Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang bearti hijau kebiruan, yang

memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma

mengakibatkan lapang pandang seseorang menghilang dengan atau tanpa gejala. Hal

ini disebabkan oleh faktor kongenital atau didapat setelah dilahirkan (acquired) (Ilyas

& Yuliati, 2012).

Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat ditandai oleh

pencekungan (cupping) diskus optikus, dan pengecilan lapangan pandang; biasanya

disertai peningkatan tekanan intraokular. Pada glaukoma akan terdapat melemahnya

fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan kerusakan anatomi berupa

ekskavasi (penggaungan/cupping) serta degenerasi papil saraf optik yang dapat

berakhir dengan kebutaan (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokular ini disebabkan

oleh bertambahnya produksi cairan mata oleh badan siliar dan berkurangnya

pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau dicelah pupil (glaukoma

hambatan pupil) (Ilyas & Yuliati, 2012)

World Health Organization (WHO) tahun 2002 mengungkapkan bahwa

glaucoma merupakan penyebab kebutaan paling banyak kedua setelah katarak dengan

prevalensi sekiar 4,4 juta (sekitar 12,3% dari jumlah kebutaan di dunia). Pada tahun

2020 jumlah kebutaan akibat glaukoma diperkirakan meningkat menjadi 11,4 juta.

Prevalensi glaukoma juga diperkirakan meningkat, dari 60,5 juta pada tahun 2010

1
menjadi 79,6 juta pada tahun2020. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2007, prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6% (WHO, 2002; Rikesdas,

2007).

Glaukoma dibagi menjadi glaukoma primer (sudut terbuka dan tertutup),

glaukoma kongenital (glaukoma pada bayi), glaukoma sekunder dan glaukoma

absolut (glaukoma yang tidak terkontrol) (Ilyas & Yuliati, 2012).

Glaukoma kongenital adalah glaukoma yang paling sering terjadi pada anak

dan merupakan penyebab penting kebutaan pada anak. Glaukoma kongenital terjadi

karena saluran pembuangan tidak terbentuk dengan baik atau bahkan tidak terbentuk

sama sekali. Glaukoma kongenital dibagi menjadi tiga tipe, yaitu glaukoma

kongenital primer, anomali perkembangan segmen anterior, dan berbagai kelainan

lain termasuk aniridia (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Tanda dan gejala klinis glaukoma kongenital ini mencakup tiga tanda klasik

berupa epifora, fotofobia, dan blefarospasme. Pemeriksaan klinis pada glaukoma

kongenital akut sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum. Pemeriksaan tersebut

berupa pemeriksaan mata luar, tajam penglihatan, tonometri, gonioskopi,

oftalmoskopi dan ultrasonografi (Liesegang & Skuta, 2005).

Glaukoma kongenital primer, dihitung kira-kira 50%-70% dari glaukoma

kongenital, terjadi kurang daripada glaukoma dewasa primer dan jarang terjadi (1

dalam 10.000 kelahiran) Liesegang & Skuta, 2005).

Glaukoma kongenital terjadi sejak lahir, atau pada tahun pertama setelah lahir.

Kelainan ini terjadi karena terhentinya pertumbuhan struktur sudut iridokorneal sejak

dalam kandungan kira-kira saat janin berumur 7 bulan. Komplikasi glaukoma yang

2
tidak terdiagnosis bisa kelemahan penglihatan sepanjang hidup. Prognosis buruk

terjadi pada bayi dengan peningkatan TIO dan kekeruhan kornea saat lahir. Pada

kasus yang tidak diobati, kebutaan timbul dini (Blanco, Wisco & Costa, 2002;

Yanoff, Duker & Ausburger, 2004; Suhardjo & Hartono, 2007; Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Bola Mata

Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian anterior

bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat bentuk

dengan dua kelengkungan berbeda (Ilyas & Yuliati, 2012).

Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang

bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola

mata terdapat cairan aqueous humor, lensa dan vitreous humor (Ilyas & Yuliati,

2012).

(http://www.eyesandeyesight.com/)
Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata

4
2.1.1 Konjungtiva Bulbi

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva berbatasan

dengan kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di limbus (Eva,

Vaughan & Asbury’s, 2009).

2.1.2 Sklera

Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk pada

mata. Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata.

Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang

memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata (Ilyas & Yuliati, 2012).

2.1.3 Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus

cahaya dam merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah

depan.15 Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar

pada sambungan ini disebut sulcus scleralis(Ilyas & Yuliati, 2012; Eva,

Vaughan & Asbury’s, 2009).

Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm di pusatnya (terdapat

variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya

10,6 mm (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

5
Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:

1. Epitel

Tebal dari epitel ini adalah 50 μm. Epitel kornea mempunyai lima lapis

sel epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel poligonal, dan sel

gepeng.

2. Membran Bowman

Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea

yang merupakan kolagen yang tersususn tidak teratur seperti stroma dan

berasal dari bagian depan stroma.

3. Stroma

Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri

atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan

lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian

perifer serta kolagen ini bercabang.

4. Membran Descement

Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan

batas belakang stroma kornea.

5. Endotel

Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal,

dan tebalnya 20-40 μm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan

deturgesensi stroma kornea.

(Ilyas & Yuliati, 2012)

6
(http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/)
Gambar 2.2 Lapisan Kornea

2.1.4 Uvea

Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh

kornea dan sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Iris

Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai

permukaan yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di

tengahnya, yang disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk mengatur

banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata secara otomatis dengan

mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis) pupil (Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009).

2. Badan Siliar

Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi

mengubah tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek

dekat maupun jauh dalam lapang pandang. Badan siliar terdiri atas zona

7
anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm) yang merupakan

pembentuk aqueous humor, dan zona posterior yang datar, pars plana (4

mm) (Ilyas & Yuliati, 2012; Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

3. Koroid

Koroid merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan

sklerayang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah besar, berfungsi

untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di bawahnya

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

2.1.5 Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan

hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di

sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya terdapat vitreous

humor (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang akan

memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis

epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan

korteks terbentuk dari lamela konsentris yang panjang (Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009).

Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang

dikenal sebagai zonula Zinii, yang tersusun dari banyak fibril yang berasal dari

permukaan badan siliar dan menyisip ke dalam ekuator lensa (Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009).

8
2.1.6 Aqueous Humor

Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik

mata belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan,

kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan (Eva, Vaughan & Asbury’s,

2009).

2.1.7 Viterous Humor

Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular

yang membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Permukaan luar vitreous

humor normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsul lensa

posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi

optici. Basis vitreous mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke

lapisan epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora serrate (Eva, Vaughan

& Asbury’s, 2009).

Vitreous humor mengandung air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua

komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi

mirip gel karena kemampuannya mengikat banyak air (Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009).

2.1.8 Retina

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung

reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Lapisan-lapisan retina mulai dari

sisi luar yang berbatas dengan koroid adalah sebagai berikut:

1. Epitel pigmen retina (membrane brunch)

9
2. Fotoreseptor

Lapisan fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel kerucut.

3. Membran limitan eksterna

4. Lapisan nukleus luar

Lapisan nukleus luar merupakan susunan nukleus sel kerucut dan sel

batang.

Keempat lapisan di atas avaskuler dan mendapat nutrisi dari kapiler koroid.

5. Lapisan pleksiform luar

Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat sinapsis sel

fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

6. Lapisan nucleus dalam

Lapisan ini terdiri dari tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel

Muller serta didarahi oleh arteri retina sentral.

7. Lapisan plexiform dalam

Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat sinaps sel bipolar dan

sel amakrin dengan sel ganglion.

8. Lapisan sel ganglion

Lapisan ini merupakan lapisan badan sel dari neuron kedua.

9. Serabut saraf

Lapisan serabut saraf berupa akson sel ganglion yang menuju ke arah

saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh

darah retina.

10
10. Membran limitan interna

Membran limitan interna berupa membran hialin antara retina dan vitreous

humor.

(Ilyas & Yuliati, 2012)

(http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/)
Gambar 2.3 Lapisan Retina

2.2 Anatomi Sudut Filtrasi

(www.berwickeye.com)
Gambar 2.4 Anatomi Badan Siliar

11
Sudut filtrasi merupakan bagian yang penting dalam pengaturan cairan bilik

mata. Sudut ini terdapat di dalam limbus kornea. Limbus adalah bilik mata. Sudut ini

terdapat di dalam limbus kornea. Limbus adalah bagian yang dibatasi oleh garis yang

menghubungkan akhir dari membrane descement dan membrane Bowman. Akhir dari

membrane Descement disebut garis Schwalbe (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009;

Kansky, 1992; Epstein, 1986).

Limbus terdiri dari 2 lapisan yaitu epitel dan strima. Epitelnya 2 kali ketebalan

epitel kornea. Di dalam stroma terdapat serat-serat saraf dan cabang akhir dari arteri

siliaris anterior (Ilyas & Yuliati, 2012).

Bagian terpenting dari sudut filtrasi adalah trabecular, yang terdiri dari:

1. Trabekula korneoskleral

Serabut yang berasal dari lapisan stroma kornea dan menuju kebelakang

mengelilingi kanalis Schlem untuk berinsesi pada sclera.

2. Trabekula uveal

Serabut yang berasal dari lapisan dalam stroma kornea, menuju ke

scleral spur (insersi dari M.Ciliaris) dan sebagian ke M.Ciliaris meridional.

Serabut yang berasal dari akhir membrane descemet (garis schwalbe)

Serabut ini menuju ke jaringan pengikat M.Ciliaris radialis dan sirkularis .

3. Ligamentum pegtinatum rudimenter

Ligamentum ini berasal dari dataran depan iris menuju ke depan

trabekula.

Trabekula terdiri dari jaringan kolagen, homogen, elastis dan seluruhnya

diliputi oleh endotel. Keseluruhannya merupakan sponge yang tembus pandang,

12
sehingga bila ada darah didalam kanalis schlem, dapat terlihat dari luar (The Eye M.D

Association, 2001).

Kanalis schlem merupakan kapiler yang dimodofikasi, yang mengelilingi

kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel, diameternya 0,5mm. pada dinding

sebelah dalam, terdapat lubang-lubang sehingga terdapat hubungan langsung anatar

trabekula dan kanalis schlem. Dari kanalis schlem keluar saluran kolektor 20-30

buah, yang menuju ke plexus vena didalam jaringan schlera dan episklera dan vena

Ciliaris anterior di badan siliar (The Eye M.D Association, 2001).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Humor Aqueous

2.3.1 Anantomi Humor Aqueous

Aqueous humor adalah cairan jernih yang dibentuk oleh korpus siliaris

dan mengisi bilik mata anterior dan posterior. Aqueous humor mengalir dari

korpus siliaris melewati bilik mata posterior dan anterior menuju sudut kamera

okuli anterior. Aqueous humor diekskresikan oleh trabecular meshwork

(Simmons et al, 2007).

Prosesus siliaris, terletak pada pars plicata adalah struktur utama korpus

siliaris yang membentuk aqueous humor. Prosesus siliaris memiliki dua lapis

epitelium, yaitu lapisan berpigmen dan tidak berpigmen. Lapisan dalam epitel

yang tidak berpigmen diduga berfungsi sebagai tempat produksi aqueous

humor (Solomon, 2002 & Simmons et al, 2007).

Sudut kamera okuli anterior, yang dibentuk oleh pertautan antara kornea

perifer dan pangkal iris, merupakan komponen penting dalam proses pengaliran

13
aqueous humor. Struktur ini terdiri dari Schwalbe’s line, trabecular meshwork

dan scleral spur (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Trabecular meshwork merupakan jaringan anyaman yang tersusun atas

lembar-lembar berlubang jaringan kolagen dan elastik. Trabecular meshwork

disusun atas tiga bagian, yaitu uvea meshwork (bagian paling dalam),

corneoscleral meshwork (lapisan terbesar) dan juxtacanalicular/endothelial

meshwork (lapisan paling atas). Juxtacanalicular meshwork adalah struktur

yang berhubungan dengan bagian dalam kanalis Schlemm (Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009 & Cibis, Beaver & Jhons et al, 2007).

(Cibis, Beaver & Jhons et al, 2007)

Gambar 2.5 Trabecular meshwork

Kanalis schlemm merupakan lapisan endotelium tidak berpori dan lapisan

tipis jaringan ikat. Pada bagian dalam dinding kanalis terdapat vakuola-vakuola

berukuran besar, yang diduga bertanggung jawab terhadap pembentukan

gradient tekanan intraokuli (Cibis, Beaver & Jhons et al, 2007).

14
Aqueous humor akan dialirkan dari kanalis Schlemm ke vena episklera

untuk selanjutnya dialirkan ke vena siliaris anterior dan vena opthalmikus

superior. Selain itu, aqueous humor juga akan dialirkan ke vena konjungtival,

kemudian ke vena palpebralis dan vena angularis yang akhirnya menuju ke

vena ophtalmikus superior atau vena fasialis. Pada akhirnya, aqueous humor

akan bermuara ke sinus kavernosus (Solomon, 2002).

2.3.2 Fisiologi Humor Aqueous

Tekanan intraokuler ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor

aqueous dan tahanan terhadap aliran keluarnya humor aqueous. Aqueous humor

diproduksi dengan kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi bilik anterior sebanyak

250 μL serta bilik posterior sebanyak 60 μL. Tekanan osmotic humor aqueous

sedikit lebih tinggi daripada plasma. Komposisi humor aqueous serupa dengan

plasma kecuali bahwacairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan

laktat yang lebih tinggi dan protein, urea, dan glukosa yang lebih rendah.

Aqueous humor berfungsi memberikan nutrisi (berupa glukosa dan asam

amino) kepada jaringan-jaringan mata di segmen anterior, seperti lensa, kornea

dan trabecular meshwork. Selain itu, zat sisa metabolisme (seperti asam piruvat

dan asam laktat) juga dibuang dari jaringan-jaringan tersebut. Fungsi yang tidak

kalah penting adalah menjaga kestabilan tekanan intraokuli, yang penting untuk

menjaga integritas struktur mata. Aqueous humor juga menjadi media transmisi

cahaya ke jaras penglihatan (Ilyas & Yuliati, 2012; Solomon, 2002 & Cibis,

Beaver, Jhons et al, 2007).

15
Tabel 2.1 Perbandingan Komposisi Aqueous Humor, Plasma dan Vitreous Humor.
Komponen (mmol/kg H2O) Plasma Aqueous Humor Vitreous Humor
Na 146 163 144
Cl 109 134 114
HCO3 28 20 20-30
Askorbat 0,04 1,06 2,21
Glukosa 6 3 3,4

Humor aqueous diproduksi oleh korpus siliaris. Ultrafiltrat plasma yang

dihasilkan di stroma procesus siliaris dimodifikasi oleh fungsi sawar dan

procesus sekretorius epitel siliaris. Setelah masuk ke kamera posterios, humor

aqueous mengalir melalui pupil ke kamera anterior lalu kejalinan terbekula

disudut kamera anterior. Selama periode ini, terjadi pertukaran differential

komponen-komponen dengan darah di iris. Peradangan atau trauma intraokuler

dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi protein. Hal ini disebut humor

aqueous plasmoid dan sangat mirip dengan serum darah (Liesegang & Skuta,

2005; Solomon, 2002).

Produksi aqueous humor melibatkan beberapa proses, yaitu transport

aktif, ultrafiltrasi dan difusi sederhana. Transport aktif di sel epitel yang tidak

berpigmen memegang peranan penting dalam produksi aqueous humor dan

melibatkan Na+/K+-ATPase. Proses ultrafiltrasi adalah proses perpindahan air

dan zat larut air ke dalam membran sel akibat perbedaan tekanan osmotik.

Proses ini berkaitan dengan pembentukan gradien tekanan di prosesus siliaris.

Sedangkan proses difusi adalah proses yang menyebabkan pertukaran ion

melewati membrane melalui perbedaan gradien electron (Simmons et al, 2007).

16
(Ilyas & Yuliati, 2012)
Gambar 2.6 Fisiologi Aliran Humor Aqueous

Jalinan trabekula terdiri dari berkas-berkas jaringan kolagen dan elastic

yang dibungkus oleh sel-sel trabekula yang membentuk suatu saringan dengan

ukuran pori-pori semakin mengecil sewaktu mendekati kanalis schlemm.

Kontraksi otot ciliaris melalui insersinya kedalam jalinan trabekula

memperbesar ukuran pori-pori dijalinan tersebut sehingga kecepatan drainase

humor aqueous juga meningkat (Solomon, 2002).

Aliran humor aqueous kedalam kanalis schlemm bergantung pada

pembentukan saluran-saluran transeluler siklik dilapisan endotel. Saluran

efferens dari kanalis schlemm (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena

aquous) menyalurkan cairan kedalam system vena. Sejumlah kecil humor

aqueous keluar dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat sela-sela sclera

(aliran uveo scleral) (Solomon, 2002).

17
Sistem pengaliran aqueous humor terdiri dari dua jenis sistem pengaliran

utama, yaitu aliran konvensional/ trabecular outflow dan aliran

nonkonvensional/ uveoscleral outflow. Trabecular outflow merupakan aliran

utama dari aqueous humor, sekitar 90% dari total. Aqueous humor mengalir

dari bilik anterior ke kanalis Schlemm di trabecular meshwork dan menuju ke

vena episklera, yang selanjutnya bermuara pada sinus kavernosus. Sistem

pengaliran ini memerlukan perbedaan tekanan, terutama di jaringan trabecular

(Solomon, 2002).

Uveoscleral outflow, merupakan sistem pengaliran utama yang kedua,

sekitar 5-10% dari total. Aqueous humor mengalir dari bilik anterior ke

muskulus siliaris dan rongga suprakoroidal lalu ke vena-vena di korpus siliaris,

koroid dan sklera. Sistem aliran ini relatif tidak bergantung kepada perbedaan

tekanan (Solomon, 2002).

(Solomon, 2002)
Gambar 2.7 Trabecular Outflow (kiri) dan Uveosceral Outflow (kanan)

18
2.4 Tekanan Intra Okuli

Tekanan intraokuli merupakan kesatuan biologis yang menunjukkan fluktuasi

harian. Tekanan yang tepat adalah syarat untuk kelangsungan penglihatan yang

normal yang menjamin kebeningan media mata dan jarak yang konstan antara kornea

dengan lensa dan lensa dengan retina. Homeostasis tekanan intraokular terpelihara

oleh mekanisme regulasi setempat atau sentral yang berlangsung dengan sendirinya

(Hollwich & Fritz, 2002)

Tekanan mata yang normal berkisar antara 10-22 mmHg. Tekanan intraokuli

kedua mata biasanya sama dan menunjukkan variasi diurnal. Pada malam hari, karena

perubahan posisi dari berdiri menjadi berbaring, terjadi peningkatan resistensi vena

episklera sehingga tekanan intraokuli meningkat. Kemudian kondisi ini kembali

normal pada siang hari sehingga tekanan intraokuli kembali turun. Variasi nomal

antara 2-6 mmHg dan mencapai tekanan tertinggi saat pagi hari, sekitar pukul 5-6

pagi (Hollwich & Fritz, 2002; Simmons et al, 2007 & Doshi, Liu & Weinreb, 2010).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intraokuli, antara lain

keseimbangan dinamis produksi dan ekskresi aqueous humor, resistensi permeabilitas

kapiler, keseimbangan tekanan osmotik, posisi tubuh, irama sirkadian tubuh, denyut

jantung, frekuensi pernafasan, jumlah asupan air, dan obat-obatan (Simmons et al,

2007).

2.5 Definisi Glaukoma dan Glaukoma Kongenital

Glaukoma merupakan kelompok penyakit yang biasanya memilik satu

gambaran berupa kerusakan nervus optikus yang bersifat progresif yang disebabkan

karena peningkatan tekanan intraokuler. Sebagai akibatnya akan terjadi gangguan

19
lapang pandang dan kebutaan. Glaukoma adalah sekumpulan gejala yang dapat

menimbulkan neuropati optik yang ditandai dengan defek lapangan pandang, faktor

utamanya adalah tekanan intraokular (TIO) yang tinggi sebagai faktor resiko utama

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009)


Gambar 2.9 Peninggian Tekanan Bola Mata

Glaukoma pada anak biasanya dihasilkan dari kelainan dalam perkembangan

struktur bagian depan bola mata. Kelainan ini menghasilkan tekanan bola mata yang

tinggi. Peninggian tekanan mata menyebabkan kerusakan saraf optik dan kehilangan

penglihatan yang ditandai dengan penyempitan lapang pandang (Ilyas & Yuliati,

2012).

Glaukoma kongenital adalah suatu glaukoma yang terjadi pada bayi atau anak-

anak terjadi akibat penutupan bawaan dari sudut iridokorneal oleh suatu membran

yang dapat menghambat aliran dari humor aqueous sehingga dapat meningkatkan

tekanan intra okuler. Kondisi ini progresif dan biasanya bilateral dan dapat merusak

saraf optic (Liesegang & Skuta, 2005).

20
Glaukoma kongenital, khususnya sebagai glaukoma infantil (buftalmos), adalah

glaukoma akibat penyumbatan pengaliran keluar cairan mata oleh jaringan sudut bilik

mata yang terjadi oleh adanya kelainan kongenital. Kelainan ini akibat terdapatnya

membran kongenital yang menutupi sudut bilik mata pada saat perkembangan bola

mata, kelainan pembentukan kanal schlemm dan saluran keluar cairan mata yang

tidak sempurna terbentuk (Ilyas & Yuliati, 2012).

(Liesegang & Skuta, 2005)


Gambar 2.9 Pasien dengan Glaukoma Kongenital

2.6 Klasifikasi Glaukoma Kongenital

Glaukoma kongenital ini terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Glaukoma kongenital primer, menunjukkan kelainan perkembangan yang

terbatas pada sudut bilik mata depan.

2. Anomali perkembangan segmen anterior: sindrom Axenfeld-Reiger dan

anomali Peters, keduanya disertai kelainan perkembangan iris dan kornea.

3. Berbagai kelainan lain termasuk: aniridia, sindrom Sturge-Weber,

neurofibromatosis-1, sindrom Lowe, dan rubella kongenital.

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009)

Glaukoma kongenital primer, atau infantile terjadi saat lahir atau dalam tahun

pertama kehidupan. Kondisi ini terjadi karena abnormalitas pada perkembangan

21
anterior chamber angle yang menghambat aliran aqueous pada ketiadaan anomali

sistemik atau malformasi okular lainnya. Glaukoma infantile sekunder berhubungan

dengan inflamasi, neoplastik, hamartomatous, metabolik atau abnormalitas kongenital

lainnya. Glaukoma juvenile primer disadari kemudian pada masa kanak-kanak

(umumnya setelah umur 3 tahun) atau pada awal masa dewasa (Liesang & Skuta,

2005).

2.6.1 Glaukoma Kongenital Primer (Trabekulodisgenesis)

Glaukoma kongenital primer terjadi akibat terhentinya perkembangan

struktur sudut kamera anterior pada usia janin sekitar tujuh bulan. Iris

mengalami hipoplasia dan berinsersi ke permukaan trabekula di depan taji

sklera yang kurang berkembang, sehingga jalinan trabekula terhalang dan

timbul gambaran suatu membran (Membran Barkan) menutupi sudut (Eva,

Vaughan & Asbury’s, 2009).

Sebagian besar pasien datang pada usia 3 sampai 9 bulan. Terapi pilihan

adalah Goniotomi. Goniotomi sekali atau berulang menghasilkan kontrol

permanen atas tekanan intraokular pada 85% kasus. Pada pasien yang datang

lebih lambat, goniotomi kurang berhasil dan mungkin perlu dilakukan

trabekulektomi. Prognosis penglihatan menjadi lebih buruk (Eva, Vaughan &

Asbury’s, 2009).

2.6.2 Anomali Perkembangan Segmen Anterior

Kelompok penyakit yang jarang ini, mencerminkan suatu spektrum

gangguan perkembangan segmen anterior, yang mengenai sudut, iris, kornea

dan kadang-kadang lensa. Biasanya terdapat sedikit hipoplasia stroma anterior

22
iris, disertai adanya jembatan-jembatan filamen yang menghubungkan stroma

iris dengan kornea. Apabila jembatan filament terbentuk di perifer dan

berhubungan dengan garis Schwalbe yang mencolok dan tergeser secara aksial

(embriotokson posterior), penyakit yang timbul dikenal sebagai sindrom

Axenfeld. Hal ini mirip dengan trabekulodisgenesis pada glaukoma kongenital

primer (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Apabila perlekatan iridokorneanya lebih luas yang disertai oleh disrupsi

iris, dengan polikoria serta anomali tulang dan gigi, timbul apa yang disebut

Sindrom Rieger (suatu contoh disgenesis iridotrabekulo). Apabila

perlekatannya adalah antara iris sentral dan permukaan posterior sentral kornea,

penyakit yang timbul disebut anomali Peter. Penyakit-penyakit ini biasanya

diwariskan secara dominan, walaupun dilaporkan ada kasus-kasus sporadic

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Angka keberhasilan goniotomi jauh lebih rendah pada kasus-kasus ini,

dan mungkin dianjurkan trabekulektomi. Banyak pasien memerlukan terapi

glaukoma medis jangka panjang, dan prognosis pasien untuk mempertahankan

fungsi penglihatan yang baik meragukan (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

2.6.3 Aniridia

Aniridia disebabkan oleh kelainan pada gen PAX6 pada kromosom 11.

Gambaran khasnya adalah iris tidak berkembang (vestigial). Dapat ditemukan

deformitas mata yang lain, misalnya katarak kongenital, distrofi kornea, dan

hipoplasia fovea. Penglihatan biasanya buruk. Timbul sebelum masa remaja.

23
Dapat ditemukan sporadis dan biasanya berhubungan dengan tumor Wilms

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

Apabila terapi medis tidak efektif, goniotomi atau trabekulektomi

kadangkadang dapat menormalkan tekanan intraokular. Sering diperlukan

tindakan operasi filtrasi, tetapi prognosis penglihatan jangka panjang buruk

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

2.7 Epidemiologi Glaukoma Kongenital

Glaukoma pada bayi umumnya terjadi pada sekitar 1 : 10.000 kelahiran. Di

Eropa bagian barat, kejadian yang dicatat 1 : 12.500 kelahiran, dan 1 : 22.000

kelahiran di Irlandia Utara. Daerah yang paling ektrim yaitu 1 : 2.500 yang terjadi di

Arab Saudi. Penyakit ini umumnya terjadi pada 2 mata, tetapi dapat juga terjadi pada

satu mata. Kasus ini sangat banyak terjadi di Amerika Serikat, tetapi sedikit di

Jepang. Usia terjadinya penyakit ini mulai sejak lahir atau berkembang pada masa

kanak-kanak (Ilyas & Yuliati, 2012).

Glaukoma kongenital primer, dihitung kira-kira 50%-70% dari glaukoma

kongenital, terjadi kurang daripada glaukoma dewasa primer dan jarang terjadi (1

dalam 10.000 kelahiran). Dari kasus glaukoma pediatrik, 60% didiagnosa pada umur

6 bulan dan 80% dalam tahun pertama kehidupan. Perkiraan 65 % pasien adalah laki-

laki dan pada 70% kasus mengenai kedua mata (bilateral) . Pada beberapa

kasus diturunkan secara herediter (Liesang & Skuta, 2005).

2.8 Etiologi dan Faktor Risiko Glaukoma Kongenital

Glaukoma kongenital primer terbatas pada kelainan perkembangan yang

mempengaruhi trabekulum meshwork. Glaukoma kongenital terjadi karena saluran

24
pembuangan tidak terbentuk dengan baik atau bahkan tidak terbentuk sama sekali.

Kelainan ini akibat terdapatnya membran kongenital yang menutupi sudut bilik mata

pada saat perkembangan bola mata, kelainan pembentukan kanal schlemm dan

saluran keluar cairan mata yang tidak sempurna terbentuk (Suhardjo & Hartono,

2007).

Glaukoma kongenital juga berhubungan dengan penyakit kongenital lainnya.

Seperti includingSturge-Weber syndrome, neurofibromatosis, Lowe syndrome, Pierre

Robin syndrome/sequence, Marfan syndrome, homocystinuria, aniridia, Axenfeld

anomaly, dan Reiger syndrome (Urban & Robert, 2013).

Faktor resiko glaukoma kongenital antara lain:

1. Riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma

Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita glaukoma

mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami glaukoma. Risiko terbesar

adalah kakak-beradik kemudian hubungan orang tua dan anak-anak.

2. Obat-obatan

Pemakai steroid secara rutin misalnya: Pemakai obat tetes mata yang

mengandung steroid yang tidak dikontrol oleh dokter, obat inhaler untuk

penderita asma, obat steroid untuk radang sendi dan pemakai obat yang

memakai steroid secara rutin lainnya. Bila anda mengetahui bahwa anda

pemakai obat-abatan steroid secara rutin, sangat dianjurkan memeriksakan

diri anda ke dokter spesialis mata untuk pendeteksian glaucoma.

3. Riwayat trauma (luka kecelakaan) pada mata

(Suhardjo & Hartono, 2007)

25
2.9 Patofisiologi Glaukoma Kongenital
Glaukoma jenis ini terjadi sejak lahir, atau pada tahun pertama setelah lahir.

Kelainan ini terjadi karena terhentinya pertumbuhan struktur sudut iridokorneal sejak

dalam kandungan kira-kira saat janin berumur 7 bulan. Pada glaukoma ini, sejak lahir

penderita memiliki bola mata besar yang disebut buftalmos. Buftalmos disebabkan

oleh kenaikan TIO saat masih dalam kandungan dan mendesak dinding bola mata

bayi yang masih lentur, akibatnya sklera menipis dan kornea akan membesar dan

keruh. Bayi akan takut melihat cahaya karena kornea yang keruh akan memecah sinar

yang datang sehingga bayi merasa silau. Bayi cenderung rewel, karena peningkatan

TIO menyebabkan rasa tegang dan sakit pada mata (Suhardjo & Hartono, 2007).

2.10 Manifestasi Klinis Glaukoma Kongenital

Karakteristik dari glaukoma kongenital mencakup tiga tanda klasik pada bayi

baru lahir, yaitu:

1. Epifora

2. Fotofobia

3. Blefarospasme

(Urban & Robert, 2013)

Gejala paling dini dan paling sering adalah epifora. Dapat dijumpai fotofobia,

pengurangan kilau kornea, dan pembesaran bola mata (buftalmos). Pupil juga tidak

berespon terhadap cahaya. Peningkatan tekanan intraokular adalah tanda kardinal.

Pencekungan diskus optikus akibat glaukoma merupakan kelainan yang terjadi relatif

dini dan terpenting (Urban & Robert, 2013).

26
Temuan-temuan lanjut adalah peningkatan garis tengah kornea (melebihi 11,5

mm dianggap bermakna), edema epitel, robekan membran descemet, dan peningkatan

kedalaman kamera anterior (disertai oleh peningkatan generalisata segmen anterior

mata) serta edema dan kekeruhan stroma kornea (Urban & Robert, 2013).

Terjadi peningkatan panjang aksial yang dihubungkan dengan umur, dan

peningkatan cup/dick rasio lebih dari 0,3 mm. Gambaran kornea berawan juga

ditemukan. Glaukoma kongenital juga biasa disebut bufthalmos (pembesaran

abnormal dari mata) (Urban & Robert, 2013).

Lima puluh persen kasus glaukoma kongenital bermanifestasi dari sejak lahir,

70% kasus terdiagnosis dalam enam bulan pertama, dan 80% kasus terdiagnosis di

akhir tahun pertama (Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009).

2.11 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang pada Glaukoma Kongenital

Diagnosis glaukoma kongenital ini dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi

klinis pada pasien disertai dengan pemeriksaan klinis pada mata pasien. Untuk

menentukan seseorang menderita glaukoma maka dokter akan melakukan beberapa

pemeriksaan. Berbagai alat diagnostik tambahan untuk menentukan ada atau tidak

adanya glaukoma pada seseorang dan berat atau ringannya glaukoma yang diderita,

serta dini atau lanjut glaukoma yang sedang diderita seseorang. Pemeriksaan tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan mata luar

2. Tajam penglihatan

3. Tonometri (Pengukuran tekanan intraokular)

4. Gonioskopi

27
5. Ofthalmoskopi

6. Ultrasonografi

(Liesegang & Skuta, 2005; Suhardjo & Hartono, 2007; Urban & Robert, 2013)

Pemeriksaan klinis pada glaukoma kongenital akut sebaiknya dilakukan dalam

anestesi umum. Pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut :

2.11.1 Pemeriksaan mata luar.

Pada pemeriksaan mata luar akan ditemukan buphtalmos yaitu

pembesaran diameter kornea lebih dari 12 mm pada tahun pertama kelahiran.

Diameter kornea normal adalah 9,5-10,5 mm pada bayi cukup bulan dan lebih

kecil pada bayi prematur. Edema kornea dapat terjadi mulai dari agak kabur

sampai keruh pada stroma kornea karena kenaikan IOP. Edema kornea terjadi

pada 25% bayi baru lahir dan lebih dari 60% pada umur 6 bulan. Robekan pada

membrane Descemet disebut Haab’s striae dapat terjadi karena regangan

kornea.

Masseen & Kwon, 2005


Gambar 2.3 Epifora

28
Masseen & Kwon, 2005
Gambar 2.4 Bufthalmos

2.11.2 Tajam Penglihatan

Tajam penglihatan dapat berkurang karena atrofi nervus optikus,

kekeruhan kornea, astigmat, ambliopia, katarak, dislokasi lensa, atau ablasio

retina. Ambliopia dapat disebabkan oleh kekeruhan kornea atau kesalahan

refraktif. Pembesaran mata dapat menyebabkan myopia, dimana robekan pada

membran Descemet dapat menyebabkan astigmat yang besar. Penilaian yang

tepat dapat mencegah atau mengobati ambliopia seharusnya dilakukan sedini

mungkin.

2.11.3 Tonometri

Tonometri merupakan metode yang digunakan untuk mengukur tekanan

intraokular. Pengukuran IOP pada beberapa bayi berumur di bawah 6 bulan

dapat dilakukan tanpa menggunakan anastesi umum atau sedative, yaitu dengan

melakukan pengukuran ketika bayi itu tidur atau makan. Bagaimanapun

evaluasi yang kritis pada bayi memerlukan pemeriksaan dalam anastesi.

Banyak bahan anastesi umum dan sedative yang dapat menurunkan IOP,

kecuali ketamin yang menaikkan IOP. Sebagai tambahan, bayi dapat

mengalami dehidrasi dalam persiapan untuk anastesi umum, yang juga

menurunkan IOP. Semakin dalam anastesi, semakin turun IOP. Nilai normal

29
IOP pada bayi dalam anastesi sekitar 10-15 mmHg, tergantung dari

tonometernya.

2.11.4 Gonioskopi

Suatu metode pemeriksaan untuk mengetahui sudut drainase mata. Tes

ini penting untuk menentukan apakah sudut terbuka, tertutup, atau sempit dan

menyingkirkan penyebab lain yang menyebabkan peningkatan tekanan

intraokular.

Gonioskopi sebaiknya dilakukan dalam anastesi. Pada glaukoma

kongenital primer, bilik anteriornya dalam dengan struktur iris yang normal,

insersi iris yang tinggi dan datar, kehilangan sudut, hipoplasia iris perifer,

penebalan uveal trabekula meshwork. Sudut biasanya terbuka, dengan insersi

yang tinggi dari akar iris seperti garis yang berlekuk sebagai hasil dari jaringan

yang abnormal dengan penampilan yang berkilauan. Jaringan ini menahan iris

perifer anterior. Sudut ini biasanya avaskular, tapi putaran pembuluh dari

lingkaran arteri mayor dapat dilihat di atas akar iris.

2.11.5 Oftalmoskopi

Merupakan metode yang digunakan untuk memeriksa berbagai

kerusakan dan kelainan serat optik. Pada glaukoma kongenital biasanya serat

optik abnormal. Variasi cup bisa diperlihatkan, biasanya bentuk anular.

Visualisasi dari optik disk dapat difasilitasi dengan menggunakan optalmoskop

direk dan gonioskop direk atau fundus lensa pada kornea. Papil nervus optikus

pada bayi berwarna pink dengan cup kecil yang fisiologis. Cupping glaukoma

pada masa kanak-kanak menyerupai cupping pada dewasa, dengan hilangnya

30
jaringan neural pada kutub anterior dan posterior. Pada masa kanak-kanak,

kanal sklera membesar sebagai respon kenaikan TIO, menyebabkan

pembesaran dari cup. Cupping dapat reversibel bila TIO rendah, dan cupping

yang progresif menunjukkan kontrol yang jelek terhadap TIO. Perlu dilakukan

fotografik pada disc optic.

Kelainan pada pemeriksaan oftalmoskopi dapat terlihat:

1. Kelainan papil saraf optik

2. Saraf optik pucat atau atrofi

3. Sarafoptik bergaung

4. Kelainan serabut retina, serat yang pucat atau atrofi akan berwarna hijau

5. Tanda lainnya seperti perdarahan peripapilar

2.11.6 Ultrasonografi

Ultrasonografi dapat berguna dalam pemantauan progresivitas

glaukoma dengan merekam peningkatan panjang axial. Peningkatan panjang

axial dapat reversibel seiring penurunan IOP, tapi pembesaran kornea tidak

dapat menurun seiring penurunan IOP.

(Liesegang & Skuta, 2005; Suhardjo & Hartono, 2007; Urban & Robert, 2013)

2.12 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari glaukoma kongenital yaitu:

1. Megakornea, terdapat peningkatan diameter kornea yang tidak disertai

dengan peningkatan tekanan intra okuler dan dengan kornea yang jernih.

2. Gejala sisa dari truma obstetrik (ekstraksi forceps) dengan sobeknya

membran Descement secara vertikal dan menyeluruh.

31
3. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital, terdapat lakrimasi yang disertai

dengan konjungtivitis yang sering.

4. Gangguan metabolik yang menyebabkan kekeruhan kornea oleh karena

penumpukan metabolit (cystinosis, mukopolisakaridosis).

5. Distrofi kornea primitif (congenital hereditary endothelial dystrophy).

(Eva, Vaughan & Asbury’s, 2009)

2.13 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan tajam penglihatan.

Peninggian tekanan bola mata yang menetap akan menjurus ke arah rusaknya

N.Optikus dan perubahan-perubahan permanen dari kornea yang akan mengganggu

penglihatan. Pengontrolan tekanan bola mata adalah tujuan utama dari pengobatan.

Bayi atau anak yang dicurigai mempunyai glaukoma kongenital harus dilakukan

pemeriksaan sesegera mungkin dengan narkose terhadap besarnya kornea, tekanan

bola mata, cup/disk ratio dari N. Optikus, dan sudut COA dengan gonioskopi

(Amoaku & Browning, 2006).

Penatalaksanaan untuk glaukoma kongenital adalah tindakan operasi. Terapi

pengobatan diberikan sebelum operasi atau ketika prosedur operasi ulangan telah

gagal. Teknik operasi ditujukan untuk mengurangi hambatan outflow humor akueos

yang terjadi karena kelainan struktur pada sudut bilik mata depan. Hal ini bisa

dilakukan melalui pendekatan internal dengan goniotomi dan pendekatan eksternal

dengan trabekulotomi (Amoaku & Browning, 2006).

Kesuksesan pembedahan tergantung keparahan dan lamanya glaucoma.

Goniotomi dan trabekulotomi merupakan operasi yang paling efektif pada glaukoma

32
kongenital dibandingkan dengan trabekulodisgenesis dan memberikan outcome yang

sama. Rata-rata keberhasilan berkisar dari 60-90%, walaupun 1/3-1/2 nya harus

dilakukan prosedur ulangan. Angka keberhasilan berkurang bila terdapat anomali iris

atau kornea (Amoaku & Browning, 2006; Blanco, Wilson & Costa, 2002; Yanoff,

Duker & Ausburger, 2004)

Goniotomi adalah membuka saluran Schlemn melalui insisi ke dalam jaringan

trabekula. Prosedur ini perlu diulang lebih dari satu kali. Trabekulotomi, teknik ini

hampir sama dengan prosedur goniotomi tetapi menggunakan teknik yang berbeda.

Trabekulotomi digunakan jika kornea terlalu keruh, yang mana pada kasus ini tidak

dapat dilakukan goniotomi. Jika goniotomi dan trabekulotomi gagal, maka dapat

dipilih jenis prosedur filtrasi seperti trabekulektomi, dilanjutkan penggunakan obat

antimetabolit seperti mitomisin C. atau dapat dilakukan glaucoma valve-shunt. Jika

cara ini juga gagal, dapat dilakukan cyclodestruktif dengan laser yang merupakan

pilihan terakhir karena menyebabkan rasa sakit yang hebat. Terapi medikamentosa

hanya merupakan terapi tambahan. Terapi komplemen dilakukan untuk mengurangi

kekeruhan kornea dengan transplantasi dan terapi amblyopia (Blanco, Wilson &

Costa, 2002; Yanoff, Duker & Ausburger, 2004).

2.14 Komplikasi

Komplikasi glaukoma yang tidak terdiagnosis bisa kelemahan penglihatan

sepanjang hidup. Komplikasi serius akibat intervensi operasi meliputi hifema, infeksi,

kerusakan lensa, dan uveitis. Perubahan cup serat optik merupakan indikator utama

keberhasilan terapi. Bahkan setelah tekanan intraokular dapat dikontrol, kurang lebih

50 % anak tidak mencapai visus lebih dari 20/50. pengurangan tajam penglihatan bisa

33
dihasilkan dari edema kornea yang menetap, nistagmus, ambliopia, atau kelainan

refraksi yang luas (Blanco, Wilson & Costa, 2002; Yanoff, Duker & Ausburger,

2004).

Komplikasi dari penyakit glaukoma kongenital dan gejala sisa yang

ditimbulkan antara lain seperti : kebutaan yang berat, fotofobia, hiperlakrimasi,

tekanan intaokuler yang meningkat, blefarospasme, ambliopia (mata malas), ablatio

retina, astigmatisme (kornea yang iregular) dan dislokasi lensa (Vavvas, Grosskreutz

& Pasquale, 2011; Health grades, 2009).

2.15 Prognosis

Prognosis glaukoma kongenital adalah baik dalam 80-90% pada pasien yang

ditangani lebih awal. Prognosis paling baik terlihat pada bayi dengan operasi

trabekulodisgenesis antara umur dua bulan sampai delapan bulan. Prognosis buruk

terjadi pada bayi dengan peningkatan TIO dan kekeruhan kornea saat lahir. Pada

kasus yang tidak diobati, kebutaan timbul dini. Mata mengalami peregangan hebat

dan bahkan dapat ruptur hanya akibat trauma ringan. Pencekungan diskus optikus

khas glaukoma relatif cepat, yang menekankan perlunya terapi segera (Eva, Vaughan

& Asbury’s, 2009; Blanco, Wilson & Costa, 2002; Yanoff, Duker & Ausburger,

2004; Vavvas, Grosskreutz & Pasquale, 2011).

Prognosis glaukoma kongenital dipengaruhi lama berlangsungnya (durasi)

glaukoma kongenital, kemungkinan komplikasi glaukoma kongenital, kemungkinan

hasil, prospek untuk pemulihan, periode pemulihan untuk glaukoma kongenital,

tingkat kelangsungan hidup, angka kematian, dan kemungkinan hasil lain dalam

prognosis keseluruhan kongenital glaucoma (Health grades, 2009).

34
BAB III

KESIMPULAN

Glaukoma kongenital adalah suatu glaukoma yang terjadi pada bayi atau anak-anak

terjadi akibat penutupan bawaan dari sudut iridokorneal oleh suatu membran yang

dapat menghambat aliran dari aquous humor sehingga dapat meningkatkan tekanan

intra okuler. Kondisi ini progresif dan biasanya bilateral dan dapat merusak saraf

optik.

Tanda dan gejala klinis glaukoma kongenital ini mencakup tiga tanda klasik

berupa epifora, fotofobia, dan blefarospasme. Pemeriksaan klinis pada glaukoma

kongenital akut sebaiknya dilakukan dalam anestesi umum. Pemeriksaan tersebut

berupa pemeriksaan mata luar, tajam penglihatan, tonometri, gonioskopi,

oftalmoskopi, dan ultrasonografi.

Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan tajam penglihatan.

Penatalaksanaan untuk glaukoma kongenital adalah tindakan operasi. Kebutaan dapat

terjadi sebagai komplikasi apabila glaukoma ini tidak terdiagnosis dini. Namun

prognosis glaukoma kongenital adalah baik dalam 80-90% pada pasien yang

ditangani lebih awal.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S dan Yulianti, S.R. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Badan Penerbit FKUI.
Hal. 216-221: Jakarta, 2012.
2. Paul Riordan-Eva dan John P.Whitche. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. Edisi ke-17. EGC: Jakarta, 2009.
3. Liesegang T.J. dan Skuta G.L. Childhood Glaucoma in Glaucoma. American
Academy of Opthalmology. Section 10. USA. 2005; p147-151.
4. Suhardjo dan Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Bagian Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada: Yogyakarta, 2007.
5. Blanco, A.A., Wilson, R.P., dan Costa, V.P. Pediatric Glaukoma and Glauoma
Associated with Developmental Disorders. In Textbook: Handbook of Glaucoma.
Martin Dunitz Ltd 2002;10: 147-51.
6. Yanoff, M, Duker, J.S., dan Ausburger, J.J. Ophthalmology 2nd Edition. Mosby
Inc 2004: 1475-82.
7. Simmons, S.T., et al. Intraocular Pressure and Aqueous Humor Dynamics. In:
Tanaka, S., ed. Glaucoma. Singapore: American Academy of Ophthalmology, 17-
29. 2007.
8. Solomon, I.S., 2002. Aqueous Humor Dynamics. Available from:
http://www.nyee.edu/pdf/solomonaqhumor.pdf [Accesed 14 November 2013].
9. Cibis, G.H., Beaver, H.A., Jhons, K., Kaushal, S., Tsai, J.C., dan Beretska, J.S.
Trabecular Meshwork. In: Tanaka, S., ed. Fundamentals and Principles of
Ophthalmology. Singapore: American Academy of Ophthalmology, 54-59. 2007.
10. Hollwich, Fritz. Glaukoma. In: Hariono, Bondan, ed. Oftamologi. Binarupa
Aksara, 169-201. Jakarta. 2002.
11. Doshi, A.B., Liu, J.H.K., Weinreb, R.N. Glaucoma is a 24/7 Disease. In:
Schacknow, P.N., Samples, J.R., ed. The Glaucoma Book. USA: Springer, 55-58.
2010.
12. Liesegang TJ, Skuta GL. Childhood Glaucoma in Glaucoma. American Academy
of Opthalmology. Section 10. USA. 2005; p147-151.

36
13. Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 2007.
14. Urban, Robert C. Primary Congenital Glaucoma. [diakses 16 November 2013].
Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com.
15. Masseen J, Kwon YH. Primary Congenital Glaucoma. 2005 [ diakses: 16
November 2013]. Diunduh dari: http://webeye.ophth.uiowa.edu.
16. Amoaku G, Browning G. Common Eye Diseases and Their Management. Third
Edition. Springer-Verlag 2006; 12: 101-2.
17. Blanco AA, Wilson RP, Costa VP. Pediatric Glaukoma and Glauoma Associated
with Developmental Disorders. In Textbook: Handbook of Glaucoma. Martin
Dunitz Ltd 2002;10: 147-51.
18. Yanoff M, Duker JS, Ausburger JJ. Ophthalmology 2nd Edition. Mosby Inc
2004: 1475-82.
19. Vavvas D, Grosskreutz C, Pasquale L. Congenital Glaucoma (Childhood). 2011.
[diakses 9 April 2011] Diunduh dari:
http://www.djo.harvard.edu/site.php?url=/patients/pi/416
20. Health Grades. Congenital Glaucoma. 2009. [diakses 16 November 2013]
Diunduh dari:
http://www.wrongdiagnosis.com/c/congenital_glaucoma/intro.htm&rurl=translate
.google.co.id&anno=2&usg=ALkJrhgUsUG9DqiGWDCuYv2x_NO7FlyDYw
21. World Health Organization. Glaucoma; available at : http://who.int. 2002.
22. Riset Kesehatan Dasar. 2007.
23. Glaucoma. In : Basic and Clinical Science Course. Last Major Revision 200-
2001. Section 10. American Academy of Ophthalmology, The Eye M.D
Association. United States of America.
24. http://www.eyesandeyesight.com/2009/02/anatomy-of-the eye/
25. http://www.lab.anhb.uwa.edu.au/mb140/corepages/eye/eye.html
26. www.berwickeye.com
27. Kanski J J. Atlas Bantu Oftalmologi. Hipokrates. Jakarta. 1992.

37
28. Epstein, DL. Chandler and Grant’s Glaucoma 3 ed. Philadelphia : Lea & Febiger,
1986.

38

Anda mungkin juga menyukai