Anda di halaman 1dari 17

LO 1.

Memahami dan mengetahui tentang asma pada anak


Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten
dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic, cenderung pada malam/ dini hari
(nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwyat asma atau atopi lain pada pasien dan/
atau keluarganya.

 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma
pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun,
38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki.

 Etiologi
Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor
genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et
al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok
merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan
terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang
menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala
ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang
menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk
anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut
berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan
dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat
keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor

genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005)
dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam
mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien
yang dirawatdi rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah
disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor
sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan
peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel
di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan
menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga
membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang
paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien
(Cockrill et al, 2008).

Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi
permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan
yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam
Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4,D4 dan E4. Leukotriene ini
akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.

Faktor resiko : Jenis Kelamin, Usia, Riwayat atopi, Lingkunngan, Ras, Asap rokok, Outdoor air politon,
Infeksi respiratorik.

 Klasifikasi
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA :

1. Intermiten : kurang dari 1 kali/minggu, serangan singkat, gejala nocturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (<2 kali).
2. Persisten ringan : Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, Serangan dapat
mengganggu aktivitas tidur, Gejala nocturnal >2 kali/bulan
3. Persisten sedang : Gejala terjadi setiap hari, Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, Gejala
nocturnal > 1 kali dalam seminggu.
4. persisten berat : Gejala terjadi setiap hari, Serangan sering terjadi, Gejala asma nocturnal sering
terjadi.
Klasifikasi menurut Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia

Parameter klinis, Asma episodic Asma episodic Asma Presisten


kebutuhan obat dan jarang (Asma sering (Asma (Asma berat)
faal paru ringan) sedang)
1. Frekuensi serangan <1x/bulan >1x/bulan Sering
2. Lama serangan
<1 minggu >1 minggu Hampir sepanjang
3. Diantara serangan tahun
4. Tidur dan aktivitas Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
5. PF diluar serangan malam
6. Obat pengendali Tidak terganggu Sering terganggu
Sangat terganggu
7. Uji faal paru Normal Mungkin terganggu
Tidak pernah
8. Variabilitas faal Tidak perlu Nonsteroid/steroid normal
paru hirupan dosis
PEF/FEV1 >80% rendah Steroid hirupan/
PEF/FEP1 60-80% oral
>15%
>30%
PEV/FEP1 <60%
Variabilitas 20-
30%
>50%
 Patofisiologi

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada
berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen yang
dapat menginduksi respons inflamasi akut.
a. Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15 menit. Alergen
akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut.
Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan newly generated
mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi
otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan
maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian
kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian
kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari
sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.
b. Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi
eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya
berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin
juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga
mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus
yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat,
kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam
dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel
mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh
eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan
kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan
sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator
PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos
dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid
biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.
Airway Remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel
inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular,
membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi
yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma
seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Patologi Anatomi
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah :
a. Mukus penyumbat dalam bronki,
b. Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan
c. Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan
aspergilosis.
Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin
sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa.
Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka
superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos
bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung
epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit

peradangan yang agak banyak, terutama


eosinofil terdapat pada mukosa yang
edema.

 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak
kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic dan reversible.
Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

PemeriksaanFisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi
duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi

Paru
Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah
Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
Perkusi : Hipersonor
Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik


mencakup(Muttaqin, 2008):
B1 (Breathing)
o Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk dan
kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot
intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.
o Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal
o Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma menjadi
datar dan rendah.
o Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau
3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama wheezing pada akhir
ekspirasi.

B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi,
tekanan darah dan CRT.

B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai tanda
awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang serangan asma.
Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi
karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan
kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena merangsang
serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor
kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji
kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas
olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkhus
 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
 Pemeriksaan Darah
 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis
 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu serangan
dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
 Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
 Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah
 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat
dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru
2. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:
 Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise
rotation
 Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle
branch block)
 Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting
untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau
bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu
pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
 Penderita tampak sakit berat dan sianosis
 Sesak nafas, bicara terputus-putus
 Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh
dalam dehidrasi berat
 Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat
memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua
tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat.
Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani
pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita
biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa
sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas
terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya
hiperinflasi.
Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala
sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang.
Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis,
dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :


Rinosinusitis, Refluks gastroesofageal, Infeksi respiratorik bawah viral berulang, Displasia
bronkopulmoner, Tuberkulosis , Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran
respiratorik intratorakal, Aspirasi benda asing
Komplikasi
1. Pneumothorax; Keadaan dimana terdapat udara/gas dalam rongga pleura, paru – paru kesulitan
mengembang.
2. Pneumodiastinum: Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
3. Emfisema: Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal, disertai
dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
4. Atelektasis : pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran.
5. BronchitisPeradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus
6. Gagal nafas
7. Perubahan bentuk thorax : Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma
berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.
Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orangtua
asma), dengan cara :
a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak,
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin,
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, Diet hipoalergenik ibu menyusui
2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi
dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama
ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin selama 18
bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan
tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian
setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).
Prognosis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari
5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka
kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
LO 2. Memahami dan mengetahui tentang penatalaksanaan asma pada anak
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila
serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan
bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat
profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas.
Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan
asma tercapai 6 – 8 minggu.
Obat – obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.Reseptor β2 agonist
berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot
lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP
sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain
seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast.
• Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis selektif. Epinefrin
menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit
kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5
jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung dan CNS.
• β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit,
atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam,
lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10
menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini obat inhalasi sulit
mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis
maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4
ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih
banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2
agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4
dan PDE 5.Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian
teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya
makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke
air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul
kejang, takikardi dan aritmia
1. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan nebulisasi β2 agonist menghasilkan
efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes;
usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak
dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
• Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama.
• Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai
kontroler.
• Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek
maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon,
atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja sekaligus
menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan
basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek
anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal.Dosis metilprednisolon IV yang
dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam.Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam.
Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.

Obat – obat Pengontrol


Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik glukokortikoid, leukotrien
modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan
untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi
frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis,
dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2 agonist.Dosis yang dapat
digunakan sampai 400ug/hari (respire anak).Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya lebih
baik.Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan +
LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut :
• LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil leukotriane;
• Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
• Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
• Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari., penggunaannya
aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
• Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan meningkatkan kerja
epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming growth factor (TGF) sehingga dapat
mengendalikan terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah
perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.(respiro anak) Dosis
pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia> 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan asma dengan menekan
produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan
transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS 400ug dengan
tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket,
yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol
(Symbicort).Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.Kombinasi ini mempermudah
penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan untuk
mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid.Tapi efikasi teofilin lebih
rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi,
takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis
lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara
bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox.Perlu
dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pemberian oksigen
(dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara
bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran
helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan
insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada
asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi
cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:
1. Pengobatan Asma Jangka Pendek
2. Pengobatan Asma Jagka Panjang
Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia,
lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal.
Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau
nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus
segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di klinik

Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya. Tatalaksana awal
adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat
ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk
penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan
cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung berikan
nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Penderita serangan berat dengan disertai
dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau respons yang kurang terhadap
nebulisasi beta agonis. Penderita seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
Sedangkan bila dengan sekali nebulisasi penderita menunjukkan respons yang baik, berati serangannya
ringan. Penderita diobservasi selama 2 jam, jika respons tersebut bertahan, penderita dapat dipulangkan.
Penderita dapat diresepkan obat beta agonis, baik hirup maupun oral, yang diberikan tiap 4 sampai 6 jam.
Jika pencetus serngannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek, 3 sampai 5
hari. Penderita kemudian dianjurkan untuk kontrol dalam waktu 24 sampai 48 jam untuk reevaluasi
tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serngan penderita sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut
diteruskan hingga reevaluasi di klinik. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembal,
penderita harus segera dibawa ke rumah sakit.

Pengobatan Asma Jangka Pendek


Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan terus diberikan sampai serangan
merendah, biasanya memakai obat-obatan yang melebarkan saluran pernapasan yang menyempit.
Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi sembab selaput lendir jalan
napas, dan mengatasi produksi dahak yang berlebihan. Macam obatnya adalah:
A. Obat untuk mengatasi penyempitan jalan napas
Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan dikenal sebagai obat bronkodilator.
Ada 3 golongan besar obat ini, yaitu:
- Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
- Golongan Antikolinergik
Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat diperoleh penderita tanpa resep
dokter (takaran < 25 mg), namun tidak tertutup kemungkinannya penderita memperoleh obat anti asma
yang lain.
B. Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas
Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek sampingnya cukup berbahaya (bila
pemakaiannya tak terkontrol), namun cukup potensial untuk mengatasi sembab pada bagian tubuh
manusia termasuk pada saluran napas. Atau dapat juga dipakai kelompok Kromolin.
C. Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.
Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha untuk mengencerkan dahak yang
kental tersebut dan mengeluarkannya dari jalan napas dengan refleks batuk.
Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk minum yang banyak. Namun tak
menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain, seperti Ambroxol atau Carbo Cystein untuk membantu.
Pengobatan Asma Jangka Panjang
Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan pengobatan ini untuk pencegahan
serangan asma.
Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai bertahun-tahun,
dan harus diberikan secara teratur. Penghentian pemakaian obat ditentukan oleh dokter yang merawat.
Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem pengobatan yang diterapkan
pada penderita asma/pilek alergi dengan cara menyuntikkan bahan alergi terhadap penderita alergi yang
dosisnya dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan diharapkan dapat menghilangkan kepekaannya
terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau mengurangi kepekaannya (hiposentisisasi).
Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya serangan asma secara tiba-
tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata pelaksanaan dalam menanggani asma.

Anda mungkin juga menyukai