Anda di halaman 1dari 12

SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN BERORIENTASI KERJA PROGRAM


STUDI PENDIDIKAN TEKNIK MESIN

Suharno
Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Teknik Mesin, FKIP UNS
Email: myharno@yahoo.com

Abstrak

Perubahan dan perkemba ngan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta dinamika global yang
begitu cepat, menuntut agar setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan (PTK) di Indonesia mampu menyesuaikan diri. Usaha yang paling strategi s untuk menghasilkan sumber
daya manusia (SM) yang berdaya saing tinggi adalah dengan membangun kualitas SDM melalui pendidikan
kejuruan. Pendidikan kejuruan (SMK) saat ini setidaknya memiliki berbagai permasalahan diantaranya adalah
rendahnya kompetensi guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode penyelenggaraan pendidikan
dengan metode work based learning (WBL) atau pendidikan berorientasi kerja. Metode penelitian adalah diskriptif
kualitatif. Hasilnya adalah bahwa kompetensi pengetahua n yang dimiliki sudah baik, namun kompetensi
keterampilan dan sikap masih kurang. Metode pembelajaran yang diterapkan juga kurang relevan dengan tuntutan
kompetensi yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang dan hasil penelitian di atas maka upaya perbai kan
terhadap metode pembelajaran Program Studi Pendidikan Teknik Mesin perlu di lakukan. Salah satu metode yang
bisa diterapkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan adalah dengan menerapkan metode
pmbelajaran berorientasi kerja atau work based learning (WBL) terutama untuk mata kuliah produktif.

Kata kunci: Pendidikan kejuruan, Work Based Learning, Kualitas lulusan

Pendahuluan
Dalam era globalisasi sekarang ini, baik di tingkat wilayah regional, Chine -Asean Free
Trade Agreament (C-AFTA), maupun Asean Free Labour Agreament (AFLA), persaingan dan
keterbukaan mengharuskan setiap negara berupaya meningkatkan daya saing melalui
peningkatan efisiensi dan produktivitas. Usaha yang paling strategis untuk menghasilkan
sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi adalah dengan membangun kualitas sumber
daya manusia melalui berbagai program kegiatan diantaranya adalah melalui pendidikan dan
pelatihan. (Kadiman K., 2007).
Hasil survei World Economic Forum (WEF) periode 2011-2012 menunjukkan bahwa
daya saing global (The Global Competitiveness Report ) Indonesia turun peringkat dari 44

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 63


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

menjadi 46. Sedangkan China di peringkat 27, Malaysia berada di peringkat 26, dan Singapura
berada di peringkat 3. Menurut laporan yang berjudul “ The Indonesia competitivenes s Report
2012” disebutkan ada 12 pilar sebagai kriteria dalam mengukur daya saing global. Penilaian
terhadap aspek pendidikan, tercatat bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih berada pada
tataran rendah untuk daya saing. Diantara rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain
disebabkan oleh adanya sistem pendidikan yang diterapkan baik dari tingkat dasar sampai
dengan pendidikan tinggi masih memiliki relevansi yang rendah.
Program pembelajaran yang dikemas dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan kejuruan belum berjalan efektif karena berbagai kendala. Dalam
laporan Dikmenjur Depdiknas 2007, di sebutkan bahwa setidaknya ada tiga permasalahan yang
perlu di cari solusinya dengan serius, yaitu pertama, kurang optimalnya lemba ga pendidikan
kejuruan dalam membangun hubungan dengan para stakeholder -nya. Kedua, pendidikan yang
diterapkan oleh lembaga pendidikan khususnya kejuruan masih didominasi oleh pelajaran di
kelas. Ketiga, Tenaga pengajar (guru) belum memiliki kompetensi ya ng memenuhi persyaratan
filosofis pendidikan kejuruan. Prosser, 1950, dalam kaidahnya yang ketujuh menyebutkan
bahwa pendidikan kejuruan akan efektif jika gurunya telah mempunyai pengalaman yang
sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada oper asi dan proses kerja yang
akan dilakukan. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan ( gap) antara kemampuan
(kompetensi) lulusan dengan kebutuhan industri (dunia kerja). Pembelajaran yang hanya
mengandalkan pemberian materi di ruang kelas tanpa memberikan kese mpatan pembelajaran di
dunia nyata, meninggalkan mahasiswa / siswa tanpa pembelajaran atau pemahaman terhadap
pelajaran secara total (Meredith, 2005).
Berdasarkan kondisi di atas, pada tahun 2011 Kemendiknas mencanangkan program
percepatan pembangunan pe ndidikan nasional yang meliputi reformasi pendidikan kejuruan
yang ditekankan pada dua hal. Pertama, memanfaatkan potensi lokal, mulai dari sumber daya
alam, mineral, pertanian, perikanan. Kedua, relevansinya ditekankan kepada kebutuhan
lapangan kerja yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing Indonesia di kancah
kebutuhan industri internasional. Untuk mewujudkan hal tersebut maka pendidikan kejuruan
harus segera di reposisi. Reposisi ini ditujukan untuk menata ulang sistem pendidikan dan
pelatihan kejuruan agar menjadi sistem pendidikan dan pelatihan yang permeabel dan fleksibel,

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 64


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

dengan pola pembelajarannya yang berbasis kompetensi dan diajarkan oleh guru yang memiliki
kompetensi yang memadai.
Sekarang dan ke depan, para penyedia kerja (industri/k onsumen) mengharapkan dari
para lulusan tidak hanya memiliki pengetahuan dari bidang studi atau keahliannya saja, tetapi
juga kemampuan sikap adaptasi terhadap lingkungan kerja baru di mana mereka bergabung,
membawa keterampilan-keterampilan komunikasi yan g luar biasa, kemampuan memimpin dan
dipimpin, dan kemampuan yang teruji dapat berfungsi secara efisien dan efektif. Ini berarti
bahwa transferable skills penting bagi para mahasiswa/siswa. Transferable skills adalah
keterampilan-keterampilan atau kemampua n-kemampuan yang dapat diaplikasikan dengan
sama dari pekerjaan satu ke pekerjaan lainnya. Keterampilan -keterampilan ini juga dikenal
dengan keterampilan kunci (key skills), keterampilan-keterampilan jenerik (generic skills) atau
keterampilan-keterampilan inti (core skills). Keterampilan-keterampilan tersebut meningkatkan
employability lulusan dan dapat diperbaiki melalui pembelajaran di tempat kerja (WBL).
Berkaitan dengan permasalahan pendidikan kejuruan tidak bisa terlepas dari adanya 2
entitas besar yang berperan yaitu pendidikan dan industri. Entitas pendidikan dipandang
sebagai proses untuk mempersiapkan peserta didik yang meliputi pengetahuan, keterampilan,
dan sikap agar memperoleh bekal sebelum mereka bekerja. Sedangkan entitas industri adalah
tempat dimana peserta didik dapat mengaktualisasi dirinya dan berkarya sebagai manusia
seutuhnya. Faktor penting dalam proses pendidikan di bidang kejuruan adalah pelaksanaan
pembelajaran di SMK dan tenaga pengajar yang melaksanakan pembelajaran di sekolah.
Pelaksanaan pembelajaran di sekolah dikelola oleh lembaga sekolah, sedangkan pemenuhan
tenaga pengajar dikelola oleh perguruan tinggi yang biasa disebut dengan lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK).
Guru memiliki peran yang kompleks dan dinamis, ma ka pekerjaan itu hanya dapat
dilakukan oleh seseorang yang memang secara tulus, sadar dan sungguh -sungguh memilih
pekerjaan guru dengan segala konsekuensinya. The Finance Project (2006) yang menyatakan
bahwa kualitas guru merupakan faktor utama yang menent ukan keberhasilan peserta didik.
Pendidikan guru, kemampuan guru, dan pengalaman guru berhubungan erat dengan pencapaian
yang diperoleh peserta didik. Dari hasil penelitian yang dilakukan The Finance Project, 40% –
90% pencapaian hasil belajar peserta didi k disebabkan oleh kualitas guru. Oleh karena itu,

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 65


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

penting sekali untuk menyiapkan guru sebelum terjun sebagai tenaga pengajar dan secara terus
menerus melakukan perbaikan terhadap pengetahuan dan kecakapan sepanjang karirnya.
Berdasarkan survai awal terhad ap lulusan LPTK dari prodi pendidikan teknik mesin
(PTM) UNY, UNS, dan UNES Semarang yang mengajar di SMK maupun para lulusan yang
bekerja di industri dapat diketahui bahwa kompetensi yang mereka bawa masih belum sesuai
dengan harapan, baik kompetensi peng etahuan, keterampilan, maupun sikapnya. Mayoritas
kepala sekolah mengatakan bahwa untuk kompetensi pengetahuan lulusan PTM secara umum
dikatakan cukup, sedangkan kompetensi keterampilan dan sikap kurang. Sementara para
manajer di industri yang menggunakan lulusan PTM mengeluhkan minimnya keterampilan
yang dimiliki serta kurangnya kemampuan soft skill yang dimiliki. Bahkan para manajer
mengharapkan adanya perbaikan proses pembelajaran dengan menambahkan kemampuan di
bidang yang lain seperti integritas dan pe ntingnya mengerjakan sesuatu pekerjaan tepat waktu.
Artinya lulusan LPTK selain mampu mengerjakan pekerjaan juga dapat menyelesaikan
pekerjaan tersebut tepat pada waktunya.
Menyimak fakta di atas terlihat adanya ironi antara dokumen akreditasi dan kenyata an
di lapangan. Berdasarkan dokumen akreditasi PTM FKIP UNS dengan peringkat A, dan lebih -
lebih lagi adalah masa tunggu lulusan adalah 0 (nol) tahun. Artinya dapat dikatakan bahwa
PTM merupakan LPTK yang berkualitas dan lulusannya terserap semuanya di duni a kerja,
sehingga secara tegas dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh
PTM sudah benar. Namun yang patut dilihat kembali adalah mengapa pengguna lulusan masih
mengeluhkan minimnya kompetensi yang mereka miliki. Artinya ada kesenja ngan yang jelas
antara pelaksanaan sistem pendidikan di LPTK (PTM) dan kenyataan di industri/dunia kerja
terutama adalah kompetensi keterampilan.
Sistem pendidikan yang diberikan oleh LPTK kepada mahasiswa melalui theoretical
learning dan practical learning masih menyisakan selisih negatif yaitu mahasiswa perlu
mendapatkan experiential learning. Practical learning tidak bisa menggantikan experiential
learning karena practical learning dilakukan dalam rangka pendalaman teori dan dalam
konteks dunia akademik. Disamping itu fasilitas lab yang tersedia pada umumnya di set up
berupa miniatur simulatif inkubatif eksperimentatif sebagai sarana belajar bukan untuk

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 66


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

memproduksi barang atau/dan jasa yang riil untuk pasar. Pengalaman kerja sama sekali
berbeda dari eksperimen dan tidak dapat digantikan oleh laboratorium.

KAJIAN TEORI
Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja ( link and match) merupakan sebuah
upaya komprehensif untuk mensinkronkan pendidikan nasional dengan kebutuhan dunia kerja,
sehingga terjadi keselarasan dalam pelaksanaannya. Keberhasilan program penyelarasan
pendidikan dengan dunia kerja sangat ditentukan oleh sinergi antar kementerian dan
institusi/lembaga yang terkait sisi pasokan ( supply) maupun sisi permintaan ( demand)/industri
(Djoyonagoro, W, 1997).
Desain pendidikan guru yang professional untuk masa depan didasarkan pada pendapat
Udin S. Sa’ud (2008: 15) yang mengasumsikan bahwa peran guru secara umum dalam
kehidupan masyarakat modern Indonesia terdiri dari tiga peran utama yang saling berkaitan,
yaitu sebagai: 1) fasilitator belajar, 2) professional-leader, dan 3) agen pengembangan sosial
kemasyarakatan. Peran utama ini dipilih dengan alasan bahwa diharapkan guru-guru masa depan
secara efektif melaksanakan fungsi sebagai orang yang secara profesional memfasilitasi
kegiatan belajar siswa sesuai dengan kebutuhan mereka, bekerja secara profesional dengan
sikap profesionalisme yang tinggi di sekolah maupun masyarakat, dan dapat menjadi agen
perubahan sosial, baik dilingkungan persekolahan maupun masyarakat (Heck and Williams, 1984;
Cruickshank, 1990; O’hair and Odell, 1995 dalam Udin S. Sa’ud, 2008: 15).
Darling-Hammond and Bransford (2005) mengatakan bahwa guru professional perlu
memahami dan menguasai minimal tiga pengetahuan dasar mengajar (knowledge-based
of teaching) yang meliputi: 1) pengetahuan tentang bidang studi yang akan diajarkan secara
mendalam (mastering of contentknowledge), 2) pengetahuan tentang pedagogiek (mastering
of paedagogical knowledge), 3) pengetahuan tentang pedagogiek khusus yang mendalam
tentang bidang studi yang akan diajarkannya (mastering of paedagogical content knowledge).
Kemampuan- kemampuan dasar mengajar tersebut di atas merupakan knowledge-base of
teaching yang harus dimiliki oleh setiap orang yang mempunyai profesi mengajar.
Pembelajaran dengan bekerja di tempat kerja atau biasa di sebut dengan Work-Based
Learning (WBL) memberi manfaat-manfaat kepada mahasiswa dalam menguasai pengetah uan-
pengetahuan dan keterampilan -keterampilan baru yang tidak bisa didapatkan pada

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 67


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

pembelajaran teoritis dan praktis di dunia akademik (Canningham, at.all, 2004). Hubungan
antara academic learning dan experiential learning bersifat komplementer dan supleme nter
bukan substitusi/saingan. Experiential learning melengkapi kompetensi lulusan dengan work
ready skills yang berdampak positif terhadap peningkatan tingkat employability. Makin tinggi
employability para lulusannya maka makin tinggi pula tingkat akredit asi program studi tersebut
karena tinggi-nya prosentase graduate employment rate -nya (low graduate unemployment
rate). Employability adalah se-set capaian-capaian, pengertian-pengertian dan atribut-atribut
personal yang membuat seseorang lebih mungkin mend apat kerja dan berhasil dalam bidang
pekerjaan yang dipilihnya (Little et.al., 2004)
Secara konsep WBL merupakan pembelajaran yang menggambarkan suatu program di
perguruan tinggi di mana antara perguruan tinggi dan organisasi atau perusahaan secara
bersama-sama merancang pembelajaran di tempat kerja sehingga program ini memenuhi
kebutuhan peserta didik, dan berkontribusi dalam pengembangan perusahaan. WBL merupakan
program yang diselenggarakan secara formal di pendidikan tinggi (David Boud and Nicky
Solomon, 2003). Tujuannya adalah untuk mendekatkan kegiatan pembelajaran dengan
pekerjaan.
Ada enam karakteristik WBL yaitu hubungan antara mitra/DUDI dengan institusi
pendidikan secara khusus dijalin untuk membangun dan membantu pembelajaran. Siswa
dilibatkan sebagai pekerja. Program dalam WBL mengikuti apa yang dibutuhkan di tempat
kerja dan apa yang dibutuhkan oleh siswa. Level pendidikan dalam program dibangun setelah
siswa memiliki kompetensi yang diakui. Dalam WBL learning project yang dilakukan di
tempat kerja, memberikan tantangan untuk memenuhi kebutuhan siswa di masa yang akan
datang, dan perusahaan itu sendiri. Institusi pendidikan memiliki keluaran berdasarkan
kesepakatan dalam program ini dengan menghargai standar dan level yang telah ditetapkan.
Boud D., 2003, telah mengidentifikasi setidaknya ada 4 kunci pokok dalam
pembelajaran WBL, yaitu:
1. Learnin identified, pengetahuan apa yang dibawa atau yang telah dimiliki oleh
siswa ke dalam program WBL, dan apa yang diharapkan dari program ini.
2. Learning added, pembelajaran atau pengetahuan baru apa yang akan diberikan dalam
program ini.

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 68


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

3. Learning recognition, pengetahuan siswa yang mana yang mungkin diakui setelah mereka
belajar.
4. Learning equivalence, kesetaraan akademik apa untuk didokumentasikan sebagai hasil
belajar.

PEMBAHASAN
a. Pemahaman tentang Pembelajaran Berbasis Kerja ( Work Based Learning/WBL).

Menurut Reg Revans dan Gregory Bateson dalam bukunya Raelin (2008) menjelaskan
bahwa laju belajar harus sama dengan atau melebihi tingkat perubahan, belajar tidak hanya
menciptakan tapi juga menyesuaikan, memperluas, dan memperdalam pengetahuan. Sementara
itu, kebanyakan proses pembelajaran di lembaga pendidikan telah menjadi terkondisi untuk
model kelas yang memisahkan teori dari praktek, yang membuat belajar tampaknya tidak
praktis, relevan, dan membosankan. Sedangkan Work based learning (WBL) adalah adalah
pelajaran atau program dimanana kampus/sekolah dengan organisasi pekerjaan bersama -sama
menciptakan pengalaman pembelajaran dan peluang baru di t empat pekerjaan (Boud, 200 3).
Hal ini bertujuan untuk menjadikan belajar sebagai jalan hidup maka pembelajaran harus
berlangsung secara alamiah dan menyenangkan. Sedangkan program WBL di sekolah dapat
berupa Unit Produksi, Program Inplementasi Karir, Progr am Penegenalan Karir, Perusahaan
sekolah (hotel, rumah makan), Koperasi Sekolah dan Bank di sekolah serta program magang
(PSG/PKL).

b. Pentingnya pembelajaran di tempat kerja .


Kombinasi pembelajaran teori di ruang kelas dan perpustakaan (theoretical
learning) dan pembelajaran praktek di lab (practical learning) dirancang sedemikian rupa
dalam rangka menghasilkan lulusan dengan tingkat mutu tertentu yang siap memasuki
dunia kerja. Keberhasilan pendidikan di LPTK tidak hanya diukur dari segi mutu-nya saja
melainkan juga dari segi relevansi-nya. Hubungan mutu dan relevansi ibarat dua sisi dari satu
keping mata uang. Mutu lulusan pendidikan LPTK dianggap relevan oleh para pengguna
lulusan, yang dalam hal ini adalah sektor dunia usaha dan dunia industri (DUDI)
apabila apa yang mereka dapatkan sama dengan atau lebih besar dari yang mereka

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 69


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

harapkan. Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, dimana DUDI menilai bahwa
lulusan pendidikan LPTK belum siap kerja, mereka over qualified but under experience
(Ellis, 1999). Berdasarkan pengalamannya, banyak pe-rekruit menghadapi dilemma dimana
banyak pelamar yang memiliki potensi tinggi harus direlakan untuk tidak diseleksi lebih
lanjut karena tidak memiliki pengalaman kerja yang relevan sebagaimana seringkali
diminta pada iklan-iklan lowongan kerja.

Sekarang dan kedepan, para penyedia kerja mengharapkan dari para lulusan tidak
hanya memiliki pengetahuan dari bidang studi atau keakhliannya saja, tetapi juga
kemampuan adaptasi terhadap lingkungan kerja baru dimana mereka bergabung, membawa
keterampilan-keterampilan komunikasi yang luar biasa, kemampuan memimpin dan dipimpin,
dan kemampuan yang teruji dapat berfungsi secara efisien dan efektip. Ini berarti bahwa
transferable skills penting bagi para mahasiswa. Transferable skills adalah keterampilan-
keterampilan atau kemampuan-kemampuan yang dapat diaplikasikan dengan sama dari
pekerjaan satu ke pekerjaan lainnya. Keterampilan-keterampilan ini juga dikenal dengan
keterampilan- keterampilan kunci (key skills), keterampilan-keterampilan jenerik (generic
skills) atau keterampilan-keterampilan inti (core skills). Keterampilan-keterampilan
tersebut meningkatkan employability lulusan dan dapat diperbaiki melalui pembelajaran
di tempat kerja. Dengan demikian, pembekalan yang diberikan LPTK kepada
mahasiswa via theoretical learning dan practical learning masih menyisakan selisih
negatif – mahasiswa perlu mendapatkan experiential learning. Practical learning tidak
bisa menggantikan experiential learning karena practical learning dilakukan dalam rangka
pendalaman teori dan dalam konteks dunia akademik. Disamping itu fasilitas lab yang
tersedia pada umumnya di set up berupa miniatur simulatif inkubatif eksperimentatif
sebagai sarana belajar bukan untuk memproduksi barang atau/dan jasa yang riil untuk
pasar. Pengalaman kerja sama sekali berbeda dari eksperimen dan tidak dapat digantikan oleh
laboratorium. Bekerja di industri adalah cara terbaik untuk mempelajari sikap
professional, interpersonal skills.
Pembelajaran dengan bekerja di tempat kerja memberi manfaat-manfaat kepada
mahasiswa dalam menguasai pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan baru

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 70


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

yang tidak bisa didapatkan pada pembelajaran teoritis dan praktis di dunia akademik.
Hubungan antara academic learning dan experiential learning bersifat komplementer
dan suplementer bukan substitusi/saingan. Experiential learning melengkapi
kompetensi lulusan dengan work ready skills yang berdampak positif terhadap
peningkatan tingkat employability). Makin tinggi employability para lulusannya maka makin
tinggi pula tingkat akreditasi program studi tersebut karena tinggi-nya prosentase graduate
employment rate-nya (low graduate unemployment rate). Employability adalah se-set
capaian-capaian, pengertian-pengertian dan atribut-atribut personal yang membuat
seseorang lebih mungkin mendapat kerja dan berhasil dalam bidang pekerjaan yang
dipilihnya (Little et.al., 2004).
Pembelajaran di tempat kerja berpotensi menutup “gap relevansi” antara apa
yang diharapkan oleh DUDI dengan ada yang disediakan oleh LPTK. Gap tersebut
mungkin disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari “gap 1, 2, 3, dan 4”. “Gap 1”
terjadi karena ada perbedaan antara apa-apa yang diharapkan DUDI dengan persepsi
jajaran akademik tentang apa-apa yang diharapkan DUDI, perlu ditutup dengan “solusi 1”
yaitu komunikasi tatap-muka langsung diantara kedua belah fihak dengan agenda bagaimana
mengatasi rendah-nya employability lulusan. “Solusi 2” sebagai tindak lanjut penanganan “gap
2”(akibat tidak adanya keterlibatan DUDI dalam merancang kurikulum sandwich)
menyarankan agar fihak PPV sebaiknya bersedia merancang kurikulum sandwich-nya
dengan melibatkan DUDI secara langsung. “Solusi 3” sebagai langkah positif menutup “gap
3”(pelaksanaan program magang yang tidak sesuai dengan rancangan kurikulum) menuntut
staf dosen, tutor magang, supervisor magang ditempat kerja, mahasiswa, dan koordinator
unit pelayanan magang dan hubungan industri secara bersama-sama
mengimplementasikan kurikulum sandwich tersebut secara konsisten dan berkualitas.
“Solusi 4” sebagai langkah mengatasi “gap 4”(ketidakselarasan antara learning outcomes yang
diharapkan LPTK dengan business performance outcomes yang diharapkan DUDI) adalah
diselenggarakannya evaluasi, monitoring pelaksanaan magang melalui site-visit oleh para
tutor dan umpan-balik dari para peserta magang .
c. Kurikulum sandwich dalam pendid ikan di LPTK.
Hall dan Gush (20030 mengidentifikasi empat macam pembelajaran di tempat kerja

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 71


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

yaitu: tipe 1 yang dirancang untuk pegawai DUDI yang menjadi mahasiswa dan belajar di
kampus dan bagi mereka diberlakukan prinsip recognition of prior
learning/recognition of current competencies (RPL/RCC) yang bisa diakreditasi sebagai kum
SKS; tipe 2 dirancang untuk pegawai DUDI yang berstatus mahasiswa dan belajar di tempat
kerjanya dengan dukungan dari LPTK; tipe 3dirancang untuk mahasiswa regular untuk belajar
keterampilan-keterampilan kompetensi yang berbasis dunia kerja melalui mata kuliah
kurikulum atau ekstra kurikuler; tipe 4 dirancang untuk mahasiswa regular untuk
mendapatkan pembelajaran di tempat kerja karena tuntutan kurikulum sandwich.
Kurikulum sandwich ini dianggap paling tepat bagi pendidikan vokasi karena: (1)
menyediakan pembelajaran yang tuntas (teori siklus pembelajaran dari David Kolb), (2)
memenuhi konsep pembelajaran dari UNESCO yaitu learning to know, learning to do,
learning to learn, learning to be, dan learning to live together, (3) melengkapi
declarative knowledge dan procedural knowledge mahasiswa LPTK dengan functioning
knowledge, dan (4) mendukung mazhab pembelajaran konstruktivis.
Dengan diadopsinya work based learning secara resmi sebagai program akademik
pendidikan maka kurikulum program studi dimaksud harus di format kembali menjadi
kurikulum sandwich. Operasionalisasi kurikulum sandwich tersebut perlu dirancang secara
benar agar tujuan pembelajaran tercapai. Untuk merealisasikan penerapan metode pembelajaran berbasis
kerja ini maka harus didukung dengan adanya regulasi dan SOP yang jelas.
Membiarkan mahasiswa mencari tempat magangnya sendiri dan menganggap
bahwa mencari tempat magang adalah tanggungjawab mahasiswa itu sendiri adalah
keliru. Hal itu merupakan tanggungjawab institusi yang ingin membangun kerjasama
jangka panjang dan berkelanjutan yang sebaiknya diselenggarakan dalam tataran
organization-to-organisation (O2O).
Pembelajaran di tempat kerja (work based learning) ditandai oleh keterlibatan semua
fihak terkait. Kemitraan yang berhasil ditentukan oleh pemahaman yang memadai diantara
mereka. Secara internal LPTK, mahasiswa sebaiknya bermitra dengan dosen
pembimbingnya dan koordinator urusan magang. LPTK harus menjamin agar manfaat-
manfaat yang diharapkan oleh peserta magang dari program magang bisa dicapai.
Kemitraan diantara mereka sebaiknya dituangkan dalam surat kontrak pembelajaran.

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 72


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

Dosen pembimbing dituntut keterlibatannya secara aktif dalam pengembangan,


monitoring, dan evaluasi kegiatan magang. Dosen pembimbing sebaiknya
memfasilitasi persiapan-persiapan yang harus dilakukan peserta magang yang meliputi-
pemenenuhan kelengkapan persyaratan administratif, melatih keterampilan
berwawancara, menyiapkan CV, melatih keterampilan menulis, pelatihan etika bisnis,
manajemen konflik, dan lain sebagainya.

SIMPULAN DAN SARAN


1. Penerapan metote work based learning (WBL) berdampak positif terhadap nilai
tambah para mahasiswa berupa kepemilikan work ready skills dan peningkatan
employability begitu mereka lulus, yang sekaligus memenuhi tuntutan DUDI terhadap
LPTK untuk semakin meningkatkan relevansi pendidikannya.
2. Kurikulum sandwich yang diadopsi dari WBL adalah paduan dari “pembelajaran di
tempat kerja” dengan “pembelajaran di kampus”, sangat selaras/sejalan dengan
dan memenuhi prinsip-prinsip / konsep pembelajaran UNESCO yaitu learning to
know, learning to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Kurikulum sandwich tidak hanya membekali mahasiswa dengan pengetahuan deklaratif
(knowing about things), pengetahuan procedural (a skill component), tetapi juga
pengetahuan fungsi (functioning knowledge) sebagai suatu pemahaman professional
yang relevan yang diperlukan di tempat kerja.
3. Kurikulum program studi - program studi di lingkungan LPTK khususnya PTK
sebaiknya direvisi dan di rancang dengan metode WBL agar tujuan pembelajaran yang
sebenarnya dapat tercapai.
4. Program pembelajaran di tempat kerja bukan hanya membe ri manfaat kepada para
mahasiswa melainkan juga memperkuat hubungan antara pendidikan tinggi dengan
industri. Transfer pengetahuan dan pengalaman secara dua arah penting bagi
perekonomian nasional.

DAFTAR PUSTAKA
- Boud David and Solom on Nicky. (2003). Work Based Learning: A New Higher
Education. USA

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 73


SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN ISBN : 978-602-7561-12-02

- Cunningham Ian. et.all. (2004). The Hand Book of Work Based Learning . USA: Gower
Publishing Company.
- Darling-Hamond, Linda. (2006). Powerful teacher education. San Farncisco: Jossey-
Bass Publishing Co.
- Ellis, N., (1999), Developing graduate sales professionals through co-
operative education and work placements: a relationship marketing
approach, Journal of European Industrial Training 24/1 (2000) 34 -42
- Joyonegoro, Wardiman. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui
SMK. Jakarta.
- Kusmayanto Kadiman. (2007). Kemandirian Sains dan Teknologi Bangsa dalam
Perspektif Dasa Sila Bandung. Jakarta: Kemenristek
- Little, B. (2004), Employability and work-based learning, The Higher
Education academy, UK
- Meredith, S., Burkle, M., (2008), Building bidges between university and industry:
theory and practice, Journal Education and Training Vol. 50, No. 3, 2008 pp.
199-215
- Raelin, Joseph A. (2008). Work-Based Learning Bridging Knowledge and Action in the
Workplace. San Fancisco: A Wiley Company.
- Udin S. Saud. (2008). Mempersiapkan guru PAUD dan SD bermutu di masa depan:
dalam prespektif administrasi pendidikan. Makalah disajikan dalam
seminar peningkatan kualitas sistem pendidikan guru sekolah dasar dan
pendidikan anak usia dini, diselenggarakan oleh FIP UPI, Bandung,
Agustus 2008.

Seminar Nasional Pendidikan FKIP UNS 74

Anda mungkin juga menyukai