Anda di halaman 1dari 14

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN RESIKO OSTEOPOROSIS PADA LANSIA DI

KENAGARIAN API-API WILAYAH KERJA PUSKESMAS PASAR BARU KECAMATAN BAYANG


KABUPATEN PESISIR SELATAN TAHUN 2013
Aida Minropa*

ABSTRAK
Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif seperti
osteoporosis akan menjadi masalah yang memerlukan perhatian khusus. Prevalensi osteoporosis di
Indonesia mencapai 19,7%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan resiko osteoporosis pada lansia di kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas
Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013.
Jenis penelitian yang adalah survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian telah
dilakukan pada tanggal 20-31 Januari 2013, jumlah responden 48 orang lansia dan jenis data adalah
data primer. Teknik pengambilan sampel random sampling. Data diolah menggunakan analisis
univariat dan bivariat dengan uji chi-square.
Hasil penelitian menunjukkan 68,8% responden berjenis kelamin perempuan. 70,8% responden
umur 55 tahun. 58,3% responden memiliki tipe tubuh gemuk. 70,8% responden mempunyai
aktivitas fisik rendah. 79,2% responden diet tidak cukup kalsium. 75,0% responden resiko positif
osteoporosis. Terdapat hubungan: antara jenis kelamin, umur, tipe tubuh, aktivitas fisik dan diet
dengan resiko osteoporosis.
Disarankan kepada Puskesmas untuk memberikan penyuluhan kesehatan kepada lansia tentang
resiko osteoporosis dan modifikasi gaya hidup. Dapat menjadi pedoman bagi peneliti selanjutnya
dalam desain dan alat ukur yang berbeda.

Kata Kunci : Faktor resiko, Osteoporosis, lansia

Alamat Korespondensi :
Aida Minropa,SKM.,M.Kes
Dosen Prodi D III Keperawatan
STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang
Jl. Jamal Jamil Pondok Kopi Siteba
Padang

PENDAHULUAN
Pelaksanaan pembangunan Nasional
yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil
dan makmur bedasarkan Pancasila dan
Undang-undang
Dasar
1945
telah
menghasilkan kondisi sosial masyarakat yang
makin baik dan usia harapan hidup yang
makin meningkat, sehingga jumlah Lanjut Usia
(Lansia) semakin bertambah (Wijaya, 2010).
Saat ini penduduk di Indonesia mempunyai
umur harapan dari 70,7 tahun menjadi 72
tahun (Depkes RI, 2012).
Pada tahun 2010 jumlah lansia
mengalami peningkatan mencapai 9,58% dan
pada tahun 2020 diprediksi mengalami
peningkatan sebesar 11,20%. Peningkatan usia
harapan hidup menyebabkan pola distribusi
penyakit bergeser dari penyakit infeksi ke
penyakit degeneratif. Salah satu penyakit
degeneratif yang semakin tinggi angka
prevalensinya dan perlu di waspadai adalah
Osteoporosis (Depkes RI, 2008).
Osteoporosis adalah penyakit metabolik
tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa
massa
tulang
yang
rendah
disertai
mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas
jaringan tulang
yang akhirnya dapat
menimbulkan
kerapuhan
tulang
dan
menyebabkan fraktur. Osteoporosis disebut
sebagai silent desease karena proses
kepadatan tulang bekurang secara perlahan
dan berlangsung secara progresif selama
bertahun-tahun tanpa disadari disertai tanpa
adanya gejala. Bahkan pasien Osteopororsis
yang dapat diidentifikasi setelah terjadi fraktur
hanya kurang dari 25% (Cosman, 2009).
Penderita
Osteoporosis
beresiko
mengalami fraktur yang meningkatkan beban
sosioekonomi berupa perawatan biaya ynag
besar. Selain itu juga menyebabkan kecacatan,
ketergantungan pada orang lain yang
menyebabkan gangguan aktivitas hidup,
fungsi sosial, dan gangguan psikologis
sehingga terjadi penurunan kualitas hidup
bahkan sampai menyebabkan kematian.
Resiko kematian bagi pria yang menderita
Osteoporosis sama dengan orang yang

menderita kanker prostat. Sedangkan resiko


kematian bagi wanita sama dengan orang
yang menderita kanker payudara bahkan lebih
tinggi dari orang yang menderita kanker
rahim (Tandra, 2009).
Penyakit kerapuhan tulang ini melanda
seluruh dunia dan telah melumpuhkan jutaan
orang.
Fakta
dari
lembaga
National
Osteoporosis
Foundation
di
Amerika
menunjukkan hasil yang memprihatinkan.
Lebih dari 1.5 juta orang di Amerika menderita
tulang patah setiap tahunnya yang diakibatkan
oleh osteoporosis dan hampir 34 juta orang
lainnya diperkirakan mengalami kerendahan
densitas tulang (kerapuhan tulang) yang
mengakibatkan mereka berada dalam kondisi
terancam menderita osteoporosis (Clupster,
2009).
International Osteoporosis Foundation
(IOF) mencatat 20% pasien patah tulang
Osteoporosis meninggal dalam waktu satu
tahun. Sepertiga diantaranya harus terus
berbaring di tempat tidur, sepertiga lainnya
harus dapat dibantu untuk dapat berdiri dan
berjalan. Hanya sepertiga yang dapat sembuh
dan beraktivitas optimal (Suryati, A Nuraini,
2006).
Faktor
resiko
Osteoporosis
dklasifikasikan menjadi dua yaitu faktor resiko
primer dan faktor resiko skunder. Faktor resiko
primer adalah faktor yang tidak dapat di ubah
termasuk usia, jenis kelamin, ras, genetik,
menopause/andropause dan ukuran kerangka
yang kecil. Faktor resiko skunder yaitu faktor
yang dapat di ubah atau dimodifikasi termasuk
kurang asupan kalsium dan vitamin D, olah
raga tidak teratur, kebiasaan merokok,
konsumsi minuman beralkohol dan kopi yang
berlebihan dan penggunaan obat-obatan
penyebab osteoporosis dalam jangka panjang
(Junaidi, 2007).
Prevalensi Osteoporosis di Indonesia
sudah mencapai 19,7%. Berdasarkan hasil
analisis data resiko osteoporosis oleh
Puslitbang Gizi Depkes bekerja sama dengan

Fonterra Brand Indonesia yang dipublikasikan


tahun 2006 menyatakan 2 dari 5 orang
Osteoporosis. Hal ini juga didukung oleh
Indonesian White Paper yang dikeluarkan oleh
Perhimpunan osteoporosis Indonesia (Perosi)
pada tahun 2007 yaitu Osteoporosis pada
wanita yang berusia di atas 50 tahun mencapai
32,3% dan pada pria di usia diatas 50 tahun
mencapai
28,85.
Secara
keseluruhan
percepatan proses penyakit Osteoporosis pada
wanita sebesar 80% dan pria 20% (Suryati, A
Nuraini, 2006).
Dengan bertambahnya usia maka angka
kejadian
Osteoporosis
akan
semakin
meningkat, seperti yang ditunjukkan data di
Indonesia antara lain Lima Provinsi dengan
resiko Osteoporosis lebih tinggi adalah
Sumatera Selatan (27,7%0, Jawa Tengah (24,02
%), Yogyakarta (23,5 %), Sumatera Utara
(22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan
Timur (10,5%) (Pranoto, 2011).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Sumatera Barat pada bulan Februari 2009, PT
Fontera
Brands
Indonesia
melakukan
pemeriksaan densitas massa tulang dengan
alat densitometry di berbagai tempat di
Sumatera Barat dengan hasilnya yaitu dari
4521 orang yang diperiksa didapatkan
kejadian Osteoporosis sebanyak 15,43%
Osteoporosis, 35,96% Osteoponia, 48,59%
normal.

Indonesia

memiliki

resiko

3.286 orang umur 45-59 tahun, 1.420 orang


umur 60-69 tahun dan sisanya umur lebih dari
70 tahun sebanyak 1.108 orang
Pada lansia, seiring dengan pertambahan
usia fungsi organ tubuh justru menurun, tubuh
mengalami kehilangan tulang trabekular dan
penyerapan kalsium menurun pula sehingga
resiko
osteoporosis
semakin
besar.
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita
, hal ini disebabkan pengaruh penurunan kadar
hormon
estrogen
yang
membantu
pengangkutan kalsium ke dalam tulang.
Perawakan yang kecil dan mungil memiliki
bobot tubuh cenderung ringan, padahal tulang
akan giat membentuk sel bila di tekan oleh
bobot yang berat. Sedangkan seseorang yang
kurang gerak dan berolahraga otot-ototnya
tidak terlatih dan menjadi kendor. Otot yang
kendor akan mempercepat mempercepat
penururunan tahanan dan kekuatan pada
tulang. Pengaruh diet terhadap resiko
osteoporosis, bila makanan yang mengandung
cukup kalsium di konsumsi sejak usia dini
dapat membantu memperkuat massa tulang,
mencegah
pengaruh
negatif
dari
berkurangnya keseimbangan kalsium dan
mengurangi tingkat kehilangan kalsium pada
tahun-tahun berikutnya.

Osteoporosis dapat menyerang semua


orang, meskipun tingkat risikonya berbedabeda. Adapun faktor risiko terjadinya
osteoporosis dapat digolongkan menjadi dua
kelompok yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dikendalikan seperti jenis kelamin, umur, ras,
riwayat keluarga, tipe tubuh dan menopause.
Sedangkan
faktor
risiko
yang
dapat
dikendalikan yaitu aktivitas fisik (olah raga),
diet, kebiasaan merokok dan minum minuman
beralkohol (Wirakusumah, 2007).

Studi pendahuluan selama dua hari pada


tanggal 5-6 Juni 2012 di Posyandu lansia ApiApi dari 10 orang lansia yang diwawancarai
yaitu enam orang lansia berjenis kelamin
perempuan dan empat orang laki-laki. Empat
orang lansia berumur 45-50 tahun dan enam
orang lansia berumur 50 tahun keatas.
Sementara itu dari pengukuran antropometri
tiga orang lansia memiliki ukuran rangka yang
kecil, dua orang lansia tidak pernah meminum
susu kalsium atau suplemen kalsium dan dua
orang lansia tidak pernah melakukan olahraga
rutin.

Dari laporan Dinas Kesehatan Kabupaten


Pesisir Selatan jumlah lansia pada tahun 2010
sebanyak
40.163 orang dan tahun 2011
sebanyak 41.911 orang. Di Puskesmas Pasar
Baru Kecamatan Bayang sendiri jumlah Lansia
sebanyak 5.814 orang dengan rincian 3.201
orang perempuan dan 2.613 orang laki-laki.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik


untuk melakukan penelitian tentang FaktorFaktor yang berhubungan dengan
resiko
Osteoporosis pada lansia di wilayah posyandu
lansia Api-Api Puskesmas Pasar Baru
Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
tahun 2012.

METODE PENELITIAN

Populasi adalah keseluruhan dari objek


penelitian
atau
objek
yang
diteliti
(Notoatmodjo, 2010). Maka yang menjadi
populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
Lansia yang ada di wilayah Kenagarian Api-Api
wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru Tahun
2013 yang berjumlah 480 orang.

Pengambilan sampel pada penelitian ini


yaitu sebanyak 10% dari populasi. Jumlah
lansia di Kenagarian Api-Api Wilayah kerja
Puskesmas Pasar Baru dalam penelitian ini
yaitu 480 orang dan jumlah sampel dalam
penelitian menurur rumus di atas yaitu 48
orang dengan criteria sampel :

Sampel adalah sebagian yang diambil


dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap
mewakili
seluruh
populasi
(Notoatmodjo, 2010). Jika populasi besar dari
100 maka sampel diambil 10-15% dari
jumlah populasinya, kecil dari 100 maka
sampel yang diambil semua populasi
(Arikunto, 2006).

a. Lansia yang berumur 45 tahun keatas


b. Lansia ada di tempat pada saat
penelitian
c. Bersedia menjadi responden
d. Mampu berkomunikasi dengan baik.
e. Lansia yang tidak sedang dalam
keadaan sakit terbaring
f. Lansia yang didampingi anggota
keluarga lain pada saat penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 20-31 Januari 2013
tentang faktor faktor yang berhubungan
dengan resiko osteoporosis pada lansia di

kenagarian Api-Api wilayah kerja Puskesmas


Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2013, didapatkan hasil
penelitian sebagai berikut :

1.Jenis Kelamin
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kenagarian Api-Api
Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun
2013
No.

Jenis Kelamin

1.

Pria

15

31.3

2.

Wanita

33

68.8

48

100

Jumlah

Dari tabel 1 terlihat bahwa lebih dari


separoh (68,8%) responden berjenis kelamin
wanita. Wanita mempunyai resiko terkena
osteoporosis lebih besar dari pada pria. Secara
umum wanita memiliki resiko osteoporosis
empat kali lebih banyak dari pria. Hal ini terjadi
antara lain karena massa tulang wanita lebih
kecil dari pria (Wirakusumah, 2007).

Pada perempuan, hormon estrogen


sangat berpengaruh dalam mempertahankan
kepadatan tulang. Saat kadar estrogen
menurun pasca menopause, maka penurunan
kepadatan tulang akan semakin cepat. Selama
5-10 tahun pertama setelah menopause,
perempuan bisa mengalami penurunan massa
tulang sebesar 2-4% per tahun. Artinya mereka

akan kehilangan massa tulang sebesar 25-30%


dalam masa ini.
Percepatan penurunan massa tulang
pasca menopause ini merupakan penyebab
utama
terjadinya
osteoporosis
pada
perempuan (Guyton, 2000).
Asumsi peneliti pada wanita lebih
beresiko mengalami osteoporosis
karena
pengaruh hormon estrogen yang mulai
menurun akibat dari penurunan fungsi ovarium
pada masa menopause akan mempengaruhi
proses remodelling tulang

Yang bertujuan untuk mempertahankan tulang


yang sehat, sebagai proses pemeliharaan
tulang dengan mengganti tulang yang tua
dengan tulang yang baru. Ketika tingkat
estrogen menurun, siklus remodelling tulang
berubah dan pengurangan jaringan tulang
akan dimulai yang beresiko menimbulkan
osteoporosis.

2. Umur

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Kenagarian Api-Api Wilayah


Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Tahun
2013
No.
1.
2.

Umur
< 55 Tahun
55 Tahun
Jumlah

Dari table 2 terlihat lebih dari separoh


(70.8%) responden berumur
55 Tahun.
Semakin tua umur seseorang, resiko terkena
osteoporosis menjadi semakin besar. Proses
densitas (kepadatan) tulang hanya berlangsung
sampai seseorang berumur 25 tahun. Selanjutnya,
kondisi tulang akan tetap konstan hingga usia 40
tahun. Setelah umur 40 tahun, densitas tulang
mulai berkurang secara perlahan. Oleh karenanya,
massa tulang akan berkurang seiring dengan
proses penuaan. Berkurangnya massa tulang ini
akan berlangsung terus sepanjang sisa hidup
(Wirakusumah, 2007).

14
34

29.2
70.8

48

100

Asumsi peneliti, responden yang


memiliki umur 55 tahun memiliki resiko
osteoporosis karena pada lansia akibat
proses
penuaan
terjadi
penurunan
kemampuan tubuh dalam penyerapan
kalsium. Osteoporosis erat kaitannya
dengan proses penuaan di mana cadangan
kalsium menipis dengan bertambahnya
usia. Selain itu penurunan massa tulang
dapat terjadi akibat proses penyusutan
tulang yang cepat dibanding proses
pembentukan tulang.

3. Tipe Tubuh
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tipe Tubuh di Kenagarian Api-Api
Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2013
No.
1.
2.

Tipe Tubuh
Gemuk
Kurus
Jumlah

Dari tabel 3 terlihat lebih dari separoh


(58.3%) responden memiliki tipe tubuh
Kurus.
Menurut Cosman (2009), badan
yang gemuk dapat memberikan beban
berat setiap hari pada tulang untuk
mendorong pembentukan tulang, sama
dengan olahraga. Badan yang gemuk juga
dapat mempermudah produksi hormon
estrogen dari jaringan lemak. Ini adalah
satu-satunya manfaat badan yang sedikit
gemuk pada kesehatan. Rangka tubuh
atau bentuk tubuh dari wanita menopause.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lebih dari separoh responden memiliki tipe
tubuh kurus. Hal ini karena berdasarkan
hasil kuesioner penelitian, didapatkan
banyak responden dengan berat badan
kurus dengan indeks masa tubuh di bawah
18,5.
Estrogen tidak hanya dihasilkan oleh
ovarium, namun juga di hasilkan oleh

f
20
28
48

%
41.7
58.3
100

kelenjer adrenal dan dari jaringan lemak.


Jaringan lemak atau adiposa dapat
mengubah hormon androgen menjadi
estrogen. Semakin banyak jaringan lemak
yang dimiliki oleh wanita semakin banyak
hormon estrogen yang di produksi.
Penurunan massa tulang pada wanita yang
kelebihan berat badan dan memiliki kadar
lemak yang tinggi, pada umumnya akan
lebih kecil. Adanya penumpukan jaringan
lunak dapat melindungi rangka tubuh dari
trauma patah tulang (Lane, 2012).
Asumsi peneliti, responden dengan
tipe tubuh kurus
memiliki resiko
osteoporosis lebih besar dari pada
responden dengan tipe tubuh normal atau
lebih karena massa tulang pada tubuh
yang kurus cenderung kurang terbentuk
sempurna sehingga tulang menjadi kurang
padat dan beresiko untuk terjadi
osteoporosis.

4. Aktifitas Fisik (olahraga)


Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktifitas Fisik (olahraga) di
Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang
Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013
No.
1.
2.

Dari
separoh
aktivitas
Menurut
rendah
olahraga

Aktivitas Fisik
Tinggi
Rendah
Jumlah

tabel 4 terlihat bahwa lebih dari


(70.8%) responden memiliki
fisik (olahraga) yang rendah.
Wirakusumah (2007), semakin
aktivitas fisik dan intensitas
semakin besar resiko terkena

f
14
34
48

%
29.2
70.8
100

osteoporosis. Hal ini terjadi karena


aktivitas fisik dan olahraga dapat
membangun tulang dan otot menjadi lebih
kuat.

Asumsi peneliti rendahnya aktivitas


fisik
pada
responden
disebabkan
kebiasaan responden melakukan olahraga
yang tidak teratur padahal menurut teori
Joging dan jalan cepat yang dilakukan

secara teratur atau rutin sangat baik untuk


mencegah osteoporosis. dengan intensitas
ringan dengan durasi 30-40 menit lakukan
minimal 3x seminggu (Purwoastuti, 2009).

5. Diet
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Diet di Kenagarian Api-Api
Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2013
No.
1.
2.

Diet Kalsium
Cukup
Tidak Cukup
Jumlah

Dari tabel 5 terlihat bahwa lebih


dari separoh (79.2%) responden memiliki
diet yang tidak cukup kalsium dan fosfor.
Menurut Wirakusumah (2007), pola makan
yang tidak memperhatikan kecukupan
asupan kalsium dan fosfor beresiko
osteoporosis. Makanan sumber Kalsium
dan Fosfor dapat membantu memperkuat
massa tulang, mencegah pengaruh negatif
dari berkurangnya keseimbangan kalsium
dan mengurangi tingkat kehilangan tulang
pada tahun-tahun selanjutnya.

f
10
38
48

%
20.8
79.2
100

Asumsi peneliti rendah


asupan
Kalsium
pada
responden
disebabkan oleh kebiasaan masyarakat
yang tinggal di tepi pantai cenderung
mengkonsumsi ikan laut yang tinggi. Akan
tetapi jenis ikan yang di konsumsi
kemungkinan adalah jenis ikan yang di
konsumsi tidak dengan tulangnya seperti
ikan teri yang lazim di kionsumsi dengan
tulangnya. Kandungan Kalsium pada 100
gr ikan teri adalah 500-1200 mg,
sedangkan pada ikan tongkol hanya 92
mg.

6. Resiko Osteoporosis
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Resiko Osteoporosis di Kenagarian
Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten
Pesisir Selatan Tahun 2013
No.
1.
2.

Resiko Osteoporosis
Resiko Negatif
Resiko Positif
Jumlah

Dari tabel 6 terlihat bahwa lebih dari


separoh (75.0%) responden memiliki resiko
positif osteoporosis. Osteoporosis adalah
hilangnya massa tulang penipisan dari
tulang yang mengakibatkannya menjadi
kurang padat. Salah satu penyebabnya
adalah berkurangnya estrogen sesudah
menopause. Sesudah menopause, wanita

f
12
36
48

%
25.0
75.0
100

dapat kehilangan 2-5 % massa tulang


pertahun selama 5 tahun. Hal ini
mendatangkan risiko tinggi, karena tulang
menjadi rapuh dan mudah patah (Hutapea,
2005).Osteoporosis adalah suatu penyakit
dengan tanda utama berupa berkurangnya
kepadatan
tulang,
yang
berakibat
meningkatnya kerapuhan tulang dan

meningkatnya resiko patah tulang (Junaidi,


2007).
Penilaian
resiko
osteoporosis
dilakukan dengan menggunakan formulir
tes semenit resiko osteoporosis yang di
keluarkan
oleh
IOF
(International
Osteoporosis Foundation) berupa 10 item
pertanyaan yaitu pernah menderita patah
tulang, riwayat orang tua pernah
didiagnosa mengalami osteoporosis atau
pernah mengalami patah tulang, , pernah
minum obat kortikosteroid, tinggi badan
berkurang lebih dari 3 cm, secara teratur
minum minuman beralkohol, merokok
lebih dari 20 batang sehari, sering
menderita diare, mengalami menopause
sebelum usia 45 tahun (khusus untuk

wanita), haid pernah terhenti selama 12


bulan kecuali karena hamil dan menopause
(khusus
wanita),
pernah
menderita
impotensi, libido menurun atau gejala lain
yang
berhubungan
dengan
tingkat
testoteron yang rendah (khusus pria). Jika
salah satu jawaban adalah Ya ini berarti
seseorang beresiko terkena osteoporosis
(Depkes RI, 2008).
Dari tabel 6 terlihat bahwa lebih dari
separoh (75.0%) responden memiliki resiko
osteoporosis. Hal ini disebabkan oleh
banyak responden yang memiliki riwayat
menopuase sebelum umur 45 tahun,
memiliki riwayat fraktur akibat terjatuh,
memiliki orang tua yang mengalami
riwayat fraktur dan riwayat merokok.

7. Hubungan Jenis Kelamin dengan resiko Osteoporosis


Tabel 7 Hubungan Jenis Kelamin dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di
Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang
Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013

Jenis Kelamin
Pria
Wanita
Jumlah

Resiko Osteoporosis
Resiko Negatif
Resiko Positif
Total
F
%
F
%
8
53.3
7
46.7
15
4
12.1
29
87.9
33
12
36
48
value = 0.004

Dari tabel 7 terlihat bahwa dari 33


responden yang berjenis kelamin wanita
terdapat 29 responden (87.9%) memiliki
resiko positif osteoporosis sedangkan yang
memiliki resiko negatif osteoporosis
sebanyak 4 responden (12.1%).
Secara statistik dengan uji Chi-Square
menunjukkan nilai value = 0.004 ( <
0.05) yang berarti ada hubungan antara
jenis kelamin dengan resiko osteoporosis.
Wanita mempunyai risiko terkena
osteoporosis lebih besar dari pada pria.
Sekitar
80%
diantara
penderita
osteoporosis adalah wanita. Secara umum,
wanita menderita osteoporosis empat kali
lebih banyak daripada pria. Satu dari tiga
wanita memiliki kecendrungan untuk

%
100
100
100

menderita osteoporosis. Adapun kejadian


osteoporosis pada pria lebih kecil yaitu
satu dari tujuh pria. Hal ini terjadi antara
lain karena massa tulang wanita 4 lebih
kecil dibandingkan dengan pria. Nilai
massa tulang wanita umumnya hanya
sekitar 800 gram lebih kecil dibandingkan
dengan pria yaitu sekitar 1.200 gram.
Karena nilai massa tulang yang rendah
itulah maka kehilangan massa tulang yang
diikuti dengan kerapuhan tulang sangat
mungkin terjadi (Wirakusumah, 2007).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh
Fatmah (2008) dimana didapatkan temuan
lansia wanita 4 kali
lebih beresiko

mengalami osteoporosis di banding lansia


laki-laki.
Asumsi peneliti resiko lansia wanita
lebih tinggi mengalami osteoporosis
daripada pria karena wanita mengalami
menopause.
Menurunnya
hormon
estrogen saat menopause berkontribusi
pada peningkatan absorpsi kalsium dan
berperan dalam percepatan hilangnya
otot-otot rangka wanita saat menopause.
Setelah menopause akibat penurunan
8.

fungsi ovarium, keseimbangan antara


proses pembentukan tulang (osteoblast)
dan
proses
penghancuran
tulang
(osteoklas) mulai mengalami gangguan,
fungsi
osteoblas
menurun
dan
pembentukan tulang baru pun mulai
berkurang padahal osteoklast berlangsung
dengan sangat cepat. Selain itu wanita
lebih beresiko dari pada pria karena wanita
memiliki massa tulang yang lebih kecil dari
pada pria.

Hubungan umur dengan resiko osteoporosis

Tabel 8 Hubungan Umur dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian ApiApi Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2013

Umur
< 55 Tahun
55 Tahun
Jumlah

Resiko Osteoporosis
Resiko Negatif
Resiko Positif
Total
F
%
f
%
8
57.1
6
42.9
14
4
11.8
30
88.2
34
12
36
48
value = 0.002

Dari tabel 8 terlihat bahwa dari 34


responden yang berumur 55 tahun
terdapat 30 responden (88.2%) memiliki
resiko positif osteoporosis sedangkan yang
memiliki resiko negatif osteoporosis
sebanyak 4 responden (11.8%). Dari 14
responden yang berumur < 55 tahun
terdapat 8 responden (57.1%) tidak
memiliki resiko osteoporosis.
Secara statistik dengan uji ChiSquare menunjukkan nilai value = 0.002
( < 0.05) yang berarti ada hubungan
antara umur dengan risiko osteoporosis.
Semakin tua umur seseorang, risiko
terkena osteoporosis menjadi semakin
besar. Proses densitas (kepadatan) tulang
hanya berlangsung sampai seseorang
berumur 25 tahun. Selanjutnya, kondisi
tulang akan tetap konstan hingga usia 40
tahun. Setelah umur 40 tahun, densitas
tulang mulai berkurang secara perlahan.
Oleh karenanya, massa tulang akan
berkurang seiring dengan proses penuaan.

%
100
100
100

Berkurangnya massa tulang ini akan


berlangsung terus sepanjang sisa hidup.
Dengan demikian, osteoporosis pada
usia lanjut terjadi akibat berkurangnya
massa tulang. Pada lansia, kemampuan
tulang dalam menghindari keretakan akan
semakin menurun. Kondisi ini juga
diperparah
dengan
kecendrungan
rendahnya
konsumsi
kalsium
dan
kemampuan penyerapannya. Timbulnya
berbagai penyakit pada lansia juga akan
semakin
menurunkan
kemampuan
penyerapan
kalsium
maupun
meningkatnya
pengeluaran
kalsium.
(Wirakusumah, 2007).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh
Mamat Lukman (2008) di Desa Cijambu,
dimana terdapat hubungan antara usia
dengan resiko osteoporosis.
Asumsi peneliti, adanya hubungan
antara umur responden dengan resiko

osteoporosis, hal ini disebabkan oleh umur


seseorang sangat berpengaruh terhadap
kekuatan tulangnya. Usia akhir 30-an
tulang kehilangan kalsium lebih cepat dari
pada asupan kalsium. Dengan makin
bertambah usia, kemampuan tubuh
menyerap kalsium dari makanan yang
dimakan makin menurun. Berkurangnya
penyerapan
kalsium
menyebabkan

menurunnya kepadatan dan massa tulang


sehingga
berisiko
pengeroposan.
Osteoporosis erat kaitannya dengan
proses penuaan di mana cadangan kalsium
menipis dengan bertambahnya usia. Selain
itu penurunan massa tulang dapat terjadi
akibat proses penyusutan tulang yang
cepat dibanding proses pembentukan
tulang.

9. Hubungan tipe tubuh dengan resiko osteoporosis


Tabel 9 Hubungan Tipe Tubuh dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian
Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten
Pesisir Selatan Tahun 2013

Tipe Tubuh
Gemuk
Kurus
Jumlah

Resiko Osteoporosis
Resiko Negatif
Resiko Positif
Total
F
%
f
%
10
50.0
10
50.0
20
2
7.1
26
92.9
28
12
36
48
value = 0.002

Dari tabel 9 terlihat bahwa dari 28


responden yang memiliki tipe tubuh kurus
terdapat 26 responden (92.9%) memiliki
resiko positif osteoporosis sedangkan dari
20 responden yang memiliki tipe tubuh
gemuk terdapat 10 responden (50.0%)
memiliki resiko positif osteoporosis.
Secara statistik dengan uji Chi-Square
menunjukkan nilai value = 0.002 ( <
0.05) yang berarti ada hubungan antara
tipe tubuh dengan resiko osteoporosis.
Semakin kecil rangka tubuh maka semakin
besar
resiko
terkena
osteoporosis.
Demikian pula dengan wanita yang
mempunyai tubuh kurus cenderung
mempunyai resiko yang lebih tinggi
terkena osteoporosis dari pada yang
mempunyai berat badan lebih besar.
Faktor resiko yang dapat dikendalikan
berat
badan
adalah
faktor
yang
menentukan kepadatan tulang, tetapi bisa
juga berfungsi memberikan perlindungan
mekanis (Wirakusumah, 2007).

%
100
100
100

Badan
yang
gemuk
dapat
memberikan beban berat setiap hari pada
tulang untuk mendorong pembentukan
tulang, sama dengan olahraga. Badan yang
gemuk
juga
dapat
mempermudah
produksi hormon estrogen dari jaringan
lemak. Ini adalah satu-satunya manfaat
badan yang sedikit gemuk pada kesehatan.
Rangka tubuh atau bentuk tubuh dari
wanita menopause. Alat ukur yang
digunakan adalah antropometri dengan
skala interval (Cosman, 2009).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh
Fatmah (2008) dimana didapatkan adanya
hubungan antara tipe tubuh dengan risiko
osteoporosis.
Asumsi
peneliti,
terdapatnya
hubungan antara tipe tubuh dengan resiko
osteoporosis, hal ini disebabkan oleh
karena perawakan yang kurus memiliki
bobot tubuh cenderung ringan, padahal
tulang akan giat membentuk sel bila
ditekan oleh bobot yang berat. Karena

posisi tulang menyangga bobot maka


tulang akan terangsang untuk membentuk
massa pada area tersebut, terutama pada
daerah pinggul dan panggul. Selain itu
indeks massa tubuh yang kurang
menyebabkan jaringan lemak yang rendah
padahal
jaringan
lemak
dapat

menghasilkan estrogen yang dapat


berfungsi dalam pemeliharaan tulang.

10. Hubungan aktivitas fisik dengan resiko osteoporosis


Tabel 10

Hubungan Aktivitas Fisik dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di


Kenagarian Api-Api Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang
Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013

Aktivitas Fisik
Tinggi
Rendah
Jumlah

Resiko Osteoporosis
Resiko Negatif
Resiko Positif
Total
F
%
f
%
11
78.6
3
21.4
14
1
2.9
33
97.1
34
12
36
48
value = 0.000

Dari tabel 10 terlihat bahwa dari 34


responden yang memiliki aktivitas fisik
rendah terdapat 33 responden (97.1%)
memiliki resiko positif osteoporosis
sedangkan dari 14 responden yang
memiliki aktivitas tinggi terdapat 11
responden (78.6%) memiliki resiko negatif
osteoporosis.
Secara statistik dengan uji ChiSquare menunjukkan nilai value = 0.000
( < 0.05) yang berarti ada hubungan
antara aktivitas fisik (olahraga) dengan
resiko osteoporosis.
Semakin
rendah
aktivitas
fisik,
semakin besar risiko terkena osteoporosis.
Hal ini terjadi karena aktivitas fisik
(olahraga) dapat membangun tulang dan
otot
menjadi
lebih
kuat,
juga

%
100
100
100

meningkatkan keseimbangan metabolisme


tubuh (Wirakusumah, 2007).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh
Fatmah (2008) dimana terdapat tingginya
persentase resiko osteoporosis pada
responden dengan tingkat aktivitas fisik
rendah.
Asumsi
peneliti,
terdapatnya
hubungan antara aktivitas fisik dengan
resiko osteoporosis, karena kegiatan fisik
(olahraga) yang kurang menyebabkan
pembentukan tulang tidak maksimal.
Kurangnya
berolahraga
juga
dapat
menghambat proses pembentukan tulang
sehingga
kepadatan
tulang
akan
berkurang.

11. Hubungan diet dengan resiko osteoporosis


Tabel 11 Hubungan Diet dengan Resiko Osteoporosis Pada Lansia di Kenagarian ApiApi Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2013

Diet

Resiko Osteoporosis
Resiko Negatif
Resiko Positif

Total

Cukup Kalsium & Fosfor


Tidak Cukup Kalsium &
Fosfor
Jumlah

F
7

%
70.0

f
3

%
30.0

5
12

13.2

33
36

86.8

Dari tabel 11 terlihat bahwa dari 38


responden yang memiliki diet yang tidak
cukup kalsium dan fosfor terdapat 33
responden (86.8%) memiliki resiko positif
osteoporosis sedangkan dari 10 responden
yang memiliki diet cukup kalsium dan
fosfor
terdapat 3 responden (30%)
memiliki resiko positif osteoporosis.
Secara statistik dengan uji Chi-Square
menunjukkan nilai value = 0.001 ( <
0.05) yang berarti ada hubungan antara
diet dengan resiko osteoporosis Secara
statistik
dengan
uji
Chi-Square
menunjukkan nilai value = 0.001 ( <
0.05) yang berarti ada hubungan antara
diet dengan resiko osteoporosis.
Pola makan yang tidak seimbang
yang kurang memperhatikan kandungan
gizi seperti kalsium, fosfor dan vitamin D
dapat
beresiko
menimbulkan
osteoporosis.. Makanan sumber kalsium,
fosfor, dan vitamin D yang dikonsumsi
cukup sejak usia dini dapat membantu
memperkuat massa tulang, mencegah
pengaruh negatif dari berkurangnya
keseimbangan kalsium dan mengurangi
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil yang diperoleh dalam
penelitian tentang penelitian yang telah
dilakukan pada bulan Januari 2013 tentang
faktor faktor yang berhubungan dengan
resiko osteoporosis pada lansia di
kenagarian Api-Api Kecamatan Bayang
Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2013,
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Lebih dari separoh (68,8%) responden
berjenis kelamin perempuan pada
lansia di kenagarian Api-Api wilayah
kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
2. Lebih dari separoh (70,8%) responden
berumur 55 tahun pada lansia di

10

100

38
100
48
100
value = 0.001

tingkat kehilangan massa kalsium pada


tahun-tahun selanjutnya (Wirakusumah,
2007).
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Sri
Prihartini,dkk
(2010) dimana terdapat
tingginya proporsi resiko osteoporosis
pada responden dengan asupan kalsium
dan fosfor < 70 %.
Asumsi
peneliti,
terdapatnya
hubungan antara diet dengan resiko
osteoporosis, karena Kalsium merupakan
komponen utama pembentuk tulang, yang
akan memicu tekanan mekanik pada
tulang, meningkatkan aktivitas osteoblas
sehingga meningkatkan kepadatan massa
tulang. Selain itu diet yang kurang kalsium
yang
kurang
menyebabkan
tubuh
kekurangan kalsium
sehingga tubuh
mengkompensasi pengeluaran hormon
yang akan mengambil kalsium dari bagian
tubuh yang lain termasuk dari tulang
sehingga beresiko terhadap pengeroposan
tulang.
kenagarian Api-Api wilayah kerja
Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
3. Lebih dari separoh (58,3%) responden
memiliki tipe tubuh kurus pada lansia di
kenagarian Api-Api wilayah kerja
Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
4. Lebih dari separoh (70,8%) responden
memiliki aktivitas fisik rendah pada
lansia di kenagarian Api-Api wilayah
kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
5. Lebih dari separoh (79,2%) responden
memiliki diet tidak cukup kalsium pada
lansia di kenagarian Api-Api wilayah

kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan


Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
6. Lebih dari separoh (75,0%) responden
memiliki resiko positif osteoporosis
pada lansia di kenagarian Api-Api
wilayah kerja Puskesmas Pasar Baru
Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2013.
7. Ada hubungan antara jenis kelamin
dengan resiko osteoporosis pada pada
lansia di kenagarian Api-Api wilayah
kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
8. Ada hubungan antara umur dengan
resiko osteoporosis pada pada lansia di
kenagarian Api-Api wilayah kerja
Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
9. Ada hubungan antara tipe tubuh
dengan resiko osteoporosis pada pada
lansia di kenagarian wilayah kerja
Puskesmas
Pasar
Baru
Api-Api
Kecamatan Bayang Kabupaten Pesisir
Selatan Tahun 2013.
10. Ada hubungan antara aktivitas fisik
dengan resiko osteoporosis pada pada
lansia di kenagarian Api-Api wilayah
kerja Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.
11. Ada hubungan antara diet dengan
resiko osteoporosis pada pada lansia di
kenagarian Api-Api wilayah kerja
Puskesmas Pasar Baru Kecamatan
Bayang Kabupaten Pesisir Selatan
Tahun 2013.

Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan


dari hasil penelitian maka peneliti
menyarankan :
1.

2.

3.

Kepada masyarakat agar dapat


memodifikasi pola hidup khususnya
lansia dengan cara memperhatikan
asupan zat gizi utama tulang yaitu
kalsium dan fosfor, berolahraga
secara
teratur,
menghentikan
kebiasaan merokok sehingga dapat
mengurangi angka kesakitan dan
kematian akibat osteoporosis dengan
cara menyebarkan leaflet-leaflet yang
berisikan
informasi
tentang
pencegahan osteoporosis.
Kepada
Puskesmas
khususnya
program Promkes dan Perkesmas
agar dapat memberikan penyuluhan
kesehatan pada lansia tentang
osteoporosis terutama tentang cara
mempertahankan kepadatan tulang
dengan mengkonsumsi zat gizi tinggi
kalsium dan fosfor, melakukan
aktifitas olahraga secara teratur serta
dengan menghindari faktor resiko dan
melakukan skrining faktor resiko
khususnya
kepada
lansia
agar
kejadian osteoporosis dapat dicegah
secara dini.
Kepada Peneliti Lain agar data ini
dapat dijadkan data awal dalam
penelitian selanjutnya yang lebih
mendalam yang berhubungan dengan
faktor resiko osteoporosis
dalam
desain, sampel dan alat ukur yang
berbeda dan tidak terbatas pada
variabel-variabel yang
tercantum
dalam penelitian saja sehingga dapat
diketahui faktor-faktor lain yang
berhubungan
dengan
resiko
osteoporosis.

DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Eko.2002. Biostatistik untuk
kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Jakarta : EGC
Cosman, Felicia. 2009.
Panduan Lengkap

Osteoporosis:
agar Tulang

Anda Tetap Sehat. Yogyakarta: BFirst


Hutapea, Ronald. 2005. Sehat dan Ceria di
Usia Senja. Jakarta: Rineka Cipta

Junaidi, Iskandar. 2007. Osteoporosis.


Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Suharsimi Arikunto, 2010. Metodologi
Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta

Purwoastuti, Endang. 2009. Waspada


Osteoporosis. Yogyakarta : Kanisius
Sutanto, Luciana B. 2005. Menopause.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Waluyo, Srikandi. 2010. 100 Questions &
Answers Menopause atau Mati
Haid.
Jakarta:Elek
Media
Komputindo
Wirakusumah, Emma S. 2007. Mencegah
Osteoporosis Lengkap dengan 39
Jus dan 38 Resep Masakan. Jakarta:
Penebar Plus
Tandra, Hans. 2009. Segala Sesuatu Yang
harus Anda Ketahui Tentang
Osteoporosis, Mengenal, Mengatasi
dan Mencegah Tulang Keropos,
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Ode, Sharif La. 2012. Asuhan Keperawatan
Gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika

Noorkasiani, S. Tamher. 2011. Kesehatan


Usia Lanjut dengan Pendekatan
Asuhan Keperawatan, Jakarta :
Salemba Medika
Clupster. 2009. Bahaya Osteoporosis.
http://clupst3r.wordpress.com/200
9/10/12/bahaya-osteoporosis/.
Diakses tanggal 10 November
2011
Depkes RI. 2008. Berdiri Tegak, Bicara
Lantang, Kalahkan Osteoporosis.
http://www.depkes.go.id/index.ph
p/berita/press-release/404-berdiritegak-bicara-lantang-kalahkanosteoporosis.html. Diakses tanggal
11 november 2012
http://www.jurnalkesehatan.info/mencegah
-osteoporosis-denganberolahraga-secara-teratur.
Diakses tanggal 15 November
2012
http://databaseartikel.com/kesehatan/peny
akit-kesehatan/20115622mengenal-osteoporosis.html
Http://Onrongmarokinarisal.Blogspot.Com
/2011/12/Anatomi-TulangManusia.Html.Diakses Tanggal 20
Desember 2011

Anda mungkin juga menyukai

  • Tumor Sinonasal
    Tumor Sinonasal
    Dokumen8 halaman
    Tumor Sinonasal
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Peraturan Dokter Muda Bedah Kelompok Black Dog
    Peraturan Dokter Muda Bedah Kelompok Black Dog
    Dokumen5 halaman
    Peraturan Dokter Muda Bedah Kelompok Black Dog
    Editia Subihardi
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Alur Hidup Neti 6 Minggu
    Alur Hidup Neti 6 Minggu
    Dokumen1 halaman
    Alur Hidup Neti 6 Minggu
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Slide Neti
    Slide Neti
    Dokumen29 halaman
    Slide Neti
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Mamake
    Mamake
    Dokumen4 halaman
    Mamake
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • OPTIMASI PDPH
    OPTIMASI PDPH
    Dokumen9 halaman
    OPTIMASI PDPH
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Mamski
    Mamski
    Dokumen13 halaman
    Mamski
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • 1 5
    1 5
    Dokumen4 halaman
    1 5
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Maaf Bu Khaaall
    Maaf Bu Khaaall
    Dokumen10 halaman
    Maaf Bu Khaaall
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Hepattiis B
    Hepattiis B
    Dokumen18 halaman
    Hepattiis B
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Kebocoran Plasma Pada DBD
    Kebocoran Plasma Pada DBD
    Dokumen4 halaman
    Kebocoran Plasma Pada DBD
    Dhonat Flash
    Belum ada peringkat
  • Stroke
    Stroke
    Dokumen46 halaman
    Stroke
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Naskah Ujian Neti
    Naskah Ujian Neti
    Dokumen20 halaman
    Naskah Ujian Neti
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen4 halaman
    Bab 1
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Soal Ujian Uas Semester Vii 2008
    Soal Ujian Uas Semester Vii 2008
    Dokumen11 halaman
    Soal Ujian Uas Semester Vii 2008
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Responsi Paru Rian
    Responsi Paru Rian
    Dokumen38 halaman
    Responsi Paru Rian
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Book 1
    Book 1
    Dokumen2 halaman
    Book 1
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Responsi
    Responsi
    Dokumen39 halaman
    Responsi
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Bulu Babi 2
    Bulu Babi 2
    Dokumen2 halaman
    Bulu Babi 2
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • 10 Penyakit Terbanyak Gakin
    10 Penyakit Terbanyak Gakin
    Dokumen9 halaman
    10 Penyakit Terbanyak Gakin
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Nar Koba
    Nar Koba
    Dokumen33 halaman
    Nar Koba
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Tutorial EKG Dasar Dan PJK
    Tutorial EKG Dasar Dan PJK
    Dokumen27 halaman
    Tutorial EKG Dasar Dan PJK
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen9 halaman
    Bab 1
    Khalida Nacharyta Failasufi
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Scabies
    Penyuluhan Scabies
    Dokumen15 halaman
    Penyuluhan Scabies
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat
  • Nar Koba
    Nar Koba
    Dokumen33 halaman
    Nar Koba
    Netii Farhati
    Belum ada peringkat