Anda di halaman 1dari 53

BAB I

LATAR BELAKANG

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi
Anastesi umum intravena atau total intravenous anesthesia (TIVA) adalah
suatu teknik anestesi umum dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur
intravena, mulai dari pre-medikasi, induksi serta rumatan anestesi, tanpa
menggunakan zat inhalasi.
Sistem endokrin meliputi sistem dan alat yang mengeluarkan hormone.
Yang termasuk kelenjar endokrin adalah hipotalamus, kelenjar hipofisis anterior
dan posterior, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, pulau langerhans pancreas,
korteks dan medula anak ginjal, ovarium, testis, dan sel endokrin dijalan cerna
yang disebut sel amine precursor uptake and dearboxylation (sel APUD). 1
Bedah endokrin membahas pemeriksaan dan pengendalian keadaan bedah
pada kelenjar endokrin.
Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang terbatas. Kelenjar
endokrin dapat menghasilkan hormone secara berlebihan misalnya penyakit
graves, yaitu hiperfungsi kelenjar tiroid, atau menghasilkan terlalu sedikit
hormone, misalnya pada miksudem akibat hipofungsi kelenjar tersebut. Kelenjar
endokrin dapat juga menjadi besar atau menjadi kecil. Keadaan tersebut dapat
juga terjadi bersama-sama. 1
Berbagai kelainan patologi, khususnya keganasan, dapat terjadi pada satu
atau beberapa keadaan diatas. Badah endokrin mempunyai cirri khusus, yaitu
sebagai kelainannya merupakan gangguan fungsi kelenjar tanpa kelainan anatomi,
sehingga gejala yang menonjol hanya dapat dinyatakan secara umum. Kelainan

1
grandula thyroidea dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid nodular.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut struma.2

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 13 Maret 2018
Nama : Ny. U
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 148 cm/48 kg
Gol. Darah :O
Alamat : Dusun Tanjung Rantau Alai, Batang Masumai
No. RM : 877409
Ruangan : Zaal Bedah
Diagnosa : Struma Nodusa Non Toxic
Tindakan : Subtotal Thyroidectomy

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Benjolan pada leher sejak ± 3 tahun yang lalu

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Benjolan muncul pada leher bagian depan sejak ± 3 tahun yang lalu,
awalnya kecil sehingga tidak begitu dihiraukan semakin lama semakin
besar. Benjolan tidak sakit. Menurut pasien awalnya benjolan yang
semakin besar ini disertai dengan demam tapi tidak terlalu tinggi.
Pasien pernah berobat ke dokter sebelumnya beberapa kali dan
diminta untuk dilakukan periksa darah dan diberi obat. Hingga saat ini
benjolan tidak sakit. Pasien suka mengeluh cepat capek, malam hari
agak susah tidur karena merasa sedikit ada yang mengganjal di leher.

3
Pasien mengatakan tidak ada perubahan nafsu makan. Suara serak dan
sulit menelan tidak ada. Pasien menyangkal tangan suka berkeringat
dan bergetar serta menyangkal adanya perasaan cemas yang
berlebihan. Pasien juga menyangkal adanya penurunan berat badan.
Makanan yang dimakan pasien mengaku tidak pernah terlalu asin atau
terlalu manis.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Batuk Lama : (-)
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8 ̊C
b. Kepala : normochepal
c. Mata : SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. THT : nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)
e. Leher : simetris, pembesaran KGB (-), pergeseran trakea (-
), teraba massa diameter 4 x 5 di lobus kiri dan 6 x 5 cm di lobus
kanan, nyeri ( - ) dan mengikuti pergerakan saat menelan.
f. Thoraks

4
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur
(-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-,
Rhonki -/-
g. Abdomen
Inspeksi : soupel
Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), hati dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
h. Genital : tidak diperiksa
i. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik

Status Lokalis
Regio Coli Anterior :
- Inspeksi : tampak benjolan dilobus kiri dan kanan, warna seperti kulit
disekitarnya, terlihat ikut bergerak ke atas saat pasien menelan.
- Palpasi dilakukan dengan posisi di belakang pasien teraba massa di
lobus kiri berukuran 4 x 5 cm dan kanan 6 x 5 cm kenyal, batas tegas,
permukaan licin, tidak berbenjol benjol, tidak terfiksir, nyeri tekan (-),
massa ikut bergerak ketika pasien menelan.
- Auskultasi : tidak terdapat bising pada kelenjar tiroid

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin ( tgl 12-03-2018 )
WBC : 4,4 103/mm3
RBC : 4,35 106/mm3
HGB : 12,5 gr/dL
HCT : 35,5 %

5
PLT : 264 103/mm3
GDS : 80 mg/dl

Masa Pendarahan : 1,5 (1-3 menit )


Masa Pembekuan : 4,5 ( 2 – 6 menit )

b. Elektrolit
Na : 136,7 mmol/L
K : 3,5 mmol/L
Cl : 100,7 mmol/L
Ca : 1,32 mmol/L

c. Pemeriksaan Darah Lengkap


Faal Hati
SGOT : 18 U/L (< 41)
SGPT : 13 U/L (< 40)

Faal Ginjal
Ureum : 25 mg/dl (15 - 39)
Creatinin : 0,7 mg/dl (0,6 – 1,1)
Hormon Tiroid
T3 : 1,7 nmol/L (0,95- 2,5 nmol/L)
T4 : 74,16 nmol/L (60-120 nmol/L)
TSH : 0,5 µIU/ ml Eutyroid = 0,25-5
Hipertyroid = <0,15
Hipotyroid = >7

d. X-Ray Thorax
Cor dan Pulmo dalam batas normal.

e. USG tiroid : tiroid dekstra dan sinistra membesar, tampak nodul


sinistra berukuran 3,9 x 4,8 x 3,9 cm dan nodul dextra berukuran 5,7

6
x 4,9 x 3,9 cm , intensitas echoparenkim homogen rata, tak tampak
kista maupun kalsifikasi.

4. Pra Anestesi
 Diagnosa pra bedah : Struma Nodusa Non Toxic
 Tindakan bedah : Subtotal Thyroidectomy
 Penentuan status fisik ASA : 1/ 2 /3/4/5/E
 Mallampati :1
 Jenis / tindakan anestesi : General Anestesi
 Persiapan :
a. Orang tua pasien telah diberikan Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi
c. PRC 2 kolf

7
BAB III

LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 13 Maret 2018


Nama : Ny. U
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 148 cm/48 kg
Gol. Darah :O
Alamat : Dusun Tanjung Rantau Alai, Batang Masumai
No. RM : 877409
Ruangan : Zaal Bedah
Diagnosa : Struma Nodusa Non Toxic
Tindakan : Subtotal Thyroidectomy
Operator : dr. Riadi Ali, Sp. B (K) Onk.
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp. An

5. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 ( E=4, M=6, V=5 )
Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Berat Badan : 48 Kg
b. Laboratorium
WBC : 4,4 103/mm3
RBC : 4,35 106/mm3
HGB : 12,5 gr/dL
HCT : 35,5 %

8
PLT : 264 103/mm3
GDS : 80 mg/dl

Masa Pendarahan : 1,5 (1-3 menit )


Masa Pembekuan : 4,5 ( 2 – 6 menit )

c. Status Fisik : ASA II


d. Puasa mulai jam 02.00 WIB

6. Tindakan Anestesi
a. Metode : General Anestesi
b. Premedikasi : Ranitidine 50 mg, Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg,
Phentanyl 60 mcg.

7. Anestesi Umum
a. Induksi : Sempurna
b. Teknik Anestesi : Anestesi Balans
c. Teknik Khusus :-
d. Medikasi : Sevoflurance 1, N2O 2, O2 2, Fentanyl 50 mcg,
Recofol 100 mg, atracurium 25 mg
e. Cairan/Transfusi : RL 500 mL, Asering 500 mL , RL 500 mL

8. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Terlentang
b. Intubasi : Oral
No. Tube : 7 balon

c. Penyulit Intubasi : Tidak Ada


d. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi :-
e. Lama Anestesi : 120 menit
f. Jumlah Cairan
Input : RL 500 mL, Asering 500 ml, RL 500 ml,
Output : Perdarahan ± 200 cc

9
Kebutuhan cairan pasien ini;
BB = 48 Kg
 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB
= 2 cc x 48
= 96 cc
 Pengganti Puasa (P)
P=6xM
= 6 x 96
= 576 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 8 cc (Operasi besar)
= 48 x 8 cc
= 384 cc
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (576) + 96 + 384
= 768 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (576) + 96 + 384
= 624 cc

Total cairan : 768cc + 624cc + 200cc = 1.592cc

9. Monitoring
TD awal : 120/80 mmHg, Nadi =80 x/menit, RR = 20 x/menit
Jam (WIB) TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit)

12.00 130/100 72 20

12.15 135/100 72 18

12.30 140/100 76 22

12.45 140/110 76 16

10
13.00 130/100 68 18

13.00 140/110 68 18

13.15 140/105 68 20

13.30 135/100 70 18

13.45 140/100 70 20

14.00 140/110 76 18

10. Ruang Pemulihan


1. Masuk Jam : 14.15 WIB
2. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, GCS: 15
3. Tanda vital : TD : 120/80 mmHg
Nadi : 72 x/menit
RR : 18 x/menit
4. Pernafasan : Baik
5. Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital tiap 15 menit dan cek HB < 10 mg/dl transfusi.
 Tirah baring tanpa bantal sampai pasien sadar penuh
 Puasa sampai bising usus (+)
 Instruksi lanjutkan sesuai dr. Riadi Ali, Sp. B (K) Onk

11
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

DEFENISI STRUMA
Struma adalah reaksi adaptasi terhadap kekurangan yodium yang ditandai
dengan pembesaran kelenjar tyroid.2 Struma adalah suatu pembengkakan pada
leher oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandulatiroid dapat
berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

EPIDEMIOLOGI
Survey epidemiologi untuk gondok endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pengunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan, dan
sebagainya dan juga terlihat di dataran rendah seperti Finlandia, Belanda, dan
sebagainya.2
Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita
dibanding pria. Di Inggris, prevalensi Hypertiroidisme pada praktek umum
adalah 25 – 35 kasus dalam 10.000 wanita, sedang di rumah sakit didapatkan 3
kasus dalam 10.000 pasien. 2
Pada wanita ditemukan 20 – 27 kasus dalam 1.000 wanita, sedangkan pria 1 –
5 per 1.000 pria.

PATOFISIOLOGI
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid
oleh TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic
gonadotropin, akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel
tiroid, sel inflamasi, atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan
menyebabkan struma nodusa. 3
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah
dan hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika

12
proses ini terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon
tiroid termasuk inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan
goitrogen.5
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise
yang resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar
hipofise, dan tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin.5

KLASIFIKASI STRUMA
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa

Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi
fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan
istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.

DIAGNOSIS
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan
keterangan lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.1
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran
makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
 Mengenai 1 lobus
 Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
 Kadang Multilobaris
 Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
 Batas Jelas

13
 Konsistensi kenyal sampai keras
 Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
 batas tidak jelas
 Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
 Tampak pembuluh darah
 Berdenyut
 Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
 Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid

Pemeriksaan Fisik :
1. Status Generalis :
 Tekanan darah meningkat
 Nadi meningkat
2. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
3. Jantung : Takikardi
4. Status Lokalis :
a. Inspeksi  Permukaan, suhu
 Benjolan  Batas :
 Warna  Atas : Kartilago tiroid
 Bawah : incisura jugularis
 Permukaan  Medial : garis tengah leher
 Bergerak waktu menelan  Latera: M. Sternokleidomastoideus
b. Palpasi

14
Pemeriksaan lain dapat berupa pemeriksaan untuk menemukan pasien eutiroid atau
hipertiroid dengan menggunakan indeks diagnostik klinik dari indeks wayne.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Produksi T4 menurun demikian juga T3 sebagai akibat dari menurunnya
monodeyodinasi T4, sebab sebagian besar T3 dalam sirkulasi berasal dari proses
monodeyodinasi T4 di perifer dan bukan hasil produksi kelenjar tiroid. Makin tua
degradasi T4 makin menurun dan rT3 naik. Pada usia lanjut (>65 th) kebutuhan
hormon tiroid sehari-harinya menurun 20%. Meskipun demikian kemampuan reserve
memproduksi T4, T3 tetap. Kadar TSH umumnya tidak berubah. Disimpulkan bahwa
memang terjadi perubahan anatomi serta fisiologi aksis hipofisis-tiroid, sebagai
konsekuensi logis proses menua, namun bukan suatu hipotiroidisme. Hipotiroid
memang harus didefinisikan sebagai tidak tersedianya hormon secara cukup di
jaringan perifer, dapat primer (tiroidnya) ataupun sentral (hipofisis/hipotalamus).

15
1. Tes Standar Tiroid
Tes standar untuk mengetahui fungsi tiroid yaitu serum tiroksin (T4) dan
Triioditironin Resin Uptake (T3RU). Pengukuran serum Tirotropin (TSH)
kadangkala tidak berguna pada beberapa situasi. 5
Tes R3RU adalah pengukuran tidak langsung Thyroxine Binding Globuline
(TBG), pembawa protein mayor untuk T4 dalam plasma. T3RU biasanya dilaporkan
dalam persentase T3 yang diserap atau diambil oleh penyerap nonspesifik (resin), tapi
lebih sering digambarkan sebagai perbandingan sampel test pasien dengan contoh
serum standar rasio T3U. Nama baru untuk tes tersebut yaitu Thyroid Hormone
Binding Ratio telah direkomendasikan. Akhir-akhir ini beberapa laboratorium telah
mulai untuk menggunakan pengukuran langsung TBG sebagai alternatif yang kurang
tepat tetapi dapat digunakan untuk mencari ratio T3U. 6
T4 selalu dinilai berhubungan dengan ratio T3U. T4 yang tinggi atau yang
rendah dapat dinilai sebagai refleksi sekresi T4 hanya jika ikatan plasma T4 normal
yaitu hanya jika TBG (ratio T3U) normal. Untuk kenyamanan, T4 dan ratio T3U
sering dikombinasi untuk menilai indeks T4 bebas (FT4I) hanya dengan mengalikan
T4 dengan ratio T3U. Prosedur ini akan memberikan kompensasi untuk T4 yang
rendah atau tinggi yang berasal dari konsentrasi TBG abnormal. FT4I sering
dilaporkan oleh beberapa laboratorium sebagai T7 atau T12. 6
Tes lain yang berhubungan dengan T4 yaitu T4 bebas (FT4), fraksi kecil T4
yang tidak terikat dengan protein. Pada beberapa kasus FT4I sejajar dengan T4
bebas(FT4). FT4 diperkirakan dengan menentukan T3 dan T4 yang tidak terikat
dengan protein, dengan menggunakan analisa keseimbangan (equilibrium dialysis),
ultrafiltrasi atau teknik-teknik lain : produk T4 dikalikan dengan fraksi yang didialisa
atau fraksi ultrafiltrasi disebut T4 bebas. Walaupun telah lama T4 bebas digembor-
gemborkan sebagai indikator hipertiroid paling sensitif, tetapi banyak masalah
interpretasi timbul pada pasien yang sakit berat, karena banyak penyakit non tiroid
dari penyakit infeksi akut sampai penyakit hati yang dapat meningkatkan T4 bebas.
Penjelasan paling mungkin untuk fenomena ini yaitu munculnya penghambat

16
pengikat protein dalam plasma saat menderita penyakit nontiroid. Pada keadaan ini,
T4 normal atau rendah, T4 bebas meningkat karena fraksi yang terdialisa meningkat.
Jadi peningkatan T4 bukanlah suatu penemuan spesifik untuk mengetahui status
tiroid. Diagnosa hipertiroid harus dibuat dengan hati-hati bila hanya T4 bebas yang
meningkat. 6
Serum T3 dinilai dengan menggunakan radioimmunoassay. Seperti juga T4,
penilaian T3 tidak langsung dipengaruhi oleh komponen iodine tetapi nilainya dapat
terpengaruhi, biasanya pengaruh ke arah bawah oleh berbagai faktor selain fungsi
tiroid.
Pada orang muda serum T3 selalu meningkat pada keadaan hipertiroid dan
dikatakan bahwa T3 merupakan indikator tunggal hipertiroid yang paling sensitif.
Proporsi hipertiroid yang kecil tapi penting untuk diagnosa pada pasien semua umur
dan yang berhubungan dengan etiologi manapun yang menyebabkan hanya
peningkatan T3 (T3 toksikosis). 6

2. Tes TSH dan TRH


Menentukan serum thyrotropin (TSH) sampai sekarang tidak terlalu membantu
untuk diagnosa hipotiroid. Pengujian baru cukup sensitif untik melihat supresi TSH
yang terjadi keadaan dimana hanya terjadi peningkatan sedikit konsentrasi serum T3
dan T4. Jadi serum TSH pada pasien hipertiroid akan menurun, walaupun pada
pengujian yang lama dilaporkan masih dalam batas normal. Sekarang ini literatur
yang ada masih belum mengandung informasi yang cukup mengenai penelitian
ultrasensitif terbaru pada berbagai jenis situasidan pada lansia. Jadi saat ini, diagnosa
hipertiroid pada lansia tidak dapat berdasarkan supresi TSH atau bila tidak ada
supresi TSH, diagnosa hipertiroid belum dapat disingkirkan. 4
Penentuan serum TSH setelah pemberian TRH intravena berguna untuk
diagnosa hipertiroid pada pasien muda (tes TRH). Peningkatan normal TSH setelah
pemberian TRH menjadi tidak ada karena sudah banyak hormon tiroid yang
diproduksi pada hipertiroid tapi nilai hormon dalam darah (T4, T3) masih dalam

17
batas atas. Peningkatan produksi serum TSH lebih besar daripada 2-3 μU/ml diatas
nilai batas merupakan respon normal yang dengan efektif dapat menyingkirkan
diagnosa hipertiroid pada pasien semua umur.

3. Tes Thyroidal Radioiodide Uptake (RaIU)


Tes RaIU sekarang lebih jarang digunakan atau diperlukan dibandingkan jaman
dulu. Tes ini jauh lebih mahal dan lebih memakan waktu daripada pemeriksaan
hormon dalam darah. Jadi RaIU tidak dapat membantu diagnosa dan lebih baik tidak
digunakan untiuk awal evaluasi karena pengambilan (uptake) normal atau rendah
tidak terbukti pada diagnosa hipertiroid. Penurunan uptake radioiodine tahun-tahun
belakangan ini juga merupakan konsekuensi dimana dosis RaIU untuk pengobatan
harus dipertimbangkan untuk ditingkatkan. 3
Situasi khusus dimana penilaian RaIU tetap berguna yaitu pada hipertiroid
akibat iodium dan Lymphocytic (silent) thyroiditis, dimana pada keadaan tersebut
RaIU memang khas rendah (kurang dari 5%). Kadang-kadang penilaian RaIUdibuat
berdasarkan hasil scanning hipertiroid dengan ratio nuklir. Penggunaan RaIU untuk
tes supresi untuk menentukan hipertiroid pada kasus yang diduga hipertiroid sekarang
jarang dilakukan.

4. Ultrasonografi
Dalam tiroidologi kegunaan utama ultrasonografi adalah untuk menentukan
volume, besar, dan ukuran kelenjar, serta untuk membedakan apakah suatu nodul
kistik atau padat. Suatu yang secara klinis soliter, mungkin ditemukan multiple pada
ultrasonogram. Melalui ultrasonografi tidak dapat dibedakan apakah suatu lesi tiroid
ganas atau jinak. 3

5. CT-scan dan MRI


Dengan resolusinya yang tinggi yang dapat membuat pencitraan dengan
potongan sampai setipis 2-4 mm, CT-scan mampu memvisualisasikan dengan baik

18
hubungan kelenjar tiroid dengan organ sekitarnya (trakea, esofagus dan struktur lain
disekitar tiroid) serta ekstensinya ke mediastinum. CT-scan juga mampu lebih tepat
mengukur volume, ukuran kelenjar, serta kepadatan jaringan kelenjar tiroid.
Manfaat MRI (Magneting Resonance Imaging) dalam tiroidologi hampir sama
dengan CT-scan. MRI juga tidak dapat membedakan apakah suatu lesi ganas atau
jinak. Namun MRI dapat mendeteksi kekambuhan karsinoma dan membedakannya
dari fibrosis.3

STRUMA NON TOKSIK


Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa
terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid
sudah mlai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan
penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme
atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi
multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau
adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan
bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang).
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya
terjadi dispnea dengan stridor inspirator . 6

19
Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor
penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
a. Defisiensi iodium
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
 Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol,
lobak, kacang kedelai).
 Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide,
sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi, kehamilan,
laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana menimbulkan nodularitas
kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur yang dapat bekelanjutan dengan
berkurangnya aliran darah didaerah tersebut. 5

Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk
ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid..
Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler
oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang
terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin
membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). 4
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid
Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang
tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui

20
rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar
hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid. 5

Manifestasi klinis
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan
struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada
esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data juga oleh
tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak disertai rasa nyeri
kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul. 2
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara
parau.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher
sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar
getah bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau
penderita datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma
tiroid pada kranium. 2

Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam
kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Apakah sebelumnya penderita
pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai peningkatan suhu tubuh
(tiroiditis kronis). 3
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening

21
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit
di atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi. 2
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita. Pada palpasi harus
diperhatikan :
 lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau keduanya)
 ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
 konsistensi
 mobilitas
 infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
 apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian
yang masuk ke retrosternal) 2
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada
umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai
sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul
tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya. 6
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,
umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul. 6
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi
aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya penyebaran sel-
sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil negatif palsu karena
lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar, pembuatan preparat yang
kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi oleh ahli sitologi. 5

22
2. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus
pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila
perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 oC dan dingin apabila <0,9 oC. Pada
penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas.
Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain. 4

Penatalaksanaan
Terapi struma antara lain dengan penekanan TSH oleh hormon tiroid.
Pengobatan dengan tiroksin yang lama akan mengakibatkan penekanan TSH hipofisis
dan penghambatan fungsi tiroid disertai atropi kelenjar tiroid. Struma yang besar
mungkin perlu dibedah untuk menghilangkan gangguan mekanis dan kosmetik yang
diakibatkannya. 5
Tindakan operasi atau pembedahan pada kelenjar tiroid dapat berupa subtotal
lobektomi, total lobektomi, istmolobektomi, subtotal tiroidektomi, near total
tiroidektomi, total tiroidektomi.
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena.
Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar
kelenjar getah bening. 2

Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :


1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel

23
Anestesi Umum (General Anesthesia)
Definisi
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan
hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan. Tujuan
anestesi yaitu :
- Hipnotik
- Analgesi
- Relaksasi otot

Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen
trias anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. Cara pemberian
anestesi umum :
1. Parenteral (intramuscular/intravena). Digunakan untuk tindakan yang
singkat atau induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada
kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan
yang lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.5
2. Parekteral. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat.5
3. Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik
melalui udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran
gas (dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan
kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.5

24
Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum
A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam
alveolus adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi,
semakin cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan
tekanan parsial
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih
besar daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
 Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan
sebagian kembali melalui vena.
 Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
 Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
 Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan
jaringan
 Koefisien partisi jaringan/darah
 Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan
kaya pembuluh darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan
jaringan sedikit pembuluh darah/JSPD)

25
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC
(Minimal Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat
anestetika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya
tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Semakin rendah nilai
MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
E. Faktor Lain
 Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
 Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
 Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.

Klasifikasi status fisik


Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok
atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan, diantaranya :

26
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anesthesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi
suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg
(zofran, narfoz).

Persiapan peralatan anestesi


Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan
anestesi yang baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti
berfungsi, sesuai dengan tujuan kita member anesthesia yang lancer dan aman.

Macam- macam tehnik anasthesi umum4,7


1. ANESTESI INHALASI
Anesteai inhalasi merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas
dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja obat anestesi inhalasi sangat
rumit masih merupakan misteri dalam farmakologi modern. Pemberian

27
anestetik inhalasi melalui pernafasan menuju organ sasaran yang jauh
merupakan suatu hal yang unik dalam dunia anestesiologi.6,7
Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditetukan oleh sifat
fisiknya:
1. Ambilan oleh paru
2. Difusi gas dari paru ke darah
3. Distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya
Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan hipoventilasi akan
menurunkan ambilan alveolus. Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam
darah adalahfaktor utama yang penting dalam menentukan kecepatan induksi
dan pemulihannya. Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang
tidak larut dan lambat padayang larut. Kadar alveolus minimal ( KAM ) atau
MAC (minimum alveolar concentration) ialah kadar minimal zat tersebut
dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yangdiperlukan untuk mencegah
gerakan pada 50 % pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya
immobilisasi tercapai pada 95 % pasien, jika kadarnya dinaikkan diatas3 0 %
nilai KAM.

ELIMINASI
Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh badan lewat paru.
Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
N2O
N2O (gas gelak,laughing gas , nitrous oxide, dinitrogen monooksida)
diperolehdengan memanaskan amonium nitrat sampai 240ºC. NH4NO3 --240 ºC -
--- 2H2O + N2O N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam
bentuk cair dalamsilinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau
50 atm. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini

28
bersifatanestetik lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga sering digunakan
untuk menguranginyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan sendirian, tetapidikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain
seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan,
maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,sehingga terjadi pengenceran O2
dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan
O2 100% selama 5-10 menit.

HALOTAN
Halotan (fluotan) bukan turunan eter, melainkan turunan etan. Baunya
yang enak dan tidak merangsang jalan napas, maka sering digunakan sebagai
induksi anestesi kombinasi dengan N2O. Selain untuk induksi dapat juga untuk
laringoskopi intubasi, asalkan anestesinyacukup dalam, stabil dan sebelum
tindakan dierikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Setelah beberapa menit lidokain kerja, umumnya laringoskop intubasi dapat
dikerjakan dengan mudah, karena relaksasi otot cukup baik. Pada napas
spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada napas kendalisektar 0,5-1
vol% yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Halotan
menyebabkan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang
sulitdikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai
untuk bedahotak. Kebalikan dari N2O, halotanan algesinya lemah, anestesinya
kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontra indikasi.
Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi
uterusakan menimbulkan perdarahan. Kira-kira 20% halotan dimetabolisir
terutama di hepar secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam
trikloro asetat. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien
menggigil.5

29
ENFLURAN
Enfluran (etran, aliran) merupakan halogenisasi eter dan cepat populer
setelahada kecuriagan gangguan fungsi hepar oleh halotan pada pengguanan
berulang. Pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai
hipokapnia, karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan riwayat
epilepsi, walaupun ada yang beranggapan bukan indikasi kontra untuk dpakai
pada kasus dengan riwayat epilepsi. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3
kali dibanding halotan. Enfluran yang dimetabolisme hanya 2-8% oleh hepar
menjadi produk non-volatil yang dikeluarkan lewat urin. Ssisanya dikeluarkan
lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih dari anestesia lebih cepat
dibanding halotan. Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
dibanding halotan, depresi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.5

ISOFLURAN
Isofluran (foran, aeran) merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap
oksigen, tetapimeninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial ini dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi,sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemariuntuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai
1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.

DESFLURAN
Desfluran (suprane) merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan

30
dengananestetik volatil lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus
(TEC-6). Bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardia dan hipertensi.
Efek depres napasnya sepertiisofluran dan etran. Desfluran merangsang jalan
napas atas, sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesia.

SEVOFLURAN
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
mnyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.

TATALAKSANA ANESTESI UMUM INHALASI SUNGKUP MUKA


Indikasi
- Pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh dan
berlangsungsingkat dengan posisi terlentang, tanpa membuka rongga
perut.
- Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik I atau II).
- lambung dalam keadaan kosong
Kontraindikasi :
- operasi di daerah kepala dan jalan napas.
- operasi dengan posisi miring atau tertelungkup

Tatalaksana :
1. pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. pasang alat pantau yang diperlukan

31
3. siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. siapkan mesin anestesi dengan sistem sirkuitnya dan gas anestesi
yangdigunakannya
5. induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. berikan salah satu kombinasi obat inhalasi
7. awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan
napas bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien
8. pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas/obat anestesi inhalasi
dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.
Penyulit: sehubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan
napas atas.
kombinasi obat anestesi inhalasi:
1. N2O + halotan atau
2. N2O + enfluran atau
3. N2O + isofluran atau
4. N2O + sevofluran

2. Anestesi Umum Intravena

Anastesi umum intravena atau total intravenous anesthesia (TIVA) adalah


suatu teknik anestesi umum dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur intravena,
mulai dari pre-medikasi, induksi serta rumatan anestesi, tanpa menggunakan zat
inhalasi.

Jalur intravena telah digunakan untuk memberikan obat sejak ratusan tahun
yang lalu dan pemberian anestesia hanya melalui jalur intravena yang pertama kali
didokumentasikan dimulai sejak tahun 1870. Thiopentone pertama kali dikenal dalam
praktek klinik pada tahun 1934 dan menjadikan induksi anestesi melalui intravena
menjadi populer. Propofol mulai dikenal pada tahun 1986 dan saat ini telah

32
mengambil alih peran thiopentone. Proses evolusi dalam pemahaman farmakokinetik,
farmakodinamik, dan continuous drugs administration obat-obat anestesi telah
menjadikan TIVA, sebagai alternatif dari anestesia inhalasi, banyak digunakan.

Obat-obat yang dapat digunakan untuk TIVA dapat diberikan secara tunggal
atau dalam kombinasi, tergantung pada pasien dan prosedur operasi.

Untuk tahap sedasi dapat digunakan golongan benzodiazepine (midazolam,


diazepam, lorazepam) dan opioid (fentanyl), Tahap hipnotik dapat digunakan
propofol, ketamin, golongan benzodiazepine, dan golongan barbiturates (thiopental,
thiamylal, methohexital, pentobarbital).

Untuk tahap analgesik golongan opioid khususnya fentanyl, alfentanyl, serta


petidin dapat diberikan. Untuk beberapa indikasi, pelemas otot (muscle relaxant)
dapat diberikan atracurium, rocuronium bromide, cisatracurium.

Obat-obatan yang Umum Digunakan1,2


Midazolam
Midazolam merupakan obat golongan Benzodiazepines yang berinteraksi
dengan reseptor GABA di system saraf pusat. Benzodiazepine berikatan dengan
reseptor ϕ meningkatkan konduktifitas membrane terhadap ion klorida. Ini
menyebabkan perubahan polarisasi membrane sehingga menghambat fungsi normal
neuronal. Efek midazolam yang paling penting adalah efek hypnosis dan sedative,
serta efek amnesia.
Waktu paruh distribusi 7 – 15 menit, dan waktu paruh eliminasi 2 – 4 jam.
Potensi yang tinggi dan waktu aksi yang lebih pendek membuat midazolam menjadi
pilihan yang baik untuk digunakan. Midazolam ditransformasikan dan dieksresi
melalui urin. Metabolisme dilakukan di dalam hepar.

Dosis premedikasi dewasa 0.05 – 0.10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur


dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah

33
dosisnya 0.025-0.05 mg/kgBB. Pada anak umumnya digunakan oral 0.5 mg/kg, 30
menit sebelum induksi.

Fentanyl
Fentanyl (N-(1-phenethyl-4-piperidyl) adalah salah satu golongan opioid yang
sering digunakan dalam TIVA. Opioid berikatan dengan reseptor khusus yang
bertempat di sistem saraf pusat dan jaringan lain, yaitu : mu µ (µ1 dan µ2), kappa ҡ,
delta δ, dan sigma ϭ. Fentanyl bekerja pada reseptor µ yang memiliki efek klinis
pada analgesi supraspinal dan spinal. Reseptor µ1 memerantai analgesia, euphoria,
dan rasa tenang. Reseptor µ2 menyebabkan hipoventilasi, bradikardia, pruritus,
penglepasan prolaktin, dan ketergantungan fisis. Fentanyl secara tunggal
ditransformasi di hepar.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena
itu hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-75 ug/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan


pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis
rendah, pada bedah jantung. Untuk dosis maintenance dapat digunakan 2-10
ug/kgBB/jam.

Ketamine
Ketamin adalah derivate penylcyclidine. Ketamin terkenal sebagai obat yang
dapat menimbulkan kataleptik atau anesthesia disosiatif, dimana setelah induksi mata
pasien tetap terbuka dengan tatapan nistagmus yang lambat. Ketamine mempunyai
efek depresi pernapasan yang minimal. Ketamin dimetabolisme di hati oleh enzim
P450, lalu mengalami hidroksilasi dan konjugasi kemudian diekskresikan melalui
urin. Ketamine tidak terlalu menekan refleks, sehingga lakrimasi dan sekresi jalan
nafas meningkat. Premedikasi dengan antikolinergik dapat diberikan untuk
menghambat efek tersebut.

34
Induksi dengan ketamin dilakukan dengan dosis 1- 2 mg/kgBB i.v atau 4-6
mg/kgBB i.m. Ketamin tidak umum digunakan sebagai dosis maintenance, biasanya
dikombinasikan dengan N2O. Namun apabila digunakan sebagai maintenance
tunggal, digunakan dosis 30-90 mcg/kg/min.

Propofol

Propofol (2,6-diisopropylphenol) menjadi sangat terkenal digunakan dalam


anestesi intravena. Propofol merupakan obat yang sering digunakan diluar kamar
operasi, seperti di ruang emergency atau radiologi intervesi. Propofol digunakan
untuk induksi serta rumatan pada TIVA dan kombinasi dengan anestesi inhalasi, serta
menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk operasi rawat jalan. Propofol memiliki
mekanisme kerja yang memfasilitasi inhibitory neurotransmitter yang dimediasi oleh
reseptor ϕ GABAA. Propofol tidak larut dalam air, dan dilarutkan dalam emulsi 10%
minyak kedelai, 2.25% glycerol, dan 1.2% lesitin telur. Larutan ini membuat sediaan
propofol harus menggunakan teknik sterilisasi yang baik karena merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk bakteri. Namun untuk sediaan yang baru, propofol
mengandung 0.005% disodium edetade atau 0.025% sodium metabisulfite untuk
mengatasi tingkat pertumbuhan mikroorganisme. Penggunaan juga harus diperhatikan
pada orang dengan alergi telur.

Propofol memiliki waktu paruh distribusi sekitar 2-8 menit dan


terdistribusikan kembali 30-60 menit. Obat ini dengan cepat dimetabolis di hati
sepuluh kali lebih cepat daripada thiopental. Propofol dieksresi di urin. Ekskresi
propofol yang cepat dari plasma membuat efek pemulihan yang cepat dibandingkan
dengan barbiturat.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis


sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis
untuk induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan
untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bias secara suntikan

35
bolus intravena atau secara kontinu melalui infuse, namun kecepatan pemberian harus
lebih lambat daripada pemberian pada orang dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada
pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih
lambat.

3. LARINGEAL MASK AIRWAY


Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan hilangnya
pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas. LMA telah digunakan
secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face mask. LMA
di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan
rendah sekeliling pintu masuk laring
a. Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi
spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O)
tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak kecil,
anak besar, kecil, normal dan besar.7
b. Macam-macam LMA
LMA dapat dibagi menjadi 4 :
1. Clasic LMA
2. Fastrach LMA
3. Proseal LMA
4. Flexible LMA

36
Indikasi :
- Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika
pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
- Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
- Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
Kontraindikasi :
- Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan pada
emergency adalah pengecualian ).
- Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan,
karena seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanan11inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan
pengembangan lambung.
- Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
- Pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi
dapat memicu terjadinya laryngospasme.

37
4. INTUBASI ENDOTRACHEAL
Definisi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira pada
pertengahan antara pita suara dan bifurkasio trakea.4
Tujuan :
1. Pembebasan jalan napas
2. Pemberian napas buatan dengan bag and mask
3. Pemberian napas buatan secara mekanik (respirator)
4. Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5. Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang
dikembangkan)
6. Mencegah distensi lambung.
7. Pemberian oksigen dosis tinggi.

Alat
Sebelum melakukan tindakan intubasi trakea, ada beberapa alat
yang perlu disiapkan yang disingkat dengan STATICS.
1. S= Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop.
Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop:5
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

38
Gambar Miller Blade & Macintosh
Blade3

Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah
lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

2. T=Tubes
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea
mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter.
Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk
bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea
hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan
anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-
dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor.5 Alasan lain adalah penggunaan kaf
pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation
croup.4
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan
orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan

39
mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan nasotracheal tube
dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
Di pasaran bebas dikenal beberapa ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel
di bawah ini.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai


Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya9

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

40
Karakteristik Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi,
oksigenasi dan pengisapan.

Gambar 5. Pipa endotrakea8


Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang
bebas lateks, dilengkapi dengan 15 mm konektor standar. Termosensitif untuk
melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur
radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung
didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.5
Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea
tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang
terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur
8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin
kecil makin sempit). Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat
rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat
trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan
menggunakan laringoskop serat optik
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa

41
tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak
dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn atau tanpa
cuff. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan
anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Size Size Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai
PLAIN CUFFED 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi,

2.5 mm 4.5 mm bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-

3.0 mm 5.0 mm 4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan


kondritis bahkan stenosis subglotis.5
3.5 mm 5.5 mm
4.0 mm 6.0 mm
3. A=Airway
4.5 mm 6.5 mm
Airway yang dimaksud adalah alat untk
7.0 mm menjaga terbukanya jalan napas yaitu pipa mulut-
7.5 mm faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
8.0 mm hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
8.5 mm berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
9.0 mm sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.

4. T=Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
5. I=Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.
6. C=Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag
valve mask ataupun peralatan anestesia.

42
7. S=Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah, dan cairan
lainnya.

Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi:


1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.

Komplikasi
Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang cepat, sederhana, aman
dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan dari tatalaksana jalan
napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap paten, menjaga
paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama dilakukan
ventilasi mekanik, dan sebagainya.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi
endotrakeal dapat dibagi menjadi:
Faktor pasien
1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena
memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema
pada jalan napas.
2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami
trauma.
3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat
menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung
mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

43
4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.
Faktor yang berhubungan dengan peralatan
1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan
yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan
yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan
durasi pemakaian tube tersebut.
2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya
trauma.
3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.
4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan
toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.
5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf
dengan tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika
ditempatkan di bagian yang tidak tepat.
Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika
dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation
(CVCI).

Ekstubasi
1. Ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika :
- intubasi kembali menimbulkan kesulitan
- adanya resiko aspirasi
2. Ekstubasi umumnya dikerjakan pada keadaan anestesia sudah ringan
dengan catatan tidak terjadi spasme laring
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut, laring, faring, dari sekret
dan cairan lainnya.

44
Monitoring perianestesi
Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah
operasi dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih.
Bila pasien gelisah, harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena
hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena hipovolemia
(perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).

Terapi Cairan
M (Maintenance)
4 ml/ 10kgbb  4 ml x 10
2 ml/ 10kgbb  2 ml x 10
1 ml/ sisa kgbb  1 ml x sisa kg bb pasien
Total maintenance cairan 113 ml
O (Operasi)
4 x kgbb pasien  operasi kecil
6 x kgbb pasien  operasi sedang
8 x kgbb pasien  operasi besar
P (Puasa)
Lama puasa x M
Total cairan yang dibutuhkan:
Jam pertama  M+O+½ P
Jam kedua  M+O+¼ P
Jam ketiga  M+O+¼ P
Jam keempat  M+O

45
BAB V
ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pasien datang dengan keluhan gusi terasa bengkak pada rahang bawah kanan
± 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh sakit pada gigi bawah kanan 2 minggu
yang lalu, sakitnya berdenyut-denyut dan tiba-tiba. Sudah diperiksakan ke dokter gigi
dan diberi obat minum 2 macam (pasien tidak ingat nama obatnya) dan obat kumur.
Keluhan sakit sudah tidak ada tetapi keluhan bengkak masih terasa.

Pada pemeriksaan penunjang dilakukan foto thorax dan USG. Foto thorax os,
jantung dan paru dalam batas normal. Pada hasil USG adalah impaksi 18(gigi molar
tiga maksila), 38 dan 48(gigi molar tiga mandibula).

Kunjungan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi,


untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang
dilakukan. Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien
secara umum, keadaan fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien
secara umum baik.

Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien Nn. R


merupakan ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan atau sedang.

Pemilihan Jenis Anestesi

Anestesi untuk tindakan pada pasien ini menggunakan general anastesi


dengan teknik anastesi intubasi untuk mencegah aspirasi lambung.

46
Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan,


dengan tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragama,
diantaranya :

- Mengurangi kecemasan dan ketakutan


- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ranitidine 50 mg,
Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg, dan Phentanyl 60 mcg.

Induksi Anestesi

Induksi anestesi diberikan induksi inhalasi Sevoflurance : O2 : NO2= 1 : 2 : 2.


Fentanyl 50 µg , profopol 100 mg, atracorium 25 mg. Pemberian induksi inhalasi
terlebih dahulu dengan mempertimbangkan bahwa penangkapan gas anestesi pada
paru orang dewasa karena proporsi jaringan pembuluh darahnya.

Propofol merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso-profil fenol,


berupa cairan berwarna putih susu, tidak larut dalam air, dan bersifat asam. Sebagai
obat induksi, mulai kerjanya cepat, dengan dosis 2-2,5 mg/KgBB. Penurunan
kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara intravena. Propofol bersifat
mendepresi respirasi yang beratnya sesuai dengan dosis yang diberikan. Selain itu,
propofol juga mendepresi sistem kardiovaskuler sehingga terjadi penurunan tekanan
darah yang segera dengan kompensasi peningkatan denyut nadi. Khasiat

47
farmakologiknya adalah hipnotik murni, tidak memiliki efek analgetik maupun
relaksasi otot. Oleh karena itu, pada pasien ini diberikan tambahan fentanyl sebagai
analgetik. Fentanil merupakan opioid yang poten dan bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl
bersifat depresan terhadap saraf pusat , pernapasan, menekan respon sistem hormonal
dan metabolik akibat stress anestesia dan pembedahan, namun tidak mempengaruhi
sistem kardiovaskular. Dosis fentanyl sebagai analgesia adalah 1-2μg/KgBB. Untuk
mencapai trias anestesi yang ketiga, yaitu relaksasi, digunakan atrocurium 25 mg
(dosis 0,5 – 0,6 mg/KgBB) yang merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
Penggunaannya dalam klinik adalah untuk memfasilitasi intubasi endotrakea,
menghilangkan refleks laring dan refleks jalan napas, memudahkan napas kendali,
dan membuat relaksasi lapangan operasi.

Setelah induksi anestesi berhasil di lakukan intubasi oraltrakeal untuk


menjaga patensi jalan napas, mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, dan
mencegah aspirasi dan regurgitasi. Selain itu pada pasien ini intubasi berjalan
sempurna tanpa ada faktor penyulit berupa leher tidak pendek, gigi depan tidak
menonjol, tidak ada trauma leher maupun benda asing di jalan nafas dan pada pasien
ini merupakan mallampati grade 1. Pada pasien ini menggunakan ukuran no. Tube 7
balon.

Monitoring Intraoperatif

Pada pasien dengan anestesi umum, maka perlu dilakukan monitoring tekanan darah
serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang
bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30%
atau sistole kurang dari 100 mmHg karena pemberian propofol dapat mendepresi
sistem kardiovaskuler sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang segera dengan
kompensasi peningkatan denyut nadi.

48
Terapi cairan

Pasien mengaku puasa sejak pukul 02.00 wib. Perlu untuk melakukan
penggantian cairan selama puasa, dikarenakan pasien datang ke ruangan operasi tanpa
menggunakan jalur intravena. Tujuan puasa pada pasien yang akan operasi karena
reflex laring yang mengalami penurunan selama operasi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara
intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah
ke ruang ketiga.

Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL 500 mL, asering 500
mL, dan RL 500 ml sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit
yang hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 10 jam. Karena pada
pasien ini operasi memakan waktu 120 menit, maka pemberian 1500 ml kristaloid
selama operasi sudah mencukupi kebutuhan cairan pasien.

Perhitungannya meliputi:

 Cairan maintanance: 2 x 48 = 96 ml/jam


 Jumlah cairan untuk pengganti puasa yaitu: 6 x 96 ml = 576 ml
 Jumlah cairan pengganti selama operasi : 8 ml x 48 kg = 384 ml

49
 Kebutuhan cairan selama 1 jam pertama operasi : ½ (576) + 96 + 384 = 768
cc
 Kebutuhan cairan selama 1 jam kedua operasi : ¼ (576) + 96 + 384 = 624 cc
 Jumlah perdarahan selama operasi ± 200 ml
Selama operasi diberikan resusitasi cairan pertama RL 500 cc + asering 500
cc + RL 500 ml. Jumlah cairan yang diberikan sudah dapat menggantikan hilangnya
cairan yang terjadi pada pasien.

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Diruang


inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. Pada saat di
RR dilakukan monitoring terhadap kesadaran, dan tanda-tanda vital pasien. pasien
dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor alderete lebih atau sama dengan 8.

Pada orang dewasa, maka skor yang dipakai adalah alderete score, yaitu :
 Wara
 Merah muda 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
 Pernafasan
 Dapat bernafas dalam dan batuk 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
 Apneu 0
 Sirkulasi
 TD menyimpang < 20% 2
 TD menyimpang 20-50% dari normal 1
 TD menyimpang >50% dari normal 0
 Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi 2
 Bangun namun cepat kembali tidur 1

50
 Tidak bereaksi 0
 Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
 Tidak bergerak 0

Jika jumlah ≥ 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

Pada pasien ini didapatkan skor alderete 10 , sehingga pasien dapat keluar dari
RR ke ruang kelas Zaal Bedah.

51
BAB VI
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul
sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi sub total lobektomi pada penderita wanita 49 tahun, status fisik ASA II
dengan diagnosis SNNT dengan menggunakan teknik general anestesi dengan
ET no.7 respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Widjosono – Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor


Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 925 – 952.
2. Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit FKUI,
Jakarta, 1996 : 757 – 778.
3. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
2nd ed. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta; 2009. Hal : 46-
47
4. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 291-311
5. S.M, Darto. & Thaib, R. Obat Anestetik Intravena. Dalam: Anestesiologi.
Muhiman , M., Thaib,R. Eds. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta ; 1989. hal : 65-71
6. Mangku G, Senaphati T. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: Indeks
Jakarta. 2010.
7. Mansjoer A, Suphrophaita, Wardani WI,Setiowulan W. Ilmu anestesi dalam :
Kapita Selekta Kedokteran Jilid ke-2. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI. 2000.
8. Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

53

Anda mungkin juga menyukai