Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma
pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun,
38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada
lelaki.
Etiologi
Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor
genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan dan Cook (1998) dalam Eder et
al(2006) pada kajian meta analisis yang dijalankan menyimpulkan bahwa orang tua yang merokok
merupakan penyebab utama terjadinya mengi dan asma pada anak. Menurut Corne et al (2002) paparan
terhadap infeksi juga bisa menjadi pencetus kepada asma. Infeksi virus terutamanya rhinovirus yang
menyebabkan simptom infeksi salur pernafasan bagian atas memicu kepada eksaserbasi asma. Gejala
ini merupakan petanda asma bagi semua peringkat usia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang
menyatakan bahwa paparan lebih awal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk
anak tersebut diserang asma (Cockrill et al, 2008). Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut
berpengaruh terhadap kejadian asma. Kecenderungan seseorang untuk menghasilkan IgE diturunkan
dalam keluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering mempunyai riwayat
keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor
genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cock rill et al, 2008). Menurut Tatum dan Shapiro (2005)
dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar berperan dalam
mengurangkan fungsi paru, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya meningkatkan populasi pasien
yang dirawatdi rumah sakit. Mekanisme patogenik yang menyebabkan bronkokonstriksi adalah
disebabkan alergen yang memicu kepada serangan asma. Walaupun telah dikenal pasti alergen outdoor
sebagai penyebab namun alergen indoor turut memainkan peran seperti house dust mites, hewan
peliharaan dan kecoa. Apabila pasien asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel
di sel mast. Sel mast yang telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akan
menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga
membolehkan antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast. Antara mediator yang
paling utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien
(Cockrill et al, 2008).
Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, augmentasi
permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salur pernafasan serta menstimulasi reseptor iritan
yang bisa memicu bronkokonstriksi sekunder (Cockrill et al, 2008). Menurut Drazen et al (1999) dalam
Kay A.B. (2001) sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4,D4 dan E4. Leukotriene ini
akan menyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
hipersekresi mukus apabila berikatan dengan reseptor spesifik.
Faktor resiko : Jenis Kelamin, Usia, Riwayat atopi, Lingkunngan, Ras, Asap rokok, Outdoor air politon,
Infeksi respiratorik.
Klasifikasi
Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA :
1. Intermiten : kurang dari 1 kali/minggu, serangan singkat, gejala nocturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (<2 kali).
2. Persisten ringan : Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, Serangan dapat
mengganggu aktivitas tidur, Gejala nocturnal >2 kali/bulan
3. Persisten sedang : Gejala terjadi setiap hari, Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, Gejala
nocturnal > 1 kali dalam seminggu.
4. persisten berat : Gejala terjadi setiap hari, Serangan sering terjadi, Gejala asma nocturnal sering
terjadi.
Klasifikasi menurut Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan, terutama sel mast,
eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan
sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada
berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan, alergen yang
dapat menginduksi respons inflamasi akut.
a. Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15 menit. Alergen
akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut.
Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator seperti histamin protease dan newly generated
mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi
otot polos, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan
maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian
kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian
kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari
sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.
b. Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi
eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya
berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin
juga berhubungan dengan reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga
mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus
yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat,
kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam
dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti limfosit T, eosinofil, makrofag, sel
mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh
eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan
kental. Sumbatan bronkus oleh mukus ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan
sel-sel mononuklear terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator
PAF yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot polos
dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid
biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat juga mencegah fase ketiga ini.
Airway Remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel
inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular,
membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi
yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma
seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan
napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
Patologi Anatomi
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah :
a. Mukus penyumbat dalam bronki,
b. Inflasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang nyata, dan
c. Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang berhubungan dengan
aspergilosis.
Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin
sering mengandung komponen seroprotein yang timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa.
Dinding bronki tampak lebih tebal dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka
superinfeksi dan bronkitis harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot polos
bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang tidak mengandung
epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel. Pertambahan jumlah limfosit
PemeriksaanFisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi
duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah
Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
Perkusi : Hipersonor
Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi,
tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai tanda
awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang serangan asma.
Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi
karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan
kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena merangsang
serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor
kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji
kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas
olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkhus
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu serangan
dan menurun pada waktu bebas dari serangan
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting
untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau
bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu
pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
Penderita tampak sakit berat dan sianosis
Sesak nafas, bicara terputus-putus
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh
dalam dehidrasi berat
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat
memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.
DIAGNOSIS BANDING
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi dua
tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat.
Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani
pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Penderita
biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa
sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas
terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya
hiperinflasi.
Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu. Penderita
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan gejala
sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang.
Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis,
dan hipertensi.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan direkomendasikan
untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi
frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis,
dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2 agonist.Dosis yang dapat
digunakan sampai 400ug/hari (respire anak).Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak,
gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut
Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau headbox.Perlu
dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan pemberian oksigen
(dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara
bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran
helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan cairan, peningkatan
insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada
asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi
cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:
1. Pengobatan Asma Jangka Pendek
2. Pengobatan Asma Jagka Panjang
Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia,
lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal.
Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau
nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus
segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di klinik
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya. Tatalaksana awal
adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan
nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat
ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk
penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan
cepat dan jelas.
Jika menurut penilaian awal penderita datang dengan serangan berat yang jelas, langsung berikan
nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Penderita serangan berat dengan disertai
dehidrasi dan asodosis metabolik dapat mengalami takifilaksis atau respons yang kurang terhadap
nebulisasi beta agonis. Penderita seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya dirawat untuk
mendapat obat intravena selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.
Sedangkan bila dengan sekali nebulisasi penderita menunjukkan respons yang baik, berati serangannya
ringan. Penderita diobservasi selama 2 jam, jika respons tersebut bertahan, penderita dapat dipulangkan.
Penderita dapat diresepkan obat beta agonis, baik hirup maupun oral, yang diberikan tiap 4 sampai 6 jam.
Jika pencetus serngannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek, 3 sampai 5
hari. Penderita kemudian dianjurkan untuk kontrol dalam waktu 24 sampai 48 jam untuk reevaluasi
tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serngan penderita sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut
diteruskan hingga reevaluasi di klinik. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembal,
penderita harus segera dibawa ke rumah sakit.