Anda di halaman 1dari 12

PERANAN KELUARGA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL

Asmidir Ilyas
Dosen FIP Universitas Negeri Padang

ABSTRAK
Kuu ampushakum waahliikum naro (peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka).
Arus globalisasi dan abad informasi membawa perubahan terhadap fungsi dan peranan
keluarga. Di satu sisi keluarga yang orang tua melandasi pendidikan anaknya dengan basis
pendidikan agama, nilai-nilai dan normat yang kuat tidak akan terpengaruh oleh arus
globalisasi. Di sisi lain, keluarga yang orang tuanya dalam mendidik anak-anak mereka tidak
berbasis pendidikan agama, nilai dan norma, maka keluarga tersebut akan rapuh, sehingga
mudah terbawa arus perubahan yang dahsyat.

A. PENDAHULUAN
Pendidikan bertitik tolak dari keyakinan bahwa manusia tidak dengan sendirinya dapat
menjadi orang yang didambakan baik yang didambakan oleh dirinya sendiri, keluarga,
maupun oleh masyarakat di mana individu itu berada. Suatu kenyataan yang tidak dapat
dimungkiri adalah manusia sewaktu dilahirkan masih dalam keadaan yang sangat lemah, tidak
berdaya dan memerlukan bantuan dari pihak lain. Seorang bayi yang baru dilahirkan sangat
memerlukan rawatan, belaian kasih sayang dan asuhan dari orang tuanya sehingga ia dapat
tumbuh dan berkembang secara sehat. Apabila sibayi tidak mendapatkan semua itu dari orang
tua atau manusia lain yang ada di sekitarnya, dikhawatirkan ia tidak akan mampu melakukan
berbagai tindakan seperti layaknya manusia. Contoh yang sangat populer berkenaan dengan
masalah tidak ada perawatan dan pengasuhan tersebut adalah kasus manusia srigala yang
ditemukan pemburu di hutan India di mana manusia tersebut berjalan dengan kedua tangan dan
kakinya serta mengeluarkan suara seperti layaknya seekor srigala (Sikun , 1979; Driyarkara,
1986). Akhirnya suatu penelitian yang mendalam tentang hal tersebut membuktikan bahwa
ternyata manusia yang berperilaku seperti srigala itu sejak kecilnya dirawat, dibelai dan diasuh
oleh seekor srigala di hutan tersebut.
Bertitik tolak dari uraian di atas, betapa pentingnya keberadaan orangtua bagi anak dalam
menciptakan manusia yang didambakan sebagai orang yang cerdas, beriman teguh,
berpengetahuan luas, terampil, berbudi pekerti luhur, rela berkorban untuk kepentingan nusa dan
bangsa dan sebagainya. Lebih lanjut Daoed Joesoef (1986) menyatakan, karena manusia tidak
dengan sendirinya dapat menjadi orang yang seperti didambakan di atas, maka pendidikan pada
dasarnya berusaha membimbing dan membantu tingkah laku manusia supaya dapat menjadi

1
seperti yang didambakan itu. Melalui pendidikan manusia akan dirangsang, dibimbing, dan
dibantu dalam melakukan proses belajar-mengajar tentang berbagai aspek kehidupan, sehingga
ia benar-benar dapat mewujudkan dirinya sebagai makhluk manusia (insannul kamil), dan
tidak sebagai manusia srigala di atas.
Apabila kegiatan pendidikan, yang di dalamnya terkandung makna membimbing,
mengatur, merawat, mengasuh, serta memperbaiki tingkah laku manusia maka persoalan yang
muncul atas implikasi keyakinan itu adalah siapa yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan tersebut? Undang-Undang Republik Indonesia No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab IV pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua dari anak usia wajib belajar,
berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Keluarga adalah unit terkecil dan
lingkungan yang pertama dari persekutuan hidup yang dikenal anak dalam kehidupannya.
Lingkungan ini sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak kelak.
Artinya baik tidaknya perilaku anak di kemudian hari banyak ditentukan oleh kualitas pendidikan
yang diterimanya dari lingkungan keluarganya.
Masalah kehidupan keluarga telah berkembang sedemikian rupa dengan aneka tantangan
dan problema yang kian kompleks. Apa yang dipandang sebagai suatu yang baik pada suatu
kehidupan keluarga pada dekade yang lalu, belum tentu baik juga pada masa sekarang.
Keadaan itu banyak disebabkan oleh perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat sebagai
akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat.
Dalam uraian berikut ini, masalah yang dibahas berkaiatn dengan peranan pendidikan
dalam keluarga tersebut khususnya dilihat dari sudut sosiologi pendidikan. Masalah pokok yang
ingin dibicarakan adalah: keluarga sebagai sub sistem sosial, fungsi keluarga, dan perubahan
sosial budaya serta pengaruhnya terhadap pendidikan keluarga.

B. Keluarga Sebagai Sub Sistem Sosial


Keluarga pada hakekatnya adalah sebagai suatu sub sistem dari suatu kehidupan sosial, di
samping juga dapat ditilik sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri. Sebagai sub sistem dari
kehidupan sosial maka keluarga merupakan suatu jenis pranata dasar dari suatu masyarakat,
yaitu suatu unit sosial yang terkecil yang bersifat universal dan ada di mana-mana (Sudarja,
1988). Pranata dasar masyarakat yang lain adalah ekonomi, pemerintah, agama, rekreasi dan
seni (Merril & Eldredge, 1959).
Arti dan makna dari keluarga bisa bermacam-macam, sesuai dengan budaya dan kultur
yang berlaku di mana keluarga tersebut berada. Pengertian keluarga di daerah Minangkabau

2
belum tentu persis sama dengan pengertian keluarga di Jawa, Sunda, Sulawesi atau di negara
lain. Ada yang mendefinisikan keluarga sebagai sesuatu yang mempunyai ciri kekerabatan
(hubungan darah) dan keabsahan hukum (seperti yang diikat oleh tali perkawinan yang sah
sesuai dengan undang-undang dan agama). Ke dalam pengertian ini dikenal istilah keluarga batih
atau keluarga inti (nuclear family), yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Namun ada pula
yang mendefenisikan keluarga sebagai suatu kelompok yang dicirikan oleh adanya hubungan
antara anggotanya yang sangat intim, sehingga termasuk kedalam pengertian ini keluarga yang
sangat besar (extended family) seperti di samping ayah, ibu dan anak-anak juga terkandung di
dalamnya mertua, adik ipar, mamak, kemenakan dan sebagainya. Keluarga yang dimaksud
dalam tulisan ini adalah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak.
Di samping keluarga sebagai sub sistem dari kehidupan sosial, pada sudut pandangan
yang terkecil iapun dapat pula dilihat sebagai suatu sistem yang di dalamnya terdapat sub-sub
sistem yang saling berkaitan satu sama lain. Sub-sub sistem yang terdapat dalam keluarga itu
setidak-tidaknya adalah ayah, ibu, dan anak-anak (dalam keluarga inti) serta pihak-pihak lain
yang sedarah dengan ayah dan ibu (dalam keluarga besar). Tiap-tiap sub sistem dalam keluarga
itu memainkan peranannya masing-masing sebagaimana yang diinginkan oleh sistem itu.
Misalnya ayah dapat dipandang sebagai kepala keluarga, pencari nafkah dan sebagai simbol
kekuatan di dalam rumah; ibu dapat dipandang sebagai pelaksana butuhan keluarga, pusat kasih
sayang yang dipercayai dalam mengasuh dan mendidik anak-anak serta sebagai simbol
kelembutan dalam rumah tangga; dan anak-anak dapat dipandang sebagai anggota keluarga
yang mempunyai tugas tertentu sesuai dengan tugas-tugas perkembangannya baik sebagai laki-
laki atau wanita.
Sebagai suatu sistem, dalam terdapat aturan-aturan yang berlaku pada konsep dari suatu
sistem pada umumnya, antara lain bila terdapat hubungan kerja sama yang baik antara sub-sub
sistem dalam keluarga itu maka fungsi keluarga dalam mencapai tujuannya akan dapat berjalan
dengan lancar. Sebaliknya bila tidak terdapat kerja sama yang harmonis antara berbagai sub
sistem tersebut maka dikhawatirkan fungsi keluarga tidak berjalan secara baik sehingga bisa
menimbulkan pertentangan, ketidaknyamanan dan bahkan bisa berakibat kepada perceraian.
Selanjutnya, (Sudardja, 1988) memandang bahwa sub sistem dalam keluarga di atas tidak
atas dasar ayah, ibu atau anak-anak, tetapi lebih menekankan kepada fungsi hubungan ayah
dengan ibu (sebagai suami isteri), hubungan ayah dengan anak, hubungan ibu dengan anak, dan
hubungan anak sesama anak Pengertian sub sistem seperti ini mengandung implikasi bahwa
kualitas hubungan ibu dengan anak bisa dipengaruhi oleh hubungan ibu dengan ayah sebagai
3
suami isteri. Bila hubungan mereka kurang harmonis, gersang dan tandus maka hubungan itu
cenderung terpengaruh secara tidak menguntungkan, misalnya ibu sering kesal dan marah pada
anak-anaknya. Begitu pula hubungan ibu dengan ayah sebagai suami isteri dapat berkembang
positif atau negatif karena dipengaruhi oleh hubungan anak sesama anak. Prayitno (2003)
menegaskan bahwa kondisi positif langsung akan sangat menunjang perkembangan anak adalah
kondisi keluarga yang dipengaruhi oleh suasana penerimaan, pencegahan dan penyembuhan
penyakit, penghargaan/ penguatan, pemberian penguatan dan, penampilan positif. Sedangkan
kondisi negatif yang dapat mencederai perkembangan anak adalah kondisi yang membiarkan dan
menyia-nyiakan anak, penganiayaan, penghinaan, pemaksaan, dan penampilan contoh buruk.
Sebagai suatu sistem sosial, keluarga juga berhubungan dan memiliki saling
ketergantungan tertentu dengan keluarga dan/atau sistem lain seperti: dengan tetangga, keluarga
dekat, kantor, perusahaan, sekolah, lembaga agama, adat, dan sebagainya. Hubungan antara
keluarga dengan pihak-pihak di luarnya itu akan memberikan pengaruh tertentu terhadap
hubungan yang berlangsung dalam keluarga yang dapat berdampak positif atau negatif bagi
anggota keluarga pada umumnya. Dalam kaitan dengan ini, Sudardja Adiwikarta (1988)
menyatakan bahwa pada batas-batas tertentu hubungan keluarga dengan pihak lain di luar
dapat mengandung nilai-nilai dan arti edukatif bagi anak-anak, disadari atau tidak disadari,
atau disengaja maupun tidak disengaja.
C. Fungsi Keluarga
Sebagai sub sistem dari kehidupan sosial atau sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri,
keluarga memiliki sejumlah peranan. Prayitno (2003) mengemukakan peranan orang tua adalah
mencukupi kebutuhan anak dalam hal (1) pangan, sandang dan papan, (2) kesehatan, (3)
hubungan sosio-emosional, (4) pendidikan, dan (5) kesempatan. Di samping itu, WHO (dalam
Azis, 1991; Armen 1991) mengemukakan lima peranan dan fungsi pokok keluarga menurut
WHO (Aziz Saleh, 1991 dan Armen Arief, 1991) yaitu (1) fungsi sosialisasi dan edukasi, (2)
fungsi psikologis, (3) fungsi ekonomis, (4) fungsi dalam memenuhi kebutuhan biologis dan
perlindungan pisik, dan (5) fungsi prorekreasi.
Dalam menjalankan fungsi sosialisasi-edukasi, orangtua bertugas memasyarakatkan
serta menanamkan berbagai nilai, norma, pengetahuan, dan keterampilan anak-anaknya dengan
tujuan agar anak-anaknya dapat hidup secara produktif serta mampu menyesuaikan diri secara
baik dengan masyarakat sekitarnya. Fungsi sosialisasi - edukasi ini akan dapat berjalan secara
baik melalui komunikasi dan interaksi timbal balik di antara komponen-komponen yang

4
terdapat di dalam keluarga tersebut. Bahkan tidak aneh dalam masa sekarang anak-anak dapat
melakukan fungsi sosialisasi-edukasi ini kepada orang tuanya.
Berkaitan dengan fungsi keluarga yang pertama ini Aziz (1991) mengingatkan bahwa
nilai-nilai atau norma yang akan diwariskan kepada anak-anak tersebutnya sifatnya ada yang
universal (berlaku untuk semua orang, tempat dan zaman) dan ada yang bersifat relatif yang
maknanya dapat bervariasi dari keluarga satu ke kekeluarga lain, dari waktu kewaktu dan dari
generasi kegenarasi. Artinya apa yang baik pada suatu keluarga belum tentu baik pula untuk
keluarga lain, apa yang bernilai pada saat sekarang belum tentu akan sama halnya dengan masa
mendatang.
Fungsi psikologis dari keluarga menyiratkan bahwa dalam suatu kehidupan keluarga akan
dapat terpenuhi berbagai kebutuhan psikologis anggota-anggotanya. Berbagai kebutuhan
psikologis yang perlu dipenuhi oleh setiap individu menurut Maslow (dalam Mohd Surya, 1997)
yaitu: (1) kebutuhan akan rasa aman, (2) kebutuhan untuk memiliki dan kasih sayang, (3)
kebutuhan akan harga diri, keberhasilan dalam dalam mencapai sesuatu, dan kebutuhan untuk
dianggap penting, (4) kebutuhan akan informasi, dan (5) kebutuhan untuk mengaktualisasikan
diri. Suatu keluarga yang lengkap dan harmonis tampaknya dapat memberikan rasa aman
kepada setiap anggotanya, sehingga anak-anak akan merasa terlindungi dari berbagai ancaman
dari luar, dapat menjadi arena tempat saling memiliki dan dimiliki, dapat menghargai satu
sama lain, dapat menjadi sumber informasi bagi sesama anggota dan dapat dijadikan wadah
untuk mewujudkan diri seoptimal mungkin. Beberapa penelitian yang mengungkapkan hubungan
antara keharmonisan keluarga dengan berbagai perilaku anak di masyarakat. Rumah tangga
yang retak cenderung menghasilkan anak-anak yang nakal, begitu sebaliknya (Zakiah Darajat,
1984).
Fungsi ekonomi keluarga menyiratkan bahwa keluarga adalah tempat untuk pemenuhan
berbagai kebutuhan ekonomi anggota keluarga, seperti sumber nafkah dan belanja bagi anak-
anak. Adanya keluarga jelas menantang orang tua untuk mencari nafkah guna memenuhi
kebutuhan anak-anaknya. Begitu pula keluarga dapat berfungsi sebagai tempat untuk mengatur
distribusi pengeluaran dan pemasukan dari hal-hal yang bersifat ekonomis tersebut di atas
seperti bagaimana membelanjakan uang, kebutuhan apa yang perlu dipenuhi dengan segera,
dan bagaimana mengatur agar tetap ada dana simpanan untuk jangka panjang.
Lebih lanjut (Azis, 1991; Armen 1991) mengemukakan bahwa fungsi biologis dan
perlindungan pisik dari sebuah keluarga memberikan berbagai implikasi yaitu (1) keluarga
dapat dipandang sebagai alat reproduksi dan persalinan, (2) keluarga sebagai pemenuhan gizi
5
dan pengasuhan anak, dan (3) keluarga sebagai tempat tinggal yang menjamin perlindungan
pisik bagi anggotanya. Sebagai alat reproduksi dan persalinan keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan seksual suami-isteri yang selanjutnya buah dari hubungan
seksual itu adalah lahirnya anak dalam keluarga tersebut. Tanpa adanya keluarga, pemuasan
hubungan seksual bersama orang lain adalah suatu perbuatan yang melanggar norma agama,
hukum dan adat-istiadat, tetapi dengan diikatnya sepasang laki-laki dan wanita dalam suatu
ikatan perkawinan, maka mereka telah halal memuaskan kebutuhan seksualnya. Akibat dari
hubungan seksual adalah lahirnya anak-anak. Konsekuensi logis dari adanya anak ini adalah
bahwa keluarga harus dapat menjamin agar pertumbuhan dan perkembangan anaknya berjalan
secara sehat. Untuk itu diperlukan usaha yang dapat memenuhi kebutuhan gizi dan pengasuhan
yang baik untuk anak-anak mereka. Akhirnya suatu keluarga yang sehat perlu tempat tinggal
yang dapat melindungi mereka dari panas terik mata hari atau hujan sehingga mereka dapat
hidup di dalamnya secara wajar.
Fungsi terakhir adalah prorekreasi. Fungsi ini memberikan makna bahwa keluarga dapat
berfungsi sebagai sarana rekreasi yang menciptakan rasa humor, permainan atau hal-hal yang
menyenangkan lainnya bagi semua anggota keluarga. Orang tua dapat bercengkerama dengan
anak-anaknya sehingga dapat menghilangkan keletihan sehabis kerja, anak-anak dapat bermain
dengan saudara-saudaranya, atau mereka semua dapat menikmati hiburan yang terdapat dalam
keluarga tersebut secara santai. Tentu saja suasana santai di rumah itu harus diciptakan sendiri
oleh para anggotanya secara kreatif.
Salah satu catatan yang dapat dikemukakan berkenaan dengan berbagai fungsi keluarga
di atas adalah bahwa kehilangan sebagian kecil dari berbagai fungsi di atas dapat menimbulkan
persoalan dalam keluarga sehingga dapat menimbulkan berbagai benturan dan malah ada yang
berakhir pada perpecahan keluarga. Keluarga yang tidak dapat menjalankan fungsi sosialisasi -
edukasi akan berakibat kepada terputusnya mata rantai nilai-nilai yang ada dalam keluarga
sehingga dapat menyebabkan anak anak nakal, tidak memiliki pegangan nilai dan sebagainya.
Keluarga yang tidak bisa menjalankan fungsi psikologis akan menumbuhkan kesalah-
pahaman antar anggota keluarga sehingga mereka merasa tidak dicintai, diasingkan atau tida
dihargai yang akibat lanjutannya adalah berupa pertengkaran-pertengkaran. Begitu pula keluarga
yang tidak dapat menjalankan fungsi ekonomi, kebutuhan biologis, atau fungsi prorekreasinya
juga akan dapat menyebabkan keluarga tersebut tidak stabil dan berakibat kepada ketidak
utuhan keluarga tersebut.

6
D. Dampak Perubahan Sosial Terhadap Pendidikan Dalam Keluarga
Perkembangan IPTEK telah banyak menimbulkan berbagai perubahan dalam bidang
kehidupan keluarga dan masyarakat. Kemajuan di bidang komunikasi misalnya, telah dapat
menghilangkan jarak antara satu daerah dengan daerah yang lain, antara satu benua dengan
benua lain, bahkan antara bumi dengan planet-planet lain (Erman Amti, dan Marjohan, 1991).
Hal-hal yang terjadi pada suatu negara atau benua dalam sekejap mata telah dapat diketahui di
negara atau di benua lain melalui pesawat radio, televisi, telephone, internet dan sebagainya.
Demikian pula kemajuan dalam bidang transportasi telah membuat mudahnya terjadi mobilitas
penduduk dari suatu negara ke negara lain.
Lebih lanjut Sudardja Adiwikarta (1988) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan timbulnya perubahan sosial di atas. Faktor-faktor tersebut adalah (1) pertumbuhan
penduduk, (2) penemuan-penemuan dan penerapan teknologi baru, (3) kontak dengan budaya
luar, (5) gerakan-gerakan sosial, dan (5) peristiwa-peristiwa alam. Senada dengan itu, ahli lain
mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi akibat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan berbagai faktor lainnya itu telah membawa dampak tertentu
terhadap perubahan struktur sosial, interaksi sosial, ekspektasi masyarakat, peranan dan
status serta mobilitas dari warga masyarakat (Aziz Saleh, 1992).
Bahkan perubahan-perubahan tersebut telah mengakibatkan berbagai masalah sosial
budaya seperti tumbuhnya "cultural lag", gap antar generasi atau kelompok, gap antara
keluarga dengan komunitas atau gap antara dengan komunitas dengan masyarakat. Ilustrasi
dari berbagai kesenjangan itu antara lain adalah sebagai berikut ini. Pada zaman dahulu (kira-
kira 30 tahun yang lalu) orang dapat saja meludah di mana-mana, termasuk di atas rumah,
karena lantainya tanah, sehingga dalam waktu yang singkat saja ludah tersebut telah hilang
diserap oleh tanah tersebut. Tetapi bagaimana pada saat sekarang di mana lantai-lantai rumah
telah banyak dari tembok yang telah dikeramiki ? Tentu kebiasaan meludah di sembarang
tempat tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang wajar untuk kondisi sekarang. Begitu pula
dahulu orang dapat saja membuang sampah di sembarang tempat, karena bahan-bahannya
mudah diproses oleh alam dan setelah itu malah menjadi pupuk bagi tanaman di sekitarnya,
tetapi seka rang sampah-sampah itu lebih banyak terbuat dari bahan-bahan plastik yang sukar
sekali hancur oleh proses alam. Konsekuensinya orang tidak lagi dapat begitu saja membuang
sampah seenaknya di sembarang tempat. Contoh lain dari ketimpangan budaya adalah, dahulu
setiap berjumpa dengan orang lain di jalan akan dianggap sopan kalau bertegur safa, “bersufaha”
atau bersalaman dengan orang tersebut dan menyempatkan waktu untuk berbincang-bincang
7
dengan mereka. Tetapi kebiasaan baik ini tampaknya sukar dilakukan pada saat sekarang,
karena orang telah banyak memakai kendaraan, dan kalau itu akan dilakukan juga maka di
samping menghabiskan waktu juga akan mengakibatkan kemacetan lalu lintas.
Berbagai perubahan sosial di atas juga terjadi dalam kehidupan keluarga, dan menuntut
penyesuaian-penyesuaian perilaku anggota yang ada di dalamnya. Kalau dahulu orang tua ada
lah orang yang sangat dihormati karena berbagai pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya,
pada saat sekarang orang tua perlu juga dihormati tetapi bukan atas dasar bahwa ia banyak tahu
dan kaya pengalaman. Pada saat sekarang orang tua tidak banyak tahu lagi dengan anak-anaknya.
Hal itu disebabkan karena pendidikan anak tidak sama lagi dengan orang tua. Anak telah
mengikuti pendidikan keahlian tertentu seperti komputer, fisika, teknik, kedokteran,
telekomunikasi dan sebagainya dimana orang tua tidak memahaminya, atau mereka telah
mengetahui berbagai informasi dari berbagai media yang mana hal itu tidak sempat dilakukan
oleh orang tuanya. Bila perubahan-perubahan seperti contoh di atas tidak diantisipasi secara baik
oleh orang tua maka dikhawatirkan akan terjadi masalah "cultural lag" seperti yang dikemukakan
terdahulu.
Persoalannya bagaimana sikap orang tua menghadapi berbagai perubahan sosial tersebut
di atas ? Akankah ia terus menerapkan pola-pola- interaksi yang selama ini telah lazim mereka
lakukan ? Akankah orang tua terus mengggunakan teknik-teknik nasehat dalam mendidik anak-
anaknya sementara anak-anak mereka telah menganggap nasehat orang tuanya sebagai
ketinggalan zaman ? Akankah orang tua tetap memberlakukan pola hubungan yang bersifat
Paternalistik atau hubungan atasan-bawahan dengan anak-anaknya pada masa sekarang
sementara anak-anak lebih banyak memiliki informasi dari orang tuanya ?
Menjawab berbagai persoalan di atas para pakar (Aziz Saleh, 1992, dan Sudardja
Adiwikarta, 1988) mengemukakan bahwa pola pendidikan keluarga di tengah arus perubahan
sosial yang pesat itu hendaknya dapat disesuaikan dengan perkembangan dan perubahan sosial
itu sendiri secara kreatif, positif dan dinamis. Aziz Saleh (1992) mengemukakan tiga jenis
pendekatan yang dapat dilakukan orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam era
globalisasi sekarang yaitu (1) pendekatan dialog secara terbuka dengan anak-anak, (2)
pendekatan berpikir kritis dan kreatif, dan (3) pendekatan klarifikasi nilai. Selanjutnya Sudardja
Adiwikarta (1988) mengemukakan bahwa orang tua perlu (1) menerapkan gaya mendidik yang
bersifat moderat dengan anak-anak, (2) menumbuhkan suasana keakraban antara orang tua
dengan anak, (3) mengembangkan budaya rasa salah pada anak-anak dan (4) memberi
kesempatan yang luas kepada anak untuk bergaul dengan lingkungan sekitarnya yang positif.
8
Pendekatan dialog secara terbuka mengimplikasikan bahwa orang tua memberi
kesempatan kepada anak untuk mengemukakan berbagai pengalaman, perasaan dan
pemikirannya tentang berbagai hal di rumah. Dalam hal ini orang tua tidak lagi sebagai
penasehat, tetapi sebagai pendengar dan pembahas terhadap apa-apa yang dikemukakan oleh
anak-anaknya. Anak-anak dirangsang pula untuk menyampaikan segala persoalannya kepada
orang tua, sehingga bila anak telah terbiasa terbuka menyamapaikan segala yang menjadi
pemikiran dan perasaannya tentu anak tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
menguntungkan, sebab masalah itu akan didengar oleh orang tua mereka. Bila dialog ini dapat
berlangsung secara baik di dalam keluarga maka dapat diramalkan akan tumbuh suasana
keakraban antara anak dengan orang tua.
Pendekatan berpikir kritis dan kreatif memberikan implikasi bahwa anak-anak akan
didorong untuk memecahkan persoalan-persoalannya. Mereka diajak untuk mencari, mengolah
dan menggunakan berbagai informasi, mengevaluasi isi dan sumber informasi tersebut, sehingga
mereka memahami mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermanfaat dan mana
yang merugikan. Kepada mereka juga dapat dikemukakan berbagai masalah yang berkembang
dalam masyarakat seperti kebutuhan-kebutuhan, pemakaian obat bius, kenakalan remaja dan
sebagainya. Anak-anak diajak untuk memikirkan berbagai persoalan itu secara kritis, apa
untungnya dan apa pula ruginya, mana yang baik dan mana yang merusak, lalu kepada mereka
disuruh untuk mengaitkan dengan dirinya, misalnya mengatakan kepada anak "Anda mau
bagaimana" ? Akhirnya melalui proses tersebut di atas anak-anak akan dapat mengambil
keputusan tentang apa yang akan mereka lakukan secara bijak dan tepat.
Dalam hal membendung budaya-budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
universal, atau nilai-nilai luhur yang sudah berurat berakar dalam keluarga, pendekatan
klarifikasi nilai dapat digunakan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Dalam hal ini kepada
anak- anak dikemukakan konsekuensi positif dan negatif dari suatu nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat. Misalnya dengan mengatakan kepada anak "Kalau Anda mengerjakan X
....kekuatan dan keuntungan ini dan akibatnya ini , kalau Anda mengerjakan Y ... itu resiko dan
kerugiannya begini. Sebagaimana halnya dengan pendekatan berpikir kritis dan kreatif, dalam
menggunakan teknik klarifikasi nilai anak-anak juga diajak untuk menggunakan rasionya
memilah-milah nilai yang akan dimilikinya.
Sejalan dengan usaha membendung berbagai unsur budaya yang tidak menguntungkan di
atas, kepada anak-anak juga perlu dikembangkan suatu budaya berbuat salah (guilty culture),
bukan budaya malu yang selama ini lebih memasyarakat (Sudardja Adiwikarta, 1988). Artinya
9
anak diarahkan untuk takut berbuat salah walaupun apa yang mereka lakukan itu tidak dilihat
oleh orang lain. Melalui pengembangan budaya salah itu anak-anak akan terlatih untuk disiplin,
bertanggung jawab dan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang benar.

E. Penutup
1. Simpulan
Di tengah-tengah arus informasi dan globalisasi yang demikian pesat berkembang saat
ini, maka sadar atau tidak hal itu akan membawa pengaruh atau efek tertentu terhadap keluarga.
Pengaruh dari era golablisasi itu sendiri akan sangat dirasakan baik dalam hubungan inter
maupun antar keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan
anak tidak dapat mengisolasi diri dari perubahan-perubahan tersebut. Perubahan-perubahan
sosial yang makin pesat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu ikut
mempengaruhi kehidupan keluarga sebagai pranata dasar pendidikan itu. Dewasa ini
dirasakan masalah kehidupan keluarga telah berkembang sedemikian rupa dengan aneka
tantangan dan problema yang kian kompleks. Apa yang dipandang sebagai suatu yang baik pada
suatu kehidupan keluarga pada beberapa dekade yang lalu belum tentu pasti akan baik juga pada
masa sekarang.
2. Saran
Menghadapi berbagai tantangan dan problema tersebut hendaknya keluarga dapat terus
menerus menunaikan fungsi-fungsi pokoknya sebagai tempat sosialisasi-edukasi, perlindungan
psikologis, ekonomis, biologis dan fisik serta sarana untuk prorekreasi bagi segenap anggota-
anggotanya. Di samping itu yang perlu dipahami benar oleh para orang tua dalam menghadapi
arus perubahan sosial yang pesat tersebut adalah bahwa mereka perlu melakukan reorientasi
terhadap pola-pola pendidikan terhadap anak-anaknya. Dalam melakukan fungsi sosialisasi dan
edukasi para orang tua hendaknya lebih dapat bersifat demokratis partisipatif, terbuka,
menumbuhkembangkan suasan dialog, pemberian contoh, teladan, kasih sayang dan kelembutan,
serta pengahargaan. Model yang baik secara persuasif. Cara dan strategi yang demikian akan
menyuburkan terciptanya suasana dialog atau suasana yang kondusif pada anak-anak sehingga
mereka mampu berpikir kritis dalam merespon setiap perubahan sosial tersebut. Dengan
perubahan orientasi itu diharapkan anak-anak tidak akan mudah begitu saja menyerap nilai-
nilai budaya yang tidak cocok dengan keperibadian keluarga, masyarakat dan bangsanya.
-----------------------------------------------------
DAFTAR KEPUSTAKAAN
10
Armen Arief. 1992. Pendidikan Kehidupan Keluarga (Makalah Pada Seminar Nasional
Pendidikan Kehidupan Keluarga Mewujudkan Keluarga Bahagia, Padang.

Aziz Saleh. 1992. Keluarga Sejahtera, (Makalah Pada Seminar Nasional Pendidikan Kehidupan
Keluarga Mewujudkan Keluarga Bahagia, Padang.

Daoed Joesoef. 1986. Pendidikan Manusia & Lingkungan Pendidikan yang Mempengaruhinya.
(Majalah Analisa 5 (Jilid 1. 341-354).

Depdibud RI. 1988. TAP MPR No. II/1988 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

Depdikbud. 1989. UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Driyarkara. 1986. Tentang Pendidikan, Jakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Erman Amti & Marjohan. 1991. Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2TK.

Maslow, W.H. 1962. Toward Psychology of Being. New York: Van Nostrand.

Merril, F.E & Eldredge H.W. 1952. Culture and Society, New York: Prentice Hall.

Mohd. Surya. 1997. Bina Keluarga. Bandung: Rosda Karya.

Prayitno. 2003. Peranan Orang Tua dalam Membentuk Kepribadian Anak dan Remaja (Makalah:
disampaikan pada Seminar Sehari Ikatan Bidang Indonesia Pengurus Daerah Sumatera Barat
di Padang, tangganl 16 April 2003.

Sarlito Wirawan Sarwono.1991. Penanggulangan Konflik Dalam Keluarga, dalam Apa dan
Bagaimana Mengatasi Problem Keluarga. Jakarta : Pustaka Antara.

Sikun Pribadi. 1979. Landasan Pendidikan. Bandung: Jurusan Fundasi Pendidikan FIP IKIP
Bandung (Tidak Diterbitkan)

Sudardja Adiwikarta. 1988. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan
Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK.

Undang-Undang Republik Indonesia No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional

Zakiah Daradjat. 1984. Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.

11
12

Anda mungkin juga menyukai