Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembelajaran IPA (Fisika) adalah pembelajaran yang tidak

mengabaikan hakikat IPA (Fisika) sebagai sains. Hakikat sains yang

dimaksud meliputi produk, proses, dan sikap ilmiah. Pembelajaran IPA

(Fisika) seharusnya dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa

sehingga menambah kemampuan dalam mengkonstruksi, memahami, dan

menerapkan konsep yang telah dipelajari. Dengan demikian, siswa akan

terlatih menemukan sendiri berbagai konsep secara holistik, bermakna, otentik

serta aplikatif untuk kepentingan pemecahan masalah (Mohammad Taufik

dkk, 2010). Hal ini pula yang tidak terlepas dari tujuan pembelajaran fisika itu

sendiri salah satu di antaranya, yaitu mengembangkan kemampuan bernalar

dalam berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan

prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan

masalah baik secara kualitatif dan kuantitatif (Permendiknas No. 22 Tahun

2006).

Berdasarkan uraian di atas telah terdapat penyimpangan apa yang

diharapkan dengan kenyataan yang ada pada pencapaian tujuan pembelajaran

fisika. Karena berdasarkan observasi yang dilakukan di SMA Negeri 5 Palu,

guru fisika hanya mengandalkan pembelajaran yang berpusat pada guru

dengan perangkat pembelajaran yang hanya mengandalkan buku acuan tanpa

1
menggunakan sarana pembelajaran lainnya, seperti laboratorium,

perpustakaan, media pembelajaran, lingkungan sekitar maupun internet yang

begitu jarang untuk dimanfaatkan sebagai salah satu sumber informasi belajar.

Pembelajaran hanya berpusat pada pemberian informasi tanpa memperhatikan

nilai-nilai yang terdapat dalam kurikulum sehingga sebagian besar dari siswa

tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan

bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan.

Selain permasalahan di atas, permasalahan yang perlu diperhatikan juga

adalah pandangan siswa tehadap mata pelajaran fisika, fisika di anggap

sebagai pelajaran yang menakutkan anggapan ini timbul dikarenakan soal-soal

yang diberikan oleh guru lebih banyak pada pendekatan matematis yang

menyebabkan siswa menjadi susah dan kewalahan dalam menghafal

persamaan-persamaan fisika tanpa memahami maknanya. Permasalahan ini

memberikan efek negatif pada minat siswa untuk mempelajari mata pelajaran

sains khususnya fisika. Hal ini timbul karena bagi mereka pelajaran IPA

(Fisika) adalah pelajaran yang menakutkan dan mengerikan karena mereka

menganggap pelajaran ini dipenuhi oleh persamaan-persamaan yang sangat

susah untuk dimengerti dan dipahami.

Kebiasaan guru dalam memberikan soal-soal dengan pendekatan

matematis menjadikan siswa menjadi kesulitan bila dihadapkan pada soal-soal

pemecahan masalah yang berkaitan dengan konsep, maupun yang berkaitan

dengan kehidupan sehari-hari siswa itu sendiri, ini mengindikasikan bahwa

pemecahan masalah masih jauh dari perhatian. Selain itu, kesulitan dalam

2
memahami pelajaran fisika menjadi masalah yang sering di hadapi oleh siswa

yang cenderung untuk malas berpikir, apatis, kurang peduli, dan masa bodoh

yang kemudian berakibat pada rendahnya kemampuan untuk memecahkan

suatu permasalahan yang terkait dengan pelajaran fisika itu sendiri. Bila

semua permasalahan di atas terus dan terus dibiarkan bukan tidak mungkin

jika minat siswa untuk mempelajari sains menjadi minim dan tujuan dari

pembelajaran fisika menjadi sia-sia dan tidak tercapai.

Mohammad Taufik dkk, (2010) mengemukakan bahwa pembelajaran

IPA (Fisika) perlu diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mendorong siswa

belajar secara aktif, baik fisik, mental-intelektual, maupun sosialnya untuk

memahami konsep-konsep Fisika. Pembelajaran Fisika yang diharapkan

memerlukan keterlibatan aktif seluruh siswa dalam menemukan sendiri

pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Tugas guru tidak hanya

sekedar mengupayakan para siswa memperoleh berbagai produk pengetahuan

dan keterampilan. Guru diharapkan dapat mendorong siswa bekerja kelompok

untuk menumbuhkan daya nalar, cara berpikir logis, sistematis, kreatif, cerdas,

dan terbuka. Dalam konteks yang lebih luas pembelajaran IPA (Fisika) tidak

hanya membelajarkan konsep-konsepnya saja, namun juga disertai dengan

pengembangan sikap dan keterampilan ilmiah (domain pengetahuan dan

proses kognitif) untuk memahami gejala alam yang terjadi di sekitarnya.

Beradasarkan uraian diatas dan untuk mengatasi permasalahan yang

dihadapi pada proses pembelajaran fisika maka perlu ada perubahan pada

proses pembelajaran yang berpusat kepada guru menjadi berpusat pada siswa,

3
perlu dikembangkan pengalaman belajar melalui pendekatan dan inovasi yang

mengaitkan antara materi pelajaran dengan permasalahan yang dihadapi serta

pemanfaatan sumber belajar secara optimal. Dengan terlibat langsung dalam

proses pembelajaran siswa diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan

dapat meningkatkan keterampilan berpikir dalam memecahkan masalah

(Santyasa, 2007). Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah pembelajaran

konstruktif dan berpusat pada pemecahan masalah yaitu penerapan model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS).

Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh peneliti tentang model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) diperoleh hasil yang cukup

signifikan, diantaranya penelitiaan yang dilakukahn oleh: Gamze Sezgin

Selcuk, dkk (2008), Hideki Muneyoshi (2004), Gerard J. Puccio (2004) dan

Adi Nur Cahyono (2005).

Creative problem solving (pemecahan masalah kreatif) dalam

penyelesaian problematik maksudnya segala cara yang dikerahkan oleh

seseorang dalam berpikir kreatif, dengan tujuan menyelesaikan suatu

permasalahan secara kreatif. Dalam implementasinya, Creative problem

solving dilakukan melalui solusi kreatif. Creative problem solving dibangun

atas tiga macam komponen penting, yaitu: ketekunan, masalah dan tantangan.

Creative problem solving berusaha mengembangkan pemikiran divergen,

berusaha mencapai pelbagai alternatif dalam memecahkan suatu masalah.

Selain itu, dalam implementasinya pun lebih banyak menempatkan para

4
pendidik sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator belajar baik secara

individu maupun secara berkelompok (B. Suryosubroto, 2009).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini di

rumuskan berikut: bagaimana penggunaan model pembelajaran Creative

Problem Solving di Pada Pembelajaran Fisika?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi penggunaaan

model pembelajaran Creative Problem Solving Pada Pembelajaran Fisika.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Memberikan strategi dan solusi baru dalam proses pembelajaran sehingga

dapat meningkatkan kemampuan dan aktifitas belajar siswa di dalam dan

di luar kelas

2. Memberikan pengalaman dan pemahaman baru melalui penerapan model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) sehingga dapat

meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah fisika.

3. Menambahkan wawasan dan ilmu pengetahuan dan dapat pula menjadi

bahan masukan bagi peneliti sebagai calon pendidik serta dijadikan

sebagai bukti empiris tentang model CPS yang nantinya dapat digunakan

sebagai informasi dan kajian oleh berbagai pihak yang terkait

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Pembelajaran Creative Problem Solving

Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu cara berpikir dan bertindak.

Creative Problem Solving (CPS) terdiri dari tiga kata, yaitu:

Creative : Suatu gagasan yang mempunyai suatu unsur corak baru atau

keunikan, sedikitnya kepada satu/orang yang menciptakan solusi,

dan juga mempunyai kaitan dan nilai

Problem : situasi yang menghadiahi suatu tantangan, suatu kesempatan, atau

suatu perhatian.

Solving : sebuah jalan pemikiran untuk menjawab, untuk temu, atau untuk

memecahkan masalah itu.

Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu proses, metoda, atau sistem

untuk mendekati suatu masalah di dalam suatu jalan/cara yang imajinatif dan

menghasilkan tindakan yang lebih efektif Mitchell, dkk (1999).

Creative Problem Solving (CPS ) atau pemecahan masalah kreatif dalam

penyelesaian problematik maksudnya segala cara yang dikerahkan oleh seseorang

dalam berpikir kreatif, dengan tujuan menyelesaikan suatu permasalahan secara

kreatif. Dalam implementasinya, Creative Problem Solving (CPS) dilakukan

melalui solusi kreatif. Creative Problem Solving (CPS)dibangun atas tiga macam

komponen penting, yaitu: ketekunan, masalah dan tantangan. Creative Problem

Solving (CPS) berusaha mengembangkan pemikiran divergen, berusaha mencapai

6
pelbagai alternatif dalam memecahkan suatu masalah. Selain itu, dalam

implementasinya pun lebih banyak menempatkan para pendidik sebagai

fasilitator, motivator dan dinamisator belajar baik secara individu maupun secara

berkelompok (B. Suryosubroto, 2009).

2.2 Tahap Pembelajaran CPS

Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran

yang berpusat pada kemampuan pemecahan masalah yang diikuti dengan

penguatan kreatifitas dan mengembangkan keterampilan berpikir kreatif

maupun berpikir kritis dalam proses pembelajarannya. Proses Creative Problem

Solving (CPS) diperkenalkan pertama kali oleh Osborn-Parnes yang dikenal

dengan model pemecahan masalah Osborn-Parnes. Model ini menggunakan

langkah-langkah seperti tabel berikut :

Tabel 1: Tahap Pembelajaran CPS

KEGIATAN
PROSES TAHAP CPS
PEMBELAJARAN

Tahap pertama:  Memahami dan

Memahami menganalisis konteks


Memahami
Masalah permasalahan yang
Tantangan
(Context dibimbing oleh guru.
(Understanding
Recognition)
the Challenge)
Tahap kedua:  Penjelasan konteks

Konfirmasi masalah oleh guru,

Informasi pengolahan

7
(Information informasi/data dan fakta

Confirmation) untuk membentuk

konsep yang diperlukan

dalam memecahkan

masalah

 Menyusun Pernyataan-
Tahap ketiga:
pernyataan masalah
Pencarian
yang selanjutnya dipilih
Masalah
untuk dipecahkan
(Problem
melalui diskusi
Search)
kelompok

 Menghasilkan beragam

Menghasilkan Tahap keempat: ideide/solusi pemecahan

Gagasan/ide Penemuan masalah melalui diskusi

(Generating Solusi kelompok

Ideas) (Solution Mempersiapkan

Discovery) Tindakan (Preparing

for the Actions)

Mempersiapkan Tahap kelima:  Memperkuat solusi,

Tindakan Pemilihan mengevaluasi dan

(Preparing Solusi memilih solusi yang

for (Solution tepat atas masalah yang

the Actions) Selection) ingin dipecahkan.

8
 Berbagi solusi atas

masalah yang

dipecahkan melalui
Tahap
presentasi.
Keenam:
 Memberi tanggapan atas
Penerimaan
solusi yang disampaikan
(Acceptance)
kelompok lain untuk

dikoreksi bersama-

sama.

Model CPS adalah salah satu model pembelajaran yang memiliki

karakteristik utamanya adalah penggunaan berulang-ulang berpikir divergen dan

konvergen dalam setiap langkahnya yang membentuk sistem yang dinamis dan

fleksibel untuk program pemecahan masalah. Berpikir divergen memfasilitasi

menghasilkan banyak ide atau solusi kreatif dalam proses CPS (fakta, definisi

masalah, ide, kriteria evaluasi, strategi implementasi). Berpikir konvergen adalah

keterampilan untuk menghasilkan solusi atau ide yang paling menjanjikan untuk

eksplorasi lebih lanjut.

Mitchell dan Kowalik (1999) merekomendasikan suatu pola berpikir

divergen yang efektif, yaitu:

1. Menangguhkan adanya sebuah pembenaran

2. Melihat/memperhatikan kumpulan ide

9
3. Menerima seluruh ide

4. Menambahkan ide sendiri pada ide yang telah dikumpulkan

5. Mengecek ide secara bertahap

6. Mencoba mengkombinasikan

Adapun pola berpikir konvergen yang efektif yang direkomendasikan,

adalah sebagai berikut (Mitchell dan Kowalik, 1999):

1. Tenang (tidak tergesa-gesa) dan berhati-hati

2. Eksplisit (tegas dan jelas)

3. Menghindari keputusan yang terlalu dini

4. Mencari kejelasan

5. Membangun kebenaran afirmatif

6. Jangan menyimpang dari tujuan

Secara praktis, berpikir divergen adalah pola berpikir yang menyebar,

sedangkan berpikir konvergen adalah pola berpikir yang mengumpul atau dengan

kata lain Berpikir divergen adalah berpikir yang beragam (bervariasi), berbagai

ide dari pengertian sudut pandang yang berbeda-beda. Berpikir konvergen adalah

memilih atau mengambil satu yang terbaik dari berbagai ide tersebut (Isrok’atun,

2012).

10
BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah library research, yaitu penelitian yang dilaksanakan

dengan menggunakan literatur, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil

penelitian dari penelitian terdahulu.

3.1 Data dan Sumber Data

Data yang dikelola pada penelitian ini adalah adalah data kualitatif dan

sumber data penelitian terdiri atas data penelitian yang diperoleh peneliti secara

tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain).

umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam

arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan

berupa buku-buku, laporan, web (internet) informasi lainnya yang berhubungan

dengan penulisan untuk mencari hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku,

artikel yang berkaitan dengan kajian tentang model pembelajaran CPS.

Setelah metode pencarian kita tentukan, langkah berikutnya ialah

melakukan penyaringan dan pengumpulan data. Penyaringan dilakukan agar kita

hanya mendapatkan data yang sesuai saja, sedang yang tidak sesuai dapat kita

abaikan. Setelah proses penyaringan selesai, maka pengumpulan data dapat

dilaksanakan.

Data yang telah terkumpul perlu kita evaluasi terlebih dahulu, khususnya

berkaitan dengan kualitas dan kecukupan data. Jika peneliti merasa bahwa

11
kualitas data sudah dirasakan baik dan jumlah data sudah cukup, maka data

tersebut dapat kita gunakan untuk menjawab masalah yang akan kita teliti.

Tahap terakhir strategi pencarian data ialah menggunakan data tersebut

untuk menjawab masalah yang kita teliti. Jika data dapat digunakan untuk

menjawab masalah yang sudah dirumuskan, maka tindakan selanjutnya ialah

menyelesaikan penelitian tersebut. Jika data tidak dapat digunakan untuk

menjawab masalah, maka pencarian data harus dilakukan lagi dengan strategi

yang sama.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam karya tulis ilmiah ini berupa

identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, jurnal, web (internet)

atau informasi lainnya yang berhubungan dengan penulisan untuk mencari hal-hal

atau variabel yang berupa catatan, buku, artikel yang berkaitan dengan kajian

tentang model pembelajaran CPS.

3.3 Analisa Data

3.3.1 Analisa Deskriptif

Analisa data ini berupa Analisa deskriptif yaitu usaha untuk

mengumpulkan atau menyusun data, kemudian melakukan analisis terhadap data

tersebut yang menghasilkan data berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka.

Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif dimana metode

kualitatif menghasilkan data secara tertulis maupun lisan.

12
3.3.2 Analisis Isi

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi, dimana

data deskriptif sering hanya dianalisis menurut isinya. Analisis isi adalah teknik

penelitian untuk membuat interferensi-interferensi yang dapat ditiru dan sahih

data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan

komunikasi atau isi komunikasi.

13
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan studi literatur yang diperoleh peneliti mengenai model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) ada beberapa penelitian yang

menunjukan hasil yang signifikan dalam memecahkan masalah, diantaranya:

Gamze Sezgin Selcuk, dkk (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran problem

solving secara efektif dapa meningkatkan prestasi belajar fisika, kinerja

pemecahan masalah dan penggunaan strategi. Hideki Muneyoshi (2004)

mengungkapkan para pendidik merasakan dampak dari penggunaan aspek CPS

pada siswa, seperti dampak siswa terhadap sikap pembelajaran, sikap siswa

terhadap pemecahan masalah, motivasi belajar siswa, dan sebagainya. Gerard J.

Puccio (2004) mengungkapkan bahwa aspek berbeda dari CPS melibatkan peserta

didik dalam pemikiran yang imajinatif yang menyenagkan dan pula proses

divergen sebagai aspek yang banyak memegang nilai terbesar dan Cahyono

(2005) pengembangan model CPS berbasis teknologi dapat meningkatkan

ketuntasan belajar, meningkatkan keaktifan dan keterampilan proses siswa secara

signifikan.

Creative problem solving berusaha mengembangkan pemikiran divergen,

berusaha mencapai pelbagai alternatif dalam memecahkan suatu masalah. Selain

itu, dalam implementasinya pun lebih banyak menempatkan para pendidik sebagai

14
fasilitator, motivator dan dinamisator belajar baik secara individu maupun secara

berkelompok (B. Suryosubroto, 2009).

4.2 Pembahasan

Creative problem solving berasal dari kata creative, problem, dan solving.

Creative artinya banyak ide baru dan unik dalam mengkreasi solusi serta

mempunyai nilai dan relevan; problem artinya suatu situasi yang memberikan

tantangan, kesempatan, yang saling berkaitan; sementara solving, artinya

merencanakan suatu cara untuk menjawab atau menemukan jawaban dari suatu

problem (Mitchell dan Kowalik, 1999). Secara harfiah, CPS dapat diartikan

sebagai kemampuan dalam merencanakan suatu cara/ide yang baru dan unik guna

menjawab sebuah problem yang sedang dihadapi.

Creative Problem Solving (CPS) lebih menekankan pada pentingnya

penemuan berbagai alternatif ide dan gagasan, untuk mencari berbagai macam

kemungkinan tindakan pada setiap langkah dari proses pemecahan masalah yang

digunakan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kadang kala siswa

dihadapkan pada problem yang bersifat complex problem, yang harus sesegera

mungkin diselesaikan. Problem ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan proses

problem solving yang sudah kita kenal, tetapi siswa dituntut untuk membuat

hubungan baru dari konsep yang ada untuk dapat membuat rencana penyelesaian.

Tidak menutup kemungkinan, seandainya tidak membuat keterkaitan baru,

problem tersebut terasa tertutup dari solusi yang diharapkan. Oleh karena itu,

penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan creative problem solving ini.

Masalah yang sama seringkali diselesaikan dengan solusi yang berbeda karena

15
situasi yang semakin dinamis. Hal ini membutuhkan kreativitas dalam

menemukan solusi pemecahan masalah yang tepat. Kunci utama dari kreativitas

adalah kemampuan dalam menggali ide-ide, metode lain, ataupun pendekatan

alternatif untuk mencapai pemecahan masalah yang efektif dan efisien.

Berdasarkan studi literatur yang diperoleh peneliti mengenai model

pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) ada beberapa penelitian yang

menunjukan hasil yang signifikan dalam memecahkan masalah, diantaranya:

Gamze Sezgin Selcuk, dkk (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran problem

solving secara efektif dapa meningkatkan prestasi belajar fisika, kinerja

pemecahan masalah dan penggunaan strategi. Hideki Muneyoshi (2004)

mengungkapkan para pendidik merasakan dampak dari penggunaan aspek CPS

pada siswa, seperti dampak siswa terhadap sikap pembelajaran, sikap siswa

terhadap pemecahan masalah, motivasi belajar siswa, dan sebagainya. Gerard J.

Puccio (2004) mengungkapkan bahwa aspek berbeda dari CPS melibatkan peserta

didik dalam pemikiran yang imajinatif yang menyenagkan dan pula proses

divergen sebagai aspek yang banyak memegang nilai terbesar dan Cahyono

(2005) pengembangan model CPS berbasis teknologi dapat meningkatkan

ketuntasan belajar, meningkatkan keaktifan dan keterampilan proses siswa secara

signifikan.

Pada pembelajaran fisika kita dapat menerapkan model pembelajaran

creative problem solving untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam

meningkatkan kreativitas siswa terhadap apa yang mereka pelajari utamanya

dalam menemukan solusi pemecahan masalah yang tepat. Untuk model

16
pembelajaran CPS tahap pelaksanaannya di dalam kelas secara singkat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Memahami masalah

Pada fase ini guru memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas pemecahan

masalah dan menggali pengetahuan awal siswa melalui tanya jawab yang

berisi masalah - masalah konseptual.

Contohnya:

Guru memberikan pertanyaan kepada siswa mengapa pelangi bisa terbentuk?

2. Konfirmasi informasi

Pada fase ini guru mengorganisasikan kegiatan belajar siswa dengan membagi

siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil (4-5 orang tiap kelompok).

Contohnya:

Guru membagi siswa menjadi 5 kelompok secara heterogen.

3. Pencarian masalah

Pada fase ini guru membimbing siswa merumuskan pernyataan-pernyataan

masalah serta memfasilitasi siswa untuk bertukar pandangan atau ide dalam

diskusi kelompok.

Contohnya:

Guru memberikan pernyataan tentang pembiasan dan membantu siswa untuk

bertukar pendapat dalam diskusi kelompok.

4. Penemuan masalah

Pada fase ini guru menciptakan suasana adu argumen, sebagai fasilitator

dalam diskusi kelompok.

17
Contohnya:

Siswa saling memberikan argument tentang pembiasan misalnya pelangi dapat

tebentuk karena ada pembiasan cahaya oleh butir-butir air hujan.

5. Pemilihan solusi

Pada fase ini guru memfasilitasi siswa untuk menyeleksi solusi yang

dikembangkan oleh siswa

Contohnya:

Guru menyeleksi masing-masing kelompok atas argument yang dikemukakan

dan memberi penguatan atas argument yang dikemukakan.

6. Penerimaan

Pada fase ini guru mengevaluasi atas alternatif solusi dan kinerja setiap

kelompok dalam memecahkan masalah dan membimbing siswa mengambil

kesimpulan

Contohnya:

Guru menilai kinerja kelompok dan menyimpulkan materi pembiasan. Setelah

itu, guru memberikan kuis untuk mengevaluasi siswa atas pembelajaran yang

dilakukan.

a) Jelaskan apa yang dimaksud dengan Kalor

b) Jelaskan bebecara perpindahan kalor

18
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah di uraikan di atas, maka dapat di

simpulkan bahwa deskripsi penggunaan model pembelajaran CPS yaitu: (1)

penemuan masalah, guru memberikan pertanyan kepada siswa. (2) Konfirmasi

informasi, guru membagi siswa kedalam kelompok kecil. (3) Pencarian

masalah, siswa merumuskan pernyataan masalah yang dibimbing oleh guru.

(4) penemuan masalah, siswa melakukan adu argument. (5) pemilihan solusi,

guru menyeleksi argument terbaik siswa. (6) penerimaan, guru mengevaluasi

siswa dan menyimpulkan pembelajaran.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang penerapan model

CPS pada konsep perpindahan kalor, peneliti memberikan beberapa saran

sebagai berikut:

1. Agar menghindari kebingungan dan kesalahan siswa dalam menyatakan

permasalahan, guru hendaknya memberikan batasan antar sub konsep

ketika memulai konsep baru dalam menggunakan pembelajaran model

CPS.

2. Agar diskusi yang dilakukan siswa dalam masing-masing kelompoknya

saat tahap pencarian masalah hingga pemilihan solusi tidak memakan

19
banyak waktu, guru hendaknya mampu mengatur kesesuaian waktu yang

tersedia sehingga pembelajaran dapat terlaksana lebih maksimal.

3. Guru sebaiknya mengelola persentasi siswa lebih optimal dan tepat waktu

agar dapat memberikan penguatan konsep pada saat menanggapi

persentasi kelompok dan pertanyaan siswa.

20

Anda mungkin juga menyukai