Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

BLADDER TRAINING

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Dasar Profesi (KDP)
Program Profesi Ners XXXV Unpad

Disusun Oleh:
2201121700534

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXV


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018

PENDAHULUAN
Inkontinensia urin (UI) merupakan salah satu prioritas masalah kesehatan yang diakui oleh
WHO. Inkontinensia urin (UI) didefinisikan oleh masyarakat kontinu internasional sebagai
"kondisi di mana kehilangan urin secara tidak sengaja dibuktikan secara obyektif dan
merupakan masalah sosial dan kebersihan. Ini adalah kondisi medis yang umum dan
menyedihkan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (QOL) (Agarwal BK et al, 2017).
Kebocoran urin bisa melalui uretra atau ekstra uretra. Inkontinensia uretra adalah
adanya inkontinensia urin atau inkontinensia urgensi. Terkadang dicampur. Kebocoran urin
dari situs selain uretra biasanya karena fistula kencing kongenital atau didapat. Kebocoran
urin yang terjadi per uretra pada peningkatan tekanan intra-abdomen seperti tertawa, batuk
atau bersin dikenal sebagai stres inkontinensia urin. Jenis inkontinensia yang mendominasi di
antara wanita ini mencakup 65% dari semua jenis UI pada wanita. Ini tertinggi pada
kelompok usia muda dan setengah baya. Ada penurunan relatif seiring bertambahnya usia.
Urgensi inkontinensia urin (UUI) didefinisikan sebagai kebocoran urine tak disengaja yang
terkait dengan keinginan mendadak untuk buang air kecil dan gagal mencapai toilet pada
waktunya. Ini adalah salah satu komponen dari kantung kemih terlalu aktif (OAB) yang
meliputi gejala seperti urgensi, nokturia dan frekuensi. Sekitar sepertiga pasien didiagnosis
memiliki UUI.Ada peningkatan relatif seiring bertambahnya usia. Dan adapun faktor risiko
potensial untuk UI termasuk bertambahnya usia, meningkatnya paritas, persalinan per
vaginam, obesitas, operasi pelvis, diabetes mellitus, depresi, konstipasi, masalah pernafasan
kronis. Masalah ini menyebabkan banyak wanita menyesuaikan gaya hidup mereka sehingga
terhindar dari masalah sosial dan seksual. Kebocoran urin bisa menimbulkan kondisi
komorbid seperti ruam kulit akibat kulit basah. Beban keuangan adalah salah satu
konsekuensi dari kondisi ini (Currie CJ et al, 2006).
Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya inkontinensia urin terlebih
pada pasien-pasien post-operasi dan mendapatkan pemasangan kateter untuk melihat
pemenuhan kebutuhan cairan selama proses rawat inap. Salah satu hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah inkontinensia urin pada pasien adalah dengan melakukan Bladder Training
(Latihan Kandung Kemih). Berdasarkan pada Australian Government Initiative (2017),
bladder training bertujuan untuk memperbaiki gejala kandung kemih yang terlalu aktif
dengan cara menahan lebih banyak urin di kandung kemih tanpa merasa terdesak. Program
latihan kandung kemih dapat dilakukan selama paling tidak 3 hari dengan cara mencatat
waktu BAK (Buang Air Kecil), banyaknya urin yang dikeluarkan, serta berapa kuat desakan
yang dirasakan untuk kencing. Terdapat 3 macam metode bladder training, yaitu kegel
exercise, delay urination, dan scheduled bathroom trips. Kegel exercise adalah latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul, delay urination adalah menunda
berkemih sedangkan scheduled bathroom trips yaitu menjadwalkan berkemih (Surharyanto
dan Madjid, 2009).
Banyaknya urin yang dikeluarkan dapat diukur menggunakan gelas takar pada setiap
kali kencing. Sedangkan desakan saat ingin berkemih dapat diukur dengan skala sebagai
berikut:

(Sumber: Australian Government Initiative, 2017)


Latihan kandung kemih dapat dilakukan dengan pendampingan dokter urologi,
perawat penasihat kontinensia, atau ahli fisioterapi kontinensia. Kebanyakan pasien
melakukan program latihan kandung kemih dalam waktu 3 bulan. Hal-hal yang dipelajari
dalam kegiatan bladder training adalah latihan dasar otot panggul, kebiasaan kandunng
kemih yang baik, serta kebiasaan usus yang baik.

PEMBAHASAAN
Dalam praktik klinis yang sering ditemukan saat ini dengan adanya penggunan kateter
urin. Terdapat 15-25% pasien rawat inap diberikan kateter urin dan kebanyakan dalam jangka
waktu yang singkat. Dalam pemasangan kateter jangka waktu yang lebih panjang dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya Catheter Assosiated Urinary Tract Infections
(CAUTIs). Peningkatan risiko infeksi dapat berpengaruh pada peningkatan biaya perawatan,
peningkatan lama rawat pasien, dan juga berpotensi membahayakan hidup pasien. Kesulitan
dalam proses pelepasan kateter, terutama pada pasien lanjut usia dengan fungsi kontraksi
kandung kemih merupakan fokus yang lainnya. Latihan dengan menggunakan klem sebelum
pelepasan kateter direkomendasikan pertama kali oleh Ross pada tahin 1936. Proses klem
bertujuan untuk menguatkan otot kandung kemih, mengubah irama otot dan sensasi kandung
kemih, serta menstimulasi pengisian serta pengosongan kandung kemih secara normal.
Penelitian yang dilakukan oleh (Charles H. Hubsche et al, 2018) menunjukkan bahwa
penelitian ini bertujuan untuk pelatihan locomotor (LT) sebagai intervensi terapeutik setelah
cedera tulang belakang (SCI) yaitu dengan strategi rehabilitasi yang efektif untuk
memperbaiki hasil motorik, namun pengaruhnya terhadap non-lokomotor. Fungsi dari LT
agar dapat memperbaiki kandung kemih, usus dan fungsi seksual pada manusia di titik waktu
SCI kronik. Data diperoleh melalui delapan database dengan kata kunci yang telah
ditetapkan. Penelitian ini yang sesuai dengan kriteria inklusi yang terpilih untuk dikaji lebih
lanjut. Kriteria inklusi yang di maksud, yaitu:
- Kondisi medis yang stabil tanpa penyakit kardiopulmoner
- Tidak disfungsi pada muskuloskeletal, patah tulang yang tidak sembuh,
kontraktur, tekanan sakit atau saluran kemih infeksi yang menggangu sehingga
perlu nya bledder training
- Tidak ada gangguan kejiwaan atau pengguna narkoba
- Indikasi yang jelas bahwa periode syok spinalis ditentukan oleh adanya tonus
otot, refleks tendon dalam atau kejang otot.
- Kandung kemih dan disfungsi seksual
Penelitian Fanfani F, et.al (2014) dengan judul Early postoperative bladder traning in
patients submitted to radical hysterectomy: is it still necessary? A randomized trial bertujuan
untuk mengevaluasi model bladder training selama perawatan postoperasi di Rumah Sakit
pada pasien dengan keterbatasan saraf di area radikal histerektomi serta mengidentifikasi
adanya faktor klinis atau pembedahan yang berhubungan dengan disfungsi kandung kemih
pascaoperasi. Penelitian dilakukan pada sebuah grup yang diambil secara acak di sebuah
institusi yang memiliki pasien keganasan ginekologi. Penelitian dilakukan di Catholic
University of Sacred Heart Rome antara April 2009 sampai November 2011. Responden
dalam penelitian ini menjalani radikal histerektomi Querleu-Morrow tipe B2 atau C1. Dalam
2 hari pascaoperasi, secara acak pasien ditunjukkan atau tidak terkait latihan kandung kemih.
Tujuan utamanya adalah melihat pentingnya serta durasi proses pembersihan kateter secara
mandiri.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis ini yang terkait bladder training, dapat disimpulkan bahwa
menunjukkan bahwa tingkat informasi sensoris yang tepat diberikan pada tulang belakang
kabel, yang dihasilkan melalui pengulangan tugas dan / atau pemuatan tugas, dapat memberi
manfaat positif sirkuit saraf yang mengendalikan fungsi urogenital dan usus. Sehingga
bladder training menjadi kurang efektif karena saraf serta otot pada pasien masih dapat
berfungsi dengan normal. Sehingga bladder training tidak terlalu signifikan memberikan
dampak pada kemamuan pasien meretensi urin.

DAFTAR PUSTAKA
Brijesh Kumar Agarwal, Namira Agarwal. 2017. Urinary incontinence: prevalence, risk
factors, impact on quality of life and treatment seeking behaviour among middle aged
women. International Surgery Journal

Currie CJ, McEwan P, Poole CD, Odeyemi IA, Datta SN, Morgan CI. The impact of the
overactive bladder on health-related utility and quality of life. BJU Int.
2006;97:1267-72.

Australian Government Initiative. 2017. Overactive Bladder and Urgency. (Diakses melalui
https://www.continence.org.au/data/files/CALD/English/17_Bladder_Training_-
_English.pdf pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 05.03 WIB)
Suharyanto dan Madjid (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media

Fanfani F, Constantini B, Mascilini F, Vizzielli G, Gallota V, Vigliotta M, et.al. 2014. Early


postoperative bladder traning in patients submitted to radical hysterectomy: is it still
necessary? A randomized trial. Arch Gynecol Obstet 291:883-8 (DOI:
http://dx.doi.org/10.1007.s00404-014-3500-5)
Charles H. Hubscher, April N. Herrity, Carolyn S. Williams, Lynnette R. Montogomery,
Andrea M. Willhite, Claudia A. Angelia, Susan J. Harkema. 2018. Improvements in
bladder, bowel and sexual outcomes following task-specific locomotor training in
human spinal cord injury. PloS ONE 13(1).

Anda mungkin juga menyukai