Anda di halaman 1dari 13

TUGAS Modul PGD

Fitriyana

HYPOXIC ISCHEMIC ENCEPHALOPHATY

Definisi
Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindrom yang ditandai dengan adanya
kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang
disebabkan karena asfiksia.1 Definisi HIE menurut The Neonatology Clinical Care Unit (NCCU)
adalah berkurangnya suplai oksigen ke otak dan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga
menyebabkan supresi aktivitas listrik dan depresi kortikal.
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi oksigen dalam
darah arteri, sedangkan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ yang
menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut. Ensefalopati adalah istilah klinis
dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,0-1,5% bayi lahir hidup. Insiden semakin menurun
dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir. Insiden HIE di AS terjadi 2-9 per 1000 bayi
aterm yang lahir hidup. Angka kejadian di negara berkembang per 1000 kelahiran aterm lahir
hidup masing-masing di Negara Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265. Di RS Soetomo
Surabaya 12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita asfiksia.
Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) merupakan penyebab penting kerusakan
permanen sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan
berupa palsi serebral atau retardasi mental. Angka kejadian HIE di dunia berkisar 0,3-1,8%. Data
di Australia (1995), angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan
angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian kematian masa
neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar Score 1-3 pada menit pertama terjadi pada 2,8%
bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5 pada 0,3% bayi lahir hidup. Lima belas hingga 20%
bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai
kelainan neurodevelopmental permanent.
Etiologi
Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal yang menyebabkan
penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis dan kegagalan fungsi minimal 2 organ
(paru, jantung, hati, otak, ginjal dan hematologi) yang konsisten.

1
American Academy of Pediatrics (AAP) dan American College of Obstetricians and
Gynaecologist (ACOG), membuat definisi asfiksia perinatal sebagai berikut: (1) Adanya asidosis
metabolik atau mixed academia (Ph<7) pada darah umbilikal atau analisis gas darah arteri, (2)
Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit, (3) Manifestasi neurologis segera pada waktu
perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, HIE, dan (4) Adanya gangguan fungsi multiorgan
segera pada waktu perinatal.1,6 Sedangkan menurut WHO, asfiksia perinatal adalah kegagalan
bernafas saat lahir. Menurut The National Neonatal Perinatal Database (NNDP), dikatakan
asfiksia sedang bila bernafas lambat atau apgar score 4-6 pada 1 menit pertama dan asfiksia berat
bila bayi lahir tidak bernafas atau apgar score 0-3 pada 1 menit pertama. Asfiksia perinatal
merupakan penyebab utama kejang. Kejang biasanya terjadi pada 24 jam pertama pada sebagian
besar kasus dan berprogresi menjadi status epileptikus.
Berbagai macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu:
a. Gangguan oksigenasi pada ibu hamil
b. Penurunan aliran darah ibu ke plasenta atau dari plasenta ke fetus
c. Gangguan pertukaran gas yang melalui plasenta atau fetus.
d. Peningkatan kebutuhan fetal oksigen.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal, plasenta & tali
pusat dan fetus/neonatus:
- Kelainan maternal: hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug abuse, penyakit jantung,
paru dan susunan saraf pusat, hipotensi, infeksi, ruptur uteri, tetani uteri dan panggul
sempit.
- Kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio plasenta, prolaps atau
kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus, insufisiensi plasenta, plasentitis,
tali pusat yang sangat panjang.
- Kelainan fetus atau neonatus: anemia, perdarahan, hidrops, infeksi, pertumbuhan janin
terhambat (intrauterine growth retardation), serotinus.
- Faktor intrapartum: distosia, inersia uteri, induksi oksitosin, sectio caesaria (anestesi
umum, efek obat anestesi terhadap janin, berkurangnya aliran darah umbilikal), kala II
yang memanjang.

Patofisiologi
Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan dengan dewasa. Hal ini dibuktikan
bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus berusaha mempertahankan hidupnya dengan
mengalihkan darah (redistribusi) dari paru-paru, gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot
dan kulit, menuju ke otak, jantung dan adrenal (diving reflex). Pada fetal distress, peristaltik usus
meningkat, spinter ani terbuka, mekonium akan keluar bercampur dengan air ketuban, skuama,

2
lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-paru, sehingga tubuhnya berwarna hijau dan atau
kekuningan. Kombinasi antara hipoksia fetal yang kronis dengan cedera hipoksik iskemik akut
setelah lahir akan mengakibatkan kelainan neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya.
Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun, meningkatkan tekanan
darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak, meningkatkan tekanan vena sentral, dan
curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut dengan hipoksia yang berat dan asidosis, timbul detak
jantung yang menurun, dan menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi
dan menurunnya cadangan energi. Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob yaitu asam
laktat. Selama perfusinya jelek, maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Hipoksia akan
mengganggu metabolisme oksidatif serebral sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun.
Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Cadangan
glukosa menjadi berkurang, cadangan energi berkurang, timbunan asam laktat meningkat. Selama
hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun dan adanya
kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi fosforilasi dan
produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, maka ion pump terganggu sehingga timbul
penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+, glutamat dan aspartat ekstraseluler.
Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx Ca2+ ke dalam sel
dan ekspresi glutamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh hilangnya keseimbangan potensial
membran dan terbukanya saluran ion yang voltage-dependent (VDCC = Voltage Dependent
Calsium Channels). Metabolisme glukosa beralih ke proses yang anaerobik. ATP terkuras dan
terjadinya asidosis laktat. Glutamat memicu reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) dengan efek
membuka reseptor tersebut untuk Ca2+ masuk. Ion kalsium yang masuk di dalam neuron
mengaktifkan enzim-enzim seperti protease, lipase, endonuklease dan berakibat pada fosfolipid
sebagai konstituen sel membran. Terjadi mobilisasi asam arakhidonat yang diproses oleh
lipoksigenase dan siklo-oksigenase dalam sitosol menjadi leukotriens, prostaglandin dan
tromboksan. Proses ini disertai pelepasan radikal oksigen bebas yang berakibat terjadinya
peroksidasi membran sel yang kemudian pecah dan isi sel mengalir keluar. Neuron mengalami
kematian akibat nekrosis. Proses peroksidasi diperberat dengan terbentuknya nitric oxide (NO)
sebagai akibat enzim NO Syntase diaktifkan oleh kadar ion Ca2+ intraseluler yang meningkat
tajam. NO dengan radikal oksigen bebas membentuk leukosit polimorfonuklear dan timbulnya
intercellular adhesion molecules (ICAM), leukosit beragregasi di dinding kapiler dan efek
menyumbat ini berakibat no-reflow phenomena yang menyebabkan secondary ischemia. Proses
reperfusi yang terjadi spontan maupun karena upaya teurapetik membuat pembentukan radikal
oksigen bebas reactive oxygen species (ROS) meningkat karena pengaliran kembali darah ke
jaringan dimana taraf ekstraksi oksigen sudah meningkat tajam. Kedua hal ini menyebabkan
meningkatnya kerusakan jaringan yang dikenal sebagai reperfusion injury.

3
Gambar 1. Mekanisme Hipoksik Iskemik Ensefalopati

Manifestasi Klinis
Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ yaitu otak, jantung,
paru, ginjal, hepar, saluran cerna dan sumsum tulang. Didapatkan satu atau lebih organ yang
mengalami kelainan pada 82% kasus asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang
paling sering terkena (72%), ginjal 42%, jantung 29%, gastrointestinal 29%, paru-paru 26%.
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda-tanda HIE. Edema serebral dapat berkembang dalam 24 jam kemudian dan
menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat

4
memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar obat anti konvulsan. HIE
merupakan penyebab tersering kejang pada bayi baru lahir (60-65%), biasanya terjadi dalam 24
jam pertama dan sering dimulai 12 jam pertama. Dapat terjadi pada bayi cukup bulan maupun bayi
kurang bulan dengan asfiksia. Bentuk kejang bersifat subtle atau multifokal klinik serta fokal
klonik.13,14 Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE, kejang pada bayi juga dapat disebabkan
oleh hipokalsemia dan hipoglikemia.
Ensefalopati klinis puncaknya timbul pada hari ke 3-4 setelah lahir dan sekuele neurologis
yang timbul secara langsung berhubungan dengan keparahan ensefalopati. Ensefalopati atau kejang
tanpa adanya kelainan kongenital atau sindrom, biasanya berhubungan dengan kejadian prenatal
atau perinatal.
Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah:
a. Ginjal  Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Bisa timbul gagal ginjal akut dan acute
tubular necrosis.
b. Sistem kardiovaskuler  Hipotensi, nekrosis, iskemik miokardial, syok, disfungsi
ventrikel.
c. Paru  Edema paru, perdarahan paru, respiratory distress syndrome, meconeal aspiration
syndrome.
d. Sistem saluran cerna  Fungsional intestinal obstruction, ileus paralitik, ulkus, perforasi,
necrotizing enterocolitis.
e. Metabolik  Asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia.
f. Hepar  Gangguan fungsi hati, pembekuan darah, metabolism bilirubin, dan albumin.
g. Hematologi  Perdarahan, DIC (disseminated intravascular coagulation)
h. Kematian Otak  Berdasarkan kriteria AAP.

5
Tabel 1. Pembagian Gejala Klinis HIE pada Bayi Aterm (Kriteria Sarnat & Sarnat)

Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Tingkat kesadaran Iritabel Letargik Stupor, coma

Tonus otot Normal Hipotonus Flaksid

Postur Normal Fleksi Decerebrate

Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada


tendon/klonus
Tampak Tampak Tidak tampak
Myoclonus
Kuat Lemah Tidak ada
Refleks Moro
Midriasis Miosis Tidak beraturan,
Pupil refleks cahaya lemah

Tidak ada/jarang Sering terjadi Decerebrate


Kejang
Normal Voltage rendah yang Burst suppression to
EEG berubah dengan isoelektrik
kejang
<24 jam Beberapa hari hingga
Durasi 24 jam – 14 hari minggu

Baik Kematian, kecacatan


Hasil akhir bervariasi berat

Terdapat empat besar kelainan neuropatologi:


1. Selective neuronal necrosis
Biasanya terjadi sebagai tanda deep sulcal pattern
2. Status marmoratus
Setelah neuronal loss, terjadi perkembangan gliosis dan hipermielinisasi di basal ganglia.
3. Parasagital cerebral injury
Watershed infarcts berhubungan dengan iskemik di area overlapping supply, lateral dari
arteri serebral media dan medial dari arteri serebral anterior dan posterior.
4. Focal and multifocal ischaemic brain necrosis. Infark berhubungan dengan iskemik
dengan area nekrosis dan luas dalam distribusi pembuluh darah besar.
Diagnosis

6
Diagnosis HIE memerlukan bukti apa yang menyebabkan iskemik dan hipoksia pada saat sebelum,
selama dan setelah lahir. Data yang teliti tentang riwayat, pemeriksaan neurologis, laboratorium
penting untuk menentukan hipoksik iskemik sebagai penyebab ensefalopati. Semua aspek riwayat
maternal harus digali, mencakup kehamilan, persalinan, kelahiran dan masa postnatal. Analisis
patologi plasenta juga diperlukan tapi tidak sering dilakukan.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk menyingkirkan atau menegakkan
diagnosis HIE. Pemeriksaan penunjang dikerjakan untuk memonitor fungsi maupun kelainan organ
sistemik dan cedera otak.
a. Pemeriksaan antara lain darah lengkap, gula darah, urin, serum elektrolit, BUN dan serum
kreatinin, faal pembekuan darah, faal hati, analisis gas darah,
b. Foto thorak
c. Punksi lumbal dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya perdarahan intrakranial
atau untuk menyingkirkan adanya meningitis.
d. Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan prognosis
penderita.
e. Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan USG kepala sangat membantu pada bayi yang
prematur. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya <30 minggu, minimal 1 kali,
diulang pada umur 7-14 hari dan diperiksa kembali pada umur kronologisnya 36-40
minggu. Cara ini dapat mengidentifikasi perdarahan intraventrikular dan nekrosis basal
ganglia dan thalamus.
f. CT Scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami cedera hipoksik iskemik biasanya
dilakukan pemeriksan CT Scan kepala pada usia 2-5 hari, dimana pada waktu tersebut
timbul edema serebri yang maksimal. Proses perdarahan akut dan kalsifikasi intrakranial
akan lebih baik divisualisasi dengan pemeriksan CT Scan dibandingkan dengan
pemeriksaan MRI. Pada bayi prematur yang mengalami hipoksik iskemik injury,
pemeriksaan dengan CT Scan kepala kurang memberikan hasil yang memuaskan karena
pada bayi prematur struktur jaringan otaknya masih imatur dan lebih banyak mengandung
cairan.
g. Near-infra red spectroscopy (NIRS). Untuk memonitor oxyhemoglobin serebral dan
oksigenasi vena serebral.
h. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS). Berkurangnya rasio N-acetylaspartat (NAA)
terhadap kolin dan berkurangnya rasio laktat-NAA merupakan bukti terjadinya iskemik.

7
Meningkatnya rasio laktat-kolin di ganglia basal dan thalamus merupakan prediksi
outcome neurologi yang jelek. Meningkatnya inorganic phosphorus (31P). terjadi pada 24-
72 jam, normal dalam beberapa hari kemudian.

Penatalaksanaan
Bayi baru lahir dengan HIE juga mengalami gangguan sistem pernafasan, kardiovaskular, hepar,
fungsi ginjal, sehingga penanggulannya memerlukan pendekatan multisistem.
A. Upaya yang optimal adalah pencegahan. Tujuan utama yaitu mengidentifikasi dan
mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai risiko mengalami asfiksia sejak dalam
kandungan hingga persalinannya.
B. Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan atau hypoxic
ischemic encephalopathy. Tujuan resusitasi adalah untuk memperbaiki fungsi
pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas.
1. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2 dalam
kadar yang fisiologis. Hiperkarbia akan menyebabkan asidosis serebral dan
vasodilatasi pembuluh darah serebral.
2. Oksigenasi yang adekuat. Hipoksia akan menyebabkan pressure-passive
circulation dan neuronal injury.
3. Perfusi yang adekuat.
4. Koreksi asidosis metabolik. Tujuan utama untuk memelihara keseimbangan asam
basa dalam jaringan tetap normal.
5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dl untuk
menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak.
6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal. Hipokalsemia
adalah suatu kelainan elektrolit yang sering dijumpai pada sindrom post asfiksia
neonatal dengan gejala kejang. Diberikan Ca glukonas 10% 200 mg/kgBB
intravena atau 2 ml/kgBB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan
secara intravena dalam waktu 5 menit.
7. Mencegah timbulnya edema serebri. Tujuan utama untuk mecegah timbulnya
edema serebri dengan cara mencegah overload dari cairan. Restriksi cairan dengan
pemberian 60 ml/kgBB per hari.
8. Atasi kejang. Bila ada kejang maka Phenobarbital adalah obat pilihan.
Penanggulangan kejang dengan Phenobarbital terutama dengan dosis tinggi
memberikan beberapa keuntungan :
 Menurunkan kecepatan metabolisme otak
 Memperbaiki perfusi darah ke dalam jaringan yang terkena kerusakan

8
 Mencegah dan mengurangi edema otak
Dosis 20 mg/kg diberikan iv dalam 10-15 menit. Jika kejang hilang
diberikan dosis rumatan 3-4 mg/kgBB/hari dengan selisih waktu 12 jam kemudian
secara intravena/oral. Bila penderita masih kejang boleh diberikan Phenobarbital
dengan dosis 5 mg/kg setiap 5 menit sampai kejang berhenti atau sampai dosis 40
mg/kg sudah tercapai. Tetapi kenyataannya pada neonatus yang mengalami
asfiksia dan telah mendapatkan Phenobarbital 20 mg/kg akan menyebabkan
ngantuk dan sulit menganalisa neurologisnya. Oleh karena itu bila neonatus yang
mengalami asfiksia dan kejang yang telah diberikan Phenobarbital dengan dosis 20
mg/kg tidak memberikan respon, maka diberikan Fenitoin dengan dosis 20 mg/kg
intravena dalam waktu 30 menit atau 1 mg/kgBB/menit, dilanjutkan dengan dosis
rumatan 5-10 mg/kg/hari diberikan setiap 12 jam.

Gambar 2. Penatalaksanaan kejang pada neonatus

C. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat. Beberapa cara
yang bisa dilakukan:
1. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan
allupurinol, vitamin E.
2.
Hipotermi. Dengan cara selective head cooling atau mild systemic hypothermia
atau selective head cooling dan mild systemic hypothermia dapat mencegah
kerusakan otak. Shankaran dkk melaporkan adanya perbaikan hasil neurologis dan

9
berkurangnya kematian pada bayi baru lahir dengan asfiksia perinatal yang
diterapi dengan hipotermi. Terapi cooling pada neonatus dengan HIE sedang
sampai berat bersifat aman dan menurunkan kematian serta disabilitas pada umur
18-22 bulan.
Systemic cooling bisa dilakukan berupa cooling blanket atau cooling cap,
selama 3 hari dimulai tidak boleh lebih dari 6 jam setelah lahir. Ini efektif untuk
mengurangi morbiditas neurologis pada 2 tahun, efektif pada HIE stadium I dan II
tapi tidak bisa dipakai untuk HIE stasium III.
Terapi hipotermi dapat mencegah kerusakan otak dengan cara mengurangi
proses metabolisme dan energi yang hilang, mengurangi pelepasan glutamat,
mengurangi ion kalsium yang masuk ke dalam sel serta menghambat produksi
radikal bebas dan sintesis NO.
Terdapat bukti dari 3 publikasi dengan penelitian randomized clinical trial
bahwa hipotermi merupakan neuroprotektif pada bayi aterm dengan HIE, pada
usia kurang dari 6 jam. Tapi belum ada data apakah hipotermi jangka lama aman
dan memberi harapan hidup yang bagus.
3. Pemberian Phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg iv dalam waktu 1 jam.
4. Ca2+ channel blockers
5. Magnesium sulfat

D. Pengobatan suportif untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan. Pada


asfiksia perinatal pada umumnya terjadi kelainan dari berbagai organ. Pengobatan HIE
perinatal secara holistik menyeluruh dan utuh, karena kelainan satu organ akan
mempengaruhi organ lainnya.
Oleh karena asfiksia, terjadi vasokonstriksi pembuluh darah mesentrium sehingga
terjadi iskemia intestinal. Oleh karena adanya hubungan antara iskemia dan insiden
NEC, maka feeding harus segera diberikan paling lambat 2-3 hari (sesuai dengan
perbaikan mukosa usus).

Diagnosis Banding
Perlu dipikirkan penyakit atau keadaan lain yang manifestasi klinisnya berupa ensefalopati
neonatal, yaitu;
1. Pengaruh sedasi, pemberian anesthesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
2. Infeksi virus, sepsis atau meningitis
3. Kelainan kongenital susunan saraf pusat, jantung dan paru
4. Penyakit neuromuskular

10
5. Trauma persalinan
6. Kelainan metabolisme bawaan
7. Tumor Otak

Gambar 3. Berbagai Penyebab Kejang Pada Neonatus

Prognosis
Penderita yang mengalami HIE prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh total, cacat atau
meninggal dunia. Pada stadium ringan pada umumnya sembuh total dan pada stadium sedang 80%
normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya tetap ada lebih dari 5-7 hari. Insiden dan komplikasi
jangka panjang tergantung dari keparahan HIE. Sebanyak 80% bayi HIE yang hidup mendapat
komplikasi serius, 10-20% dengan disabilitas berat dan 10% sehat.5 Prognosis juga tergantung dari
adanya komplikasi metabolik dan kardiopulmonal (hipoksia, hipoglikemia, syok), keparahan
ensefalopati dan usia kehamilan (buruk jika prematur).
Berdasarkan NCCU Guidelines, prognosis HIE sebagai berikut:
a. Ringan (stadium 1) : Semua hidup normal
b. Sedang (stadium 2) : 5% meninggal, 20% dengan sekuele neurologi
c. Berat (stadium 3): 75% meninggal, 90-100% dengan sekuele neurologi.

Ada beberapa faktor atau keadaan yang dapat dipakai untuk menilai prognosis.
Prognosisnya jelek apabila:

11
1. Asfiksia berat yang berkepanjangan (apgar score = 3 pada umur 20 menit)
2. HIE stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat, 50% meninggal dunia dan sisanya
dengan gejala berat.
3. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan multi
organ.
4. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat dipulangkan, 50%
akan timbul epilepsi.
5. Adanya oliguria persisten (produksi urin <1 ml/kgBB per jam selama 36 jam pertama).
6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio lingkaran kepala
yang didapatkan waktu lahir dibandingkan dengan usia 4 bulan dibagi rerata lingkaran
kepala pada usianya x 100% > 3,1%, merupakan cara untuk memprediksi timbulnya
mikrosefali sebelum usia 18 bulan.
7. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat. Adanya EEG yang normal atau
ringan yang terjadi pada hari pertama setelah lahir merupakan tanda outcome yang
normal.
8. Adanya kelainan CT Scan yang berupa perdarahan hebat, periventrikular leukomalasia
atau nekrosis.
9. Kelainan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir. Pemeriksaan MRI
yang normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir selalu menghasilkan prediksi
outcome yang baik walaupun pada neonatus yang mengalami asfiksia berat.
Secara umum dilaporkan angka kematian sebesar 25%. Paling banyak kematian terjadi
pada minggu pertama kehidupan yang berhubungan dengan multiple oragn failure. Beberapa bayi
dengan kelainan neurologik berat meninggal karena aspirasi pneumonia atau penyakit sistemik
lainnya.

Follow Up
Tujuan follow up adalah untuk mendeteksi gangguan dan segera melakukan intervensi pada bayi
yang membutuhkan. Parameter pertumbuhan mencakup ukuran lingkar kepala. Selain itu perlu
dilakukan pemantuan oleh Ahli Tumbuh Kembang Anak, ahli neurologi anak dan ahli mata. Tes
pendengaran harus segera dilakukan sebelum bayi pulang dan kembali diulang terutama pada bayi
yang berisiko (mendapat antibiotika, hipertensi pulmonal). Bayi dengan HIE ringan biasanya
menunjukkan prognosis yang bagus sehingga tidak diperlukan follow up khusus.

Kesimpulan
Bayi baru lahir dengan HIE mengalami gangguan sistem pernafasan, kardiovaskular, hepar, fungsi
ginjal, sehingga penanggulangannya memerlukan pendekatan multisistem. Pengobatan HIE

12
perinatal secara holistic, menyeluruh dan utuh, karena kelainan satu organ akan mempengaruhi
organ lainnya.
Hipoksia iskemik perinatal merupakan penyebab penting brain injury pada neonatus dan
disertai dengan sekuele neurologis yang lama seperti disfungsi kognitif, keterlambatan
perkembangan, kejang, gangguan sensorik maupun motorik sehingga dalam follow up perlu
dilakukan pemantauan oleh Ahli Tumbuh Kembang Anak, ahli neurologi anak dan ahli mata.
Upaya yang optimal adalah pencegahan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai risiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan
hingga persalinannya.

13

Anda mungkin juga menyukai