Kepergian Mu
Cerpen Karangan: Siti Qomariyah
Kategori: Cerpen Nasionalisme, Cerpen Persahabatan, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 25 October 2015
“Aku punya impian bisa mengibarkan Merah Putih di malam hari di tengah cakrawala malam diiringi
“Wah, ide hebat itu Fit, kita harus secepatnya buat konsep dan kita ajukan ke panitia intinya.”
Tambah Irma.
“Aku setuju, kita harus buat acara ini semeriah mungkin dan menambah jiwa nasionalisme para
mahasiswa menggelora untuk Nusantara kita ini.”
Aku, Fitri dan Irma adalah tiga sekawan mahasiswa yang menurut mahasiswi atau mahasiswa lain
cukup unik karena kami seperti ditektif kampus yang gemar bikin pembaharuan-pembaharuan baru.
Fitri yang selalu cemerlang dan smart think dalam memunculkan ide-ide kakapnya ditambah Irma
yang tak kalah cerdik melakukan rencana-rencana baru kami dalam organisasi kampus, aku seperti
motivator bagi persahabatan kami ini. Menanti kedatangan hari bersejarah membuat para penghuni
kampus ini berkompetisi menunjukkan ide-ide mereka dalam pagelaran malam HUT RI, hanya
mahasiswa yang kurang aktif dalam kegiatan kampus saja yang memasa bodohkan acara khidmat ini
untuk seluruh rakyat Indonesia.
Mungkin jiwa nasionalisme mereka kurang karena mereka tak mencoba untuk menumbuhkannya
“Oke teman-teman, tunjukkan kecintaan kalian terhadap negeri ini dengan memunculkan ide-ide
hebat kalian untuk acara besar di kampus kita khususnya di Persada Indonesia ini. Selamat
berkreasi!!”
Setelah kak Fahmi menutup sambutannya sebagai ketua panitia HUT RI di kampus. seluruh
mahasiswa membentuk grup masing-masing, ada yang segerombol satu angkatan, ada yang hanya
dua orang atau tiga orang seperti kami. Aku, Fitri dan Irma.
“Kawan-kawan, bagaimana kalau kita diskusi di depan gedung kemahasiswaan saja, di sini riuh sekali”
Irma menggandeng tangan kami dan sesekali mengibaskan rambutnya yang terurai berponi depan
karena kegerahan.
“Baiklah, ditambah es cendolnya Bu Rahma pasti langsung cless otak ini..”
“Siipppz, tapi kamu ya Fit yang traktir hehehe…”
Aku selalu menjadi es campur atau penghangat persahabatan kami, hingga kami pun menjadi teman
sepermainan di rumah karena saking dekatnya kami. Aku pun sering merasa kesepian tanpa kedua
sobatku ini, meski kadang mereka menganggapku orang paling menyebalkan bagi mereka.
“Aku sudah punya konsep yang tertulis Sob…” Fitri membuka obrolan setelah seseruputan es dia
teguk.
“Bagaimana ini Fit maksudnya, jelaskan pada kami.” pinta Irma sambil ikutan membaca agenda Fitri.
“Baiklah Sob, kita akan menggunakan pagelaran seni dengan panggung terbuka, dengan posisi
penonton mengitari panggung, opening acaranya adalah pengibaran Merah Putih dengan ketinggian
tiang 2 kali dari tinggi panggung. Pengibaran akan dilakukan oleh Bapak Rektor Suhadi. Bagaimana?”
“Wah. Mantab sekali Fit, nanti kamu ya yang membawakan Merah Putihnya dan Dimas yang
“Tapi kan aku phobia kembang api Ir, bagaimana sih kamu?” Bantahku.
“Baikalah Dim, kamu yang mengibarkan denganku saja kan nanti Bendera Merah Putihnya kita
Setelah kami selesai berdiskusi, kami mengakhiri perjumpaan kami dengan kesepakatan akan
membahas masalah ini besok kepada panitia inti.
Siang ini benar-benar matahari tak mau mengalah hanya untuk sekedar membuat kami merasa teduh
di bawah sinarnya yang terlalu menyala, ku lihat Fitri mengusap hidungnya, sepertia ada yang ke luar
dari hidung mungilnya.
“Ndak ada apa-apa Dim, aku masuk dulu ya.. daa Dimas.” Ku lihatnya berlari menuju rumahnya.
Aku masih menatap tissue yang berdarah di tempat sampah tempat dia membuangnya tadi. Hatiku
berdesir ditangkap rasa keingintahuan yang sangat akut, kenapa ada rasa ketakutan yang tak tentu di
hatiku, seperti akan terjadi sesuatu, tapi ah.. aku langsung menepisnya.
Di kamar biru Fitri. “Maafkan aku teman-teman, maafkan aku Irma, maafkan aku Dimas. Aku
menyembunyikan ini hanya ingin membuat ketenangan di hati kalian, aku takut kehilangan kalian.
Maafkan aku…”
Sorotan mentari pagi ini, membuat aku sedikit kesilauan memandangnya. Terlihat Irma dan Fitri
berjalan ke arahku, sepertinya mereka membawa sesuatu di kantung besar yang berada di tangan
Irma.
“Dim, kita sepakat kan hari ini menyampaikan konsep kita ke Kak Fahmi? Kita sudah menyiapkan
“Siapp kawan.. semoga Kak Fahmi menerimanya, ayo cepat kita bergegas ke ruangan panitia!!” Ku
“Kami kak yang membuatnya, kami ingin mengibarkan Merah Putih di malam hari kak, sepertinya
akan terasa lebih menghayati setiap detik perjuangan para pahlawan penyelamat Merah Putih, akan
menjadi sejarah juga bagi kampus ini, karena ini menjadi pertama kalinya.” Terang Fitri kepada Kak
Fahmi.
“Smart.. oke konsep ini Kakak terima dan kita akan segera menyiapkan segalanya.”
“Benar konsep kami diterima kak? Te.. terima kasih kak…” kami berlalu begitu saja dengan
genggaman erat tangan kami, betapa bahagianya hati kami mendengar pernyataan Kak Fahmi.
“Dimas, Irma, di bawah mentari yang terlalu benderang, berteman pohon kembang sepatu di
belakang kantin Bu Rahma ini, kita berjanji akan mengibarkan Merah Putih bersama-sama, itu akan
Aku merasa ada yang mengganjal dari ucapan Fitri, tapi aku mencoba mengabaikannya dan
menanggapinya saja.
“Pastilah Fit, misi kita bukan hanya menjadi seonggok daging yang tiada guna tapi menggelorakan
semangat perjuangan baru bagi pertiwi kita ini, iya kan Ir?”
“Tentu kawan, Merah Putih menjadi saksi perjuangan kita di kampus ini.. Semangat!”
“Semangat!” kami bertiga menjawab kompak.
Panggung telah berdiri, Merah Putih juga telah disiapkan. Beberapa Mahasiswa sedang berlatih
pertunjukan untuk pengisi acara. Irma masih mengomando mahasisw-mahasiswi paduan suara
menyuarakan lagu perjuangan begitu pun aku yang baru saja keluar dari ruangan Rektor Suhadi
untuk menyampaikan konsep akhir beliau yang memberikan Merah Putih untuk dikibarkan. Ternyata
beliau sangat merasa terhormat dengan posisi tersebut. H-3, persiapan semakin matang dan
terkonsep dengan sempurna hanya beberapa persiapan ringan yang masih tertinggal. Ku lihat Fitri
membuka ponselnya dan berlari menuju ke arahku dan Irma yang tengah berdiri di depan ruangan
kelas.
“Maaf teman-teman aku harus pulang lebih dulu karena ibuku meminta aku pulang..daa Dimas,
daa.Irma.”
“Maaf Fitri, penyakit Leukimiamu sudah akut, saya sudah berusaha tapi hanya bisa pasrah terhadap
takdir Yang Kuasa, kamu hanya memiliki 3 hari untuk harapanmu tapi tetaplah optimis yang
menentukan ajal hanyalah Allah semata”
Aku menemukan kertas itu yang terjatuh di tempat duduknya, kertas bertuliskan tangan dokter yang
menyatakan penyakitnya benar-benar akut, aku berderai air mata hangat bersama Irma. Aku tak
menyangka dia menyimpan rapat-rapat penyakitnya itu dari kami berdua. Kami berlari ke luar dari
kampus dan menuju kediamannya, hatiku sudah tak kuat dengan kenyataan ini begitu pun Irma, ia
sangat sedih dengan semuanya. Aku tetap menggandeng tangan Irma dan kami hanya berisyaratkan
Ku lihat Fitri di depan gerbang rumahnya, ia menyapukan darah yang ke luar deras dari hidung
mungilnya, aku merebut tissuenya dan menyapukannya dengan terus mengisakkan tangis yang
menyesakkan dada. Langit terasa mendung, tangan kami saling menggenggam erat, aku memeluknya
diiringi dengan Irma. Kami berpeluh tangis.
“Maafkan aku Dimas, maafkan aku Irma jika malam Perjuangan nanti aku tak bisa mengibarkan
Aku membungkam bibirnya yang ingin terus berucap, ucapannya benar-benar melemahkan urat-urat
nadiku, aku tak ingin kami kehilangannya, kehilangan semangatnya yang menggelora.
“Gak. Kita akan tetap bertiga membawa Merah Putih itu, kita akan membuat tersenyum seluruh
mahasiswa kampus, kita akan membuat Rektor Suhadi kagum, kita akan membuat Kak Fahmi
“Kamu pasti bisa Fit, kamu gak boleh mengingkari janji kita siang itu.” Irma menggenggam tangan
kami bertiga.
Malam ini, malam perjuangan bagi seluruh Rakyak Indonesia. Berbahagialah mereka yang benar-
benar meresapi arti nasionalisme bagi pertiwi ini. Seper empat jam lagi acara akan dimulai, tapi Fitri
tak juga datang, aku dan Irma mulai risau. Kak Fahmi memberi isyarat untuk memulai pengibaran
Merah Putih, tapi aku dan Irma memaksa Kak Fahmi untuk menunggu kedatangan Fitri tapi tak ada
tanda-tanda Fitri akan datang, ponselnya juga tak diangkatnya, aku makin kacau dengan perasaan
ini. Akhirnya dengan keputusan bersama acara pun dimulai. Aku pasrah.
Malam ini yang berbintang dan berbulan menjadi kesaksian malam perjuangan Republik ini, Merah
Putih terus dinaikkan dengan iringan lagu perjuangan yang menggugah gelora kemerdekaan, aku dan
Irma terus menangis. Menangis karana syahdu akan khidmatnya pengibaran, menangis karena Fitri
tak juga datang, hingga selesai pengibaran ku buka ponselku ternyata ada pesan dari nomor Fitri.
“Maaf Nak, Fitri telah pulang dengan tenang kepada Penciptanya.”
Hatiku berteriak keras, betapa pedihnya menerima kenyataan akan kepergiannya, aku dan Irma
masih memandangi Merah Putih yang telah berkibar di angkasa malam ini menjadi teman
kepergianmu Fit, terima kasih atas kebersamaan kita selama ini, terima kasih atas ide-ide gila dan
hebat yang kau ciptakan, semoga kau tenang dan bahagia di sana, kau gugur sebagai pengharum
kami Fit. Selamat Jalan Fitri sahabat kami.
Selesai
Hai, namaku Siti Qomariyah. Tinggal di alamat rumah No. 100, Jl. Panglima Sudirman, Desa
Tegalarum, Kec. Bendo, Kab Magetan. Lahir di Madiun tepatnya pada tanggal 2 Desember 1993. Hobi
menulis dan Imaginating Creation. Berprofesi sebagai pengajar Bahasa Inggris di MTs Al-Abror
Magetan. My Wise Word is “There’s Rainbow after Rain”, I Love Writing and Teaching. Facebook: Siti
Qomariyah, Alamat email : sheloveallah[-at-]yahoo.co.id
Cerpen Merah Putih Penghantar Kepergian Mu merupakan cerita pendek karangan Siti Qomariyah,
kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru
buatannya.