Anda di halaman 1dari 25

1.

Memahami dan Menjelaskan Cedera kepala


1.1 Definisi
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi
pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999) cedera kepala adalah
cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio
gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural,
epidural, intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi
trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain Injury
Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun
tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
bahkan dapat menyebabkan kematian.

1.2 Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

1.3 Klasifikasi
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:

a. Cedera kepala terbuka


Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari
benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak
berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio
gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.

Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan
1.) GCS = 13 – 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat
dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI,
2004).

a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu

1). cedera kepala tumpul.

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,


jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang
menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.

2). Cedera tembus.


Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)

b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.

Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi

1). Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective
tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat
longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala,
sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh
darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan
perdarahan yang cukup banyak.

2). Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi

a). Fraktur linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata
pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier
dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk
kedalam rongga intrakranial.

b). Fraktur diastasis

Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak
yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi
pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis
pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan
terjadinya hematum epidural.

c). Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.

d). Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang
kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak,
fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi
masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.

e). Fraktur basis kranii

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat
pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi
fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara
anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter
daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis
melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan
kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak
(meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign
(fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii
fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering
terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan
saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi
pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah
batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan
sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli
THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring
ke posisi yang sehat.

3). Cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera
otak difus.

1). Cedera otak fokal yang meliputi

a). Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat
menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan
kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil
itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
b). Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang


terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir
otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

c). Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari
3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi
sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam
beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran
pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran
tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga
terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan
hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan
menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural
bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain
sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient
ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti
kelemahan otorik dan kejang

d). Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) Intra cerebral hematom
adalah area

Perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak.
Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan
tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma
yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di
parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan
kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

e). Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik


arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna
prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan
menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.

2). Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)

Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak
setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya
akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya
parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas
pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang
menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang
luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi
sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut
(Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi .

a). Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang


menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi),
maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan
serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami
kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi
profunda dengan inti permukaan .

b). Kontsuio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri
adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya
gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh
tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah
kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang
mengenai kepala.

c). Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih
disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan
hipovolemik.

d). Iskemia cerebri


Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan
karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

Cedera kepala yang sudah di uraikan di atas menurut (Judikh Middleton,2007) akan
menimbulkan gangguan neurologis / tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya
yang meliputi

a. Lobus frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda

1). Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)

a). Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan rumit yang di perlukan untuk


menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi

b). Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain

c). Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir

d). Ketidakmampuan fokus pada tugas

e). Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)

f). Perubahan dalam perilaku sosial

g). Perubahan dalam personalitas

h). Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory)

b. Lobus parietal, dekat bagian belakang dan atas dari kepala

1). Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang
bersamaan

2). Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)

3). Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia)

4). Gangguan dalam membaca (alexia)

5). Kesulitan menggambar obyek

6). Kesulitan membedakan kiri dan kanan

7). Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)

8). Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang
memicu kesulitan dalam perawatan diri
9). Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan

10). Kesulitan koordinasi mata dan tangan

c. Lobus oksipital, area paling belakang, di belakang kepala

1). Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)

2). Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan

3). Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)

4). Teriptanya halusinasi

5). Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek

6). Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata

7). Kesulitan mengenali obyek yang bergambar

8). Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek

9). Kesulitan membaca dan menulis

d. Lobus temporal : sisi kepala di atas telinga

1). Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)

2). Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)

3). Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar

4). Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek

5). Hilang ingatan jangka pendek

6). Gangguan memori jangka panjang

7). Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual

8). Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)

9). Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten

10). Peningkatan perilaku agresif

e. Batang otak : dalam di otak

1). Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato


2). Menelan makanan dan air (dysfagia)

3). Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan

4). Masalah dalam keseimbangan dan gerakan

5). Sakit kepala dan mual (vertigo)

6). Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)

f. Cerebellum : dasar otak

1) Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus

2) Kehilangan kemampuan berjalan

3) Ketidakmampuan meraih obyek

4) Bergetar (tremors)

5) Sakit kepala (vertigo)

6) Ketidakmampuan membuat gerakan cepat

c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya.

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer,2000) dapat


diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi

1). Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15.

1. Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.

2. Tidak ada kehilangan kesadaran

3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

5. Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala

6. Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat

2). Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13.

Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai
dengan pernyataan yang di berikan.

a). Amnesia paska trauma


b). Muntah

c). Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebro spinal)

d). Kejang

3). Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.

a). Penurunan kesadaran secara progresif

b). Tanda neorologis fokal

c). Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)

1.4 Patofisiologi

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan aselerasi terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi
rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba
dan batang otak.

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu cedera
otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat
atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik.
Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera
otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan
dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera
sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada
pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstra
kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK),
adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf
kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas
(Brain, 2009).

1.5 Manifestasi Klinis


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005)
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih lama
setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)


a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot,
sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka, fraktur
tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

1.6 Diagnosis & DD

a) Pemeriksaan
1. Neurologis
(1) Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini
harus dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan keadaan
pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu
hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat,
atau jika ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang otak.

(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial


Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting pada
cedera kepala, karena :
 Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis terletak
berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.
 Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan
metabolik, sehingga bisa membedakan koma-metabolik atau koma struktural.
Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes
kalori (okulovestibuler) menunjukkan fungsi medla oblongata dan pons. Jangan
melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat disingkirkan.
Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi okulosefalik.

(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar


Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita
(spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan
dalamnya penurunan kesadaran.

(4) Reaksi Motorik Terbaik


Terbagi atas :
 Gerakan bertujuan jelas
Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :
o +5 : kekuatan gerakan normal
o +4 : kekuatan gerakan mendekati normal
o +3 : mampu melawan gravitasi
o +2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi
o +1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser
 Gerakan bertujuan tidak adekuat
 Postur fleksor
 Postur ekstensor
 Diffise muscle flaccidity

(5) Pola Pernapasan


Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari
keterlibatan berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan bagian
atas spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan memberikan
gambaran pola pernapasan yang berbeda.
Respon Mata ≥1 tahun 0-1 tahun

4 Membuka Mata Spontan

3 Membuka Mata dengan perintah

2 Membuka Mata karena Nyeri

1 Tidak membuka mata

Respon Motorik ≥1 tahun 0-1 tahun

6 Mengikuti Perintah Belum dapat Dinilai

5 Melokalisasi Nyeri

4 Menghindari Nyeri

3 Fleksi Abnormal (Dekortikasi)

2 Ekstensi Abnormal (Deserebrasi)

1 Tidak Ada Respon

Respon Verbal ≥5 tahun 2-5 tahun 0-2 tahun

Orientasi baik dan Meyebutkan kata-


5 Menangis kuat
mampu berkomunikasi kata yang sesuai

Menyebutkan
Disorientasi tapi Menangis
4 kata-kata yang tidak
mampu berkomunikasi lemah
sesuai

Menyebutkan kata- Kadang-kadang


Menangis dan
3 kata yang tidak sesuai menangis atau
menjerit
(kasar, jorok) menjerit

Mengeluarkan Mengeluarkan Mengeluarkan


2
suara suara lemah suara lemah

Tidak ada
1 Tidak ada respon Tidak ada respon
respon

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang
mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan
akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-
operatif.

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang


signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit.

PENCITRAAN

 Radiografi

o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular


cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.

o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural.


Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium.
Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

 CT-scan

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa
perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan
epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus
mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang
besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.

o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.

o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari


waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial


lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan
hematom intraserebral

 MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas.

1.8 Tatalaksana

GCS  8

Ya Tidak

P / M unekual

Ya

Kelola Gadar

CT Cito

Tidak

C-Kepala
terbuka
Ya

Tidak

Neurologi
Normal
Tidak

Ya

TS - /  5” /
Risiko 
Ya

Pulang + Pesan

Tidak

Kelola Gadar

CT Elektif

Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)


 Simple Head Injury (SHI)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekalidan tidak ada defisit
neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatanluka. Pemeriksaan radiologik hanya
atasindikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta
mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat
seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
 Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami cedera
kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksanapasiendenganpenurunan kesadaran
 Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi
bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di
rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval,
nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor,
refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
 Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ lain. Jika
dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan fiksasi leher dengan
pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.

 Cederakepalaberat (SKG 3-8)


Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur
servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan
dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengan cedera kranioserebral
sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.

(Resiko Cedera Kepala)


RENDAH MODERAT TINGGI

Perubahan kesadaran
Kesadaran rendah
Asimptomatis Sakit kepala progresif
Gejala fokal
Dizziness Intoksikasi alkohol/obat
Penurunan kesadaran
Laserasi skalp Riwayat tidak sesuai
Cedera penetrasi
Abrasi skalp ± perforasi tengkorak / fraktur depress
Fraktura depress
cedera wajah serius

a) Primary Survey
(1) Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang servikal collar untuk
immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal. Intubasi endotrakeal dini harus
segera dilakukan pada penderita koma.
(2) Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis
gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO 2. Penggunaan pulse
oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2 (target > 98%).
(3) Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu
tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus segera distabiisasi untuk mencapai euvolemia,
segera lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1
(300 ml RL/100 mL darah yang hilang).
(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)
 Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :
A = alert.
V = respon terhadap rangsangan verbal.
P = respon terhadap rangsangan nyeri.
U = tidak ada respon.
 Pupil :
1. Ukuran.
2. Reaksi cahaya.
(5) Exposure
Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.
b) Secondary Survey
1. Cedera Kepala Ringan
(1) Riwayat :
 Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
 Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera, tingkat
kewaspadaan
 Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang atau berat)
(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
(3) Pemeriksaan neurologis
(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi
(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
(6) CT-Scan
(7) Kriteria Rawat :
 Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
 Riwayat kehilangan kesadaran
 Penurunan tingkat kesadaran
 Nyeri kepala sedang hingga berat
 Intoksikasi alkohol atau obat
 Fraktur tengkorak
 Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
 Cedera penyerta yang jelas
 Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
 CT-Scan Abnormal atau tidak ada
 Semua cedera tembus
(8) Kriteria pemulangan
 Tidak memenuhi kriteria rawat
 Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan memburuk dan
berikan lembaran observasi
 Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
2. Cedera Kepala Sedang
(1) Pemeriksan Awal :
(2) Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah pemeriksaan darah sederhana
dan EKG
(3) Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk observasi
(4) Setelah dirawat :
 Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)
 CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada perburukan atau akan
dipulangkan
 Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol dipoliklinik biasanya 2
minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu 1 tahun setelah cedera
 Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan penatalaksanaan
sesuai protokol cedera kepala berat
3. Cedera Kepala Berat
(1) Riwayat :
 Usia, jenis, dan saat kecelakaan.
 Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
 Perjalanan neurologis.
 Perjalanan tanda-tanda vital.
 Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
 Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.
(2) Stabilisasi kardiopulmoner
 Jalan napas, intubasi dini
 Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.
 Kateter Folley, NGT.
 Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan Ekstremitas.
(3) Pemeriksaan Umum
(4) Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai
 Trakeostomi
 Tube dada
 Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi
 Parasentesis abdominal
(5) Pemeriksaan neurologis
 Kemampuan membuka mata
 Respon motor
 Respon verbal
 Reflek pupil
 Okulosefalik (dolls)
 Okulovestibuler (kalorik)
(6) Obat-obat terapeutik
 Na Bikarbonat
 Manitol
(7) Tes Diagnostik
 CT-Scan
 Ventrikulogram udara
 Angiogram

c) Terapi Medikamentosa Cedera Otak
Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah
mengalami cedera.
i) Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia.
Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan
yang dianjurkan adalah larutan garam fisiologis atau Ringer’s Lactate.
ii) Hiperventilasi
Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya pada waktu tertentu. Umumnya, PCO2
dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih, karena PCO2 < 30 mmHg akan menyebabkan
vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia otak. Hiperventilasi dalam waktu singkat (25-
30 mmHg) dapat diterima pada keadaan deteriorasi neurologis akut.
iii) Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.
Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan adalah 1 g/kg
BB intravena. Jangan diberikan pada pasien yang hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi
neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat
pasien observasi. Pada keadaan ini, berikan bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan
penderita langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui dengan
CT-Scan).
iv) Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB diberikan secara
intravena, tapi jangan diberikan pada pasien hipovolemik.
v) Steroid
Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak menunjukkan manfaat.
vi) Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Tapi jangan diberikan
pada keadaan hipotensi dan hipovolemi
vii) Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang terjadi pada
minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi. Fenitoin adalah obat yang biasa
diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya adalah 1 g intravena dengan kecepatan
pemberian < 50 mg/menit dan dosis pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk
mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam
digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.
d) Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)
Dilakukan bila ada :

 Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)


 Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)
 Fraktura depress terbuka
 Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm
 Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm
 Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral
 #5 & #6 (<5 mm), tapi mengalami perburukan/sisterna basal terkompres
 Massa lobus temporal 30 ml
1. Lesi Kulit Kepala
Perdarahan dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi, atau ligasi pembuluh darah. Penjahitan,
pemasangan klips atau staples dapat dilakukan kemudian. Inspeksi secara cermat dilakukan
untuk menemukan adanya fraktur tengkorak atau benda asing. Adanya LCS menunjukkan
robekan Dura.
2. Fraktur Depresi Tengkorak
Fraktur ini mebutuhkan koreksi operatif bila tebal depresi lebih tebal dari ketebalan tulang di
sekitarnya. CT-Scan berguna untuk menentukan dalamnya depresi tulang, ada-tidaknya
perdarahan intrakranial atau kontusi.
3. Lesi Massa Intrakranial
Lesi harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Tindakan kraniotomi darurat
dilakukan pada keadaan perdarahan intrakranial yang membesar dengan cepat dan mengancam
jiwa.
1.8 Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan hematoma
intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala
addalah;

1. Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin berasal
dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan dewasa. Edema paru
terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan darah
sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan
semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang,
tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan
sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara
umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas
pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih
lanjut.

2. Peningkatan TIK

Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan


herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam
otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan
akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.

3. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut. Perawat
harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan menyediakan spatel lidah
yang diberi bantalan atau jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan,
jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling banyak
digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-hati terhadap efek pada
system pernafasan, pantau selama pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

4. Kebocoran cairan serebrospinalis

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges,
sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap,
cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien untuk tidak
memanipulasi hidung atau telinga.

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999)


pada cedera kepala meliputi:

a. Koma

Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.
Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

b. Kejang/Seizure

Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang- kurangnya


sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

c. Infeksi

Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran


(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

d. Hilangnya kemampuan kognitif.

Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori


merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami
masalah kesadaran.

e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.


Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer
tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.

1.9 Pencegahan

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu
lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti
pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk
mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan
pemberian pertolongan pertama, yaitu :

1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).

Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada
kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi
prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway
disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh
karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup
lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan
jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga
menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)

Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu
pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.

3. Menghentikan perdarahan (Circulations).


Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada
syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan
pemberian transfuse darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak
darah.

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat,
penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk
mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting
untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan
dukungan psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu
ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik

a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas
dan bawah tubuh.

b. Perlengkapan splint dan kaliper

c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan


memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas
kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual
yang semuanya

memerlukan semangat hidup.

3. Rehabilitasi Sosial

a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan


paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.

b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

1.10 Prognosis

 Prognosis TK tergantung berat dan letak TK.


 Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada respon E,
V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia,
tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
Faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan awal/resusitasi,
transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai, terlambat dilakukan tindakan
pembedahan dan disertai trauma multipel yang lain.

Anda mungkin juga menyukai