Anda di halaman 1dari 61

STUDI GEOMORFOLOGI KABUPATEN KEDIRI DAN

PEMODELAN BAHAYA ALIRAN LAHAR

GUNUNGAPI KELUD

ARDLI SWARDANA

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Geomorfologi


Kabupaten Kediri dan Pemodelan Bahaya Aliran Lahar Gunungapi Kelud adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Ardli Swardana
NIM A14080010
ABSTRAK
ARDLI SWARDANA. Studi Geomorfologi Kabupaten Kediri dan Pemodelan
Bahaya Aliran Lahar Gunungapi Kelud. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan
BABA BARUS.

Gunungapi Kelud di Jawa Timur merupakan gunungapi aktif yang sering


melahirkan aliran lahar. Lahar merupakan campuran air dengan bahan-bahan
piroklastik yang mengalir menyusuri lembah-lembah sungai. Dalam sejarahnya
lahar Gunungapi Kelud sering melahirkan bencana alam di wilayah sekitarnya,
antara lain di Kabupaten Kediri. Aliran lahar tersebut merusak daerah-daerah yang
dilewatinya dan menelan banyak korban jiwa. Pada letusan tahun 1990, misalnya,
lahar Gunungapi Kelud telah menelan korban 33 orang dan menimbulkan banyak
kerusakan di wilayah Kecamatan Puncu dan Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten
Kediri. Melihat sejarah tersebut, maka studi bahaya aliran lahar sangat diperlukan
untuk mendukung penanggulangan bencana dan menunjang pembangunan di
Kabupaten Kediri. Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari geomorfologi wilayah
Kabupaten Kediri dan (2) melakukan analisis morfometri bentuklahan untuk
pemodelan daerah bahaya aliran lahar Gunungapi Kelud di Kabupaten Kediri.
Metode yang digunakan untuk menilai bahaya lahar merupakan analisis
geomorfologi (morfometri) dengan memanfaatkan sistem informasi geografis
(SIG). Daerah bahaya aliran lahar dibagi menjadi 2, yaitu daerah proksimal dan
daerah medial serta distal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuklahan yang
terdapat di Kabupaten Kediri didominasi oleh bentuklahan asal proses vulkanik
dan fluvial. Dataran fluvio-vulkanik Gunungapi Kelud merupakan bentuklahan
terluas yang meliput 52,44% dari luas Kabupaten Kediri, sedangkan bentuklahan
terkecil adalah perbukitan vulkanik (0,06%). Hasil analisis bahaya aliran lahar
menunjukkan bahwa untuk daerah proksimal, DAS Puncu (Kecamatan Puncu)
dan DAS Mangli (Kecamatan Kepung) merupakan DAS yang mempunyai tingkat
bahaya melahirkan lahar yang paling tinggi. Sebaliknya DAS Petungkobong
(Kecamatan Ngancar) mempunyai tingkat bahaya paling rendah. Adapun untuk
daerah medial dan distal, Sungai Konto (Kecamatan Kepung) merupakan sungai
yang mempunyai nilai bahaya lahar paling kecil, sebaliknya Sungai Sumberagung
mempunyai nilai bahaya lahar paling besar. Bahaya luapan lahar di wilayah
medial dan distal terdapat di sekitar alur sungai dan dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu bahaya luapan tinggi dan luapan sedang, yang didasarkan pada sejarah
bencana lahar di masa lalu. Bahaya luapan lahar yang lain (BLP) diakibatkan oleh
adanya perubahan kemiringan lereng sungai. Wilayah bahaya tersebut berada di
atas bentuklahan gabungan kipas laharik, yaitu pada titik-titik perubahan lereng
dari kerucut vulkanik ke dataran fluvio-vulkanik.

Kata kunci : geomorfologi, gunungapi Kelud, bahaya, lahar


ABSTRACT

ARDLI SWARDANA. Geomorphological Study of Kediri Region and Modelling


of Lahar Hazard from Kelud Volcano. Supervised by BOEDI TJAHJONO and
BABA BARUS .

Kelud Volcano (East Java) is an active volcano which often to occured the
lahar flow. Lahar is a mixture of water and pyroclastic materials flowing down the
river valleys. Historically lahar of Kelud often produced natural disasters, like in
Kediri Regency, destroying everything through which it passed and claimed many
lives. From 1990 eruption, for example, lahar of Kelud has killed 33 people and
caused a lot of damages in Puncu and Plosoklaten Districts of Kediri Regency.
Based on those disaster historical data, the lahar hazard studies of Kelud are
needed to support disaster relief program and also for supporting development of
Kediri Regency. This reasearch aims (1) to study geomorphology of the Kediri
region and (2) to perform morphometric analysis of landforms for modeling lahar
hazard generated from Kelud volcano. The method used is a geomorphological
analysis (morphometry) using geographic information system (GIS). In lahar
hazard assessment, the region is divided into two areas, namely proximal area and
medial-distal area. The results showed that geomorphology of Kediri Regency
dominated by volcanic and fluvial landforms. Fluvio-volcanic plains of Kelud
Volcano is the largest landform that covers 52,44 % of Kediri region, while the
smallest one is hilly volcanic landforms (0,06 %). The result of lahar hazard
analysis showed that for proximal area, watershed of Puncu (Puncu District) and
watershed of Mangli (Kepung District) were the most hazardous watershed to
produce lahar, conversely watershed of Petungkobong (Ngancar District) was the
lowest one. As for the medial and distal areas, Konto River (Kepung District) has
the lowest value for lahar hazard, otherwise Sumberagung River has the greatest
one. The hazard of lahar’s overflow for the medial and distal areas were located in
along the vicinity of river valey, and it can be divided into two categories, i.e. high
and moderate hazards. The categories were based on historical lahar disaster of
Kelud in the past time. Another type of lahar hazard (BLP) was caused by the
change of river slope, where the areas were situated up on coalescent laharic fans
landforms, or at the points of break of slope from Kelud’s volcanic cone to fluvio-
volcanic plains.
Keywords : geomorphology, Kelud Volcano, hazard, lahar
STUDI GEOMORFOLOGI KABUPATEN KEDIRI DAN
PEMODELAN BAHAYA ALIRAN LAHAR

GUNUNGAPI KELUD

ARDLI SWARDANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Studi Geomorfologi Kabupaten Kediri dan Pemodelan Bahaya
Aliran Lahar Gunungapi Kelud
Nama : Ardli Swardana
NIM : A14080010

Disetujui oleh

Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc.


Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc.


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
Judul Skripsi: Studi Geomorfologi Kabupaten Kediri dan Pemodelan Bahaya
Aliran Lahar Gunungapi Kelud
Nama : Ardli Swardana
NIM : A14080010

Disetujui oleh

~~

Dr. Boedi Tjahjono, MoSco Dr. Ir. Baba Barus, MoSco


_Pembimbing I Pembimbing II

Tanggal Lulus: J6 JJl.N 2014


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Studi
Geomorfologi Kabupaten Kediri dan Pemodelan Bahaya Aliran Lahar Gunungapi
Kelud”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. dan Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. atas teladan,
bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi dan ilmu yang diajarkan
selama penulis menempuh pendidikan.
2. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. sebagai Penguji atas kritik dan
sarannya.
3. Ir. Bambang Hendro Trisasongko, M.Sc. M.Si. atas bantuan peralatan
lapangan.
4. BAPPEDA dan BPS Kabupaten Kediri atas data yang diberikan.
5. Bapak Warli dan Ibu Lilik Kuswidarti selaku Orangtua atas perhatian,
kasih sayang, kesabaran, motivasi, pengorbanan dan doa yang tidak pernah
putus.
6. Ery Yustiawan, adik tersayang atas segala dukungannya.
7. Maghfirah Sandi Pratama Putri yang selalu mendukung dan memberi
motivasi kepada penulis.
8. Rekan-rekan MSL’45 dan Panjen untuk kebersamaan dan dukungannya.
9. Staf tata usaha dan studio yang senantiasa membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi
ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi
ilmu pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Bogor, Januari 2014


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
TINJAUAN PUSTAKA 3
METODOLOGI PENELITIAN 6
Waktu dan Tempat 6
Bahan dan Alat 7
Metode Penelitian 7
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 11
Lokasi Penelitian 11
Topografi 13
Iklim 15
Geologi 16
Tanah 16
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Analisis Geomorfologi Kabupaten Kediri 17
Jenis Bentuklahan di Kabupaten Kediri 18
Analisis Bahaya Aliran Lahar Gunungapi Kelud 24
Hasil Wawancara Masyarakat terkait Kebencanaan di Kabupaten
Kediri 33
SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL

1 Mekanisme pemicu terjadinya lahar beserta tahu kejadiannya


di Gunungapi Kelud 5
2 Data dan peta yang digunakan dalam penelitian 7
3 Bentuklahan di Kabupaten Kediri 19
4 Kerapatan aliran sungai di DAS proksimal, curah hujan, gradien
sungai, dan Wh 25
5 Penilaian bahaya aliran Lahar Medial dan Distal di Gunungapi
Kelud 29

DAFTAR GAMBAR

1 Proses muncul dan perkembangan kubah lava dari kawah Gunungapi


Kelud 3
2 Produk letusan Gunungapi 4
3 Lahar dingin dari Gunungapi Merapi yang menerjang Sungai Code 6
4 Peta daerah penelitian 7
5 Diagram alir penelitian 12
6 Peta batas administrasi Kabupaten Kediri 13
7 Peta ketinggian tempat Kabupaten Kediri 14
8 Peta lereng Kabupaten Kediri 14
9 Peta curah hujan dan sebaran stasiun klimatologi di DAS Brantas
Kabaupaten Kediri 15
10 Peta geologi Kabupaten Kediri 16
11 Peta jenis tanah Kabupaten Kediri 17
12 Perbedaan morfologi Gunungapi Kelud dan Wilis dilihat dari citra
satelit SRTM resolusi 90 m 18
13 Peta bentuklahan Kabupaten Kediri 20
14 Lembah Sungai Ngobo, Lembah Sungai Konto, Dataran Fluvio
Vulkanik Gunungapi Kelud kondisi sebenarnya dan kenampakan dari
citra GeoEye 21
15 Kerucut vulkanik Gunungapi Kelud 22
16 Lembah sungai vulkanik Gunungapi Kelud DAS Gedog 23
17 Gabungan kipas laharik Gunungapi Kelud 24
18 Peta DAS proksimal Gunungapi Kelud Kabupaten Kediri 26
19 Peta bahaya aliran lahar proksimal Gunungapi Kelud Kabupaten
Kediri 27
20 Aliran lahar di Sungai Gedog tahun 1901 28
21 Peta titik survey sungai medial dan distal Kabupaten Kediri 28
22 Peta bahaya aliran lahar medial dan distal Gunungapi Kelud 30
23 Peta bahaya aliran lahar medial dan distal Kecamatan Badas,
Kabupaten Kediri 31
24 Foto cek dam Konto rusak karena terjangan lahar di Desa Oro-Oro
Ombo, Kecamatan Kandangan 32
25 Foto upaya masyarakat Desa Lestari dalam menghadapi terjangan
lahar yang melanda tahun 1990 32

DAFTAR LAMPIRAN

1 Lembar wawancara untuk masyarakat 38


2 Tabel Stasiun Klimatologi beserta Besar Curah Hujan Tahunan 44
3 Cara pengukuran dan perhitungan lembah sungai-sungai medial dan
distal Gunungapi Kelud 45
4 Tabel lebar, tinggi tebing, luas, dan volume sungai-sungai medial dan
distal Kab. Kediri 46
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang kawasannya dilalui oleh jalur


gunungapi. Gunungapi-gunungapi tersebut menjadi bagian dari ring of fire yang
terbentang memanjang di sekeliling Samudera Pasifik. Negeri Nusantara
merupakan salah satu bagian daripadanya yang dibentuk oleh hasil proses
pertemuan lempeng tektonik sehingga juga merupakan wilayah aktif tektonik
(gempa bumi). Fenomena ini membawa konsekuensi logis yang menjadikan
Indonesia sebagai wilayah yang rawan terhadap bencana alam (Putra 2011).
Letusan gunungapi merupakan ancaman bagi makhluk hidup yang berada di
sekitarnya. Ancaman yang dimaksud berupa bahaya primer maupun sekunder.
Bahaya primer letusan gunungapi antara lain berupa gas vulkanik, aliran lava, dan
aliran awan panas yang mengandung debu, pasir, dan bebatuan yang sangat panas.
Bahaya sekunder yang sering terjadi di Indonesia adalah aliran lahar. Lahar
merupakan suatu aliran yang terdiri dari campuran antara bahan-bahan piroklastik
(tephra) dengan air yang mengalir dari puncak gunungapi ke lereng bawah. Aliran
lahar dapat mencapai jarak puluhan kilometer, sehingga aliran ini sering
menimbulkan bencana alam di sekitar aliran sungai. Korban aliran lahar dari
letusan Gunungapi Merapi tahun 2010, contohnya, adalah mereka yang tinggal di
bantaran sungai di kawasan lindung. Mereka terkena luapan sungai yang
mengandung pasir dan bebatuan (Suhardjo 2010).
Menurut Yunita et al. (2008) Gunungapi Kelud memiliki interval letusan
rata-rata 20 tahun, sedangkan jarak antar dua letusan terakhir hanya 17 tahun.
Dalam sejarah letusan, semua erupsi Gunungapi Kelud terjadi secara eksplosif
dari tipe letusan plinian dengan Volcanic Explosivity Index (VEI) antara 3 sampai
5 dan juga berasosiasi dengan syn-eruptive lahars (De Belizal et al. 2011).
Letusan Gunungapi Kelud yang terjadi tahun 1586 merupakan letusan yang
paling banyak menimbulkan korban jiwa, yaitu mencapai 10.000 orang meninggal
dibandingkan dengan letusan-letusan berikutnya. Mulai Abad 20, gunungapi ini
setidaknya telah enam kali mengalami letusan, yaitu berturut-turut tahun 1901,
1919, 1951, 1966, 1990, dan 2007 dan menelan korban jiwa seluruhnya mencapai
5.400 jiwa (Dinas Komunikasi dan Informatika 2011). Dari keenam letusan
tersebut, letusan tahun 1919 merupakan letusan yang melahirkan lahar paling
merusak ketika volume air terbesar meluap dari danau kawah. Letusan
melimpaskan 40 juta m3 air yang membentuk lahar hingga sejauh 37 km ke arah
hilir. Lahar ini melanda areal hingga seluas 130 km2 (Scrivenor 1929). Letusan
tahun tersebut telah menelan 5.160 jiwa manusia, 104 desa rusak berat, 5.050
hektar lahan pertanian rusak berat, dan korban ternak mencapai 1.571 ekor. Pada
kejadian ini, aliran lahar merupakan faktor penyebab utama bencana.
Belajar dari pengalaman letusan 1919, upaya-upaya mitigasi telah dilakukan
oleh pemerintah pada waktu itu dengan membangun terowongan untuk
menurunkan permukaan air danau kawah hingga 50 meter sehingga dapat
mengurangi volume air danau kawah hingga sekitar 2 juta m3 (Scrivenor 1929;
Zen dan Hadikusumo 1965). Berkat terowongan tersebut, lahar yang terbentuk
pada letusan 1951 menjadi kecil meskipun kejadian ini tetap membawa korban
2

jiwa sebanyak 7 orang; 3 orang diantaranya adalah pegawai Dinas Vulkanologi


yang sedang bertugas, yaitu Suwarna Atmadja, Diman, dan Napan. Korban lain
sebanyak 157 orang hanya mengalami luka-luka, sedangkan kerusakan fisik
meliputi areal perkebunan dan kehutanan yang mencapai luas sekitar 320 hektar
(Dinas Komunikasi dan Informatika 2011).
Letusan berikutnya, yaitu pada 26 April 1966 pukul 20.15, juga melahirkan
aliran lahar yang mengalir di Kali Badak, Kali Putih, Kali Ngobo, Kali Konto, dan
Kali Semut. Korban manusia mencapai 210 orang dan 86 orang luka-luka. Aliran
lahar ini dampaknya mencapai daerah Jatilengger dan Atas Kedawung
(Kusumadinata 1979).
Letusan tahun 1990 dimulai pukul 11.41 dengan tipe letusan freatik.
Piroklastik berukuran lapili jatuh di stasiun pengamat gunungapi di Margomulyo
(Kecamatan Ngancar) atau sekitar 7 km arah ke barat dari danau kawah. Letusan
berlangsung sampai pukul 17.00 dan hujan abu terus terjadi pada malam hari
(Lesage dan Surono 1993). Lahar yang terjadi tahun tersebut, mengangkut 40%
volume dari piroklastik yang dideposisikan di lembah-lembah gunungapi. Daya
angkut yang besar ini menggambarkan tingginya daya tampung pada sistem
drainase radial di Gunungapi Kelud. Adanya sistem drainase radial ditambah
dengan kondisi curah hujan yang tinggi (2.100-2.600 mm) selama musim hujan di
Gunungapi Kelud menyebabkan hujan sebagai pemicu terbentuknya lahar selama
dan pasca erupsi (Bourdier et al. 1997). Daerah yang mengalami kerusakan akibat
erupsi langsung sesungguhnya mempunyai luasan relatif kecil, hanya berada
dalam radius sekitar 2 km dari kawah, namun sebaran abu letusan cukup luas
hingga mencapai areal seluas sekitar 1.700 km2. Kerusakan rumah penduduk dan
fasilitas publik umumnya disebabkan oleh hujan abu yang terakumulasi di atas
atap rumah. Ada sekitar 500 rumah dan 50 gedung sekolah rusak pada jarak 15
km dari pusat letusan, sedangkan korban jiwa tercatat mencapai 33 orang
(Matahelumual 1982 dan Alzwar 1985 dalam Bronto 2001).
Gunungapi Kelud kembali mengalami erupsi pada tahun 2007. Pada 10
September 2007 terjadi 15 kali gempa bumi vulkanik yang berasal dari kedalaman
2 sampai 3,5 km di bawah permukaan danau kawah (Kelut Volcano Observatory
reports 2007 dalam De Belizal et al. 2011). Peningkatan aktivitas vulkanik
Gunungapi Kelud terjadi lagi pada 16 Oktober 2007 dan penduduk yang tinggal
dalam radius 10 km dari pusat letusan telah mengungsi karena status bahaya
vulkanik dinaikkan dari tingkat “waspada” menjadi “awas”. Aktivitas vulkanik
pada tahun tersebut memunculkan gejala baru, yaitu letusan terjadi secara non
eksplosif dan asap putih muncul di tengah danau kawah yang diikuti dengan
munculnya sumbat lava (lava plug). Fenomena ini terjadi pada tanggal 5
November 2007 dan sumbat lava terus "tumbuh" hingga memiliki garis tengah
100 meter. Para ahli menganggap sumbat lava ini telah menyumbat saluran
magma sehingga letusan tidak segera terjadi. Energi letusan yang ada dipakai
untuk mendorong sumbat lava hasil letusan tahun 1990 (Dinas Komunikasi dan
Informatika 2011).
Terkait dengan aktivitas Gunungapi Kelud yang tinggi ini, maka perlu
dilakukan pemetaan daerah bahaya aliran lahar Gunungapi Kelud, jika perlu
sampai pada skala besar (kecamatan) agar dapat diketahui objek-objek dan
infrastruktur yang berada dalam bahaya tinggi (Subagio dan Dewandari 2008).
Kegiatan seperti ini sangat membantu untuk penanggulangan bencana alam
3

maupun kegiatan-kegiatan lain seperti perencanaan tata ruang wilayah atau yang
lainnya. Selain itu, pemetaan bahaya aliran lahar dapat digunakan untuk
melakukan prediksi kejadian lahar di masa yang akan datang dengan merunut
sejarah terjadinya lahar di waktu yang lalu (Iverson et al. 1998).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan (1) mempelajari geomorfologi di Kabupaten Kediri


dan (2) melakukan analisis morfometri bentuklahan untuk pemodelan daerah
bahaya aliran lahar Gunungapi Kelud di Kabupaten Kediri.

Manfaat Penelitian

Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi


yang memerlukan informasi tentang daerah bahaya aliran lahar Gunungapi Kelud,
khususnya untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri sebagai penanggung
jawab pengelolaan daerah serta untuk mendukung progam mitigasi bencana alam
di Kabupaten Kediri.

TINJAUAN PUSTAKA

Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan


bumi, terutama terkait dengan sifatnya, asal mula, proses perkembangan, dan
komposisi materialnya (Cooke dan Doornkamp 1990). Tjahjono et al. (2001)
lebih jauh menguraikan bahwa geomorfologi merupakan suatu pemerian dan
penjelasan bentuklahan yang mencakup aspek-aspek morfologi (morfografi dan
morfometri), morfogenesis (proses geomorfik endogen dan eksogen),
morfokronologi (dalam ruang dan waktu), serta struktur dan litologi penyusunnya.
Contoh proses geomorfik dan perubahan bentuklahan bisa diambil dari
Gunungapi Kelud, misalnya, sebelum tahun 2007, Gunungapi Kelud mempunyai
danau kawah di bagian puncaknya. Namun, aktivitas vulkanik tahun 2007
melahirkan sumbat lava di tengah-tengah kawah, sehingga danau kawah tersebut
mengering dan terisi oleh sumbat lava. Munculnya sumbat lava merupakan contoh
aktivitas dari dalam bumi atau disebut proses endogenik (Gambar 1).

(a) (b)
4

(c) (d)
Gambar 1 Proses muncul dan perkembangan kubah lava dari kawah Gunungapi Kelud: danau
kawah sebelum aktivitas Gununapi Kelud tahun 2007 (a); awal munculnya kubah lava
(b); tumbuhnya diameter kubah lava tahun 2009 (c); dan kenampakan kubah lava
tahun 2012 mengalami proses denudasi sehingga mengurangi sedikit kemiringan
lereng (d) (Sumber: www.Kampungkelud.com diakses 23 Desember 2013)
Hasil kajian geomorfologi umumnya dapat digunakan untuk berbagai
aplikasi, terutama untuk pengelolaan lingkungan (Cooke dan Doornkamp 1990),
seperti perencanaan mitigasi bencana. Penelitian Asriningrum (2008) merupakan
salah satu contoh studi geomorfologi terkait dengan gunungapi yang
menggunakan citra Landsat untuk mitigasi bahaya letusan.
Menurut MacDonald (1972) dalam Bronto (2001), gunungapi adalah suatu
tempat terbuka (corong) yang batuan kental pijar dan gas keluar dari dalam perut
bumi menuju ke permukaan, sedangkan bahan batuan yang terkumpul di
sekeliling corong tersebut membentuk suatu bukit menjadi sebuah gunung.
Selain produk-produk primer letusan gunungapi (Gambar 2a), terdapat pula
produk-produk sekunder. Salah satu produk tersebut dinamakan lahar (Gambar
2b). Lahar merupakan suatu terminologi yang menggambarkan suatu aliran
berkonsentrasi tinggi berupa campuran antara runtuhan batuan, lumpur, pasir, dan
air yang datang dari suatu gunungapi. Istilah lahar berasal dari Bahasa Jawa yang
telah dikenalkan oleh Van Bammelen (1949) dalam Bronto (2001) kepada dunia
internasional. Lahar umumnya diartikan sebagai aliran debris, aliran transisional,
atau aliran hyperconcentrated yang berasal dari gunungapi (Vallance 1999). Lahar
tergolong aliran debris jika konsentrasi sedimen sekitar 60% (volume) dan 80%
(berat), sedangkan lahar termasuk aliran hyperconcentrated jika konsentrasi
sedimen berkisar antara volume 20-60% dan beratnya berkisar antara 40-80%
(Beverage and Cullberston 1964 dalam Lavigne et al. 2000).

(a) (b)
Gambar 2 Produk letusan Gunungapi: Tumpukan material dari letusan Gunungapi Kelud tahun 1919 (2a)
dan foto kejadian lahar akibat dari letusan Gunungapi Kelud tahun 1901 (2b). (Sumber:
commons.wikimedia.org/wiki/file: collective_Tropenmuseum 1901-1931) diakses 23
Desember 2013.
5

Pada kasus tertentu, terbentuknya lahar ada kaitannya dengan keberadaan


danau kawah. Salah satu Gunungapi di Indonesia yang mempunyai danau kawah
di atasnya adalah Gunungapi Kelud. Bahan abu vulkanik yang mengendap di
dasar kepundan menyebabkan kawah menjadi kedap air, sehingga kawah dapat
terisi air (Aisyah dan Purnamawati 2012). Erupsi eksplosif gunungapi yang
memiliki danau kawah biasanya disertai dengan peristiwa tumpahnya air danau
kawah sehingga terbentuklah aliran lahar. Danau kawah umumnya mengandung
Sulfur, kemasamannya tinggi, dan suhunya dapat mencapai 40 °C selama proses
letusan (Kusumosubroto 2012).
Menurut Thornbury (1969) dan Wiradisastra et al. (2002) ada empat
penyebab terbentuknya lahar, yaitu
1. Hujan jatuh di atas endapan piroklastik
2. Aliran piroklastik masuk ke dalam sungai
3. Danau kawah tumpah
4. Mencairnya es/salju di puncak gunungapi
Tabel 1 berikut memaparkan mekanisme pemicu timbulnya lahar
berdasarkan tahun kejadiannya di Gunungapi Kelud beserta pemicunya (James W.
Vallance 2006 dalam Kusumosubroto 2012 dan Matahelumual 1982 dan Alzwar
1985 dalam Bronto 2001):
Tabel 1 Mekanisme pemicu terjadinya lahar beserta tahun kejadiannya di
Gunungapi Kelud
Mekanisme Pemicu Tahun Kejadian Catatan
1826 65 Desa Hancur
1848 11 Desa Hancur
1864, 1901 -
1919 Menumpahkan 40 juta m3 air danau kawah.
Tumpahan Air Danau
Awal tahun 1923 dibuat terowongan untuk
Kawah
mengurangi volume air kawah hingga
tersisa 2 juta m3
1966 Danau kawah didrainasi 1967. Saat itu,
volume danau kawah 21.6 juta m3.
1875 Dinding kawah sisi barat runtuh, 30 desa
hancur
Danau Kawah Hancur
1990 Lahar sekunder terjadi 1 bulan pasca
letusan. Volume danau kawah 2.5 juta m3

Lahar dibedakan menjadi dua macam, yaitu lahar primer dan lahar sekunder.
Lahar primer atau lahar letusan terbentuk dari gunungapi yang memiliki danau
kawah, seperti Gunungapi Kelud di Jawa Timur atau Gunungapi Galunggung di
Jawa Barat. Apabila volume air dalam danau kawah cukup besar, maka saat
terjadi letusan dapat menumpahkan lumpur panas. Suhu lahar letusan dapat
mencapai di atas 100 °C dan jika melanda suatu daerah bisa menimbulkan banyak
korban dan kerusakan (Aisyah dan Purnamawati 2012). Lahar sekunder/hujan
terbentuk dari endapan piroklastik yang belum terkonsolidasi, yang jenuh dengan
air (hujan) dalam jumlah memadai, seperti lahar hujan di Gunungapi Merapi
(Gambar 3) dan Gunungapi Semeru (Kusumosubroto 2012). Material piroklastika
mulai dari bongkah, bom vulkanik, lapili, dan debu vulkanik bercampur dengan
air dan bergerak ke bawah, melalui lembah-lembah pada lereng gunungapi.
Karena densitasnya yang besar dan geraknya dikendalikan oleh gaya berat dan
6

topografi, maka aliran lahar mampu mengangkut bongkah-bongkah ukuran besar


sampai jarak yang sangat jauh (Aisyah dan Purnamawati 2012). Variabel-variabel
yang mempengaruhi bahaya lahar gunungapi adalah curah hujan, volume material
(Megawati dan Soedjono 2011), kemiringan lereng sungai (Aisyah dan
Purnamawati 2012), dan sejarah terlandanya lahar di suatu tempat (Iverson et al.
1998). Dalam hal ini, variabel geomorfologi sebagai variabel utama yang
mempengaruhi bahaya gunungapi (Ayala 1999) dan aliran lahar dapat dinyatakan
sebagai bahaya jika aliran tersebut meluap keluar lembah dan melanda wilayah
permukiman.

Gambar 3 Lahar dingin dari Gununapi Merapi yang menerjang Kali Code (Hapsari 2012)
(Sumber:http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/12/02/02/lyr2g2-
seorang-perempuan-ditemukan-tewas-di-jalur-lahar-gunung-kelud (23 Desember
2013).
Bahaya (hazard) menurut Sagita dan Widiyanto (2010) merupakan suatu
kondisi yang mengancam keberlangsungan hidup manusia, kehilangan harta
benda, dan kerusakan lingkungan. WMO (1999) dalam Sagita dan Widiyanto
(2010) juga mengemukakan bahwa bahaya adalah kemungkinan kejadian yang
mengancam suatu tempat dalam kurun waktu tertentu. Tilling (1989) dalam
Bronto (2001) mengemukakan bahwa bahaya gunungapi adalah kemungkinan
suatu daerah dilanda proses-proses vulkanik yang berpotensi merusak pada waktu
tertentu.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April 2012 sampai bulan Maret 2013.
Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa
Timur dengan luas wilayah 1.386,05 km2. Secara astronomis, Kabupaten Kediri
terletak pada koordinat geografis 7º36‟12” - 8º0‟32” LS dan 111º47‟05” -
112º18‟20” BT, adapun analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan
Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Untuk penelitian di lapangan
dilakukan sesudahnya, meliputi wilayah yang terancam oleh aliran lahar dari
Gunungapi Kelud. Gambar 4 berikut menampilkan peta daerah penelitian.
7

Gambar 4 Peta Daerah Penelitian (Kabupaten Kediri)

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer (lapangan) dan
data sekunder. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat
komputer dan beberapa software seperti ArcGIS 9.3, Global Mapper 12, dan
Google Earth. Untuk survei lapangan digunakan peralatan berupa GPS, alat
pengukur kedalaman lembah (Lasser), kamera digital, peta topografik, dan peta
tematik (seperti peta bentuklahan).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui 5 tahapan seperti diuraikan berikut ini:

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap pengumpulan literatur dan data sekunder.


Data yang disiapkan untuk penelitian ini tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2 Data sekunder yang digunakan dalam penelitian
No. Nama Bahan Spesifikasi Sumber Data
Skala
1. Citra GeoEye dengan tampalan mulai GoogleEarth
tahun 2003-2012 wilayah Kabupaten
Kediri
2. SRTM Resolusi 90 m Jawa Timur www.USGS.glovis.com
3. Peta batas administrasi Kabupaten Kediri 1:228.151 BAPPEDA Kabupaten Kediri
tahun 2010, BAPEDA, Kab. Kediri
4. Peta geologi Kabupaten Kediri tahun 1:228.151 BAPPEDA Kabupaten Kediri
2010, BAPEDA, Kab. Kediri
5. Titik koordinat stasiun klimatologi DAS (Hasan 2003)
Brantas beserta curah hujan tahunan
tahun 1990-2002
8

2. Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data

Tahap pengolahan dan interpretasi data meliputi pembuatan peta


bentuklahan tentatif (sementara) hasil dari interpretasi SRTM 90 m dan peta curah
hujan dengan metode isohyet. Berikut proses pembuatan peta-peta tersebut:

a. Pembuatan Peta Bentuklahan


Bahan yang digunakan adalah peta sungai, peta kontur, Citra GeoEye,
SRTM 90 m, dan peta geologi. Peta kontur dan peta sungai diperoleh dari citra
SRTM 90 m. Peta Kontur dibuat dengan interval kontur (IC) = 12,5 meter dan
peta sungai dengan kedalaman isian 10 meter. Keduanya dihasilkan dari software
Global Mapper 12, dengan menggunakan berturut-turut tools “create contour”
dan “create watershed”. Selanjutnya, data diekspor dalam bentuk file shapefile
(shp). Kedua data tersebut digunakan untuk membantu interpretasi bentuklahan
(landform) secara visual di atas citra SRTM maupun GeoEye dengan
menggunakan software ArcGIS 9.3. Penggunaan Citra GeoEye diperlukan untuk
mengidentifikasi dan memetakan bentuklahan lembah sungai terutama di daerah
hilir (dataran). Hasil interpretasi ini selanjutnya akan dicek kebenarannya pada
tahap kerja lapangan.

b. Pembuatan Peta Curah Hujan


Peta curah hujan dibuat dengan software ArcGIS 9.3 menggunakan metode
isohyet. Extension Spatial Analyst pada ArcGIS 9.3 memberikan dua pilihan
metode interpolasi, yaitu metode spline dan IDW (Inverse Distance Weighted).
Metode Spline mempunyai kemiripan dengan metode isohyet dalam proses
analisisnya. Metode ini dipakai untuk menentukan hujan rata-rata pada daerah
dengan penyebaran stasiun atau pos pengamatan hujan yang tidak merata. Selain
itu, metode ini dapat menaksir nilai garis isohyet berdasarkan jarak terhadap nilai
garis isohyet yang mewakili suatu titik (Ria 2008).
Penelitian ini menggunakan metode spline untuk perhitungan curah hujan di
wilayah penelitian. Metode Spline adalah metode yang menghubungkan titik-titik
yang sama nilainya dengan mempertimbangkan titik-titik lain yang berbeda
nilainya serta mampu memperkirakan nilai suatu daerah berdasarkan jarak titik-
titik tersebut. Berbeda dengan metode IDW, metode ini mempertimbangkan
varian kumpulan titik berdasarkan fungsi jarak dari setiap titik yang diinterpolasi
dimana metode ini mempunyai kemiripan dengan metode polygon Thiessen (Ria
2008).

3. Tahap Kerja Lapang

Kerja lapang dilakukan dengan tujuan unuk mengetahui kebenaran peta


bentuklahan tentatif dan untuk memperoleh data primer melalui observasi
lapangan seperti wawancara dengan masyarakat setempat, yaitu meliputi 21
kecamatan yang dilewati oleh sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Kelud
dan mempunyai hilir di Sungai Brantas. Selain itu, dilakukan pula pengukuran
morfometri bentuklahan, berupa kedalaman dan lebar lembah sungai. Tujuan
wawancara adalah untuk menggali informasi mengenai sejarah terjadinya bencana
9

lahar Gunungapi Kelud dan memetakan wilayah yang pernah terlanda oleh lahar.
Aliran-aliran lahar yang pernah melanda Kabupaten Kediri dibuktikan di
lapangan, baik di sungai maupun desa-desa di sekitar sungai yang pernah terlanda
lahar. Wawancara dilakukan dengan metode “purposive random sampling”
kepada 29 responden yang tinggal di sekitar sungai. Untuk kecamatan-kecamatan
seperti Kepung, Puncu, Plosoklaten, dan Ngancar masing-masing dipilih 3
responden, sedangkan untuk kecamatan-kecamatan lainnya hanya dipilih masing-
masing 1 responden. Hal ini dikarenakan keempat kecamatan tersebut berada
paling dekat dengan Gunungapi Kelud dan berdasarkan informasi dari warga
Kabupaten Kediri bahwa aliran lahar banyak melanda di 4 kecamatan tersebut
pada masa lalu.

4. Tahap Analisis

Dari data yang diperoleh selanjutnya dilakukan analisis untuk menilai


bahaya aliran lahar Gunungapi Kelud. Dalam penelitian ini, asumsi-asumsi perlu
dibuat untuk menilai bahaya aliran lahar karena proses erupsi vulkanik pada
gunungapi yang sama dapat berubah di setiap periode aktivitas. Asumsi yang
dimaksud adalah (1) pusat letusan Gunungapi Kelud di waktu yang akan datang
adalah berada di kawah puncak, (2) persebaran bahan piroklastik hasil erupsi
bersifat merata ke segala arah, dalam arti tidak ada pengaruh hembusan angin
(pada musim tertentu) saat letusan berlangsung, dan (3) penggunaan/tutupan lahan
pada kerucut vulkanik dianggap hilang (gundul) karena mati terlanda aliran
piroklastik. Dengan demikian, jika letusan Gunungapi Kelud di waktu yang akan
datang jauh berbeda dengan asumsi tersebut, maka peta bahaya aliran lahar
Gunungapi Kelud yang dibuat ini dapat saja tidak berlaku lagi.
Pembuatan peta bahaya aliran lahar Gunungapi Kelud dibagi menjadi dua
kawasan, yaitu daerah proksimal (proximal) atau daerah yang dekat dengan pusat
letusan, dan daerah medial dan distal yang jauh dari pusat letusan. Secara
geomorfologis daerah proksimal meliputi tubuh (kerucut) gunungapi yang
merupakan daerah terkumpulnya material vulkanik yang dierupsikan suatu
gunungapi (endapan material vulkanik masih tebal), sedangkan daerah medial
(sedang) dan distal (jauh) berturut-turut meliputi daerah kipas laharik dan dataran
fluvio-vulkanik serta daerah dataran fluvial yang berada di sekitar jalur sungai.

a. Bahaya Aliran Lahar Proksimal Gunungapi Kelud

Metode penilaian bahaya proksimal menggunakan variabel-variabel curah


hujan, kerapatan aliran sungai (drained density), dan gradien lembah dan
dirumuskan oleh penulis sebagai berikut:
Wlh= Dd x P x G

Keterangan:
Wlh : Lahar Hazard from Watershed (Bahaya DAS) (/th)
Dd : Drained density (Kerapatan aliran sungai) (m/m²)
P : Precipitation (Curah hujan) di daerah proksimal (m/th)
G : Gradien lembah
10

Langkah awal adalah pembuatan DAS di tubuh gunungapi menggunakan


peta sungai dan kontur. Maksud dari pembuatan DAS adalah untuk melihat
besarnya daya tampung material piroklastik yang diendapkan pada tubuh
gunungapi di setiap DAS tersebut. Piroklastik adalah produk erupsi vulkanik
(berupa bahan lepas-lepas) yang menjadi material dasar aliran lahar. Langkah
selanjutnya adalah melakukan penghitungan kerapatan aliran sungai (Dd) di
masing-masing DAS dengan menggunakan rumusan morfometri sebagai berikut
(Goudie et al. 1990):
Dd= RL/A
Keterangan:
Dd : Drained density (Kerapatan aliran sungai) (m/m²)
RL : River Length (panjang total sungai) dalam suatu DAS (m)
A : Luas DAS (m²)
Dalam hal ini, kerapatan aliran menggambarkan peluang terhadap endapan
piroklastik di dalam DAS untuk terbawa air hujan masuk ke dalam saluran sungai.
Dengan demikian, semakin tinggi nilai kerapatan aliran sungai, maka semakin
tinggi peluang endapan piroklastik membentuk lahar.
Untuk curah hujan (CH), perhitungannya dilakukan melalui perkalian antara
proporsi luas CH tertentu di dalam DAS dengan nilai CH nya karena dalam satu
DAS terdapat beberapa nilai CH yang berbeda (Gambar 9). Daftar stasiun
klimatologi beserta curah hujannya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2.
Perhitungan gradien lembah digunakan rumus sebagai berikut: (Hidrartan 1994
dalam Arifanti 2011 dimodifikasi)
G = (Elevmax-Elevmin)/L
Keterangan:
G : Gradien lembah
Elevmax : Elevasi Tertinggi pada daerah proksimal (m)
Elevmin : Elevasi Terendah pada daerah proksimal (m)
L : Lenght (Panjang jarak puncak ke kaki gunungapi secara horizontal) (m)
Untuk melakukan pendetilan kelas bahaya dalam DAS, maka digunakan
variabel bentuklahan lembah dan non lembah. Bentuklahan lembah diberi nilai 1,
sedangkan non lembah diberi nilai 0. Perbedaan nilai ini dikarenakan piroklastik
lebih banyak berpeluang terakumulasi di bagian lembah terutama yang bersumber
dari aliran piroklastik dibandingkan dengan di daerah punggungan.
Bahaya aliran lahar proksimal selanjutnya oleh penulis digambarkan dengan
pemodelan morfometri sebagai berikut

Wlh= Dd x P x G x Lf

Keterangan:
Wlh : Lahar Hazard from Watershed (Bahaya DAS) (/th)
Dd : Drained density (Kerapatan aliran sungai) (m/m²)
P : Precipitation (Curah hujan) di daerah proksimal (m/th)
G : Gradien lembah
BL : Landform (Bentuklahan) lembah dan non lembah pada kerucut vulkanik
11

b. Bahaya Aliran Lahar Medial dan Distal Gunungapi

Metode analisis yang digunakan untuk menilai bahaya di daerah medial dan
distal, menggunakan variabel morfometri sungai-sungai utama yang mempunyai
hulu di DAS-DAS proksimal. Variabel yang dimaksud adalah daya tampung atau
kapasitas maksimal lembah yang dihitung melalui volume lembah sungai.
Mengingat penampang lembah sungai utama tidak teratur, maka dilakukan
penyederhanaan, yaitu lembah sungai dianggap berbentuk teratur, berupa segi
empat di sepanjang lembah. Volume dihitung melalui perkalian luas rata-rata
penampang sungai dengan panjang sungai. Titik-titik pengamatan dalam satu
badan sungai utama diambil 3 sampai 5 titik dimulai dari daerah medial menuju
Sungai Brantas (contoh perhitungan volume lembah sungai dapat dilihat pada
Lampiran 3). Setelah nilai kapasitas tampung di setiap sungai utama tersebut
diperoleh, maka selanjutnya dilakukan pemodelan bahaya aliran lahar, yang
diformulasikan oleh penulis sebagai berikut.

Hm+d = C/Wlh

Keterangan:
Hm+d : Hazard (Bahaya) aliran lahar di daerah medial dan distal (m³/th)
C : Capacity (Kapasitas Tampung Sungai) (m³)
Wlh : Lahar Hazard from Watershed (Bahaya DAS) (/th)
Dalam hal ini, bahaya aliran lahar merupakan rasio antara bahaya aliran
lahar dari DAS terhadap kapasitas tampung lembah-lembah sungai di wilayah
medial dan distal.

5. Tahap Penyajian Hasil

Seluruh hasil penelitian ini selanjutnya disajikan dalam bentuk skripsi yang
dilengkapi dengan tabel, peta-peta, dan foto-foto lapangan. Secara singkat
rangkaian dari seluruh penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram alir seperti
yang terlihat pada Gambar 5.

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Lokasi Pelitian

Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kediri di Provinsi


Jawa Timur, namun tidak termasuk Kota Kediri yang berada di bagian tengah
Kabupaten Kediri. Secara spasial, Kabupaten Kediri berbatasan dengan
kabupaten-kabupaten lain, yaitu
 Sebelah Utara : Kabupaten Nganjuk dan Jombang
 Sebelah Barat : Kabupaten Nganjuk dan Tulungagung
 Sebelah Selatan : Kabupaten Tulungagung dan Blitar
 Sebelah Timur : Kabupaten Malang
12
12
Data curah
Citra Peta SRTM 90 m hujan dan
GeoEye Administrasi koordinat
Peta
stasiun
Geologi
klimatologi
Peta Sungai
Peta kontur dan DAS

Interpretasi dan
pemetaaan Metode
Bentuklahan Isohyet
Tentatif

Cek
lapang
Kerapatan Gradien
Aliran Sungai

Peta Curah
Peta Hujan
Bentuklahan
Penilaian dan pemetaan
Bahaya Aliran Lahar
(Proksimal)

Nilai Kapasitas
Tampung Lembah
(Medial dan Distal)

Penilaian dan
pemetaan Bahaya
Aliran Lahar
(Medial dan Distal)

Gambar 5 Diagram alir penelitian


13

Kabupaten Kediri terdiri dari 26 kecamatan, dengan luas total wilayah


sebesar 158.651,22 hektar. Peta administrasi batas kecamatan ditampilkan pada
Gambar 6.

Gambar 6 Peta batas administrasi Kabupaten Kediri

Topografi

Secara topografis, Kabupaten Kediri terletak pada ketinggian 140 sampai


dengan 2.400 meter di atas pemukaan air laut, memiliki relief dataran dan
pegunungan dan dilalui Sungai Brantas yang membelah wilayah Kediri dengan
arah Utara-Selatan. Daerah terendah di Kabupaten Kediri terletak di sepanjang
aliran Sungai Brantas, sedangkan titik tertinggi berada di Lereng Atas Gunungapi
Wilis, yaitu pada elevasi 2.400 meter di atas permukaan air laut. Peta Elevasi
Kabupaten Kediri disajikan pada Gambar 7.
Secara umum, kemiringan lereng di Kabupaten Kediri dapat dibagi menjadi
5 kelas, yaitu 0-8%, 8-15%, 15-30%, 30-45%, dan > 45% . Lereng 0-8% berada di
relief dataran diapit oleh dua gunungapi, yaitu Kelud dan Wilis. Kemiringan
lereng 8-15% sebagian besar berada pada lereng bawah dari gunungapi, yaitu
Wilis, Gede, dan Kelud. Adapun kemiringan lereng >15% tersebar di bagian
lereng tengah dan atas dari gunungapi-gunungapi tersebut (Gambar 8).
14

Gambar 7 Peta ketinggian tempat Kabupaten Kediri

Gambar 8 Peta lereng Kabupaten Kediri


15

Iklim

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS 2012), Kabupaten Kediri


memilki suhu udara antara 23 °C - 31 °C sebesar dengan curah hujan rata-rata
sekitar 15,81 mm per hari yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya,
yaitu sebesar 16,76 mm per hari. Daerah yang memiliki ketinggian tempat antara
0 - 500 meter di atas permukaan laut akan cenderung memiliki curah hujan relatif
rendah, yaitu berkisar antara 1.750 – 2.500 mm per tahun, sedangkan daerah yang
mempunyai ketinggian di atas 500 meter cenderung memiliki curah hujan yang
lebih tinggi, yaitu sekitar 2.500 mm per tahun.
Dari sumber yang sama tercatat bahwa secara umum musim hujan jatuh
pada bulan Oktober – April, sedangkan pada musim kemarau terjadi antara bulan
Mei -September. Jumlah curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Januari 2011 (370
mm) dengan jumlah hari hujan 20 hari dan curah hujan terendah jatuh pada bulan
Juli 2011 (jumlah hari hujan 0,10 hari). Berikut ditampilkan sebaran spasial curah
hujan dan sebaran stasiun klimatologi di Kabupaten Kediri (Gambar 9).
Adanya hujan dalam jumlah yang cukup banyak di atas alur-alur atau
lembah-lembah sungai maka curah hujan sangat berperan dalam
mengkontribusikan kemungkinan terjadinya lahar hujan. Pada banyak kejadian
lahar hujan, kontribusi hujan dapat berupa hujan yang relatif lebat ataupun hujan
yang relatif lama (Aisyah dan Purnamawati 2012).

Gambar 9 Peta curah hujan dan sebaran stasiun klimatologi di DAS Brantas Kabupaten Kediri
16

Geologi

Menurut Peta Geologi dari Bappeda Kabupaten Kediri tahun 2011, daerah
penelitian didominasi oleh material lahar yang berasal dari Gunungapi Kelud.
Secara umum Kabupaten Kediri tersusun atas 3 Formasi, yaitu Aluvium, Material
Vulkanik Lapuk, dan Material Vulkanik Baru. Persebaran Formasi Aluvium
meliputi pada bagian tengah wilayah Kabupaten Kediri (di sekitar aliran Sungai
Brantas), Formasi Material Vulkanik Lapuk berada di bagian barat (tubuh Gunung
Wilis), sedangkan Formasi Material Vulkanik Baru berada di bagian timur (tubuh
Gunungapi Kelud) (Gambar 10).

Gambar 10 Peta geologi Kabupaten Kediri

Tanah

Berdasarkan Peta Jenis Tanah dari Bappeda Kabupaten Kediri tahun 2011,
terlihat bahwa pola persebaran jenis tanah mengikuti pola persebaran formasi
geologi seperti tersebut di atas. Tanah-tanah yang terbentuk antara lain: Regosol
Coklat Kekelabuan, Aluvial Coklat Kelabu, Kompleks Andosol Coklat
Kekuningan, Regosol Coklat Kekuningan, dan Litosol, Asosiasi Mediteran Coklat
Merah dan Grumusol Kelabu, Litosol Coklat Kemerahan, Kompleks Regosol dan
Litosol, Aluvial Kelabu, Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu, dan
Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol. Secara umum jenis tanah yang
dominan adalah Regosol Coklat Kekelabuan. Gambar 11 menunjukkan peta tanah
yang terbentuk berkaitan dengan proses vulkanik dari 2 gunungapi yang ada di
Kabupaten Kediri. Tanah-tanah tersebut tergolong tanah-tanah subur, terutama
Asosiasi Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kelabu.
17

Gambar 11 Peta jenis tanah Kabupaten Kediri

HASIL DAN PEMBAHASAN

Geomorfologi Kabupaten Kediri

Secara geomorfologis, Kabupaten Kediri diapit oleh dua gunungapi, yaitu


Gunungapi Kelud di sebelah timur dan Gunungapi Wilis di sebelah barat.
Gunungapi Wilis merupakan gunungapi yang sudah lama tidak menunjukkan
aktivitas sehingga tidak termasuk sebagai gunungapi aktif menurut Pemerintah
Indonesia (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian
Pertambangan dan Energi). Hal ini secara geomorfologis dapat dilihat dari bentuk
tubuh gunungapi yang banyak mempunyai torehan akibat adanya erosi yang terus
berlangsung sepanjang waktu tanpa adanya endapan vulkanik baru
menyelimutinya. Secara morfologi, kenampakan Gunungapi Wilis berbeda
dengan tubuh Gunungapi Kelud yang masih aktif dimana torehan relatif lebih
sedikit karena endapan vulkanik baru masih menutupinya (Gambar 12).
Menurut Neumann van Padang (1951) dalam Bronto (2001), Gunungapi
Kelud merupakan gunungapi tipe A atau gunungapi yang kegiatan atau letusannya
tercatat dalam sejarah sejak tahun 1600. Gunungapi ini mempunyai ketinggian
1.791 meter di atas permukaan air laut dan aktivitas terakhir tercatat tahun 2007
meskipun tidak melahirkan suatu letusan. Gunungapi ini sebelumnya dikenal
mempunyai danau kawah, sehingga setiap periode aktivitas sering melahirkan
aliran lahar.
18

Gunungapi Wilis Gunungapi Kelud


Gambar 12 Perbedaan morfologi Gunungapi Kelud dan Wilis dilihat dari citra satelit SRTM
resolusi 90 m
Berdasarkan karakteristik Gunungapi Kelud yang kaya aliran lahar, maka
terdapat bentuklahan kipas laharik muda. Persebaran lahar di daerah penelitian
terjadi melalui alur-alur sungai yang berhulu di tubuh Gunungapi Kelud, seperti
Sungai Konto, Sumberagung, Ngobo, Petungkobong, dan Gedog. Dengan
demikian, semakin jauh dari kaki gunungapi, bentuklahan yang ditemukan adalah
dataran fluvio-vulkanik. Hal ini cukup berbeda dengan Kabupaten Kediri sebelah
barat yang didominasi oleh pegunungan yang telah mengalami proses denudasi
lebih lama, yaitu Gunungapi Wilis.

Jenis Bentuklahan di Kabupaten Kediri

Berdasarkan hasil interpretasi dari SRTM 90 meter yang dibantu dengan


peta kontur, peta geologi, peta sungai, dan pengamatan lapangan didapatkan 16
bentuklahan di Kabupaten Kediri seperti ditampilkan pada Tabel 3, sedangkan
persebaran spasial ditampilkan pada Gambar 13.
Tabel 3 menunjukkan bahwa bentuklahan dataran fluvio-vulkanik
Gunungapi Kelud mempunyai luasan terbesar, yaitu 83.191,20 hektar (atau
52,44% dari total luasan Kabupaten Kediri) yang menempati bagian tengah
Kabupaten Kediri. Bentuklahan yang mempunyai luasan terkecil adalah
bentuklahan perbukitan vulkanik dengan luas 92,65 hektar (atau 0,06% dari total
luasan Kabupaten Kediri) yang terletak di Kecamatan Ngancar.
19

Tabel 3 Bentuklahan di Kabupaten Kediri


Persen
Nama Bentuklahan Luas (ha)
(%)
Perbukitan Vulkanik 92,65 0,06
Lereng Atas Kerucut Vulkanik Gunung Kelud 324,46 0,20
Lereng Atas Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede 453,68 0,29
Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede 508,45 0,32
Lembah Sungai Vulkanik Gunung Gede 575,01 0,36
Kerucut Parasiter Gunung Klotok 976,83 0,62
Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Gunung Kelud 1.088,73 0,69
Lereng Atas Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Wilis 1.454,13 0,92
Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede 1.838,59 1,16
Lembah Sungai 2.662,46 1,30
Lembah Sungai Vulkanik Gunung Kelud 3.517,55 2,22
Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Gunung Kelud 4.155,48 2,62
Lereng Tengah Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Wilis 4.443,70 2,80
Lembah Sungai Vulkanik Denudasional Gunung Wilis 7.901,98 4,98
Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Wilis 13.851,49 8,73
Kipas Laharik Muda Gunung Kelud 18.855,47 11,88
Dataran Fluvio-VulkanikG. Kelud 83.191,20 52,44
Dataran Fluvio-Vulkanik G. Wilis 12.758,87 8,04
Jumlah 158.651,22 100

a. Bentuklahan Dataran Fluvio-Vulkanik dan Lembah Sungai

Secara morfologi, bentuklahan dataran fluvio-vulkanik merupakan dataran


yang tersusun dari endapan material vulkanik klastik yang dialiri oleh sungai-
sungai dari Gunungapi Kelud dan Wilis.
Lembah merupakan suatu daerah yang dibatasi oleh dua tebing memanjang
yang terbentuk karena adanya proses erosi vertikal oleh air sehingga membentuk
cekungan-cekungan memanjang yang dialiri oleh sungai. Sebagian besar
bentuklahan ini mempunyai hulu di daerah kerucut vulkanik dan berhilir di
Sungai Brantas.
Sungai Brantas merupakan sungai besar yang melewati bagian tengah
Kabupaten Kediri dan seolah membelah wilayah ini menjadi dua, yaitu wilayah
barat dan timur. Ketika musim kemarau, Sungai Brantas tidak pernah kering,
namun terjadi pengurangan jumlah debit sehingga terlihat adanya pengendapan-
pengendapan material di pinggir maupun tengah badan sungai (gosong pasir).
Berikut ditampilkan beberapa gambar lembah sungai yang berhulu di Gunungapi
Kelud dan gambar dataran fluvio-vulkanik Gunungapi Kelud (Gambar 14).
20
20

Gambar 13 Peta bentuklahan Kabupaten Kediri


21

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 14 Lembah Sungai Ngobo (a), Lembah Sungai Konto (b), Dataran Fluvio-Vulkanik
Gunungapi Kelud di lapangan (c), dan kenampakan Dataran Fluvio-Vulkanik
Gunungapi Kelud pada citra GeoEye (d)

b. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Gunungapi Kelud

Kerucut vulkanik adalah akumulasi bahan-bahan vulkanik yang dikeluarkan


secara langsung setiap letusan terjadi dari suatu titik erupsi atau kawah
(Asriningrum 2002 dalam Rafiuddin 2010). Bentuklahan kerucut vulkanik dapat
dipilah menjadi 3, yaitu bagian lereng atas, tengah, dan bawah. Pemilahan ini
berdasarkan kerapatan kontur yang diekstrak dari citra SRTM 90 m. Tingkat
torehan pada tubuh gunungapi ini masih tergolong sedang karena masih ada
penambahan material baru dari aktivitas-aktivitas gunungapi ini. Tubuh
gunungapi ini berbentuk kerucut, sehingga pola aliran sungai yang berkembang
adalah pola radial. Lahan pada bentuklahan ini banyak digunakan untuk hutan dan
perkebunan serta masih dapat ditemukan pemukiman dalam jumlah kecil. Gambar
15 menampilkan bentuklahan kerucut vulkanik Gunungapi Kelud.
22

Gambar 15 Kerucut vulkanik Gunungapi Kelud

c. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunungapi Wilis dan


Gede

Kerucut vulkanik denudasional dari Gunungapi Wilis dan Gunungapi Gede


ditandai dengan torehan yang banyak, karena telah banyak mengalami proses
erosi. Kerucut vulkanik di Gunungapi Wilis berada di bagian barat, sedangkan
kerucut vulkanik Gunungapi Gede berada di bagian timur-laut. Bentuklahan ini
juga dapat dipilah menjadi 3, yaitu bagian lereng atas, tengah, dan bawah yang
memiliki tingkat torehan tinggi.

d. Lembah Sungai Vulkanik Gunungapi Kelud

Bentuklahan lembah sungai vulkanik tersebar di atas kerucut vulkanik


dengan pola radial dan dialiri air di dalamnya. Lembah adalah bentuklahan hasil
proses denudasi yang membentuk cekungan memanjang menuruni lereng dan
menjadi jalan utama semua bentuk aliran produk erupsi vulkanik, seperti aliran
gas, aliran lava, aliran piroklastik, maupun aliran lahar. Lembah-lembah sungai
besar, seperti Sungai Konto, Sumberagung, Petungkobong, dan Ngobo,
mempunyai hulu di puncak kerucut vulkanik Gunungapi Kelud. Pemetaan
bentuklahan lembah dalam penelitian ini terbatas hanya untuk lembah-lembah
besar yang berhulu di puncak kerucut gunungapi saja.
Bentuklahan ini merupakan tempat berkumpulnya material piroklastik saat
terjadinya letusan Gunungapi Kelud. Besarnya jumlah piroklastik yang
diendapkan ditambah dengan besarnya pasokan air (air hujan yanng mengisi
lembah) akan memicu terbentuknya lahar. Semakin besar jumlah air, maka akan
semakin encer sifat lahar tersebut dan akan semakin jauh jangkauan alirannya.
Gambar 16 menampilkan gambar bentuklahan lembah sungai vulkanik dari
Gunungapi Kelud.
23

Gambar 16 Lembah Sungai Vulkanik Gunungapi Kelud di DAS Gedog pada ketinggian 803
meter di atas permukaan air laut (koordinat: 7°55‟45,03” S dan 112°15‟50,33” E)

e. Lembah Sungai Vulkanik Gunungapi Wilis dan Gunungapi Gede

Lembah-lembah sungai Gunungapi Wilis dan Gunungapi Gede yang


dipetakan dalam penelitian ini hanya untuk sungai-sungai besar yang berhulu di
lereng atas Gunungapi Wilis dan Gunungapi Gede dan bermuara di Sungai
Brantas.

f. Kerucut Parasitik Gunung Klotok

Kerucut ini muncul dari tubuh Gunungapi Wilis dan tidak menunjukkan
adanya aktifitas vulkanik. Bentuklahan ini berada di bagian lereng bawah dari
Gunungapi Wilis, tertoreh sedang, dimungkinkan didominasi oleh material lava
yang dulunya berasal dari Gunungapi Wilis.

g. Gabungan Kipas Laharik Muda Gunungapi Kelud

Bentuklahan ini muncul karena adanya penumpukan material piroklastik


yang terbawa oleh lahar, baik lahar panas maupun lahar dingin. Bentuklahan
deposisional ini berada di wilayah perubahan lereng dari tubuh kerucut vulkanik
ke dataran. Dengan demikian, bentuklahan ini tergolong lebih muda dibandingkan
dengan bentuklahan-bentuklahan lain di sekitarnya karena sering mendapat
tambahan material baru.
Endapan lahar dicirikan oleh pemilahannya yang sangat buruk, meskipun
masih nampak adanya kecenderungan bahwa fragmen yang besar-besar dan berat
akan terkumpul di bagian bawah endapan. Kadang-kadang endapan lahar hujan
sulit dibedakan dari endapan awan panas, terutama yang sudah lama (Aisyah dan
Purnamawati 2012). Setelah tertransport agak jauh dari sumbernya, lahar hujan ini
akan berangsur menjadi sungai dan mengendapkan bebannya seperti sungai biasa.
Kenampakan bentuklahan ini pada SRTM 90 m lebih halus dibandingkan dengan
24

bentuklahan di sekitarnya karena adanya penumpukan material tersebut. Gambar


17 berikut menampilkan foto bentuklahan kipas laharik Gunungapi Kelud.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 17 Gabungan kipas laharik Gunungapi Kelud: pada kondisi di lapangan yang berada di
Sungai Ngobo (Kecamatan Plosoklaten) (a); profil singkapan lahar pada Sungai
Ngobo (b); Gabungan kipas laharik tampak pada citra GeoEye (c); dan salah satu
tanaman (nanas) yang diusahakan pada bentuklahan kipas laharik (d)

h. Perbukitan Vulkanik

Perbukitan vulkanik ini muncul di sekitar bentuklahan endapan laharik


muda Gunungapi Kelud. Bentuklahan ini tersusun sebagian besar dari batu lava,
besar kemungkinan merupakan tubuh vulkanik parasitik, namun telah mengalami
proses denudasi sehingga menjadi bukit sisa (isolated hill). Bentuklahan ini
mempunyai luasan terkecil dibandingkan bentuklahan lainnya, yaitu 92,65 hektar.

Analisis Bahaya Aliran Lahar Gunungapi Kelud

Lahar adalah massa aliran air yang bercampur dengan endapan material
(piroklasik) gunungapi. Hasil pengamatan di lapang terlihat bekas-bekas aliran
lahar Gunungapi Kelud terdeposisi pada lembah-lembah sungai kering dan pada
rumah-rumah penduduk di beberapa kecamatan, seperti di Kecamatan Puncu dan
Plosoklaten.
25

Lembah-lembah sungai yang dilewati aliran lahar adalah lembah-lembah


yang berhulu di puncak Gunungapi Kelud. Aliran lahar umumnya mirip dengan
aliran banjir, yang membedakan adalah bahwa lahar mempunyai aliran yang
bersifat lebih kental dibandingkan dengan banjir karena mengandung material
vulkanik dalam jumlah yang besar.
Bahaya aliran lahar merupakan bahaya yang mengancam daerah di sekitar
aliran sungai. Kejadian lahar dapat dikatakan bahaya jika (1) lahar yang melewati
sungai yang kapasitas tampungnya lebih kecil daripada jumlah lahar yang
dihasilkan, sehingga dapat meluap ke daerah di sekitar sungai, (2) Terdapat
pendangkalan sungai akibat banyaknya endapan (sedimen) dari kejadian lahar
masa lalu (kapasitas tampung berkurang), akibatnya jika lahar baru yang
dihasilkan lebih besar dari daya tampung sungai tersebut, maka akan terjadi
luapan sungai, dan (3) Terdapat sumbatan pada saluran sungai, sehingga air/lahar
akan meluap ke kanan/kiri sungai.
Untuk menilai bahaya lahar di daerah proksimal, diperlukan peta daerah
aliran sungai (DAS) di wilayah kerucut vulkanik. Hasil pemetaan DAS di wilayah
proksimal menunjukkan ada 8 DAS utama yang berisi sungai-sungai dan
berpotensi melahirkan lahar dan akan mengalirkan ke daerah medial dan distal.
Gambar 18 memperlihatkan persebaran spasial 8 DAS, sedangkan Tabel 4
menyajikan nilai kerapatan aliran, besarnya gradien sungai utama, curah hujan,
dan nilai bahaya lahar dari setiap DAS (Wlh).
Tabel 4 Kerapatan aliran sungai di DAS proksimal, curah hujan, gradien sungai,
dan Wlh
Kerapatan
Total
Aliran Gradien CH
Nama DAS Panjang Luas DAS (m²) Wlh (/th)
Sungai Lereng (m/th)
Sungai (m)
(m/m²)
Konto 52.364,80 15.362.039,32 0,00341 0,119 3,4906 0,00141
Puncu 49067,17 14.199.544,76 0,00346 0,133 3,4908 0,00160
Ngobo 39.333,30 12.418.196,60 0,00317 0,090 3,4725 0,00099
Sumberagung 27.021,21 7.523.912,88 0,00359 0,086 3,4435 0,00107
Gedog 32.350,95 11.156.123,78 0,00290 0,081 3,3779 0,00079
Petungkobong 14.859,29 6.872.794,89 0,00216 0,064 3,3030 0,00046
Serinjing 18.198,63 6.476.427,48 0,00281 0,079 3,2721 0,00072
Mangli 54.876,98 11.803.222,61 0,00465 0,092 3,3613 0,00143

Dari Tabel 4 terlihat bahwa dari 8 DAS yang ada, DAS Sumberagung
mempunyai nilai kerapatan aliran sungai terbesar, yaitu 0,00359, sedangkan DAS
Petungkobong mempunyai nilai kerapatan aliran sungai terkecil, yaitu 0,00216.
Artinya DAS Sumberagung berpotensi melahirkan lahar yang lebih besar daripada
DAS-DAS lainnya. Selain itu, terbentuknya lahar juga dapat dilihat dari gradien
sungai dan curah hujan. Semakin besar nilai gradien sungai dan curah hujan, maka
akan semaikn besar peluang terbentuknya lahar. Gambar 19 menampilkan peta
bahaya aliran lahar proksimal.
26

Gambar 18 Peta DAS dan nilai Wlh daerah proksimal Gunungapi Kelud Kabupaten Kediri

Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 19 tampak bahwa DAS Puncu


(Kecamatan Puncu) dan Mangli (Kecamatan Kepung) mempunyai nilai tertinggi,
artinya DAS-DAS tersebut berpotensi untuk menghasilkan lahar tertinggi. Hal ini
terlihat dari nilai Wlh yang lebih tinggi dari DAS-DAS lainnya, yaitu 0,00160
(/th) untuk DAS Puncu dan 0,00143 (/th) untuk DAS Mangli. Nilai yang tinggi
tersebut ternyata sesuai dengan hasil wawancara dengan penduduk di Kabupaten
Kediri yang menyatakan bahwa Kecamatan Puncu dan Kecamatan Kepung yang
berbatasan dengan Kecamatan Puncu telah terlanda lahar pada tahun 1990. Untuk
DAS Petungkobong (Kecamatan Ngancar) mempunyai tingkat bahaya rendah
dengan nilai Wh sebesar 0,00046 (/th). Hal ini mencerminkan bahwa DAS
Petungkobong relatif paling kecil peluangnya dalam melahirkan lahar. Pada tahun
1919, lahar juga pernah melanda daerah di sepanjang aliran Sungai Gedog
(Kabupaten Kediri) (Gambar 20) dan Sungai Badak (Kabupaten Blitar) (Bergen et
al. 2000).
27

27
Gambar 19 Peta bahaya proksimal aliran lahar Gunungapi Kelud Kabupaten Kediri
28

Gambar 20 Aliran lahar di Sungai Gedog tahun 1901 (Sumber: commons.wikimedia.org/wiki/file:


collective_Tropenmuseum)
Penilaian bahaya aliran lahar selanjutnya adalah untuk wilayah medial dan
distal. Namun pada pengerjaannya, wilayah medial disatukan dengan distal.
Gambar 21 menunjukkan area survey pada sungai-sungai di daerah medial dan
distal, sedangkan Tabel 5 menunjukkan nilai dari bahaya medial dan distal.

Gambar 21 Peta titik survey sungai medial dan distal Kabupaten Kediri

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa sungai-sungai di hilir dari DAS Konto


mempunyai nilai rasio lebih tinggi dibandingkan dengan sungai-sungai lainnya,
yaitu sebesar 11.040.961.564 (m³/th). Hal ini menunjukkan bahwa Sungai Konto
mempunyai peluang bahaya yang rendah disebabkan kapasitas tampung lembah di
hilir cukup besar. Sebaliknya, Sungai Sumberagung dan Ngobo mempunyai nilai
29

rasio rendah, atau mempunyai peluang bahaya yang lebih besar daripada sungai-
sungai lainnya dengan nilai bahaya berturut-turut sebesar 98.421.084 (m³/th) dan
333.435.831 (m³/th). Sebaran spasial dari bahaya aliran lahar medial dan distal
dapat dilihat pada Gambar 22.
Tabel 5 Penilaian bahaya aliran lahar medial dan distal Gunungapi Kelud

Kapasitas Tampung
Nama DAS Wlh (/th) Volume/Wlh (m³/th)
Lembah (m³)

Konto 0,00141 15.593.971,25 11.040.961.564


Puncu 0,00160 2.125.323,20 1.326.543.795
Ngobo 0,00099 328.756,65 333.435.831
Sumberagung 0,00107 104.970,00 98.421.084
Gedog 0,00079 1.378.638,05 1.740.914.414
PetungKobong 0,00046 1.650.643,65 3.616.313.232
Serinjing 0,00072 1.004.279,08 1.389.358.831
Mangli 0,00143 2.659.236,94 1.854.893.773

Tanda panah pada Gambar 22 menunjukan bahaya luapan dari aliran lahar
karena perubahan lereng yang besar, yaitu dari kerucut vulkanik menuju ke kipas
laharik yang disebut sebagai bahaya perubahan lereng (BPL). Bahaya ini mengacu
pada proses geomorfik masa lalu berupa aliran lahar yang membentuk kipas
laharik di area peralihan kemiringan lereng tersebut. Bahaya di atas bentuklahan
ini dapat dikatakan sebagai bahaya aliran lahar jarak menengah (medial) dari
pusat letusan atau terletak di antara bahaya proksimal dan distal. Tanda lingkaran
menunjukkan daerah-daerah potensial bahaya perluapan lahar karena terjadi
kelokan dan penyempitan alur sungai. Bahaya Luapan Tinggi dan Bahaya Luapan
Sedang merupakan bahaya yang ada di sepanjang aliran sungai yang
menunjukkan besarnya potensi meluapnya aliran air dari lembah sungai jika aliran
dari daerah proksimal besar. Hal ini didasarkan pada data sejarah masa lalu yang
didapat di lapangan. Gambar 23 merupakan perbesaran gambar (zoom) dari
Gambar 22. yang meliputi wilayah Kecamatan Badas, yaitu salah satu kecamatan
yang dilewati oleh aliran Sungai Konto dan Pluncing yang juga sering dilewati
oleh aliran lahar.
Berdasarkan data di lapangan didapatkan informasi bahwa lahar banyak
mengalir di Sungai Konto (tahun 2012) dan Sungai Puncu dan Ngobo (tahun
1990) dan lahar tersebut mengalami perluapan. Hal ini dikarenakan cek dam yang
telah dibangun untuk pengendali aliran lahar tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Selain itu, pada sungai-sungai yang dulunya sering dilewati lahar, pada
saat ini tidak dilakukan pengerukan lagi, sehingga sungai tersebut menjadi
dangkal (berkurang daya tampungnya). Kondisi dari cek dam dan sungai yang
tidak terawat ini menyebabkan meluapnya lahar keluar dari lembah sungai.
Sebaliknya, Sungai Sumberagung adalah sungai yang volume tampungnya paling
kecil dibandingkan dengan sungai-sungai lainnya, namun Sungai Sumberagung
termasuk sungai yang jarang dialiri aliran lahar. Hal ini disebabkan dari DAS
Sumberagung banyak terdapat sungai-sungai intermitten yang tidak terisi air.
30
30

Arah Luapan
Potensial Meluap

Gambar 22 Peta bahaya aliran lahar medial dan distal Kabupaten Kediri
31

Potensial meluap

Arah Luapan

Gambar 23 Peta bahaya aliran lahar distal di Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri 31
32

pada musim kemarau dan baru terisi air jika musim hujan tiba (jika curah hujan
tinggi).

Gambar 24 Foto cek dam Konto yang tidak berfungsi sehingga lahar meluap ke daerah
sekitarnya di Desa Oro-Oro Ombo, Kecamatan Kandangan.

Gambar 24 menunjukkan salah satu contoh gagalnya fungsi cek dam Konto
yang telah dibuat untuk menahan lahar, akibatnya lahar meluap ke daerah
sekitarnya. Alasan lain menyebutkan bahwa pada cek dam terdapat sumbatan
berupa sampah-sampah dan sedimentasi masa lalu sehingga memudahkan lahar
meluap dan menerjang daerah di sekitar cek dam. Akibatnya daerah yang
ditanami tebu seluas 3 hektar menjadi rusak. Terjangan lahar ini juga
menyebabkan terputusnya jembatan dan transportasi masyarakat.Gambar 24
memperlihatkan karung-karung putih untuk menahan air sebagai bentuk upaya
masyarakat agar dapat menyeberangi sungai.
Menurut catatan sejarah pada periode letusan Gunungapi Kelud tahun 1990,
aliran lahar telah melanda beberapa lokasi, seperti di Desa Lestari dan Desa
Gedang Sewu (Kecamatan Puncu) serta Desa Karangdinoyo (Kecamatan
Kepung). Gambar 25 berikut menunjukkan upaya-upaya masyarakat di Desa
Lestari, Kecamatan Puncu dalam menghadapi terjangan lahar yang melanda tahun
1990. Karung-karung putih tersebut berfungsi sebagai penahan aliran lahar dan
menjadikan bukti bahwa di desa ini pernah terjadi terjangan lahar.

Gambar 25 Foto upaya masyarakat Desa Lestari dalam menghadapi terjangan lahar yang
melanda tahun 1990
33

Hasil Wawancara Masyarakat terkait Kebencanaan di Kabupaten Kediri

Dari wawancara dengan masyarakat terkait kebencanaan di Kabupaten


Kediri didapatkan beberapa hasil di antaranya berupa saran-saran tentang usaha-
usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi ancaman aliran lahar di Kabupaten
Kediri. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut: (1) perlu dilakukan
penghijauan di sepanjang aliran lahar, perbaikan saluran, dan pembuatan cek dam
aliran lahar, serta perlu dipasang alat pendeteksi dini tentang banjir lahar, (2)
penertiban kegiatan tambang pasir liar di lembah-lembah sungai dan kantong
lahar, (3) perlu dilakukan kontrol tanggul secara rutin dan berkala, dan (4) perlu
dilakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang banjir lahar (wawancara
pribadi). Berdasarkan hasil analisis terkait poin 2, dapat dicermati bahwa
penambangan pasir dan batu di lembah-lembah sungai dan kantong lahar
membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah volume material
dalam kantong berkurang sehingga tampungan kantong untuk lahar semakin
besar, sedangkan dampak negatifnya adalah kerusakan pada bangunan kantong
terutama tanggul kantong karena banyak digunakan untuk penambangan pasir dan
pertanian sawah atau lahan kering.
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa
masyarakat Kabupaten Kediri sudah mengenal tentang lahar beserta cara
penanggulanganya dengan baik. Responden sebagian besar sudah pernah
mengalami kejadian banjir lahar, baik lahar skala besar maupun kecil. Responden
juga mengetahui tempat-tempat yang pernah terlanda lahar pada tahun 1990.
Tempat-tempat tersebut diantaranya Kecamatan Ngancar (Desa Sugihwaras,
Ngancar, dan Sempu), Kecamatan Kepung (Desa Karangdinoyo, Siman),
Kecamatan Puncu (Desa Mbiroto, Lestari, Watu Gede, Kapasan, dan Gadungan),
dan Kecamatan Plosoklaten (Desa Trisulo, Spawon, Dermo, dan Sumberpetung).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan analisis geomorfologi, bentuklahan di Kabupaten Kediri


meliputi Kerucut Vulkanik (Gunungapi Kelud, Wilis, dan Gede), Lembah
Sungai Vulkanik (Gunungapi Kelud, Wilis, dan Gede), Kerucut Parasiter
Gunung Klotok, Lembah sungai, Gabungan Kipas Laharik Gunungapi
Kelud, Perbukitan vulkanik, dan Dataran fluvio–vulkanik (Gunungapi
Kelud dan Wilis). Dari bentuklahan-bentuklahan tersebut, daerah penelitian
didominasi oleh bentuklahan dataran fluvio-vulkanik Gunungapi Kelud
dengan luas total 83.191,20 Ha atau 52,44% dari luas daerah penelitian.
Bentuklahan ini secara morfogenesis dihasilkan oleh proses-proses fluvial
dengan material vulkanik atau disebut endapan lahar, sehingga sesuai
dengan kondisi morfologi sekarang (datar dan terletak di sekeliling
Gunungapi Kelud), maka di waktu yang akan datang aliran lahar masih
dapat terulang kembali menutup bentuklahan ini dengan endapan lahar yang
baru.
34

2. Berdasarkan hasil analisis bahaya proksimal, DAS Puncu dan DAS Mangli
tergolong mempunyai bahaya tinggi atau berpeluang melahirkan lahar
dengan mudah dibandingkan dengan DAS yang lain di wilayah proksimal.
Hal ini dikarenakan dari aspek morfometri yang digunakan (kerapatan aliran
dan gradien lembah) mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan dengan
DAS-DAS lainnya. Dengan demikian kedua DAS tersebut perlu mendapat
prioritas pengelolaan terutama terkait dengan pencegahan dan
penanggulangan lahar yang akan terbentuk dan yang akan mengalir ke
wilayah hilir (medial dan distal).
3. Di daerah medial dan distal, Sungai Konto merupakan sungai yang
mempunyai lembah dengan kapasitas tampung lebih besar dibandingkan
dengan sungai-sungai yang lain, sehingga dibandingkan dengan besarnya
ancaman lahar dari daerah proksimalnya, sungai tersebut tergolong
mempunyai tingkat bahaya rendah. Sebaliknya, Sungai Sumberagung yang
mempunyai daya tampung kecil, merupakan sungai yang mempunyai
tingkat bahaya tinggi. Berdasarkan catatan sejarah sungai ini jarang
menghasilkan bencana aliran lahar yang mungkin disebabkan oleh
sedikitnya endapan piroklastik yang jatuh di atas DAS hulunya (proksimal)
dan hanya menghasilkan aliran lahar dengan volume kecil atau sedang.

Saran

Beberapa saran yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain adalah (1)
diperlukan pembuatan peta lembah sungai dari puncak Gunungapi Kelud sampai
Sungai Brantas, karena masih terdapat perbedaan antara sungai yang dihasilkan
dari citra SRTM dengan Citra GeoEye. Dengan adanya peta lembah sungai yang
lebih baik, diharapkan akan mampu lebih menunjukkan alur-alur sungai yang
benar yang menjadi aliran lahar, (2) penelitian lanjutan dapat diarahkan untuk
pemetaan resiko, baik dari sudut pandang ekonomi maupun aspek sosial,
demografi, dan lingkungan, serta pembuatan jalur evakuasi yang dapat diketahui
oleh semua lapisan masyarakat, (3) bentuklahan dataran fluvio vulkanik
Gunungapi Kelud berpotensi terkena lahar yang baru di kemudian hari, sehingga
perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah, apalagi bentuklahan ini
sekarang banyak digunakan sebagai lahan pertanian dan permukiman, dan (4)
Sungai Sumberagung harus tetap mendapatkan perhatian/pengelolaan oleh
pemerintah, meskipun menurut catatan sejarah belum pernah melahirkan bencana.
Hal ini dikarenakan masih terdapat peluang meningkatnya endapan piroklastik di
DAS hulunya untuk letusan yang akan datang (persebaran dipengaruhi oleh arah
angin). Hal lain yang penting dilakukan pula adalah bahwa lahar dingin dapat
terjadi secara tiba-tiba tanpa ditandai oleh suatu erupsi dari Gunungapi Kelud.
35

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah N dan Purnamawati DI. 2012. Tinjauan Dampak Banjir Lahar Kali Putih
Kabupaten Magelang Pasca Erupsi Merapi 2010. Yogyakarta [ID]: Jurnal
Teknologi Technoscientia, vol. 5. Institut Sains dan Teknologi AKPRIND
Yogyakarta.
Arifanti Y. 2011. Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere. Bandung
[ID]: Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, vol. 6 No. 1. p. 53-62.
Asriningrum W. 2008. Identifikasi Geomorfologi Kawah Gunungapi untuk
Mitigasi Bahaya Letusan Menggunakan Citra Landsat. Lembaga
Penerbangan dan Antariksa (LAPAN).
Ayala IA. 1999. Geomorphology, natural hazard, vulnerability and prevention of
natural disasters in developing countries. Geomorphology (47) tahun 2002.
p. 107-124.
Bergen MJ, Bernard A, Sumarti S, Sriwana T, and Sitorus K. 2000. Crater Lakes
of Java: Dieng, Kelud and Ijen. IAVCEI General Assembly, Bali 2000.
Bourdier JL, Thouret JC, Pratomo I, Vincent PM, and Boudon G. 1997. Menaces
volcaniques au Kelut (Java, Indonese): les enseignements de l‟eruption de
1990. C.R. Acad. Sci. Paris, t.324, serie II a, p. 961 a 968.
BPS. 2012. Kediri dalam Angka. Kediri [ID]: Badan Pusat Statistik (BPS).
Bronto S. 2001. Volkanologi. Yogyakarta [ID]: Sekolah Tinggi Teknologi
Nasional Yogyakarta
Cooke RU and Doornkamp JC. 1990. Geomorphology in Environmental
Management (2nd). Clarendon Press, Oxford, p. 410.
De Belizal E, Lavigne F, Gaillard JC, Grancher D, Pratomo I, dan Komorowski J-
C. 2011. The 2007 eruption of Kelut volcano (East Java, Indonesia):
Phenomenology, crisis management and social response. Geomorphology
(136). Tahun 2012. p. 165-175.
Dinas Komunikasi dan Informatika. 2011. Sejarah Letusan Gunung Kelud
www.kediri.go.id (Diakses pada 24 Januari 2012)
Goudie A, Anderson M, Burt T, Lewin J, Richards K, Whalley B, and Worsley P
1990. Geomorphological Techniques. Routledge. London. p. 692.
Hapsari E. 2012. Seorang Perempuan Ditemukan Tewas di Jalur Lahar Gunung
Kelud.http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/12/02/02/lyr2g2
-seorang-perempuan-ditemukan-tewas-di-jalur-lahar-gunung-kelud. Diakses
pada 23 Desember 2013.
Hasan MI. 2003. Kajian Korelasi Curah Hujan, Debit Sungai Brantas dan
Anomali SML Nino 3,4 untuk Estimasi Ketersediaan Air Permukaan DAS
Brantas, Jawa Timur. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor (IPB).
Iverson RM, Schilling SP, dan Vallance JW. 1998. Objective delineation of lahar-
inundation hazard zones. GSA Bulletin (110). No. 8. p. 972-984.
Kampung Kelud. 2012. Wisata Kediri. www.kampungkelud.com. Diakses pada
23 Desember 2013.
Kusumadinata K. 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia. Direktorat
Vulkanologi, Departemen Pertambangan dan Energi. Bandung.
Kusumosubroto H. 2012. Aliran Debris dan Lahar.Yogyakarta [ID]: Graha Ilmu.
36

Lavigne F, Thouret JC, Voight B, Suwa H, and Sumaryono A. 2000. Lahars at


Merapi Volcano: an overview. Journal of Volcanology and Geothermal
Research (100). Tahun 2000. p.423–456.
Lesage Ph dan Surono. 1993. Seismic Precursor of the February 10, 1990
Eruption of Kelut Volcano, Java. Journal of Volcanology and Geothermal
Research (65). p. 135-146.
Megawati A dan Soedjono ES. 2010. Studi Pengaruh Lahar Dingin pada
Pemanfaatan Sumber Air Baku di Kawaan rawan Bencana Gunungapi
(Studi Kasus: Gunung Semeru). Surabaya [ID]. Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS).
Putra AP. 2011. Penataan Ruang Berbasis Mitigasi Bencana Kabupaten
Kepulauan Mentawai. Jurnal Penanggulangan Bencana vol. 2 No. 1,
Tahun 2011. p.11-20.
Rafiuddin A. 2010. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis untuk Kajian Bahaya dan Resiko Bencana Alam di Kota Bogor
Berbasis Geomorfologi. [skripsi]. Bogor [ID]: IPB.
Ria J. 2008. Identifikasi Aliran Permukaan di Setiap Kecamatan DKI Jakarta
Menggunakan Metode SCS. [skripsi]. Bogor [ID]: IPB.
Sagita AF dan Widiyanto. 2010. Penilaian Tingkat Bahaya Lahar Hujan di
Sungai Code. Yogyakarta [ID]: Universitas Gadjah Mada (UGM).
Scrivenor JB. 1929. The Mudstream (“Lahar”) of Gunong Keloet in Java.
Geological Magazine. LXVI (X). p.433-434.
Subagio H dan Dewandari KT. 2008. Identifikasi dan Analisis Potensi
Sumberdaya Air Mendukung Strategi Pengelolaan Air. Prosiding Seminar
Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, 18-20
November 2008 Buku III Informasi Sumberdaya Air, Iklim. p. 27-36.
Suhardjo D. 2010. Regulasi Pemukiman Pasca Bencana Merapi di Bantaran Kali
Code. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek
Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pasca Bencana. p.59-73.
Thornburry WD .1969. Principles of Geomorphology. 2nd ed. New York: John
Wiley & Sons Inc.
Tjahjono, Boedi, U.S. Wiradisastra, dan Baba Barus. 2001. Penuntun Praktikum
Geomorfologi dan Analisis Lansekap. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Tropenmuseum.2009.http:commons.wikimedia.org/wiki/file:collective_Tropenmu
seum. Diakses pada 23 Desember 2013.
Yunita, Ratna E, Fariza A, dan Sesulihatien WT. 2008. Sistem Emergency dan
evaluasi Bencana gunung Meletus. Studi Kasus: Gunung Api Kelud.
Surabaya [ID]: Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Vallance JW. 1999. Lahars. Sigurdsson H (Eds). 1999. Encyclopedia of
Volcanoes. Toronto: Academic Press. P. 603.
Wiradisastra US, Tjahjono B, Gandasasmita K, Barus B, dan Munibah K. 2002.
Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogior
(IPB).
Zen MT and Hadikusumo D. 1965. The Future Danger of Mt. Kelut (eastern Java-
Indonesia). Bull Volcand. 28. p.275-282.
37

LAMPIRAN
38

Lampiran 1 Lembar Wawancara untuk Masyarakat

KUESIONER UNTUK MASYARAKAT

STUDI GEOMORFOLOGI KABUPATEN KEDIRI DAN PEMODELAN


BAHAYA ALIRAN LAHAR GUNUNGAPI KELUD

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
39

PENDAHULUAN

Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Pertanian pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan dan Ilmu
Tanah, Institut Pertanian Bogor (IPB), maka saya :
Nama : Ardli Swardana
NRP : A14080010
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Lahan dan Ilmu Tanah
mengajukan tugas akhir skripsi dengan judul: Studi Geomorfologi Kabupaten
Kediri dan Pemodelan Bahaya Aliran Lahar Gunungapi Kelud
Berkenaan dengan tugas akhir skripsi tersebut, saya menyusun kuesioner
sebagai bahan untuk analisis.Untuk itu kami mohon kepada Bapak/Ibu untuk
menjawab seluruh pertanyaan yang ada dalam kuesioner ini dengan jawaban yang
benar dan akurat agar data tersebut dapat diolah/dianalisa, sehingga menghasilkan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalammeluangkan waktu
untuk mengisi kuesioner ini, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Saya,

Ardli Swardana
40

IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama : ……………………………………………
2. Tempat/tgl. lahir/umur : ……………………………………………
3. Jenis kelamin : L/P
4. Alamat : ……………………………………………
……………………………………………
5. No. Tel/HP : ……………………………………………
6. Berapakah anggota keluarga serumah yang berusia :
a. 0 – 14 thn (….org)
b. 15 – 55 thn (….org)
c. > 55 thn (…..org)
7. Pendidikan terakhir :
a. Tidak/belum pernah sekolah b. Tidak/belum pernah tamat SD
c. SD/sederajat d. SMP/sederajat
e. SLTA/sederajat f. Diploma I/II
g. Diploma III/akademi h. Sarjana S-1/ke atas
8. Pekerjaan utama saat ini :
a. PNS/karyawan b. Pedagang/wirawasta
c. Pensiunan d. Petani
e. Ibu rumah tangga f. Sopir/buruh
g. Lainnya, …………………
9. Pendapatan bersih dalam sebulan
a.  Rp. 1.000.000,00 b. Rp. 1.000.000,00 s/d Rp. 2.500.000
c. > Rp. 2.500.000.00

..................................,...............

Responden,
A. Kondisi Hunian

1. Luas rumah (M2) :


2. Jarak bangunan dari sungai :
3. Jarak rumah dari jalan :
4. Jarak rumah dari tempat evakuasi :
5. Kondisi bangunan : ____________________

B. Pengetahuan mengenai kebencanaan


1. Apakah Bapak/Ibu mengetahui arti BAHAYA?
a. Ya, darimana………………..
b. Tidak ...............
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui arti RESIKO?
a. Ya, darimana………………..
b. Tidak
3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui mengenai bencana banjir lahar?
a. Ya, darimana………………..
41

b. Tidak
4. Menurut pendapat Bapak/Ibu, apa yang menjadi faktor penyebab bencana
banjir lahar?
1. Manusia
2. Alam
3. Lingkungan
4. Interaksi ketiganya
5. Tidak tahu
5. Apakah Bapak/Ibu sudah mempunyai kesiapan dalam mengahadapi
bencana?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jalur evakuasi jika terjadi bencana?
a. Ya b. Tidak
7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tempat pengungsian jika terjadi bencana?
a. Ya b. Tidak

C. Pengalaman mengenai kebencanaan


1. Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami bencana terutama banjir lahar?
a. Pernah b. Tidak
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui lokasi sekitar yang beresiko terhadap
bencana terutama banjir lahar?
a. Ya, sebutkan………………
b. Tidak

D. Pelatihan kebencanaan
1. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar atau mengetahui mengenai
pencegahan bencana?
a. Pernah, darimana………………
b. Tidak
2. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti sosialisasi/penyuluhan tentang
kebencanaan terutama banjir lahar?
a. Pernah b. Tidak
3. Menurut Bapak/Ibu apakah pengetahuan tentang bencana perlu bagi
masyarakat?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui atau pernah mendengar peta bahaya
gunungapi terutama peta bahaya bencana lahar?
a. Ya b. Tidak
5. Jika jawaban di atas, “Ya” apakah peta tersebut mempunyai informasi
yang lengkap?
a. Ya b. Tidak
6. Jika jawaban di atas, “Ya” apakah peta tersebut dapat dengan mudah
diakses oleh berbagai lapisan masyarakat?
a. Ya b. Tidak
7. Apakah peta bahaya lahar sesuai dengan keadaan dilapangan?
a. Sesuai b. Tidak Sesuai
42

8. Apakah ada upaya dalam pencegahan bencana terutama bencana lahar?


a. Ya, sebutkan upaya apa dan siapa yang melakukan……………….
b. Tidak

E. Pengetahuan Tentang Pemanfaatan Ruang


1. Apakah Bapak/Ibu mempunyai tanah/lahan yang dapat digarap/diusahakan
untuk budidaya?
a. Ya b. Tidak
2. Bagaimana kondisi tanah/lahan yang Bapak/Ibu garap?
a. Datar b. Landai c. Curam
3. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang peruntukan penggunaan lahan di
wilayah ini?
a. Ya, sebutkan………………
b. Tidak
4. Kalau „ya‟ dari manakah Bapak/Ibu tahu tentang peruntukan penggunaan
lahan tersebut?
a. Pemerintah
b. Masyarakat
c. Lainnya, sebutkan……………..
5. Menurut Bapak/Ibu apakah penggunaan lahan di wilayah ini sudah sesuai
dengan kondisi wilayah disini?
a. Sudah b. Belum
6. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar atau mengetahui tentang tata ruang?
a. Ya b. Tidak
7. Kalau „ya‟ dari manakah Bapak/Ibu tahu tentang tata ruang?
a. Pemerintah
b. Masyarakat
c. Lainnya, sebutkan……………..
8. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar atau mengetahui tentang rencana
pemanfaatan ruang?
a. Ya b. Tidak
9. Kalau „ya‟ dari manakah Bapak/Ibu tahu tentang rencana pemanfaatan
ruang?
a. Pemerintah
b. Masyarakat
c. Lainnya, sebutkan……………..
10. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti penyuluhan/sosialisasi tentang
rencana tata ruang?
a. Ya b. Tidak
11. Dalam membangun/mengelola lahan, apakah Bapak/Ibu pernah mendapat
arahan tentang penggunaan lahan dari pemerintah?
a. Ya b. Tidak
12. Apakah Bapak/Ibu pernah membaca/mengetahui tentang
peraturan/ketentuan tentang penataan ruang?
a. Ya b. Tidak
13. Menurut Bapak/Ibu, apakah pengetahuan tentang peraturan/ketentuan
tentang penataan ruang penting bagi masyarakat?
43

a. Ya b. Tidak
14. Apakah perlu peran serta masyarakat dalam penataan ruang?
a. Ya b. Tidak

F. Pertanyaan
1. Apa saran Bapak/Ibu untuk pemanfaatan ruang dan penanggulangan
bencana banjir lahar?

2. Hal yang perlu disampaikan dalam upaya pencegahan bencana terutama


banjir lahar?
44

Lampiran 2 Tabel Stasiun Kliamatologi beserta Besar curah hujan tahunan


Curah Hujan
No Lintang Bujur Nama Stasiun
(mm/th)
1 -7,542404 112,104269 St. Kertosono 1.619,5
2 -7,812163 112,434265 St. Pujon 1.609,5
3 -7,791211 111,975937 St. Kediri 1.689,5
4 -7,916923 112,091174 St. Wates Kediri 2.256,0
5 -7,992875 112,295458 St. Semen 3.329,5
6 -8,076684 112,290219 St. Doko 2.728,0
7 -7,696926 111,787368 St. Wates Sawahan 2.155,5
8 -8,042636 111,580466 St. Tugu 1.767,0
9 -8,003468 112,497066 St. Wagir 2.263,5
10 -7,705365 111,887266 St. Berbek 2.274,5
11 -7,859109 111,874922 St. Wilis 3.795,5
12 -7,94552 111,8738 St. Jeli 1.857,5
13 -7,843398 112,281165 St. Dam Selorejo 2.934,0
14 -7,927564 112,336154 St. Wates Wlingi 3.675,0
15 -8,057741 112,181288 St. Sumberagung 2.843,5
16 -7,489899 112,451742 St. Tampung 1.955,0
17 -8,040601 111,767663 St. Pagerwojo 2.192,0
45

Lampiran 3 Cara Pengukuran dan Perhitungan Lembah Sungai-Sungai Medial dan


Distal Gunungapi Kelud

Hor=lebar (l)

Tinggi (t)

Lembah Sungai Dermo di Kecamatan Plosoklaten


Luas Sungai (A): Lebar (l) x Tinggi (t), jika sungai berbentuk segi empat
Luas Sungai (A): ( Ia+Ib) x t , jika lembah sungai berbentuk trapesium
2
Setelah didapatkan luas semua titik pada satu badan sungai utama, selanjutnya
dihitung luas rata-rata.
Untuk menghitung volume Sungai: Luas rata-rata x panjang total sungai
46
46

Lampiran 4 Tabel lebar, tinggi tebing, luas, dan volume sungai-sungai medial dan distal Kab. Kediri
Hor1 Hor2 Tinggi Luas
No Lintang Bujur Luas rata-rata (m²) Total Panjang sungai (m) Volume (m³)
(l1) (m) (l2) (m) (m) (m²)
1A 7°50'42.0" 112°18'02.0" 31 11,4 353,40
2A 7°49'42.7" 112°18'25.0" 101 83,4 9,2 84,24 432,25 36.076 15.593.971,25
3A 7°48'39.0" 112°18'19.5" 21,4 11,4 5,8 95,12
1B 7°51'53.5" 112°15'44.8" 51,4 6,8 8 232,80
2B 7°46'26.9" 112°11'36.0" 9,8 2,6 25,48
72,80 29.194 2.125.323,20
3B 7°44'10.6" 112°08'52.6" 11,4 2,2 25,08
4B 7°42'53.8" 112°07'54.9" 9,8 0,8 7,84
1C 7°50'14.2" 112°10'35.2" 23,4 16,82 2 40,22
2C 7°49'34.1" 112°09'05.4" 30,4 1,8 54,72
3C 7°48'02.5" 112°07'18.0" 10,4 8 2,6 23,92
4C 7°45'23.1" 112°04'39.1" 21,4 9,8 5 78,00 78,96 22.209 328.756,65
5C 7°43'20.4" 112°03'47.2" 41,4 28,2 7,8 271,44
1Cx 7°45'16.1" 112°06'07.4" 14,8 2,4 35,52
2Cx 7°44'19.2" 112°05'20.1" 22,8 9,8 3 48,90
1D 7°51'32.1" 112°10'19.3" 5 1 5,00 5,00 20.994 104.970,00
1E 7°56'50.9" 112°07'50.5" 8,4 2 16,80
2E 7°56'22.3" 112°06'54.4" 14,4 1,4 20,16
3E 7°56'10.7" 112°04'01.4" 16,4 1 16,40
59,39 23.212 1.378.638,05
4E 7°56'00.3" 112°02'16.5" 11,8 3 35,40
5E 7°53'13.8" 112°09'11.0" 20,4 8,6 175,44
6E 7°57'55.3" 112°01'36.6" 28,8 3,2 92,16
1F 7°52'43.3" 112°09'39.7" 3 1 3,00
71,48 23.094 1.650.643,65
2F 7°52'29.3" 112°09'03.6" 31,8 4,2 133,56
47

3F 7°48'48.2" 112°05'44.0" 27,8 19,4 6 141,60


4F 7°47'35.4" 112°03'17.2" 14,4 9,6 4 48,00
5F 7°45'36.6" 112°01'47.9" 22,8 11,4 2 34,20
1Fx 7°53'13.8" 112°09'11.0" 20,4 8,6 175,44
2Fx 7°52'40.5" 112°07'57.1" 4 1,5 6,00
3Fx 7°51'35.4" 112°07'16.7" 10 3 30,00
1G 7°51'06.9" 112°13'25.9" 10,4 2,1 21,84
2G 7°49'22.8" 112°11'51.2" 11,4 8,2 4,4 43,12 41,99 23.919 1.004.279,08
3G 7°44'33.8" 112°07'30.1" 12,2 5 61,00
1H 7°51'14.7" 112°16'54.0" 34 5,8 197,20
2H 7°49'41.5" 112°17'11.3" 10,4 5,8 60,32
3H 7°47'38.9" 112°15'21.6" 21,8 6,8 148,24
4H 7°43'56.9" 112°13'24.8" 19 1,6 30,40
66,52 39.975 2.659.236,94
5H 7°43'24.8" 112°13'10.8" 4 0,5 2,00
6H 7°41'24.3" 112°12'04.6" 3 1,5 4,50
7H 7°40'00.4" 112°11'00.4" 13,8 1,8 24,84
8H 7°40'34.7" 112°07'17.3" 23,8 22,4 2,8 64,68

47
48

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri pada 25 Juli 1989 dari pasangan Warli dan
Lilik Kuswidarti. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2008
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kediri dan pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI), diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten
praktikum pada beberapa mata kuliah di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya
Lahan, yaitu Pengideraan Jauh dan Interpretasi Citra, Geomorfologi dan Analisis
Lanskap, Morfologi dan Klasifikasi Tanah, Survey dan Evaluasi Sumberdaya
Lahan, Biologi Tanah, dan Sistem Informasi Geografis. Penulis juga aktif di
organisasi kemahasiswaan sebagai pengurus di Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah
IPB (HMIT) periode 2009/2010 dan mendapat tugas sebagai ketua Divisi
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) HMIT periode 2010/2011. Prestasi
akademik yang pernah diraih adalah Juara I lomba soil judging dalam Pekan
Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah yang diselenggarakan oleh FOKUSHIMITI
Regional 2 di Universitas Padjadjaran Bandung dan Juara I lomba soil judging
dalam acara Kongres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) yang
diselenggarakan di Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011.

Anda mungkin juga menyukai