Anda di halaman 1dari 2

*Hadratusy syaikh Al-arif Billah KH.

Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA


.Mualif Solawat wahidiyah*

, Orang Besar Yang tak pernah


memperlihatkan kebesaranya

- *Kisah*
*"Antara NU dan Wahidiyah"*

Sebelum mentaklif Sholawat Wahidiyah,


Beliau adalah seorang aktifis NU. Ketika
usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan
(sekarang Pramuka) milik NU. Beliau
juga gemar berolah raga khususnya
sepak bola. Jadi meskipun Beliau terlihat
sangat pendiam dan nampak kurang
pergaulan, tetapi kenyataannya Beliau
adalah seorang yang luwes dalam
pergaulan. Keaktifannya di NU terus
berlanjut meski Beliau sudah menikah.
Beliau pernah menjabat sebagai
pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Namun setelah
Beliau diberikan amanah Rasulullah SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan
ajarannya (1963) ke pada umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Pada tahun 1964, Mbah Yahi menyelenggarakan resepsi ulang tahun Sholawat Wahidiyah
pertama sekaligus khitanan Agus Abdul Hamid dan selapan harinya Ning Tutik Indiyah
dengan mengundang Pembesar Ulama dari berbagai daerah Jawa Timur, di samping keluarga
dan kaum muslimin lainnya. Hadir sebagai tamu kehormatan, antara lain: KH. Abdul Wahab
Hasbullah, Rois ‘Am NU dan Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambah Beras, Jombang;
KH. Machrus Ali, Syuriah NU Wilayah Jatim dan Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kediri; KH.
Abdul Karim Hasyim (Putra Pnediri NU) Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang; dan KH.
Hmim Djazuli (Gus Mik) Putra pendiri Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah
kepda segenap hadirin.

"Nuwun sewu, kula gadah amalan Shalawat Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula
ijazahi?" (Mohon maaf, saya mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin
bersedia saya beri ijazah?), tutur Mbah Yahi dalam sambutannya.

Spontan yang hadir menjawab “kerso” (bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada
yang setengah berdiri, seakan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula KH. Wahab Hasbullah
spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: “Qobiltu
awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama).
Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam sambutannya, antara lain mengatakan, “Hadirin..
ilmunya Gus Madjid dalam sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam sepuluh meter. Sedang
saya hanya memiliki ukuran satu koma dua meter saja. Sholawatnya Gus Madjid ini akan
saya amalkan..”.
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Sholawat Wahidiyah. Karena itulah
Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah, karena ada beberapa yang merasa
takut, kalau-kalau Wahidiyah akan jadi saingan NU. Maka ketika beberapa ulama utusan
Partai NU cabang Kediri bersama-sama silaturrahim kepada Beliau mohon penjelasan tentang
Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang singkat dan tepat.
Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya
apa? Dasar apa dan menurut qoul yang mana?”
Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat Wahidiyah itu susunan saya sendiri”.
Para tamu, kembali bertanya, “Apa benar, Kyai mengatakan kalau orang membaca Sholawat
Wahidiyah itu sama dengan ibadah satu tahun?”
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat, kalau *membaca sholawat Allahumma
kamaa anta ahluh… itu sama dengan ibadah setahun.* Begitu itu, ya tidak saya jadikan
hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca Sholawat Badawi sekali sama saja dengan
khatam dalil sepuluh kali”, jawab Mbah Yahi Madjid QS wa RA.
Para tamu masih terus bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat
Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan
thoriqoh?”
“Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat itu banyak”, jawab Mbah Yahi.
Mendengar jawaban Mbah Yahi yang tegas dan lugas, kemudian para tamu tidak bertanya
kembali.
Suatu ketika Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan penjelasan mengenai Sholawat
Wahidiyah di dukuh Mayam Desa Kranding, Kec. Mojo, Kab. Kediri, di hadapan para kyai
se-kecamatan Mojo Selatan, di antara yang hadir adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli
Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, dalam khutbah iftitah-nya Beliau Mualif Sholawat
Wahidiyah mengucapkan : “Alhamdulillaahi aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”

Sebelum Wahidiyah disiarkan secara umum, Mbah Yahi mengirimkan Shalawat Wahidiyah
yang ditulis tangan oleh K. Muhaimin (Alm) santri Kedunglo kepada para ulma Kediri dan
sekitarnya disertai surat pengantar yang Beliau tandatangani sendiri. Sejauh itu tak satupun di
antara kyai yang dikirimi sholawat, mempermasalahkan Shalawat Wahidiyah.

“Semua doa sholawat itu baik”. Begitu komentar para kyai waktu itu.
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang sependapat terhadap
adanya (lahirnya) Sholawat Wahidiyah, namun oleh Mbah Yahi justru mereka yang tidak
atau kurang sependapat dengan adanya Sholawat Wahidiyah dipandang sebagai *kawan
seperjuangan* . Sebab dengan adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat
Wahidiyah dan ajarannya mendorong *pengamal jadi lebih giat dalam bermujahadah* dan
sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu *turut menyiarkan* Wahidiyah dengan cara
dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya silang pendapat atau salah faham
tersebut, orang yang tadinya belum tahu Sholawat Wahidiyah menjadi tahu.
Mereka ikut andil dalam Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW.

*Al - fatehah*

Anda mungkin juga menyukai