Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. JABARAN SKENARIO


Pak Toni umur (50 tahun), datang ke klinik RSGM FKG UI dengan keluhan sejak 2 hari
yang lalu gigi bawah kiri sakit sekali jika kemasukan makanan dan hilang rasa sakitnya bila
dibersihkan. Pasien juga mengeluh gigi kanannya sudah 2 bulan sering sakit berdenyut tapi
sakitnya tidak hilang walaupun makanan sudah dibersihkan. Rasa sakit dapat hilang
sementara jika Pak Toni minum obat ponstan. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan
terdapat banyak plak dan kalkulus di seluruh region, gingival edema, dan kemerahan. Pak
Toni ingin giginya dirawat, tapi sangat cemas memikirkan perawatan yang akan dihadapi
karena dia sangat tidak tahan sakit, walaupun keinginannya untuk sembuh sangat besar.
Sementara anak Pak Toni yang berusia 5 tahun merasakan hal yang sama di gigi sebelah
kanannya sehingga sulit untuk makan.

1
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa etiologi penyakit pulpa?
2. Bagaimana pathogenesis dan immunopatogenesis dari penyakit pulpa?
3. Bagaimana mekanisme rasa sakit?
4. Apa saja macam-macam rasa sakit?
5. Bagaimana klasifikasi penyakit pulpa?
6. Apa saja jenis obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan cara
pemilihannya?
7. Bagaimana menentukan diagnosis dan prognosis penyakit pulpa?
8. Bagaimana rencana perawatan dari penyakit pulpa pada gigi permanen dan gigi sulung?
9. Apa hubungan penyakit pulpa dengan jaringan periodonsium?

1.3. Mind Map

ETIOLOGI

PATOGENESIS

HUBUNGAN DENGAN
PENYAKIT
JARINGAN
PADA PULPA
PERODONTAL

KLASIFIKASI

RASA SAKIT
PEMERIKSAAN
REVERSIBLE IRREVERSIBLE
KLINIS
OBAT
PENGHILANG
MEKANISME
SAKIT

MACAM-MACAM
DIAGNOSIS,
PROGNOSIS,
RENCANA 2
PERAWATAN
1.4. HIPOTESIS
Gigi kiri bawah Pak Toni mengalami pulpitis reversible, sedangkan gigi kanan bawahnya
mengalami pulpitis irreversible. Gigi kanan bawah anak Pak Toni mengalami irreversible.

1.5. Sasaran Belajar


1. Menjelaskan etiologi penyakit pulpa;
2. Menjelaskan pathogenesis dan imunopatogenesis penyakit pulpa;
3. Menjelaskan klasifikasi penyakit pulpa;
4. Menjelaskan rencana perawatan pada penyakit pulpa;
5. Menjelaskan mekanisme rasa sakit;
6. Menjelaskan macam-macam rasa sakit;
7. Menjelaskan jenis obat, indikasi dan kontraindikasi penghilang rasa sakit.

3
BAB II
ISI

2.1 ANATOMIS PULPA


2.1.1 Bagian-bagian pulpa:
1. Tanduk pulpa
2. Kamar pulpa
3. Saluran akar
4. Saluran akar lateral atau aksessori atau suplementary
Disebut juga saluran akar tambahan , merupakan jembatan penghubung pulpa dan
periodontium. Saluran ini adalah jalan lewat bagi penyakit dari pulpa ke periodontium
maupun sebaliknya.

5. Foramen Apikal
6. Orifis, adalah saluran menuju saluran akar yang memisahkan saluran akar dengan
kamar pulpa
7. Apikal konstriksi
8. Bifurkasi

4
2.1.2 Fungsi Pulpa
1. Induktif
Yaitu berpartisipasi dalam induksi dan pengembangan odontoblast dan dentin, yang
kemudian akan menginduksi pembentukan email.

2. Formatif
Odontoblast yang berada di pulpa akan membentuk dentin dengan 3 cara:

a. Dengan mensintesis dan mensekresi matriks anorganik.


b. Dengan memasukan anorganik ke dalam matriks dentin yang baru terbentuk
c. Dengan menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan mineralisasi matriks
3. Nutritif
Melalui tubulus dentin pulpa memasok nutrien yang sangat diperlukan bagi pembentukan
dentin dan hidrasi

4. Defensif
Odontoblast membentuk dentin sebagai respons terhadap cedera, terutama jika ketebalan
dentin berkurang karena karies, keausan, trauma, atau prosedur restoratif. Pulpa juga
mempunyai kemampuan untuk menangkal suatu respons inflamasi dan imunologis untuk
menetralisir atau menghilangkan invasi mikroorganisme penyebab karies dan produk-
produk sampingnya ke dalam dentin.

5. Sensatif
Melalui sistem saraf, pulpa memancarkan sensasi yang diperantara oleh email atau dentin
ke pusat-pusat saraf yang lebih tinggi. Stimuli ini diungkapkan dengan rasa nyeri.

2.2 ETIOLOGI
2.2.1 Etiologi Penyakit Pulpa
Dalam Pathway of Pulp, faktor etiologi penyakit pulpa dikelompokan dalam 4 kategori
umum:

5
1. Bacterial Factor
Bakteri dan produk-produknya adalah penyebab utama penyakit endodontik.
Khususnya, pulpa yang terekspos akan memburuk dan menjadi nekrotik total dengan
pembentukan abses jika hanya terdapat bakteri.

2. Iatrogenic Factor
Penyebab umum kedua dari penyakit endodontik adalah akibat usaha perbaikan
penyakit gigi. Misalnya saat prosedur operatif yang mengakibatkan panas atau
kekeringan yang berlebihan, teknik saat mencetak gigi, material dan bahan kimia yang
digunakan dalam kedokteran gigi juga dapat menyebabkan iritasi pulpa.

3. Traumatic Factor
Respon terhadap trauma tergantung keparahan trauma tersebut. Misalnya, trauma
yang relative ringan dari oklusi akan sedikit atau tidak mempunyai pengaruh. Namun,
trauma oklusi yang lebih berat mungkin akan mempunyai efek ke pulpa yang lebih
signifikan. Beberapa gigi merespon trauma dengan meningkatkan kalsifikasi pulpanya.
Tetapi ada juga yang menjadi nekrotik. Trauma yang menyebabkan fraktur pada gigi
memberikan jalan kepada oral flora mencapai pulpa. Hal ini dapat membuat gejala klinis
aneh, sehingga diagnosa menjadi sulit.

4. Idiopathic Factor
Perubahan pulpa juga terjadi karena alasan-alasan yang belum diketahui (idiopathic).
Contoh umumnya adalah resorpsi interna. Walaupun sudah diketahui bahwa trauma
memperluas resorpsi interna, namun tidak dapat menjelaskan kejadiannya secara
keseluruhan. Secara mikroskopis, macrophages dan multinucleated giant cells ditemukan
di dentin yang teresorbsi. Juga terlihat gambaran radiolusensi di bagian periapikal yang
mungkin berhubungan dengan resorpsi interna, menandakan nekrosis pulpa sebagai
lanjutan dari reaksi tersebut.

6
2.2.2 Identifikasi Faktor Etiologi:
1. Fisik
a. Injuri Mekanis
Injuri ini biasanya disebabkan oleh trauma atau pemakaian patologik gigi.
 Trauma
Injuri traumatic dapat disertai atau tidak disertai oleh fraktur mahkota atau akar.
Trauma tidak begitu sering menyebabkan injuri pulpa pada orang dewasa dibandingkan
anak-anak. Injuri traumatic pulpa mungkin disebabkan pukulan keras pada gigi,
olahraga, kecelakaan, dll. Kebiasaan seperti membuka jepit rambut dengan gigi,
bruksisme, menggigit kuku, dan menggigit benang oleh penjahit juga menyebabkan
injuri pada pulpa yang dapat mengakibatkan matinya pulpa. Pada waktu preparasi
kavitas, ketebalan dentin yang tertinggal hendaknya antara 1.1 – 1,5 mm untuk
melindungi pulpa terhadap inflamasi dan jalan masuk bakteri.

 Pemakaian patologik
Pulpa dapat juga terbuka atau hamper terbuka oleh pemakaian patologik gigi baik
abrasi maupun atrisi bila dentin sekunder tidak cukup cepat ditumpuk.

 Radiasi
Radiasi laser yang cukup untuk menyebabkan kavitas pada gigi dapat juga
menyebabkan perubahan degenerative berat pada pulpa.

 Reaksi pulpa terhadap tumpatan


Tumpatan amalgam perak, tembaga, silikat, komposit, dan bahkan oksifosfat dari
semen seng menyebabkan sedikit reaksi pulpa bila diinsersi ke dalam kavitas yang
dipreparasi pada dentin. Makin dalam kavitas, makin besar kerusakan yang disebabkan.

b. Injuri Termal
 Panas karena preparasi kavitas
Penyebab utama adalah panas yang ditimbulkan oleh bur pada preparasi kavitas.
Mesin bur berkecepatan tinggi dapat mengurangi waktu preparasi, tetapi juga

7
mempercepat kematian pulpa bila dilakukan tanpa pendingin. Panas yang dihasilkan
cukup dapat menyebabkan kerusakan pulpa yang tidak dapat diperbaiki kembali.

 Panas gesekan selama pemolesan


Panas yang cukup besar juga dapat dihasilkan selama pemolesan suatu tumpatan
atau selama proses mengerasnya semen untuk paling tidak menyebabkan injuri
sementara pada pulpa.
 Kondisi panas oleh tumpatan
Tumpatan metalik yang dekat pada pulpa tanpa suatu dasar semen perantara dapat
menyalurkan secara cepat perubahan panas ke pulpa dan mungkin dapat merusak pulpa
tersebut. Perubahan temperature yang disebabkan oleh es dan minuman panas dapat
juga mengakibatkan terjadinya injuri pulpa.
 Barodontalgia
Barodontalgia atau aerodontalgia menunjukkan nyeri gigi yang terjadi pada
tekanan atmosferik rendah baik pada waktu penerbangan ataupun pada waktu suatu tes
berlari di dalam ruangan yang tekanan udaranya dikurangi. Barodontalgia umumnya
telah diobservasi pada ketinggian melebihi 5000 kaki, tetapi lebih mungkin
dimungkinkan terjadi pada 10.000 kaki atau di atasnya.sebuah gigi dengan pulpitis
kronis pada ketinggiaan permukaan laut mungkin tanpa gejala, tetapi dapat
menyebabkan rasa sakit pada tempat yang tinggi karena tekanan berkurang. Melapisi
kavitas dengan suatu pernis kavitas atau suatu bahan dasar semen seng fosfat, dengan
dasar emen seng okside eugenol pada kavitas dalam dapat mencegah barodontalgia.
2. Bahan-bahan kimiawi
Bahan kimia penyebab injuri pulpa antara lain asam fosfat, monomer akrilik,
hydrogen peroksida, dan bahan kimia yang terdapat dalam larutan desentisasi, pelapik
kavitas dan dan bahan tambalan sementara maupun permanen.

3. Bakteri
Mikroroganisme yang berperan dalam menyebabkan inflamasi pada pulpa adalah yang
terdapat dalam karies (streptococcus mutans, lactobaciluus, actinomycetes). Pada lapisan
terdalam dari dentin yang karies, populasi mikroorganisme menurun sampai tinggal sedikit

8
atau bahkan tidak ada sama sekali. Tetapi mikroorganisme ini akan menghasilkan toksin
yang berpenetrasi ke dalam pulpa melalui tubulus.

Bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui 3 cara :

- Invasi langsung melalui dentin, seperti misalnya karies, fraktur mahkota atau akar,
terbukanya pulpa pada waktu preparasi kavitas, atrisi, abrasi, erosi, atau retak pada
mahkota.
- Invasi melalui pembuluh darah atau limfatik terbuka, yang ada hubungannya dengan
penyakit periodontal, suatu kanal aksesori pada daerah furkasi, infeksi gusi, atau
scalling gigi.
- Invasi melalui darah, misalnya selama penyakit infeksius atau bacteremia transien
Biasanya pulpa tidak mampu menghilangkan iritan yang merusak, paling
maksimal hanya menyetop atau memperlambat penyebaran ke seluruh jaringan pulpa.
Sesudah itu, bakteri atau produk-produknya dari pulpa yang nekrotik akan berdifusi dari
saluran akar ke arah periapeks sehingga timbul lesi inflamasi yang lebih parah.

2.3 IMUNOPATOGENESIS

Pulpa bereaksi terhadap iritan. Cedera pulpa mengakibatkan kematian dan inflamasi
sel. Derajat inflamasinya proporsional dengan intensitas dan keparahan jaringan yang
rusak.
2.3.1 Proses Inflamasi
Iritasi pulpa dental mengakibatkan pengaktifan bermacam-macam sistem biologis
seperti reaksi inflamasi nonspesifik yang diperantarai oleh histamine, bradikinin, dan
metabolit asam arakhidonat. Yang juga dilepat adalah produk granul lisosom PMN,
inhibitor protease (antitripsin), dan neuropeptid (CGRP serta substan P).

9
Pulpa yang normal dan sehat tidak
mengandung sel mast, hanya ditemukan pulpa
yang terinflamasi. Sel mast mengakibatkan
pelepasan histamine dan unsure bioaktif lainnya.
Keberadaan histamine dalam dinding pembuluh
darah dan meningkatnya histamine secara nyata
mengindikasikan pentingnya histamine dalam
inflamasi pulpa.
Kinin, yang menimbulkan banyak tanda
dan gejala inflamasi akut, dihasilkan ketika
kalikrein plasma atau kalikrein jaringan berkontak
dengan kininogen. Metabolisme asam arakhidonat
yang menghasilkan pembentukan berbagai
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien, mengindikasikan reaksi inflamasi jaringan
pulpa.

Jaringan pulpa memiliki persarafan serabut sensorik yang padat yang mengandung
neuropeptid yang bersifat immunomodulator seperti SP dan CGRP. Secara alamiah saraf
pulpa bersifat protektif dan terlibat dalam perekrutan sel inflamasi atau sel
imunokompeten dalam pulpa yang cedera. Cedera pulpa ringan sampai sedang akan
menyebabkan bertumbuhnya saraf sensorik disertai meningkatnya CGRP imunoreaktif
(iCGRP). Sedangkan cedera parah menimbulkan efek sebaliknya yakni kurangnya atau
hilangnya iCGRP dan SP.
2.3.2 Respon Imunologik
Respon imun dapat menginisiasi dan memperparah penyakit pulpa. Jaringan pulpa
normal dan tidak terinflamasi mengandung sel imunokompeten seperti limfosit T dan
limfosit B (lebih sedikit), makrofag, dan sel dendritik yang mengekspresikan molekul
kelas II yang secara morfologik serupa dengan makrofag dalam jumlah yang cukup
banyak.Keberadaan sel immunokompeten tersebut pada pulpa yang terinflamasi
mengindikasikan bahwa reaksi hipersensitivitas tertunda dapat terjadi dalam jaringan ini.
Reaksi imunologik pada pulpa dapat pula mengakibatkan pembentukan titik-titik nekrotik
kecil dan akhirnya menjadi nekrosis pulpa total.

10
2.3.3 Perkembangan Lesi
Cedera pulpa ringan tidak mengakibatkan perubahan yang signifikan. Tetapi, cedera
sedang sampai parah akan mengakibatkan inflamasi setempat dan lepasnya perantara
inflamasi dalam konsentrasi tinggi. Naiknya tekanan kapiler dan meningkatnya
permeabilitas kapiler menggerakan cairan dari pembuluh ke jaringan sekitar. Jika
pembuangan cairan oleh venul dan limfatik tidak dapat mengimbangi filtrasi cairan dari
kapiler, maka eksudat terbentuk.
Jaringan pulpa adalah jaringan yang terkurung oleh dinding yang kaku dan
membentuk suatu sistem yang low-compliance, oleh sebab itu peningkatan tekanan
jaringan yang kecil pun akan menimbulkan kompresi pasif dan bhakan kolapsnya venul
secara total di area cedera pulpa. Pelepasan perantara inflamasi menyebabkan nyeri
langsung dengan menurunkan ambang rangsang saraf sensorik. Zat ini juga
mengakibatkan nyeri tidak langsung dengan meningkatnya vasodilatasi arteriol dan
permeabilitas venul sehingga akan terjadi edema dan peningkatan tekanan jaringan.
Tekanan ini bereaksi langsung pada reseptor saraf sensorik.
Meningkatnya tekanan jaringan, ketidaksanggupan pulpa untuk berekspansi, dan
tidak adanya sirkulasi kolateral dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis pulpa yang
kemudian bisa berkembang menjadi patosis periradikular.

2.4 Mekanisme Nyeri Pulpa


Saat teraktivasi oleh stimulus yang cukup, ujung-ujung saraf di jaringan pulpa akan
mengirimkan pesan ke sistem saraf pusat yang kemudian akan diterjemahkan sebagai
rasa sakit. Mekanisme rasa sakit ini dimulai dari deteksi stimuli sakit oleh sistem saraf
perifer, pemrosesan informasi di korda spinalis, kemudian persepsi rasa sakit di daerah
korteks serebrum.

a. Deteksi
Serabut saraf pada pulpa yang mengirimkan informasi tentang rasa sakit adalah
serabut A-delta dan serabut C. Serabut A-delta berdiameter kecil dan bermielin,
sementara serabut C berdiameter lebih kecil lagi dan tidak bermielin. Saraf A-delta
terdapat di perifer jaringan pulpa, sementara saraf C terdapat pada daerah sentral dari

11
jaringan pulpa. Kedua saraf ini disebut nosiseptor (serabut saraf yang mendeteksi rasa
sakit), dan jumlah serabut C lebih banyak dibandingkan serabut A-delta. Karena sifatnya
yang nosiseptor, berbagai rangsangan (mekanis, suhu, osmotik) akan diterjemahkan
sebagai rasa sakit.

Pada jaringan pulpa yang sehat, apabila terdapat suatu stimuli yang menyakitkan,
stimuli ini akan membuat depolarisasi pada membran sel saraf dan akan terjadi potensial
aksi yang nantinya akan mengakibatkan rasa sakit. Setelah terjadinya potensial aksi,
informasi akan dikirimkan ke SSP dan pada saat yang sama akan terjadi pelepasan
mediator inflamasi (substansi P, CGRP, sitokin) dari serabut saraf yang terangsang. Hal
ini akan memperkuat respons sakit yang dialami pulpa dan berfungsi sebagai peringatan
untuk menghentikan stimulus yang menyakitkan tadi.

Namun jika stimulus yang menyakitkan terus saja terjadi misalkan dari inflamasi
akibat serangan bakteri, maka akan terjadi beberapa hal berikut:

 Pelepasan mediator inflamasi seperti prostaglandin, bradikinin, dan sitokin.


Mediator inflamasi ini akan membuat saraf-saraf pada pulpa menjadi lebih sensitif
terhadap stimuli.
 Perubahan ujung-ujung saraf yang meliputi percabangan dari ujung-ujung saraf
pada pulpa yang disertai dengan bertambahnya jumlah kanal ion Na+ pada sel saraf.
 Sensitisasi perifer
Pelepasan mediator inflamasi & perubahan saraf pulpa akan menyebabkan
sensitisasi pada nosiseptor pulpa yang meliputi 3 bentuk. Pertama, akan terjadi allodynia
(ambang batas potensial aksi akan menurun, sehingga stimulus yang sebelumnya tidak
menyakitkan akan menjadi menyakitkan. Kedua, akan terjadi hyperalgesia, dimana akan
suatu stimuli yang menyakitkan akan terasa lebih sakit dari biasanya. Bentuk sensitisasi
yang ketiga adalah terjadi potensial aksi secara spontan, yang menimbulkan rasa sakit
spontan.

12
b. Processing
Setelah aktivasi dari nosiseptor perifer, maka potensial aksi yang terbentuk akan
membawa informasi rasa sakit melewati korda spinalis kemudian menuju thalamus dan
akan berlanjut ke korteks. Pada daerah korda spinalis, informasi akan diterima oleh 3
subnuklei yaitu subnuklei oralis, subnuklei interpolaris, dan subnuklei caudalis. Dari
ketiga subnuklei ini, informasi paling banyak diterima oleh subnuklei caudalis/medullary
dorsal horn. Pada tingkat ini informasi akan diteruskan lagi ke thalamus.

c. Persepsi
Setelah potensial aksi melewati thalamus, potensial aksi akan diteruskan lagi ke
korteks serebrum. Jika informasi sudah mencapai korteks serebrum, pasien akan
mendapatkan persepsi sakit. Rasa sakit ini akan dipengaruhi oleh beberapa hal:

 Pengalaman mengenai sakit yang sama sebelumnya


Apabila pasien pernah mengalami stimulus sakit yang sama, maka jalur penghantaran
potensial aksinya sudah terbentuk. Jika pasien kemudian terkena stimulus sakit itu lagi,
maka rasa sakit yang terasa akan lebih berat

 Keadaan psikis pasien/tingkat kecemasan pasien


Kecemasan pasien juga akan mempengaruhi persepsi sakitnya. Selama perawatan,
pasien yang cemas akan merasakan rasa sakit yang lebih hebat dibandingkan biasanya.
Karena itu, sebelum melakukan tindakan perawatan, rasa cemas pasien sebaiknya
dihilangkan.

Penegakkan diagnosis banding hendaknya didasarkan pada pemahaman yang baik


mekanisme nyeri. Banyak hipotesis yang diajukan namun yang paling dapat diterima
adalah teori spesifitas & teori gerbang.

1. Teori Spesifitas
Sudah lama diyakini bahwa bagian tertentu dari sistem saraf berperan dalam
membawa nyeri dari reseptor nyeri ke pusat nyeri di sistem saraf pusat. Kenyataannya
memang ada sejumlah serabut saraf yang hanya (atau secara maksimal) mengadakan
respon terhadap stimulus yang berada dalam kisaran noksius. Namun, keberadaan apa
yang dinamakan ‘sistem nyeri’ itu sendiri tidak bisa menerangkan dengan baik semua

13
tampilan nyeri klinik maupun eksperimental. Nyeri alih (lokasi nyeri sering salah
ditentukan) dan nyeri patologik serta efek faktor emosi dan motivasional masih
memerlukan penjelasan.

2. Teori Gerbang
Semua aktivitas aferen dari sistem saraf perifer dapat dimodulasikan ketika saraf
tersebut memasuki sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat ini akan menyaring dan
mengintegrasikan informasi sensoris yang jumlahnya banyak dan hanya sedikit dari
semua itu akan mencapai tingkatan untuk dirasakan. Banyak informasi yang dibuang
selain banyak pula yang digunakan dalam aktivitas refleks otonom yang tidak disadari.
Proses pengintegrasian itu dianalogikan dengan suatu gerbang. Jika gerbang membuka,
aktivitas sensori yang datang akan melintasinya dan meneruskan perjalanan ke tingkat
berikutnya.

Substrat anatomik dari mekanisme buka-tutup gerbang bagi nyeri berada di tanduk
dorsal materia alba dari korda spinalis dan batang otak. Gerbang akan melakukan
tindakan baik inhibisi maupun fasilitasi terhadap aktivitas sel transmisi yang membawa
aktivitas lebih jauh lagi menyusuri alur saraf. Ada sejumlah faktor yang akan membuka
atau menutup gerbang tersebut. Satu faktor penting adalah derajat aktivitas relatif dari
serabut A-beta yang berdiameter besar dan serabut A-delta dan C yang berdiameter kecil.
Serabut A-beta diaktifkan oleh stimulus non-noksius sedangkan serabut kecil A-delta dan
C oleh stimulus noksius. Aktivitas serabut besar cenderung cenderung menutup gerbang
sedangkat serabut kecil akan membuka gerbang. Mekanisme pengendalian dari tingkat
yang lebih tinggi di sistem saraf pusat (kontrol desendens) dipengaruhi oleh proses
kognitif, motivasional, dan afektif. Aktivitas di serabut aferen besar tidak hanya akan
menutup gerbang secara langsung melainkan juga mengaktifkan mekanisme
pengendalian sentral yang juga dapat menutup gerbang.

Jika gerbang membuka dan aktivitas pada aferen masuk cukup untuk mengatifkan
sistem transmisi, maka akan teraktifkan dua alur utama ke atas (alur asenden). Salah
satunya adalah alur diskriminatif sensoris yang menyambung ke korteks somatosensoris
melalui talamus ventroposterior. Alur ini memungkinkan penentuan tempat nyeri. Alur ke
atas (alur asendens) yang kedua melibatkan informasi retikulum melalui sistem thalamus

14
medial dan sistem limbus, yang berurusan dengan aspek emosi, aversif, dan
ketidaknyamanan dari nyeri. Alur yang menurun (alur desendens) , selain bekerja pada
gerbang tanduk dorsal juga berinterkasi dengan kedua alur asendens ini. Salah satu alur
desendens utama diketahui menggunakan peptid lir-opioid yang disekresikan secara
endogen (misalnya endorfin) untuk menekan atau mengurangi transmisi dalam alur nyeri.

2.5 Macam-macam Rasa Nyeri

 Nyeri akut adalah rasa tidak enak yang berasal dari terangsangnya jalur
nyeri oleh stimulus yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
 Alodinia adalah merendahnya ambang nyeri rangsanag sehingga stimulus
yang tadinya tidak apa apa menjadi nyeri.
 Anastesia adalah tidak adanya semua sensasi
 Nyeri orafasial tidak khas adalah nyeri yang tidak begitu jelas yang
meliputi berbagai sindrom (seperti phantom tooth pain), odontolgia tidak
khas, neuralgia wajah tidak khas, dan mulut terasa terbakar
 Nyeri kronik adalah nyeri yang timbul tanpa adanya stimulus & kerusakan
jaringan yang jelas, tidak mengganggu, dapat dianggap sebagai penyakit
sistem peringatan nyeri
 Konvergensi adalah bermuaranya beberapa akson aferen primer pada
neuron tingkat kedua yang sama (konvergensi). Jika akson sensor termal
ini aktif dan dekat satu sama lain dalam arti waktu atau posisi akan saling
berinteraksi
 Nyeri dalam adalah nyeri yang sifatnya tumpul, sukar di temukan
tempatnya, dan timbul dari serabut saraf yang mempersarafi pembuluh
darah, usus, dan struktur dalam yang lain. Nyeri ini dapat menyebabkan
mual
 Disestesia, Parestesia adalah sensasi tidak enak yang manifestasinya
beragam, sering digambarkan sebagai kombinasi rasa-geli, terbakar yang
di sertai rasa ambang yang rendah, bisa spontan atau harus di rangsang
 Hiperlgesia adalah suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus

15
 Hiperestesia adalah sensitivitas yang meningkat terhadap semua stimulus
 Hipoalgesia adalah respon yang menurun terhadap stimulus
 Neuralgia adalah sindrom nyeri kronis yang di tandai oleh nyeri
paroksimal, tidak ada remisi, atau sakit sekali
 Neuritis adalah inflamasi saraf yang menyebabkan nyeri pada daerah yang
di persarafi yang melibatkan serabut penghantar nyeri
 Neuroplastisitas adalah kemampuan susunan saraf pusat untuk
memodifikasi pemrosesan informasi aferen
 Nosiseptor adalah reseptor yang mengadakan respon pada ambang
rangsang tinggi yang terhadap stimulus yang secara normal di
interpretasikan sebagai menyakitkan
 Stimulus Noksius adalah stimulus yang mampu menyebabkan cedera
 Sistem Nyeri adalah komponen komponen sistem sar4af yang terlibat
dalam pemasukan dan pemrosesan informasi yang nokslus
 Nyeri Patologis adalah nyeri yang ditimbulkan oleh proses penyakit bukan
oleh stimulus buatan
 Nyeri Psikologis adalah sindrom nyeri dengan dominasi faktor psikologi,
mungkin ada sedikit atau tidak ada saraf stimulus noksius dari saraf tepi
 Nyeri Alih nyeri yang di rasakan bukan pada daerah yang terkena stimulas
atau kerusakan jaringan
 Nyeri sebar adalah mediator inflamasi dari daerah kerusdakan jaringan ke
jaringan sekitarnya memivcu terjadinya hiperalgesia dan kram otot yang
nyeri
 Nyeri Permukaan adalah nyeri yang tajam, sejenak, dan terbaras yang
timbul bila reseptor pada permukaan tubuh berkontak dengan stimulus
noksius
 Sindrom Nyeri-Disfungsi Temporamandibula adalah nyeri yang
berhubungan dengan otot sendi rahang
 Nyeri Vaskuler adalah nyeri dalam yang di anggap timbul akibat adanya
stimulus noksius pada serabut sensoris yang memasok pembuluh darah

16
2.6 KLASIFIKASI PENYAKIT PULPA
Klasifikasi penyakit pulpa didasarkan pada tanda-tanda dan gejala klinis bukan pada
temuan histologik karena tidak adanya korelasi antara data histologik patologis pulpa dan
gejalanya.
a. Pulpitis Reversibel
Pulpitis reversible adalah inflamasi pulpa yang tidak parah. Apabila penyebab
dihilangkan maka inflamasinya akan pulih kembali dan pulpa akan kembali normal.
Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan pulpitis reversibel, antara lain stimulus ringan
atau sebentar, seperti karies insipien, erosi servikal, atau atrisi oklusal, sebagian besar
prosedur operatif, kuretase periodontium yang dalam, dan fraktur email yang
menyebabkan tubulus dentin terbuka.

Pemeriksaan intensitas nyeri saat stimulasi, riwayat dental, dan pemeriksaan-


pemeriksaan lainnya sangat penting dilakukan untuk membedakan antara pulpa nomal,
dentin hipersensitif, dan pulpa reversibel.

Gejala: biasanya asimtomatik (tanpa gejala), akan tetapi jika ada, gejala biasanya
timbul dari pola tertentu. Aplikasi cairan atau udara dingin/panas misalnya bisa
menimbulkan nyeri tajam sementara. Jika stimuli dihilangkan yang secara normal tidak
menimbulkan nyeri atau ketidaknyamanan, nyeri akan reda segera. Stimuli panas atau
dingin menghasilkan respon nyeri yang berbeda-beda pada pulpa normal. Jika panas
diaplikasikan pada gigi yang pulpanya tidak terinflamasi, akan timbul respon awal yang
lambat, intensitas nyerinya akan makin naik jika suhunya dinaikkan. Sebaliknya, nyeri
sebagai respon terhadap aplikasi dingin atau pulpa pada kedua keadaan sehat atau sakit,
tampaknya timbul akibat perubahan tekanan intrapulpa.

Perawatan: Dengan menghilangkan iritan dan menutup serta melindungi dentin yang
terbuka atau pulpa vital biasanya menghilangkan gejala (jika ada) dan memulihkan inflamasi
jaringan pulpa.

17
b. Pulpitis Ireversibel
Pulpitis irreversible adalah akibat atau perkembangan dari pulpitis reversibel. Atau
merupakan inflamasi parah yang tidak akan pulih kembali sekalipun dihilangkan
penyebabnya ,lambat atau cepat ,akan menjadi nekrosis.

Pulpa dilingkupi oleh lingkungan yang kaku, termineralisasi, dan memiliki


kemampuan yang terbatas untuk meningkatkan volumenya selama proses inflamasi. Di
lingkungan yang tidak mendukung ini, respon inflamasi yang kuat akan menyebabkan
peningkatan tekanan jaringan yang merugikan, mempercepat mekanisme kompensatori
pulpa untuk menguranginya. Proses inflamasi menyebar secara sirkumferensial dan
incremental melewati pulpa, mengakibatkan destructive cycle yang terus-menerus.

Dengan provokasi, pulpa vital yang cedera dan terinflamasi lokal dapat mengeluarkan
gejala nyeri serat A-delta. Mediator inflamasi memicu hiperalgesia, dan salah satu gejala
klasik dari pulpitis ireversibel adalah rasa nyeri yang lambat akibat rangsang termal. Seiring
dengan berkurangnya nyeri berlebih serat A-delta, nyeri tumpul dan berdenyut-denyut
muncul. Gejala nyeri kedua ini menandakan inflamasi telah melibatkan serat saraf C
nosiseptif.

Dengan meningkatnya inflamasi jaringan pulpa, hanya nyeri serat saraf C saja yang
terasa. Nyeri yang pada mulanya hanya sebentar dan lambat akan menjadi nyeri yang
kuat dan berlangsung lama (konstan, menyebar, dan berdenyut). Nyeri spontan
(unprovoked) merupakan ciri khas dari pulpitis ireversibel. Jika nyeri pulpa lama
(panjang) dan kuat, efek eksitatori sentral dapat menghasilkan rasa nyeri ke gigi-gigi
lainnya. Saat serat C mendominasi serat A-delta, nyeri akan semakin menyebar sehingga
dokter gigi akan kesulitan dalam menentukan lokasi lesi.

Terkadang vaskular yang terinflamasi merespon terhadap dingin, yang akan


menyempitkan pembuluh darah yang tadinya berdilatasi dan menurunkan tekanan
jaringansehingga meringankan rasa sakit. Berkurangnya nyeri setelah diberi stimulus
dingin ini mengindiasikan pulpa vital terinflamasi ireversibel akan mengalami nekrosis.
Jika tidak segera dilakukan perawatan endodontik, akan berkembang menjadi abses
periradikular akut. Serat nyeri C merupakan gejala berbahaya yang menandakan

18
terjadinya kerusakan jaringan ireversibel. Pulpitis ireversibel adalah istilah klinis yang
mengandung pengertian bahwa pulpa vital yang terinflamasi memiliki kemampuan yang
sangat rendah untuk kembali ke kondisi sehat. Perawatan yang sesuai adalah PSA atau
ekstraksi.

Gejala: Pulpitis irreversible sering merupakan akibat atau perkembangan lebih


lanjut dari pulpitis reversible. Kerusakan pulpa yang parah akibat pengambilan dentin
yang banyak selama prosedur operatif atau gangguan dalam aliran darah pulpa akibat
trauma atu gerakan gigi pada perawatan ortodonsia dapat juga menjadi
penyebabnya..pulpitis irreversible biasanya tidak menimbulkan gejala ,atau pasien hanya
mengeluhkan gejala yang ringan saja. Akan tetapi, pulpitis irreversible dapat juga
menyebabkan episode nyeri spontan yang intermiten atau terus-menerus tanpa ada
stimulus eksternal. Nyerinya bisa tajam, tumpul, berbatas jelas, menyebar, bisa hanya
beberapa menit atau berjam-jam .

Perawatan: Perawatan saluran akar atau pencabutan merupakan indikasi bagi gigi
dengan gejala dan tanda tanda pulpitis irreversible.

c. Pulpitis Hiperplastik
Pulpitis hiperplastik atau polip pulpa, suatu bentuk pulpitis irreversible adalah
akibat bertumbuhnya pulpa yang masih muda yang mengalami inflamasi kronis.
Biasanya terjadi di mahkota yang telah berlubang besar . Diasosiakan dengan kayanya
pulpa muda akan pembuluh darah, memadainya tempat terbuka untuk drainase, dan
adanya proliferasi jaringan.
Gejala: Pulpitis hiperplastik biasanya tidak menimbulkan gejala (asimtomatik).
Pulpitis jenis ini tampak sebagai benjolan jaringan ikat berwarna kemerah-merahan yang
menyembul dari lubang karies yang luas. Kadang-kadang menyebabkan tanda-tanda
pulpitis ireversibel seperti nyeri spontan di samping nyeri berkepanjangan terhadap
stimulasi elektris serupa dengan yang ditemukan pada pulpa normal.
Perawatan:Dapat dilakukan perawatan dengan pulpotomi, perawatan saluran akar,
atau pencabutan.

19
d. Nekrosis Pulpa
Pulpa terkurung oleh dinding yang kaku, tidak mempunyai sirkulasi darah kolateral, dan venul
serta limfatiknya kolaps akibat meningkatnya tekanan jaringan sehingga pulpitis
ireversibel akan menjadi nekrosis likuifaksi. Jika daerah pulpa terbuka ke dalam rongga
mulut, proses nekrosis tertunda sehingga pulpa di daerah akar dapat tetap vital dalam
jangka waktu yang cukup lama. Sebagai tambahan dari nekrosis likuifaksi, nekrosis
iskemia pada pulpa terjadi akibat cedera traumatik yang menyebabkan terputusnya
pasokan darah.
Tidak ada gejala yang muncul pada nekrosis pulpa, karena saraf sensori pulpa sudah rusak
(nonvital). Namun, rasa sakit dapat timbul dari jaringan periradikular yang terinflamasi
akibat degenerasi pulpa. Nekrosis pulpa ada sebagian atau seluruhnya, dan gejalanya pun
berbeda-beda. Hal ini dapat membingungkan, karena adanya jaringan vital yang tersisa di
saluran akar, terutama pada gigi berakar banyak. Pada kebanyakan kasus, tidak ada
respon terhadap tes termal atau elektrik, namun respon vital terkadang dapat terjadi.
Radiograf dapat menunjukkan abnormalitas, pelebaran ligamen periodontal, atau
radiolusensi periapikal.
Gejala: Tidak terdapat (asimtomatik) tetapi dapat juga dikaitkan dengan nyeri spontan dan
ketidaknyamanan atau nyeri tekan (dari periapeks). Tekanan pada pulpa nekrotik setelah
aplikasi panas adalah nol. Stimulus dingin, panas, atau elektrik yang diaplikasikan pada
gigi dengan pulpa nekrotik biasanya tidak menimbulkan respon.
Perawatan: Gigi dengan pulpa nekrotik seringkali sensitif terhadap perkusi dan palpasi karena
menyebarnya informasi ke jaringan periradikuler. Untuk gigi seperti ini tindakan yang
diindikasikan adalah perawatan saluran akar (PSA) atau ekstraksi.

2.7 PEMERIKSAAN SUBJEKTIF DAN OBJEKTIF


 Pemeriksaan subyektif
1. Keadaan saat itu – Sebagian besar pasien yang menderita endodonsi biasanya tidak
mengalami gejala (asimtomatik) atau hanya mengalami gejala ringan saja. Jika dicurigai
ada penyakit pulpa dan periapikal akibat temuan lain, dokter gigi harus segera mencatat
ketidakadaan gejala nyata ini dan diteruskan dengan pemerikasaan obyektif.

20
Pada umumnya nyeri dan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh penyakit
pulpa dan periradikuler tidak mempengaruhi keadaan fisik pasien dan hanya sedikit
berpengaruh atau tidak berpengaruh sama sekali pada tanda-tanda kehisupan, warna
kulit, atau tobus otot. Akan tetapi, nyeri pulpa dan periapikal yang parah dapat
mempengaruhi kondisi fisik pasien dan tansa-tanda kehidupan. Yang jelas nyeri gigi
dapat mempengaruhi tingkah laku psikologis dan status emosi pasien.

2. Aspek nyata dan nyeri – Nyeri yang intensitasnya tinggi biasanya bersifat intermitten,
sedangkan yang intensitasnya rendah sering bersifat terus-menerus dan berlarut-larut.
Beberapa jenis nyeri:
a. Nyeri paroksimal – nyeri yang sekaligus dan hebat. Nyeri yang timbul
dapat juga berupa nyeri yang ditusuk-tusuk, menyegat, rasa terbakar, dan
berdenyut-denyut sesuai irama denyut jantung(sistol).
b. Nyeri miofasial – biasnya tumpul
c. Nyeri neuralgia – terasa tajam dan paroksimal.
Nyeri merupakan suatu yang kompleks dan banyak aspek nyeri yang merupakan
petunjuk kuat bagi adnya penyakit endodonsi yang ireversibel dan perlu dilakukan
perawatan. Aspek-aspek tersebut, yaitu:

 Intensitas nyeri – makin intens nyerinya, makin besar kemungkinan


adanya penyakit ireversibel. Nyeri intens adalah nyeri yang baru terjadi, tak dapat
diredakan dengan analgesic, dan telah menyebabkan pasien mencari pertolongan.
Nyeri yang berjalan lama biasanya tidak intens. Nyeri yang sifatnya moderat atau
ringan dengan durasi yang lama tidak dengan sendirinya bersifat diagnosis. Nyeri
intens dapat timbul dari pulpitis ireversibel atau periodontitis atau abses apikalis
akut. Nyeri intens dan terus menerus serta hanya reda oleh dingin dapat
mengindikasikan pulpitis ireversibel.
 Nyeri spontan – timbul tanpa adanya stimulus. Nyeri spontan digabung dengan
nyeri intens biasanya menindikasikan adanya penyakit pulpa atau periapikal yang
parah.

21
 Nyeri terus-menerus – Jika pulpanya vital, nyeri terus- menerus mengindikasikan
pulpitis ireversibel. Jika pulpanya nekrosis maka nyeri terus-menerus setelah
aplikasi tekanan mengindikasikan penyakit periapikal.
3. Diagnosis sementara – Setelah mencatat riwayat medis dan riwayat dental serta
menidentifikasikan tanda dan gejala utama yang sedang dirasakan pasien, dokter gigi
dapat membuat gambaran mengenai diagnosis sementara. Diagnosis ini hanya bersifat
sementara dan kemudian dapat dikonfirmasikan atau mungkin ditolak setelah
pemerikasaan oral serta tes-tes klinis lainnya dilakukan.

 Pemeriksaan obyektif
1. Pemeriksaan ekstraoral – Penampilan umum, tonus otot, asimetri fasial,
pembengkakan, perubahan warna,kemerahan, jaringan parut ekstraoral atau saluran
sinus, dan kepekaan atau nodus jaringan limfe servikal atau fasial yang membesar
merupaan indicator status fisik pasien.
2. Pemeriksaan intraoral
 Jaringan lunak – meliputi tes visual dan digital jaringan lunak rongga mulut.
Bibir, mukosa oral, pipi, lidah, palatum, dan otot-otot serta semua keabnormalan
yang ditemukan diperiksa. Periksa pula mukosa alveolar dan gingival cekatnya
untuk melihat apakah daerah tersebut mengalami perubahan warna, terinflamasi,
mengalami ulserasi, atau mempunyai saluran sinus. Suatu stoma saluran sinus
biasanya menandai adanya pulpa nekrosis atau periodontiis aikalis supurativa atau
kadang-kadang abses periodontium.
 Gigi – untuk mengetahui perubahan warna, fraktur, abrasi, erosi, karies, restorasi
yang luas, atau abnormalitas yang lain.
3. Tes klinis – tes dengan menggunakan kaca mulut dan sonde serta tes periodontium
selain tes pulpa dan jaringan periapikal. Alat dan beberapa hal penting, yaitu:
 Kaca mulut dan sonde – dapat menunjukkan karies yang luas atau sekunder,
terbukanya pulpa, fraktur mahkota dan restorasi yang rusak.
 Gigi kontrol – Pengunaan gigi-gigi sehat sebagai pembanding sangat membantu
dalam pengetesan pulpa dan periapikal. Gigi kontrol mempunyai 3 fungsi, yaitu:

22
a. Pasien tahu apa yang diharapkan dari stimulus.
b. Dokter gigi dapat mengobservasi sifat respon pasien sampai tingkat stimulus
tertentu.
c. Dapat menentukan bahwa stimulus mampu menimbulkan respon.
Beberapa tes yang dilakukan:

 Tes periapeks
i. Perkusi – Dapat menentukkan ada tidaknya penyakit periradikuler. Respon
positif jelas menunjukkan adanya inflamasi periodontium. Karena perubahan
inflamasi dalam ligament periodontium tidak selalu berasal dari pulpa dan
dapat diinduksi oleh penyakit priodontium maka hasil tes ini harus
digabungkan dengan tes yang lain. Satu perbedaan yang ada adalah bahwa
nyeri yang disebabkan infalamasi periodontium besar kemungkinan berada
dalam kisaran ringan sampai moderat. Inflamasi periapeks bisanya disertai
nyeri yang sangat tajam yang menghasilkan respon penolakkan. Dapat
dilakukan dengan mengetukkan ujung kaca mulut pada permukaan insisal atau
oklusa atau dengan menyuruh pasien untuk mengigit obyek yang keras seperti
gulungan kapas.
ii. Palpasi – untuk menentukkan seberapa jauh proses inflamasi telah meluas ke
periapeks. Respon positif terhadap palpasi mengindikasikan adanya inflamasi
periradikuler. Palpasi dilakukan dengan menekan mukosa di atas apeks
dengan cukup kuat.
 Tes kevitalan pulpa
a. stimulasi dentin langsung – Merupakan tes yang paling akurat. Dentin yang
terbuka dapat digores dengan sonde walaupun ketidakberadaan respon tidak
seindikatif keberadaan respon. Karies disonde sampai dalam sehingga
mencapai dentin yang tidak karies, dan jika timbul sensasi tajam berarti
pulpanya berisi jaringan vital.
b. Tes termal – terdapat 4 respon yang mungkin terjadi pada tes termal, yaitu:
 Tidak ada respon
 Mild-moderate degree merasakan sedikit nyeri selama 1-2s setelah
stimulus dihilangkan.
23
 Nyeri kuat (momentary painful response) terasa 1-2s setelah stimulus
dihilangkan.
 Moderate-strong painful response, terasa sampai beberapa saat(lama)
stelah stimulus dihilangkan
Ada 2 jenis tes termal, yaitu:

 Tes dingin – Ada 3 metode yang umum digunakan, yaitu dengan es,
karbondioksida kering/es kering(paling efektif tapi memerlukan alat
khusus), dan refrigeran. Cara pengaplikasian untuk es atau refrigeran yaitu
setelah gigi diisolasi dengan gulungan kapas kecil dan dikeringkan,
aplikasikanlah batang es atau gulungan kapas kecil yang dibasahi dengan
refrigeran ke bagian fasial gigi ± 5 detik atau sampai pasien merasakan
nyeri. Untuk karbondioksida kering disimpan dalam syringe,
bentuknyanya bulat kecil seperti salju dan diaplikasikan ke bagian fasial
gigi ± 2 detik atau sampai pasien merasakan nyeri. Jika stimulus mengenai
pulpa yang vital, maka akan menimbulkan nyeri tajam dan hilang jika
stimulusnya diangkat atau dihilangkan. Respon seperti ini akan timbul
baik pada pulpa normal, pulpitis reversibel maupun ireversibel, tetapi jika
responnya cukup intens dan berkepanjangan walaupun stimulus telah
dihilangkan biasanya mengindikasikan pulpitis ireversibel. Sebalikanya
pulpa non-vital tidak akan memberikan respon apa-apa tetapi terkadang
sering timbul respon negatif palsu pada gigi yang mengalami penyempitan
saluran akar atau respon positif palsu pada saat stimulus mengenai gigi
tetangganya. Oleh karena itu, tes ini lebih baik digunakan pada gigi
anterior daripada posterior karena lebih terisolasi.
 Tes panas – Gigi dapat diisolasi terlebih dahulu untuk menghindari
terjadinya respon palsu. Cara pengaplikasiannya dapat dengan
menggunakan gutaperca yang sudah dipanaskan dengan spiritus dan
diaplikasikan ke bagian fasial gigi, atau juga bisa dengan menggunakan air
panas. Tes ini jarang digunakan tapi sangat diindikasikan jika pasien
sensitif pada panas. Respon yang timbul sama dengan tes dingin yaitu
nyeri yang tajam dan sebentar pada pulpa vital dan tajam dan tidak cepat

24
menghilang mengindikasikan pulpitis ireversibel. Sedangkan pada pulpa
non-vital tidak memberikan respon apa-apa.
c. Tes elektrik – Stimulus biasnya diaplikasikan ke bagian fasial untuk
menentukan ada tidaknya saraf sensoris dan vital tidaknya pulpa. Sekarang ini
yang sering digunakan yaitu:
 electric pulp tester(EPT). Alat ini tidak menunjukan derajat kesehatan atau
penyakit pulpa. Alat ini hanya menunjukan apakah pulpa masih vital atau
tidak. Respon positif mengindikasikan bahwa saraf sensorik masih ada
dalam pulpa dan dapat menerima rangsang. Cara pengaplikasiannya yaitu:
 Daerah harus bersihkan, dikeringkan dan diisolasi.Bila gigi
sebelahnya memiliki restorasi metal maka harus menggunakan rubber
dam untuk mengisolasi daerah interproksimalnya.
 Operator harus menjelaskan sensai yang akan dirasakan pasien agar
pasien tidak terkejut/kaget.
 Lalu letakkan alat dengan dijepitkan pada gigi.dan perintahkan pasien
untuk memegang alat kontrolnya sehingga pasien yang dapat
mengontrol mulai dan selesainya tes ini sesuai stimulus dan respon
yang terjadi.
 Laser Doppler flowmetry – Karena gigi yang sudah pernah mengalami
trauma atau operasi rahanang dapat berkurang sesitifitasnya maka alat ini
diteliti untuk mengurangi kendalanya. Alat ini menggunakan panjang
gelombang sinar laser yang akan melewati mahkota gigi ke pembuluh
darah pada pulpa. Tes ini mengukur secara objektif vitalitas pulpa dan
kesehatan pulpa.
 Pulse oksimetri – Merupakan optikal diagnostic lain yang sedang diteliti.
Alat ini menggunakan adaptasi pulsa oksimetri untuk mengdiagnosis vitalitas
pulpa. Dengan mengamati perubahan dalam oksigen saturation, pulse oksimetri
dapat mendeteksi inflamasi pulpa atau partial nekrosis pulpa
 Pemeriksaan periodontium – pemeriksaan ini harus dilakukan karena lesi
periapikal dan lesi periodontium dapat serupa 1 sama lain sehingga sulit
dibedakan. Cara melakukan pemeriksaan periodontium:

25
a. Penyondean – Penyondean dilakukan untuk menentukan tinggi perlekatan
jaringan ikat. Kedalaman yang bisa disonde di sepanjang permukaan dan
furkasi harus diukur, dicatat dan dievaluasi. Jika pasien merasakan
ketidaknyamanan yang cukup parah, dapat dilakukan anestesi lokal sebelum
penyondean. Gigi dengan penyakit periodontium parah memiliki progosis
yang buruk untuk perawatan saluran akar.
b. Mobilitas – Tes mobilitas sangat bergantung pada ligamen periodontium dan
prognosis bagi setiap macam perawatan. Mobilitas diukur dengan
menempatkan jari telunjuk pada aspek lingual dan mengaplikasikan tekanan
dengan pegangan kaca mulut pada permukaan fasial yang berlawanan.
Gerakan lebih dari 2-3mm menndakan bahwa keberhasilan perawatan
endodonsi sangat kecil jika penyebab mobilitasnya dalah penyakit
priodontium.
4. Pemeriksaan radiografis
a. Gambaran periapikal – Lesi periapikal yang disebabkan oleh pulpa memiliki 4
karakteristik, yaitu:
 Hilangnya lamina dura di daerah apikal.
 Radiolusensi tetap terlihat di daerah apikal bagaimanapun sudut
pengambilannya.
 Radiolusensi menyerupai sutau hanging drop.
 Biasanya nekrosisnya pulpa telah jelas.
b. Gambaran pulpa – Suatu pulpa yang terinflamasi dengan aktivitas dentinoklast
dapat memperlihatkan pembesaran ruang pulpa yang berubah abnormal dan
merupakan tanda patologis dari resorpsi interna. Kalsifikasi menyebar yang luas
dalam kamar pulpa dapat menunjukkan adanya iritasi derajat rendah yang sudah
berjalan lama.
5. Tes khusus
a. Pembuangan karies – Pada beberapa keadaan,yang perlu dilakukan untuk
menentukan diagnosis yang tepat adalah penentuan kedalaman penetrasi karies. Penetrasi
karies ke dalam pulpa menandakan adanya pulpitis oreversibel, sedangkan karies yang

26
belum berpeneterasi ke pulpa biasanya menunjukkan seuatu pulpitis reversibel walaupun
ada pulpa yang mengalami pulpitis ireversibel anpa ada daerah yang terbuka.
b. Anastesi selektif – tes ini berlawanan dengan tes kavitas, yang dilaksanakan pada
gigi tanpa nyeri maupun gigi yang disertai gejala. Tes ini bermanfaat pada gigi yang
sedang nyeri, terutama jika pasien tidak dapat menentukan gigi mana yang sakit.
Misalnya jika dicurigai gigi yang sakit ada di daerah mandibula, anestsi blok mandibula
akan menunjukan paling sedikit regio sakitnya apabila nyeri tersebut hilang setelah
dianestesi.
c. Transiluminasi – membantu mengidentifikasi fraktur mahkota vertikal karena
segmen fraktur dari mahkota tidak mentransmisikan cahaya secara sama. Transiluminasi
menghasilkan bayangan gelap dan abu-abu di daerah farktur.
6. Gigi retak – Terdapat sejumlah tanda klasik gigi retak yang merupakan penyebab
yang sering menimbulkan penyakit endodonsi. Misalnya jika retakannya meluas ke
pulpa, pasien dapat mengeluhkan gejala dan tanda pulpitis ireversibel atau nekrosis
disertai penyakit periapikal.

2.8 RENCANA PERAWATAN

1. Pulp-Capping
Pulpitis reversible adalah inflamasi pulpa yang tidak parah. Jika penyebabnya dilenyapkan,
inflamasi akan menghilang dan pulpa akan kembali normal. Stimulus ringan atau sebentar seperti
karies insipient, erosi servikal, atau atrisi oklusal, sebagian besar proses operatif, kuretase
periodontium yang dalam dan fraktur email yang menyebabkan tubulus dentin terbuka adalah
factor-faktor yang dapat mengakibatkan pulpitis reversible.
Pulpitis reversible simtomatik ditandai oleh rasa sakit tajam yang hanya sebentar. Lebih
sering diakibatkan oleh makanan dan minuman dingin daripada panas dan oleh udara
dingin.Tidak timbul secara spontan dan tidak berlanjut bila penyebabnya telah ditiadakan.
Tetap mempertahankan pulpa yang sehat dan utuh adalah pilihan yang lebih baik
dibandingkan perawatan saluran akar atau prosedur endodonsia lainnya., mengingat bahwa
perawatan-perawatan tersebut sangat memakan waktu, rumit dan mahal. Jika yang dihadapi
adalah suatu lesi karies yang dalam, ada beberapa ahli yang menganjurkan tindakan kaping pulpa

27
(pulp capping), suatu prosedur untuk mencegah terbukanya pulpa selama pembuangan dentin
yang karies.
Pulp capping adalah aplikasi selapis atau lebih material pelindung atau bahan untuk
perawatan diatas pulpa yang terbuka, misalnya hidroksida kalsium yang akan merangsang
pembentukan dentin reparative. Tujuan pulp capping adalah untuk menghilangkan iritasi ke
jaringan pulpa dan melindungi pulpa sehingga jaringan pulpa dapat mempertahankan
vitalitasnya.Dengan demikian terbukanya jaringan pulpa dapat terhindarkan. Kaping pulpa (pulp
capping) dibagi menjadi dua, yaitu kaping pulpa indirek (indirect pulp capping) dan kaping pulpa
direk (direct pulp capping).
INDIRECT PULP CAPPING

Perawatan ini dapat dilakukan pada gigi sulung dan gigi permanen muda yang kariesnya telah
luas dan sangat dekat dengan pulpa. Tujuannya adalah untuk membuang lesi dan melindungi
pulpanya sehingga jaringan pulpa dapat melaksanakan perbaikannya sendiri dengan membuat
dentin sekunder. Dengan demikian terbukanya jaringan pulpa dapat terhindarkan.

Indikasi:

 Lesi dalam dan tanpa gejala yang secara radiografik sangat dekat ke pulpa tetapi tidak
mengenai pulpa.
 Pulpa masih vital.
 Bisa dilakukan pada gigi sulung dan atau gigi permanen muda dengan pulpitis reversible
atau tidak dengan pulpitis ketika gigi tersebut mengalami karies dentin yang sangat dalam
namun dalam perawatannya jaringan karies yang terdalam pada dentin tidak dibuang
untuk menghindari terbukanya pulpa.
Kontra Indikasi:

 Nyeri spontan – nyeri pada malam hari.


 Pembengkakan.
 Fistula.
 Peka terhadap perkusi.
 Gigi goyang secara patologik.
 Resorpsi akar eksterna.

28
 Resorpsi akar interna.
 Radiolusensi di periapeks atau di antara akar.
 Kalsifikasi jaringan pulpa.

Faktor keberhasilan:

Keberhasilan ditandai dengan hilangnya rasa sakit, serta reaksi sensitive terhadap rangsang panas
atau dingin yang dilakukan pada pemeriksaan subjektif setelah perawatan. Kemudian pada
pemeriksaan objektif ditandai dengan pulpa yang tinggal akan tetap vital, terbentuknya jembatan
dentin yang dapat dilihat dari gambaran radiografi pulpa, berlanjutnya pertumbuhan akar dan
penutupan apikal.

Faktor kegagalan:

Pada saat pengeburan, ada kemungkinan mata bur membuat perforasi atap pulpa.Hal ini
perawatan pulp capping indirect berganti menjadi pulp capping direct.

DIRECT PULP CAPPING

Perawatan ini dapat dilakukan terhadap gigi yang pulpanya terbuka karena karies atau trauma
tetapi kecil dan diyakini keadaan jaringan di sekitar tempat terbuka itu tidak dalam keadaan
patologis.Dengan demikian pulpa dapat tetap sehat dan bahkan mampu melakukan upaya
perbaikan sebagai respons terhadap medikamen yang dipakai dalam perawatan pulp capping.

Indikasi:

 Gigi sulung dengan pulpa terbuka karena sebab mekanis dengan besar tidak lebih dari
1mm persegi dan di kelilingi oleh dentin bersih serta tidak ada gejala.
 Gigi permanen dengan pulpa terbuka karena sebab mekanis atau karena karies dan
lebarnya tidak lebih dari 1 mm persegi dan tidak ada gejala.
 Pulpa masih vital.

29
 Hanya berhasil pada pasien di bawah usia 30 tahun, misalnya pulpa terpotong oleh bur
pada waktu preparasi kavitas dan tidak terdapat invasi bakteri maupun kontaminasi
saliva.
Kontra Indikasi:

 Nyeri spontan – nyeri pada malam hari.


 Pembengkakan.
 Fistula.
 Peka terhadap perkusi.
 Gigi goyang secara patologik.
 Resorpsi akar eksterna.
 Resorpsi akar interna.
 Radiolusensi di periapeks atau di antara akar.
 Kalsifikasi jaringan pulpa.
 Terbukanya pulpa secara mekanis dan instrumen yang dipakai telah memasuki jaringan
pulpa.
 Perdarahan yang banyak sekali pada tempat terbukanya pulpa.
 Terdapat pus atau eksudat pada tempat terbukanya pulpa.

Faktor keberhasilan:

Pulp capping direct sampai saat ini masih merupakan suatu metode perawatan yang valid di
bidang endodontic, karena bila perawatan ini berhasil maka vitalitas dari gigi dengan pulpa
terbuka dapat dipertahankan. Kondisi ini sangat tergantung pada diagnosis yang tepat sebelum
perawatan, tidak ada bakteri yang mencapai pulpa dan tidak ada tekanan pada daerah pulpa yang
terbuka.

Faktor kegagalan:

Perdarahan yang terjadi dapat berperan sebagai penghalang sehingga tidak terjadi kontak antara
bahan kalsium hidroksida dengan jaringan pulpa. Hal ini menyebabkan proses penyembuhan

30
pulpa terhambat.

Kegagalan perawatan ditandai dengan pemeriksaan subjektif yaitu timbulnya keluhan, misalnya
gigi sensitive terhadap rangsang panas dan dingin atau gejala lain yang tidak diinginkan.
Kemudian pada pemeriksaan objektif dengan radiografi dilihat adanya gambaran radiolusen yang
menunjukkan gumpalan darah atau terjadinya resorpsi internal.

2. Perawatan Saluran Akar

Saat saraf gigi terinfeksi, perawatan saluran akar dapat mempertahankan gigi dan
menghindari pencabutan gigi. Perawatan saluran akar atau disebut juga perawatan endodontik
adalah proses mengangkat pulpa gigi yang terinfeksi, terluka atau pulpa yang mati.

Jika bakteri masuk ke dalam gigi yang berlubang, gigi yang pecah atau tambalan bocor,
gigi dapat menjadi abses.Gigi abses adalah pulpa gigi yang terinfeksi sehingga harus
dicabut.Gigi yang abses dapat menyebabkan sakit dan atau sulit menelan.Dokter gigi dapat
mendiagnosa dari rontgen gigi dan pemeriksaan klinis gigi.Jika tidak diatasi gigi abses dapat
menyebabkan masalah kesehatan mulut yang serius. Perawatan saluran akar meliputi dua hal,
yaitu pulpotomi dan pulpektomi.

PULPOTOMI

Pulpotomi adalah pengambilan jaringa pulpa vital yang telah mengalami infeksi di bagian kamar
pulpa mahkota gigi (sebagian atau seluruhnya), meninggalkan jaringan pulpa sehat dan vital
dalam saluran akar.

Indikasi:

 Gigi sulung dan gigi tetap muda dengan pulpa terbuka, vital, sehat karena karies atau trauma
dengan reversible pulpitis atau tanpa pulpitis
 Terbatas pada gejala hyperemia pulpa, atau keradangan ringan pada kamar pulpa sehingga
pulpa mempunyai daya penyembuhan yang baik

31
 Tidak ada tanda-tanda dan gejala peradangan pulpa dalam kamar pulpa
Kontra Indikasi:

 Pembengkakan akibat peradangan pulpa


 Gigi goyang patologik
 Pada gambaran radiografik, tampak radiolusensi periapikal atau interradikular, resorbsi akar
eksterna patologik, resorbsi akar interna, kalsifikasi pulpa
 Perdarahan yang berlebihan setelah amputasi pulpa
 Sakit spontan
 Sakit pada tidur malam, maupun saat diperkusi dan palpasi

PULPEKTOMI

Pulpektomi adalah tindakan pengambilan seluruh jaringan pulpa dari seluruh akar dan
korona gigi.Pulpektomi merupakan perawatan untuk jaringan pulpa yang telah mengalami
kerusakan yang bersifat irreversible atau untuk gigi dengan kerusakan jaringan keras yang
luas.Meskipun perawatan ini memakan waktu yang lama dan lebih sukar daripada pulp capping
atau pulpotomi namun lebih disukai karena hasil perawatannya dapat diprediksi dengan baik.
Jika seluruh jaringan pulpa dan kotoran diangkat serta saluran akar diisi dengan baik akan
diperoleh hasil perawatan yang baik pula.

Indikasi:

1. Gigi dengan infeksi yang melewati ruang kamar pulpa, baik pada gigi vital, nekrosis
sebagian maupun gigi sudah nonvital.
2. Saluran akar dapat dimasuki instrument.
3. Ruang pulpa kering
4. Pendarahan berlebihan pada pemotongan pulpa (pulpotomi) tidak berhasil
5. Sakit spontan tanpa stimulasi
6. Keterlibatan tulang interradikular tanpa kehilangan tulang penyangga
7. Tanda-tanda/gejala terus menerus setelah perawatan pulpotomi
8. Pembengkakan bagian bukal

32
Kontra Indikasi:

1. Keterlibatan periapikal atau mobilitas ekstensif


2. Resorbsi akar ekstensif atau > 1/2 akar
3. Resorbsi internal meluas menyebabkan perforasi bifurkasi
4. Kesehatan buruk dan harapan hidup pendek
5. Ancaman keterlibatan gigi tetap yang sedang berkembang karena infeksi
6. Tingkah laku pasien yang tidak dapat dikendalikan dan di rumah sakit tidak mungkin
dilakukan
a. Pulpektomi Vital

Pulpektomi vital sering dilakukan pada gigi anterior dengan karies yang sudah meluas kearah
pulpa, atau gigi yang mengalami fraktur.Langkah-langkah perawatan pulpektomi vital satu kali
kunjungan.

b. Pulpektomi Devital

Pulpektomi devital sering dilakukan pada gigi posterior yang telah mengalami pulpitis atau dapat
juga pada gigi anterior pada pasien yang tidak tahan terhadap anestesi.Pemilihan kasus untuk
perawatan secara pulpektomi devital ini harus benar-benar dipertimbangkan dengan melihat
indikasi dan kontaindikasinya.Perawatan ini sekarang sudah jarang dilakukan pada gigi tetap,
biasanya langsung dilakukan perawatan pulpektomi vital walaupun pada gigi
posterior.Pulpektomi devital masih sering dilakukan hanya pada gigi sulung, dengan
mempergunakan bahan devitalisasi paraformaldehid, seperti Toxavit, dan lain-lain. Bahan
dengan komposisi As2O3 sama sekali tidak digunakan lagi.

c. Pulpektomi Nonvital

Perawatan saluran akar ini sering dilakukan pada gigi anterior yang mempunyai saluran akar
satu, walaupun kini telah banyak dilakukan pada gigi posterior dengan saluan akar lebih dari
satu.Gigi yang dirawat secara pulpektomi nonvital adalah gigi dengan gangrene pulpa atau
nekrosis.

33
Indikasi:

1. Mahkota gigi masih dapat direstorasi dan berguna untuk keperluan prostetik (untuk pilar
restorasi jembatan).
2. Gigi tidak goyang dan periodontal normal.Foto rontgen menunjukkan resorpsi akar tidak
lebih dari sepertiga apical, tidak ada granuloma pada gigi sulung.
3. Kondisi pasien baik serta ingin giginya dipertahankan dan bersedia untuk memelihara
kesehatan gigi dan mulutnya.Keadaan ekonomi pasien memungkinkan.
Kontra indikasi:

1. Gigi tidak dapat direstorasi lagi.


2. Resorpsi akar lebih dari sepertiga apical.
3. Kondisi pasien buruk, mengidap penyakit kronis, seperti Diabetes Melitus, TBC, dan lain-
lain.
4. Terdapat belokan ujung dengan granuloma (kista) yang sukar dibersihkan ataui sukar
dilakukan tindak bedah endodonti.

2.9 OBAT-OBAT PENGHILANG RASA SAKIT

Pemilihan Obat

Sebelum memilih obat apa yang akan diberikan, kita harus menentukan terlebih dahulu
apakah ingin menghilangkan simtomatiknya (gejalanya) atau menghilangkan sumber penyebab
sakitnya (kausa). Obat analgesik tergolong obat untuk menghilangkan simtomatik, sedangkan
antibiotik tergolong obat untuk menghilangkan kausa dari penyakit.

Nonnarcotic Analgesics

NSAID
Nonnarcotic
Analgesics
Acetaminophen

34
Obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) merupakan suatu
kelompok obat heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Namun, obat-obat
ini memiliki banyak persamaan dalam efek terapi dan efek samping. Prototip obat ini adalah
aspirin, sehingga golongan ini disebut juga obat mirip-aspirin. Sebagian besar efek terapi dan
efek sampingnya berdasarkan penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).NSAID mengurangi
sakit tanpa berinteraksi dengan reseptor opioid dan tidak menekan kerja SSP serta tidak
menimbulkan ketergantungan obat. NSAID merupakan obat utama yang digunakan untuk
manajemen sakit pada gigi.

NSAID

Klasifikasi NSAID

35
Mekanisme Kerja

Sangat efektif dalam mengatasi sakit pada sumber inflamasi, dan oleh karena sifatnya
yang berikatan dengan plasma protein, pengirimannya ke jaringan inflamasi dapat meningkat
melalui jalur ekstravasasi plasma protein. Sejumlah besar NSAID tersedia untuk mengendalikan
sakit dan inflamasi. Efek terapi maupun efek samping obat-obat ini sebagian besar tergantung
dari penghambatan biosintesis PG. PG dilepaskan bila sel mengalami kerusakan.

Secara umum golongan obat ini tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang ikut
berperan dalam inflamasi. NSAID menghambat enzim siklooksigenase (COX  COX1 dan
COX2) sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat
COX dengan cara yang berbeda.Parasetamol (asetaminofen) seringkali dikelompokkan sebagai
NSAID, walaupun sebenarnya parasetamol tidak tergolong jenis obat-obatan ini, dan juga tidak
pula memiliki khasiat anti nyeri yang nyata. Khusus acetaminophen (parasetamol), hambatan
biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus.
Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit. Ini
36
menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Aspirin sendiri
menghambat dengan mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim ini. Trombosit sangat rentan
terhadap penghambatan ini karena sel ini tidak mampu mengadakan regenerasi enzimnya,
sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat COX trombosit
manusia selama masa hidup trombosit, yaitu 8-11 hari.

Inflamasi

Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal yang sudah dikenal ialah kalor, rubor, tumor, dolor,
dan functio laesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang
dilepaskan secara lokal antara lain histami, 5-hidroksitriptamin (5HT), faktor kemotaktik,
bradikinin, leukotrien, dan PG. Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan
prostasiklin (PGI2) menimbulkan eritem, vasodilatasi, dan peningkatan aliran darah lokal.
Histamin dan bradikinin meningkatkan permeabilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak
besar. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. PG
tidak bersifat kemotaktik, tetapi produk lain dari asam arakidonat, yakni leukotrien B4
merupakan zat kemotaktik yang sangat poten. NSAID tidak menghambat sistem hipoksigenase

37
yang menghasilkan leukotrien sehingga golongan obat ini tidak menghambat migrasi sel. Obat
yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrien tentu akan lebih poten menekan proses
inflamasi.

Rasa Nyeri

PG menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. PG


menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin
merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. Obat mirip-aspirin tidak mempengaruhi
hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG. Ini menunjukkan bahwa
sintesis PG yang dihambat oleh golongan obat ini, dan bukannya blokade langsung.

Efek Farmakodinamik

Efek Analgesik

Obat mirip-aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang
misalnya sakit kepala, mialgia, artalgia dan nyeri lain yang berasal dari integumen, juga efektif
terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada
efek analgesik opiat. Namun berebda dengan opiat, obat mirip-aspirin tidak menimbulkan
ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat ini hanya
mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak mempengaruhi sensorik lain.

Efek Antipiretik

Obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam.

Efek Antiinflamasi

Obat mirip-aspirin ini hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan
penyakitnya secara simtomatik.

38
Efek Samping

Efek samping paling sering dijumpai adalah:

 Induksi tukak lambung atau tuka peptik, terkadang disertai anemia sekunder akibat
perdarahan saluran cerna. Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung ialah: (1) iritasi
bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa dan
menyebabkan kerusakan jaringan; dan (2) iritasi atau perdarahan lambung bersifat
sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2. Keduanya banyak ditemukan di
mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang
sekresi mukus usus halus yang bersifat sitoprotektif.
 Gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2),
berakibat perpanjangan waktu perdarahan.
 Penghambatan biosintesis PG di ginjal, terutama PGE2, berperan dalam gangguan
homeostasis ginjal. Tidak berpengaruh pada orang normal, tetapi bagi penderita
hipovolemia dan sikrosis hepatitis, alir darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruli akan
berkurang.
 Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas. Bagi pasien yang mengalami
hipersensitivitas NSAID, alternatif yang dapat diberikan adalah pemberian kombinasi
obat asetaminofen dan obat opioid.
Macam-macam Obat NSAID

 Salisilat
Kimia
Sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar.
Farmakodinamik

Paling banyak digunakan sebagai analgesik antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis
terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Pada dosis toksik obat ini justru
memperlihatkan efek piretik. Dosis aspirin oral 4 gram per hari untuk orang dewasa.

Farmakokinetik

39
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh di
lambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas. Absorpsi pada pemberian secara
rektal, lebih lambat dan tidak sempurna sehingga cara ini tidak dianjurkan. Dapat
diabsorpsi dengan cepat dari kulit sehat, terutama bila dipakai sebagai obat gosok atau
salep.

Setelah diabsorpsi, salisilat menyebar ke seluruh jaringan tubuh dan cairan


transelular sehingga ditemukan dalam cairan sinovial, cairan spinal, cairan peritoneal,
liur, dan air susu. Obat ini mudah menembus sawar darah otak dan sawar uri.

Biotransformasi terjadi di banyak jaringan, tetapi terutama di mikrosom dan


mitokondria hati. Salisilat diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal,
sebagian kecil melalui keringat dan empedu.

 Diflunisal merupakan NSAID yang tidak mempunyai efek antipiretik. Efeknya lebih
kecil daripada aspirin. Diflunisal dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Obat ini
99% terikat protein sehingga harus diwaspadai menimbulkan interaksi dengan obat lain.
 Dipiron (metampiron seperti antalgin dan novalgin) punya sifat hidrofilik. Metampiron
masih digunakan di Indonesia sebagai NSAID. Namun diluar negeri sudah tidak
digunakan karena adanya efek agranulocytosis dan depresi sumsum tulang yang sangat
besar.
 Phenylbutazone, NSAID yang efek anti-inflamasinya sangat kuat. Phenylbutazone tidak
digunakan untuk analgesik dan antipiretik. Obat ini sering menyebabkan Stephen-
Johnson syndrome. Penggunaannya dengan glibenclamid menimbulkan efek
hipoglikemia.
 Asam Mefenamat merupakan NSAID yang efek anti-inflamasinya rendah.
 Diklofenak, NSAID yang terakumulasi di sinovial sehingga digunakan untuk terapi
semua jenis arthritis.
 Ibuprofen, NSAID yang efek sampingnya paling ringan dibandingkan semua NSAID
yang lain.

40
 Indometasin, NSAID yang kerjanya menghambat COX juga menghambat motilitas
PMN. Obat ini bagus namun toksik sehingga dipakai jika sangat simptomatik.
 Piroksikam, NSAID yang waktu paruhnya sangat lama (>45 jam).
 Nabumeton, NSAID yang kerjanya selektif COX-2 dengan hambatan COX-1 yang
minimal. Nabumeton merupakan prodrug.
 Rofecoxib (Vioxx), NSAID yang efek iritasi gastrointestinal tract nya rendah karena
tidak menghambat COX-1 dan tidak bisa dipakai sebagai antithrombotik karena tidak
mengubah fungsi platelet. Obat ini kontraindikasi untuk penderita hipertensi, PJK, dan
stroke.
 Colecoxib (Celebrex), NSAID selektif COX-2 inhibitor (seperti nimesulid, rofecoxib).
Obat ini punya efek samping hipertensi, PJK, stroke.

Acetaminophen

Acetaminophen merupakan obat yang umum ditemukan dalam produk kombinasi untuk
menghilangkan rasa sakit dan gejala dari flu dan pilek. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus
aminobenzen. Acetaminophen aman untuk digunakan pada dosis normal, namun pada dosis
tinggi dapat menyebabkan keracunan liver dan menjadi penyebab paling umum dari gagal liver
akut. Kebanyakan acetaminophen dikonjugasikan dalam liver untuk membentuk metabolit
inaktif. Sebagian kecil dimetabolisasi oleh sistem cytochrome P450 untuk membentuk N-acetyl-
p-benzoquinone imine (NAPQI) yang sangat beracun namun umumnya didetoksifikasi oleh
glutathione dan diubah menjadi senyawa nontoksik. Dosis besar acetaminophen menjenuhkan
rute utama dari metabolisme, menyebabkan lebih banyak acetaminophen yang diubah menjadi
NAPQI. Kerusakan liver terjadi ketika glutathione habis dan NAPQI menjadi terakumulasi.
Orang dewasa yang sehat tidak boleh mengonsumsi obat ini lebih dari 4 g (4000 mg) dalam
kurun waktu 24 jam.

Farmakodinamik

Efek analgesik serupa dengan salisilat yaitu mengurangi atau menghilangkan nyeri ringan
sampai sedang. Efek anti-inflamasinya sangat lemah dan merupakan penghambat biosintesis PG
yang lemah.

41
Farmakokinetik

Diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma
dicapai dalam waktu 1/2 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25%
parasetamol dan 30% fenasetin terikat protein plasma. Kedua obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Kedua obat ini diekskresi melalui ginjal.

OPIOID

Analgesik opiod adalah segolongan obat yang digunakan untuk mengatasi atau menghilangkan
rasa nyeri tetapi, obat dari golongan ini menimbulkan ketergantungan (adiksi). Yang termasuk
golongan ini adalah:

1. Obat-obat yang berasal dari opium yaitu morfin dan derivatnya


2. Senyawa semisintetik
3. Senyawa sintetik dengan efek serupa morfin

Farmakodinamik

Susunan Saraf Pusat

Morfin menimbulkan depresi, mengantuk, sukar konsentrasi, dan merasa lelah. Dapat juga
terjadi perangsangan SSP yang kadang-kadang diikuti muntah. Morfin dapat menimbulkan
eksitasi, yang lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Efek analgesia morfin timbul
melalui 2 mekanisme kerja:

1. Meningkatkan ambang rasa sakit


2. Mempengaruhi reaksi individu terhadap persepsi sakit
Saluran cerna

Morfin menimbulkan spasme otot polos usus sehingga dapat mengakibatkan konstipasi dan
selanjutnya obstipasi. Selain itu juga dapat timbul penurunan sekresi asam lambung, peningkatan
tonus antrum pilori, peningkatan kontraksi lambung dan kontraksi sfingter pilori, akan

42
menyebabkan pengosongan lambung terlambat dan hal inilah yang menyebabkan rasa mual dan
konstipasi.

Saluran napas

Pemberian morfin akan menimbulkan depresi napas karena menurunnya sensitivitas terhadap
oksigen.

Mual dan muntah

Morfin merangsang pusat muntah yang terdapat di chemoreseptor trigger zone (CTZ) di area
postrema medula oblongata

Alergi

morfin juga dapat menimbulkan reaksi alergi berupa urtikaria, eksantem, dermatitis kontak,
pruritus, dan bersin.

Adiksi

Pemberian morfin terus menerus akan menimbulkan ketergantungan.

Farmakokinetik

1. Absorpsi, pada pemberian oral morfin dapat diabsorpsi melalui usus, efeknya jauh lebih
kecil daripada pemberian parenteral walaupun dosis yang diberikan sama
2. Metabolisme terjadi di hati, sebagian mengalami konjugasi dengan asam glukuronat serta
sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas, dan 10% tidak diketahui nasibnya
3. Ekskresi terutama melalui ginjal dan sebagian kecil melalui tinja serta keringat
Beberapa contoh analgesik opioid adalah Kodein, Oxycodone, Hydrocodone, Dihydrocodein,
Propxyphene HCl, Meperidine, dan Tramadol.

43
Penggunaan opioid dalam kedokteran gigi

Opioid adalah analgesik yang kuat (potent) yang penggunaannya dalam kedokteran gigi dalam
bentuk kombinasi dengan acetaminofen, aspirin atau ibuprofen. Opioid akan mengaktifkan mu
opioid reseptor yang berada pada regio otak. Selanjutnya terjadi penghambatan transmisi signal
nosiseptif nukleus trigeminal ke otak. Opioid juga mengaktifkan reseptor opioid di perifer yang
lokasinya di pulpa gigi. Penggunaan opioid terbatas karena efek sampingnya sehingga untuk
mengatasi sakit gigi selalu dalam bentuk kombinasi.

KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid merupakan hormon yang berasal dari korteks adrenal pada ginjal, di mana
hormon korteks adrenal terdiri dari 2 golongan, yaitu glukokortikoid yang biasa disebut
kortikosteroid atau steroid dan mineralkortikoid. Glukokortikoid berperan dalam metabolisme
karbohidrat dan protein, juga mempunyai efek antiinflamasi poten.

Mekanisme Kerja

Menstimulasi sintesis protein spesifik di jaringan. Efek farmakologi dan fisiologi kortikosteroid
yang sangat luas, kortikosteroid berperan hampir di semua jaringan.

1. Efek fisiologik
Kortikosteroid dapat meningkatkan pemecahan protein, meningkatkan enzim-enzim yang
berperan dalam metabolisme glukosa dan asam amino, dan menimbulkan retensi natrium
dan air.

2. Efek antiinflamasi
Kortikosteroid mempunyai efek terhadap semua gejala inflamasi.

3. Efek imunologik
Kortikosteroid menurunkan limfosit, monosit, eosinofl, dan basofil tetapi meningkatkan
eosinofil dalam darah.

4. Terhadap pertumbuhan

44
bila diberikan dalam jangka panjang pada anak-anak dapat menghambat pertumbuhan

Farmakokinetik

Absorpsi kortikol dan analog sintetik per oral baik. Distribusi, 80% terikat plasma globulin dan
10% albumin. Biotransformasi terjadi di hati. Ekskresi dalam bentuk konjugasi dengan
glukuronat dan sulfat melalui urin.

ANESTESI LOKAL

Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada
jaringan saraf dengan kadar yang sesuai

Sifat umum anestesi lokal

 Bekerja pada korteks motorik dengan cara menghentikan aliran impuls ke daerah yang di
anestesi
 Bekerja pada korteks sensorik dengan cara menghambat transmisi impuls sensorik
Sifat anestesi lokal yang ideal

1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen


2. Mula kerja sesingkat mungkin
3. Waktu/masa kerja cukup lama
4. Larut dalam air
5. Stabil dalam larutan
6. Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan
Hubungan struktur-aktivitas

molekul anestesi memiliki 3 bagian :

1. residu aromatik : bersifat lipofilik


2. grup amino (terminus amino sekunder/tersier) : bersifat hidrofilik
3. intermediate chain : merupakan rantai yang memisahkan lipofilik dan hidrofilik. Hubungan
antara rantai karbohidrat pusat dengan aromatik yang membentuk menjadi 2 klasifikasi :

45
a. ester (-COO-)
b. amida (-NHCO-)
perbedaan keduanya terletak pada metabolisme dan allerginitasnya. Modifikasi sedikit
saja pada bagian manapun dari molekul dapat mempengaruhi aksi obat
Aksi mekanisme

Anestesi lokal memblok sensasi sakit dengan mengganggu propagasi impuls saraf perifer

 anestesi lokal menghalangi transmisi saraf dengan memblok stimulasi pada konduktansi
Na+ yang akan menurunkan derajat depolarisasi dan konduksi menjadi lambat
 ketika depolarisasi ditunda maka proses repolarisasi terjadi sebelum ambang potensial
dicapai sehingga konduksi saraf gagal dicapai
Efek farmakologi

a. Sistem Saraf Pusat


 Anestesi lokal dengan mudah dapat melewati sirkulasi perifer menuju otak
 Efek sistemik yang disebabkan oleh anestesi lokal terjadi pada konsentrasi plasma
(yang terdapat di darah dan bukan di hati  saat di metabolisme)
 Tanda dan gejala awal dari efek toksik : sakit kepala ringan dan pusing, diikuti oleh
gangguan penglihatan dan pendengaran, ketakutan, disorientasi, dan aktivitas otot
involunter terlokalisasi
 Respon depressant :bicara cadel, ngantuk, dan tidak sadarkan diri
 Jika konsentrasi obat didalam darah tinggi, maka dapat menyebabkan tremor
(konvulsi tonik-klonik)
 Dosis tinggi :dapat terjadi depresi pernafasan yang menyebabkan kematian asfiksi
(kurangnya oksigen, karena tidak dapat bernafas secara normal)
b. Sistem Kardiovaskuler
b.1. Miokardium

 Pada konsentrasi non toxic, reaksi yang diberika tiap orang berbeda. Bagi orang yang
alergi terdapap obat anestesi tertentu akan menyebabkan efek toksik walaupun pada
dosis yang tidak toksik

46
 Lodaicaine : menurunkan durasi pontensial aksi, menaikkan periode refraktori di serat
Purkinje, sehingga kontrol kardiak menurun. Kemampuannya dalam memblok kanal
Ca++dan meningkatkan Ca++yang dilepaskan dari reticulum sarkoplasma, dan
mengurangi responsivitas myofibrillar terhadap Ca++sehingga menurunkan kontraksi
myocardial
 Pada dosis toksik :terjadi eksitabilitas membran dan penurunan kecepatan konduksi,
bradikardia, kontraksi myocardial yang tidak normal, dan vasodilatasi sehingga
menurunkan kardiak output. Dapat terlihat karena terjadinya hypoxia (kurangnya
suplay oksigen)
 Bupivacaine dan obat yang high-lipofilik merupakan cardiotoxic yang dapat
menyebabkan arritmia ventricular dan collapsnya kardiovaskuler
b.2. Vaskularisasi perifer

 Larutan encer meningkatkan kontraksi myogenik spontan


 Anestesi lokal dapat menurunkan tonus vascular (mengurangi pelepasan
neurotransmitter dan responsivitas otot)
 Konsentrasi toksik dalam darah dapat menyebabkan dilatasi arteriol dan terjadi
hipotensi
 Anestesi lokal dengan kemampuan vasodilatasi yang semakin menurun, dimulai dari :
bupivacaine, procaine, lidocaine, mepivacaine, dan kokain. Kecuali kokain, semua
anestesi lokal menghambat aktivitas myogenik dan tonus otonomik sehingga terjadi
vasodilatasi
c. efek lain
 aktivitas otot polos, antibacterial, antihistamin, efek muskarinik, mempengaruhi
metabolisme adam arakhidonat yang berperan dalam pembentukan prostaglandin, dan
menghambat agregasi platelet
d. Efek Vasokonstriktor
 Digunakan epinefrin 4-20 mikrogram/ml ( 1:250.000 – 1:50.000), juga digunakan
levonodefrin, norepinefrin, dan phenylephrine
 Fungsinya untuk menurunkan toksisitas sitemik

47
 Lidocaine + epinefrin 1:100.000 dapat menurunkan resistensi perifer, meningkatkan
kardiak output, meningkatkan detak jantung dan tekanan darah sistolik, sakit di dada
 Jika kerja jantung meningkta maka dapat terjadi iskemia myocardial dan arritmia
jantung
Efek samping

A. toksisitas sistemik
 konsentrasi obat anestesi berlebih di daerah akibat injeksi intravascular dapat
menyebabkan konvulsi (kondisi dimana otot berkontraksi dan berelaksasi secara
cepat), terhentinya pernafasan, dan collapsenya cardiovascular
 pencegahan : 1. Dosis kecil merupakan anesthesia yang efektif, 2. Teknik injeksi
yang benar, 3.larutan mengandung vasokonstriktor (untuk yang tidak kontraindikasi)
 hipotensi arterial dapat dikontrol oleh cairan intravena dan agen simptomametik
(epinefrin, morepinefrin)
B. respon jaringan lokal
 konsentasi anestesi lokal dapat merusak saraf perifer
 pada konsentrasi tinggi, anestesi lokal dapat mengakibatkan injuri saraf yang lama,
terpaparnya neuron tidak bermembran pada konsentrasi anestesi lokal yang tinggi
dapat mengakibatkan peningkatan irreversible Ca++ intraseluller dan kematian sel
nekrotik
 anestesi lokal dapat menyebabkan focal nekrosis (area nekrosis dapat terlihat oleh
mata telanjang) pada jaringan otot rangka di area yang diinjeksi
 anestesi lokal menghalangi motilitas sel, menekan sintesis kolagen, dan menunda
perbaikan jaringan
 epinefrin dapat menyebabkan hypoxia jaringan dengan mengurangi aliran darah lokal
 vasokontriksi pada daerah yang berbahaya seperti ujung jari, hidung dapat
menyebabkan nekrosis jaringan
C. reaksi idiosyncratic
 efek yang berkaitang dengan 1. Kecemasan, 2. Vasokontriktor, 3. Injeksi
intravascular

48
 anestesi lokal amida aman digunakan, lidocaine dapat digunakan untuk perawatan
arritmia ventrikular
D. fenomena alergi
 disebabkan (seringnya) oleh derivat ester karena hasil metabolisme dari derivat ester
adalah p-aminobenzoic (PABA) yang merupakan allergen
 pasien yang alergi sebaiknya diberi antihistamin
 pasien yang mengalami anafilaktik syok dapat diberikan epinefrin agar terjadi
bronkodilatasi
 pasien asma tidak toleran terhadap sulfit ( bisulfit dan metabisulfit yang digunakan
dengan vasokonstriktor)
 derivat amida jarang bahkan tidak menimbulkan alergi
E. penggunaan selama kehamilan
 obat anestesi aman digunakan jika digunakan pada dosis yang sesuai/normal
 telah dilakukan penelitian terhadap hewan dan hasil yang didapat adalah penggunaan
bupivacaine menyebabkan kematian pada fetus pada 5 kali konsentrasi dosis
maksimum manusia

49
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Pak Toni, 50 tahun
Anamnesa:
 Sejak 2 hari, gigi bawah kiri sakit jika kemasukkan makanan dan hilang sakitnya bila
dibersihkan;
 Sudah 2 bulan, gigi kanannya sering sakit berdenyut, tidak hilang walau makanan
sudah dibersihkan;
 Sakit hilang sementara jika minum obat ponstan.

Pemeriksaan
Ekstra oral : T.A.K
Intra oral : - banyak plak dan kalkulus di seluruh region
- gingival edema dan kemerahan
Radiograf : - elemen 4.6, radiolusensi pada mahkota bagian proksimal distal meluas
ke dentin  karies site 2 size 3 D5
- elemen 3.6, radiolusensi pada bagian proksimal mesial meluas ke dentin
 karies site 2 size 2 D4

Diagnosis:
 Gigi kiri bawah mengalami pulpitis reversible, karena rasa sakitnya terasa jika
kemasukkan makanan dan dapat hilang bila dibersihkan;
 Gigi kanan bawah mengalami pulpitis irreversible, karena sering sakit berdenyut,
dan tidak hilang walau makanan sudah dibersihkan.
 Obat ponstan yang diminum hanya menghilangkan rasa sakit tanpa menyembuhkan
sumber rasa sakit.

Prognosis: baik

50
Rencana perawatan:
 Gigi kiri bawah (pulpitis reversible) dilakukan penghilangan stimulus noksius dan
Indirect Pulp Capping lalu direstorasi menggunakan liner RMGIC dan ditumpat dengan
resin komposit
Pada indirect pulp capping sebaiknya semua jaringan karies dihilangkan karena dapat
mempengaruhi penyembuhan, dengan pemberian Ca(OH)2 diharapkan terjadi
remineralisasi dentin terbentuk dentin reparative atau tertier.

 Gigi kanan bawah (pulpistis irreversible) dilakukan pengambilan pulpa koronal


(pulpotomi). Namun rasa sakitnya harus dihilangkan, bisa menggunakan obat analgesik
non-opioid aspirin untuk menghilangkan rasa nyeri. Setelah pulpotomi selesai lalu gigi
direstorasi menggunakan onlay.

Anak Pak Toni, 5 tahun


Anamnesa: gigi sebelah kanannya sering sakit berdenyut sehingga sulit makan.

Pemeriksaan
Radiograf: elemen 4.4, radiolusensi pada mahkota bagian proksimal distal meluas ke dentin
 site 2 size 2 D4

Diagnosis: gigi kanan bawah mengalami pulpitis irreversible, karena sering sakit berdenyut
sehingga sulit makan

Prognosis: baik

Rencana Perawatan: gigi kanan bawah yang mengalami pulpitis irreversible dilakukan
pulpotomi dan minum obat analgesik non-opioid aspirin untuk
menghilangkan rasa nyeri. Setelah pulpotomi selesai lalu gigi
direstorasi menggunakan stainless steel crown.

51
DAFTAR PUSTAKA

Fatma S, Dewi, dkk. 2012. Farmakologi Kedokteran Gigi. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

Sumber : Singh,Surender. Pharmacology in Dentistry. 2007. New Delhi :New Age International

Bennet, C. Richard. Monheim’s Local Anasthesia and Pain Control in Dental Practice fifth
edition. 1974. London : The C.V. Mosby Company.

Yagiela J.A, dkk. Pharmacology and Therapeutics for Dentistry 5th ed. 2004. United States of
America. Elsevier Mosby.

http://www.aapd.org/media/Policies_Guidelines/G_Pulp.pdf

http://dentalresource.org/topic58pulpotomypulpectomy.html

Tarigan, Rasinta. 2002. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti). Jakarta: EGC.

E. Walton, Richard, dan Mahmoud Torabinejad. 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia
Edisi 3. Jakarta: EGC

Louis I. Grosssman, dkk. 1995. Ilmu Endodontik Dalam Praktek. Jakarta: EGC

F.J. Harty dan R Ogston. 1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC

52

Anda mungkin juga menyukai