Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Toksikologi merupakan ilmu yang sangat luas yang mencakup berbagai
disiplin ilmu yang sudah ada seperti ilmu kimia, Farmakologi, Biokimia, Forensik
Medicine dan lain-lain. Pada bidang biomedis, ahli toksikologi akan menangani efek
samping yang timbul pada manusia akibat pajanan obat dan zat kimiawi lainnya, serta
pembuktian keamanan atau bahaya potensial yang terkait penggunaanya. Sampai abad
ke 19 dokter, pengacara dan pelaksana hukum yang dapat dipercaya menyatakan
bahwa salah satu tanda /gejala keracunan pada seseorang adalah berwarna kehitaman,
biru atau berbintik pada tubuh korban. Pada awal abad 18, seorang dokter belanda
Herman Boerhoave berteori bahwa berbagai racun mempunyai ciri khas tersendiri
terhadap tubuh dari reaksi yang dihasilkannya.
Toksikologi forensik sendiri berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi
pada berbagai kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-
bahan kimia yang dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi
bukti dalam pengadilan. Metode-metode yang dapat digunkaan dalam toksikolgi
forensik ini terus berkembang di berbagai belahan dunia. Penemuan-penemuan baru
mengenai obat-obatan klinis dan cara uji laboratoris sangat membantu dalam
penggunaan metode tertentu, alat-alat yang diperlukan, serta interpretasi hasil dari
pengujian sampel tersebut.
Menurut Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidang kerja
toksikologi forensik meliputi analisis dan evaluasi racun penyebab kematian, analisis
ada atau tidaknya kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau nafas
yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan
mengendarai kendaraan bermotor dijalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan serta
penggunaan dopping), analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus
penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat terlarang lainnya. Tujuan lain dari
analisis toksikologi forensik adalah dapat membuat suatu rekaan rekonstruksi suatu
peristiwa yang telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah dapat mengakibatkan
suatu perubahan perilaku.
Dalam proses pembuktian pembunuhan serta manfaat toksikologi sebagai
media pengungkap dalam proses penyidikan tindak pidana pembunuhan yang
menggunakan racun. Toksikologi Forensik sangat penting diberikan kepada penyidik
dalam rangka membantu penyidik polisi dalam pengusutan perkara yaitu mencari,
menghimpun, menyusun dan menilai barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
dengan tujuan agar dapat membuat terang suatu kasus pembunuhan yang ada indikasi
korbannya meninggal karena keracunan
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1) Apakah definisi dari keracunan?
2) Bagaimanakah pengelompokan jenis racun?
3) Bagaimanakah cara masuk racun kedalam tubuh?
4) Bagaimana mekanisme kerja racun?
5) Kapankah perlu dilakukan pemeriksaan keracunan?
6) Bagaimanakah pemeriksaan pada korban keracunan?
7) Bagaimanakah cara pengambilan sampel pada keracunan?
8) Apakah jenis-jenis bahan pegawet yang digunakan pada kasus keracunan?
9) Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan seputar sampel keracunan?
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui definisi dari keracunan
2) Untuk mengetahui pengelompokan jenis racun
3) Untuk mengetahui cara masuk racun kedalam tubuh
4) Untuk mengetahui mekanisme kerja racun?
5) Untuk mengetahui kapan perlu dilakukan pemeriksaan keracunan
6) Untuk mengetahui cara pemeriksaan pada korban keracunan
7) Untuk mengetahui cara pengambilan sampel pada keracunan
8) Untuk mengetahui jenis-jenis bahan pengawet yang digunakan pada kasus
keracunan
9) Untuk mengetahui hal-hal yang perlu diperhatikan seputar sampel keracunan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Keracunan
Keracunan adalah suatu kejadian apabila substansi yang berasal dari alam
ataupun buatan yang pada dosis tertentu dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
hidup yang bisa menyebabkan cedera atau kematian.
Racun dapat memasuki jaringan hidup melalui beberapa cara yaitu termakan,
terhirup, disuntikkan, dan terserap melalui kulit.
Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan
minimal), yang jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya
reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.
Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa kekuatan mekanis, yang bila
mengenai tubuh seorang (atau masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh,
kerugian, bahkan kematian.
Sehingga jika dua definisi di atas digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang
dalam jumlah relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau mengenai tubuh,
tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan kekuatan daya kimianya, akan
menimbulkan efek yang besar, yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian.

2.1.1 Jenis-Jenis Keracunan


a. Keracunan Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah
manusia. Sejak di kenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh
asap yang mengandung CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak
berbau dan tidak meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara
sehingga mudah menyebar.
b. Keracunan Sianida
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida
dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang
dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh nazi.
Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri
dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di
laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan
di gudang-gudang kapal.
c. Keracunan Arsen (As)
Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk
membunuh orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan
dengan arsen dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-
kadang dapat terjadi karena kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat
memakan/meminum makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen.
Kematian akibat keracunan arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena
gejala keracunan akutnya menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang
hebat sehingga dapat didiagnosa sebagai suatu penyakit.
d. Keracunan Alkohol
Alkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering
menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya
reaksi atau kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan
mengemudi sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan,
pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan
hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang
melanggar hukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun
tindakan bunuh diri.
2.2 Penggelompokkan Jenis Racun
1. Yang banyak terdapat di rumah tangga
 Desinfektan
 Deterjen
 Insektisida
2. Yang banyak dipakai dalam pertanian dan perkebunan
 Pestisida
 Herbisida
3. Yang banyak beredar dikalangan medis
 Hipnotika
 Sedativa
 Transquilizer
 Anti-depresa
 Analgetika
 Narkotika
 Antibiotika
4. Yang banyak dipakai dalam industri atau laboratorium
 Asam dan basa kuat
 Logam berat
5. Yang banyak terdapat dialam bebas
 Opium
 Ganja
 Kokain
 Amigdala (sianida dalam tumbuhan)
 Racun binatang berbisa dan jamur

2.3 Cara Masuk Racun ke dalam Tubuh


Seseorang dapat mengalami keracunan dengan cara :
1. Tertelan melalui mulut, misalnya keracunan makanan, minuman dan obat-obatan.
2. Terhisap melalui hidung, misalnya keracunan gas CO.
3. Terserap melalui kulit/mata, misalnya keracunan zat kimia.
4. Melalui suntikan atau gigitan, misalnya gigitan/sengatan binatang berbisa (ular,
kalajengking), dan obat suntik.
Berdasarkan kecepatan kerjanya, maka racun akan paling cepat menimbulkan
efek pada manusia, bila ia masuk secara inhalasi, kemudian secara berurutan : injeksi,
peroral, perektral atau perverginal, dan yang paling lambat apabila masuk melalui kulit
yang sehat.

2.4 . Mekanisme Kerja Racun


1. Racun yang bekerja lokal atau setempat
 Zat korosif : risol, asam kuat, basa kuat.
 Yang bersifat iritan : arsen dan HgCl2
 Yang bersifat anastetik : kokain, asam karbon
2. Racun yang bekerja secara sistemik
 Narkotika, bbarbiturat dan alkohol : terutama berpengaruh pada susunan saraf
pusat
 Digitalis dan asam oksalat : terutama berpengaruh pada jantung
 Karbon monoksida dan sianida : terutama berpengaruh pada system enzim
pernapasan dalam sel
 Insektisida golongan “klorinated hidro-karbon” dan golongan fosfor organik:
terutama berpengaruh pada hati
 Striknin : terutama berpengaruh pada medulla spinalis
 Kantarides dan HgCl2 : terutama berpengaruh pada ginjal.
3. Racun yang bekerja secara lokal dan sistemik
 Asam oksalat
 Asam karbol
 Arsen
 Garam Pb
Racun yang bekerja secara lokal biasanya akan menimbulkan rasa nyeri yang
hebat, sering disertai dengan preforasi yang berakibat fatal atau sebagian dari racun
tadi masuk kedalam darah secara sistemik dan menekan pusat pernapasan, yang
terakhir ini berarti bekerja secara sistemik dan secara local. Untuk racun yang bekerja
secara sistemik mudah dijelaskan oleh karena biasanya racun dalam golongan ini
mempunyai afinitas terhadap salah satu organ atau sistem.

2.4.1 Efek racun terhadap tubuh


a. Lokal
Efek lokal terbatas pada beberapa bagian tubuh yang kontak dengan zat
kimia yaitu kulit, mata, jalur udara, dan usus. Contoh efek racun lokal yakni
kulit terbakar, mata berair dan iritasi pada tenggorokan yang menyebabkan
batuk. Banyak racun yang menyebabkan efek lokal namun ada juga yang tidak.
1. Kulit
Bahan-bahan kimia yang membahayakan kulit menyebabkan kulit
memerah, sakit ketika kulit disentuh, tapi tidak menyebabkan rasa terbakar
ketika sudah dicuci. Agen korosif dapat dengan cepat menyebabkan rasa
sakit dan terbakar dan membahayakan kulit. Mungkin ada rasa melepuh dan
kulit berubah warna menjadi abu-abu-putih atau coklat (WHO, 1997).
2. Mata
Agen pengiritasi atau agen korosif dapat menyebabkan sakit yang parah
ketika terpapar di mata. Mereka dapat dengan cepat membakar permukaan
mata dan menyebabkan bekas luka bahkan kebutaan. Mata akan terlihat
merah dan berair. Pasien yang terkena racun mungkin tidak ingin membuka
matanya dan cahaya akan menyebabkan rasa sakit di mata (WHO, 1997).
3. Usus
Bahan kimia beracun dapat membahayan mulut dan tenggorokan atau
usus. Pasien mungkin merasakan sakit perut, muntah dan diare serta muntah
dan fesesnya mungkin mengandung darah. Jika tenggorokan terbakar maka
dengan cepat membengkak dan menyebakan pasien sulit bernafas
(WHO,1997)
4. Saluran Udara dan Paru-paru
Beberapa gas dan uap dapat mengiritasi hidung, tenggorokan dan saluran
udara bagian atas dan menyebabkan batuk dan terjadi dengan cepat ketika
pasien menghirup zat racun atau ketika setelah 48 jam. Cairan dalam paru-
paru menyebabkan pasien tidak dapat bernafas dengan benar dan harus
segera dibawa ke rumah sakit karena memiliki udema. Beberapa gas beracun
seperti karbon monoksida tidak memiliki efek pada hidung dan tenggorokan.
Gas beracun yang tidak menyebabkan batuk dan tersedak sangat berbahaya
karena pasien tidak tahu ketika sudah menghirup zat tersebut. Ketika saluran
udara pasien tidak menutup, makanan, minuman atau muntah dapat masuk ke
paru-paru dan menghalangi saluran udara atau menyebabkan edema paru.
Itulah mengapa sangat berbahaya untuk memberikan makanan, minuman
atau obat-obatan untuk pasien yang sadar (WHO, 1997).
5. Lokasi Injeksi
Racun yang mengiritasi yang disuntikkan ke dalam kulit, seperti racun
dari sengatan serangga dan gigitan ular, dapat menyebabkan rasa sakit dan
bengkak di tempat mereka disuntikkan. Pasien-pasien yang sengaja
menyuntikkan diri dengan produk hewan mungkin mendapatkan efek lokal
(WHO, 1997)
b. Sistemik
Ada banyak cara di mana racun dapat menyebabkan kerusakan:
1. Dengan merusak organ-organ seperti otak, saraf, jantung, hati, paru-paru,
ginjal atau kulit. Kebanyakan racun memiliki efek lebih besar pada satu
atau dua organ dari pada bagian lain tubuh. Organ yang paling terpengaruh
disebut organ sasaran.
2. Dengan memblokir pesan antara saraf.
3. Dengan menghentikan tubuh bekerja dengan baik misalnya, dengan
memblokir pasokan energi atau suplai oksigen. Efek sistemik hanya terjadi
ketika jumlah racun dalam tubuh lebih besar dari jumlah yang dapat tubuh
tangani. Biasanya bila kontak dengan racun berlangsung hanya dalam
waktu singkat (akut), efek terjadi segera setelah terpapar dan tidak
berlangsung lama. Namundalam beberapa kasus, efek racun yang tidak
terlihat selama beberapa jam atau bahkan hari setelah akut. Ketika paparan
racun berlangsung untuk waktu yang lama (kronis), efek dapat berlangsung
untuk waktu yang lama (WHO, 1997).
2.5 Perlu Dilakukan Pemeriksaan Keracunan
Bila dibandingkan dengan kelainan atau penyaakit yang ditimbilkan oleh bakteri,
kuman, virus, ataupun trauma, maka keracunan kasusnya relative sedikit, sehingga tidak
jarang terjadi kekeliruan dalam penanganan pasien, untuk itu perlu diketahui pada
keadaan apa saja pemeriksaan toksikologi diperlukan.
 Pada kasus kematian mendadak
 Pada kematian mendadak yang terjadi pada sekelompok orang
 Pada kematian yang dikaitkan dengan tindakan abortus
 Pada kasus perkosaan atau kejahatan seksual lainnya
 Pada kecelakaan transportasi khusunya pada pengemudi dan pilot
 Pada kasus penganiyaan atau pembunuhan (selektif)
 Pada kasus yang memang diketahui atau patut diduga menelan racun
 Pada kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan lain sebagainya.

2.6 Cara Pemeriksaan Korban Keracunan


1. Pemeriksaan di tempat kejadian
Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian dan
menentukan cara kematian. Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang
saat kematian. Mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
a) Pakaian, catat warna bercak, bau, serta distribusinya :
 Pada pembunuhan : bercak tidak beraturan (disiram)
 Pada bunuh diri : bercak beraturan, pada bagian tangan dari atas ke bawah
 Pada kecelakaan : tidak khas
b) Lebam mayat, perhatikan warna dari lebam mayat
 Merah terang : keracunan sianida atau terkena benda yang bersuhu rendah (Es)
 “Cherry-red” : keracunan karbon monoksida
 Coklat kebiruan (“slaty”) keracunan aniline, nitrobenzene, kina,
potasiumklorad, dan asetanilid.
c) Bercak dan warna disekitar mulut, serta distribusi, yaitu dengan cara menekan
dinding dada, dan dekatkan hidung pemeriksa pada mulut atau hidung korban
untuk mengetahui bau yang keluar.
 Sianida : berbau seperti amandel
 Alkohol, insektisida, eter danasam karbol : bau khas dan mudah dikenali
d) Kelainan lain
 Bekas suntikan (needle mark : di daerah lipat siku, punggung tangan, lengan
atas, penis dan sekitar putting susu : keracunan narkotika)
 “Skin blisters” : keracunan narkotika, barbiturate dan karbon monoksida
 Kulit menjadi kuning : keracunan fosfor, tembaga dan keracunan “klorinate
hidro-karbon insektisida”.
3. Pemeriksaan Dalam
a) Pembukaan rongga tengkorak
Perhatikan bau yang keluar, warna jaringan otak (cherry red pada keracunan
CO : menjadi lebih cokelat pada keracunan zat yang menyebabkan terjadinya met-
Hb).
b) Pembukaan rongga dada
Perhatikan warna dan bau yang keluar, pada keracunan zat yang
mengakibatkan terjadinya hemolisis seperti : bisa ular, pirogalol, hidrikuinon atau
arsin, darah dan organ menjadi cokelat kemerahan dan gelap, pada keracunan zat
yang mengganggu trombosit, akan tampak adanya pendarahan pada otot-otot.
c) Pembukaan rongga perut
Bila racunnya ditelan, maka kelainan terutama terdapat pada lambung : selain
tentunya juga harus diperhatikan bau yang keluar serta perubahan warna dari
jaringan tubuh. Adapun kelainan pada lambung tersebut adalah :
- Hiperemi, ada keracunan zat korodif hal ini sering dijumpai terutama pada
daerah kurvatura mayor : pada keracunan tembaga, selain hiperemik juga
didapatkan pewarnaan biru atau kehijauan, sedangkan pada asam sulfat akan
berwarna kehitaman.
- Perlunakan, sering didapatkan pada keracunan zat korosif alkalis : kelainan ini
terdapat pada curfatura/mayor dan perlu dibedakan dengan perlunakan yang
terjadi sebagai akibat proses pembusukan.
- Ulserasi, terutama keracunan zat korosif, tetapi ulkus tampak rapuh, tipi dan
dikelilingi tanda peradangan.
- Perforasi, biasanya hanya terjadi pada keracunan asam sulfat pekat : perlu
dibed-akan dengan proses pembusukan.
d) Kelainan pada lambung yang disebabkan oleh zat korosif anorganik, dapat
dibedakan dengan korosif organik, seperti : golongan fenol dan formaldehid.
1. Korosif anorganik yang bersifat asam, seperti asam sulfat, asam klorida, dan
asam nitrat :
- Mukosa lambung mengkerut, berwarna cokelat atau hitam
- Mukosa memberi kesan kering dan hangus terbakar
2. Korosif anorganik yang bersifat basa, seperti natrium hidroksida, kalium
hidroksida dan garam karbonat serta amoniak :
- Mukosa lambung lunak, sembab dan basa
- Mukosa berwarna merah dan cokelat
- Pada perabaan memberi kesan seakan meraba sabun, oleh karena terjadi
proses penyabunan
3. Korosif golongan fenol, seperti asam karbon, lisol, dan kresol :
- Tampak “pseudomembran”, yang berwarna abu-abu kebiruan atau abu-abu
kekuningan, sebagai akibat terjadinya penetrasi dan koagulasi protein sel dan
penetrasi kelapisan yang lebih dalam sehingga terjadi nekrosis
- “Pseudomembran”, terbentuk dari jaringan-jaringan yang nekrotik
4. Korosif formaldehid, mangakibtakan mukosa membrane menjadi mengkrut,
mengeras dan berwarna kelabu :
- Pada keracunan zat yang berbentuk gas, akan ditemukan perubahan pada
saluran pernapasan, yaitu : sembak, hiperemik, tanda-tanda iritasi serta
kongesti
- Pada keracunan zat yang bekerja pada susunan saraf pusat, akan didapatkan
tanda-tanda asfiksia dan disertai dengan cirri khusus dari racunnya sendiri
yaitu striknin : tubuh korban melengkung, opistotonus, emperostotonus atau
pleurastotonus.
- Pada keracunan beberapa jenis zat, dapat terjadi perubahan warna dari urin,
yaitu :
a. Keracunan asam pikrat pekat : urin berwarna merah-kuning kecokelatan
b. Keracunan sulfat kronik dan barbital : urin korban berwarna merah anggur
c. Keracunan fenol atau salisilat : urin berwarna hijau kecokelatan atau hijau
gelap
d. Keracunan yang mengakibatkan terbentuknya met-Hb : urin berwarna
merah cokelat atau cokelat kehitaman.

2.7 Pengambilan Sampel pada korban pemeriksaan


Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik.
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu
autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil
bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik atas jaringan yang
sudah busuk atau sudah diawetkan.
Secara umum sampel yang harus diambil adalah :
1. Lambung dengan isinya.
2. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekrat dengan ikatan pada usus
setiap jarak sekitar 60 sentimeter.
3. Darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer
(v.jugularis ; a.femoralis dan sebagainya : masing-masing 50 mL, dan dibagi dua,
yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%), yang lain tidak diberi bahan
pengawet.
 Pengambilan darah dari jantung:
a. Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah
kanan dan sebelah kiri masing-masing sebanyak 50 ml.
b. Darah tepi sebanyak 30-50 ml, diambil dari vena iliaka komunis bukan
darah dari vena porta.
c. Pada korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting,
diambil 2 contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama diberi
pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
4. Hati, Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya
beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk
menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati merupakan tempat
detoksikasi tubuh terpenting. sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan,
hati yang diambil sebanyak 500 gram.
5. Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi logam,
pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara histologik
ditemukan Caoksalat dan sulfo-namide
6. Otak, diambil 500 gram, khusus untuk keracunan kloroform dan keracunan
sianida.
7. Urin diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun akan
diekskresikan melalui urin, khususnya untuk tes penyaring pada keracunan
narkotika, alkohol dan stimulan.
 Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung kemih
untuk pemeriksaannya.
 Pada mayat diambil lambung beserta isinya.
 Usus beserta isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu
beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian
dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh lambung.
8. Empedu, sama halnya dengan urin, diambil oleh karena tempat sekresi berbagai
racun, terutama narkotika.
9. Pada kasus khusus dapat diambil :
 Jaringan sekitar suntikan, dalam radius 5-10 sentimeter
 Jaringan otot, yaitu dari tempat terhindar dari kontaminasi, misalnya m.psoas,
sebanyak 200 gram
 Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut.
 Rambut yang dicabut, sebanyak 10 gram
 Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku
kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku digunting dan dikirim tanpa
diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal
 Cairan otak (likuor serebro spinalis), sebanyak-banyaknya. Pemeriksaan otak
biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada kasus kematian yang cepat,
misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan juga pada keracunan kronik
arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil dalam otak dapat ditemukan pada
keracunan karbonmonoksida, barbiturat, nitrogen oksida, dan logam berat
seperti air raksa air raksa, arsen dan tmah hitam. Obat-obat yang bekerja pada
otak tidak selalu terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.

2.8 Bahan Pengawet


Jumlah bahan pengawet untuk sampel padat, minimal 2x volume sampel tersebut ;
bahan pengawet yang dianjurkan :
1. Alkohol absolut
2. Larutan garam jenuh (untuk Indonesia paling ideal)
3. Natrium fluorida 1%
4. Natrium fluorida + Natrium sitrat (75 mg + 50 mg, untuk setian 10 mL sampel)
5. Natrium benzoat dan fenil merkruri nitrat
Alkohol dan larutan garam jenuh untuk sampel padat atau organ, sedangkan NaF 1%
dan campuran NaF dengan Na sitrat untuk sampel cair ; sedangkan natrium benzoat dan
fenil merkuri, merkuri nitrat khusus untuk pengawet urin.

2.9 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Seputar Sampel Kasus Keracunan


1. Setiap sampel ditaruh dalam satu kemasan yang terpisah
2. Penyegelan dilakukan oleh penyidik, dokter sebagai saksi
3. Permintaan pemeriksaan dibuat penyidik, dokter menyertakan laporan singkat serta
racun yang diduga sebagai penyebab kematian
4. Setiap pengirimian harus disertai dengan pengiriman contoh bahan pengawet yaitu
untuk control
5. Dokter bertugas untuk menambilkan sampel dan memasukkannya pada masing-
masing kemasan
6. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan toksikologi harus dilakukan sebelum tubuh
korban diawetkan (embalming), oleh karena dengan embalming, banyak racun yang
akan rusak dan deteksinya menjadi tidak memungkinkan. Dalam hal dimana korban
masik hidup maka alcohol tidak diperkenankan sebagai desinfektan, sewaktu dokter
mengambil darah korban, sebagai penggantinya dapat dipergunakan : sublimat 1 :
1000 atau merkuri-klorida 1%.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keracunan adalah suatu kejadian apabila substansi yang berasal dari alam ataupun
buatan yang pada dosis tertentu dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan hidup
yang bisa menyebabkan cedera atau kematian. Racun dapat memasuki jaringan hidup
melalui beberapa cara yaitu termakan, terhirup, disuntikkan, dan terserap melalui kulit
Seseorang dapat mengalami keracunan dengan cara, tertelan melalui mulut,
misalnya keracunan makanan, minuman dan obat-obatan,terhisap melalui hidung,
misalnya keracunan gas CO, terserap melalui kulit/mata, misalnya keracunan zat
kimia,melalui suntikan atau gigitan, misalnya gigitan/sengatan binatang berbisa (ular,
kalajengking), dan obat suntik.
Untuk pemeriksaan korban keracunan, dapat dilakukan dengan cara yaitu,
pemeriksaan di TKP, pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada korban.
CONTOH KASUS KERACUNAN
Contoh Kasus I
Kasus ini bermula dari pertemuan antara Jessica, Mirna, dan Hanie Boon
Juwita di Kafe Olivier Grand Indonesia pada 6 Januari 2016. Jessica memesan tempat
dilayani resepsionis bernama Cindy yang menawarkan meja nomor 54. Jessica
kemudian meninggalkan lokasi dan kembali lagi membawa tas kertas lalu memesan
es kopi Vietnam dan dua koktil. Jessica membayar seluruh pesanan dan minuman
diantarkan oleh penyaji ke meja nomor 54. Beberapa saat kemudian Mirna dan Hani
datang secara bersamaan, setelah saling menyapa ketiga wanita itu duduk.
Mirna meminum es kopi Vietnam yang sudah tersedia di meja setelah
bertanya kepada Jessica siapa pemilik minuman itu. Mirna sempat mengatakan bahwa
rasa es kopi Vietnam itu begitu tidak enak sambil mengibaskan tangan di depan
mulutnya. Beberapa saat kemudian tubuh Mirna kejang, tidak sadarkan diri, kemudian
mengeluarkan buih dari mulutnya.
Mirna dibawa ke sebuah klinik di Grand Indonesia menggunakan kursi roda.
Kemudian, suami Mirna, Arief Soemarko, datang untuk membawanya ke Rumah
Sakit Abdi Waluyo menggunakan mobil pribadi. Jessica dan Hanie menemani Arief
memboyong Mirna ke rumah sakit itu. Sayang, nyawa Mirna tak tertolong dan
dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Abdi Waluyo. Setelah keluarga datang,
dan ayah Mirna Edi Dharmawan Salihin bergegas melaporkan kematian anaknya ke
Polsek Metro Tanah Abang karena dinilai tewas tidak wajar.
Setelah melapor, Dharmawan Salihin tidak langsung mengizinkan polisi
mengautopsi jenazah Mirna. Tiga hari setelah kematian, Direktur Reserse Kriminal
Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Krishna Murti, berbicara dengan
Dharmawan Salihin agar mengizinkan anaknya diautopsi. Namun, ternyata Mirna
tidak diautopsi, melainkan hanya diambil sampel dari bagian tubuhnya saja untuk
diteliti.
Pada 10 Januari 2016, jenazah Mirna dikebumikan di Gunung Gadung, Bogor,
kemudian hasil pemeriksaan sampel menemukan zat racun di dalam tubuh Mirna
yang membuat lambungnya korosif sehingga tewas dalam hitungan menit setelah
menelan es kopi itu.
1. Pemeriksaan Forensik
Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat
tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat tercium
dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung.
Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat
teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat bahwa
tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk mencium
bau khas tersebut bersifat genatik sex-linked trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb.
Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas pada
waktu membuka rongga dada, perutdan otak serta lambung(bila racun melalui
mulut) darah, otot dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya
hanya ditemukan tandatanda asfiksia pada organ tubuh.
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi
dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau
posmortal.

Contok Kasus II

Seorang pria bernawa Rodney tood telah absen kerja selama seminggu, semua
rekan kerjanya khawatir. Salah satu rekan kerja Rodney bernama putri mengunjungi
rumah Rodney, setibanya disana Putri mengetuk pintu rumah Rodney tapi tak ada
seorang pun yang merespon, karna panik Putri pun menelpon polisi, setibanya polisi
di rumah Rodney, polisi menemukan Rodney tewas bersama ke tujuh orang anaknya
didalam sebuah kamar dengan mesin generator pemanas ruangan yang masih
menyala, mereka ditemukan tewas akibat menghirup gas karbon monoksida yang
berasal dari mesin generator. Gas berbau monoksida mengikat karbon dengan sel
hemoglobin darah merah terkemuka, dan mengakibatkan keracunan kekurangan
oksigen, dan menyebabkan gejala sakit kepala, muntah, nyeri dada dan sesak napas.
Karbon monoksida dapat menyebabkan keracunan sistem saraf dan jantung.
Mekanisme kerja CO dalam tubuh yaitu CO bereaksi dengan Fe dari porfirin
dan karena itu CO bersaing dengan O2 dalam mengikat protein heme yaitu
hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase dan sitokrom peroksidase & katalase.
Yang terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom oksidase, dengan di
ikatnya Hb menjadi CO-Hb mengakibatkan Hb menjadi INaktif sehingga darah
berkurang kemampuan nya untuk mengangkut O2, selain itu adanya CO-Hb dalam
darah akan menghambat disosiasi Oxi-Hb, dengan demikian jaringan akan
mengalami hipoksia.
Reaksi sitokrom oksidase yang merupakan link yang penting dalam sistem
enzim pernafasan sel yang terdapat dalam mitokondria akan menghambat pernafasan
sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan, sehingga dapat menyebabkan kematian.
1. Pemeriksaan Forensik
Pada korban mati yang tidak lama setelah keracunan CO ditemukan lebam
mayat berwarna merah muda yang terang (cheryy pink colours). Tampak jelas
bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih.
Warna lebam mayat seperti ini juga ditemukan pada mayat yg di dingin kaN,
pada korban keracunan sianida, dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh
jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehinggga dalam darahnya terbentuk
nitroksi-hemoglobin (nitric-oxide Hb), meskipun demikian masih dapat
dibedakan dengan pemerikasaan sederhana.
Pada mayat yg di dingin kan dan pada keracunan CN , penampang ototnya
berwarna bisasa tidak merah terang, juga pada mayat yg didinginkan warna
merah terang tidak merata, selalu masih ditemukan daerah yg berwarna ungu tua
(livid).
Pada analisis toksikologi darah akan ditemukan ada nya COHb, sedangkan
pada mayat yg tertunda kematian nya sampai 72 jam maka seluruh CO telah di
ekskresi dan darah tidak lagi mengandung COHb, sehingga ditemukan lebam
mayat berwarna livid seperti biasa, ditemukan juga jaringan otot, visera dan
darah. Otak: Pada substansi alba dan korteks kedua belah otak globus palidus
ditemukan ptekiae (untuk setiap kasus hipoksemia otak yang cukup lama)
Miocard: Ditemukan perdarahan pada otot ventikel terutama di subperkardial dan
endokardial. Kulit: eritema, vesikel / bula (pada bagian dada,perut muka dan
anggota gerak badan yg lain)Paru: mudah terjadi Pneumonia hipostatik paru
karena gangguan peredaran darah,dan juga dapat terjadi trombosis a.pulmonalis.
Ginjal: Terjadi nekrosis tubuli (secara mikroskopik seperti payah ginjal)
Darah: Trombus
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Dilusi Alkali: berfungsi untuk menentukan CO-Hb secara kualitatif
> Ambil 2 tabung reaksi
> Masukkan ke tabung pertama 1-2 tetes darah korban
> Masukkan ke tabung ke dua 1-2 tetes darah normal (sebagai kontrol)
> Encerkan masing masing dengan menambahkan 10ml air sehingga
warna merah pada ke dua tabung sama.
> Tambahkan pada setiap tabung 5 tetes larutan NaOH 10-20% (kocok)
Hasil: Darah normal akan berubah warna menjadi merah hijau kecoklatan
karena terbentuk hematin alkali, sedangkan darah yang mengandung CO
tidak berubah warna nya.
Cat: Darah kontrol haruslah darah dengan Hb normal.

b) Uji Formalin: Darah yang akan diperiksa ditambahkan formalin 40% sama
banyaknya, bila darah mengandung CO 25% saturasi maka akan terbentuk
koagulat berwarna merah yang mengendap pada dasar tabung reaksi . Semakin
tinggi kadar COHb semakin merah warna koagulatnya. Sedangkan pada darah
normal akan terbentuk koagulat berwarna coklat. Metode Gettler-Freimuth
(semi-kwantitatif):
Darah + kalsium ferisianida ---> CO dibebaskan dari COhb
CO + PdCl2 +H2O ---> Pd + CO2 + HCl
Paldium (Pd) ion akan di endapkan pada kertas saring berupa endapan
hitam, dengan membandingkan intensitas warna hitam tersebut dengan warna
hitam yg di peroleh dari pemeriksaan terhadap darah dengan kadar COHb
yang diketahui, maka akan ditentukan konsentrasi COHb secara semi
kuantitatif.
3. Tanda-tanda Keracunan CO
Gejala keracunan CO dalam darah, berikut penilaian nya dalam persentase
saturasi COHb:
 10% : Tidak ada gejala.
 10-20% : Rasa berat pada kening, sakit kepala ringan, Pelebaran
pembuluh darah subkutan, Dispnu,mulai ganggan koordinasi.
 20-30% : Sakit kepala, berdenyut dalam pelipis, emosional.
 30-40% : Sakit kepala keras, lemah, pusing, penglihatan buram, mual,
muntah, kolaps.
 40-50% : Sama seperti diatas, kemungkinan besar Kollaps dan nadi
bertambah cepat.
 50-60% : Sinkop, koma ,kejang pernafasan cheyne stokes.
 60-70% : Koma dengan kejang, depresi jantung dan pernafasan, mungkin
mati.
 79-80% : Nadi melemah,nafas melambat, dan kematian.
4. Farmakokinetik
 CO hanya diserap oleh paru-paru dan sebagian besar diikat oleh Hemoglobin
secara reversibel, setelah itu membentuk karboksi hemoglobin. Selebihnya
mengikat diri dengan mioglobin dan beberapa protein heme ektraseluler lain.
 Afinitas CO terhadap Hb adalah 208-245x dari afinitas O2.
 CO bukan merupakan racun yang kumulatif, ikatan CO dengan Hb tidak tetap
(reversibel) dan setelah CO dilepaskan oleh Hb,sel darah merah tidak akan
mengalami kerusakan.
 Arbsorpsi dan eksresi CO dipengaruhi oleh kadar CO tsbt dalam udara
lingkungan (ambient air), lama paparan dan ventilasi paru korban
DAFTAR PUSTAKA

Darma, Mohan.S, dkk. 2008. Investigasi kematian dengan toksikologi forensik. Pekanbaru

Fitriani, Alvionita Nur. 2015. Forensik Toxikology : Lampung

Idries, Abdul Mun’in. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.

http://moduldanskill.blogspot.co.id/2011/06/toksikologi-forensik.html

http://andesvacorp-jumbox.blogspot.co.id/2011/10/pengambilan-dan-penanganan-
sampel.html

Anda mungkin juga menyukai