Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU OBSTETRIC DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU
REFERAT
FEBRUARI 2018

ASMA DALAM KEHAMILAN

Disusun Oleh:

Iin Laksmini Baba, S.Ked


(11 16 777 14 107)

Pembimbing :
dr. Abdul Faris, Sp.OG(K)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU OBSTETRIC DAN GINEKOLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ni Putu Ripna Oktaviani

No. Stambuk : 11 16 777 14 107

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul Referat : Asma Dalam Kehamilan

Bagian : Ilmu Obstetric dan Ginekologi

Bagian Ilmu Obstetric dan Ginekologi


RSU ANUTAPURA Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, februari 2018

Pembimbing

dr. Abdul Faris, Sp.OG(K)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II. TIJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 2

2.1 DEFINISI .......................................................................................................... 2

2.2 INSIDEN DAN PREVALENSI ........................................................................ 2

2.3 ETIOLOGI ........................................................................................................ 3

2.4 PATOFISIOLOGI ............................................................................................. 3

2.5 DIAGNOSIS ...................................................................................................... 6

2.6 KLASIFIKASI ASMA ...................................................................................... 9

2.7 EFEK ASMA TERHADAP KEHAMILAN ................................................... 13

2.8 EFEK KEHAMILAN TERHADAP ASMA ................................................... 13

2.9 JENIS – JENIS OBAT ASMA ........................................................................ 14

2.10 PENATALAKSANAAN ASMA DALAM KEHAMILAN ........................ 19

2.11 KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN ............................................. 28

2.12 PROGNOSIS ................................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan


inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel inflamasi dan
hipersensitivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan (alergen) yang ditandai oleh
penyempitan saluran pernapasan yang reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Hingga saat ini, asma masih merupakan masalah di dunia dengan angka kejadian
sebanyak 3.000.000 penduduk dan angka kematian sebanyak 250.000 penduduk
setiap tahunnya.1

Pada kehamilan terjadi perubahan fungsi dan anatomi tubuh termasuk saluran
pernapasan. Juga terjadi perbedaan patofisiologi penyakit pada saluran pernapasan
selama kehamilan.2

Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5– 1 % dari seluruh


kehamilan, dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24– 36
minggu, jarang pada akhir kehamilan. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 – 6 %
dari populasi. Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut
membuat asma menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam
kehamilan.2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Definisi yang menurut National Institute Of Health (Nih) – National Heart,


Lung, And Blood Institute (NHLBI). Menurut NHLBI (Expert Panel Report 3:
Guidelines for The Diagnose and Managemenr of Asthma 2007) asma adalah
penyakit inflamasi kronik saluran napas dimana banyak sel berperan terutama sel
mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada individu rentan,
proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak napas, dada rasa
penuh (chest tightness) dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala
tersebut terkait dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering
reversibel spontan atau dengan pengobatan inflamasi juga menyebabkan
hiperesponsif saluran napas terhadap berbagai rangsangan. Reversibilitas hambatan
udara bisa inkomplit pada beberapa pasien asma.3

2.2 INSIDEN DAN PREVALENSI

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Asma
mempengaruhi 5-10% penduduk dunia atau sekitar 23,4 juta orang. Setiap tahun,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa 15 juta kecacatan
berdasarkan tahun hidup yang hilang dan 250.000 kematian akibat asma dilaporkan di
seluruh dunia.4

Penderita asma di Amerika Serikat berkisar antara 4- 5 % dari populasi.


Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5– 1 % dari seluruh kehamilan,
dimana serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24– 36 minggu, jarang

5
pada akhir kehamilan. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 5 – 6 % dari populasi.
Prevalensi asma dalam kehamilan sekitar 3,7 – 4 %. Hal tersebut membuat asma
menjadi salah satu permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.2, 4

2.3 ETIOLOGI

Sesuatu yang dapat memicu serangan asma adalah sangat bervariasi antara
satu individu dengan individu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen,
polusi udara, infeksi saluran nafas, lelah, perubahan cuaca, makanan, obat atau
ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan
eksaserbasi ini adalah rhinitis, sinusitis bakterial, poliposis, menstruasi, refluks
gastroesofageal dan kehamilan.3,4

2.4 PATOFISIOLOGI

Asma ialah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan komponen


herediter mayor, terkait pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, 16, dan reseptor IgE dengan
afinitas tinggi, sitokin, reseptor T-sel antigen. Keadaan ini juga dihubungkan dengan
mutasi gen ADAM-33 pada rantai pendek kromosom 20 pada individu yang terpapar
rokok, influenza (stimulasi alergi akibat lingkungan).2,4

Peningkatan respons inflamasi menyebabkan obstruksi reversibel akibat


kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus, dan edema mukosa pada saluran
pernapasan. Adanya iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan olahraga dapat
menstimulasi respons inflamasi ini. Terjadi aktivasi sel mast oleh sitokin mediates
bronkokonstriksi akibat pelepasan histamin, prostaglandin D, dan leukotriens.
Prostaglandin F dan ergonovin harus dihindari karena dapat menyebabkan
eksaserbasi asma.2,4

6
Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran
napas seperti berikut4:

1. Bronkokonstriksi
Pada asma eksaserbasi bronkospasme akut yang menyebabkan penyempitan
saluran napas sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti alergen atau iritan.
Bronkokonstriksi akut akibat alergen terjadi lewat IgE dependent release of mediator
dari sel mast. Juga ada mekanisme non IgE dalam pelepasan mediator.
2. Edema saluran napas
Jika inflamasi makin progresif ada faktor-faktor lain yang menghambat aliran
udara antara lain : edema, hipersekresi mukus, mukus plug, hipertropi dan
hyperplasia otot polos saluran napas.
3. Hiperesponsif saluran napas
Mekanisme hiperesponsif saluran napas bersifat multipel, termasuk inflamasi,
disfungsi neuroregulasi dan perubahan struktural.
4. Airway remodeling
Airway remodeling menyebabkan perubahan struktural yang meningkatkan
hambatan aliran udara saluran napas dan hiperesponsif saluran napas dan
menyebabkan pasien kurang responsive terhadap pengobatan.

Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas


melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Pola inflamasi saluran napas
asma tidak harus bervariasi tergantung pada keparahan, persistensi, dan durasi
penyakit.4,5
Sel-sel inflamasi saluran napas meliputi sel mast, eosinofil, sel limfosi T, sel
dendritik, makrofag, dan neurofil. Sel struktural saluran napas yang terlibat
patogenesi asma meliputi sel epitel saluran napas, sel otot polos saluran napas, sel
endotel, fibroblast dan miofibroblast. Mediator asma meliputi kemokin, sitokin,
cysteinyl leukotriene, histamin, nirit oxide, prostaglandin D2.5

7
Gambar 1. Penyebab dan gejala asma. Presentasi antigen oleh sel dendritik dengan limfosit dan
respon sitokin yang menyebabkan peradangan saluran napas dan gejala asma. 6

Expert Panel Report 3 (EPR-3) of the National Asthma Education and Prevention
Program (NAEPP) tahun 2007 mencatat beberapa perubahan kunci dalam memahami
patofisiologi asma.6
o Peran penting inflamasi telah dibenarkan, tetapi bukti-bukti yang muncul untuk
variabilitas yang cukup besar dalam pola peradangan, sehingga menunjukkan
perbedaan fenotipik yang dapat mempengaruhi respon pengobatan.6
o Dari faktor lingkungan, reaksi alergi tetap penting. Bukti-bukti juga menunjukkan
kunci dan peran yang luas infeksi virus pernapasan dalam proses ini.6

8
o Onset asma untuk sebagian besar pasien dimulai pada awal kehidupan, dengan
pola penyakit ditentukan oleh mengenali secara awal faktor risiko termasuk
penyakit atopik, mengi berulang, dan riwayat orang tua asma.6
o Pengobatan asma saat ini dengan terapi anti-inflamasi tidak untuk mencegah
perkembangan penyakit yang mendasari keparahan.6

2.5 DIAGNOSIS

Asma adalah suatu sindroma klinik, jadi tidak ada gold standard dalam
mendiagnosanya. Diagnose asma ditegakkan secara klinik biasanya berdasarkan
gejala khas dan dipastikan dengan bukti objektif hambatan aliran udara yang
bervariasi.3

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik3


2. Pemeriksaan faal paru3
Tes fungsi paru untuk diagnosis, menilai keparahan penyakit, dan evaluasi
pengobatan. Diagnosis asma dipastikan dengan ditemukan obstruksi saluran
napas pada pemeriksaan spirometri. Ditemukan perbaikan yang bermakna dari
FEV1 setelah terapi bronkodilator atau pada pengulangan di waktu lain. Dikatakan
obstruksi saluran napas reversibel bila ditemukan peningkatan FEV1 > 12%
pascabronkodilator.
Pemeriksaan faal paru yang sering digunakan untuk diagnosis dan
pemantauan adalah pemeriksaan forced expiratory volume 1 second (FEV1)
dengan spirometri dan peak expiratory flow (FEF) dengan alat peak flow meter.
3. Uji kulit3
Uji kulit dengan alergen merupakan alat diagnostik untuk asma alergi. Tujuan
uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh. Uji
prick merupakan uji kulit yang sering digunakan. Karakteristik : cepat, mudah,
dan sensitivitas tinggi tetapi bila pelaksanaan tidak tepat akan timbul positif atau

9
negatif palsu. Pemeriksaan IgE spesifik serum tidak lebih baik dari uji kulit juga
harganya lebih mahal. Kelemahan utama cara pemeriksaan status alergi adalah uji
+ tidak selalu berarti penyakitnya bersiifat alergi, seperti beberapa orang
mempunyai IgE spesifik tetapi tidak ada keluhan. IgE total tidak mempunyai nilai
diagnostik untuk uji diagnostik atopi.
4. Pemeriksaan radiologi3
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas
dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma,
seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. Pada
sebagian besar menunjukkan normal atau hiperinflasi.
5. Tes provokasi bronkus3
Pemeriksaan provokasi bronkus memberi beberapa manfaat antara lain
sebagai alat diagnostik asma. Hiperesponsif bronkus hampir selalu ditemukan
pada asma dan derajatnya berkorelasi dengan keparahan asma. Tes ini sangat
sensitif, sehingga kalau tidak ditemukan hiperesponsif saluran napas harus
memacu untuk mengulangi pemeriksaan dari awal dan memikirkan diagnosis
penyakit selain asma.
Uji provokasi bronkus dapat dibagi 2 kategori, yaitu uji farmakologi
(histamin, adenosine, dan metacholine) dan uji nonfarmakologi (salin hipertonis,
exercise). Demikian juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama. Pada
uji nonfarmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan homeostasis cairan
di saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel epitel dan merangsang
serabut saraf dan proses keradangan yang dapat menimbulkan bronkokonstriksi.
Sebagai prasyarat keamanan uji provokasi dianjurkan pada penderita dengan
FEV1 > 70%.
Hasil uji provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20 yaitu :
konsentrasi zat inhalasi yang menimbulkan penurunan FEV1 20% dibanding
FEV1 sebelum provokasi. Penurunan FEV1 > 20% umumnya diterima sebagai
titik akhir unuk membedakan antara individu normal dengan hiperakif. Spesifitas

10
tes farmakologi berkisar 90% bila PC20 ≤ 8 mg/ml digunakan sebagai nilai
ambang diagnosis.
6. Pemeriksaan sputum3
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal
Characot-Leyden, dan Spiral-Churschamann, pemeriksaan ini penting untuk
melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.
7. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum2,4
Kegunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya.
8. Analisis gas darah2
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada
stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia.
Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO 2 ≥ 45
mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

Diagnosis asma ditegakkan berdasar gejala episodic obstruksi aliran jalan


nafas, yang bersifat reversibel atau reversibel sebagian. Kelompok kerja National
Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) berpendapat bahwa pasien
asma persisten harus dievaluasi minimal setiap bulannya selama kehamilan.
Evaluasi termasuk riwayat penyakit (frekuensi gejala, asma malam hari, gangguan
aktivitas, serangan dan penggunaan obat ), auskultasi paru, serta faal paru.2,4
Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan dengan
pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE
dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80%
prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada kehamilan, dan pasien dengan
VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi. 2

11
Asma pada kehamilan berhubungan dengan kejadian Intra Uterine Growth
Retardation (IUGR) dan kelahiran prematur, sangatlah penting untuk menegakkan
waktu kehamilan secara akurat melalui pemeriksaan USG pada trimester
pertama.2
Menurut pendapat kelompok kerja NAEPP, evaluasi aktivitas dan
perkembangan janin dengan pemeriksaan USG rutin dipertimbangkan bagi wanita
dengan asma terkontrol, wanita dengan asma sedang sampai berat, mulai
kehamilan minggu ke-32, dan wanita setelah pulih dari serangan asma berat.2
Analisis gas darah merupakan penilaian objektif oksigenasi maternal,
ventilasi, keseimbangan asam-basa. Pemeriksaan fungsi paru merupakan
penanganan rutin pada semua pasien asma kronis dan akut. Pengukuran FEV
sekuensial merupakan gold standard yang menggambarkan derajat asma. FEV <
20 % menggambarkan asma berat. Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)
berkorelasi erat dengan FEV, dan dapat diukur dengan spirometri dengan
mudah.2,4

Stadium PO2 PCO2 pH FEV (%)


Alkalosis respirasi ringan Normal 65 – 80
Alkalosis respirasi 50 – 64
Zona Bahaya Normal Normal 35 – 49
Asidosis respirasi < 35
Dikutip dari : Williams Obstetrics 22nd ed, 2005
Tabel 1. Stadium Klinik Asma 4

2.6 KLASIFIKASI ASMA

Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran


klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak

12
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan
klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya.3
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan
(akut).3
1. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:
a. Intermitten
b. Persisten ringan
c. Persisten sedang
d. Persisten berat
2. Asma saat serangan, terdiri dari:
a. Asma serangan ringan
b. Asma serangan sedang
c. Asma serangan berat

13
Tabel 2. Derajat asma saat tanpa serangan3

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang


digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan.
Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut
meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.3

14
Tabel 3. Derajat Asma saat serangan3

15
2.7 EFEK ASMA TERHADAP KEHAMILAN

Asma khususnya jika berat pada kenyataannya dapat berpengaruh pada


kehamilan. Menurut Clark, dkk (1993) dua penelitian besar epidemiologi mengatakan
bahwa asma berpotensi memberikan efek yang merugikan, diikuti dengan
peningkatan insidensi lahir premature, BBLR, kematian perinatal, dan preeklamsi,
gangguan tekanan darah ini disertai dengan bocornya protein pada urine ibu dan
sangat potensial untuk terjadinya kerusakan ginjal, otak, hepar, dan mata. Lehrer, dkk
(1993) melaporkan bahwa wanita asma memiliki insidensi dua koma lima kali lipat
dari kehamilan menimbulkan hipertensi.7

Komplikasi yang dapat mengancam hidup yaitu pnemothorax,


pnemomediatinum, akut cor pulmonale, cardiac aritmia, kelelahan otot dengan
respiratory arrest.7

2.8 EFEK KEHAMILAN TERHADAP ASMA

Pengaruh kehamilan terhadap perjalanan klinis asma, bervariasi dan tidak


dapat diduga. Dispnea simtomatik yang terjadi selama kehamilan, yang mengenai
60%-70% wanita hamil, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma.4

Wanita yang memulai kehamilan dengan asma yang berat, tampaknya akan
mengalami asma yang lebih berat selama masa kehamilannya dibandingkan dengan
mereka yang dengan asma yang lebih ringan. Sekitar 60% wanita hamil dengan asma
akan mengalami perjalanan asma yang sama pada kehamilan-kehamilan berikutnya.8

Gluck& Gluck menyimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE diperkirakan


akan memperburuk keadaan asma selama kehamilan, sebaliknya penderita dengan
kadar IgE yang menurun akan membaik keadaannya selama kehamilan.4

16
Eksaserbasi serangan asma tampaknya sering terjadi pada trimester III atau
pada saat persalinan, hal ini menimbulkan pendapat adanya pengaruh perubahan
faktor hormonal, yaitu penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin, sebagai
faktor yang memberikan pengaruh.4

Pada persalinan dengan seksio sesarea resiko timbulnya eksaserbasi serangan


asma mencapai 18 kali lipat dibandingkan jika persalinan berlangsung pervaginam.4

2.9 JENIS-JENIS OBAT ASMA

Pada prinsipnya terapi serangan adalah membuka kembali jalan nafas dengan
bronkodilator dan menghilangkan serta mencegah berlanjutnya reaksi inflamasi
dengan anti inflamasi.9

a) Golongan broncodilator
1. B-agonis
Agonis β yang mengaktivasi baik reseptor β1 dan β2 misalnya
epinefrin (adrenalin) dan analog isopropilnya yaitu isoproterenol. Dapat
dipertimbangkan pemberian epinefrin subkutan pada eksaserbasi akut berat
meskipun terapi awal lain sudah diberikan. Epinefrin juga didapatkan pada
beberapa inhaler asma. Perhatian timbul pada vasokonstriksi uterus akibat
dari efek adrenergik α dari epinefrin.9,10
β agonis mempunyai keunggulan karena bekerja cepat dan obat yang
masuk ke peredaran darah janin sangan minimal. Obat ini juga sangat efektif
untuk mencegah asma yang disebabkan karena olahraga jika digunakan 15
menit sebelum aktifitas.9,10
- Perinhalasi (Albuterol, Pirbuterol, Terbutaline, Metaproterenol, Biltlterol)
- Tablet (Albuterol, Terbutaline, Metaproterenol)

17
2. Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi menyebabkan bronkodilatasi dengan cara
mengurangi tonus vagal intrinsik pada saluran pernafasan. Beberapa bahan
juga menutup refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan inhalasi.
Alkaloid beladona seperti atropin merupakan antikolinergik prototip namun
mempunyai efek samping lokal dan sistemik untuk pasien dengan asma.
Ipratropium yang merupakan derivat keempat bentuk inhalan memiliki sedikit
efek samping atropin. Bahan ini telah terbukti efektif untuk mengobati
eksaserbasi akut pada penggunaan dalam bentuk nebulisasi. Efektivitas
ipratropium untuk penatalaksanaan asma sehari-hari belum teruji.9,10
Merupakan bronchodilator yang bekerja lebih lambat dari B-agonis
inhalasi (Atrovent).9,10
Satu-satunya bronchodilator yang digunakan parenteral adalah
Aminophylline.9,10
Bahan-bahan antikolinergik sudah banyak digunakan selama
kehamilan tanpa efek samping. Ipratropium memiliki efek sistemik yang lebih
sedikit daripada atropin dan tidak dikontraindikasikan pada kehamilan
meskipun umumnya tidak digunakan kecuali pada pasien dengan asma
berat.9,10

3. Agonis β2 adrenergik (Agonis β2)


Agonis β2 merelaksasi otot polos saluran pernafasan dan menjadi
perantara pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Agonis β2 inhalasi
merupakan obat pilihan untuk pengobatan awal asma eksaserbasi akut dan
pencegahan asma yang diinduksi aktivitas. Agonis β2 juga digunakan secara
kronis untuk membantu kontrol pengecilan saluran pernafasan persisten
meskipun laporan terakhir menunjukkan penggunaan agonis β2 yang
terjadwal dengan teratur (berlawanan dengan penggunaan ‘jika
diperlukan/prn’) berhubungan dengan menurunnya kontrol asma. Karena

18
asma yang terkontrol baik membutuhkan penggunaan minimal agonis β2
inhalasi, penggunaan yang meningkat menunjukkan kegagalan kontrol asma.
Metaproterenol (orsiprenalin), albuterol (salbutamol), pirbuterol, bitolterol,
dan terbutalin adalah agonis β2 selektif yang sering digunakan.9,10
Hasil penelitian agonis β2 pada binatang umumnya negatif meskipun
beberapa bahan menyebabkan kelainan pada dosis tinggi. Pengalaman
penggunaan pada manusia sudah cukup banyak namun umumnya tidak
dilakukan pada akhir kehamilan. Tidak ada bukti adanya jejas pada janin dari
penggunaan obat-obat ini secara sistemik atau inhalasi, dan tidak ada
kontraindikasi penggunaannya selama menyusui.9,10

4. Teofilin
Teofilin merupakan penggunaan utama metilsantin dalam terapi asma.
Meskipun mekanisme tepatnya belum diketahui, teofilin berlaku sebagai
bronkodilator ringan-sedang, tergantung dari konsentrasi serumnya. Jika
diberikan dalam bentuk preparat lepas lambat, teofilin memiliki durasi yang
panjang dan karena itu berguna untuk kontrol asma nokturnal. Jika digunakan
bersama dosis umum agonis β2 inhalasi, teofilin dapat menyebabkan
bronkodilatasi. Lebih lanjut,teofilin juga dapat mengurangi kelelahan otot
pernafasan dan memiliki beberapa tingkat aktivitas anti inflamasi.9,10
Penggunaan teofilin selama kehamilan sudah sangat luas dan tanpa
adanya bukti efek samping terhadap neonatus jika dosis dipandu oleh kadar
serum yang cukup (tidak melebihi 12 g/mL) .9,10

b) Anti inflamasi
1. Cromolyn sodium
Obat ini merupakan bahan anti inflamasi nonsteroid yang digunakan
untuk penatalaksanaan sebagai profilaksis asma kronis, tersedia dalam bentuk

19
inhaler dan nebulizer. Sodium kromolin yang diberikan sebagai profilaksis
menghambat fase awal dan lebih lanjut pengecilan saluran nafas yang
diinduksi alergen seperti juga pengecilan saluran nafas akut setelah aktivitas
dan setelah terpapar udara dingin kering dan sulfurdioksida. Mekanismenya
belum seluruhnya dimengerti namun diperkirakan sodium kromolin
menstabilkan dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast. Penelitian pada
binatang dan pengalaman manusia hanya menunjukkan sedikit ancaman
terhadap janin.9,10

2. Corticosteroid
Obat anti inflamasi paling efektif untuk pengobatan asma adalah
kortikosteroid. Dapat diberikan peroral ataupun inhaler.(beclomethasone,
betamethasone, prednisone).9,10
Mekanisme utama adalah interferensi dengan metabolisme asam
arakidonat dan sintesis leukotrien dan prostaglandin, pencegahan migrasi
langsung dan aktivasi sel-sel radang, dan peningkatan responsivitas reseptor
beta otot polos saluran pernafasan. Kortikosteroid dapat diberikan secara
parenteral (metilprednisolon, hidrokortison), secara oral (prednison,
prednisolon, metilprednisolon), atau dalam bentuk aerosol (beklometason,
flunisolid, dan triamsinolon).9,10
Pemberian kronis kortikosteroid secara oral atau parenteral berkaitan
dengan penurunan berat badan lahir. Penelitian pada binatang menunjukkan
adanya celah palatum pada spesies yang sangat sensitif terhadap kelainan ini
tetapi tidak ada peningkatan cacat bawaan pada manusia. Ada tiga jenis bahan
yang tersedia untuk inhalasi: beklometason, triamsinolon, dan flunisolid.
Yang banyak dipakai dalam kehamilan adalah beklometason sehingga
menjadi kortikosteroid inhalasi pilihan selama kehamilan karena pengalaman
klinisnya yang meyakinkan. Meskipun dapat timbul absorbsi sistemik dari
kortikosteroid inhalasi, kadar plasma yang rendah dari inhalasi ini

20
menyebabkan kecil kemungkinan efek terhadap janin. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi atau sistemik merupakan kontraindikasi saat
menyusui.9,10

3. Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk menahan aksi pelepasan histamin
selama aktivasi sel mast sebagai respon terhadap alergen atau stimulan lain.
Antihistamin banyak didapatkan dalam obat-obat flu dan anti alergi yang
dijual bebas. H1 bloker yang lebih baru seperti terfenadin dan astemizol
memiliki efek sedatif yang lebih kecil daripada obat-obat generasi pertama
yang lebih tua.9,10
Antihistamin belum terbukti berbahaya bila digunakan selama awal
kehamilan. Dari penelitian dengan binatang dan manusia didapatkan sangat
sedikit potensi teratogenisitas terhadap manusia. Sangat beralasan memilih
antihistamin yang lebih tua karena sudah ada data percobaan terhadap
manusia yang meyakinkan untuk penggunaan selama kehamilan. Meskipun
ada perhatian tentang efek antihistamin terhadap anak-anak, tidak ada data
meyakinkan tentang efek samping karena penggunaan obat ini selama akhir
kehamilan atau menyusui. Menurut American Academy of Pediatrics
Committee on Drugs, antihistamin disebut-sebut kompatibel dengan masa
menyusui.9,10

4. Dekongestan
Dekongestan merupakan obat adrenergik α yang digunakan untuk
konstriksi pembuluh darah di mukosa hidung. Bahan-bahan yang termasuk
dalam golongan ini misalnya oksimetazolin, fenilefrin, fenilpropanolamin,
efedrin, dan pseudoefedrin. Karena jenis ini memiliki aktivitas adrenergik α,
ada perdebatan tentang potensinya dalam konstriksi suplai pembuluh darah

21
yang terkait dalam pertukaran udara dan makanan ibu-janin. Akan tetapi,
pseudoefedrin tampaknya tidak menghasilkan efek ini pada dosis terapeutik.
Pengalaman pada manusia tidak menghasilkan gambaran pasti adanya cacat
bawaan meskipun the National Collaborative Perinatal Project
mempertanyakan tentang fenilefrin dan fenilpropanolamin.9,10

2.10 PENATALAKSANAAN ASMA DALAM KEHAMILAN

Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan


kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus
menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama
dengan pada penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama
kehamilan hampir sama dengan terapi penderita asma tidak hamil, dengan pelega
kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi.
Pentingnya pengobatan asma adalah mencegah kematian, kegagalan pernapasan,
status asmatikus, perawatan di ruang emergensi, dan cacat wheezing.3

a. Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal


berikut.
 Penilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550
liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga
terapi dapat disesuaikan.2
 Menghindari faktor pencetus asma
Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat
meningkatkan kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal.
Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran
napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti inflamasi non steroid

22
(NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi.
Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung,
tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya
kucing merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua
hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma,
termasuk kecoa.2,11
Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan
terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER dapat
disebabkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru sehingga menyebabkan
bronkospasme, maupun aktivasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru
sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.11
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari
paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang
merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian
asma pada anaknya.11
 Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin.
Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang
memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti
cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktor-faktor pencetus
asma.11
 Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP merekomendasikan prinsip serta pendekatan
terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi.
Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan
kromolin bukan merupakan kontraindikasi pada penderita asma yang
menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan
penatalaksanaan asma selama kehamilan. Terapi asma modern dengan

23
teofilin, kortikostreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi
kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tidak
boleh bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan
beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam
pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan
jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali
sejak efek pada janin tidak diketahui.11

Tahap 1: Asma Intermitten


Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan
sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma intermiten. Aksi
utama β2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos jalan napas dengan
menstimulus β2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik AMP dan menyebabkan
bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2 agonis inhalasi yang memiliki profil keamanan
baik. Belum terdapat data yang membuktikan kejadian cedera janin pada penggunaan
β2 agonis inhalasi kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui.12

Tahap 2 : Asma Persisten Ringan


Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada asma
persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah. Kortikosteroid
merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses inflamasi. Efek klinisnya
ialah mengurangi gejala beratnya serangan, perbaikan arus puncak ekspirasi dan
spirometri, mengurangi hiperresponsif jalan napas, mencegah serangan dan mencegah
remodeling dinding jalan napas. Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin,
pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi. Kortikosteroid
inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam kehamilan dan merupakan terapi
profilaksis pilihan.12

24
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih banyak
digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang menunjukkan bahwa
penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid tidak aman selama kehamilan.
Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi selain budesonid juga dapat diteruskan pada
pasien yang sudah terkontrol dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat
dugaan perubahan formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol.12

Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan resiko preeklampsia,


kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah. Bagaimanapun juga, mengingat
pengaruh serangan asma berat bagi ibu dan janin, penggunaan kortikosteroid oral
tetap diindikasikan secara klinis selama kehamilan. Selama kehamilan, penggunaan
prednison untuk mengontrol gejala asma penting diberikan bila terdapat
kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat.12

Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa studi


menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati, kelainan
kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus yang disebabkan
pengobatan ibu dengan steroid.12

Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapi
kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif maupun
subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi. Kromolin sodium
memiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya berhubungan dengan blokade
saluran klorida. Kromolin ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan
bagi asma persisten ringan.12

Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan untuk


mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum hamil. Menurut opini
kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru untuk asma pada kehamilan,

25
antagonis reseptor leukotrien merupakan terapi alternatif, dan tidak dianjurkan
sebagai terapi pilihan bagi asma persisten ringan.12

Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma.


Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi ringan.
Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya berlebihan atau terdapat
interaksi dengan obat lain (misal dengan eritromisin). Penggunaan teofilin selama
kehamilan membutuhkan dosis titrasi yang hati-hati serta pemantauan ketat untuk
mempertahankan konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin
dosis rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma persisten
ringan.12,13

Tahap 3 : Asma Persisten Sedang


Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah
dan β2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis kortikosteroid inhalasi
sampai dosis medium. Data yang menunjukkan keefektifan dan atau keamanan
penggunaan kombinasi terapi ini selama kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut
data uji coba kontrol acak pada orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa
penambahan β2 agonis inhalasi kerja lama pada kortikosteroid inhalasi dosis rendah
menghasilkan asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis
kortikosteroid.12,13

Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan singkat
hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja lama memiliki profil
keamanan yang sama dengan salbutamol, dan β2 agonis inhalasi kerja lama aman
digunakan selama kehamilan. Contoh β2 agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol
dan formoterol. Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur, maupun

26
preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja lama bila dibandingkan
dengan Salmeterol selama kehamilan.12,13

Tahap 4 : Asma Persisten Berat


Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih
membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus dinaikkan
sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid. Jika cara ini gagal
dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk penambahan kortikosteroid
sistemik.13

27
28
b. Penatalaksaan asma akut pada kehamilan adalah sebagai berikut:
Penanganan asma akut pada kehamilan sama dengan non-hamil, tetapi
hospitality threshold lebih rendah. Dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi
intravena, pemberian masker oksigen, pemeriksaan analisis gas darah, pengukuran
FEV1 (forced expiratory volume in one second), PEFR, pulse oximetry, dan fetal
monitoring.2,4

Penanganan lini pertama adalah β adrenergic agonis (sub-kutan, oral, inhalasi)


loading dose 4 – 6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis 0,8 – 1 mg/kgBB/jam
sampai tercapai kadar terapeutik dalam plasma sebesar 10 – 20 µg/ml, Dan
kortikosteroid, metilprednisolon 40- 60 mg I.V. tiap 6 jam. Terapi selanjutnya
bergantung pada pemantauan respons hasil terapi.2,4

Asma berat yang tidak berespons terhadap terapi dalam 30 – 60 menit


dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif, di ICU dan intubasi
dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan, retensi CO2, dan
hipoksemia akan memperbaiki morbiditas dan mortalitas.2,4

Sebelum - Konseling mengenai pengaruh kahamilan dan asma, serta


kehamilan pengobatan. Penyesuaian terapi maintenance untuk
optimalisasi fungsi respirasi,
- Hindari factor pencetus, alergen.
- Rujukan dini pada pemeriksaan antenatal.
Selama - Penyesuaian terapi untuk mengatasi gejala. Pemantauan kadar
kehamilan teofilkin dalam darah, karena selama hamil terjadi hemodilusi
sehingga memerlukan dosis yang lebih tinggi.
- Pengobatn untuk mencegah serangan dan penanganan dini
bila terjadi serangan.
- Pemberian obat sebaiknya inhalasi, untuk menghindari efek

29
sistemik pada janin.
- Pemeriksaan fungsi paru ibu.
- Pada pasien yang stabil, NST dilakukan pada akhir trimester
II/awal trimester III.
- Konsultasi anestesi untuk persiapan persalinan.
Saat persalinan - Pemeriksaan FEV1, PEFR saat masuk rumah sakit dan
diulang bila timbul gejala.
- Pemberian oksigen adekuat.
- Kortikosteroid sistemik (hidrokortison 100 mg i.v. tiap 8 jam)
diberikan 4 minggu sebelum persalinan dan terapi
maintenance diberikan selama persalinan.
- Anestesi epidural dapat digunakan selama proses persalinan.
Pada persalinan operatif lebih baik digunakan anestesi
regional untuk menghindari rangsangan pada intubasi trakea.
Penanganan hemoragi pascapersalinan sebaiknya
menggunakan uterotonika atau PGE2 karena PGE dapat
merangsang bronkospasme.
Pascapersalinan - Fisioterapi untuk membantu pengeluaran mucus paru, latihan
pernapasan untuk mencegh atau meminimalisasi atelektasis,
mnulai pemberian terapi maintenance.
- Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu
mendapat obat antiasma termasuk prednisone.
Tabel 4. Langkah Penanganan Asma Pada Kehamilan4

30
2.11 KOMPLIKASI ASMA PADA KEHAMILAN

Asma pada kehamilan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan penurunan


asupan oksigen ibu, sehingga berefek negative bagi janin. Asma tak terkontrol pada
kehamilan menyebabkan komplikasi baik bagi ibu maupun janin.14

a. Komplikasi asma pada kehamilan bagi ibu14


Asma tak terkontrol dapat menyebabkan stres yang berlebihan bagi ibu.
Komplikasi asma tak terkontrol bagi ibu termasuk :
1. Preeklampsia (11 %), ditandai dengan peningkatan tekanan darah, retensi
air serta proteinuria
2. Hipertensi kehamilan, yaitu tekanan darah tinggi selama kehamilan
3. Hiperemesis gravidarum, ditandai dengan mual-mual, berat badan turun
serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
4. Perdarahan pervaginam
5. Induksi kehamilan dan atau komplikasi kehamilan.
Komplikasi ini bergantung pada derajat penyakit asma. Status asmatikus dapat
menyebabkan gagal napas, pneumotoraks, pneumomediastinum, kor pulmonale akut,
dan aritmia jantung. Mortalitas meningkat pada penggunaan ventilasi mekanik.
Penyulit yang mengancam nyawa adalah pnemotoraks, pneumomediastinum, kor
pulmonale akut, aritmia jantung, dan kelelahan otot disertai henti napas. Angka
kematian secara substantive meningkatkan apabila asmanya memerlukan ventilasi
mekanis.14

31
b. Komplikasi asma pada kehamilan bagi janin14
Kekurangan oksigen ibu ke janin menyebabkan beberapa masalah kesehatan
janin, termasuk :

1. Kematian perinatal
2. IUGR (12 %) , gangguan perkembangan janin dalam rahim menyebabkan
janin lebih kecil dari umur kehamilannya
3. Kehamilan preterm (12 %)
4. Hipoksia neonatal, oksigen tidak adekuat bagi sel-sel
5. Berat bayi lahir rendah.

Satu studi mencatat kematian janin disebabkan oleh asma berat sebagai akibat
episode wheezing yang tidak terkontrol. Mekanisme penyebab berat bayi lahir rendah
pada wanita asma masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa faktor yang
mendukung seperti perubahan fungsi plasenta, derajat berat asma dan terapi asma.14

Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa selain faktor lingkungan, faktor
genetik ikut menentukan kerentanan seseorang terhadap penyakit asma. Penyakit ini
dapat dijumpai pada ibu yang sedang hamil, dan dapat menyebabkan komplikasi pada
7% kehamilan.14

2.12 PROGNOSIS

Asma dapat menyebabkan morbiditas pada wanita hamil, sebagai berikut :15

 Gagal nafas dan membutuhkan ventilasi mekanik

 Barotrauma

 Komplikasi dari penggunaan steroid (secara parenteral)

32
DAFTAR PUSTAKA

1. From the Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global
Initiative for Asthma (GINA) 2017. Available from:
http://www.ginasthma.org/. [Accessed 2018, January 18th].
2. Abdul BS, Gulardi HW,eds. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi
Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta: Pt Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2016. H.800-13.
3. Maranatha, Daniel. Asma bronchial. Dalam: Wibisono, J., eds. Buku ajar ilmu
penyakit paru 2010. Surabaya: departemen ilmu penyakit paru fakultas
kedokteran unair – RSUD dr. soetomo; 2010. h.37-55.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Pulmonary Disorders. Dalam:
Williams Obstetrics 22nd Edition. New York: McGraw-Hill. 2007. chapter
46, p.1059
5. William C, Shiel Jr, eds. Asthma in Pregnancy.. [citied August 3rd, 2011].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/296301.
[Accessed 2018, January 18th].

6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Barunwald E, et all. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 18th Edition. New York: McGraw-Hill. 2012.

7. Sundaru,Heru. 2001. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi ke-3. Jakarta:FKUI. Hal 1043-45
8. American College of Obstetricians and Gynecologists . 2008 Asthma in
pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 90. Obstetrics and Gynecology,
111(2): 457–64.
9. Busse,William W. dkk. 2015. Managing Asthma During Pregnancy:
Recommendations for Pharmacologic Treatment. Available from URL :
www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.htm. [Accessed 2018,
January 18th].

33
10. Lenfant,Claude. dkk. 2013. Management of Asthma During Pregnancy.
Available from URL :
http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg.txt. [Accessed
2018, January 18th].
11. Lampiran keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor
1023/menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit asma.
Available from URL:
http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMKz201023-
pengendalianasma.pdf. [Accessed 2018, January 18th].

12. DeCherney AD, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, eds. Current Diagnosis &
Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. California: The McGraw-
Hill Companies, 2007.
13. Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL, eds. Obstetrics Normal and Problems
Pregnancies, 5th edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier,
2007.[chapter 35]
14. Subbarao, Padmaja MD MSc,eds. Asthma: epidemiology, etiology and risk
factors. . In: Canadian medical association journal. [online]. October 27th,
2009. Available from URL : http://ecmaj.ca/content/181/9/E181.full.
[Accessed 2018, January 18th].

15. Marcus L, Sinert R H. 2002. Astma in Pregnancy. Available from URL :


http://emedicine.medscape.com/article/796274-overview. [Accessed 2018,
January 18th].

34

Anda mungkin juga menyukai