Anda di halaman 1dari 20

Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia

PANDUAN
PENATALAKSANAAN
TUBERKULOSIS
DALAM KEHAMILAN
(DRAFT)

11-14 Maret 2012


PIT FETOMATERNAL 13 PALEMBANG
Kontributor:

HKFM senter Makassar

1. dr. IMS Murah Manoe, SpOG(K)


2. dr. Retno Budiati Farid, SpOG(K)
3. Dr. dr. Maisuri Tadjuddin Chalid, SpOG(K)
4. dr. Efendi Lukas, SpOG(K)
5. Dr. dr. Isharyah Sunarno, SpOG(K)
6. dr. Deviana Soraya Riu, SpOG
7. dr. Rina Amiruddin, SpOG
I. Pendahuluan
Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi yang kronis menular
dan secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua negara. Dari
laporan tahunan WHO (2003) disimpulkan bahwa masih ada 22 negara
dengan kategori beban tinggi terhadap TBC (high burden of TBC numbers).
Sebanyak 8,9 juta penderita TBC dengan proporsi 80% pada 22 negara
berkembang dengan kematian 3 juta orang per tahun. Satu orang dapat
terinfeksi TBC setiap detik dan penyakit TBC membunuh 1 juta perempuan
per tahun pada saat kehamilan dan persalinan. 1,2

Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dalam urutan jumlah penderita


TBC setelah India (30%) dan China (15%) dengan presentase sebanyak 10%
dari total penderita TBC di dunia. Kurun waktu 5 tahun terakhir dengan
berbagai program TBC yang dilakukan hanya mampu menurunkan angka
kesakitan penyakit Tuberkulosis yaitu 15 per 100.000 penduduk sehingga dari
122/100.000 menjadi 107/100.000 penduduk. Dari laporan WHO tahun 2005
dinyatakan bahwa estimasi insidens TBC di Indonesia dengan dasar hasil
pemeriksaan sputum adalah 128 per 100.000 (2003) dengan perkiraan
prevalens sebesar 295 per 100.000. Di Indonesia angka penemuan kasus
(Case Detection Rate) mencapai 33% dengan angka kesembuhan (Cure
Rate) adalah 86% dengan metoda DOTS (Directly Observed Treatment of
Short Course). 1,2,3

Salah satu penyebabnya tingginya prevalensi Tuberkulosis dalam beberapa


tahun terakhir adalah meningkatnya ko-infeksi dengan HIV/AIDS.
Tuberkulosis dan HIV/AIDS termasuk penyebab utama kematian ibu. Setiap
tahun, kurang lebih 700.000 kematian perempuan disebabkan oleh TB,
sementara kurang lebih 2 juta kematian maternal setiap tahunnya disebabkan
oleh HIV. Daerah dengan insidens HIV yang tinggi, mempunyai insidens TB
yang tinggi. Wanita hamil dengan TB ko-infeksi HIV, mempunyai risiko
kematian ibu lebih tinggi dibanding tanpa HIV.1,2

Salah satu masalah yang mempersulit eradikasi TB adalah meningkatnya


resistensi terhadap obat-obat TB (multidrug-resistant). Multidrug-resistant
tuberculosis (MDR-TB) adalah infeksi strain Mycobacterium TB yang
mempunyai resistensi terhadap baik Isoniazid maupun Rifampisin. Hal ini
menyebabkan krisis kesehatan global, dengan meningkatnya insidens TB
pada kehamilan, kemungkinan juga menyebabkan MDR-TB pada kehamilan
akan sering didapatkan. Indonesia menempati urutan ke-7 dari 27 negara
“high MDR-TB burden countries”, dengan insidensi 5,554/tahun (2007).

II. Definisi
Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
Mycobacterium yang menyebar melalui udara. TB biasanya mengenai paru-
paru, tetapi dapat juga mengnenai organ lain seperti otak, ginjal, dan tulang
belakang. [2]

III. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis

Gambar 1: Pewarnaan Ziehl-Neelsen dari pertumbuhan Mycobacterium tuberculosa


pada pembesaran 1000x [4]
Gambar 2: Pemeriksaan mikroskop elektron dari pertumbuhan Mycobacterium
tuberculosa pada kultur. [4]

IV. Klasifikasi TB
0. Tidak ada riwayat terpapar dan reaksi skin test tuberkulin negatif [5].
1. Memiliki riwayat terpapar tetapi memiliki reaksi skin test tuberkulin negatif.
[5]
Tindakan yang diambil untuk kelas ini adalah terutama tergantung dari
derajat dan lamanya tenggang waktu terpapar dengan M. Tuberculosis,
dimana sangat tergantung pada status immun dari orang yang terpapar.
Jika terdapat paparan yang signifikan dalam 3 bulan, harus dilakukan
follow up skin test tuberkulin dalam waktu 10 minggu setelah paparan.

2. Infeksi latent Tuberculosis, tidak ada gejala klinik [5]


Memiliki reaksi skin test tuberkulin yang positif (dinyatakan dalam satuan
mm (miliemeter), hasil pemeriksaan bakteriologi negatif (jika dilakukan)
dan tidak terdapat bukti adanya tuberkulosis aktif, baik secara klinik,
bakteriologik, maupun radiografi. Terapi infeksi tuberkulosis laten mungkin
diindikasikan untuk orang tertentu. Harus dicatat kemoterapi yang
sekarang diterima (tanggal dan jenis regimennya), kapan terapinya
selesai (waktu dan dan jadwal pemberian terapi) serta apakah terapinya
inkomplit atau tidak (waktu pemberian dan regimennya).[5]

3. Tuberculosis, secara klinik aktif. [5]


Seluruh pasien dengan tuberkulosis yang secara klinik aktif dan telah
menjalani prosedur diagnostik secara komplit. Jika prosedur diagnosis
masih belum dapat dijalankan dengan lengkap, pasien harus dimasukkan
dalam klasifikasi sebagai suspek tuberkulosis (kelas 5). Untuk memenuhi
kriteria 3 ini, pasien haruslah memiliki gejala klinik, bakteriologik, dan/atau
bukti radiografi akan adanya infeksi tuberkulosis.
Hal ini paling mungkin ditentukan dengan isolasi M. Tuberculosis. Pasien
yang memiliki riwayat tuberkulosis dan juga memiliki gejala klinik yang
sekarang aktif termasuk kelas 3.
 Lokasi penyakit [5]
 Pulmonar
 Pleural.
 Limfatik
 Tulang dan sendi
 Genitourinari
 Disseminated (milier)
 Meningeal
 Peritoneal
 Lain-lain
Lokasi infeksi yang dominan harus dicatat. Semua lokasi
infeksi lain juga harus dicatat. [5]

 Status bakteriologis
Negatif [5]
 Tidak dilakukan
 Secara mikrroskopik (tanggal pemeriksaan)
 Amplifikasi asam nukleat (tanggal pemeriksaan)
 Kultur (tanggal pemeriksaan)
Positif [5]
 Mikroskopik (tanggal pemeriksaan)
 Amplifikasi asam nukleat (tanggal dilakukan)
 Kultur (tanggal dilakukan)
Hasil tes suseptibilitas beserta metode dan konsentrasi yang
digunakan (tanggal pemeriksaan) [5]
Data berikut ini diperlukan pada situasi tertentu: [5]
 Pemeriksaan radiografi torak [5]
 Normal
 Abnormal
 Kavitas dan non kavitas
 Stabil atau memburuk atau membaik
 Reaksi skin test tuberkulin [5]
 Positif (ukuran indurasi dalam satuan mm)
 Negatif (ukuran indurasi dalam satuan mm)
4. Tuberculosis: secara klinik tidak aktif
Yaitu jika terdapat riwayat episode tuberkulosis sebelumnya atau
temuan radiografi abnormal yang stabil pada pasien dengan reaksi skin
test tubekulin yang positif (ukuran indurasi dalam satuan mm),
pemeriksaan bakteriologik negatif (jika dilakukan) dan tidak terdapat
bukti klinik dan/atau radiolografik dari penyakit sekarang. [5]
Pasien dengan kelas 4 mungkin tidak pernah menerima kemoterapi,
dan mungkin menerima terapi ung infeksi laten, atau mungkin telah
melengkapi jadwat kemoterapi sebelumnya. Jika gejala klinik yang aktif
belum dapat disingkirkan, khususnya pada pasien yang pernah
menerima terapi adekuat, pasien harus diklasifikasikan sebagai suspek
tuiberkulosa (kelas 5) sampai evaluasi diagnostik memungkinkan untuk
mengklasifikasikannya sebagai kelas 3 atau kelas 4. [5]
5. Suspek Tuberculosis (diagnosis pending)
Jika diagnosis tuberkulosis masih dipertimbangkan, baik terapi telah
dimulai maupun belum, sampai prosedur diagnostik telah lengkap.
Pasien tidak boleh berada dalam kategori ini selama 3 bulan. Jika
prosedur diagnostik telah lengkap, pasien harus telah dapat
dimasukkan dalam salah satu kategori. [5]

V. Patofisiologi
a. TB
Setelah inhalasi, nukleus droplet akan memasuki cabang-cabang
bronkus dan berimplantasi pada bronkiolus respiratorik dan alveolus.
Apakah suatau basil tuberkel yang telah terinhalasi akan dapat
menentukan infeksi paru atau tidak, tergantung baik pada virulensi
bakteri maupun dari kemampuan mikrobisidal makrofag alveolar yang
memakannya. [5]

Jika basil mampu bertahan hidup dari pertahanan tubuh awal, maka
bakteri ini akan bermultiplikasi dalam makrofag alveolus. Basil tuberkel
akan bertumbuh secara lambat, membagi diri dalam 25-32 jam dalam
makrofag. Mycobacterium tuberculosis tidak memiliki endotoksin
maupun eksotoksin; sehingga tidak terjadi respon immun immediate
(awal) terhadap infeksi. Organisme ini akan bertumbuh dan waktu 2-12
minggu, sampai mencapai jumlah tertentu yang mampu untuk memicu
respon immun yang dapat dideteksi dengan adanya reaksi skin test
tuebrkulin. [5]
Sebelum immunitas selular berkembang, basil tuberkel menyebar
secara limfatik ke limfonodi hilar dan kemudia melalui aliran darah ke
jarak yang lebih jauh. Beberapa organ dan jaringan tercatat resisten
dengan multiplikasi bakteri ini. Tulang belakang, hepar dan limpa selalu
dapat ditinggali bakteri tetapi multiplikasi bakteri yang tidak terkontrol
pada area ini hampir tidak pernah terliihat. [5]
Organisme ini akan tinggal pada area paru bagian atas, ginjal, tulang
dan otak, dimana merupakan lingkungan yang cocok untuk
pertumbuhannya dan sejumlah bakteri akan mengalami pembelahan
sebelum kemudian immunitas selular berkembang dan membatasi
multiplikasinya. [5]
Pada pasien dengan immunitas selular yang utuh, kumpulan sel T yang
telah teraktifasi dan makrofag akan membentuk granuloma yang
membatasi multiplikasi dan penyebaran kuman tubersulosis dalam
organisme. Antibodi yang melawan M. Tuberculosis akan terbentuk tapi
tidak tampak protektif. Organisme cenderung untuk terlokalisasi di
tengah granuloma, yang seringkali akan nekrotik. Untuk sebagian besar
individu dengan fungsi immun yang normal, proliferasi M. Tuberkulosis
berhenti begitu immunitas selular berkembang, meskipun demikian,
sejumlah kecil basilus hidup mungkin saja masih akan ada di dalam
granuloma. [5]
Meskipun kompleks primer kadang-kadang dapat terlihat pada
pemeriksaan radiografi toraks, mayoritas infeksi tuberkulosis pulmo
secara klinik dan radiografi tidak tampak. Sebagian besar, hasil skin test
tuberkulin positif merupakan satu-satunya indikasi bahwa
M. Tuberkulosis telah berkembang. Individu dengan infeksi tuberkulosis
laten tapi bukan penyakit aktif tidak infeksius, sehingga tidak dapat
menularkan kuman. Diperkirakan kurang lebih 10% individu dengan
infeksi tuberkulosis dan tidak mendapat terapi pencegahan akan
berkembang menjadi tuberkulosis aktif. [5]
Risiko tertinggi pada 2 tahun pertama setelah infeksi. Kemampuan host
untuk merespon organisme akan berkurang dengan adanya penyakit
seperti silikosis, DM, dan penyakit yang berhubungan dengan
immunosupresi, misalnya infeksi HIV, pemberian kortikosteroid dan
obat-obat immunosupresan lain. Pada keadan ini, kecenderungan untuk
berkembangnya penyakit tuberkulosis meningkat. Risiko untuk
berkembang menjadi tuberkulosis juga tampaknya lebih besar selama
2 tahun pertama kehidupan. Dalam hal cara persalinan, tidak ada bukti
bahwa TB akan mempengaruhi cara persalinan.[5]

b. Efek tuberculosis terhadap kehamilan dan bayi baru lahir

Dengan berkembangnya kemoterapi yang efektif, sebagian besar


penelitian memperlihatkan bahwa tuberkulosis tidak meningkatkan
komplikasi persalinan. Tidak terdapat data statistik yang signifikan
mengenai meningkatnya kecenderungan untuk terjadinya malformasi
kongenital pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis
meskipun demikian, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, BBLR
dan peningkatan mortalitas perinatal sangat umum terjadi. Gambaran
klinik tuberkulosis pada wanita hamil sama dengan pada pasien yang
tidak hamil. [6]
Batuk, kehilangan berat badan, demam, lemas dan hemoptisis
merupakan gambaran umum. Gambaran lain seperti letargi, distensi
abdomen, irritabilitas dan lesi kulit juga dapat terlihat. Tuberkulosis
ekstrapulmonal juga sering ditemukan, dan telah diamati pada 20%
kasus. Limfadenitis merupakan bentuk yang umum dari tuberkulosis
ekstrapulmonal dan tidak memiliki efek lain terhadap maternal maupun
hasil luaran fetal. [6]
Bentuk lain dari tuberkulosis ekstapulmonal seperti intestinal, spinal,
endometrial dan meningeal dihubungkan dengan peningkatan frekuensi
disabilitas maternal, pertumbuhan janin terhambat, dan bayi dengan nilai
Apgar rendah. Pasien yang terikfeksi HIV memiliki insidensi yang lebih
tinggi untuk menderita tuberkulosis ekstrapulmonal. Kejadian MDR TB
seringkali juga ditemukan pada wanita hamil sebagimana halnya
dengan wanita tidak hamil, meskipun hal ini belum pernah
didokumetasikan. Meskipun demikian, wanita hamil dengan MDR-TB
memiliki peningkatan resiko komplikasi neonatal dan pasien sendiri
cenderung menunjukkan perkembangan penyakit yang lebih parah
dengan perubahan gambaran radiologik yang lebih parah waktu
konversi sputum yang lebih lama. [6]

c. Efek terhadap kehamilan terhadap TB

Efek kehamilan terhadap TB adalah risiko terjadinya reaktivasi


terhadap TB, namun kehamilan tidak mempengaruhi luaran terapi TB.
Faktor lain yang turut berperan adalah status gizi ibu, adanya penyakit
penyerta dan ko-infeksi HIV.

VI. Penularan TB
Tuberkulosis menyebar melaui udara dengan droplet nukleus, sebuah partikel
berdiameter 1-5 mm yang mengandung kompleks M. Tuberkulosis. Droplet nuklei
juga dihasilkan ketika pasien dengan tuberkulosis pulmonal atau laringeal batuk,
bersin, berbicara atrau bernyanyi. Mikroorganisme juga dikeluarkan pada terapi
aerosol, induksi sputum, aerosolosasi selama proses bronkoskopi, dan melalui
manipulasi lesi atau proses pengolahan jaringan atau sekret di laboratorium. [5]

4 faktor yang menentukan kecenderungan transmisi M. Tuberkulosis:[5]


1) Jumlah mikroorganisme yang dikeluarkan ke udara
2) Konsentrasi mikroorganisme diudara yang ditentukan oleh volume ruangan dan
ventilasi.
3) Lamanya waktu seseorang terekspos dengan udara yang terkontaminasi
4) Status immun dari individu yang terekspos. [5]
VII. Gejala TB
Karena TB dapat mengenai bermacam lokasi pada tubuh, gejalanya dapat sangat
bervariasi, beberapa diantaranya bahkan tidak spesifik dan akhirnya menyebabkan
diagnosis terlambat. [7]

Gejala TB pulmonal yang khas termasuk batuk kronik, kehilangan berat badan,
demam intermiten, keringat malam dan batuk darah. TB yang menyerang bagian
tubuh lain selain paru akan memiliki gejala tergantung lokasinya, dan mungkin akan
disertai demam intermiten dan kehilangan berat badan. TB merupakan diagnosis
yang perlu dipertimbangkan pada pasien dengan demam intermitten, kehilangan
berat badan dan gejala lain yang tidak jelas. TB laten tanpa infeksi aktif mungkin
tidak akan menunjukkan gejala apa-apa. [7]

VIII. Diagnosis

Infeksi Tb pada kehamilan mungkin memilki gambaran yang menyulitkan untuk


didiagnosis, terutama karena gejala awalnya yang kadang non-spesifik, seperti
lemas, letih, yang mungkin memang sering diekeluhkan oleh ibu hamil dan tidak
mengarahlan kecurigaan ke arah TB. [8]
Selain ini, gambaran TB pada wanita hamil serupa dengan wanita tidak hamil,
dimana TB pulmonal merupakan manifestasi klinik yang paling sering ditemui.
Langkah yang paling penting untuk membuat diaagnosis dalam kehamilan adalah
identifikasi faktor resiko infeksi TB dan pemeriksaan khusus mengenai gejala untuk
menduga adanya infeksi. Skrinign rutin TB dalam kehamilan tidak standard di
beberapa daerah. Dan hal inilah yang merupakan salah satu faktor yang dianggap
dapat menyebabkan diagnosis terlambat dan pada akhirnya berperan dalam
kematian ibu. Penelitian yang dilakukan di Soweto, afrika selatan, skrining TB
dengan menggunakan sejumlah pertanyaan selama ANC dianggap cukup berguna
dan hanya memeakan waktu sedikit selama konsultasi pada ANC> [8]
Rekomendasi telah mengatakan bahwa pertanyaan mengnai TB untuk menskrining
harus diimplementasikan pada daerah dengan prevalensi HIV cukup tinggi,dimana
tingkat infeksi HIV pada wanita hamil cukup tinggi pada daerah terrsebut. Modalitas
laboratorium yang paling sering adalah pemeriksaan mikroskopik sputum untuk
mendeteksi adanya basil tahan asam, kultur sputum dan spesimen lain yang diduga
mengandung M. TB serta foto toraks—masih merupakan alat utama diagnostik. [8]
Test kulit tuberkulin memiliki nilai dalam mendiagnosis infeksi TB laten, kecuali di
area dimana terdapat prevalensi dan insidensi TB yang tinggi. Konfirmasi adanya
infeksi M. TB masih merupakan issue yang sulit, dengan teknologi yang sudah
ketinggalan dan inakurat, terutama pada daerah dengan fasilitas terbatas.
Peningkatan teknologi diagnostik masih merupakan prioritas penelitian. Interferon-C
Release Assays dan Quanti-FERON-TB Gold In-Tube assay telah dipakai sebagai
metode diagnosis infeksi laten TB. Metode ini telah meningkatkan spesifitas dan
akurasi diagnostik dan tidak dipengaruhi oleh vaksinasi BCG atau infeksi dari
Mycobacteria non tuberkulosa. Quanti-FERON-TB Gold In-Tube assay aman
digunakan dalam kehamilan, meskipun belum divalidasi untuk kehamilan. [8]
Infeksi HIV mengubah gambaran infeksi TB aktif. TB dengan hasil smear negatif
sering ditemukan pada individu dengan infeksi TB dimana individu tersebut
cenderung untuk menghasilkan lebih sedikit bakteri basilus dan pemeriksaan
mikroskopik saja tidak seharusnya digunakan untuk membuat diagnosis.
Pemeriksaan foto torak dan penilaian suara paru secara klinik merupakan
pemeriksaan yang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis secara cepat
pada penderita dena hasil smear TB yang negatif; meskipun demikian gambaran
foto torak mungkin saja menunjukkan hasil normal pada 14% individu dengan hasil
kultur TB. Tb ekstrapulmoner tidak umum pada kehamilan, sehingga dokter harus
sangat mencurigai individu dengan gejala atipik. Pengendalian infeksi penting untuk
mengendalikan penyebaran TB, dimana TB akan sangat infeksius jika terjadi di paru
dan laring, dan biasanya tidak pada kontak singkat. Petugas kesehatan dan anggota
keluarga pasien harus mendapatkan informasi mengenai transmisi dan pentingnya
skrining [8]

a. Skin test pada ibu hamil


Kurang lebih ribuan wanita hamil menerima TST selama test ini
dikembangkan dan tidak ditemukan catatan akan adanya efek samping yag
membahayakan janin yang diakibatkan oleh TST. Tidak terdapat bukti bahwa
TST memiliki efek samping terhadap wanita hamil dan janin. Pasien harus ikut
menjalani test kulit serial sebagai bagian dari program pengendalian infeksi
ataupun pemeriksan kontak karena tidak ditemukan kontraindikasi terhadap
tes kulit yang ada. Guideline yang dikeluarkan oleh ACOG menekankan
bahwa penundaan diagnosis/diagnosis terlmabat terhadap infeksi yang
diakibatkan oleh M. Tuberkulosa sangat tidak dapat ditoleransi. [9]

Test kulit tuberkulin Mantoux merupakan metode standar untuk


mengidentifikasi seorang dengan infeksi M. Tuberculosa. Test dengan
tusukan multipel (multiple puncture test/ MPTs) tidak seharusnya digunakan
untuk mengidentifikasi apakah seseorang terinfeksi atau tidak. MPTs bukan
merupakan test yang reliabel karena jumlah tuberkulin yang diinjeksikan
secara intra dermal tidak dapat dikontrol dengan tepat. Test kulit tuberkulin
aman dan reliabel untuk dilakukan selama kehamilan. [9]

IX. Terapi
Pasien baru dengan TB pulmonal harus menerima terapi regimen yang mengandung
rifampisin dengan lama pemberian 6 bulan: 2HRZE/4HR. Pemberian regimen
2HRZE/2HE sudah tidak dianjurkan [10]. Pasien baru dengan TB pulmonal boleh
menerima pengobatan intensif dengan pemberian setiap hari diikuti dengan fase
lanjutan dengan pemberian setiap 3x seminggu [2HRZE/4(HR)3] dengan syarat
setiap dosis dharus diawasi ketat secara langsung dan pasien BUKAN merupakan
penderita HIV atau tinggal di daerah dengan prevlensi HIV yang tinggi. [10]

Table 1. Regimen standar untuk pasien TB baru (diduga, atau diketahui, atau
memiliki tes suseptibilitas Tb) [10]
Terapi fase Intensif Fase Lanjutan
2 bulan HRZEa 4 bulan terapi HR
a WHO tidak lagi merekomendasikan peniadaan pemberian etambutol selama fase
intensif untuk terapi pasien non kavitas, pasien TB pulmonal dengan hasil smear
negatif atau TB ekstra pulmonal yang di ketahui HIV negatif. Pada meningitis TB,
etambutol harus digantikan oleh streptomisin.
H = isoniazid, R= rifampicin, Z = pyrazinamide, E= ethambutol

Table 2. Frekuensi Dosis untuk pasien TB baru. [10]


FREKUENSI DOSIS CATATAN
Harian Harian Optimal
Harian 3 x seminggu Alternatif yang dapat diterima untuk
setiap pasien TB baru yang terapinya
secara langsung diawasi
3 x seminggu 3 x seminggu Alternatif yang dapat diterima dimana
pasien mendapat observasi secara
langsung dan tidak menderita HIV
atau tidak tinggal pada daerah
dengan tingkat HIV yang tinggi

Catatan: Dosis setiap hari (lebih baik dari 3x seminggu) pada fase intensif mungkin
membantu untuk mencegah resitensi obat dapatan pada pasien TB yang memulai
terapi dengan resistensi isoniazid . [10]

Program kontrol TB nasional memerlukan 3 regimen standard:


- “Regimen pasien baru”: regimen mengandung 6 bulan pemberian rifampicin:
2HRZE/4HR1
- “Pemberian terapi ulangan dengan first-line drugs”: 2HRZE/1HRZE/5HRE2
- “Regimen MDR”. [10]

Table 3. Rekomendasi dosis obat antituberkulosis first-line pada dewasa [10]


OBAT DOSIS YANG DIREKOMENDASIKAN

Harian 3 x seminggu
Dosis dan Maximum Dosis dan Dosis
range (mg) range maksimum
(mg/kg (mg/kg Harian
body body (mg)
weight) weight)
Isoniazid 5 (4–6) 300 10 (8–12) 900
Rifampicin 10 (8–12) 600 10 (8–12) 600
Pyrazinamide 25 (20–30) – 35 (30–40) –
Ethambutol 15 (15–20) – 30 (25–35) –
Wanita menyusui yang menderita TB harus menerima terapi TB sepenuhnya. Saat
pemberian dan jenis kemoterapi yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah transmisi basil tuberkel kepada bayi. Ibu dan bayi harus tetap bersama
dan bayi harus tetap melanjutkan menyusu. Setelah menyingkirkan adanya infeksi
TB aktif pada bayi, bayi harus diberikan terapi preventif berupa isoniazid selama 6
bulan, diikuti dengan vaksinasi BCG. [10]
Pemberian suplemen piridoksin direkomendaiskan terhadap seluruh wanita hamil
dan menyusui yang mendapat isoniazid. [10]

X. TB pada keadaan khusus


Beberapa rekomendasi mengenai MDR-TB:
 Perlu mendiskusikan dengan ibu mengenai resiko dan keuntungannya [12]
 Memulai terapi resistensi obat pada trimester kedua, atau sesegera mungkin jika
kondisi ibu tidak memungkinkan. Karena efek teratogenik terjadi pada trimester
pertama, terapi sebaiknya ditunda sampai trimester kedua. [12]
 Hindari terapi injeksi. Pada sebagian besar area, aminoglikosida tidak boleh
digunakan dalam regimen untuk pasien hamil, karena bersifat toxik bagi
perkembangan telinga janin. [12]
 Kapreomisin diduga memiliki resiko ototksisitas, tetapi merupakan obat injeksi
pilihan jika memang diperlukan[12]
 Hindari pemberian etionamid. Etionamid dapat meningkatkan resiko mual
muntah selama keamilan, dan efek teratogenik ditemukan pada beberapa
penelitian pada hewan [12]
 Obat harus mengandung sedikitnya 4 obat-obat yang efektif. [10]
 Tes menunjukkan bahwa isoniazid, rifampicin, fluoroquuinolon dan obat injeksi
cukup efektif. [10]
Table 4. Kelompok obat tuberkulosis second-line yang direkomensdaiksn [11]

Pasien TB yang gagal terapi atau relaps setelah terapi pertama sebaiknya
menerima regimen yang mengandung first line drugs 2HRZES/1HRZE/5HRE pada
daerah dengan dengan tingkat MDR rendah atau medium atau jika data sama sekali
tidak ada. [10]

Untuk terapi MDR, obat anti Tb digolongkan menurut efikasinya, pengalaman


penggunaan dan kelas obat. Seluruh obat anti TB yang termasuk dalam golongan
first line dimasukkan dalam group 1, kecuali streptomicyn, yang digolongkan
bersama dengan obat injeksi ke dalam group 2. Seluruh obat dalam group 2-5
(kecuali streptomisin) merupakan obat golongan second-line. Resistensi silang
berarti mutasi resistensi (pada bakteri M. Tuberkulosis) terhadap salah satu obat
anti TB dapat berubah ke beberapa atau bahkan semua obat dalam satu golongan
atau bahkan obat dalam lain golongan. [10]
Group 1
Obat golongan 1 merupakan obat yang paling poten dan paling dapat ditoleransi.
Jika terdapat bukti laboratorik dan riwayat klinik bahwa obat dari golongan ini efektif,
maka obat tersebut harus digunakan. Jika obat golongan 1 pada pemberian
sebelumnya gagal, maka efikasinya harus dipertanyakan bahkan walaupun jika hasil
DST menyatakan efektifitasnya. Rifampysin, seperti halnya rifabutin memiliki tingkat
resistensi silang yang tinggi terhadap rifampisin. [10]

Group 2.

Seluruh pasien yang menerima obat injeksi golongan 2 jika diduga efektifitasnya dan
ada data yang mendukung. Di antara golongan aminoglikosida, kanamisin dan
amikasin merupakan obat injeksi pilihan pertama, diberikan pada kasus MDR-TB
yang memiliki tingkat resistensi streptomisin yang tinggi. Sebagai tambahan, kedua
obat ini tidak mahal, toksisitasnya kurang dibanding streptomisin dan telah
digunakan luas untuk terapi TB-MDR. Amikasin dan kanamisin dianggap serupa dan
memiliki frekuensi yang tinggi untuk terjadinya resistensi silang. Jika kasus TB
tersebut hanya resisten terhadap baik streptomisin dan kanamisin, atau jika data
DRS menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap amikasin dan kanamisin, maka
kapreomisin harus digunakan. [10]

Group 3.

Seluruh pasien harus menerima pengobatan dengan obat golongan 3 jika strain
M. Tuberculosis sensitif terhadap agen ini atau jika diketahui memiliki efikasi yang
baik. Salah satu generasi fluoroquinolon, seperti levofloxacyn atau moxifloxacin
merupakan pilihan fluoroquinolon. Siprofloksasin tidak lagi direkomendasikan
sebagai terapi bagi MDR-TB [10]

Group 4.

Etionamid atau protionamid seringkali ditambahkan ke dalam regimen karena


harganya yang murah. Jika biaya tidak menjadi pertimbangan, maka PAS
(p-aminosalicylic acid) harus ditambahkan, dalam formula salut enterik yang relatif
dapat ditoleransi dan tidak menyebabkan resistensi silang dengan obat lain. Jika
dibutuhkan 2 regimen lain, sikloserin dapat ditambahkan. Karena etinamid (atau
protionamid) dan PAS seringkali meyebabkan efek gastrointestinal dan
hipotiroidisme, maka agen ini biasanya diberikan bersama hanya jika dibutuhkan
3 macam obat dari obat golongan 4, yaitu: etionamid (atau protionamid), sikloserin
dan PAS. Terizidone dapat digunakanselain sikloserin karena dianggap cukup
efektif. [10]

Group 5.

Obat yang termasuk dalam golongan 5 tidak direkomendasikan oleh WHO untuk
penggunaan rutin dalam terapi TB-MDR karena efikasinya masih belum jelas. Obat-
obat ini dapat digunakan pada kasus-kasus dimana tidak mungkin memberikan
regimen yang adekuat dengan obat-obat dari regimen 1-4. Pasien harus konsultasi
dengan ahli [10]

Table 4. Kelompok obat yang digunakan untuk terapi MDR-TB [10]


GROUP OBAT
Group 1: • Pyrazinamide (Z)
First-line oral agents • Ethambutol (E)
• Rifabutin (Rfb)
Group 2: • Kanamycin (Km)
Injectable agents • Amikacin (Am)
• Capreomycin (Cm)
• Streptomycin (S)
Group 3: • Levofloxacin (Lfx)
Fluoroquinolones • Moxifloxacin (Mfx)
• Ofloxacin (Ofx)
Group 4: • Para-Aminosalicylic Acid (PAS)
Oral bacteriostatic second-line • Cycloserine (Cs)
agents • Terizidone (Trd)
• Ethionamide (Eto)
• Protionamide (Pto)
Group 5: • Clofazimine (Cfz)
Agents with unclear role in • Linezolid (Lzd)
treatment of drug resistant-TB • Amoxicillin/Clavulanate (Amx/Clv)
• Thioacetazone (Thz)
• Imipenem/Cilastatin (Ipm/Cln)
• High-Dose Isoniazid (High-Dose H)B
• Clarithromycin (Clr)

Negara yang menggunakan metode konvensional untuk mendeteksi MDR: [10]

Sementara menunggu hasil Ketika MDR telah dikonfirmasi


DST untuk isoniazid,
rifampicin;
Suspek MDR-TB
Terapi empirik dengan Lanjutkan regimen MDR standar
regimen MDR Atau
Mengubah regimen MDR yang terindividualisasi
(ketika test suseptibilitas untuk obat second-line
telah dilakukan)

Pada terapi MDR-TB, fase intensif didefinisikan dengan durasi terapi injeksi. Obat
injeksi harus dilanjutkan selama minimal 6 bulan dan sedikitnya 4 bulan mulai dari
ditemukan kultur atau smear yang negatif sampai tetap negatif. [10]

Konversi kultur juga menentukan durasi terapi TB keseluruhan. Direkomendasikan


untuk melanjutkan terapi selama minimum 18 bulan setelah konversi kultur.
Perpanjangan waktu 24 bulan mungkin diindikasikan paa kasus kronik dengan
kerusakan paru yang parah. [10]
TINJAUAN PUSTAKA

1. WHO, THE STOP TB STRATEGY: Building on and enhancing DOTS to meet


the TB-related Millennium Development Goals, 2006, WHO STOP TB
partnership: www.who.org.
2. anonym, TB EliminationTuberculosis: General Information, V.H. National
Center for HIV/AIDS, STD, and TB Prevention and D.o.T. Elimination, Editors.
2011.
3. WHO, the global plan to stop TB 2011-2015, 2010: www.stoptb.org.
4. Palomino, J.C., S.C. Leão, and V. Ritacco, Tuberculosis 2007: From basic
science to patient care. 1 ed2007.
5. DUNLAP, N.E., et al., Diagnostic Standards and Classification of Tuberculosis
in Adults and Children. AMERICAN JOURNAL OF RESPIRATORY AND
CRITICAL CARE MEDICINE, 2000. 161.
6. Khilnani, G.C., Tuberculosis and Pregnancy. Indian J Chest Dis Allied 2004.
46 p. 105-111.
7. Excellence, N.I.f.H.a.C., Tuberculosis: Clinical diagnosis and management of
tuberculosis, and measures for its prevention and control, 2011.
8. Mnyani, C. and J. McIntyre, Tuberculosis in pregnancy. International Journal
of Obstetrics and Gynaecology, 2011. 118: p. 226–231.
9. anonym, Guidelines for Preventing the Transmission of Mycobacterium
tuberculosis in Health-care Settings, U.S.D.O.H.H. SERVICES and
C.f.D.C.a.P. (CDC), Editors. 2005, MMWR:
http://www.cdc.gov/nchstp/tb/pubs/mmwrhtml/mmwr_infection.htm. p. 49.
10. WHO, Treatment of tuberculosis guidelines, 2010.
11. WHO, Guidelines for the programmatic management of drug-resistant
tuberculosis, 2011: www.who.org.
12. WHO and I.M.o.A.a.A.I. (IMAI), Management of MDR-TB: A field guide
A companion document to Guidelines for the programmatic management of
drug-resistant tuberculosis, 2009: www.stoptb.org/wg/tb_hiv/
http://www.who.int/tb/hiv/en/.

Anda mungkin juga menyukai