Anda di halaman 1dari 12

Bengkak pada Tungkai yang Disebabkan oleh Cacing Filaria

Merlinda
102015163
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
E-mail : merlinda.2015fk163@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Filariasis merupakan penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing filaria
yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit filariasis disebabkan oleh cacing
khusus, ialah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Penularan cacing filaria
terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) atau
bisa juga nokturna (mikrofilarianya ada di aliran darah tepi pada malam hari dan nyamuk mengigit
malam hari).
Kata kunci : filariasis, cacing filaria

Abstract
Filariasis is an infectious disease (elephantiasis) caused by the filarial worm that is transmitted
by mosquitoes. Filariasis disease caused by a worm specifically, is Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, Brugia timori. Filaria worm transmission occurs through mosquitoes with periodicity
subperiodik (anytime contained in peripheral blood) or it could be nocturnal (mikrofilarianya in
peripheral blood flow at night and mosquitoes biting night).
Keywords: filariasis, filarial worms

Pendahuluan
Filariasis atau yang dikenal dengan penyakit kaki gajah mulai ramai diberitakan
sejak akhir tahun 2009, akibat terjadinya kematian pada beberapa orang. Sebenarnya penyakit
ini sudah mulai dikenal sejak 1500 tahun oleh masyarakat, dan mulai diselidik lebih mendalam
ditahun 1800 untuk mengetahui penyebaran, gejala serta upaya mengatasinya. Baru ditahun
1970, obat yang lebih tepat untuk mengobati filarial ditemukan. Rubrik ini berusaha

1
menjelaskan mengapa hal tersebut dapat terjadi dan mengapa penanggulangan Penyakit Kaki
Gajah harus segera dilaksanakan.1
Penyakit filariasis yang disebabkan oleh cacing khusus cukup banyak ditemui di
negeri ini dan cacing yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia
timori. Penelitian di Indonesia menemukan bahwa cacing jenis Brugia dan Wuchereria
merupakan jenis terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara cacing jenis Brugia
timori hanya didapatkan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di pulau Timor. Di dunia,
penyakit ini diperkirakan mengenai sekitar 115 juta manusia, terutama di Asia Pasifik,
Afrika, Amerika Selatan dan kepulauan Karibia.1
Penularan cacing Filaria terjadi melalui nyamuk dengan periodisitas subperiodik (kapan
saja terdapat di darah tepi) atau bisa juga nokturna (mikrofilarianya ada di aliran darah tepi pada
malam hari dan nyamuk mengigit malam hari), ditemukan di Indonesia sebagian besar lainnya
memiliki periodisitas nokturnal dengan nyamuk Culex, nyamuk Aedes dan pada jenis nyamuk
Anopheles. Nyamuk Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan
Nyamuk Aedes dan Anopheles dapat ditemukan di daerah-daerah rural. Filariasis merupakan
penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan
oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun, dan bila tidak dapat pengobatan
dapat menimbulakan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin, baik
perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan
hidupnya tergantung kepada orang lain sehinggamenjadi beban keluarga.2
Anamnesis
Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan empati.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat obstetri, dan ginekologi, riwayat penyakit keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi. Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.3
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi
ke dokter atau mencari pertolongan. Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit
adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum
keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui

2
kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan data-data positif
dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan alat
tubuh yang sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari kemungkinan
penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.4
Didalam kasus didapati bahwa:
Identitas : Seorang laki-laki berusia 45 tahun.
Keluhan utama : Bengkak pada tungkai kiri sejak 1 bulan yang lalu.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau
pandang (Inspeksi), periksa raba (Palpasi), periksa ketok (Perkusi) dan pemeriksaan dengar
dengan menggunakan stetoskop (Auskultasi). Pemeriksaan palpasi didapati bahwa pasien
mengalami nyeri tekan.3
Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang atau
sakit berat; sesuai dengan kasus diketahui keadaan umum pasien tampak sakit sedang.5
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang
wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil; sesuai dengan kasus diketahui bahwa
pasien memiliki tingkat kesadaran yaitu kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dimana pasien dapat menjawab pertanyaan
pemeriksa dengan baik.4
Tanda-tanda vital berupa suhu; tekanan darah; nadi yang terdiri dari frekuensi nadi,
irama denyut nadi, isi nadi, kualitas nadi, dan kualitas dinding arteri; frekuensi pernapasan.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan pemeriksaan yang dilakukan setelah pemeriksaan fisik
dilakukan demi mendapatkan suatu kepastian atau keakuratan dari suatu penyakit tersebut.5
Diagnosis pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasit dan hal ini cukup
sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening atau kelenjar getah bening sulit
dijangkau sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan parasit. Mikrofilaria dapat di temukan di

3
dalam darah, cairan hidrokel, atau kadang-kadang cairan tubuh lainnya. Cairan-cairan tersebut
dapat diperiksa secara mikroskopik. Banyak individu terinfeksi yang tidak mengandung
mikrofilaria dalam darahnya sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan.3
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening (KGB)
inguinal pasien tersebut. KGB inguinal itu akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-
gerak. Ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan ini hanya dapat
digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria bancrofti.3
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai
dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun ada penderita
yang asimptomatik mikrofilaremia.
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan
kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi Knott, membrane filtrasi.
Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00) karena periodisitas
mikrofilaria adalah nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang potongan cacing
dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor.3
Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit
dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/PCR) Teknik ini
mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic
infection.3
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-
30%. Di sebagian besar belahan dunia, mikrofilaria aktif pada malam hari terutama pada jam 10
malam sampai jam 2 pagi. Namun di beberapa daerah Asia dan Pasifik seperti timbulnya
subperiodik, yaitu timbul hampir sepanjang hari dengan puncak beberapa hari sekali. Pada
kasus dengan periodisitas subperiodik diurnal (infeksi Bancrofti di daerah Pasifik Selatan,
Kepulauan Andaman, dan Pulau Nikobar) puncaknya pada pagi hari dan sore hari. Sehingga
pengambilan spesimen darah untuk pemeriksaan mikrofilaria harus sesuai dengan puncaknya
mikrofilaria aktif di dalam darah. Mikrofilaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah
tebal atau tipis pada yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright.4
Spesimen darah yang diambil lebih baik diambil dari darah kapiler dibandingkan
dengan darah vena. Terdapat beberapa bukti yang menyebutkan bahwa konsentrasi
mikrofilaria di darah kapiler lebih tinggi dibandingan dengan darah vena. Volume darah yang

4
digunakan untuk sekitar pulasan 50μ l dan jumlah mikrofilaria yang terdapat sekitar 20 mf/ml atau
lebih merupakan petunjuk adanya mikrofilaria dalam darah. Akhir-akhir ini pengguna
mikroskopik untuk mendeteksi mikrofilaria sudah mulai tergantikan oleh penggunaan
membran filtrasi yang dikemukakan oleh Bell tahun 1967. Keuntungan pada alat ini bahwa
sampel dapat disimpan dalam waktu yang lama. Selain itu karena menggunakan formalin
maka dapat memfiksasi mikrofilia dalam darah dan membuang organisme yang tidak
diinginkan seperti HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Pada episode akut, filariasis limfatik harus
dibedakan dengan tromboflebitis, infeksi, dan trauma. Limfangitis retrograd merupakan
gambaran khas yang membantu membedakan dari limfagitis bakterial yang bersifat
asendens.5
Pemeriksaan terhadap antigen W. bancrofti yang bersirkulasi dapat membantu
penegakkan diagnosis. Dua tes yang bersedia yakni ELISA dan ICT. Sensitivitas keduanya
berkisar antara 96-100% dan spesifik mendekati 100%. Tekniknya dengan menggunakan
antibodi monoklonal. Terdapat 2 jenis antibodi yang digunakan yaitu AD12 dan Og4C3. Di
Australia menunjukkan bahwa penggunaan antibodi Og4C3 sensitivitasnya 100% pada pasien
dengan jumlah mikrofilaria yang tinggi namun sensitivitasnya menurun menjadi 72-75%
pada pasien dengan jumlah mikrofilaria yang rendah. Spesifitasnya juga tinggi yaitu 99-100%.
Penggunaan AD12 juga memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi yaitu 96-100% untuk
sensivitasnya dan 100% untuk spesifitasnya. Pemeriksaan serologi antibodi juga telah
digunakan untuk mendeteksi W. bancrofti. Kesulitan yang sering timbul spesifitasnya yang
rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi silang dengan parasit yang lain. Selain itu
hasil ini juga tidak dapat membedakan antara infeksi sekarang dan infeksi lampau. Saat ini
telah dikembangkan pemeriksaan serologi yang spesifik untuk W. bancrofti yaitu menggunakan
antibodi subklas IgG4. Namun sensivitasnya lebih rendah bila dibandingkan dengan
pemeriksaan secara parasitologi lain yaitu sekitar 90-95%. Pencitraan limfosintigrafi dengan
radionuklir pada ekstremitas menunjukkan abnormalitas sistem limfatik, baik pada mereka
yang asimtomatik mikrofilaremik dan mereka dengan manifestasi klinis. Kegunaan dari
limfosintigrafi ini adalah (1) Peragaan alur aliran limfe, (2) Evaluasi kecepatan aliran limfe,
kecepatan absorbsi, dari tempat injeksi, mengukur waktu akumulasi tracer di daerah kelenjar
limfe, (3)Peragaan kelenjar limfe, (4)Peragaan pusat inflamasi dengan jaringan lunak dan
kelenjar yang baru terbentuk pada proses inflamasi menahun, (5) Menemukan kerusakan trauma

5
saluran limfe, (6) Membedakan edema tungkai limfe, trauma mekanik tungkai bawah, (7)
Mengikuti proses perubahan obliterasi limfe.3-5

Working Diagnosis (WD)


Berdasarkan skenario diketahui bahwa pasien terkena filariasis. Penyakit kaki gajah atau
filariasis bancrofti adalah infeksi Wuchereria bancrofti yang mengalami perubahan siklus hidup
(stadium seksual) dan menjadi dewasa didalam kelenjar getah bening manusia sebagai
pejamu definitif. Infeksi dengan Wuchereria bancrofti menimbulkan sindroma klinis yang
serupa, ditandai pada awal stadium dengan limfangitis dan limfadenitis akut, dan, kemudian
oleh obstruksi limfatik dengan hidrokel dan elefantiasis.2

Differential Diagnosis (DD)


Diferential diagnosis adalah diagnosis yang dilakukan untuk dibandingkan dengan WD.
Tanda-tanda penyakitnya itu biasanya hampir sama, tapi di antara itu biasanya ada ciri khas WD
yang menyingkirkan DD nya. Di dalam skenario ini diperkirakan DD-nya adalah filariasis
bancrofti, timori, malayi.3
Etiologi
Filariasis disebabkan oleh investasi satu atau dua cacing jenis filaria yaitu Wuchereria
bancrofti atau Brugia malayi. Cacing filaria ini termasuk famili Filaridae, yang bentuknya
langsing dan ditemukan di dalam sistem peredaran darah limfe, otot, jaringan ikat atau
rongga serosa pada vertebrata. Cacing bentuk dewasa dapat ditemukan pada pembuluh dan
jaringan limfa pasien. Pada manusia W. bancrofti dapat hidup selama kira-kira 5 tahun. Larva
filaria dimasukkan ke dalam manusia dalam sekresi gigitan nyamuk. Selama berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun stadium ini berkembang menjadi cacing dewasa yang bertempat
tinggal dalam pembuluh dan kelenjar limfe. Cacing betina dewasa yang matang secara
seksual melepaskan sejumlah besar mikrofilaria yang bersikulasi dalam aliran darah. Siklus
hidup parasit disempurnakan ketika nyamuk menelan oganisme ini dalam makanan darah. Masa
inkubasi penyakit ini cukup lama lebih kurang 1 tahun, sedangkan penularan parasit terjadi
melalui vektor nyamuk sebagai hospes perantara, dan manusia atau hewan kera dan anjing sebagai
hospes definitif. Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quiquefasciatus.
Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau Aedes.1,2,6

6
Wuchereria bancrofti
Mikrofilaria yang terisap nyamuk akan masuk ke lambung, melepaskan kulitnya dan
menembus dindingnya untuk bersarang pada otot toraks dan membentuk Larva I, bertukar kulit
dua kali berturut-turut menjadi larva stadium II kemudian Larva stadium III yang sangat aktif.2
Bentuk aktif ini bermigrasi sampai ke alat tusuk nyamuk atau probocis. Melalui gigitan
nyamuk maka larva stadium 3 ini masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe
setempat. Larva mengalami pergantian kulit dan tumbuh menjadi larva stadium IV dan stadium V
atau cacing dewasa.2

Brugia malayi & Brugia timori


Mikrofilaria B.malayi mempunyai periodisitas nokturna dan nonperiodik, Panjang cacing
betina beriksar 43 hingga 55 mm, sedangkan panjang cacing jantan berkisar 13 hingga 23 mm.
sementara B. Timori bersifat nokturna. B.timori yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk
Anopheles barbirostris. Masa pertumbuhan parasit ini dalam tubuh nyamuk sekitar 10 hari dan
dalam tubuh manusia kurang lebih 3 bulan. Fase perkembangan kedua parasit ini sama dengan
perkembangan W. Bancrofti.2

Epidemiologi
Mikrofilaria W. bancrofti pada belahan bumi selatan, termasuk Indonesia, umumya
ditemukan pada malam hari (nokturna). Di daerah Pasifik biasanya sifatnya subperiodik diurnal.
Parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus di daerah perkotaan dan nyamuk
anopheles serta nyamuk aedes sebagai vektor di daerah pedesaan. Pertumbuhannya dalam nyamuk
sekitar dua minggu dan dalam tubuh manusia selama sekitar 7 bulan.2 Di Indonesia, parasit ini
lebih sering dijumpai di pedesaan daripada di perkotaan dan penyebarannya bersifat fokal. Kurang
lebih 20 juta penduduk Indonesia bermukim di daerah endemi filariasis bancrofti, malayi
dan timori dan mereka sewaktu-waktu dapat ditulari. Kelompok umur dewasa muda
merupakan kelompok penduduk yang paling sering menderita, terutama mereka yang
tergolong penduduk berpenghasilan rendah. Prevalensi mikrofilaria meningkat bersamaan
dengan umur pada anak-anak dan meningkat antara umur 20-30 tahun, pada saat usia
pertumbuhan, serta lebih tinggi pada laki-laki dibanding wanita.2
Patofisiologi dan Aspek Imunologi

7
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah bening akibat
inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh mikrofilaria. Cacing dewasa
hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening dan menyebabkan
pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma,
eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar pembuluh getah bening yang mengalami
inflamasi bersama dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan
berliku-likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah
bening.2,3
Limfedema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema keras terjadi
pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat filariasi ini
disebabkan oleh efek langsung cacing ini dan oleh respon imun pejamu terhadap parasit.
Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses granulomatosa dan proliferasi yang
menyebabkan obstruksi total pembuluh getah bening. Diduga bahwa pembuluh-pembuluh
tersebut tetap paten selama cacing tetap bisa hidup dan bahwa kematian cacing tersebut
menyebabkan reaksi granulomatosa dan fibrosis. Dengan demikian terjadilah obstruksi
limfatik dan penutupan fungsi limfatik.3,4
Manifestasi Klinis
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan, sedangkan bila sudah lanjut akan
menimbulkan gejala obstruktif. Penyakit filariasis ini dibagi menjadi 3 yaitu stadium tanpa
gejala, stadium akut dan stadium menahun.2 Mikrofilaria yang tampak dalam darah pada
stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti limfangitis, limfadenitis,
funikulitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak menimbulkan gejala sama sekali
terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah berdiam di daerah endemik. Gejala
peradangan tersebut sering timbul setelah bekerja berat dan dapat berlangsung antara
beberapa hari hingga beberepa minggu (2-3 minggu). Gejala dari limfadenitis adalah nyeri
lokal, keras didaerah kelenjar limfe yang terkena dan biasanya disertai demam, sakit kepala
dan badan, muntah-muntah, lesu, dan tidak nafsu makan. Stadium akut ini lambat laun
akan beralih ke stadium menahun dengan gejala-gejala hidrokel, kiluria, limfedema, dan
elephantiasis.7,8
Karena Filariasis bancrofti dapat berlangsung selama beberapa tahun, maka ia dapat
mempunyai perputaran klinis yang berbeda-beda.7

8
Reaksi pada manusia terhadap infeksi filaria berbeda-beda, berdasarkan akibat infeksi
filarial yaitu:
1) Bentuk tanpa gejala;
2) Filariasis dengan peradangan;
3) Filariasis dengan penyumbatan.
Untuk B.malayi dan B. timori, keduanya menampakkan gejala klinis yang sama. Stadium
Akut ditandai dengan demam, peradangan saluran dan kelenjar limfe yang berulang, limfangitis
retrograde tetapi tidak pernah mengalami sistem limfe alat kelamin.7
Komplikasi
Penyakit yang telah terjadi bertahun-tahun yang hanya pada satu organ biasanya akan
menyebar ke bagian dan organ-organ lain yang menimbulkan gejala-gejala atau keluhan-keluhan
lain pada pasien tersebut. Biasanya ini dikatakan komplikasi. Komplikasi pada filariasis antara
lain:3

1. Cacat menetap pada bagian tubuh yang terkena elephantiasis tungkai.


2. Limfedema: Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis,vulva vagina
dan payudara.
3. Hidrokel (40-50% kasus), adenolimfangitis pada saluran limfe testis berulang: pecahnya
tunika vaginalis. Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan
parietalis dan viseralis tunika vaginalis. Dalam keadaan normal, cairan yang berada di
dalam rongga itu memang ada dan berada dalam keseimbangan antara produksi dan
reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
4. Kiluria: Kencing seperti susu karena bocornya atau pecahnya saluran limfe oleh cacing
dewasa yang menyebabkan masuknya cairan limfe ke dalam saluran kemih.
Penatalaksanaan
Perawatan Umum : (1) Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin
akan mengurangi derajat serangan akut, (2) Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan
asbes, (3) Pengikatan didaerah pembendungan akan mengurangi edema.4
Pengobatan Spesifik Pengobatan Infeksi: Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah
pengobatan di komunitas. Hal ini dilakukan melalui penurunan angka mikrofilaremia dengan
pemberian dosis satu kali per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan
parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kasakitan. Hingga saat ini, Organisasi

9
Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan DEC sebagai satu-satunya obat yang efektif, aman,
dan relatif murah. Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC 6mg/kg BB/hari selama
12 hari. Pengobatan ini dapat diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2
hari per bulan (6-8 mg/kgBB/hari). Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Meski
Ivermektin sangat efektif menurunkan kadar mikrofilaremia, tampaknya tidak dapat
membunuh cacing dewasa, sehingga terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan
infeksi secara menyeluruh. Aalbendazol bersifat makrofilarisidal untuk W. bancrofti dengan
pemberian setiap hari selama 2-3 minggu. Namun, dari penelitian obat ini masih belum optimal.
Efek samping Dec dibagi dalam 2 jenis. Yang pertama bersifat farmakologis, tergantung
dosisnya, angka kejadian sama baik pada yang terinfeksi filariasis maupun tidak. Yang kedua
adalah respons dari hospes yang terinfeksi terhadap kematian paraasit; sifatnya tidak
tergantung pada dosis obatnya tapi pada jumlah parasit dalam tubuh hospes.5
Ada 2 jenis reaksi: (1) Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala,
sakit pada berbagai bagian tubuh, sendi-sendi, pusing, anoreksia, lemah, hematuria trasien,
reaksi alergi, muntah, dan serangan asma. Reaksi ini terjadi karena kematian filaria dengan
cepat dapat menginduksi banyak antigen sehingga merangsang sistem imun dan menginduksi
berbagai reaksi. Reaksi ini dapat terjadi beberapa jam setelah pemberian DEC dan berlangsung
tidak lebih dari 3 hari. Reaksi akan hilang dengan sendirinya, (2) Rekasi lokal dengan atau
tanpa demam berupa limfadenitis, asbes, ulserasi, transien limfedema, hidrokel, funikulitis,
dan epididimitis. Reaksi ini cenderung terjadi kemudian dan berlangsung lebih lama sampai
beberapa bulan, tetapi akan menghilang dengan spontan. Reaksi lokal cenderung terjadi pada
pasian dengan riwayat adenolimfangitis; berhubungan dengnan keberadaan cacing dewasa dalam
tubuh hospes.9
Pencegahan
Pencegahan Massal
Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk). Namun hal ini
terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit.4 Baru-baru ini dikenalnya
pengobatan dosis tunggal sekali per tahun, 2 regimen obat (Albendazol 400 mg dan ivermectin
200mg/kgBB) cukup efektif.4 Juga pemberian DEC diberikan dosis lebih rendah yaitu: 6mg/kgBB
dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis yang sama dalam bentuk

10
garam selama 9-12 bulan, bisa diberikan seminggu sekali atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau
satu tahun.
Pencegahan Individu
Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan obat oles anti
nyamuk, kelambu, atau insektisida.7

Strategi pemberantasan Filariasis yang dilakukan WHO7


1) Menghentikan penyebaran infeksi (contoh: interupsi transmisi). Di banyak negara
program ini dilakukan dengan pemberian dosis tunggal dua obat bersamaan 1 kali per
tahun. Contoh obat yang diberikan adalah Albendazol, dan DEC atau Ivermektin.
2) Meringankan beban penderita (contoh: kontrol morbiditas). Ini bertujuan untuk
mengurangi beban akibat penyakit diperlukan edukasi untuk meningkatan
kewaspadaan pasien yang mengalami infeksi. Dengan eduksasi seperti ini diharapkan
pasien dapat meningkatkan kebersihan lokal sehingga mencegah adanya episode
inflamasi akut.
Prognosis

Dietilkarbamazin adalah obat pilihan utama untuk penyakit filariasis. Obat ini berbentuk
kristal, rasanya tidak enak, tidak bewarna, dan tidak enak lalu mudah larut di dalam air.9

Stadium mikrofilaria, limfangitis dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan


DEC, tetapi pada kasus elefantiatis prognosisnya bisa jadi lebih buruk. Pada kasus dini dan sedang,
prognosis baik terutama bila pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik
tersebut dapat dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-
kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.7

Kesimpulan
Pada skenario ini pasien menderita penyakit filariasis bancrofti.
Daftar Pustaka

1. Staf pengajar Departemen Parasitologi FKUI Jakarta. Parasitologi kedokteran. Ed. 4.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008: h.34-8.
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani Wahyu I, Setiowulan. Kapita Selekta
Kedokteran. Jakarta: Media Aesculaptus FKUI; 2008.

11
3. Behrman, Kliegman, Alvin, Nelson. Penyakit infeksi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Vol 2. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002.h.1227-8.
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Helmintologi. Dalam: Adams Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.h.33; 38.
5. Schwartz MW. Limfadenopati. Dalam: Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2004.h.514-5.
6. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC;
2003.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
8. Chandra B. Penyakit menular. Dalam: Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.32.
9. Farmakologi dan terapi. Ed.5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai