FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU
REFERAT
FEBRUARI 2018
Disusun Oleh:
Pembimbing :
dr. Abdul Faris, Sp.OG(K)
1
HALAMAN PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Alkhairaat
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran
pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan
selama kehamilan.2
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Asma
mempengaruhi 5-10% penduduk dunia atau sekitar 23,4 juta orang. Setiap tahun,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 15 juta kecacatan
berdasarkan tahun hidup yang hilang dan 250.000 kematian akibat asma dilaporkan di
seluruh dunia.4
5
pada akhir kehamilan. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 – 6 % dari populasi.
Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma
menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.2, 4
2.3 ETIOLOGI
Sesuatu yang dapat memicu serangan asma adalah sangat bervariasi antara
satu individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen,
polusi udara, infeksi saluran nafas, lelah, perubahan cuaca, makanan, obat atau
ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan
eksaserbasi ini adalah rhinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks
gastroesofageal dan kehamilan.3,4
2.4 PATOFISIOLOGI
6
Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran
napas seperti berikut4:
1. Bronkokonstriksi
Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang menyebabkan penyempitan
saluran napas sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti alergen atau iritan.
Bronkokonstriksi akut akibat alergen terjadi lewat IgE dependent release of mediator
dari sel mast. Juga ada mekanisme non IgE dalam pelepasan mediator.
2. Edema saluran napas
Jika inflamasi makin progresif ada faktor-faktor lain yang menghambat aliran
udara antara lain : edema, hipersekresi mukus, mukus plug, hipertropi dan
hyperplasia otot polos saluran napas.
3. Hiperesponsif saluran napas
Mekanisme hiperesponsif saluran napas bersifat multipel, termasuk inflamasi,
disfungsi neuroregulasi dan perubahan struktural.
4. Airway remodeling
Airway remodeling menyebabkan perubahan struktural yang meningkatkan
hambatan aliran udara saluran napas dan hiperesponsif saluran napas dan
menyebabkan pasien kurang responsive terhadap pengobatan.
7
Gambar 1. Penyebab dan gejala asma. Presentasi antigen oleh sel dendritik dengan limfosit dan
respon sitokin yang menyebabkan peradangan saluran napas dan gejala asma. 6
Expert Panel Report 3 (EPR-3) of the National Asthma Education and Prevention
Program (NAEPP) tahun 2007 mencatat beberapa perubahan kunci dalam memahami
patofisiologi asma.6
o Peran penting inflamasi telah dibenarkan, tetapi bukti-bukti yang muncul untuk
variabilitas yang cukup besar dalam pola peradangan, sehingga menunjukkan
perbedaan fenotipik yang dapat mempengaruhi respon pengobatan.6
o Dari faktor lingkungan, reaksi alergi tetap penting. Bukti-bukti juga menunjukkan
kunci dan peran yang luas infeksi virus pernapasan dalam proses ini.6
8
o Onset asma untuk sebagian besar pasien dimulai pada awal kehidupan, dengan
pola penyakit ditentukan oleh mengenali secara awal faktor risiko termasuk
penyakit atopik, mengi berulang, dan riwayat orang tua asma.6
o Pengobatan asma saat ini dengan terapi anti-inflamasi tidak untuk mencegah
perkembangan penyakit yang mendasari keparahan.6
2.5 DIAGNOSIS
Asma adalah suatu sindroma klinik, jadi tidak ada gold standard dalam
mendiagnosanya. Diagnose asma ditegakkan secara klinik biasanya berdasarkan
gejala khas dan dipastikan dengan bukti objektif hambatan aliran udara yang
bervariasi.3
9
negatif palsu. Pemeriksaan IgE spesifik serum tidak lebih baik dari uji kulit juga
harganya lebih mahal. Kelemahan utama cara pemeriksaan status alergi adalah uji
+ tidak selalu berarti penyakitnya bersiifat alergi, seperti beberapa orang
mempunyai IgE spesifik tetapi tidak ada keluhan. IgE total tidak mempunyai nilai
diagnostik untuk uji diagnostik atopi.
4. Pemeriksaan radiologi3
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas
dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma,
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. Pada
sebagian besar menunjukkan normal atau hiperinflasi.
5. Tes provokasi bronkus3
Pemeriksaan provokasi bronkus memberi beberapa manfaat antara lain
sebagai alat diagnostik asma. Hiperesponsif bronkus hampir selalu ditemukan
pada asma dan derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma. Tes ini sangat
sensitif, sehingga kalau tidak ditemukan hiperesponsif saluran napas harus
memacu untuk mengulangi pemeriksaan dari awal dan memikirkan diagnosis
penyakit selain asma.
Uji provokasi bronkus dapat dibagi 2 kategori, yaitu uji farmakologi
(histamin, adenosine, dan metacholine) dan uji nonfarmakologi (salin hipertonis,
exercise). Demikian juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama. Pada
uji nonfarmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan homeostasis cairan
di saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel epitel dan merangsang
serabut saraf dan proses keradangan yang dapat menimbulkan bronkokonstriksi.
Sebagai prasyarat keamanan uji provokasi dianjurkan pada penderita dengan
FEV1 > 70%.
Hasil uji provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20 yaitu :
konsentrasi zat inhalasi yang menimbulkan penurunan FEV1 20% dibanding
FEV1 sebelum provokasi. Penurunan FEV1 > 20% umumnya diterima sebagai
titik akhir unuk membedakan antara individu normal dengan hiperakif. Spesifitas
10
tes farmakologi berkisar 90% bila PC20 ≤ 8 mg/ml digunakan sebagai nilai
ambang diagnosis.
6. Pemeriksaan sputum3
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal
Characot-Leyden, dan Spiral-Churschamann, pemeriksaan ini penting untuk
melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.
7. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum2,4
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
8. Analisis gas darah2
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada
stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia.
Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO 2 ≥ 45
mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.
11
Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth
Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan
waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester
pertama.2
Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP, evaluasi aktivitas dan
perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi wanita
dengan asma terkontrol, wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai
kehamilan minggu ke-32, dan wanita setelah pulih dari serangan asma berat.2
Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal,
ventilasi, keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan
penanganan rutin pada semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran FEV
sekuensial merupakan gold standard yang menggambarkan derajat asma. FEV <
20 % menggambarkan asma berat. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)
berkorelasi erat dengan FEV, dan dapat diukur dengan spirometri dengan
mudah.2,4
12
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.3
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut).3
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:
a. Intermitten
b. Persisten ringan
c. Persisten sedang
d. Persisten berat
2. Asma saat serangan, terdiri dari:
a. Asma serangan ringan
b. Asma serangan sedang
c. Asma serangan berat
13
Tabel 2. Derajat asma saat tanpa serangan3
14
Tabel 3. Derajat Asma saat serangan3
15
2.7 EFEK ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan
mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan
mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma
akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.8
16
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau
pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan
faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai
faktor yang memberikan pengaruh.4
Pada prinsipnya terapi serangan adalah membuka kembali jalan nafas dengan
bronkodilator dan menghilangkan serta mencegah berlanjutnya reaksi inflamasi
dengan anti inflamasi.9
a) Golongan broncodilator
1. B-agonis
Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya
epinefrin (adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat
dipertimbangkan pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat
meskipun terapi awal lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada
beberapa inhaler asma. Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat
dari efek adrenergik α dari epinefrin.9,10
β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang
masuk ke peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif
untuk mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15
menit sebelum aktifitas.9,10
- Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol, Biltlterol)
- Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)
17
2. Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara
mengurangi tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan
juga menutup refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi.
Alkaloid beladona seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun
mempunyai efek samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma.
Ipratropium yang merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki sedikit
efek samping atropin. Bahan ini telah terbukti efektif untuk mengobati
eksaserbasi akut pada penggunaan dalam bentuk nebulisasi. Efektivitas
ipratropium untuk penatalaksanaan asma sehari-hari belum teruji.9,10
Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis
inhalasi (Atrovent).9,10
Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral adalah
Aminophylline.9,10
Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan selama
kehamilan tanpa efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang lebih
sedikit daripada atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan
meskipun umumnya tidak digunakan kecuali pada pasien dengan asma
berat.9,10
18
asma yang terkontrol baik membutuhkan penggunaan minimal agonis β2
inhalasi, penggunaan yang meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma.
Metaproterenol (orsiprenalin), albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol,
dan terbutalin adalah agonis β2 selektif yang sering digunakan.9,10
Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun
beberapa bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman
penggunaan pada manusia sudah cukup banyak namun umumnya tidak
dilakukan pada akhir kehamilan. Tidak ada bukti adanya jejas pada janin dari
penggunaan obat-obat ini secara sistemik atau inhalasi, dan tidak ada
kontraindikasi penggunaannya selama menyusui.9,10
4. Teofilin
Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma.
Meskipun mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai
bronkodilator ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika
diberikan dalam bentuk preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang
panjang dan karena itu berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika digunakan
bersama dosis umum agonis β2 inhalasi, teofilin dapat menyebabkan
bronkodilatasi. Lebih lanjut,teofilin juga dapat mengurangi kelelahan otot
pernafasan dan memiliki beberapa tingkat aktivitas anti inflamasi.9,10
Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa
adanya bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar
serum yang cukup (tidak melebihi 12 g/mL) .9,10
b) Anti inflamasi
1. Cromolyn sodium
Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan
untuk penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk
19
inhaler dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis
menghambat fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang
diinduksi alergen seperti juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas
dan setelah terpapar udara dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya
belum seluruhnya dimengerti namun diperkirakan sodium kromolin
menstabilkan dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast. Penelitian pada
binatang dan pengalaman manusia hanya menunjukkan sedikit ancaman
terhadap janin.9,10
2. Corticosteroid
Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah
kortikosteroid. Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone,
betamethasone, prednisone).9,10
Mekanisme utama adalah interferensi dengan metabolisme asam
arakidonat dan sintesis leukotrien dan prostaglandin, pencegahan migrasi
langsung dan aktivasi sel-sel radang, dan peningkatan responsivitas reseptor
beta otot polos saluran pernafasan. Kortikosteroid dapat diberikan secara
parenteral (metilprednisolon, hidrokortison), secara oral (prednison,
prednisolon, metilprednisolon), atau dalam bentuk aerosol (beklometason,
flunisolid, dan triamsinolon).9,10
Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan
dengan penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan
adanya celah palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan ini
tetapi tidak ada peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis bahan
yang tersedia untuk inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan flunisolid.
Yang banyak dipakai dalam kehamilan adalah beklometason sehingga
menjadi kortikosteroid inhalasi pilihan selama kehamilan karena pengalaman
klinisnya yang meyakinkan. Meskipun dapat timbul absorbsi sistemik dari
kortikosteroid inhalasi, kadar plasma yang rendah dari inhalasi ini
20
menyebabkan kecil kemungkinan efek terhadap janin. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi atau sistemik merupakan kontraindikasi saat
menyusui.9,10
3. Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin
selama aktivasi sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain.
Antihistamin banyak didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang
dijual bebas. H1 bloker yang lebih baru seperti terfenadin dan astemizol
memiliki efek sedatif yang lebih kecil daripada obat-obat generasi pertama
yang lebih tua.9,10
Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal
kehamilan. Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat
sedikit potensi teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih
antihistamin yang lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap
manusia yang meyakinkan untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun
ada perhatian tentang efek antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data
meyakinkan tentang efek samping karena penggunaan obat ini selama akhir
kehamilan atau menyusui. Menurut American Academy of Pediatrics
Committee on Drugs, antihistamin disebut-sebut kompatibel dengan masa
menyusui.9,10
4. Dekongestan
Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk
konstriksi pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk
dalam golongan ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin,
efedrin, dan pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α,
ada perdebatan tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah
21
yang terkait dalam pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi,
pseudoefedrin tampaknya tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik.
Pengalaman pada manusia tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat
bawaan meskipun the National Collaborative Perinatal Project
mempertanyakan tentang fenilefrin dan fenilpropanolamin.9,10
22
(NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi.
Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung,
tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya
kucing merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua
hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma,
termasuk kecoa.2,11
Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan
terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat
disebabkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru sehingga menyebabkan
bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru
sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.11
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari
paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang
merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian
asma pada anaknya.11
Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin.
Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang
memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti
cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor pencetus
asma.11
Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan
terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi.
Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan
kromolin bukan merupakan kontraindikasi pada penderita asma yang
menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan
penatalaksanaan asma selama kehamilan. Terapi asma modern dengan
23
teofilin, kortikostreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi
kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tidak
boleh bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan
beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam
pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan
jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali
sejak efek pada janin tidak diketahui.11
24
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak
digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa
penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan.
Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada
pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat
dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol.12
Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi
kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun
subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium
memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade
saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan
bagi asma persisten ringan.12
25
antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan
sebagai terapi pilihan bagi asma persisten ringan.12
Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat
hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil
keamanan yang sama dengan salbutamol, dan β2 agonis inhalasi kerja lama aman
digunakan selama kehamilan. Contoh β2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol
dan formoterol. Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun
26
preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja lama bila dibandingkan
dengan Salmeterol selama kehamilan.12,13
27
28
b. Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut:
Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non-hamil, tetapi
hospitality threshold lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi
intravena, pemberian masker oksigen, pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran
FEV1 (forced expiratory volume in one second), PEFR, pulse oximetry, dan fetal
monitoring.2,4
29
sistemik pada janin.
- Pemeriksaan fungsi paru ibu.
- Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester
II/awal trimester III.
- Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.
Saat persalinan - Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan
diulang bila timbul gejala.
- Pemberian oksigen adekuat.
- Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam)
diberikan 4 minggu sebelum persalinan dan terapi
maintenance diberikan selama persalinan.
- Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan.
Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi
regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea.
Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya
menggunakan uterotonika atau PGE2 karena PGE dapat
merangsang bronkospasme.
Pascapersalinan - Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru, latihan
pernapasan untuk mencegh atau meminimalisasi atelektasis,
mnulai pemberian terapi maintenance.
- Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu
mendapat obat antiasma termasuk prednisone.
Tabel 4. Langkah Penanganan Asma Pada Kehamilan4
30
2.11 KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN
31
b. Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin14
Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan
janin, termasuk :
1. Kematian perinatal
2. IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan
janin lebih kecil dari umur kehamilannya
3. Kehamilan preterm (12 %)
4. Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel
5. Berat bayi lahir rendah.
Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat
episode wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah
pada wanita asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang
mendukung seperti perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma.14
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain faktor lingkungan, faktor
genetik ikut menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakit asma. Penyakit ini
dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada
7% kehamilan.14
2.12 PROGNOSIS
Asma dapat menyebabkan morbiditas pada wanita hamil, sebagai berikut :15
Barotrauma
32
DAFTAR PUSTAKA
1. From the Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global
Initiative for Asthma (GINA) 2017. Available from:
http://www.ginasthma.org/. [Accessed 2018, January 18th].
2. Abdul BS, Gulardi HW,eds. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi
Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta: Pt Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2016. H.800-13.
3. Maranatha, Daniel. Asma bronchial. Dalam: Wibisono, J., eds. Buku ajar ilmu
penyakit paru 2010. Surabaya: departemen ilmu penyakit paru fakultas
kedokteran unair – RSUD dr. soetomo; 2010. h.37-55.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Pulmonary Disorders. Dalam:
Williams Obstetrics 22nd Edition. New York: McGraw-Hill. 2007. chapter
46, p.1059
5. William C, Shiel Jr, eds. Asthma in Pregnancy.. [citied August 3rd, 2011].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/296301.
[Accessed 2018, January 18th].
6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Barunwald E, et all. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 18th Edition. New York: McGraw-Hill. 2012.
7. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi ke-3. Jakarta:FKUI. Hal 1043-45
8. American College of Obstetricians and Gynecologists . 2008 Asthma in
pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 90. Obstetrics and Gynecology,
111(2): 457–64.
9. Busse,William W. dkk. 2015. Managing Asthma During Pregnancy:
Recommendations for Pharmacologic Treatment. Available from URL :
www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm. [Accessed 2018,
January 18th].
33
10. Lenfant,Claude. dkk. 2013. Management of Asthma During Pregnancy.
Available from URL :
http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.txt. [Accessed
2018, January 18th].
11. Lampiran keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
1023/menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit asma.
Available from URL:
http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMKz201023-
pengendalianasma.pdf. [Accessed 2018, January 18th].
12. DeCherney AD, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, eds. Current Diagnosis &
Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. California: The McGraw-
Hill Companies, 2007.
13. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. Obstetrics Normal and Problems
Pregnancies, 5th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier,
2007.[chapter 35]
14. Subbarao, Padmaja MD MSc,eds. Asthma: epidemiology, etiology and risk
factors. . In: Canadian medical association journal. [online]. October 27th,
2009. Available from URL : http://ecmaj.ca/content/181/9/E181.full.
[Accessed 2018, January 18th].
34