disangkal
 Riwayat kencing manis : disangkal
 Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
 Riwayat pakai kacamata : disangkal

2.3. Pemeriksaan fisik


2.3.1 Tanda-tanda vital:
 Kesadaran : Kompos mentis
 Tekanan darah : 140/90 mmHg
 Nadi : 98x/menit, regular, ekual, isi cukup
 Respirasi : 20x/menit, regular

5
 SpO2 : 99%
 Suhu : 36,80 C

2.3.2 Status gizi


 Berat badan : 61 kg
 Tinggi badan : 170 cm
 BMI : 21.1
 Kesimpulan : Normoweight

2.3.3 Status generalis:


 Kepala : telinga, hidung, dan tenggorokan tidak ada kelainan
 Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat.
 Dada
Pemeriksaan Paru
 Inspeksi : Normochest simetris kanan dan kiri
 Palpasi : Fremitus sama kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS IC V
 Perkusi : Batas kiri jantung 1 jari medial LMCS IC V, batas
kanan PSD, batas atas IC 2
 Auskultasi : Irama teratur, bunyi jantung murni, murmur (-)
 Abdomen : soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
nyeri lepas (-), timpani, bising usus (+) normal, nyeri tekan supra
simfisis (-/-)
 Ekstremitas : akral hangat, pitting oedem (-/-), capillary refill time <2”

2.3.4 Pemeriksaan Khusus Mata


2.3.4.1 Pemeriksaan Visus
OD OS
Visus Sentralis Jauh 6/48 6/15
Pinhole tetap tetap
Koreksi tidak dikoreksi tidak dikoreksi
Refraksi S+ 0,62 C-0, 37 Ax117 S+0,25 C-0,37 Ax163

Visus Perifer
Konfrontasi test + di semua kuadran + di semua kuadran
Proyeksi sinar baik baik

6
Persepsi warna
Merah tidak dilakukan tidak dilakukan
Hijau tidak dilakukan tidak dilakukan

2.3.4.2 Pemeriksaan Segmen Anterior


Sekitar mata
Tanda radang ` tidak ada tidak ada
Luka tidak ada tidak ada
Parut tidak ada tidak ada
Kelainan warna tidak ada tidak ada
Kelainan bentuk tidak ada tidak ada

Supercilium
Warna hitam hitam
Tumbuhnya normal normal
Kulit sawo matang sawo matang
Pasangannya dalam batas normal dalam batas normal
Geraknya dalam batas normal dalam batas normal

Pasangan Bola Mata dalam Orbita


Heteroforia tidak ada tidak ada
Strabismus tidak ada tidak ada
Pseudostrabismus tidak ada tidak ada
Exophthalmus tidak ada tidak ada
Enophthalmus tidak ada tidak ada
Anophthalmus tidak ada tidak ada

Ukuran bola mata


Mikrophthalmus tidak ada tidak ada
Makrophthalmus tidak ada tidak ada
Ptosis bulbi tidak ada tidak ada
Atrofi bulbi tidak ada tidak ada
Bufthalmus tidak ada tidak ada
Megalokornea tidak ada tidak ada
Mikrokornea tidak ada tidak ada

Gerakan Bola Mata


Temporal Superior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal Inferior dalam batas normal dalam batas normal
Temporal dalam batas normal dalam batas normal
Nasal Superior dalam batas normal dalam batas normal
Nasal Inferior dalam batas normal dalam batas normal

Kelopak Mata

7
Gerakan dalam batas normal dalam batas normal
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada

Tepi Kelopak Mata


Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemi tidak ada tidak ada
Entropion tidak ada tidak ada
Ekstropion tidak ada tidak ada

Sekitar saccus lakrimalis


Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemi tidak ada tidak ada

Sekitar Glandula lakrimalis


Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada

Tekanan Intra Okuler


Palpasi kesan normal kesan normal

Konjungtiva
Konjungtiva palpebra superior
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sekret tidak ada tidak ada

Konjungtiva palpebra inferior


Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sekret tidak ada tidak ada

Konjungtiva Fornix
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sekret tidak ada tidak ada

Konjungtiva Bulbi
Permukaan rata rata
Oedem tidak ada tidak ada
Hiperemis tidak ada tidak ada
Sekret tidak ada tidak ada
Injeksi Konjungtiva tidak ada tidak ada
Injeksi Siliar tidak ada tidak ada

8
Subkonjungtiva
Hematom tidak ada tidak ada

Sklera
Warna putih putih
Penonjolan tidak ada tidak ada

Kornea
Ukuran 12 mm 12 mm
Limbus dalam batas normal dalam batas normal
Permukaan rata rata
Sensibilitas tidak dilakukan tidak dilakukan
Keratoskop tidak dilakukan tidak dlakukan
Flourescen Test tidak dilakukan tidak dlakukan
Arcus Zenilis tidak ada tidak ada

Kamera Okuli Anterior


Isi jernih jernih
Kedalaman dalam dalam

Iris
Warna coklat kehitaman coklat kehitaman
Bentuk bulat bulat
Sinekia anterior tidak ada tidak ada
Sinekia posterior tidak ada tidak ada

Pupil
Ukuran 3 mm 3 mm
Letak sentral sentral
Bentuk bulat bulat
Reaksi terhadap
 Cahaya Langsung (+) melambat (+) melambat
 Cahaya tak langsung (+) melambat (+) melambat
Konvergensi + +

Lensa
Kejernihan jernih jernih
Letak sentral sentral

Corpus vitreum
Kejernihan tidak dilakukan tidak dilakukan

9
2.3.4.3 Pemeriksaan Segmen Posterior

Suram (+) Reflek Fundus suram (+)

-Papil N. II : Bulat batas tidak Retina -Papil N. II : Bulat batas tidak


tegas, warna pucat , tegas, warna pucat ,
-aa/vv retina : -aa/vv retina :
• Warna merah • Warna merah
• Avr 1:3 • Avr 1:3
-Retina: -Retina:
• Perdarahan (tidak • Perdarahan (tidak
ditemukan) ditemukan)
• edema retina (tidak • edema retina (tidak
ditemukan) ditemukan)
-Makula : -Makula :
• Reflek Fovea (-) • Reflek Fovea (-)
• Eksudat (-) • Eksudat (-)
• Edema (-) • Edema (-)
Makula hole (tidak ditemukan) Makula hole (tidak ditemukan)

Kesimpulan Pemeriksaan Mata:


OD OS
Visus sentralis jauh 6/48 6/15
Pinhole tetap tetap
Koreksi tidak dikoreksi tidak dikoreksi
Refraksi S+ 0,62 C-0, 37 Ax117 S+0,25 C-0,37 Ax163
Konfrontasi test + di semua kuadran + di semua kuadran
Proyeksi sinar baik baik
Sekitar mata dalam batas normal dalam batas normal
Supercilium dalam batas normal dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Ukuran bola mata dalam batas normal dalam batas normal
Gerakan bola mata dalam batas normal dalam batas normal

10
Kelopak mata dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis dalam batas normal dalam batas normal
Tekanan intraokuler normal normal
Konjungtiva bulbi dalam batas normal dalam batas normal
Konjungtiva palpebra dalam batas normal dalam batas normal
Konjungtiva forniks dalam batas normal dalam batas normal
Sub konjungtiva dalam batas normal dalam batas normal
Sklera dalam batas normal dalam batas normal
Kornea dalam batas normal dalam batas normal
Camera oculi anterior dalam dalam
Iris cokelat kehitaman cokelat kehitaman
Pupil dalam batas normal dalam batas normal
Lensa jernih jernih
Corpus vitreum tidak dilakukan tidak dilakukan

FUNDUSKOPI :

-Reflek Fundus ODS suram (+)


-aa/vvretina :mikroaneurisma (-)
Papil N. II :Bulat batas tidak tegas, warna pucat
Makula :reflek fovea (-)

2.4 Diagnosis Kerja


 Atrofi Papil Occular Dekstra Sinistra ec susp. SOL

2.5 Diagnosis Banding


 Atrofi Papil ec :
1. Suspect post neurophaty optik
2. Suspect AION
3. Suspect intoksikasi
4. Glaukoma

11
2.6 Tatalaksana
Cendolyteers eye drop 3x2 tetes dalam sehari

Konsul ke unit Neuro Oftalmologi RS Cicendo

2.7 Edukasi

 Mengenai penyakit dan komplikasinya.


 Memakai obat sesuai dengan anjuran yang diberikan dokter

2.8 Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad malam

\
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi dan Fisiologi Nervus Optikus5

12
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual.

Sebagaimana halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak meskipun

secara fisik terletak di perifer dari sistem saraf pusat (SSP). Komponen yang

paling utama dari retina adalah sel-sel reseptor sensoris atau fotoreseptor dan

beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan terdalam (neuron pertama)

retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) dan dua lapisan yang

lebih superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron kedua) serta sel-sel

ganglion (lapisan neuron ketiga). Sekitar satu juta akson dari sel-sel ganglion ini

berjalan pada lapisan serat retina ke papila atau kaput nervus optikus. Pada bagian

tengah kaput nervus optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri centralis

retina yang merupakan cabang dari a. oftalmika.

Gambar 1. Lapisan Neuron pada Retina

Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di

depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan bergabung

menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber sinerium nervus

optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma

optikum, dimana serabut bagian nasal dari masing masing mata akan bersilangan

13
dan kemudian menyatu dengan serabut temporal mata yang lain membentuk

traktus optikus dan melanjutkan perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral

dan kolikulus superior. Kiasma optikum terletak di tengah anterior dari sirkulus

Willisi. Serabut saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan

jaras visual sedangkan serabut saraf yang berakhir di kolikulus superior

menghantarkan impuls visual yang membangkitkan refleks opsomatik seperti

refleks pupil.

Gambar 2. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus

Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang

membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic

radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus

kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi dari a.

kalkarina yang merupakan cabang dari a. serebri posterior. Serabut yang berasal

dari bagian medial korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang

bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral membawa impuls dari lapang

pandang atas.

14
Gambar 3. Radiatio Optika

Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus

superior, saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang

berhubungan dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua sisi

menyebabkan refleks cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen motorik

berasal dari nukleus Eidinger-Westphal dan menyertai nervus okulomotorius

(N.III) ke dalam rongga orbita untuk mengkonstriksikan otot sfingter pupil.

Secara umum saraf optikus dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Bagian intraokular yang terbagi menjadi kepala saraf optikus ( papil saraf

optikus / opticdisc), bagian pre-laminar yang berada di depan lamina

kribrosa, bagian laminar yang berada di dalam lamina kribrosa, dan bagian

post-laminar yang berada di belakang lamina kribrosa.


2. Bagian intraorbital yang memiliki panjang sekitar 3 cm, berbentuk huruf

S, dan menjulur dari bola mata sampai ke apeks orbita.


3. Bagian kanalis optikus dengan panjang sekitar 5-7 mm.
4. Bagian intrakranial yang menjulur dari kanalis optikus ke bagian anterior

kiasma optikum dan traktus optikus (10 mm).

Cahaya datang yang berasal dari optalmoskop mengalami refleksi internal

total melalui serat aksonal dan dipantulkan kembali oleh kapiler pada permukaan

15
disk, sehingga menimbulkan warna kuning-merah muda sebagai karakteristik disk

optik sehat. Akson yang tidak memiliki optik yang baik, menyebabkan

penampilan pucat pada disk. Menurut teori lain, hilangnya kapiler

dalam menyebabkan atrofi optik disk pucat muncul.

Gambar 4. Optik disc normal

Permulaan saraf optikus di retina inilah yang disebut sebagai papil saraf

optikus (optic disc). Karena ketiadaan fotoreseptor di papil saraf optikus, maka

bagian retina ini tidak dapat berespon terhadap stimulus cahaya. Karenanya

bagian ini disebut juga sebagai blind spot, dan memiliki diameter sekitar 1,5 mm.

Papil saraf optikus merupakan tanda oftalmoskopik penting pada

pemeriksaan funduskopi. Yang perlu diperhatikan dari papil saraf optikus adalah

warna, batas, cup-discratio dan lingkaran neuroretinal. Papil yang normal akan

berwarna merah muda kekuningan,dengan batas yang jelas, non-elevated, dan

memilki cup-disc ratio kurang dari 0,3.

1.2. Definisi Atrofi Papil6,7

Atrofi papil saraf optikus didefinisikan sebagai kerusakan saraf optikus

yang menyebabkan degenerasi atau destruksi saraf optikus. Secara klinis keadaan

16
ini dikenal sebagai pucatnya papil akibat menghilangnya pembuluh darah kapiler

serta akson dan selubung myelin saraf seperti yang terlihat pada pemeriksaan

funduskopi. Atrofi optik bisa sangat ringan dengan gangguan visus dan lapang pandang

yang sangat ringan ( hidden visualloss ) sampai hilangnya visus dan lapang pandangan

secara total.

1.3. Epidemiologi Atrofi Papil4

Menurut Tielsch dkk, prevalensi kebutaan disebabkan atrofi nervus

optikus di Amerika Serikat adalah 0,8%. Menurut Munoz dkk, prevalensi

gangguan penglihatan dankebutaan yang timbul akibat atrofi nervus optikus

masing-masing adalah 0,04% dan 0,12%. Atrofi nervus optikus bukanlah suatu

penyakit melainkan tanda dari berbagai proses penyakit. Dengan demikian,

morbiditas dan mortalitas pada atrofi optik tergantung pada etiologi. Berdasarkan

ras, atrofi nervus optikus lebih menonjol pada orang kulit hitam (0,3%)

dibandingkan dengan kulit putih (0,05%). Tidak ada kecenderungan jenis kelamin

tertentu terhadap angka kejadian atrofi nervus optikus. Sedangkan dari segi umur,

atrofi optik terlihat dalam setiap kelompok usia.

1.4. Etiologi Atrofi Papil4

1. Herediter: ini dibagi menjadi atrofi bawaan atau infantil optik

(bentuk resesif atau dominan), atrofi optik Behr Herediter

(autosomal resesif), dan atrofi optik Leber.


2. Atrofi konsekutif: merupakan tipe atrofi yang biasanya mengikuti

penyakit koroid atau retina (misalnya, chorioretinitis, distrofi

pigmen retina, degenerasi cerebromacular).

17
3. Artrofi sirkulasi: merupakan neuropati optik iskemik diamati

ketika tekanan perfusi dari korpus siliar turun di bawah tekanan

intraokular. Terjadi karena oklusi arteri retina sentral, oklusi arteri

karotis, dan arteritis kranial.


4. Atrofi Metabolik: disebabkan oleh gangguan seperti tiroid, juvenile

diabetes mellitus, tembakau, alkohol, dan obat-obatan (misalnya,

etambutol, sulfonamid).
5. Atrofi demielinasi pada penyakit seperti multiple sclerosis dan

penyakit Devic.
6. Atrofi tekanan atau traksi pada penyakit seperti glaukoma dan

papil edema.
7. Atrofi post inflamasi pada penyakit seperti neuritis optik,

perineuritis sekunder pada peradangan dari meninges, dan selulitis

orbital.
8. Neuropati optik Trauma: trauma dapat mengakibatkan avulsi saraf

optik, hematoma selubung saraf optik, dan tubrukan saraf optik

oleh benda asing atau penetrasi fragmen tulang yang dapat

menyebabkan atrofi optik.

1.5. Patofisiologi Atrofi Papil5

Pada nervus optikus terdapat sebanyak 1.2 juta akon yang berasal dari

lapisan retina. Akson- akson pada nervus optikus ini terdiri atas serabut bermielin

oligodendrit dan bila terjadinya kerusakan pada akson ia tidak akan regenerasi

kembali . Pada akson yang berdegenerasi, ia kehilangan kemampuan optik dimana

pada diskus optikus yang normal terdapat karakteristik warna kekuningan

sedangkan pada diskus yang atrofi bewarna pudar.

18
Atrofi optic merupakan tanda utama kerusakan pada sel- sel ganglion

retina. Kerusakan dapat terjadi pada mana- mana bagian dari sel neuron, yaitu dari

badan sel sehingga ke bagian sinapsnya pada badan genikulatum lateral. Atrofi

optik tidak terjadi secara mendadak dimana diperlukan 4- 6 minggu dari waktu

terjadinya kerusakan akson.

Perubahan histopatologi pada atrofi papil

 Peyusutan atau kehilangan myelin dan silinder aksis


 Gliosis
 Lebih dalamnya cup fisiologis dengan barring lamina cribrosa
 Pelebaran ruang subarachnoid
 Pelebaran septa pial
 Pembengkakan bulbus aksonal ( Cajal end Bulb)

1.6. Gejala dan tanda6

Gejala dan tanda atropi papil tentunya juga tergantung dari penyakit yang

mendasari. Gejala dan tanda umum adalah sebagai berikut:

 Penurunan visus

 Gangguan persepsi warna

 Gangguan lapangan pandang yang beraneka ragam tergantung

penyebabnya.

Bentuk kelainan pada lapangan pandang dapat berupa membesarnya bintik

buta fisiologik bisa terjadi;

19
 Skotoma Busur (arkuata) : dapat terlihat pada glaukoma, iskemia papil

saraf optik, dan oklusi arteri retina sentral

 Skotoma Sentral : pada retinitis sentral

 Hemianopsia bitemporal : hilangnya setengah lapang pandang temporal

kedua mata, khas pada kelainan kiasma optic, meningitis basal, kelainan

sphenoid dan trauma kiasma.

 Hemianopsia binasal : defek lapang pandang setengah nasal akibat tekanan

bagian temporal kiasma optic kedua mata atau atrofi papil saraf optic sekunder

akibat TIK meninggi.

 Hemianopsia heteronym : bersilang, dapat binasal atau bitemporal

 Hemianopsia homonym : hilang lapang pandang pada sisi yang sama pada

kedua mata, pada lesi temporal

 Hemianopsia altitudinal : hilang lapang pandang sebagian atas atau bawah,

dapat terjadi pada iskemik optic neuropati, kerusakan saraf optic, kiasma dan

kelainan korteks .

1.7. Diagnosis5,6

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis berupa keluhan subjektif

pasien dan kemungkinan faktor risiko yang diderita pasien. Selain itu dapat pula

dilakukan pemeriksaan fisik yang menginterpretasikan adanya gangguan pada

nervus optikus, yaitu:

1. Gangguan lapangan pandang

Lesi di sepanjang lintasan nervus optikus (N.II) hingga korteks sensorik,

akan menunjukkan gejala gangguan penglihatan yaitu pada lapang pandang. Lesi

20
pada nervus optikus akan mengakibatkan kebutaan atau anopsia pada mata yang

disarafinya. Hal ini disebabkan karena penyumbatan arteri centralis retina yang

memperdarahi retina tanpa kolateral, ataupun arteri karotis interna yang akan

bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian menjadi arteri centralis retina.

Kebutaan tersebut terjadi tiba-tiba dan disebut amaurosis fugax.

Lesi pada bagian medial kiasma akan menghilangkan medan penglihatan

temporal yang disebut hemianopsia bitemporal, sedangkan lesi pada kedua bagian

lateralnya akan menimbulkan hemianopsia binasal. Lesi pada traktus optikus akan

menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral. Lesi pada radiasio optika

bagian temporal akan menyebabkan quadroanopsia superior homonim

kontralateral, sedangkan lesi pada serabut parietal akan menyebabkan

quadroanopsia inferior homonim kontralateral.

Gambar 5. Kelainan lapangan pandang

2. Kelainan pada pemeriksaan refleks pupil

21
Reaksi pupil terhadap cahaya dapat menghilang atau berkurang jika

terdapat lesi yang mengenai jaras penglihatan pada lintasan saraf yang berperan

pada refleks pupil atau refleks cahaya tersebut. Kelainan tersebut termasuk

diantaranya :

 Kegagalan cahaya untuk mencapai retina, misalnya akibat katarak dan

kekeruhan cairan vitreus pada pasien diabetes melitus.


 Penyakit pada retina, seperti retinitis pigmentosa, perdarahan makula, atau

scar.
 Penyakit atau kelainan pada nervus optikus seperti neuritis optik, neuritis

retrobulbar, dan atrofi nervus optikus.


 Kelainan yang mengenai traktus optikus dan hubungannya dengan batang

otak
 Penyakit atau kelainan pada batang otak
 Penyakit atau kelainan pada nervus okulomotorius atau gangion siliare

Gangguan pada N.optikus (nervus II) dapat mengakibatkan gangguan

relatif jaras aferen pupil/RAPD (pupil Marcus Gunn). Tes yang digunakan

dinamakan tes penyinaran secara alternatif (swinging test), dimana bila mata yang

sehat disinari cahaya kedua pupil akan berkontraksi, kemudian re-dilatasi

perlahan. Bila cahaya dipindahkan ke mata yang sakit, konstraksi kedua pupil

berkurang atau tidak ada re-dilatasi yang lebih lama dapat terjadi.

3. Kelainan pada pemeriksaan funduskopi

Dalam bidang neurologi, kelainan papil nervus optikus yang perlu

diperhatikan adalah papil yang mengalami atrofi dan sembab atau papiledema.

Terdapat dua macam atrofi optik (atrofi papil) yaitu atrofi optik primer dan

atrofi optik sekunder.

22
1. Atrofi papil primer

Atrofi optik primer, disebut juga atrofi simpleks yaitu hilangnya serabut

saraf optik dengan gliosis yang minimal karena tidak didahului peradangan diskus

optikus atau papil edema. Pada atrofi primer, warna papil menjadi pucat, batasnya

tegas dan pembuluh darah berkurang. Atrofi primer dijumpai pada kasus lesi

nervus optikus atau khiasma optikum (misalnya pada tumor hipofisis). Secara

mikroskopik ditemukan degenerasi akson-akson saraf dan selubung myelin.

Selalu ditemukan sedikit proliferas sel-sel glia astrosit dan bertambahnya jaringan

kolagen.

Gambar 6. Atrofi Primer

2. Atrofi papil Sekunder

Atrofi sekunder merupakan akibat lanjut dari papilitis dan papiledema.

Atrofi sekunder juga terjadi akibat lanjut dari papiledema misalnya pada pasien

yang menderita tekanan tinggi intracranial yang lama. Pada atrofi sekunder, warna

papil juga pucat tetapi batasnya tidak tegas. Terjadi akibat peradangan akut atau

lesi vaskuler saraf optic yang terletak dekat dengan bola mata serta menimbulkan

23
reaksi aktif sel glia dan mesenkim dekat papil. Degenerasi yang terjadi terisi oleh

proliferasi astrosit, jaringan ikat atrofi dan ditemukan pembuluh darah yang

menghilang.

Gambar 7. Atrofi Sekunder

1.8. Diagnosis Banding8

 Saraf optic pit

 Hypoplasia saraf optik

 Diskus optic drusen

 Myopic cresent

 Myelinated nerve fibers

1.8. Tatalaksana Atrofi papil4

Tidak ada pengobatan yang terbukti untuk atrofi optik. Namun,

pengobatan yang dimulai sebelum atrofi optik berkembang dapat membantu

menyelamatkan visus. Peran steroid intravena terbukti dalam kasus neuritis optik

atau neuropati optik iskemik anterior arteritic. Diagnosis dini dan pengobatan

yang tepat dapat membantu pasien dengan neuropati toksik dan bersifat

kompresif.

24
Idebenone, analog kuinon, telah digunakan baru-baru ini dalam beberapa

kasus Leber neuropati optik untuk memperbaiki jaring sintesis ATP dengan

menyediakan jalur alternatif.

Atrofi papil saraf optikus dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan

mata teratur, terutama bagi mereka yang mengalami penurunan penglihatan.

Deteksi awal adanya inflamasi atau masalah lain akan memperkecil kemungkinan

terjadinya atrofi. Pasien yang secara genetic berisiko menderita leber’s hereditary

optic neuropathy, disarankan untuk mengkonsumsi vitamin c, vitamin atau anti

oksidan lainnya serta menghindari paparan terhadap zat beracun dan mencegah

malnutrisi untuk menjauhkan kemungkinan terjadinya neuritis optikus toksik atau

nutritional.

1.9. Prognosis Atrofi papil1,2,4

Pengobatan dini dan intensif pada neuropati optik akibat nutrisi dapat

memberikan pasien dengan visus mendekati normal. Tapi setelah cadangan nutrisi

habis terjadi perubahan kecil akibat hilangnya serat saraf dimana menyebabkan

penurunan yang signifikan dalam penglihatan.

Deteksi dini adalah kunci karena kita tidak dapat menggantikan akson

mati. Degenerasi dan atrofi papil saraf optic merupakan keadaan yang bersifat

irreversible dan perlu tindakan pencegahan terhadap progresivitas kerusakan

nervus optikus dan kemungkinan perbaikan fungsi penglihatan tergantung dari

penyebab.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Prof. Dr. H. Sidarta. 2006. Ilmu penyakit mata . Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
2. Rashmin Gandhi, MBBS, FRCS(Edin), FRCS(Glasg). Optic atropy.
Diunduh pada tanggal 17 Januari 2017
http://emedicine.medscape.com/article/1217760-followup#showall.
3. Khurana A.K. Neuro-ophthalmology, chapter 12, in comprehensive
ophthalmology, fourth edition. New Delhi: New Age International Limited
Publisher; 2007, p. 301-303.
4. Optic atrophy. Diunduh pada tanggal 17 Januari 2017
http://eyewiki.aao.org/Optic_Atrophy
5. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & asbury oftalmologi umum. Edisi ke
17. Jakarta: EGC; 2010. h. 263-283
6. Cooper T. Compressive optic neuropathy. Diunduh pada tanggal 20
Januari 2017 www.emedicine.com/oph/topic167.htm
7. Haddad W. Intraocular anatomy. Diunduh pada tanggal 20 Januari 2017
www.eyeweb.org/anatomy.htm
8. Montgomery TM. Anatomy, and pathology of the human eye. Diunduh
pada tanggal 20 Januari 2017 http://www.tedmontgomery.com/the-
_eye/optcnrve.html
9. Lanning B. Kline, MD ; Neuro opthalmology ; American Acedemy of
Opthalmology section 5.2008- 2009; p87

26
10. Cribaillet CD. Optic atrophy type 1.Diunduh pada tanggal 22 Januari 2017
.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK1248/?report=printable
11. Optic atrophy. Di unduh pada tanggal 22 Januari 2017
http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/common/standard/tranorm.jsp/
requestURL=/healthatoz/Atoz/ency/optic_atrophy.jsp.

27

Anda mungkin juga menyukai