Anda di halaman 1dari 15

PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL ILMIAH

Joko Nurkamto

Bagian I
Berbagi Pengalaman

A. Pendahuluan
Salah satu hal yang didambakan oleh guru dan dosen adalah dapat naik pangkat dan
jabatan fungsional dengan lancar karena kenaikan pangkat dan jabatan tersebut membawa
konsekuensi kenaikan gaji dan/atau kesempatan menduduki jabatan struktural tertentu
dan/atau melakukan “pekerjaan” tertentu. Salah satu aktivitas yang dapat mempercepat
kenaikan pangkat dan jabatan fungsional itu adalah menulis artikel untuk dimuat dalam
jurnal ilmiah. Untuk dosen, misalnya, angka kredit (credit point) yang dihasilkan dari
penulisan artikel tersebut adalah 40 untuk jurnal ilmiah internasional, 25 untuk jurnal
ilmiah nasional terakreditasi, dan 10 untuk jurnal nasional tak terakreditasi. Hasil
penelitian yang tidak dipublikasikan hanya memiliki nilai 2 atau 3. Namun demikian, tidak
banyak guru dan dosen yang, karena alasan tertentu, “mau” memanfaatkan kesempatan
tersebut.
Meskipun ada standard minimal bagi semua jurnal ilmiah, setiap jurnal dikelola
menurut gaya selingkung tertentu; akibatnya, tidak ada keseragaman di antara jurnal-jurnal
ilmiah tersebut. Hal itu, pada gilirannya, “mempersulit” calon penulis untuk menulis
artikelnya di jurnal tersebut. Melalui makalah singkat ini saya ingin berbagi pengalaman
tentang bagaimana menulis artikel untuk jurnal ilmiah. Pengalaman yang ingin saya
sampaikan meliputi (1) alasan menulis artikel, (2) jenis artikel, (3) prosedur pengiriman
artikel, (4) kriteria penerimaan, dan (5) penutup. Selanjutnya, akan saya beri contoh artikel
yang telah dimuat di jurnal ilmiah. Dari contoh tersebut, dapat kita kaji aspek-aspek
penting yang terkait dengan teknik penulisan.

B. Alasan Menulis Artikel


Ada beberapa alasan mengapa saya menulis artikel di jurnal ilmiah. Pertama,
seperti telah diutarakan di atas, penulisan artikel di jurnal ilmiah memiliki bobot kredit
yang tinggi. Kedua, saya ingin hasil pikiran saya dapat diketahui dan dipahami oleh
kalangan yang lebih luas. Di samping dimaksudkan untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman, hal ini juga dimaksudkan agar saya memperoleh masukan/balikan dari
mereka. Apabila dianggap layak, tulisan saya tersebut juga dapat dijadikan rujukan atau
data sekunder dalam penelitian lain. Ketiga, beberapa tulisan saya dalam jurnal ilmiah
dapat menjadi suplemen referensi dalam perkuliahan, baik mahasiswa saya sendiri di UNS
maupun mahasiswa dari perguruan tinggi lain. Keempat, penulisan artikel di jurnal ilmiah
juga dimaksudkan untuk membangun individual (dan syukur-syukur institutional)
expertise. Ketika orang tidak pernah “publish” orang lain tidak akan pernah mengenalnya;
sebaliknya dengan mempublikasikan diri melalui tulisan, orang lain akan mengenal
kemampuannya. Hal ini pada gilirannya mempermudah terbentuknya jaringan kerja
(network) akademisi dan/atau ilmuwan demi kemajuan ilmu dan teknologi. Kelima, dengan
menulis artikel saya “terpaksa” harus membaca banyak referensi, dan hal ini membuat
pengetahuan saya bertambah secara signifikan. Di samping itu, dengan menulis artikel
saya juga “terpaksa” harus rajin meng-update referensi yang asaya miliki karena saya akan
merasa malu kalau referensi yang saya gunakan tergolong usang. Keenam, efek samping

1
dari mempublikasikan diri melalui tulisan di jurnal ilmiah adalah datangnya “rejeki” yang
antara lain berupa kesempatan untuk berbicara di forum-forum ilmiah.

C. Jenis Artikel
Secara garis besar ada dua jenis artikel yang dapat dimuat di jurnal ilmiah, yaitu
artikel hasil penelitian dan artikel hasil pemikiran. Artikel hasil penelitian adalah artikel
yang didasarkan pada hasil penelitian lapangan yang dilakukan sendiri oleh penulis artikel.
Meskipun singkat, artikel ini harus mencerminkan hasil penelitian secara lengkap; oleh
karena itu, artikel jenis ini lazimnya memuat (1) judul artikel, yang tidak harus sama
dengan judul penelitiannya, (2) nama dan afiliasi penulis, (3) abstrak – dalam bahasa
Indonesia apabila artikelnya berbahasa Inggris, dan dalam bahasa Inggris apabila
artikelnya berbahasa Indonesia – yang disertai kata-kata kunci, (4) pendahuluan, yang
berisi latar belakang masalah, kajian teoretis, masalah dan/atau tujuan penelitian, (5)
metode penelitian, (6) hasil penelitian, (7) pembahasan, (8) simpulan dan saran, serta (9)
daftar pustaka.
Artikel hasil pemikiran adalah artikel yang didasarkan pada pemikiran penulis atas
suatu masalah tertentu. Artikel jenis ini lazimnya merupakan hasil penelitian kepustakaan
(library research). Kadang-kadang artikel jenis ini juga merupakan hasil meta analisis.
Artikel hasil pemikiran memuat (1) judul artikel, (2) nama dan afiliasi penulis, (3) abstrak
– dalam bahasa Indonesia apabila artikelnya berbahasa Inggris, dan dalam bahasa Inggris
apabila artikelnya berbahasa Indonesia – yang disertai kata-kata kunci, (4) pendahuluan,
(5) konsep dan elaborasinya, (6) penutup/simpulan dan saran, serta (7) daftar pustaka.
Selain dua jenis artikel di atas, ada jurnal ilmiah terakreditasi yang menyediakan
space untuk resensi buku (book review), biasanya pada bagian akhir jurnal. Resensi buku
adalah kajian atau ulasan terhadap sebuah buku tertentu untuk diketahui isinya secara garis
besar, yang kemudian disusul dengan analisis kritis terhadapnya. Kelebihan dan
kekurangan buku tersebut dikemukakan secara objektif dan proporsional berdasarkan
perspektif penganalisis. Tujuan analisis kritis adalah untuk memberikan rekomendasi atau
setidak-tidaknya gambaran umum tentang apakah pembaca menganggap penting membaca
atau membeli buku itu. Sistematika artikel jenis ini adalah sebagai berikut: (1) judul artikel
– RESENSI BUKU, (2) judul buku yang diresensi, yang diikuti oleh pengarang buku dan
data publikasi serta jumlah halaman, (3) isi ringkas buku, (4) analisis kritis, (5)
rekomendasi penganalisis, dan (6) daftar pustaka. Butir (3) hingga (5) ditulis mengalir
dalam bentuk esei tanpa subjudul.

D. Pengiriman Artikel ke Jurnal Ilmiah


Dari pengalaman saya selama ini, pengiriman atau penerbitan artikel di jurnal
ilmiah dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, artikel ditulis dan dikirim ke redaktur
jurnal atas prakarsa penulis artikel. Di sini tampak bahwa penulis artikel berkepentingan
agar artikelnya dimuat dalam jurnal. Dalam hal ini, penulis artikel seringkali harus “antri”
(kadangkala sampai satu tahun lebih) menunggu giliran artikelnya dimuat. Apabila tidak
beruntung penulis artikel harus kecewa karena naskahnya tidak diterima (tidak diterbitkan)
karena mungkin tidak memenuhi kriteria. Jurnal yang memiliki antrian ini biasanya jurnal
yang sudah punya nama.
Kedua, artikel ditulis dan dikirim atas permintaan redaktur jurnal. Di sini redaktur
jurnallah yang berkepentingan. Paling tidak ada tiga alasan mengapa hal ini terjadi.
Pertama, redaktur kekurangan naskah untuk jurnalnya sehingga untuk “kejar terbit”
redaktur meminta penulis untuk mengirimkan naskahnya. Kedua, redaktur ingin agar
naskah yang terbit bervariasi, baik ragam, topik, maupun penulisnya. Ketiga, untuk

2
memberi bobot pada jurnalnya, redaktur mengundang “tokoh” tertentu yang dianggap
credible untuk mengisi jurnalnya.
Ketiga, artikel ditulis untuk keperluan konferensi atau seminar, dan pemuatannya di
dalam jurnal menjadi hak prerogatif redaktur. Jurnal semacam ini biasanya dikelola oleh
komunitas keilmuan yang memiliki banyak kegiatan, seperti penyelenggaraan konferensi
atau seminar secara periodik dan publikasi ilmiah. Salah satu contoh di Indonesia adalah
Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI), yang setiap tiga tahun sekali menyelenggarakan
Konferensi Linguistik Nasional (KLN) yang diikuti tidak kurang dari 300 peserta dengan
penyaji makalah berjumlah sekitar 90-an orang, baik dari dalam maupun luar negeri. MLI
memiliki publikasi yang bernama “Linguistik Indonesia: Jurnal Ilmiah Masyarakat
Linguistik Indonesia”. Artikel-artikel yang dimuat dalam jurnal ini, yang biasanya 10 buah
sekali terbit, dipilih dan diseleksi dari makalah-makalah yang dipresentasikan dalam KLN,
dan penyeleksian tersebut sepenuhnya menjadi hak dari pengurus MLI dan redaktur jurnal.

E. Kriteria Penerimaan
Penerimaan naskah untuk diterbitkan dalam jurnal menjadi wewenang dewan
redaksi setelah mempertimbangkan kelayakan naskah tersebut. Kelayakan itu didasarkan
pada kriteria tertentu yang ditetapkan, yang antara lain menyangkut kedalaman dan
keluasan isi, relevansi artikel dengan jurnal, variasi artikel, kelengkapan naskah, format
naskah, dan bahasa. Berikut ini adalah penjelasan singkat masing-masing kriteria tersebut.
Menurut pengalaman saya, yang selama ini juga menjadi anggota redaktur
beberapa jurnal ilmiah di beberpa perguruan tinggi, tidak semua naskah yang masuk pada
redaktur memiliki kedalaman dan keluasan isi. Kedalaman isi tercermin dari adanya
analisis kritis penulis yang didukung oleh data yang lengkap dan referensi yang cukup dan
mutakhir. Keluasan isi tercermin dari adanya pembandingan antara masalah yang sedang
dikaji dengan masalah-masalah lain yang relevan sehingga penulis mampu melakukan
pemetaan terhadap masalah secara komprehensif.
Relevansi berkenaan dengan kesesuaian isi naskah yang diusulkan dengan jenis
jurnal yang dituju. Sebagai ilustrasi, jurnal “PAEDAGOGIA: Jurnal Penelitian
Pendidikan” yang dikelola oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS
mengkonsentrasikan diri pada penelitian pendidikan; dan oleh karena itu, apabila ada
naskah yang tidak memiliki atau tidak menyinggung aspek penelitian pendidikan, maka
naskah tersebut akan dikembalikan untuk direvisi.
Variasi yang dimaksud di sini adalah variasi jenis naskah yang diusulkan. Ketika
dalam satu penerbitan terdapat beberapa artikel yang sama atau serupa (seperti artikel
tentang Penerapan Metode Kooperatif dalam Pembelajaran), redaktur menganggapnya
kurang baik. Dalam hal ini, redaktur akan cenderung memilih artikel-artikel dengan jenis
penelitian yang berbeda. Selaku penulis artikel, saya pernah menjadi “korban” kebijakan
ini.
Kelengkapan naskah mengacu pada apakah naskah yang diusulkan memiliki unsur-
unsur yang lengkap sebagaimana yang diminta. Sebagai ilustrasi, ada naskah yang tidak
dilengkapi dengan abstrak; ada naskah yang tidak mencantumkan referensi dalam tubuh
naskah; ada naskah yang referensinya dalam tubuh naskah tidak sama dengan yang ada
dalam daftar pustaka; dan ada pula naskah yang daftar pustakanaya tidak lengkap. Naskah
saya pernah dikembalikan karena dalam referensi pada tubuh naskah tidak saya lengkapi
dengan nomor halaman tempat kutipan diambil.
Artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah memiliki format yang khas, yang berbeda
dengan jenis artikel lainnya. Oleh karena itu, penulis yang ingin artikelnya dimuat dalam
jurnal harus menyesuaikan format tulisannya dengan format yang diminta. Pengalaman

3
menunjukkan bahwa ada penulis yang menyerahkan begitu saja naskahnya ke redaktur
dalam bentuk makalah yang baru saja dipresentasikan dalam seminar tanpa melalui editing
sedikitpun. Sudah barang pasti redaktur menolak tulisan semacam itu.
Bahasa yang digunakan dalam artikel mencakupi banyak aspek, seperti gramatika,
organisasi, pilihan kata, dan tanda baca. Masing-masing aspek tersebut mencakupi aspek
yang lebih rinci. Sebagai contoh, aspek organisasi meliputi kesatuan (unity), koherensi
(coherence), kecukupan (adequacy), metode pengembangan (method of development)
paragraf. Penulis yang menginginkan naskahnya diterima harus menggunakan bahasa yang
baik, yaitu yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang berterima. Sebagai contoh,
kalimat-kalimat yang digunakan dalam naskah harus memiliki subjek dan predikat yang
jelas. Bagi penulis yang bukan dari bidang bahasa, hal ini barangkali sedikit menjadi
kendala.

G. Penutup
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa karier kita sebagai pendidik
professional (guru dan dosen) ditentukan antara lain oleh kenaikan pangkat dan jabatan
kita. Kenaikan tersebut dapat diupayakan secara sangat signifikan apabila kita mau
mempublikasikan diri melalui karya-karya kita, terutama dalam bentuk buku referensi,
artikel dalam jurnal ilmiah, artikel dalam seminar, dan karya teknologi (yang dipantenkan).
Hal-hal yang saya sebutkan di atas memiliki angka kredit yang sangat tinggi. Di samping
itu, mempublikasikan diri melalui karya nyata memiliki keuntungan yang sangat besar.
Dalam kaitannya dengan topik kita kali ini, menulis artikel ilmiah bukanlah
pekerjaan yang sulit. Sekarang ini banyak media (jurnal ilmiah) yang dapat menampung
dan mempublikasikan artikel. Yang dibutuhkan adalah kemauan kita untuk mencoba.
Apabila mencoba sekali gagal, jangan putus asa karena menulis adalah proses kreatif yang
memerlukan ketelitian, kecermatan, dan kesabaran. Ketika menyiapkan pidatonya untuk
konvensi pencalonan presiden untuk partainya, Bill Clinton mengedit naskah pidatonya
sampai 19 kali. Apakah kita kalah dengannya? Di sekeliling kita banyak orang baik yang
dengan ikhlas membantu kita, insyaallah. Selamat mencoba!

4
Bagian II
Contoh Artikel

Berikut ini adalah contoh artikel yang telah dimuat dalam “LINGUISTIK
INDONESIA: Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia”, Tahun 19, Nomor 2,
Agustus 2001.

BERBAHASA DALAM BUDAYA KONTEKS RENDAH


DAN BUDAYA KONTEKS TINGGI1

Joko Nurkamto
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
The purpose of this article is to examine the use of language as a means of
communication in two different cultures: a low-context culture and a high-
context culture. In a low-context culture the mass of information is expressed
in the explicit code; therefore, verbal skills are necessary and prized highly. In
a high-context culture, on the contrary, more of the information is either in the
physical context or internalized in the person, and is very little in the coded,
explicit part of the message; therefore, verbal skills are considered suspect.
Indonesia belongs to a country having a high-context culture. So, confidence
is not significantly placed in a verbal aspect of communication.

1. Pendahuluan
Salah satu fungsi bahasa adalah untuk berkomunikasi. Dalam arti yang luas,
komunikasi adalah proses transaksi dinamis yang memandatkan komunikator menyandi (to
code) perilakunya baik verbal maupun non verbal untuk menghasilkan pesan yang ia
sampaikan melalui saluran tertentu guna merangsang atau memperoleh keyakinan, sikap,
atau perilaku tertentu dari komunikan. Komunikasi akan lengkap apabila komunikan yang
dimaksud mempersepsi atau memahami perilaku yang disandi, memberi makna kepada
perilaku itu, dan terpengaruh olehnya (Porter dan Samovar, 1996). Menurut Gudykunst
(1985) tujuan utama komunikasi adalah mengurangi ketidakpastian (uncertainty), yaitu
ketidakmampuan individu memprediksi keyakinan, sikap, dan perilaku diri dan orang lain.
Komunikasi terkait erat dengan budaya. Keduanya memiliki hubungan timbal
balik. Di satu sisi, budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi; dan di sisi lain,
komunikasi dapat membentuk, memelihara, mengembangkan, dan mewariskan budaya.
Oleh karena itu, cara orang berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya orang itu. Dua
orang yang berasal dari dua budaya yang berbeda akan memiliki cara-cara berkomunikasi
yang berbeda pula. Itulah sebabnya dalam komunikasi antarbudaya sering terjadi
kesalahpahaman antara komunikator dan komunikan (Deddy Mulyana, 1996).
Melalui tulisan ini saya ingin mendeskripsikan perilaku berkomunikasi di dalam
budaya yang berbeda, yaitu budaya konteks rendah (low-context cultures) dan budaya

1
Makalah yang disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional IX di Padepokan Pecak Silat Taman
Mini Indonesia Indah , Jakarta, 28 - 31 Juli 1999.

5
konteks tinggi (high-context cultures). Komunikasi di sini saya batasi pada komunikasi
verbal, yang selanjutnya saya sebut berbahasa. Atas dasar deskripsi tersebut, saya akan
menyoroti perilaku berbahasa orang Indonesia, terutama para pejabat dan/atau elite politik
yang saya amati melalui mass media.

2. Berbahasa
Berbahasa berarti menggunakan bahasa untuk tujuan komunikasi. Penggunaan
bahasa tersebut tercermin dari kegiatan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Menyimak dan membaca diklasifikasikan ke dalam kegiatan berbahasa reseptif, sedangkan
berbicara dan menulis diklasifikasikan ke dalam kegiatan berbahasa produktif. Sementara
itu, menyimak dan berbicara dikelompokkan ke dalam kegiatan berbahasa yang
menggunakan media lisan, sedangkan membaca dan menulis dikelompokkan ke dalam
kegiatan berbahasa yang menggunakan media tulis (Widdowson, 1983). Dalam
komunikasi sehari-hari, keempat kegiatan berbahasa tersebut tidak terjadi secara diskrit
melainkan secara terpadu. Artinya, dalam satu peristiwa berbahasa orang menggunakan
lebih dari satu keterampilan berbahasa sekaligus secara simultan.
Dalam kaitannya dengan tujuan penggunaan bahasa, van Ek dan Trim (1991)
mengklasifikasikannya ke dalam enam kategori utama, yaitu untuk (1) memberi dan
meminta informasi faktual, seperti mengajukan pertanyaan; (2) mengekspresikan dan
mengetahui sikap, seperti mengungkapkan persetujuan atas sesuatu; (3) mempengaruhi
orang lain berbuat sesuatu, seperti meminta orang lain mengerjakan pekerjaan; (4)
melakukan sosialisasi, seperti menyapa orang lain; (5) membangun struktur wacana,
seperti membuka percakapan; dan (6) mengembangkan keefektifan berkomunikasi, seperti
mengkonfirmasi pernyataan lawan bicara.
Menurut teori tindak tutur (speech act), ketika orang menggunakan bahasa (yaitu
mengucapkan kata-kata atau kalimat) ia tidak semata-mata mengucapkan kata-kata atau
kalimat itu melainkan sedang berupaya mengerjakan sesuatu dengan kata-kata atau
kalimat tersebut. Menurut istilah Austin (1965: 94), “By saying something we do
something". Seorang hakim yang mengatakan "Dengan ini saya menghukum kamu
dengan hukuman penjara selama lima tahun" sedang melakukan tindakan menghukum
terdakwa. Kata-kata yang diucapkan oleh hakim tersebut menandai dihukumnya terdakwa.
Terdakwa tidak akan masuk penjara tanpa adanya kata-kata di atas dari hakim (Clark dan
Clark, 1977).
Kata-kata yang diucapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus,
yaitu makna proposisional atau makna lokusioner (Locutionary meaning) dan makna
ilokusioner (Illocutionary meaning). Makna proposisional adalah makna harfiah kata-kata
yang terucap itu. Untuk memahami makna itu pendengar cukup melakukan awakode
(decoding) terhadap kata-kata tersebut dengan bekal pengetahuan gramatika dan kosa kata.
Makna ilokusioner merupakan efek yang ditimbulkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh
pembicara kepada pendengar. Sebagai ilustrasi, dalam ungkapan "Saya haus" makna
proposisionalnya adalah pernyataan yang menggambarkan kondisi fisik pembicara bahwa
ia haus. Makna ilokusioner-nya adalah efek yang diharapkan muncul dari pernyataan
tersebut terhadap pendengar. Pernyataan tersebut barangkali dimaksudkan sebagai
permintaan kepada pendengar untuk menyediakan minuman bagi pembicara.
Dalam kaitan ini, Searle (1986) membagi tindak tutur menjadi lima. Pertama adalah
komisif (commissive), yaitu tindak tutur yang menyatakan bahwa pembicara akan
melakukan sesuatu di masa mendatang, seperti janji atau ancaman. Contoh: Saya akan
memberi kamu uang besok. Kedua adalah deklaratif (declarative), yaitu tindak tutur yang
dapat mengubah keadaan. Contoh, Dengan ini Anda saya nyatakan lulus. Kata-kata
tersebut mengubah status seseorang dari keadaan belum lulus ke keadaan lulus. Ketiga

6
adalah direktif (directive), yaitu tindak tutur yang berfungsi meminta pendengar
melakukan sesuatu, seperti saran, permintaan, dan perintah. Contoh, Silakan duduk.
Keempat adalah ekspresif (expressive), yaitu tindak tutur yang digunakan oleh pembicara
untuk mengungkapkan perasaan dan sikap terhadap sesuatu. Contoh, Makanan ini enak
sekali. Kelima adalah representatif (representative), yaitu tindak tutur yang
menggambarkan keadaan atau kejadian, seperti laporan, tuntutan, dan pernyataan. Contoh,
Ujian dimulai pukul delapan.
Klasifikasi dari Searle (1986) di atas memperlihatkan bahwa tindak tutur
merupakan fungsi bahasa (language function), yaitu tujuan digunakannya bahasa,
sebagaimana yang dikemukakan oleh van Ek dan Trim (1991). Fungsi-fungsi tersebut tidak
dapat ditentukan hanya dari bentuk gramatikalnya, tetapi juga dari konteks digunakannya
bahasa itu. Sebagai contoh, kalimat deklaratif yang secara tradisional digunakan untuk
membuat pernyataan (statement) dapat digunakan untuk menyatakan permintaan atau
perintah (Sinclair dan Coulthard, 1975).
Oleh karena itu, dalam teori tindak tutur dikenal istilah tindak tutur tidak langsung
(indirect speech act), yaitu tindak tutur yang dikemukakan secara tidak langsung.
Bandingkan kedua ujaran berikut ini, yang diucapkan seorang suami kepada istrinya: (1)
Bu, ambilkan saya segelas air minum, dan (2) Bu, saya haus. Kalimat (1) adalah contoh
tindak tutur langsung dan kalimat (2) adalah contoh tindak tutur tidak langsung. Dalam
komunikasi sehari-hari, tindak tutur tindak langsung sering dianggap lebih sopan daripada
tindak tutur langsung, terutama apabila berkaitan dengan permintaan (requests) dan
penolakan (refusals).
Dalam hal ini, orang dituntut untuk bersikap tanggap atas apa yang dikatakan
pembicara secara tidak langsung, yang seringkali sangat berbeda dari apa yang sebenarnya
dimaksudkan. Itulah sebabnya kemudian muncul istilah implikatur percakapan
(conversational implicature). Istilah tersebut dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan
apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda
dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur itu (Brown dan Yule, 1996). Menurut
Levinson (1983), implikatur percakapan merupakan penyimpangan dari muatan semantik
suatu kalimat. Dikatakan bahwa:

... they generate inferences beyond the semantic content of the sentences uttered. Such
inferences are, by definition, conversational implicatures, where the term implicature
is intended to contrast with the terms like logical implication, entailment and logical
consequences which are generally used to refer to inferences that are derived solely
from logical and semantic content. For implicatures are not semantic inferences, but
rather inferences based on both the content of what has been said and some specific
assumptions about the co-operative nature of ordinary verbal interaction (103-104).

Pemahaman terhadap implikatur percakapan tidak terlepas dari asas kerja sama
(cooperative principles) yang dikemukakan oleh Grice (Brown dan Yule, 1996). Asas
umum kerja sama tersebut berbunyi: “Berikan sumbangan Anda pada percakapan
sebagaimana diperlukan, pada tahap terjadinya, oleh tujuan yang diterima atau arah
pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat di dalamnya.” Asas umum tersebut terrefleksi
dari beberapa maksim sebagai berikut:

a. Maksim kuantitas:
Berikan sumbangan Anda seinformatif yang diperlukan (sesuai dengan tujuan
percakapan sekarang). Jangan memberikan sumbangan yang lebih informatif dari
yang diperlukan

7
b. Maksim kualitas:
Jangan mengatakan apa yang Anda yakini tidak benar. Jangan mengatakan sesuatu
apabila Anda tidak memiliki bukti tentangnya.
c. Maksim hubungan:
Berbicaralah yang relevan.
d. Maksim Cara:
Nyatakan dengan jelas. Hindarkan ungkapan yang kabur. Hindarkan kata-kata yang
memiliki arti ganda. Berbicaralah dengan singkat (jangan bertele-tele). Berbicaralah
dengan teratur.

Pengingkaran terhadap maksim-maksim di atas mengakibatkan lahirnya arti


tambahan pada ari harfiah ujarannya. Arti tambahan itu merupakan implikatur percakapan.
Perhatikan contoh percakapan antara A dan B berikut ini.

A: Saya kehabisan bensin.


B: Itu ada pom bensin di sudut jalan.

Dari percakapan di atas tampak bahwa B melanggar maksim hubungan (berbicaralah yang
relevan). Implikaturnya, yang berasal dari anggapan bahwa B menganut asas kerja sama,
adalah (1) bahwa ada pompa bensin di sudut jalan; (2) bahwa pompa bensin tersebut masih
buka dan menjual bensin; dan (3) bahwa di sudut jalan yang dimaksud bukanlah jarak
yang jauh. Di samping itu, kita harus menafsirkan bahwa kata-kata A tidak hanya
merupakan deskripsi keadaan tertentu saja, melainkan juga sebagai permintaan bantuan,
misalnya.

3. Budaya
Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia. Oleh karena itu, istilah tersebut
memiliki cakupan makna yang sangat luas. Apa yang dilakukan manusia, apa yang
diketahuinya, dan benda-benda yang dibuat dan digunakannya merupakan manifestasi dari
budaya. Spradley (1980) menamai ketiga unsur di atas perilaku budaya (cultural
behaviour), pengetahuan budaya (cultural knowleldge), dan benda-benda budaya (cultural
artifacts). Menurutnya meskipun perilaku dan benda-benda budaya sangat mudah dilihat,
keduanya merefleksikan hanya permukaan yang tipis dari sebuah danau yang sangat
dalam. Di bawah permukaan danau tersebut tersembunyi simpanan pengetahuan budaya
yang sangat banyak yang tidak mudah dilihat. Meskipun tersembunyi, pengetahuan
budaya tersebut menjadi unsur yang sangat mendasar karena manusia menggunakannya
sepanjang masa untuk membentuk perilaku dan menginterpretasikan pengalaman-
pengalamannya.
Berkenaan dengan konsep budaya yang luas tersebut Richards, Platt, dan Platt
(1993) mendefinisikan budaya dengan keseluruhan tatanan kepercayaan, sikap, adat-
istiadat, perilaku, kebiasaan sosial, dan lain-lain dari para anggota masyarakat tertentu.
Kata keseluruhan dalam pengertian di atas bukan sekedar berarti kumpulan unsur-unsur
tetapi mengacu pada sistem. Oleh karena itu, Condon (1973) menganggap budaya sebagai
suatu sistem pola terpadu, baik disadari maupun tidak, yang mengatur perilaku manusia.
Dengan demikian, budaya menjadi konteks perilaku kognitif dan afektif setiap eksistensi
personal dan sosial.
Setiap masyarakat memiliki budayanya sendiri, yang berbeda satu sama lain.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang hidup tanpa budaya, yang
berfungsi sebagai perekat yang mengikat masyarakat untuk hidup bersama dan sebagai

8
pedoman yang membimbing perilaku manusia di masyarakat itu. Kenyataan tersebut juga
menunjukkan bahwa tidak ada budaya universal yang mengatur cara hidup semua orang.
Oleh karena itu, tidak ada dua masyarakat dengan budaya yang sama. Bahkan di dalam
satu masyarakat atau satu budaya dapat dijumpai sejumlah subbudaya, yaitu suatu
komunitas rasial, etnik, regional, ekonomi atau sosial yang memperlihatkan pola perilaku
yang membedakannya dari subbudaya-subbudaya lainnya dalam suatu budaya atau
masyarakat yang melingkupinya (Parker dan Samovar, 1996).
Ketika bergaul dengan kelompok-kelompok budaya lain seringkali orang terjebak
dalam etnosentrisme, yaitu memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai
pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan
kelompoknya. Penyebab utamanya adalah ia cenderung menganggap budayanya sebagai
suatu keniscayaan tanpa mempersoalkannya lagi; dan oleh karena itu, ia menggunakannya
sebagai standar untuk mengukur dan menilai budaya-budaya lain tersebut. Apabila orang
lain tidak menyetujui nilai-nilai dalam budayanya, itu sebenarnya tidak berarti bahwa
orang lain tersebut salah. Alih-alih, secara kultural orang itu sedikit berbeda darinya.
Etnosentrisme terjadi apabila ia langsung berkesimpulan tentang orang lain itu berdasarkan
informasi terbatas yang ia miliki tentang kelompoknya itu (Deddy Mulyana, 1996).
Pandangan-pandangan etnosentris tersebut antara lain berbentuk stereotip, yaitu
suatu generalisasi atas kelompok orang, objek, atau peristiwa yang secara luas dianut suatu
budaya (Deddy Mulyana, 1996). Sebagai contoh, orang-orang Jawa, terutama Sala dan
Yogyakarta, dikenal sebagai orang yang halus bahasanya; Orang-orang Padang
distereotipkan sebagai orang-orang yang suka merantau dan berdagang; Orang-orang Barat
diidentikkan dengan orang-orang modern, sedang orang-orang Asia dianggap sebagai
orang-orang tradisional. Tidak semua stereotip salah. Namun apabila diterapkan pada
individu, kebanyakan stereotip tidak akurat.
Dalam komunikasi antarbudaya etnosentrisme sering menimbulkan
kesalahfahaman. Mahasiswa Indonesia di Amerika menganggap orang bule yang
memberikan buku dengan tangan kiri kepadanya tidak sopan, padahal orang Amerika
tersebut tidak bermaksud demikian karena dalam budayanya menggunakan tangan kiri
merupakan kelaziman. Seorang wanita Australia heran ketika dalam perjalanan kereta api
dari Bandung ke Yogyakarta ia melihat seorang wanita Indonesia menyusui anaknya di
depan umum. Ia menganggap perilaku itu primitif karena di negerinya sendiri hal itu tidak
pernah dilakukan wanita Australia.
Kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya di atas dapat dikurangi apabila
orang memahami budaya lain. Namun hal itu tidak mudah dilakukan karena budaya tidak
dapat secara langsung diamati. Sebagaimana diuraikan di muka, sebagian besar budaya
berbentuk pengetahuan budaya yang sudah terinternalisasi (tacit knowledge), yang berada
di luar ambang kesadaran manusia. Apa yang teramati, baik berupa perilaku manusia
maupun benda-benda yang digunakannya, merefleksikan hanya sebagian kecil wajah
budaya. Setiap tindakan yang dilakukan manusia mengandung makna lebih dari sekedar
apa yang dapat diamati. Seorang ayah yang mencubit pipi putrinya yang berusia dua tahun
tidak harus dipahami sebagai ayah yang kejam. Boleh jadi ia merasa sayang dan gemas
kepada putrinya itu.
Dalam kaitan ini Spradley (1980) mengatakan bahwa orang memahami makna
budaya dengan cara menarik simpulan. Ada tiga jenis informasi yang dapat digunakan
sebagai dasar untuk menarik simpulan tersebut, yaitu perilaku budaya, benda-benda
budaya, dan apa yang dikatakan orang (speech massage). Dua jenis informasi yang
pertama diperoleh melalui pengamatan, dan jenis informasi ketiga diperoleh melalui
wawancara. Peneliti etnografi menggunakan cara-cara ini untuk melihat realitas di balik
yang teramati dan terdengar guna mencapai pemahaman yang benar akan makna budaya.

9
Penarikan simpulan tersebut melibatkan proses penalaran baik secara induktif (melalui
bukti-bukti di lapangan) maupun secara deduktif (melalui premis-premis yang
diasumsikan). Secara skematik, proses penarikan simpulan makna budaya tersebut
disajikan dalam gambar 1 (Spradley, 1980).

Ethnographic
Shared description of
cultural informants’
knowledge cultural
knowledge

cultural infers
behaviour

 generates
cultural
observes 
artifacts

speech
messages

Gambar 1. Proses Penarikan Simpulan Makna Budaya

4. Berbahasa dalam Budaya Konteks Rendah dan Budaya Konteks Tinggi


Istilah budaya konteks rendah (BKR) dan budaya konteks tinggi (BKT)
diperkenalkan oleh Edward T. Hall (1976). Menurutnya, BKR mengacu pada kelompok
budaya yang menghargai orientasi individu dan sandi-sandi komunikasi yang jelas serta
mempertahankan struktur norma yang heterogen dengan ciri-ciri aturan budaya yang
longgar. Sebaliknya BKT mengacu pada kelompok budaya yang menghargai orientasi
kelompok dan sandi-sandi komunikasi yang samar serta mempertahankan struktur norma
yang homogen dengan ciri-ciri aturan budaya yang ketat. Menurut Hall, BKR cenderung
dimiliki oleh negara-negara Eropa dan Amerika, seperti Jerman, Swiss, Skandinavia, dan
Amerika Serikat; sedangkan BKT cenderung dimiliki oleh negara-negara Asia seperti
Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam.
Ketika berbicara tentang teori konflik dan budaya, Ting-Toomey (1985)
mengajukan sejumlah proposisi sebagai berikut. (1) Orang-orang di dalam BKR cenderung
memahami penyebab konflik sebagai instrumen, sedangkan orang-orang di dalam BKT
memahaminya sebagai ekspresi. (2) Konflik cenderung terjadi di dalam BKR apabila
norma-norma individu dilanggar, sedangkan konflik cenderung terjadi di dalam BKT
apabila norma-norma kolektif dilanggar. (3) Orang-orang di dalam BKR cenderung
menghadapi konflik secara langsung dan bersifat konfrontatif, sedangkan orang-orang di
dalam BKT cenderung menghadapinya secara tidak langsung dan bersifat non konfrontatif.
(4) Orang-orang di dalam BKR cenderung menggunakan gaya induktif-faktual atau
deduktif-aksiomatif untuk memecahkan konflik, sedangkan orang-orang di dalam BKT
cenderung menggunakan gaya intuitif-afektif untuk mengatasi konflik.
Dalam kaitannya dengan perilaku berbahasa, Hall (1976) mengatakan bahwa
orang-orang di dalam BKR cenderung mengungkapkan seluruh maksudnya melalui kata-
kata. Di dalam sistem budaya tersebut kata-kata dapat menggambarkan kebenaran dan
kekuatan. Lawan bicara dapat dengan mudah memahami maksud pembicara hanya dengan

10
mengandalkan kata-kata yang diucapkan oleh pembicara. Sebaliknya, orang-orang di
dalam BKT cenderung mengungkapkan maksudnya melalui sandi-sandi non verbal. Hanya
sedikit kata yang disampaikan; oleh karena itu, apa yang tidak dikatakan kadangkala lebih
penting daripada yang dikatakan. Untuk memahami maksud pembicara lawan bicara harus
memiliki pengetahuan yang memadai tentang konteks, yang antara lain meliputi latar
belakang sosial dan budaya pembicara. Di samping itu, orang-orang di dalam BKR
cenderung bersifat spesifik dan langsung ke permasalahan. Sementara itu orang-orang di
dalam BKT cenderung berputar-putar dan tidak langsung menuju permasalahan, sehingga
lawan bicara harus menyimpulkan sendiri maksud pembicara yang sebenarnya.
Dalam kaitannya dengan pendapat Hall di atas, R. Okabe (1983) membandingkan
gaya retorika orang Amerika Serikat dan orang Jepang, yang masing-masing mewakili
BKR dan BKT. Ia menyimpulkan bahwa orang Amerika lebih tergantung pada komunikasi
verbal, sedangkan orang Jepang lebih tergantung pada komunikasi non verbal. Masih
berkaitan dengan pendapat Hall, Naotsuka (dalam Smith, 1985) mengatakan bahwa orang-
orang Barat sering mendekati pokok pembicaraan dengan cara-cara yang lebih langsung
(linear straight-line logic), sedangkan orang-orang Jepang sering menggunakan cara-cara
yang melingkar-lingkar (in a spiral way).

5. Fenomena Berbahasa Orang Indonesia


Setelah mengkaji skemata Hall tentang BKR dan BKT dengan ciri-ciri
sebagaimana diutarakan di atas, saya ingin mendeskripsikan fenomena berbahasa orang
Indonesia, terutama para pejabat dan/atau elite politiknya. Deskripsi tersebut saya dasarkan
pada pengamatan dan analisis dangkal saya atas ucapan-ucapan mereka melalui mass
media, baik cetak maupun elektronik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki
BKT, seperti negara-negara Asia pada umumnya. Dengan demikian, cara orang Indonesia
berbahasa cenderung memperlihatkan karakteristik yang sama dengan orang-orang di BKT
lainnya, sebagaimana telah dikemukakan di muka. Saya katakan secara umum karena
Indonesia sendiri memiliki subbudaya-subbudaya yang masing-masing memperlihatkan
kadar konteks yang berbeda-beda. Budaya Batak, misalnya, distereotipkan memiliki
konteks yang lebih rendah daripada budaya Jawa. Di dalam budaya Jawa sendiri diakui
bahwa Jawa Surabaya lebih rendah konteksnya daripada Jawa Yogyakarta.
Secara kasar, gaya berbahasa para pejabat dan/atau elite politik Indonesia dapat
diklasifikasikan ke dalam empat tipe kecenderungan. Jumlah tersebut mungkin masih
dapat bertambah. Keempat kecenderungan tersebut adalah pengingkaran terhadap
kenyataan, eufemistik, samar-samar, dan berputar-putar. Berikut ini adalah penjelasan
singkat dari masing-masing tipe tersebut.

5.1. Pengingkaran terhadap kenyataan


Pengingkaran terhadap kenyataan merujuk pada fenomena berbahasa dengan cara
mengatakan sesuatu secara tidak jujur. Orang dengan sengaja menutupi kenyataan yang
sebenarnya dengan maksud tertentu yang seringkali tidak dapat atau tidak boleh secara
terbuka dipahami orang lain/masyarakat. Dengan kata lain, mereka secara sengaja
melakukan kebohongan publik. Akibatnya, masyarakat dibiarkan mereka-reka kejadian
sesungguhnya berdasarkan persepsi mereka masing-masing. Sebagai contoh, seorang
bawahan dimutasi atau diberhentikan dari jabatannya karena ia tidak mau menuruti
kemauan atasannya yang dianggap oleh bawahannya tersebut sebagai suatu pelanggaran.
Namun ketika ditanya oleh wartawan, si atasan tersebut mengatakan bahwa pemutasian
atau pemberhentian tersebut bukan karena alasan di atas melainkan sebagai prosedur biasa
dalam kedinasan atau karena yang bersangkutan sudah saatnya pensiun.

11
5.2. Eufemistik
Eufemistik adalah gejala berbahasa dengan cara menggunakan ungkapan yang
lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Hal itu -- secara sengaja
atau tidak -- dimaksudkan untuk menutupi kenyataan yang sesungguhnya yang boleh jadi
tidak menyenangkan dan dapat memalukan orang/pejabat yang bersangkutan. Apabila
diketahui orang lain/atasannya, kenyataan yang tidak menyenangkan tersebut dapat
dianggap sebagai indikator ketidakberhasilan kepemimpinannya. Sebagai contoh, seorang
pejabat mengatakan bahwa daerahnya tergolong daerah prasejahtera. Kata prasejahtera
tersebut digunakan sebagai pengganti kata miskin, yang dianggapnya terlalu jelas
memperlihatkan ketidakberhasilan pembangunan di daerahnya itu.

5.3. Samar-samar
Samar-samar merujuk pada gejala berbahasa dengan cara menggunakan kata-kata
yang memiliki makna yang terlalu umum, yang dapat memiliki interpretasi jamak. Hal itu
barangkali disebabkan oleh ketidakmampuan orang yang bersangkutan mengemas kata-
kata yang pas, atau barangkali disebabkan oleh ketidakmauan orang tersebut menanggung
resiko dari akibat yang mungkin diterima dari kata-katanya itu. Dengan kata lain, ia ingin
menghindar dari tanggung jawab secara tidak langsung. Sebagai contoh, seorang atasan
memberi perintah kepada bawahannya dengan kata-kata, “Urus dia!” Ketika bawahan
yang diperintah tersebut menerjemahkan perintah atasannya itu dengan cara, misalnya,
memecat orang yang dimaksud dan hal itu kemudian mendapat protes keras dari
masyarakat luas, secara diplomatis atasan yang memberi perintah tadi mengatakan bahwa
dia tidak meminta bawahannya untuk melakukan pemecatan. Alih-alih, ia menuduh
bawahannya tersebut salah menafsirkan perintahnya.

5.4. Berputar-putar
Berputar-putar adalah gejala berbahasa yang terefleksi dari penggunaan bahasa
yang tidak langsung menukik pada persoalan. Ia tidak secara lugas mengutarakan maksud
yang sebenarnya melainkan menggunakan pernyataan-pernyataan yang boleh jadi tidak
terkait dengan persoalannya. Hal itu barangkali karena ia tidak memiliki keberanian untuk
menyatakan maksudnya secara langsung, atau karena ia tidak memiliki argumentasi
proposisional yang memadai. Sebagai contoh, seorang atasan ingin memecat bawahannya
yang dianggapnya tidak sejalan dengannya. Namun, ia tidak melakukannya secara
langsung dengan terlebih dulu mengutarakan alasan yang dapat diterima oleh yang
bersangkutan, melainkan meminta kepada yang bersangkutan untuk mengajukan
pengunduran diri karena dengan cara itu yang bersangkutan akan terpelihara harga dirinya.

6. Penutup
Pada awal tulisan ini telah dijelaskan bahwa salah satu fungsi bahasa adalah untuk
berkomunikasi, dan fungsi utama berkomunikasi adalah mereduksi ketidakpastian. Agar
kegiatan berkomunikasi dapat berfungsi secara maksimal, orang perlu menggunakan
bahasa yang komunikatif, yaitu yang dapat mengungkapkan maksud secara jelas tanpa
mengakibatkan kesalahpahaman di antara komunikator dan komunikan. Penggunaan
bahasa yang samar-samar dan bersifat eufemistis, misalnya, cenderung mendistorsi
informasi yang berpotensi melahirkan kesalahpahaman. Bukan kejelasan yang didapat,
melainkan ketidakpastian.
Dengan reformasi di berbagai bidang kehidupan yang sudah dirintis sejak satu
tahun yang lalu rakyat bertekad untuk menuju masyarakat Indonesia baru, yaitu
masyarakat yang demokratis dan penuh keterbukaan. Sistem demokratis dan terbuka

12
memungkinkan mengalirnya informasi secara efektif baik secara vertikal (ke atas dan ke
bawah) maupun secara horisontal. Hal ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung
oleh penggunaan bahasa yang jelas, terus terang, dan jernih, khususnya yang berkenaan
dengan sistem penyelenggaraan negara. Pada acara pembukaan Kongres Bahasa Indonesia
VII bulan Oktober 1998 presiden Habibie mengharapkan bangsa Indonesia, terutama
jajaran birokrasi pemerintahan, untuk menjauhkan kecenderungan berbahasa secara
eufemistis. Ia mengharapkan bahwa masyarakat menggunakan bahasa secara lugas, dan
tidak menyembunyikan kenyataan pahit kalau memang keadaannya seperti itu. Kesadaran
akan kondisi yang demikian justru dapat mendorong bangsa Indonesia untuk membangun
diri lebih giat menuju kehidupan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, J.L. 1965. How to do Things with Words. Oxford: Oxford University Press.
Brown, Gillian dan Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Clark, Herbert H. Dan Clark Eve V. 1977. Psychology and Language. New York: Harcourt
Brace Javanovich, Inc.
Condon, E.C. 1973. Introduction to Cross Cultural Communication. New Jersey: Rutgers
University.
Deddy Mulyana. 1996. “Mengapa dan untuk Apa Kita Mempelajari Komunikasi
Antarbudaya.” Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rachmat (ed), Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,
pp. v-xiv. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gudykunst, W.B. 1985. “A Model of Uncertainty Reduction in Intercultural Encounters.”
Journal of Language and Social Psychology, 4, 79-98.
Hall, Edward T. 1976. Beyond Culture. New York: Anchor Press.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Okabe, R. 1983. “Cultural Assumptions of East and West: Japan and the United states.”
Dalam W. B. Gudykunst (ed.), Intercultural Communication Theory: Current
Perspectives, pp.21-44. Beverly Hills: Sage.
Porter, Richard E. dan Samovar, Larry A. 1996. “Suatu Pendekatan terhadap Komunikasi
Antarbudaya.” Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rachmat (ed), Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya,
pp. 11-35. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Richards, Jack C.; Platt, John; dan Platt, Heidi. 1993. Longman Dictionary of Language
Teaching and Applied Linguistics. England: Longman.
Searle, John R. 1986. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts.
Cambridge: Cambridge University Press.
Sinclair, J.Mch. dan Coulthards, R.M. 1984. Towards an Analysis of Discourse: The
English Used by Teachers and Pupils. London: Oxford University Press.
Smith, Larry E. 1985. EIL versus ESL/EFL: “What’s the Diference and What Difference
Does the Difference Make?”. English Teaching Forum, XXIII, No. 4. pp. 2-6
Spradley, James P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Ting-Toomey, Stella. 1985. “Toward a Theory of Conflict and Culture.” Dalam W.B.
Gudykunst, L. Stewards, dan Stella Ting-Toomey (ed.), Communication and
Culture and Organizational Processes, pp.71-86. USA: Sage Publication.
Van Ek, J.A. dan Trim, J. L. M. 1991. Threshold 1990. Cambridge: Cambridge University
Press.

13
Widdowson, H.G. 1983. Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford
University Press.

Bagian III
Belajar dari Contoh

Dari contoh artikel di atas dapat dipetik pelajaran berkenaan dengan beberapa
aspek metodologis dan teknis penulisan. Di antaranya, yang dianggap penting, adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai karya ilmiah, pendapat-pendapat yang kita tuangkan dalam artikel harus
memiliki dasar teoretis; oleh karena itu, kita harus merujuk pada teori-teori terdahulu
yang relevan. Dalam kaitan ini, kita perlu memperhatikan beberapa prinsip cara
merujuk:
a. Rujukan bisa dalam bentuk kutipan langsung (direct quotation), paraphrase
(paraphrase), dan ringkasan (summary).
b. Kita harus menyebutkan sumber rujukan, yang meliputi: nama penulis, tahun
penerbitan, dan nomor halaman (Contoh: Levinson, 1983: 103-104).
c. Nama penulis yang ditulis di sini hanya nama keluarga (Levinson), bukan nama
lengkap (Stephen C. Levinson). Bagi penulis Indonesia yang tidak mencantumkan
nama keluarga atau nama marga, nama yang ditulis adalah nama pemberian saat dia
dilahirkan.
d. Nomor halaman perlu dicantumkan untuk mempermudah pengecekan, baik oleh
penulis sendiri maupun oleh pembaca.
e. Semua sumber rujukan dalam tubuh artikel selanjutnya ditulis di dalam bagian
Daftar Pustaka, pada akhir artikel. Contoh: Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics.
Cambridge: Cambridge University Press.

2. Pendapat-pendapat pakar terdahulu yang kita rujuk hendaknya tidak hanya didaftar
sebagai pajangan dalam tulisan yang hanya menghasilkan karya kompilasi, tetapi harus
dianalisis sampai kita dapat menghasilkan konstruk. Langkahnya adalah sebagai
berikut:
a. Memilih sumber-sumber teori yang relevan dengan konsep yang akan dikembangkan.
b. Mendeskripsikan masing-masing teori yang telah dipilih.
c. Melakukan analisis kritis terhadap masing-masing teori, dengan cara mengemukakan
kelebihan dan kekurangan masing-masing teori.
d. Melakukan analisis komparatif antarteori untuk menentukan teori mana yang me-
ngandung banyak kelebihan dan teori mana yang mengandung sedikit kelemahan.
e. Menentukan sikap. Di sini peneliti memiliki dua pilihan: memilih salah satu teori
yang dianggap paling baik, atau membuat sintesis dari berbagai teori tersebut.

3. Berikut ini adalah teknik merujuk sebagaimana telah disebut pada butir 1a di atas.
a. Kutipan langsung:
Di sini kita mengutip kalimat-kalimat yang terdapat dalam naskah asli apa
adanya tanpa perubahan sedikitpun. Bila yang dikutip lebih dari 40 kata, kalimat-
kalimat tersebut diblok. Contoh:
Menurut Levinson (1983: 103-104), implikatur percakapan merupakan
penyimpangan dari muatan semantik suatu kalimat. Dikatakan bahwa:

14
... they generate inferences beyond the semantic content of the sentences
uttered. Such inferences are, by definition, conversational implicatures, where
the term implicature is intended to contrast with the terms like logical
implication, entailment and logical consequences which are generally used to
refer to inferences that are derived solely from logical and semantic content.
For implicatures are not semantic inferences, but rather inferences based on
both the content of what has been said and some specific assumptions about
the co-operative nature of ordinary verbal interaction.
Bila yang dikutip kurang dari 40 kata, kalimat-kalimat tersebut menyatu dalam
paragraph. Contoh:
Menurut Levinson (1983: 103-104), ” Such inferences are, by definition,
conversational implicatures, where the term implicature is intended to contrast with
the terms like logical implication, entailment and logical consequences which are
generally used to refer to inferences that are derived solely from logical and semantic
content.”
b. Parafrase:
Melakukan parafrase adalah mengemukakan gagasan orang lain dengan kata-
kata kita sendiri, yang panjangnya kurang lebih sama dengan pernyataan aslinya.
Contoh:
Menurut Levinson (1983: 103-104), penarikan simpulan seperti itu dinamakan
implikaur percakapan. Istilah implikatur di sini dikontraskan dengan logical
implication, entailment dan logical consequences yang umumnya mengacu pada
penarikan simpulan yang semata-mata didasarkan pada muatan logis dan semantis.
c. Ringkasan
Membuat ringkasan adalah mengemukakan pokok-pokok pikiran penting
seseorang dengan kata-kata kita sendiri, yang panjangnya lebih pendek dari naskah
aslinya. Contoh, Menurut Levinson (1983: 103-104), implkikatur percakapan
merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip kooperatif Grice.

15

Anda mungkin juga menyukai