Anda di halaman 1dari 16

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kornea
2.1.1. Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-
12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu
organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya
adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva ( AAO, 2008). Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 550 µm, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan
vertikalnya 10,6 mm ( Riordan-Eva, 2010).

Gambar 2.1. Gambar Mata


Sumber: http://www.aao.org/eyecare/anatomy/
5

2.1.2. Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel
(Riordan-Eva, 2010).
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans
anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia).
Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella
tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang (Eroschenko, 2003).
Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel
posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet merupakan
membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2003) dan memiliki resistensi yang
tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich, 1993).

2.1.3. Perdarahan dan Persarafan


Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor
aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus (Riordan-Eva, 2010). Saraf
trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh
(Hollwich, 1993).

2.1.4. Fisiologi Kornea


Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
6

akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata
tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme,
seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Biswell, 2010).
Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea
adalah:
1. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan
subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata (Bangun, 2009).

2. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang
warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di
daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak
dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan
debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat
kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat
menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea
nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya (Ilyas, 2009).
7

3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea


Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah
mikrokornea dan megalokornea.
Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea
fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan
pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior optic cup yang
meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk berkembang. Mikrokornea
bisa berhubungan dengan autosomal dominan atau resesif dengan prediksi
seks yang sama, walaupun transmisi dominan lebih sering ditemukan.
Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen anterior bola
mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup untuk
tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi
kornea untuk untuk diisi (Bangun, 2010).

4. Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea,
bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai
pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan
bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan
biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea (Ilyas, et al,
2002).

5. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi
atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri
harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat
pemeriksaan pertama jika memungkinkan.
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus
(Bangun, 2010)
8

Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata


karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata
selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional
jaringan intraokular (Ilyas, 2009).
Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat
menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini
mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada mata
tersebut (Ilyas, 2009).

2.2. Keratitis
2.2.1. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya
kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata
merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam
atau injeksi siliar.
Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti
keratitis superfisial dan profunda atau interstisial (Ilyas, 2004).

2.2.2. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor (Ilyas, 2004), diantaranya:
1. Virus.
2. Bakteri.
3. Jamur.
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari.
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak.
6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata.
7. Adanya benda asing di mata.
8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari (Wijaya, 2012).
9

2.2.3 Klasifikasi
Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa hal.

1. Berdasarkan lapisan yang terkena


Keratitis dibagi menjadi:
a. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata
Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang
dapat terletak superfisial dan subepitel (Ilyas, 2004).

 Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat
terjadi pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes
zoster, Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi,
dry eye, keratitis lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahaya pengawet lainnya.

Gambar 2.2. Keratitis Pungtata


Sumber: Thygeson (1950)

 Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa
kelilipan.
10

 Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong
dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein,
terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui
terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna
fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein
bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan
memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa.
Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa penyembuhan
epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf
trigeminus dan fasial. Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun
(Ilyas, 2003).

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya
adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin,
trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah
cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan
jika terdapat sekret mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran
dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau
fluconazol.
Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini
sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa
nyaman seperti air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid (Ilyas, 2003).

b. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral
atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada
pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis (Ilyas, 2004).
11

 Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan
Esrichia.

 Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai
fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal
ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.

 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri (Biswell,
2010).

 Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan
penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan
vitamin B dan C dosis tinggi (Ilyas, 2004).

c. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh
darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea.
Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab
paling sering dari keratitis interstitial (Hollwich, 1993).

 Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke
dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis (Ilyas, 2004).
12

 Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya
visus.
Menurut Hollwich (1993) keratitis yang disebabkan oleh sifilis
kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial,
telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan pemeriksaan
serologis yang positif terhadap sifilis.
Pada keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala
tuberkulosis lainnya (Ilyas, 2004)

 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri (Biswell,
2010).

 Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka
lama secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali
sehari dan salep mata pada malam hari (Hollwich, 1993).

2. Berdasarkan penyebabnya
Keratitis diklasifikasikan menjadi:
a. Keratitis Bakteri
 Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
13

Tabel 2.1. Penyebab Keratitis Bakterial


Causes of Bacterial Keratitis
Common Organisms Uncommon Organisms
Staphylococcus aureus Neisseria spp
Staphylococcus epidermidis Moraxella spp
Streptococcus pneumoniae and other Mycobacterium spp
Streptococcus spp
Pseudomonas aeruginosa (most Nocardia spp
common organism in soft contact lens
wearers)
Enterobacteriaceae (Proteus, Non-spore-forming anaerobes
Enterobacter, Serratia) Corynebacterium spp

 Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata
yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur
(Kanski, 2005). Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis
perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.

 Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan
menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan
Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali
Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu
kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram (Biswell, 2010).

 Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri.
Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan (American
Academy of Ophthalmology, 2009):
14

Tabel 2.2.Penatalaksanaan Awal untuk Keratitis Bakterial


Initial Therapy for Bacterial Keratitis
Organism Antibiotic Topical Dose Subconjunctival
Dose
Gram-positive Cefazolin 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
cocci Vancomycin* 25-50 mg/mL 25 mg in 0,5 mL
Moxifloxacin or 5or 3 mg/mL, Not available
gatifloxacin respectively
Gram-negative Tobramycin 9-14 mg/mL 20 mg in 0,5 mL
rods Ceftazimidine 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
Fluoroquinolones 3 mg/mL Not available
No organism or Cefazolin with 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
multiple types of Tobramycin or 9-14 mg/mL 20 mg in 0,5 mL
organisms fluoroquinolones 3 or 5 mg/mL
Gram-negative Ceftriaxone 50 mg/mL Not available
cocci Ceftazimidine 50 mg/mL 100 mg in 0,5 mL
Mycobacteria Clarithromycin 10 mg/mL 0,03%
Moxifloxacin or 5 or 3 mg/mL,
gatifloxacin respectively

b. Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis
(Dorland, 2000).

 Etiologi
Menurut Susetio (1993), secara ringkas dapat dibedakan :
1) Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler dengan
cabang-cabang hifa.
2) Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp,
Curvularia sp, Altenaria sp.
3) Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
4) Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
5) Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp,
Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
15

 Gejala klinis
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat
dipakai pedoman berikut :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.

 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun negatif
belum dapat menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang utama adalah
melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu
dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Kemudian dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka
keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%.
Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan
Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan biaya yang
besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast
microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode
Nomarski) yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur
dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa ( Susetio, 1993).

 Penatalaksanaan
Menurut Susetio (1993) terapi medikamentosa di Indonesia terhambat
oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan
16

kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi
keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi, dapat dibagi:

1) Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya.


Topikal amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml), natamycin
> 10 mg/ml, golongan imidazole.
2) Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin (obat
terpilih), imidazole (obat terpilih).
3) Ragi (yeast).
Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4) Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.

c. Keratitis Virus
 Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering
pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan
parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung,
rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung
virus (Ilyas, 2004).

 Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika
bagian pusat yang terkena (Ilyas, 2004).
Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis
folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan
kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan
dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
17

sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat
lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.

 Pemeriksaan laboratorium
Menurut Biswell (2010) dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis
HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat
dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis
lapisan sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas).

 Terapi
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,
karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun
epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam (Biswell, 2010).

2) Terapi Obat menurut Ilyas, 2004:


 IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan 1% dan
diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4 jam).
 Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
 Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1% setiap 4 jam.
 Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
 Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
18

3) Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif (Biswell, 2010).

d. Keratitis Acanthamoeba
 Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya
disertai dengan penggunaan lensa kontak (Dorland, 2002).

 Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan
perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel kornea semakin banyak
ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah diagnosiskan sebagai keratitis
herpes (Biswell, 2010).

 Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas
media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik
menampakkan bentuk-bentuk amuba (kista atau trofozoit). Larutan dan kontak
lensa harus dibiak. Sering kali bentuk amuba dapat ditemukan pada larutan kotak
penyimpan lensa kontak (Biswell, 2010).

 Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin
topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanid
19

poliheksametilen (larutan 0,01-0,02%) dikombinasi dengan obat lain atau sendiri,


kini makin populer.
Agen lain yang mungkin berguna adalah paromomisin dan berbagai
imidazol topikal dan oral seperti ketokonazol, mikonazol, itrakonazol. Terapi juga
dihambat oleh kemampuan organisme membentuk kista didalam stroma kornea,
sehingga memerlukan waktu yang lama.
Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi
radang dalam kornea. Keratoplasti mungkin diperlukan pada penyakit yang telah
lanjut untuk menghentikan berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi dan
terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan.
Jika organisme ini sampai ke sklera, terapi obat dan bedah tidak berguna
(Biswell, 2010).

Anda mungkin juga menyukai