Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ruptur (Robekan) pada jalan lahir merupakan salah satu penyebab
utama pendarahan pasca persalinan. Pasien dengan perdarahan pasca
persalinan yang tidak mendapat penanganan yang baik bisa menyebabkan
kematian ibu, sekaligus meningkatkan mordibitas dan mortalitas ibu.
Ruptur perineum adalah luka jalan lahir yang dapat terjadi secara
spontan karena perineum kaku, persalinan presipitatus, pimpinan
persalinan yang salah, tidak terjalinnya kerjasama yang baik dengan ibu
selama proses persalinan, serta penggunaan perasat manual yang tidak
tepat. (Sukrisno,2010).
Perlukaan pada jalan lahir pada kehamilan dapat mengakibatkan
perdarahan. Perlukaan ini dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu
memimpin suatu persalinan, Pada waktu persalinan operatif melalui
vagina seperti ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, embriotomi atau trauma
akibat alat alat yang dipakai, selain itu perlukaan pada jalan lahir dapat
pula terjadi oleh karena memang disengaja seperti pada tindakan
episiotomi. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya robekan
perineum yang luas dan dalam disertai pinggir yang tidak rata, dimana
penyembuhan luka akan lambat atau terganggu. ( Prawirohardjo, 2000)
Ruptur perineum dapat terjadi hampir pada semua persalinan
pertama, dan tidak jarang pada persalinan berikutnya. Ruptur perineum
pada dasarnya tidak membahayakan jika mendapatkan penanganan dan
perawatan yang tepat dan baik. Sebaliknya ruptur perineum yang tidak
mendapatkan penanganan dan perawatan yang tepat dan baik akan
menyebabkan perdarahan yang hebat, infeksi, sehingga dapat
menyebabkan kematian ibu postpartum. (Prawirohardjo,2009).
2

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), Angka


Kematian Ibu (AKI) di Indonesia berjumlah 228/100.000 Kelahiran
Hidup. Penyebab langsung kematian ibu adalah perdarahan, infeksi,
keracunan kehamilan, partus lama dan aborsi. Perdarahan pos partum
menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia, dan ruptur
perineum merupakan penyebab kedua setelah atonia uteri. (Ratna,2011)
Pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta ibu bersalin mengalami ruptur
perineum, angka ini diperkirakan akan meningkat 6,3 juta pada tahun 2050
seiring dengan makin tingginya bidan yang tidak melaksanakan asuhan
kebidanan dengan baik. Hasil penelitian Puslitbang Bandung pada tahun
2009 sampai 2010 pada beberapa provinsi di Indonesia didapatkan bahwa
satu dari lima ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum akan
meninggal dunia. Prevalensi ruptur perineum terjadi pada usia 25 sampai
30 tahun sebesar 24% dan usia 32 sampai 39 tahun sebanyak 62%.
Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan
laserasi jalan lahir menjadi penyebab kedua yang salah satunya adalah
ruptur perineum yang dapat terjadi pada hampir setiap persalinan
pervaginam (Sumarah,2009)
Obstetrik Anal Sfingter Injuries (OASIS) merupakan salah satu
komplikasi dalam ruptur perineum derajat 3 dan 4 dalam persalinan dan
juga penyebab paling sering timbulnya inkontinensia alvi/fecal dan dapat
menimbulkan efek jangka panjang yang sangat merugikan terhadap
kualitas hidup seorang wanita
OASIS sering salah didiagnosis sebagai rupture perineum derajat
2, kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan diagnosis, Kesalahan
diagnosis berupa kurangnya pengetahuan dokter atau bidan terhadap
anatomi perineum dan sistem klasifikasi rupture perineum. (Abbott, 2010).
Pada suatu penelitian tentang pengetahuan anatomi perineum yang
dimilki dokter dan bidan, didapatkan bahwa 41% dokter dan 16% bidan
3

melakukan kesalahan dalam mengklasifikasikan rupture sfingter ani


eksternal partial dan komplit sebagai rupture perineum derajat dua.
(Abbott, 2010).
Selain itu meskipun OASIS telah didiagnosa dan telah dilakukan
reparasi, namun lebih dari 59% tetap akan mengalami gangguan defekasi.
Hal tersebut merupakan cerminan dan kontribusi dari pengetahuan yang
kurang dan teknik reparasi yang salah dalam penanganan OASIS
(Thakar, 2003)
Ruptur perineum terjadi karena ada adanya rupture spontan
maupun tindakan episiotomi perineum yang dilakukan. Ruptur perineum
karena tindakan episiotomi adalah ruptur perineum karena dilakukan
pengguntingan perineum untuk memperluas jalan lahir karena indikasi
bayi besar, bayi prematur, bayi dengan kelainan letak, serta persalinan
dengan vakum/forcep . (Sukrisno, 2010 )
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput darah,
jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit
sebelah depan perineum. .(Cuningham,2005)
Melihat besarnya prevalensi rupture perineum dan Kesalahan
diagnosis berupa kurangnya pengetahuan dokter atau bidan tentang
anatomi perineum dan klasifikasi rupture perineum maka Dalam Referat
ini akan membahas Penyebab ruptur perineum , Ruptur perineum dengan
tindakan Episiotomi, Klasifikasi ruptur perineum, Komplikasi rupture
perineum, Tekhnik menjahit rupture perineum , Pengelolaan rupture
perineum dengan kehamilan.Teknik menjahit ruptur perineum,Perawatan
setelah jahitan.Cara mengurangi resiko rupture perineum
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum
sewaktu persalinan.(Mochtar,2009) Meskipun tidak dianggap sebagai alat
kandungan , perineum merupakan bagian terluar alat genitalis dan selalu
ikut serta dalam proses kehamilan , persalinan , dan kala nifas.

Pengertian ruptur sesuai dengan kamus kedokteran (Dorland,


2002) adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa, Perineum
merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah dasar
panggul. Batas superior yaitu dasar panggul yang terdiri dari musculus
levator ani dan musculus coccygeus. Batas lateral tulang dan ligamentum
yang membentuk pintu bawah panggul, yaitu depan ke belakang angulus
pubicus, ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligamentum
sacrotuberosum, dan oscoccyges. Batas inferior yaitu kulit dan vagina.

Ruptur perineum dengan kehamilan adalah rupture perineum tPada


ibu hamil yang menderita ruptur perineum yang sebagian besar
mempunyai riwayat ruptur perineum derajat 3 dan 4 sebelumnya selain
ruptur derajat 1 dan 2.

2.2. Anatomi dan Fisiologi Perineum


Perineum terletak antara komissura posterior sampai anus.
Perineum dibentuk oleh dua jaringan penting ,diafragma pelvis dan diafragma
urogenital.
1. Diafragma pelvis terbentuk oleh M.levator ani, M.koksigeus dan
facsia yang membungkusnya. M.Levator ani berorigo di
5

permukaan posterior ramus superior ossis pubis, permukaan bagian


dalam spina ischiadika , dan fascia M.Obturator. Insersi M.Levator
ani berada dibeberapa tempat. Diantaranya disekitar rectum dan
vagina yang membentuk spingter ani, pada raphe antara vagina dan
rectum danpada os koksigeus.
2. Diafragma urogenital terletak dibagian luar diafragma pelvis.
Bentuknya segitiga di tuberositas ossis ishii dan simfisis pubis.
Diafragma urogenital terbentuk dari M. tranversus perinel dalam ,
M.konstriktor urethra dan facsia penutup bagian luar dan dalam.
6

Arti kliniknya adalah bahwa ada kemungkinan bahwa diafragma


ini dapat mengalami kerusakan atau terinsiasi pada saat persaliann normal.
Kerusakan sfingter ani internum dan ekternum dapat menimbulkan
inkontinensia alvi urinae.
Perineum mendapatkan perdarahan dari A.pudenda interna dan
cabangnya ,a rektalis inferior dan a. labialis posterior. Persarafan dilakukan
oleh nervus pudendus yang berasal dari S2,S3 dan S4. Badan perineum
teridiri dari raphe mediana m.levator ani yang terletak antara vagina dan
rectum. Organ ini diperkuat oleh tendo perineum yang merupakan tempat
bertemunya M. bulbokavernosus, M. Transversus perinci superfisialis, dan
M.sfingter ani eksternus. (Manuaba,2007)

2.3 Penyebab Ruptur Perineum

Faktor-faktor yang menyebabkan ruptur perineum (Oxorn, 2010):

 Faktor maternal, mencakup :


1. Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak
ditolong (sebab paling sering)
2. Pasien tidak mampu berhenti mengejan.
3. Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan
fundus yang berlebihan.
4. Edema dan kerapuhan pada perineum.
5. Varikositas Vulva yang melemahkan jaringan-jaringan
perineum.
6. Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang
sempit pulasehingga menekan kepala bayi ke arah
posterior.
7. Perluasan episitomi.
7

 Faktor janin mencakup :


1. Bayi yang besar
2. Posisi kepala yang abnormal, ex : presentasi muka
3. Kelahiran bokong
4. Ekstraksi forceps yang sukar
5. Dystocia bahu
6. Anomali kongenital, seperti hydrocephalus

2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum


a. Ruptur Perineum Spontan
Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa
dilakukan tidakan perobekan atau disengaja, Luka ini terjadi pada
saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
b. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan
atau perobekan pada perineum.

Menurut (Leveno et al 2004 ) Ruptur Perineum dapat dibedakan


menjadi 4 derajat :

1. Derajat I
Ruptur hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau
tanpa mengenai kulit perineum sedikit./ hanya kulit perineum
dan mukosa vagina yang robek.
8

2. Derajat II
Ruptur yang terjadi lebih dalam yaitu selain mengenai selaput
lendir vagina juga mengenai otot-otot perineum

3. Derajat III
Ruptur yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai
mengenai otot sfingter ani externa
9

4. Derajat IV
Ruptur meluas sampai mukosa rektum sehingga memaparkan
lumen rektum. Robekan tingkat empat dapat sampai ke uretra
dan menimbulkan perdarahan hebat.

2.5 Ruptur Perineum dengan Tindakan Episiotomi


Salah satu penyebab ruptur Perineum adalah dilakukannya
tindakan Episiotomi, Episiotomi adalah insisi/ perobekan yang dibuat
pada vagina dan perineum untuk memperlebar bagian lunak jalan lahir
sekaligus memperpendek jalan lahir. Dengan demikian, persalinan dapat
lebih cepat dan lancar. Episiotomi biasanya dilakukan saat kepala tampak
selama his hingga garis tengah 3 sampai 4 cm. Jika dilakukan bersama
dengan akstraksi forsep, sebagian besar dilakukan Episiotomi setelah
pemsangan sendok /bilah forsep.
10

Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin


yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada
perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan,
mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi .

Tujuan Episiotomi
1. Mengurangi tekanan terhadap kepala bayi sehingga mengurangi
terjadinya asfiksia akibat kekurangan O2.
2. Mengurangi hambatan persalinan oleh perineum , jika
elsatisitasnya tidak mendukung proses persalinan .
3. Dapat mempercepat kala pengeluaran kepala sehingga mengurangi
kemungkinan asfiksia.
4. Memperluas dan memperpendek jalan lahir lunak sehingga
persalinan dapat dipercepat.

Saat yang dianggap sangat tepat dilakukan episiotomi adalah

1. Saat kepala crowning sekitar 4-5 cm


2. Saat His dan mengejan sehingga rasa sakit tertutupi
3. Saat Perineum telah menipis, sehinga mengurangi perdarahan.
Indikasi melakukan Episiotomi
Episiotomi pada primigravida , kejadiannya antara 0-95%,
Sedangkan pada multigravida lebih kecil karena jaringan perineum
sudah semakin elastis. Dalam beberapa kasus, perlu ditetapkan
indikasi untuk dilakukan Episiotomi sebagai berikut:
1. Hampir pada semua primigravida inpartu, jika dijumpai
crowning kepala tidak seimbang dengan elastisitas
perineum
11

2. Pada semua persalinan letak sungsang yang dilakukan


pervaginam untuk memudahkan persalinan kepala bayi
yang lebih besar .
3. Pada semua persalinan premature yang dilakukan
pervaginam sehingga tekanan pada kepala semakin
berkurang dan persalinan makin cepat berlangsung.
4. Pada tindakan operasi pervaginam obstetric
5. Pada distosia yang disebabkan oleh kurangnya elastisitas
perineum.

Keuntungan Episiotomi

1. Perlukaan teratur sehingga memudahkan untuk menjahit kembali


2. Luas insisi episiotomi dapat diatur sesuai dengan kebutuhan

Kerugian Episiotomi

1. Jika Episiotomi dilakukan terlalu dini, Perdarahan dari insisi pada


masa antara episiotomi dan lahirnya bayi dapat cukup banyak .
Jika Episiotomi dilakukan belakangan, laserasi tidak tercegah.

Teknik Episiotomi

Teknik episiotomi yang banyak dilakukan adalah


1. Episiotomi Mediana
2. Episiotomi mediolateral
Tipe Episiotomi
Sifat Khas Mediana Mediolateralis
Pelaksanaan Mudah Agak Sulit
12

Penjahitan Mudah Agak Sulit, perlu


kembali adaptasi anatomis
yang baik

Kegagalan Jarang Sering terjadi


sembuh
Rasa sakit Ringan Sedang sampai
berat
Hasil sembuh Sangat baik Kurang baik
Kehilangan darah Minimal Cukup banyak
Dispareunia Jarang terjadi Sering terjadi
Perluasan rupture Biasa terjadi Jarang
kearah stingfer
dan rectum
13

2.6 Komplikasi Ruptur Perineum


Jika tidak ditangani dengan tepat, ruptur perineum dapat
menyebabkan beberapa hal di bawah ini:

a. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca
persalinan dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian
dan penatalaksanaan yang cermat selama kala satu dan kala
empat persalinan sangat penting.Menilai kehilangan darah
yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal
perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan lanjutan
dan menilai tonus otot.

b. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena
perlukaan pada vagina menembus kandung kencing atau
rectum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing akan
segera keluar melalui vagina . Fistula dapat menekan kandung
kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan
panggul, sehingga terjadi iskemia.

c. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada
persalinan karena adanya penekanan kepala janin serta
tindakan persalinan yang ditandaidengan rasa nyeri pada
perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
14

d. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat
genetalia pada kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan
tempat masuknya kuman kedalam tubuh sehingga menimbulkan
infeksi . Dengan ketentuan menigkatnya suhu tubuh melebihi
38˚C ,tanpa menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang
mengalami pireksia nifas harus diperhatikan ,di isolasi, dan
dilakukan inspeksi pada traktus genitalis untuk mencari laserasi
,robekan atau luka episiotomi. (Vogel et al.,2012)

2.7 Perineuraphi Ruptur Perineum

Alat yang digunakan:


- Benang
- Spruit
- Gunting benang
- Allis clamps
- Needle holder
- Anastesi Lidocain 1%
- Cairan irigasi
- Gunting holder
- Forceps with teeth
- Duk dan sarung tangan steril
- Gelpi atau daver retractor untuk digunakan dalam
memvisualisasikan laserasi perineum ketiga atau keempat,
atau laserasi vagina dalam)

- Spet 10-mL dengan jarum ukuran 22G


15

- Benang 3-8 poliglaktin 910 (Vicryl) pada jarum CT-1 (untuk


jahitan mukosa vagina)
- Benang polyglactin 910 4-0 pada jarum SH (untuk jahitan
kulit)
- Benang 2-0 polydioxanone sulfate (PDS) pada jarum CT-1
(untuk jahitan sfingter anal eksternal)
- Anestesi lokal dapat digunakan untuk memperbaiki laserasi
perineum. Namun, anestesi umum atau regional mungkin
diperlukan untuk mencapai relaksasi dan visualisasi otot yang
memadai untuk perbaikan bedah laserasi parah atau kompleks.

Laserasi perineum parah yang melibatkan kompleks sfingter


anal menimbulkan tantangan bedah. Penelitian terbaru telah
menunjukkan kejadian inkontinensia anal atau toksisitas 20
sampai 50 persen setelah perbaikan laserasi perineum obstetrik
tingkat tiga. Cedera ini tidak memerlukan perbaikan segera; Oleh
karena itu, seorang dokter yang tidak berpengalaman dapat
menunda prosedur selama beberapa jam sampai staf pendukung
yang sesuai tersedia.
Dengan laserasi perineum parah yang melibatkan kompleks
sfingter anal, kami mengiringinya untuk memperbaiki visualisasi
dan mengurangi kejadian infeksi luka. Karena laserasi ini
terkontaminasi oleh tinja, satu dosis sefalosporin generasi kedua
atau ketiga dapat diberikan secara intravena sebelum prosedur
dimulai. (Leeman,2003)

.
16

1. Derajat I
Penjahitan perineum derajat I dapat dilakukan hanya
dengan memakai catgut yang di jahitkan secara jelujur
(continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of
eight)

2. Derajat II
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum
derajat II maupun derajat III, jika dijumpai pinggir robekan
yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi
tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan
sebelah kiri dan kanan masing-masing di klem terlebih
dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata,
baru dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot
dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit
dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan
selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir
17

kulit perineum dijahit dengan benang sutera secara terputus-


putus.

3. Derajat III
Mula-Mula dinding depan rectum yang robek dijahit.
Kemudian facia perirektal dab fasia septum rektovaginal
dijahit dengan catgut kronik, sehingga bertemu kembali.
Ujung-ujung otot stingfer ani yang terpisah oleh karena
robekan diklem dengan klem Pean lurus, kemudian dijahit
dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali.
Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit
robekan perineum derajat II.
18

4. Derajat IV
Teknik Menjahit robekan Perineum dengan total rupture
sampai rektum , merupakan teknik menjahit yang paling sulit.
Ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

 Menjahit mukosa rectum:


a. Jahitan mukosa rectum sedemikian rupa sehingga
epitelnya melipat kedalam lumen. Ini untuk
menghindari :
- Infeksi sekunder karena feses
- Terjadi fistula
b. Dipergunakan benang catgut nomor: 2/0-3/0
c. Lapisan kedua diatas mukosa untuk menguatkan jahitan
pada mukosa dan menghindari fistula dan infeksi.
 Menjahit sfingter ani eksterna:
a. Kedua ujung sfingter yang putus dipegang dengan klem
allis diadaptasikan dan dijahit menggunakan benang 2/0
kromik catgut atau vikril nomor 0
19

b. Lapisan kedua jaringan perineum, dijahit untuk


memperkuat jahitan pada sfingter ani dan mukosa
rectum

 Menjahit dinding vagina :


a. Jahitlah terlebih dahulu hymen dengan kromik catgut
nomor 2/0 seutuhnya sehingga dapat digunakan sebagai
petunjuk menjahit kea rah vagina dan kearah perineum.
b. Vagina dijahit berlapis dan tidak terlalu ketat sehingga
sirkulasi tidak terganggu
c. Jahitan dapat secara simpul dan jelujur
 Jahitan pada Perineum
a. Dengan jahitan hymen sebagai batas untuk adaptasi
anatomis, Jahitan pada perineum tidak akan kesulitan
b. Setelah mencapai sfingter ani eksterna, jahitan diambil
agak dalam sebagai jahitan penyanggga dan untuk
memperkuatnya.
20

Kesalahan dalam menjahit akan menimbulkan inkontinensia alvi


(defekasi tidak dapat ditahan) karena sfingter ani tidak terjahit, fistula
rektovagina, vagina longgar sehingga akan menjadi keluhan dalam
hubungan seksual. (Manuaba, 2010).

2.8 Pengelolaan Ruptur Perineum dengan Kehamilan

Lebih dari 85% wanita di Inggris mempertahankan ruptur


perineum saat melahirkan. Pada sebagian besar keadaan, hanya kulit
perineum, epitelium vagina dan otot superfisial yang terlibat, dan ruptur
semacam itu jarang dianggap serius.
Sekitar 70% wanita yang melahirkan pervaginam akan mengalami
beberapa tingkat kerusakan pada perineum, karena robekan atau luka
(episiotomi) dan akan membutuhkan jahitan. Bekas jahitan ini dapat
menyebabkan nyeri perineum selama dua minggu setelah kelahiran, dan
beberapa wanita mengalami rasa sakit dan ketidaknyamanan jangka panjang
selama hubungan seksual. Dampak trauma perineum dapat membuat ibu
merasa tertekan saat dia mencoba mengatasi perubahan hormon dan tuntutan
bayinya, dan dampaknya terhadap hubungan seksualnya dapat berlangsung
lama. Sebagian besar benang yang digunakan untuk menjahit perineum secara
bertahap diserap dan tidak perlu dikeluarkan, Terkadang jahitan harus
dikeluarkan oleh dokter atau bidan karena Sejumlah kecil luka perineum
terbuka (memecah) atau mengalami penyembuhan yang tertunda, dan
beberapa di antaranya mungkin perlu dijahit ulang ( Pubmedhealth ,2010)
Pada wanita yang mengalami rupture perineum derajat 1 disaat hamil
,Penjahitan kembali rupture perineum dilakukan jika terdapat darah atau
nanah karena infeksi pada robekan tersebut, sedangkan jika tidak terdapat
21

darah dan nanah maka akan dibiarkan guna mempermudah persalinan


berikutnya.

Diagram alir untuk pengelolaan Obstetric Anal Sfingter Injuries dengan kehamilan

Untuk memberikan konseling yang baik terhadap wanita dengan riwayat


cedera derajat tiga atau empat, maka data hasil anal ultrasonografi dan hasil anorektal
manometri perlu disertakan. Jika akan direncanakan persalinan pervaginam maka
perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut di atas selama kehamilan saat ini
kecuali bila sebelumnya telah dilakukan dan hasilnya abnormal. Bukti terbaru
menyarankan bila pada pemeriksaan anal ultrasonografi didapatkan defek yang besar
(lebih dari satu kuadran) atau tekanan jepit sfingter ani kurang dari 20 mmHg maka
risiko terjadinya inkontinensia meningkat setelah melahirkan.
Pada wanita dengan inkontinensia ringan perlu dilakukan konseling dan
ditawarkan seksio sesarea. Inkontinensia ringan (fecal urgency atau
22

flatusinkontinensia) dapat dikontrol dengan pengaturan diet, obat konstipasi,


fisioterapi atau biofeedback. (Thakar, 2003)
Wanita dengan tanpa keluhan fungsi sfingter ani dapat disarankan untuk
menjalani persalinan pervaginam dengan penolong yang berpengalaman. Tidak
disarankan tindakan episiotomi profilaksis rutin pada persalinan berikutnya. Pada
semua pasien dengan riwayat OASI, perlu kita berikan konseling tentang risiko
terjadinya inkontinensia alvi ataupun perburukan dari gejala inkontinensia yang
terjadi apabila menjalani persalinan pervaginam pada kehamilan berikutnya.
(Fernando et al, 2015)
Resiko persalinan per vaginam berikutnya setelah menderita rupture derajat
ke tiga atau ke empat telah dinilai, dengan 17% wanita mangalami gejala
incontinensia fecal yang memburuk setelah persalinan per vaginam yang kedua.
(Fernando et al, 2015)
Belum ada penelitian untuk mengetahui metode persalinan yang paling baik
pada pasien dengan riwayat cedera perinuem derajat tiga atau empat. Wanita dengan
riwayat reparasi sekunder sfingter ani oleh karena inkontinensia alvi harus
melahirkan dengan sectio secarea.Wanita yang pernah mengalami cedera perineum
derajat tiga atau empat diikuti dengan keluhan inkontinensia berat harus ditawarkan
reparasi sekunder sfingter ani yang dikerjakan oleh ahli bedah kolorektal dan semua
persalinan berikutnya harus dilakukan sectio secarea. (Thakar, 2003)
Beberapa wanita dengan inkontinensia alvi dapat memiliki anak terlebih
dahulu sampai jumlah anak cukup sebelum menjalani pembedahan sfingter ani.
Disarankan untuk melakukan persalinan pervaginam dengan alasan bahwa cedera
telah terjadi, risiko untuk kerusakan lebih lanjut minimal dan tidak mempengaruhi
keluaran dari reparasi. Keuntungannya adalah memperkecil risiko yang berhubungan
dengan sectio secarea pada kehamilan-kehamilan berikutnya.
23

2.9 Pencegahan Ruptur Perineum


Dalam kebanyakan kasus kita tidak dapat melakukan apapun untuk
mencegah rupture perineum terjadi namun Hal-hal berikut dapat
membantu mengurangi risiko terjadinya ruptur atau mengurangi
keparahan rupture perineum:
• Memberi kelahiran di air
• Kelahiran dengan posisi berlutut atau 4 posisi cara melahirkan
• Pastikan tidak mengalami konstipasi dengan minum banyak air dan
makan diet seimbang.
• Memijat perineum dengan menggunakan oil , karena ini bisa
membantu melembutkan dan mengendurkan kulit.
Penting juga agar mengonsumsi makanan seimbang yang sehat
yang mengandung zat besi, sebagai wanita yang memiliki kadar besi
rendah dalam darahnya sering lambat dalam penyembuhan.
24

BAB III
KESIMPULAN

Ruptur perineum adalah luka jalan lahir yang dapat terjadi secara
spontan karena perineum kaku, persalinan presipitatus, pimpinan
persalinan yang salah, tidak terjalinnya kerjasama yang baik dengan ibu
selama proses persalinan, serta penggunaan perasat manual yang tidak
tepat.
Perlukaan pada jalan lahir pada kehamilan dapat mengakibatkan
perdarahan. Perlukaan ini dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu
memimpin suatu persalinan, Pada waktu persalinan operatif melalui
vagina seperti ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, embriotomi atau trauma
akibat alat alat yang dipakai, selain itu perlukaan pada jalan lahir dapat
pula terjadi oleh karena memang disengaja seperti pada tindakan
episiotomi.
Pada wanita yang mengalami rupture perineum derajat 1 disaat
hamil ,Penjahitan kembali rupture perineum dilakukan jika terdapat darah
atau nanah karena infeksi pada robekan tersebut, sedangkan jika tidak
terdapat darah dan nanah maka akan dibiarkan guna mempermudah
persalinan berikutnya.
Obstetrik Anal Sfingter Injuries (OASIS) merupakan salah satu
komplikasi dalam ruptur perineum derajat 3 dan 4 dalam persalinan dan
juga penyebab paling sering timbulnya inkontinensia alvi/fecal
OASIS sering salah didiagnosis sebagai rupture perineum derajat
2, kemungkinan penyebabnya adalah kesalahan diagnosis, Kesalahan
diagnosis berupa kurangnya pengetahuan dokter atau bidan terhadap
anatomi perineum dan sistem klasifikasi rupture perineum
Wanita yang telah operasi sekunder sebelumnya yaitu Perbaikan
sfingter untuk inkontinensia feses harus melalui operasi caesar. Wanita
25

yang menderita rupture derajat ketiga atau keempat sebelumnya dengan


inkontinensia berat berikutnya seharusnya ditawarkan perbaikan sfingter
sekunder dengan ahli bedah kolorektal dan semua persalinan berikutnya
harus dilakukan sectio secarea
26

DAFTAR PUSTAKA

Abbott,D dkk., 2010 “Obstetric anal sphincter injury” Research Gate

Boyle, Maureen. (2008). Kedaruratan dalam Persalinan. Jakarta: Penerbit


Buku. Kedokteran EGC

Cunigham, FG et al. 2005 “ William Obstetric” Mc Graw –Hill

Dorland, W.A. Newman, 2002, Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29,


Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.\

Fernando et al, 2015 “The Management of Third- and Fourth-Degree Perineal


Tears” Royal college of Obstetricians & Gynaecologists

Hellen Farrer, 1999. “Perawatan Maternitas”. Edisi 2. EGC. Jakarta.

Leveno,K.J et al 2004 “Williams Manual Obstetrics Ed.21”. EGC : Jakarta

Manuaba, I.A Chandranita, dkk. 2010. Ilmu kebidanan, penyakit


kandungan dan kb. EGC: Jakarta

Manuaba, dkk. 2007 “ Pengantar Kuliah Obstetri” EGC : Jakarta

Mochtar,R .1998. Sinopsis Obstetri . Jakarta : EGC.

Pubmedhealth ,2010 “Absorbable stitches for repair of episiotomy and tears at


childbirth”
27

Oxorn, H. 2003. Fisiologi dan Patologi Persalinan. Jakarta: Yayasan.


Essentia Medica

Oxorn, Harry, Et Al. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi


Persalinan. Yayasan Essentia Medica: Yogyakarta

Rukiyah dkk. 2011. Asuhan Kebidanan III (Nifas). Jakarta: Trans Info Media

Leeman,Lawrence dkk, 2003 “Repair of Obstetric Perineal Lacerations”


American family pyshician
Prawirohardjo. S. 2009 “Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal”.
Jakarta

Ratna, 2011 “Buku Ajar Kebidanan Komunitas”.Nuha Medika:


Yogyakarta

Sukrisno. 2010 “Asuhan Kebidanan IV”. Trans Info Media: Jakarta

Sumarah. 2009. Perawatan Ibu Bersalin : Asuhan Kebidanan Pada Ibu


Bersalin. Yogyakarta : Fitramaya.

Thakar,R., Sultan, A.H., 2003 ” Management Of Obstetric anal Sphincter


injury” The Obstetrician & Gynaecologist

Vogel et al. 2012 “ The effect of a mediolateral episiotomy during


operative vaginal delivery on the risk of developing obstetrical
anal sphincter injuries”. Am J Obstet Gynecol .
28

TUGAS REFERAT OBSGYN

RUPTUR PERINEUM DENGAN KEHAMILAN

Di buat oleh :
Eko Deski Utomo, S.Ked (17710032)

Pembimbing :
dr. R. Prijono Wibowo , Sp. OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK RSUD SIDOARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2017
29

Anda mungkin juga menyukai