Anda di halaman 1dari 23

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................1
BAB I
Pendahuluan..............................................................................................................................2
BAB II
Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak……...................................................................3
BAB III
Pemeriksaan Fungsi pendengaran pada Bayi dan Anak……...................................................10
BAB IV
Kesimpulan..............................................................................................................................20
Daftar Pustaka..........................................................................................................................21

1
BAB I
PENDAHULUAN

Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi
dan audiologi. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang disertai
keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Gangguan
pendengaran pada masa bayi dan anak akan menyebabkan gangguan bicara, berbahasa,
kognitif, masalah social dan emotional sehingga pemeriksaan diharapkan dapat mendeteksi
gangguan pendengaran pada kelompok usia ini sedini mungkin. Umumnya seorang bayi atau
anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai
pasien yang terlambat bicara (delayed speech).1
Di berbagai negara dilaporkan angka kejadian gangguan pendengaran yang bervariasi,
menurut WHO ketulian derajat ringan sampai berat dimasyarakat mencapai 10% dan
diperkirakan 25-30% gangguan pendengaran sejak lahir tidak diketahui penyebabnya serta
kemungkinan factor genetik sebagai penyebab belum dapat disingkirkan. US Preventive
Service Task Force melaporkan bahwa prevalensi gangguan pendengaran neonates di
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-20 kali lebih besar dari prevalensi gangguan
pendengaran pada populasi neonates normal.1,2 Menurut data WHO tahun 2007, prevalensi
gangguan pendengaran bayi dan anak pada populasi penduduk Indonesia diperkirakan
sebesar 4,2%. Di inggris, berdasarkan penelitian terhadap anak yang lahir tahun 1995 sampai
2005 prevalensi gangguan pendengaran permanen pada anak meningkat sampai usia 9 tahun.
Insiden berkisar 1 dari 1000 kelahiran hidup sebanyak 50-90% didiagnosis mengalami
gangguan pendengaran.pnyebab gangguan pendengaran dapat berasl genetic maupun didapat.
untuk itu gangguan pendengara pada bayi dan anak perlu dideteksi sedini mungkin mengingat
pentingnya pentingnya peranan fungus pendengaran.1,2,3

2
BAB II
GANGGUAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

2.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total untuk
mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga yang terjadi pada bayi dan anak.
Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran,
yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-30dB0, gangguan pendengaran sedang
(40-69dB) dan gangguan pendengaran berat (70-89 dB).1,4,7
Menurut WHO pengertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut: Gangguan Pendengaran (hearing impaired) yaitu
berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau
kedua kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata
lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000,2000, atau 4000 Hz. Sedangkan ketulian (deaf)
adalah hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi telinga, merupakan
gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 81dB
pada frekuensi 500, 1000,2000 atau 4000 Hz.8,9

2.2 Klasifikasi gangguan Pendengaran


Metode klasifikasi gangguan pendengaran adalah dibedakan dari sisi onset, sisi
genetika, progresifitas penyakit.5,9
1. Jenis gangguan : tipe konduktif, sensorineural, campuran.
2. Waktu berlangsung : menetap, sementara, memberat.
3. Derajat gangguan pendengaran : rigan, sedang, berat, sangat berat.
4. Onset gangguan pendengaran : congenital, periode prelingual, atau postlingual, lanjut usia
(presbiakusis)
5. Faktor penyebab : ototoksis, akibat bising (GPAB).

a. Gangguan pendengaran/tuli konduktif (Conductive Hearing Loss)


Menunjukkan adanya masalah di telinga luar atau tengah yang menyebabkan tidak
terhantarnya bunyi dengan tepat ke telinga dalam. Penyebab tersering gangguan pendengaran
konduktif pada anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh
otitis media sekretori.kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan
pendengaran melebihi 40dB.Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran jenis ini

3
biasanya bersifat sementara. Pengobatan atau bedah, alat bantu dengar maupun implan
telinga tengah dapat membantu mengatasi gangguan pendengaran jenis ini tergantung pada
penyebab khusus masalah pendengaran tersebut.5,11

b. Gangguan Pendengaran Sensorineural (Sensori Neural Hearing Loss).

Tuli sensorineural atau disebut juga tuli perseptif (tuli saraf) merupakan jenis
gangguan pendengaran yang disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya sel saraf (sel rambut)
di dalam koklea atau rumah siput, kerusakan atau malfungsi koklea serta kerusakan batang
otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Gangguan pendengaran
jenis ini biasanya bersifat permanen.bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka
sel ganglion dapat bertahan atau mngalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak,
maka n. VIII akan mengalami degenerasi wallerian. Penyebab utama gangguan pendengaran
ini adalah disebabkan genetik atau infeksi sedangkan penyebab yang lain seperti pemakaian
obat jarang terjadi. Untuk gangguan pendengaran ringan hingga berat dapat diatasi dengan
alat bantu dengar atau implan telinga tengah. Sedangkan, untuk gangguan pendengaran berat
atau parah sering di atasi dengan implan koklea 12,13

c. Gangguan Pendengaran/tuli campuran (Mixed Hearing loss)

Gangguan pendengaran campuran merupakan campuran gangguan pendengaran


sensorineural dan konduktif. Pada tuli campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya
radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang
berlainan, misalnya tumor n.VII yang merupak tuli sensorineural dengan radang telinga
tengah yang merupakan tuli konduktif. 11,13

2.3 Etiologi Gangguan Pendengaran pada Bayi/Anak

Penyebab gangguan pendengaran pada anak biasanya dibedakan menjadi 3


berdasarkan saat terjadinya gangguan pendengaran yaitu :1,14

1. Pada saat kehamilan atau dalam kandungan (PRENATAL)

- Genetik herediter

Yaitu yang berkatin dengan faktor genetik

4
- Non genetik

Yaitu yang tidak berkaitan dengan keturunan seperti Infeksi pada kehamilan
terutama pada awal kehamilan/trimester pertama (Toxoplasmosis, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis), kekurangan zat gizi misalnya defisiensi jodium,
kelainan struktur anatomi serta pengaruh obat-obatan yang dikonsumsi selama
kehamilan yang berpotensi menggangu proses pembentukan organ dan merusak
sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomycin, streptomisin, gentamisin,
thalidomide, barbiturate dll. Selain itu malformasi struktur anatomi telinga seperti
atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian.1,5,15

2. Pada saat Kelahiran atau Persalinan (PERINATAL)

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko
untuk terjadinya gangguan pendengaran/ketulian seperti tindakan dengan alat pada saat
proses kelahiran (ekstraksi vakum, forsep), bayi lahir premature (< 37 mgg), berat badan
lahir rendah (< 2500 gr), lahir tidak menangis (asfiksia), lahir kuning
(hiperbilirubinemia). Biasanya jenis gangguan pendengaran yang terjadi akibat faktor
prenatal dan perinatal ini adalah tipe saraf / sensori neural dengan derajat yang umumnya
berat atau sangat berat dan sering terjadi bilateral.1,5

3. Pada saat setelah Persalinan (POSTNATAL)

Pada saat pertumbuhan seorang bayi dapat terkena infeksi bakteri maupun virus
seperti Rubella (campak german), Morbili (campak), Parotitis, meningitis (radang
selaput otak), otitis media (radang telinga tengah) dan Trauma kepala.
Bayi yang mempunyai faktor resiko diatas mempunyai kecenderungan menderita
gangguan pendengaran lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor
resiko tersebut. Seorang anak harus diperiksa fungsi pendengarannya segera setelah
dicurigai terdapat faktor-faktor resiko diatas atau anak tidak bereaksi terhadap bunyi-
bunyian disekitarnya (tepukan tangan, suara mainan, terompet, sendok yang dipukulkan
ke gelas/piring dll) dan terdapat keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa.3,16

5
Menurut Academy American Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994)
pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai karena
merupakan kemungkinan penyebab terjadinya gangguan pendengaran.1,3,11
1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir
2. Infeksi prenatal; TORSCH
3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher
4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital
5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram)
6. Meningitis Bakterialis
7. Hiperbillirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar
8. Asfisia berat
9. Pemberian obat ototoksik
10. Menggunakan alat bantu pernafasan / ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)

2.4 Faktor resiko terjadinya gangguan pendengaran pada bayi/anak11

1. Riwayat keluarga ditemukan ketulian


2. Infeksi intrauterin
3. Abnormalitas pada kraniofasial
4. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar
5. Penggunaan obat ototoksik aminoglikosida lebih dari 5 hari atau
penggunaan antibiotik tersebut dengan obat golongan loop diuretic
6. Meningitis bakteri
7. Apgar skor < 4 pada saat menit pertama setelah dilahirkan, atau
apgar skor < 6 pada menit kelima.
8. Memerlukan penggunaan ventilasi mekanik lebih dari 5 hari.
9. Berat lahir < 1500 gram
10. Manifestasi dari suatu sindroma yang melibatkan ketulian.

Meskipun faktor risiko yang telah disebutkan merupakan suatu indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan adanya suatu gangguan pendengaran, akan tetapi dilapangan
ditemukan bahwa 50% neonatus dengan gangguan pendengaran tidak mempunyai faktor
risiko. Oleh karena itu direkomendasikan suatu pemeriksaan gangguan pendengaran pada
seluruh neonatus setelah lahir atau setidaknya usia tiga bulan.1,15

6
2.5 Faktor –faktor penyabab terjadinya gangguan pendengaran pada bayi/anak
Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran dapat berasal
dari genetik maupun didapat:13,16
1. Faktor genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya berupa gangguan
pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungin bersifat statis maupun
progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X
(contoh: Hunter’s syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria
(contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau
beberapa organ telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal serind
dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli
konduktif).13

2. Faktor didapat (aquired)


Dapat disebabkan oleh :
a. Infeksi
Gangguan yang terjadi biasanya bersifat tuli sensorineural. Infeksi yang dapat
menyebabkan gangguan pendengaran seperti Rubela kongenital,Cytomegalovirus,
Toksoplasmosis, virus herpes simpleks, meningitis bakteri, otitis media kronik
purulenta, mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis. Toksoplasma, Rubela,
Cytomgalovirus, menyebabkan gangguan pendengaran pada 18% dari seluruh kasus
gangguan pendengaran dimana gangguan pendengaran sejak lahir akibat infeksi
Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan Toksoplasma
kongenital 10%-15%, sedangkan untuk infeksi herpes simpleks sebesar 10%.
Penelitian oleh Rivera menunjukan bahwa 70% anak yang mengalami infeksi
sitomegalovirus konegenital mengalami gangguan pendengaran sejak lahir atau selama
masa neonatus. Pada meningitis bakteri melalui laporan post-mortem dan beberapa
studi klinis menunjukan adanya kerusakan di koklea atau saraf pendengaran,
sayangnya proses patologis yang terjadi sehingga menyebabkan gangguan
pendengaran masih belum dapat dipastikan. 16

7
2. Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah: Golongan
antibiotika: Erythromycin, Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin,
Neomycin (pada pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin,
golongan diuretika: furosemide.1,3,9
Kadar bilirubin indirek ditentukan juga oleh beberapa faktor seperti: kecepatan
produksi bilirubin, kadar albumin, dan obat-obatan (sulfonamid, diuretikum, salisilat).
(Huang et all, 2004)17
3. Trauma
Fraktur tulang temporal, pendarahan pada telinga tengah atau koklea, dislokasi
osikular, trauma suara.,1,9
4. Neoplasma
Tumor yang sering terjadi seperti
- Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromato),
- Cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah (contoh: rhabdomyosarcoma,
glomus tumor. (Mishra MJ et all 2009)

2.6 Gejala Gangguan Pendengaran


Beberapa hal berikut dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengetahui apakah
terdapat gangguan pendengaraan pada bayi/anak:5
Untuk bayi berusia kurang dari 12 bulan :
1. Tidak terkejut bila mendengar suara keras
2. Mulai usia 3 bulan bayi belum dapat mengenali suara orang tuanya
3. Sekitar usia 6 bulan bayi belum dapat mencari asal/ lokasi bunyi berasal, dengan cara
menolehkan kepala atau mata ke arah sumber bunyi
4. Pada usia 12 bulan bayi belum mahir meniru suara di sekitarnya dan memproduksi
beberapa kata.
Setelah usia 12 bulan gejala-gejala gangguan pendengaran dapat dikenali dengan
1. Kemampuan wicara terbatas atau tidak ada sama sekali
2. Perhatian kurang ( inattentive)
3. Sulit mempelajari sesuatu
4. Seringkali meminta suara diperkeras (misalnya volume TV)
5. Tidak memberi respons terhadap ucapan dengan kekerasan yang normal
6. Salah memberikan jawaban

8
Table 1 Perkiraan adanya gangguan pendengaran pada bayi dan anak1

Usia Kemampuan bicara


12 bulan Beum dapat mengoceh (babbling) atau
meniru bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang
mempunyai arti
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata

2.7 Dampak Gangguan Pendengaran pada Bayi/anak


Menurut WHO masalah gangguan pendengaran dan ketulian perlu ditangani lebih
serius mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan. Dampak negatif tersebut antara lain
berupa:9
1. Gangguan atau hambatan perkembangan bicara, berbahasa dan kognitif pada anak,
terutama bila terjadi sejak lahir atau pada bayi.
2. Kesulitan mengikuti pelajaran disekolah sehingga mengakibatkan rendahnya prestasi
akademik.
3. Kesulitan memperoleh lapangan kerja atau mengganggu tugas dalam bekerja.
4. Terisolir dari kehidupan sosial
5. Efek yang merugikan baik secara sosial maupun ekonomi didalam lingkungan masyarakat
dan Negara.

BAB III

9
PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK

Pada prinsipnya gangguan pendenggaran pada bayi harus diketahui sedini mungkin.
Walaupun derajat ketulian yang dialami seorang bayi / anak hanya bersifat ringan, namun
dalam perkembangan selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa.
Dalam keadaan normal, seorang bayi telah memiliki kesiapan berkomunikasi yang efektif
pada usia 18 bulan, berarti saat tersebutmerupakan periode kritis untuk mengetahui adanya
gangguan pendengaran. 1,2
Dibandingkan dengan orang dewasa pemeriksaan pendengaran bayi dan anak jauh
lebih sulit dan memerlukan ketelitian serta kesabaran. Selain itu pemeriksa harus memiliki
pengetahuan tentang hubungan antara usia bayi / anak dengan taraf perkembangan
motorikdan auditorik. Berdasarkan pertimbangan tersebut adakalanya perlu dilakukan
pemeriksaan ulangan atau pemeriksaan tambahan untuk melakukan konfirmasi hasil
pemeriksaan sebelumnya.2,4

3.1 Deteksi dini gangguan pendengaran pada Bayi


Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relatif sulit, karena
akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrining diprioritaskan
pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran.
Untuk maksud tersebut Joint Commitee on Infant Hearing (2000) menetapkan pedoman
registrasi risiko tinggi terhadap gangguan pendengaran sebagai berikut:1,4,5
Untuk bayi 0-28 hari
1. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (Neonatal ICU) selama 48 jam
atau lebih
2. Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai
hubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural atau konduktif.
3. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap sejak masa
anak-anak.
4. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna atau liang telinga.
5. Infeksi intrauterin seperti Toksoplasma, Rubella, Virus Cytomegalo, Herpes, dan Sifilis.

Untuk bayi 29 hari - 2 tahun

10
1. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan
bicara, berbahasa dan atau keterlambatan perkembangan.
2. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak masa anak-anak.
3. Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai
hubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural atau konduktif.
4. Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
termasuk meningitis bakterialis.
5. Infeksi intrauterin seperti Toksoplasma, Rubella, Virus Cytomegalo, Herpes, dan Sifilis.
6. Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama hiperbilirubinemia
yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmoral yang membutuhkan ventilator serta
kondisi lainnya yang memerlukan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
7. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang
progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis.
8. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndome, dan kelainan
neuropati sensomotorik misalnya Friederich's ataxia, Charrot-Marie Tooth Syndrome.
9. Trauma kapitis
10. Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan.

Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai kemungkinan
mengalami gangguan pendengaran 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang
tidak memiliki faktor risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan menderita
gangguan pendengaran diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak
mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi baru lahir yang dirawat di ruangan intensif
(ICU) risiko untuk mengalami gangguan pendengaran 10 kali lipat dibandingkan dengan
bayi normal.1,2,6
Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi
sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan
pendengaran tanpa memiliki faktor risiko yang dimaksud. Berdasarkan pertimbangan
tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi
ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS). 6,8

Upaya deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program
Newborn Hearing Screening (NHS). Dikenal 2 macam program NHS, yaitu: 1
11
1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS)
UNHS bertujuan melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada semua bayi
baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini sudah dimulai pada saat usia 2 hari atau
sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada fasilitas kesehatan yang
tidak memiliki program UNHS paling lambat pada usia 1 bulan sudah melakukan
skrining pendengaran.
2. Targeted Newborn Hearing Screening.
Di negara berkembang program UNHS masih sulit dilakukan karena memerlukan
biaya dan SDM yang cukup besar dan harus didukung oleh suatu peraturan dari
pemerintah setempat. Atas pertimbangan tersebut kita dapat melakukan pogram skrining
pendengaran yang lebih selektif, dan terbatas pada bayi yang memiliki faktor resiko
terhadap gangguan pendengaran. Program ini dikenal sebagai Targeted Newborn
Hearing Screening.
3.2 Pemeriksaan Fungsi Pendengaran
Pemeriksaan fungsi pendengaran menurut American Academy of Pediatrics
selayaknya dilakukan pada semua anak, terutama pada anak yang termasuk berisiko
mengalami gangguan pendengaran yaitu: 13,14
- Bayi dari ibu hamil 3 bulan pertama menggunakan obat Kina, salisilat atau antibiotic
tertentu
- Mempunyai riwayat keluarga tuli sejak lahir;
- Prematur
- Berat badan lahir rendah (<1500 gr)
- Kadar bilirubin tinggi atau bayi kuning
- Apgar score rendah atau tidak langsung menangis pada saat lahir
- Proses kelahiran melalui operasi
- Lahir dengan bantuan alat (forcep)
- Infeksi Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis (TORCHS)
- Terdapat kelainan pada kepala & leher saat lahir
- Memakai alat bantu nafas lebih dari 5 hari
- Bayi yang mendapat obat bersifat ototoksik (seperti gentamicin) selama lebih 5 hari
atau kombinasi dengan "loop diuretics":
- Bayi/anak demam disertai kejang;
- Anak yang mengalami infeksi yang berhubungan dengan "sensoryneural hearing
loss" (SNHL) (misalnya meningitis , mumps, measles);
12
- Kelainan neurodegeneratif (seperti sindrom Hunter) atau penyakit-penyakit
demielinisasi (seperti Friedreich ataxia, sindrom Charcot-Marie-Tooth).

Deteksi dini gangguan pendengarn bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan


Subyektif dan Obyektif. Namun saat ini yang menjadi baku emas skrining gangguan
pendengaran pada bayi adalah pemeriksaan Otoacustic Emission (OAE) dan Automated
ABR (AABR).20
1. Pemeriksaan Subyektif antara lain dengan menggunakan rangsangan akustik atau
bunyi-bunyian yang mempunyai intensitas tertentu dan nilai responnya, yaitu dengan
gerakan reflek auropalpebral seperti:21
- Behavioral Observation Audiometry (BOA)
- Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
- Play Audiometry
a. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
Pemeriksaan yang penting dilakukan yaitu dengan melihat perilaku anak
terhadap stimulus suara yang diberikan.tes ini berdasarkan respon aktif pasien
terhadap stimulus bunyi dan merupakan respon yang disadari (voluntary
response). Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi
mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan
dengan perkembangan motorik dan persepsi . pemerikasaan dilakukan pada
ruangan yang cukup tenang ( bising lingkungan tidak lebih dari 60dB, idealnya
pada ruang kedap suara. Sebagai sumber bunyi dapat digunakan tepukan tangan,
tambur, bola plastic berisi pasir, remasan kertas minyak, bel, terompet karet,
mainan yang mempunyai bunyi frekuensi tinggi (squaker toy).21,23

b. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)


Mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana control neuromotor
berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang. Pada masa ini
respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned. Pemeriksaan
pendengaran berdasarkan respon conditioned diperkuat dengan stimulus visual
dikenal sebagai VRA. Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus
visual, bayi akan member respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara
menoleh ke.arah sumber bunyi. Hal yang penting untuk diperhatikan sebelum

13
melakukan pemeriksaan ini adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada
kelainan pada telinga tengah.
Penggunaan BOA dan VRA (Visual Reinforcement Audiometry) pada bayi
dan anak mempunyai keterbatasan untuk menentukan ambang batas pendengaran
yang sahih.21,22
c. Play Audiometry
Pemeriksaan Play Audiometry (conditioned play audiometry) meliputi teknik
melatih anak untuk mendengar stimulus bunyi disertai pengamatan respon
motorik spesifik dalam suatu aktivitas permainan. Misalnya sebelum pemeriksaan
anak dilatih (conditioned) untuk memasukan benda tertentu ke dalam kotak segera
setelah mendengar bunyi. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone.
Dengan mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil
yang dapat menimbulkan respon dapat ditentukan ambang pendengaran pada
frekuensi tertentu (spesifik).1,21

2. Pemeriksaan Obyektif dilakukan dengan alat tes elektrofisiologik yaitu

- Brainstem Evoked Reponses Audiometry (BERA)


- Otoacoustic Emission (OAE)
- Timpanometri
a. Brainstem Evoked Reponses Audiometry (BERA)
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau istilah lain Auditory
Brainstem Response (ABR) adalah pemeriksaan elektrofisiologik yang objektif,
non invasif, untuk menilai integritas sistem auditorik termasuk batang otak,
terhadap bunyi yang kita dengar, sehingga kita dapat mengetahui ambang
pendengaran maupun letak lesi pada sistem auditorik tersebut. BERA merupakan
cara pengukuran evoked potential (aktifitas listrik yang dihasilkan n.VIII, pusat-
pusat neural dan traktus didalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus
auditorik. BERA dapat dipakai untuk memeriksa bayi, anak, dewasa dan
penderita yang koma. Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap
suara. Pada bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila
digunakan BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa
sedatif.21

14
Tes BERA dapat menilai fungsi pendengaran bayi atau anak yang tidak
kooperatif. Yang tidak dapat diperiksa dengan cara konvensional. Berbeda
dengan audiometry, alat ini bisa digunakan pada pasien yang kooperatif maupun
non-kooperatif seperti pada anak baru lahir, anak kecil, pasien yang sedang
mengalami koma maupun stroke, tidak membutuhkan jawaban atau respons dari
pasien seperti pada audiometry karena pasien harus menekan tombol jika
mendengar stimulus suara. Alat ini juga tidak membutuhkan ruangan kedap suara
khusus.13,25
Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain : bayi
baru lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa
Prinsip Pemeriksaan

Prinsip pemeriksaan BERA adalah untuk menilai potensial listrik di otak


setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.
Mekanisme Kerja Pemeriksaan BERA

BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara


singkat atau nada khusus yang ditransmisikan oleh transduser akustik dengan
menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang
ditimbulkan dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan
yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobu

15
Evaluasi Pemeriksaan BERA
Gelombang I, yang ditimbulkan oleh ujung koklear CN VIII, memberikan
informasi yang berharga mengenai aliran darah ke koklea, gelombang I di monitor
secara seksama untuk melihat adanya perubahan pada latensi atau penurunan
amplitudo.
Interval puncak gelombang I-II dan I-III dapat memberikan informasi distal
dan proksimal selama pembedahan CN VIII. Gelombang V dan latensi interval
puncak gelombang I-V di monitor untuk melihat adanya perubahan pada latensi dan
amplitudo. Latensi gelombang I-V memberikan informasi mengenai integritas CN
VIII terhadap batang otak auditori. Dalam hal patologi retrokoklear, banyak faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan BERA, termasuk derajat
kehilangan pendengaran sensorineural, kehilangan pendengaran asimetris, batasan
pengujian, dan faktor-faktor pasien lainnya.
Gambar 2.Jalur pendengaran dan lokasi anatomi yang berkaitan dengan
gelombang yang ditimbulkan oleh BERA.

16
b. Otoacoustic Emission (OAE) 23
Uji emisi otoacoustik mengukur integritas telinga bagian dalam.
Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu spontaneus dan evoked OAE.
Spontaneus.OAE dapat timbul tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua
manusia memiliki spontaneus OAE sehingga manfaat klinisnya tidak diketahui.
Evoked OAE adalah OAE yang terjadi pasca pemberian stimulus, dibedakan menjadi
(1) Transient Evoked OAE (TEOAE)merupakan emisi suara yang dihasilka oleh
rangsangan bunyi dengan menggunakan durasi yang sangat pendek, biasanya
bunyi click, tetapi dapat juga tone burst
(2) Distortion Product OAE (DPOAE) merupakan emisi sebagian respon dari
dua rangsangan yang berbeda frekuensi. Stimulus terdiri dari dua bunyi murni
pada dua frekuensi (f1, f2; f2>f1) dan dua level intensitas (L1, L2).

17
Tujuan Pemeriksaan Emisi Otoakustik
Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai keadaan koklea
terutama sel rambut. Hasil pemeriksaan dapat berguna untuk antara lain:
a. Skrining pendengaran awal khususnya pada neonatus infan atau individu dengan
gangguan perkembangan
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu
c. Membedakan gangguan sensori dan neural; pada gangguan pendengaran
sensorineural
d. Dapat memeriksa gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura) dan juga dapat
dilakukan pada pasien yang sedang tidur bahkan pada keadaan koma. 22,23
Syarat untuk Menghasilkan Emisi Otoakustik yang tepat
a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Menutup rapat-rapat liang telinga dengan probe
c. Posisi yang optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah
e. Sel rambut luar masih berfungsi
f. Pasien kooperatif
g. Lingkungan sekitar tenang
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerja OAE
Nonpatologi
a. Kesalahan dalam memasang probe
b. Serumen yang menghalangi probe
c. Debris atau benda asing dalam telinga
d. Vernix caseosa pada neonatus
e. Pasien yang tidak kooperatif
. Patologi
a. Telinga luar seperti:
- stenosis
- otitis eksterna
- kista
b. Membran timpani seperti : adanya perforasi

18
c. Telinga tengah seperti :
- Tekanan telinga tengah yang abnormal
- Otosklerosis
- Disartikulasi telinga tengah
- Kista
- Otitis media
d. Koklea
- Pemaparan obat-obat ototoksik atau pemaparan suara bising.

c. Timpanometri
Timpanometri merupakan pemeriksaan untuk menilai kondisi telinga tengah.
Gambaran timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di teinga
tengah ) merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif. Melalui probe
tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat diketahui besarnya
tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan kembali ke arah keluar
oleh gendang telinga.26,28 Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes
OAE, dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus
ditunda sampai telinga tengah normal. 27 Reflex akustik pada bayi juga berbeda dengan
orang dewasa. Dengan menggunakan probe tone frekuensi tinggi, reflex akustik bayi usia
4 bulan atau lebih sudah mirip dengan dewasa.

19
BAB IV
KESIMPULAN

Proses mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut
aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan
audiologi. Sehingga jika terjadi gangguan pada pendengaran akan menyebabkan gangguan
bicara, berbahasa, kognitif, masalah social dan emosional. Kesehatan Indera pendengaran
merupakan syarat penting bagi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia karena
sebagian besar infomasi diserap mulalui proses mendengar yang baik bagi anak. Oleh karena
itu gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat pentingnya
peranan fungsi pendengaran terutama dalam proses perkembangan bicara. Saat ini sudah
banyak metode untuk menilai fungsi pendengaran anak baik secara subyektif maupun
obyektif. Gangguan pendengaran sendiri adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga yang terjadi pada bayi dan anak
yang bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor mulai dari masa perinatal,prenatal maupun
post natal.

20
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwento R, Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta:FKUI;2007.h.31-
42.

2. Suwento R. Diagnosis Dini Ketulian pada bayi dan anak. Kursus Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran (KPPIK) FKUI. Evidence Based Medicine in Daily Practice. Jakarta,
Februari 2005.

3. Joint Commite on infant Hearing. Years 2007 Position Statement: Priciple and Guidelines for
Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics 2007; 120 (4): 527– 30.

4. Mason JA, Herman KR. Universal Infant Hearing Screening by Automated Brainstem
Response Measurement. Pediatrics 2001; 101 (2): 221 – 8.

5. Thompson DC, Mc Philips H, Davis RL, Lieu TL, Homer CJ, Helfand M. Universal
Newborn Hearing Screaning. JAMA 2001 ; 286:2000-10.

6. Runjan L, Amir I, Suwento R. Skrining gangguan pendengaran pada neonates resiko tinggi.
Sari Pediatri 2005 Maret;6 (4):149-54.

7. Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam seminar sehari
penatalaksanaan gangguan pendengaran dan ketulian ; Semarang 2007 Februari h. 1-12

8. Adams GL. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam : Adam GL, Boeis LR,
Highler PA. BOEIS, Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Alih Bahasa : Wijaya C. BOEIS
fundamental of otolaryngology. Jakarta : Penerbit EGC; 1997. 446

9. World Health Organization, situation review and update on deafness, hearing loss and
intervention programs : proposed plans of action for prevention and alleviation of hearing
impairment in countries of the south-east asia region. 2007.

10. Fortnum H M, Summerfield A Q, Marshall DH, Davis AC, Bamford JM. Prevalence of
permanent childhood hearing impairment in the United Kingdom and Implication for

21
universal neonatal hearing screaning questionnaire basedascertainment study. BMJ 2001;
323:1-6

11. Soetirto, I.,Hendarmin, H., BashiruddinJ, 2007Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga
dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi
VI Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

12. Jerger,J F and Hayes ,D: The cross check principle in pediatric Audiometry. Arch
otolaryngology.1976. 102: 614-620.

13. American Academy of Pediatrics. Task Force on newborne and infant screening, newborne
and infant hearing loss : detection and intervention. Pediatrics 2000; 103: 527-30

14. Cunningham M, Cox EO. Hearing Assestment in infants and children ; Recommendation
beyond neonatal screening. Pediatrics 2003; 111; 436-40

15. Stearn N, Swanepel DW. Identifying hearing loss by means of iridology. African journal of
Traditional, Complimentary and alternative Medicines. 2007 ;4 (2);205-14

16. Kiliic I, Karahanh, Kurt T, Ergin H, Sahiner T. Brainstem Evoked Response Audiometry and
risk factor in premature infants. Marmara Medical J. 2007;20 (1); 21-8

17. Liston SI, Duval AJ. Dasar-dasar otolaringologi. Dalam : Effendi H, penyunting. Buku Ajar
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC;2007.h.27-38

18. Madden C, Rutter M, Hilbert L, Greinwald JH, Choo DI. Clinical and audiological features
in auditoryneuropathy, Arch Otolaryngol Head Neck Surgery.2002;128:1026-30.

19. Holster IR, Hoeve LJ, Wieringa MH, Willis-Lorrier RMS, Gier HHW. Evaluation of hearing
loss after failed neonatal hearing screening. J Pediatr 2009;155:646-50.

20. Boo NY, Rohani AJ, Asma A. detection of sensorineural hearing loss using automated
auditory brainstem-evoked response and transient-evoked otoacustic emission in term
neonates with severe hyperbilirubinemia.Singapore Med J 2008; 49:209-14.

21. Mason JA, Herrmann KR. Universal infant hearing screening by automated auditory
brainstem response measurement. Pediatrics 1998;101:221- 8.

22
22. Rapin I. Hearing impairment. Dalam: Swaiman K.F, Ashwal S, penyunting. Pediatric
Neurology Principles and Practice. Edisi ke-3. New York: Mosby Inc;1999.h.77- 95.

23. Zang Z, Wilkinson AR, Jiang ZD. Distorsion product otoacustic emission at 6 months in
term infants after perinatal hypoxia ischaemi or with a low apgar score. Eur J Pediatrr
2008;167:575-578

24. Lasky RE, William AL. The development of the auditory system from conception to term.
Neo review 2005;6(3):141-52

25. Gifford KA, Holmes MG, Bernstein HH. Hearing loss in children. Pediatrics in
review.2009;30:207-16

26. Deka RC, Sarin D. Congenital TORCH infection and hearing loss. Dalam : Deka D,
penyunting. Congenital intrauterine TORCH Infecion. Edisi ke 1. New Delhi: Jaypee
brothers, 2004.h.112-20

27. Zamani A, Daneshjou K, Ameni A, Takand J. Estimating the incidence of neonatal hearing
loss in high risk neonates. Acta Medica Iranica 2004;42 (3):176-80

28. Abiratno SF. Auditory brainstem response (ABR) prinsip dasar, teknik pemeriksaandan
penggunaanya dalam klinik. Dalam :abiratno SF, penyunting.2003

23

Anda mungkin juga menyukai