Anda di halaman 1dari 22

ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN April 2018


UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

“TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN”

Nova Meri Damayanti, S.Ked


10-16-777-14-068

Supervisior/Pembimbing:
dr. Sasono Udijanto, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang

bersangkutan sebagai berikut:

Nama : Nova Meri Damayanti

No stambuk : 10-16-777-14-068

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Alkhairaat

Judul Referat : Tuberkulosis pada Kehamilan

Bagian : Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu

Obstetri dan Ginekologi RSUD Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran Universitas

Al-Khairaat.

Palu, April 2018

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

dr. Sasono Udijanto, Sp.OG, Nova Meri Damayanti,S.Ked

2
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi yang kronis


menular dan secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua negara.
Dari laporan tahunan WHO (2003) disimpulkan bahwa masih ada 22 negara
dengan kategori beban tinggi terhadap TBC (high burden of TBC numbers).
Sebanyak 8,9 juta penderita TBC dengan proporsi 80% pada 22 negara
berkembang dengan kematian 3 juta orang per tahun. Satu orang dapat terinfeksi
TBC setiap detik dan penyakit TBC membunuh 1 juta perempuan per tahun pada
saat kehamilan dan persalinan, Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan
ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih
banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Walaupun
masih menjadi perhatian di seluruh dunia, tuberkulosis semakin jarang di jumpai
di amerika serikat sejak beberapa dekade terakhir.1,2,3,4
Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dalam urutan jumlah
penderita TBC setelah India (30%) dan China (15%) dengan presentase sebanyak
10% dari total penderita TBC di dunia. Kurun waktu 5 tahun terakhir dengan
berbagai program TBC yang dilakukan hanya mampu menurunkan angka
kesakitan penyakit Tuberkulosis yaitu 15 per 100.000 penduduk sehingga dari
122/100.000 menjadi 107/100.000 penduduk. Dari laporan WHO tahun 2005
dinyatakan bahwa estimasi insidens TBC di Indonesia dengan dasar hasil
pemeriksaan sputum adalah 128 per 100.000 (2003) dengan perkiraan prevalens
sebesar 295 per 100.000. Di Indonesia angka penemuan kasus (Case Detection
Rate) mencapai 33% dengan angka kesembuhan (Cure Rate) adalah 86% dengan
metoda DOTS (Directly Observed Treatment of Short Course). 1

Salah satu penyebabnya tingginya prevalensi Tuberkulosis dalam beberapa


tahun terakhir adalah meningkatnya ke-infeksi dengan HIV/AIDS. Tuberkulosis

3
dan HIV/AIDS termasuk penyebab utama kematian ibu. Setiap tahun, kurang
lebih 700.000 kematian perempuan disebabkan oleh TB, sementara kurang lebih 2
juta kematian maternal setiap tahunnya disebabkan oleh HIV. Daerah dengan
insidens HIV yang tinggi, mempunyai insidens TB yang tinggi. Wanita hamil
dengan TB ke-infeksi HIV, mempunyai risiko kematian ibu lebih tinggi dibanding
tanpa HIV, sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya
secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 1990-an,
situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak
yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan
dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi
hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan
dunia (global emergency).1,2,3
Salah satu masalah yang mempersulit eradikasi TB adalah meningkatnya
resistensi terhadap obat-obat TB (multidrug-resistant). Multidrug-resistant
tuberculosis (MDR-TB) adalah infeksi strain Mycobacterium TB yang
mempunyai resistensi terhadap baik Isoniazid maupun Rifampisin. Hal ini
menyebabkan krisis kesehatan global, dengan meningkatnya insidens TB pada
kehamilan, kemungkinan juga menyebabkan MDR-TB pada kehamilan akan
sering didapatkan. Indonesia menempati urutan ke-7 dari 27 negara “high MDR-
TB burden countries”, dengan insidensi 5,554/tahun (2007).1

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme


Mycobacterium yang menyebar melalui udara. TB biasanya mengenai paru-paru,
tetapi dapat juga mengnenai organ lain seperti otak, ginjal, dan tulang belakang.1

2.2 Cara Penularan

Infeksi terjadi melalui penderita TB yang menular. Penderita TB yang


menular adalah penderita dengan basil TB di dalam dahaknya, dan bila
mengadakan ekspirasi paksa berupa batuk atau bersin akan menghembus keluar
percikan dahak halus (droplet nuclei) yang berukuran kurang dari 5 mikron dan
yang akan melayang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB yang akan
melayang-layang di udara, jika droplet nuclei ini hinggap di saluran penapasan
yang besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan
oleh gerakan silia selaput lendir saluran pernapasan, tetapi bila droplet nuclei ini
berhasil masuk sampai ke dalam alveolus ataupun menempel pada mukosa
bronkiolus, droplet nuclei akan menetap dan basil TB akan mendapat kesempatan
untuk berkembang biak.2
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh jumlah kuman yang
dikeluarkan dari paru. Semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak
terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang
terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut. Faktor endogen seperti daya tahan tubuh, usia, dan
penyakit penyerta (infeksi HIV, limfoma, leukemia, malnutrisi, gagal ginjal,
diabetes melitus dan terapi imunosupresif) juga mempengaruhi kerentanan
seseorang tertular kuman TB.2

5
Gambar 1 : Faktor Risiko Kejadian TB2

Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2, cetakan pertama,


Dapartemen kesehatan republik Indonesia 200, 3-34 p.

2.3 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh inhalasi mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan reaksi granuloma paru. Sebanyak 90% infeksi bersifat laten dan
pada penurunan status imunologik akan menjadi aktif. MDR-TB (Multi drug
resistant tuberculosis). Bervariasi 1,2-1,4 %.5

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Penyakit Dan Tipe Pasien:2

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu


“definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:

1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

6
2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3) Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah2

1) Menentukan paduan pengobatan yang sesuai


2) Registrasi kasus secara benar
3) Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif

Beberapa istilah dalam definisi kasus:2

1) Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau


didiagnosis oleh dokter.
2) Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium
tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat


diperlukan untuk:2

1) menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah


timbulnya resistensi,
2) menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga
meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)
3) mengurangi efek samping.

7
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 2

1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang


jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB


Paru:2

1) Tuberkulosis paru BTA positif.


1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB
paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit:2

1. TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat


keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila

8
gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:2

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa


tipe pasien, yaitu:

1. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

9
Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami
kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang,
harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan
pertimbangan medis spesialistik.

2.5 Patofisiologi
Infeksi di tularkan melalui inhalasi Mycobacterium Tuberculosis, Setelah
inhalasi, nukleus droplet akan memasuki cabang-cabang bronkus dan
berimplantasi pada bronkiolus respiratorik dan alveolus. Apakah suatau basil
tuberkel yang telah terinhalasi akan dapat menentukan infeksi paru atau tidak,
tergantung baik pada virulensi bakteri maupun dari kemampuan mikrobisidal
makrofag alveolar yang memakannya. Jika basil mampu bertahan hidup dari
pertahanan tubuh awal, maka bakteri ini akan bermultiplikasi dalam makrofag
alveolus. Basil tuberkel akan bertumbuh secara lambat, membagi diri dalam 25-
32 jam dalam makrofag. Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin
maupun eksotoksin; sehingga tidak terjadi respon immun immediate (awal)
terhadap infeksi. Organisme ini akan bertumbuh dan waktu 2-12 minggu,
sampai mencapai jumlah tertentu yang mampu untuk memicu respon immun
yang dapat dideteksi dengan adanya reaksi skin test tuebrkulin. Sebelum
immunitas selular berkembang, basil tuberkel menyebar secara limfatik ke
limfonodi hilar dan kemudia melalui aliran darah ke jarak yang lebih jauh.
Beberapa organ dan jaringan tercatat resisten dengan multiplikasi bakteri ini.
Tulang belakang, hepar dan limpa selalu dapat ditinggali bakteri tetapi
multiplikasi bakteri yang tidak terkontrol pada area ini hampir tidak pernah
terliihat. Organisme ini akan tinggal pada area paru bagian atas, ginjal, tulang
dan otak, dimana merupakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhannya dan
sejumlah bakteri akan mengalami pembelahan sebelum kemudian immunitas
selular berkembang dan membatasi multiplikasinya. Pada pasien dengan
immunitas selular yang utuh, kumpulan sel T yang telah teraktifasi dan
makrofag akan membentuk granuloma yang membatasi multiplikasi dan

10
penyebaran kuman tubersulosis dalam organisme. Antibodi yang melawan M.
Tuberculosis akan terbentuk tapi tidak tampak protektif. Organisme cenderung
untuk terlokalisasi di tengah granuloma, yang seringkali akan nekrotik. Untuk
sebagian besar individu dengan fungsi immun yang normal, proliferasi M.
Tuberkulosis berhenti begitu immunitas selular berkembang, meskipun
demikian, sejumlah kecil basilus hidup mungkin saja masih akan ada di dalam
granuloma. Meskipun kompleks primer kadang-kadang dapat terlihat pada
pemeriksaan radiografi toraks, mayoritas infeksi tuberkulosis pulmo secara
klinik dan radiografi tidak tampak. Sebagian besar, hasil skin test tuberkulin
positif merupakan satu-satunya indikasi bahwa M.Tuberkulosis telah
berkembang. Individu dengan infeksi tuberkulosis laten tapi bukan penyakit
aktif tidak infeksius, sehingga tidak dapat menularkan kuman. Diperkirakan
kurang lebih 10% individu dengan infeksi tuberkulosis dan tidak mendapat
terapi pencegahan akan berkembang menjadi tuberkulosis aktif. Risiko tertinggi
pada 2 tahun pertama setelah infeksi. Kemampuan host untuk merespon
organisme akan berkurang dengan adanya penyakit seperti silikosis, DM, dan
penyakit yang berhubungan dengan immunosupresi, misalnya infeksi HIV,
pemberian kortikosteroid dan obat-obat immunosupresan lain. Pada keadan ini,
kecenderungan untuk berkembangnya penyakit tuberkulosis meningkat. Risiko
untuk berkembang menjadi tuberkulosis juga tampaknya lebih besar selama 2
tahun pertama kehidupan. Dalam hal cara persalinan, tidak ada bukti bahwa TB
akan mempengaruhi cara persalinan.1,5

2.6 Gejala Tuberkulosis

Karena TB dapat mengenai bermacam lokasi pada tubuh, gejalanya dapat


sangat bervariasi, beberapa diantaranya bahkan tidak spesifik dan akhirnya
menyebabkan diagnosis terlambat.1

Gejala TB pulmonal yang khas termasuk batuk kronik, kehilangan berat badan,
demam intermiten, keringat malam dan batuk darah. TB yang menyerang bagian
tubuh lain selain paru akan memiliki gejala tergantung lokasinya, dan mungkin
akan disertai demam intermiten dan kehilangan berat badan. TB merupakan

11
diagnosis yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan demam intermitten,
kehilangan berat badan dan gejala lain yang tidak jelas. TB laten tanpa infeksi
aktif mungkin tidak akan menunjukkan gejala apa-apa.1

2.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Diagnosis TB paru2
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
e. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.

Diagnosis TB ekstra paru.2


a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja
dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif)
dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan
diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan

12
dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi,
patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Gambar 2: Alur Diagnosis TB Paru2

Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2, cetakan


pertama, Dapartemen kesehatan republik Indonesia 2007, 3-34 p.

Catatan : Pada keadaan-keadaan tertentu dengan pertimbangan kegawatan dan


medis spesialistik, alur tersebut dapat digunakan secara lebih fleksibel.

Indikasi pemeriksaan foto toraks 2

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan


pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:

1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB
paru BTA positif. (lihat bagan alur)

13
2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT. (lihat bagan alur)
3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

2.8 Pengobatan Tuberkulosis 2,5

Tujuan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah


kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT2

Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2, cetakan


pertama, Dapartemen kesehatan republik Indonesia 2007, 3-34 p.

Sebelum kehamilan perlu di beri konseling mengenai pengaruh kehamilan


dan Tuberkulosis serta pengobatan adanya Tuberkulosis dengan Isoniazid,
Rifampicin, Etambutol, dan Pyrazinamide tidak merupakan kontraindikasi pada
kehamilan karena dapat menyebabkan ototoksik pada janin.
Pengobatan TBC dalam kehamilan menurut rekomendasi WHO adalah
dengan pemberitahuan empat regimen kombinasi Isoniazid, Rifampicin,

14
Etambutol, dan Pyrazinamide selama 6 bulan. Cara pengobatan sama dengan yang
tidak hamil. Dapat juga di berikan tiga regimen kombinasi, Isoniazid, Rifampicin,
Etambutol, selama 9 bulan. Angka kesembuhan 90% pada pengobatan selama 6
bulan directly observed therapy (DOT) pada inveksi baru.
Saat persalinan mungkin di perlukan pemberian oksigen yang adekuat dan
cara persalinan sesuai indikasi obestetrik. Pemakaian ,masker dan ruangan isolasi
di perlukan untuk mencegah penularan. Pemberian ASI tidak merupakan
kontraindikasi meskipun ibu mendapatkan obat anti–TBC. Perlu di brikan
vaksinasi BCG setelah profilaksis dengan izoniazid 10mg/kg/hari pada bayi dari
ibu dengan tuberkulosis
Program kontrol TB nasional memerlukan 3 regimen standard:
- “Regimen pasien baru”: regimen mengandung 6 bulan pemberian
rifampicin: 2HRZE/4HR1
- “Pemberian terapi ulangan dengan first-line drugs”:
2HRZE/1HRZE/5HRE2
- “Regimen MDR”.
Table 2: Rekomendasi dosis obat antituberkulosis first-line pada dewasa2
OBAT DOSIS YANG DIREKOMENDASIKAN

Harian 3 x seminggu
Dosis dan Maximum Dosis dan Dosis
range (mg) range maksimum
(mg/kg (mg/kg Harian (mg)
body body
weight) weight)
Isoniazid 5 (4–6) 300 10 (8–12) 900
Rifampicin 10 (8–12) 600 10 (8–12) 600
Pyrazinamide 25 (20–30) – 35 (30–40) –
Ethambutol 15 (15–20) – 30 (25–35) –
Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2, cetakan pertama,
Dapartemen kesehatan republik Indonesia 2007, 3-34 p.

15
Wanita menyusui yang menderita TB harus menerima terapi TB sepenuhnya. Saat
pemberian dan jenis kemoterapi yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah transmisi basil tuberkel kepada bayi. Ibu dan bayi harus tetap bersama
dan bayi harus tetap melanjutkan menyusui. Setelah menyingkirkan adanya
infeksi TB aktif pada bayi, bayi harus diberikan terapi preventif berupa isoniazid
selama 6 bulan, diikuti dengan vaksinasi BCG. Pemberian suplemen piridoksin
direkomendaiskan terhadap seluruh wanita hamil dan menyusui yang mendapat
isoniazid.

Tabel 3: Langkah penanganan Tuberkulosis pada kehamilan3


Sebelum  Konseling mengenai pengaruh kehamilan dan TBC serta
kehamilan pengobatan
 Pemeriksaan penyaring tuberkolosis pada populasi risiko tinggi

 Perbaikan keadaan umum ( gizi, anemia ).

Selama  Tuberkulosis bukan merupakan indikasi untu melakukan guguran


kandungan
kehamilan
 Pengobatab dengan regimen kombinasi dapat segera di mulai
begitu diagnosis di tegakkan

 Antenatal care dilakukan seperti biasa, di anjurkan pasien datang


paling awal atau paling akhir untuk mencegah penularan pada
orang di sakitnya

Saat  Persalinan dapat berlangsung seperti biasa. Penderita di beri


masker untuk menutupi hidung dan mulutnya agar tidak terjadi
Persalinan
penyebaran kuman kesekitarnya

 Pemberian oksigen adekuat

 Tindakan pencegahan infeksi ( kewaspadaan universal)

 Ekstraksi vakum/vorseps bila ada indikasi obstetrik

16
 Sebaiknya persalinan di lakukan di ruang isolasi, cegah pendarahan
pasca persalinan dengan uterotonika

Pasca  Observasi 6 – 8 jam kemudian penderita dapat langsung di


pulangkan
Persalinan
Bila tidak mungkin di pulangkan, penderita harus di rawat di ruang
isolasi

 Perawatan bayi harus di pisahkan dari ibunya sampai tidak terlihat


tanda proses aktif lagi (dibuktikan dengan pemeriksaan sputum
sebanyak 3 kali dengan hasil yang selalu negatif)

 Pemberian ASI tidak merupakan kontraindikasi meskipun ibu


mendapat QAT

 Profilaksis neonatus dengan Isoniazid 10 mg/kg/hari dan vaksi


BCG

1. (dikutip dari: Willams Obstetriks 22nd, ed, 2005), Saifuddin AB, Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo Penyakit Saluran Pernapasan, Tuberkulosis, Ed.4, Najoan Nan Warouw,
Jakarta, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2010. 800-809 p.

Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda


dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT
aman untuk kehamilan, kecuali Streptomycin. Streptomycin tidak dapat dipakai
pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier
placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran
dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan
kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.2

Tabel 4. Efek samping ringan OAT2


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu makan, Rifampicin Semua OAT diminum

17
mual, sakit perut malam sebelum tidur
Nyeri Sendi Pyrazinamide Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6
terbakar di kaki (piridoxin) 100mg per
hari
Warna kemerahan pada Rifampicin Tidak perlu diberi apa-
air seni (urine) apa, tapi perlu penjelasan
kepada pasien
Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2, cetakan pertama,
Dapartemen kesehatan republik Indonesia 2007, 3-34 p.

Tabel 5. Efek samping berat OAT2


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petunjuk
kulit penatalaksanaan dibawah
*).
Tuli Streptomycin. Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Gangguan keseimbangan Streptomycin. Streptomisin dihentikan,
ganti Etambutol.
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua OAT Hentikan semua OAT
lain sampai ikterus
menghilang.
Bingung dan muntah- Hampir semua OAT Hentikan semua OAT,
muntah (permulaan segera lakukan tes fungsi
ikterus karena obat) hati.
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan Rifampicin Hentikan Rifampisin.
(syok)
Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2, cetakan pertama,
Dapartemen kesehatan republik Indonesia 2007, 3-34 p.

18
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit.
Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit
tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk.2

Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan


dengan cara sebagai berikut: • Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum
diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging”
dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut. • Efek samping
hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan
dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses
rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti
hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas. • Bila jenis obat penyebab dari
reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya Pirazinamide atau Etambutol
atau Streptomycin maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat
tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan
mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya
kambuh. • Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniazid atau Rifampicin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang
paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan
jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau
Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,
jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV.2

19
2.12 Prognosis

Sembuh bila Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan


pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu
pemeriksaan follow-up sebelumnya dan Meninggal bila pasien yang meninggal
dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 2

20
BAB III
KESIMPULAN

1. TB merupakan penyakit infeksi oleh M. tuberculosis yang umumnya

menyerang jaringan paru, gejala klinisnya meliputi batuk produktif terus-

menerus lebih dari dua minggu, sering disertai dengan gejala tambahan

seperti sputum bercampur darah, hemoptisis, sesak napas dan rasa nyeri

dada.

2. Efek TB pada kehamilan tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe,

letak dan keparahan penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan

OAT, status nutrisi ibu hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status

imunitas, dan kemudahan mendapatkan fasilitas diagnosis dan OAT.

3. OAT mempunyai kontraindikasi pada wanita hamil, misalnya

streptomicyn yang dapat menyebabkan ketulian kongenital pada janin.

4. Tuberkulosis tidak mempengaruhi kehamilan dan kehamilan tidak

mempengaruhi manifestasi klinis dan progresitivitas tuberkulosis bila

diterapi dengan tepat dan adekuat. Penggunaan regimen pengobatan yang

tepat dan adekuat dapat memperbaiki kualitas hidup ibu hamil dan

menghindari efek samping ke janin dan bayi yang baru lahir. Penggunaan

obat streptomisin dan obat lini kedua dihindari pada wanita hamil karena

efek samping terhadap janin, kecuali dalam keadaan MDR.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. IMS Murah Manoe, Retno Budiati Farid, Panduan Penataklasanaan


Tuberkulosis dalam Kehamilan, 11-14 Maret 2012, PIT Fetomaternal 13
palembang.
2. Manaf Abdul, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Ed.2,
cetakan pertama, Dapartemen kesehatan republik Indonesia 2007, p.3-34.
3. Surya A, basri C, PEDOMAN NASIONAL PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan
2011, Editor cetakan 2011, p.1-36.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Gant NF, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom
KD. Penyakit Paru, In: Obstetri Williams, Ed.21, Vol. 2, Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran.2013. p. 1387-1392.
5. Warouw NN. Penyakit Saluran Pernapasan. In: Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, Winkjosastro GH, Editor. Ilmu Kebidanan, Sarwono
Prawirohardjo. Ed.4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2008. p. 800-809.

22

Anda mungkin juga menyukai